Professional Documents
Culture Documents
Abstract
Effectivity of implementation of forest and land rehabilitation funded by the
Reforestation Fund in East Kalimantan Province evaluated through three aspects e.g.
planning, actuating and social. Such method able to show both of physical and social
efectivity in the field. In the planning aspect, it is administratively adequate but there
are still poor in guidelines for creation of technical plan, and in mapping of plantable
area. In the physical aspects, there are found out that most of the planting unit extend
less than 100 ha. Plantable areas owned by the participants (farmers group) located
separately. It was difficult to find large and compact area without separation by
conflicted area. Because of no rehabilitation masterplan, there is no priority targets in
the catchment areas. Rehabilitation costs each area relatively higher than those of
actual costs.
From the social view point, it is difficult to involve the local community in fully
participation since the implementation of the project by the contractors are more
manageable administratively.
Key words: forest and land rehabilitation, evaluation, East Kalimantan, planning,
administration, social.
I. PENDAHULUAN
Kerusakan hutan dan lahan di Propinsi Kalimantan Timur telah menunjukan
keadaan yang cukup memprihatinkan, yaitu mencapai lebih dari 3 juta ha, yang tersebar
hampir merata, baik di dalam kawasan hutan produksi, hutan lindung maupun hutan
konservasi (BP-DAS Mahakam Berau, 2003) . Kerusakan ini menghawatirkan karena
berdampak pada ketidakseimbangan dan kerusakan ekosistem dalam tatanan Daerah
Aliran Sungai (DAS) serta terganggunya kehidupan masyarakat di dalam dan di sekitar
hutan. Disisi lain kegiatan rehabilitasi di Kalimantan Timur menjadi tidak efektif
apabila kegiatan pembukaan wilayah hutan yang tidak memperhatikan kaidah
kelestarian berjalan terus menerus. Fakta di Lapangan menunjukan bahwa pembukaan
wilayah hutan di Kalimantan Timur setiap tahunnya jauh lebih besar dibandingkan
1
dengan luas hutan dan lahan yang direhabilitasi. Apabila hal ini lidak diatasi secara
tepat, maka sumberdaya hutan yang ada akan bartambah rusak, dan luas hutan dan
lahan kritis akan meningkat setiap tahunnya.
2
II. METODOLOGI
II.1. Waktu dan Tempat
Proses evaluasi terhadap hasil pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan
pada tahun pertama dilaksanakan melalui kunjungan lapangan pada bulan Juli
2002 hinga akhir bulan Agustus 2003. Lokasi yang dinilai berjumlah 15 lokasi
yang tersebar di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai timur, Kutai Barat,
Nunukan serta Kotamadya Samarinda Propinsi Kalimantan Timur.
3
Pemerintah LSM Akademisi Praktisi
Gambar 1. Diagram alur dalam penyusunan kriteria dan indikator sebagai alat untuk
mengevaluasi kegiatan RHL dengan melibatkan berbagai peran multi
fihak di Propinsi Kalimantan Timur
4
Berdasarkan gambaran diatas untuk selanjutnya diturunkan tim ke lapang guna menilai
dan mengukur serta mengevaluasi efektivitas keberhasilan RHL, namun sebelumnya
terlebih dahulu dilakukan proses sosialisasi dan metode pengukurannya melalui diskusi
dan pelatihan. Hal ini penting dilakukan guna menyamakan persepsi tentang kriteria
dan sub kriteria yang akan dinilai
5
(1) Menyusun rancangan partisipatif yang tidak terpisahkan dari kegiatan fisik RHL,
(2) Membina kelembagaan masyarakat sehingga makin berdaya untuk melaksanakan
kegiatan RHL,
(3) Memberikan bimbingan teknis dalam pelaksanaan kegiatan RHL dengan mengacu
kepada pola umum, standar dan kriteria RHL,
(4) Dilaksanakan dengan standar biaya yang wajar dan hemat,
6
(1) berdasarkan besarnya iuran DR dari hasil pemanenan kayu masing-masing
kabupaten yang kemudian disetorkan kepada pemerintah pusat, misalnya
Kabupaten Kutai Barat sebagai penyetor Dana DR tertinggi di Kalimantan Timur
akan mendapatkan alokasi DAK-DR yang besar pula,
(2) berdasarkan pertimbangan sensitivitas dan rentabilitas luas lahan kritis pada
masing-masing kabupaten dan kota, misalnya untuk Kota Madya Balikpapan,
Samarinda, Tarakan dan Bontang pada kenyataannya tidak memberikan
pemasukan terhadap setoran DR karena tidak memiliki perusahaan Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) namun daerah tersebut memiliki kawasan hutan yang
rentan dan kritis dengan kepadatan penduduk lebih tinggi, sehingga dalam rangka
merahbilitasi hutan dan lahannya perlu dibantu dengan dana DR.
Konsultan
Sosialisasi
Sosialisasi Rancangan
Teknis Rancangan
Pelaksanaan
Pembayaran
Kontraktor
Prestasi
Pelaksanaan Pembayaran
Pelaksanaan di Ditingkat Prestasi Kerja
Tingkat Masyarakat
Masyarakat
(b)
(a) 8
Gambar 2. Pola kerja kegiatan RHL serta pencairan Dana Reboisasi
Keterangan Gbr a.
Yang memegang kendali proyek adalah Dinas Terkait yaitu instansi yang ditunjuk oleh bupati untuk mengelola
dana DR, Instansi yang mengelola di masing-masing wilayah cukup bervariasi antara lain Dinas Kehutanan, Dinas
Pertanian, Dinas Perikanan, Bapedalda dan lain-lain. Penunjukan instansi pelaksana dimasing-masing
kabupaten dan kota sesuai aturan adalah instansi yang berhubungan dangan urusan kehutanan dalam hal
ini dinas kehutanan, namun masih ada beberapa kabupaten yang baru memiliki dinas kehutanan, sehingga
pelaksanaannya dipegang oleh instansi diluar urusan kehutanan.
Dengan pola kerja seperti gbr (a) yang paling banyak berperan adalah kontraktor dari mulai pembelian
perlengkapan, pembelian bibit, pengaturan upah kemasyarakat dll. Dari lokasi yang dinilai sebagian besar
masyarakat hanya berperan sebagai tenaga yang diberi upah untuk penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan
lain-lain. Upah yang diterima masyarakat berkisar 5%-10% dari total biaya RHL persatuan hektarnya, sisanya
berada di kontraktor/ dinas terkait/pimpro sebagai pengendali biaya. Di beberapa lokasi dengan pola kerja seperti
ini selain biaya tinggi juga tingkat keberhasilan tanaman sangat rendah karena masyarakat hanya sebagai obyek.
Keterangan Gambar b
Yang berperan langsung adalah pimpro, dari mulai sosialisasi, pembentukan kelompok tani hingga pelaksanaan
dilapangan, Dari lokasi yang dinilai dengan pola kerja seperti ini lebih ekonomis karena biaya konsultan dan
kontraktor tidak ada, Namun peran aktif masyarakat juga masih rendah karena masyarakat lewat kelompok taninya
hanya sebagai tenaga upah yang dibayar dengan sistem termin sementara untuk pembelian bibit, pupuk dan
perlengkapan lainnya masih dipegang oleh pimpro.
Dari kedua mekanisme tersebut, sangat kecil harapan kepada masyarakat untuk berperan dan berpartisipasi pada
kegiatan RHL karena berdasarkan pengamatan di lapangan mekanismenya diciptakan sedimikian rupa sehingga
masyarakat sulit untuk berperan.
9
4 Mendung Kebun, hutan murni 90 Ada Ada Ada Ada Ada Ada td
5 Gn. Menalit Reboisasi 575 Ada Ada Ada Ada Ada Ada td
6 Saga Lotoq Reboisasi 25 Ada Ada Ada Ada Ada Ada 1:50.000
7 Kota Bangun II Penghijauan 300 Ada Ada Ada Ada Ada Ada 1:2.000
8 Handil VIII Mangrove 58 Ada Ada Ada Ada Ada Ada 1:2.000
9 Guntung Lai Hutan rakyat 160 Ada Ada Ada Ada Ada Ada 1:6.000
10 Sungai Siring Hutan rakyat 65 Ada Ada Ada Ada Ada Ada 1:6.000
11 Pampang Hutan rakyat 93 Ada Ada Ada Ada Ada Ada 1:6.000
12 Sangkimah Reh. hutan mangrove 200 Ada Ada Ada Ada Ada Ada 1:10.000
13 Sekambing Reh. hutan mangrove 25 Ada Ada Ada Ada Ada Ada 1:5.000
14 Binusan Reboisasi+Penghijauan 75 Ada Ada Ada Ada Ada Ada td
15 Sedadap Hutan Rakyat 90 Ada Ada Ada Ada Ada Ada td
Keterangan:
RL = Risalah Lapangan; RK= Rincian Kegiatan; PK = Peta Kerja;
RTKP=Rencana Tata Waktu Pelaksanaan; RP = Rcn Pemeliharaan; PT = Pola Tanam;
RKB = Rincian Kebutuhan Biaya. Td = Tidak ada data
Tabel 4. Jenis dan luas areal kegiatan pada berbagai pola kerja RHL
Upah Kerja Peran
No Nama Lokasi Jenis Kegiatan Luas (ha) Pola Kerja
(Rp/HOK) Masyarakat
1 Lamin Malong Hutan rakyat 200 22.500 Kontraktor Regu Kerja
2 Kbg. Janggut Hutan rakyat 300 22.500 Kontraktor Regu Kerja
3 Jerang Melayu Kebun, hutan murni 025 25.000 Kontraktor Regu Kerja
4 Mendung Kebun, hutan murni 090 25.000 Kontraktor Regu Kerja
5 Gn. Menalit Reboisasi 575 25.000 Kontraktor Regu Kerja
6 Saqa Lotoq Reboisasi 025 25.000 Kontraktor Regu Kerja
7 Kota Bangun II Penghijauan 300 356.000/Ha Kontraktor Regu Kerja
8 Handil VIII Rehabilitasi mangrove 058 517.200/Ha Kontraktor Regu Kerja
10
9 Guntung Lai Hutan rakyat 160 20.000 Swakelola Regu Kerja
10 Sungai Siring Hutan rakyat 065 20.000 Swakelola Regu Kerja
11 Pampang Hutan rakyat 093 20.000 Swakelola Regu Kerja
12 Sangkimah Reh. hutan mangrove 200 25.000 Kontraktor Regu Kerja
13 Sekambing Reh. hutan mangrove 25 30.000 Swakelola Regu Kerja
14 Binusan Reboisasi dan Penghijauan 75 450.000/ha Kontraktor Regu Kerja
15 Sedadap Hutan Rakyat 90 450.000/ha Kontraktor Regu Kerja
Sebagian besar luas lahan yang dikelola secara teknis terlalu kecil dan tidak
efektif yang menyebabkan biaya pelaksanaan per satuan hektarnya cukup besar.
Kondisi seperti ini sangat wajar mengingat di tingkat pelaksanaan lapang ada beberapa
hal yang menjadi hambatan dalam penentuan lokasi kerja, diantaranya :
(1) untuk kegiatan RHL sangat sulit mencari areal yang luas dan bebas konflik,
(2) luas areal yang dimiliki para kelompok tani tersebar tidak satu kesatuan,
(3) kepercayaan sebagian besar para petani terhadap program kegiatan keproyekan
RHL seperti ini masih rendah sebagai akibat kurangnya sosialisasi,
(4) kegiatannya belum berorientasi pada output dan outcome,
(5) pelaksana kegiatan hanya mencari areal yang dekat, aksesnya mudah meskipun
secara teknis terkadang tidak memenuhi syarat untuk kegiatan RHL. (misalnya
membuat hutan rakyat pada lahan sawah).
Pada berbagai jenis kegiatan RHL seperti tabel di atas pola kerja sebagian besar
dengan sistem kontraktor dan peran masyarakat lebih layak disebut sebagai “regu
kerja” dari pada “kelompok tani”, hal ini dikarenakan dalam pelaksanaanya belum ada
upaya untuk mengembangkan kapasitas lembaga kelompok tani, melainkan baru
sebagai kepentingan prosedural yang harus ditempuh oleh pelaksana/kontraktor
sehingga masyarakat peserta program diperlakukan hanya sebagi buruh dengan upah
kerja sebesar Rp. 25.000 – 30.000/ha perhari orang kerja (HOK), untuk berbagai jenis
kegiatan diantaranya kegiatan penyiapan lahan, perintisan, penanaman maupun
pengangkutan bibit. Di beberapa lokasi yang dievaluasi meskipun pola kerja dilakukan
secara swakelola namun kendali kegiatan tetap dikendalikan oleh pimpro maupun
kontraktor. Contohnya untuk penyiapan bibit, alat kerja, pupuk dll tetap dipegang oleh
pelaksana meskipun terkadang harganya sangat tidak wajar, sedang petani tetap sebagai
tenaga buruh. Selain itu yang lebih memprihatinkan adalah belum adanya jaminan
terhadap kualitas bibit yang dikembangkan karena bibit yang telah ditanam tidak
memiliki sertifikat kualita bibit yang unggul. Dalam hal ini, penyedia bibit bersertifikat
pada umumnya belum dapat ditemukan.
11
Berdasarkan hasil skooring dengan penerapan kriteria dan indikator RHL dan
survey sosial diperoleh data informasi bahwa pada berbagai jenis kegiatan RHL
pemilihan jenis tanaman lebih partisipatif karena penentuan jenisnya ditentukan oleh
masyarakat dengan mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya aspek kesuburan
tanah, pengalaman masyarakat, nilai ekonomi serta peluang pasarnya. Jenis tanaman
yang dikembangkan serta hasil skoring dari penerapan kriteria dan indikator dapat
dilihat pada Tabel 5 dibawah ini.
Tabel 5. Hasil Skoring dengan Kriteria dan Indikator RHL serta Jenis Tanaman yang
Dikembangkan pada Berbagai Kegiatan RHL
Luas Hasil
No Nama Lokasi Jenis Kegiatan Jenis Tanaman Kriteria*)
(ha) Scoring
1 Lamin Malong Hutan rakyat 200 Mente, Kemiri Survey Belum
Sosial ditanam
2 Kbg. Janggut Hutan rakyat 300 Mente, Kemiri Survey Baru
Sosial disulam
3 Jerang Melayu Kebun, hutan murni 75 Kelompok Meranti, Karet Survey Sudah
Sosial ditanam
4 Mendung Kebun. Hutan murni 90 Kelompok Meranti, Karet Survey Sudah
Sosial ditanam
5 Gn. Menalit Reboisasi 575 Kelompok Meranti, Durian, Survey Konflik
Cempedak, Nangka Sosial lahan
6 Saqa Lotoq Reboisasi 25 Kelompok Meranti, Aren, 95,0 Sangat
Langsat, Durian baik
7 Kota Bangun II Penghijauan 300 Jati, Mahoni, Karet 80,0 Baik
Dari hasil skoring tentang realisasi fisik output di lapangan kondisinya sangat
bervariasi dari mulai kriteria jelek s/d sangat baik. Pada kondisi baik dan sangat baik,
berdasarkan hasil pengamatan terhadap umur tanaman belum dapat dijadikan ukuran
keberhasilan mengingat tanaman baru ditanam sehingga data penilaian di atas belum
12
dapat menyimpulkan keberhasilan penanaman karena pengukuran dilakukan beberapa
bulan setelah penanaman. Keberhasilan penanaman hanya ditentukan setelah tanaman
berumur 3-4 tahun setelah penanaman.
Kondisi kegiatan RHL dengan ketagori jelek diakibatkan oleh :
(1) sebagian besar tanaman mati atau merana,
(2) jarak tanam tidak sesuai dengan petunjuk teknis di lapang dan lebih banyak
dilakukan dengan cara memperbesar kondisi jarak tanam,
(3) lokasi penanaman tidak sesuai untuk kegiatan RHL misalnya menanam diareal
persawahan,
(4) Belum adanya realisasi penanaman karena diakibatkan oleh beberapa hal misalnya
kondisi lahan yang masih konflik,
13
Permasalahan sosial yang dijumpai di tingkat pelaksana adalah sangat sulit
mencari lokasi untuk kegiatan RHL yang luas, lahannya kritis, dan bebas konflik,
sehingga di beberapa tempat lokasi-lokasi transmigrasi merupakan sasaran target bagi
proyek RHL dengan pertimbangan arealnya satu kesatuan, masyarakatnya biasa
melakukan kegiatan penanaman, mudah diatur, mudah diajak kerjasama serta dapat
meningkatkan nilai ekonomi lahan diversifikasinya.
Beberapa kendala yang dihadapi oleh para pelaksana RHL di lapangan antara lain :
(1) dana DR yang jumlahnya miliaran tersebut murni untuk kegiatan fisik di lapangan
sedangkan dana pendampingan dan pembinaan kelompok tani disediakan oleh
masing-masing Pemerintah Kabupaten dan Kota yang besarnya sangat bervariasi,
(2) dana tersebut diusahakan harus habis dalam satu tahun anggaran, padahal dalam
pelaksanaannya sangat tergantung sekali kepada kondisi iklim,
(3) mekanisme pelaksanaan RHL mengacu kepada sistem keproyekan (Kepres 18)
yang belum tentu cocok dengan waktu pelaksanaan RHL karena kegiatan RHL
memiliki tahapan-tahapan tersendiri dari mulai penyiapan lahan, penanaman dan
pemeliharaan yang berbeda dengan pelaksanaan proyek fisik lainnya,
(4) sangat sulit mencari lokasi untuk kegiatan RHL yang luas, lahannya kritis, dan
bebas konflik,
(5) banyaknya alokasi dana peruntukan lain diluar RHL demi mengakomodir berbagai
kepentingan,
(6) beberapa kendala diatas banyak dijumpai saat penilaian di tingkat lapangan
sehingga sering dijadikan alasan apabila suatu kegiatan RHL gagal, biaya tinggi,
inefisiensi dll. Hal ini cukup berlasan mengingat kegiatan RHL yang di kelola
kabupaten dan kota yang didanai DAK-DR merupakan kegiatan yang pertama kali,
Berdasarkan hasil uraian di atas dan evaluasi di lapangan maka kegiatan RHL
yang didanai oleh DAK-DR tahun 2001 belum dilakukan secara efektif sehingga perlu
diusulkan beberapa solusi perbaikan yang perlu ditempuh dalam rangka menciptakan
mekanisme yang efektif seperti diuraikan berikut ini.
(1) Pendanaan DAK-DR harus bersifat multi-years, diusulkan 3-5 tahun karena
dalam kegiatan RHL terdapat beberapa tahapan dari mulai, penyiapan lahan,
penyiapan bibit, penanaman serta pemeliharaan yang semuanya tergantung pada
14
kondisi cuaca. Bila kondisi cuaca tidak memungkinkan jangan dipaksakan untuk
menanam hanya karena proyek harus berjalan kegiatan ini akan “Mubazir”
nantinya.
(2) Perlunya disusun Master Plan RHL (MPRHL) di masing-masing Kabupaten dan
Kota juga di tingkat Propinsi dengan mekanisme konsultasi publik berdasarkan
pertimbangan daerah-daerah lahan kritis prioritas RHL, sehingga jelas penentuan
daerah-daerah prioritas RHL dan tahapan kegiatan serta target yang akan dicapai
setiap tahunnya.
(3) Dalam DAK-DR tidak hanya 100% untuk kegiatan fisik tetapi sebesar 3-5%
dapat digunakan untuk dana pendampingan dan penguatan kapasitas petani
maupun dana umum lainnya yang berhubungan dengan kegiatan RHL.
(4) Dalam rangka meningkatkan pemberdayaan masyarakat maka kegiatan RHL
perlu dilakukan secara swakelola melalui penguatan kapasitas masyarakat
terlebih dahulu.
(5) kegiatan RHL yang karena alasan tertentu perlu dilakukan dengan sistem
keproyekan maka proses pembayarannya dilakukan sesuai dengan realisasi
tanaman setelah tanaman dinilai layak tumbuh oleh tim penilai. Dengan demikian
persentase pembayaran tidak harus selalu mencapai 100%, melainkan tergantung
prosentase tumbuh tanaman dan realisasi keluasan di lapangan.
(6) Perlu ditingkatkan kegiatan sosialisasi standarisasi biaya berdasar standar harga
lokal di masing-masing Kabupaten dan Kota yang ditetapkan oleh SK
Bupati/Walikota dalam rangka transparansi pelaksanaan RHL sehingga
masyarakat mengetahui biaya pelaksanaan RHL persatuan hektarnya dari mulai
jenis yang dikembangkan, harga bibit maupun nilai upah dari masing masing
tahapan kegiatan.
(7) Akuntabilitas harus didasarkan pada evaluasi yang berorientasi pada mutu hasil
(output dan outcome) sehingga Pemerintah Propinsi perlu menyusun dan
menerapkan kriteria dan indikator keberhasilan RHL ditinjau dari aspek
prosedural, teknis maupun sosial yang sifatnya mudah diaplikasikan di lapangan
dengan berbagai masukan dari para fihak. Draft mengenai hal tersebut telah
disusun oleh KKRHL Kalimantan Timur tinggal menumbuhkan kemauan untuk
mengesahkan dan mengaplikasikannya.
(8) Buat lembaga pendamping semacam KKRHL ditingkat Kabupaten yang
diharapkan menjadi mitra dalam mengevaluasi dan memberikan masukan bagi
15
keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan dimasing-masing Kabupaten dan Kota.
Saat ini di Kabupaten telah dibentuk KKRHL Kabupaten Kutai Kartanegara dan
Bulungan, sementara untuk Kabupaten Nunukan dan Berau masih dalam tahap
inisiasi.
IV. PENUTUP
(1) Berdasarkan hasil tinjauan dari aspek mekanisme kerja, realisasi di lapangan
serta aspek sosial di 17 lokasi kegiatan RHL diperoleh informasi bahwa kegiatan
RHL yang dilakukan berdasarkan pendanaan DAK-DR tahun 2001 di Propinsi
Kalimantan Timur belum dilaksanakan secara efektif dan efesien.
(2) Kegiatan pelaksanaan RHL di tingkat lapangan belum didukung oleh petunjuk
teknis maupun Masterplan RHL yang efektif sehingga munculnya berbagai
kendala teknis ditingkat petani dan pelaksana kegiatan di lapangan.
(3) Kegiatan RHL lebih banyak dilakukan dengan sistem keproyekan dan belum
sepenuhnya melibatkan peran aktif masyarakat. Pada kegiatan RHL yang sudah
berjalan masyarakat diposisikan sebagai tenaga buruh dan obyek kegiatan
sehingga untuk jangka panjang tidak ada jaminan terhadap persentase tumbuh
tanamannya.
Daftar Pustaka
Anonim. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35 tahun 2000 tentang
Dana Reboisasi.
Anonim. 2003. Luas Lahan Kritis Propinsi Kalimantan Timur Tahun 2003. BPDAS
Mahakam Berau, Samarinda, 2003
Anonim. 2003. Evaluasi Kriteria dan Indiokator Aspek Teknis Pada Kegiatan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Kalimantan Timur, KKRHL,
Samarinda 2003.
16