You are on page 1of 13

Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 2 No.

1 April 2004

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN LMU USHUL FIQIH DALAM LINTASAN SEJARAH Oleh: Muhri * Ushul Fikih pada masa Rasulullah hingga masa sahabat belum terkodifikasi sebagai disiplin ilmu, namun konsep-konsep umumnya telah ada. Konsep-konsep umum ini kemudian mengilhami lahirnya Ushul Fikih pada abad kedua hijriah. Pada periode tabiin ketika imam-imam mujtahid tersebar ke berbagai negeri Islam, perbedaan pengetahuan, pengalaman, dan sosio kultural di mana mereka tinggal juga menentukan lahirnya manhaj-manhaj yang berbeda. Tulisan ini hanya menyorot pertumbuhan dan perkembanagan Ilmu Ushul Fikih khususnya periode awal (Rasulullah, sahabat, dasn tabiin). Kata kunci : Istinbath, mujtahid, taqdm al-lm al-qathiy ala khabar alwahid, taqdm qaul ala fili. I. PENDAHULUAN Ushul Fikih mempunyai kedudukan yang sangat urgen dalam ilmu syari, karena hukum syari sebagian besar hanya mengatur permasalahan berupa prinsif-prinsif dasar tidak secara detailitas. Hal ini adalah wajar karena hukum syari itu berlaku sampai akhir zaman. Padahal di dalam kehidupan manusia selalu akan terjadi perubahan-perubahan tatanan sosial masyarakat, sehingga akan muncul pula permasalahan-permasalahan baru di dalam masyarakat. Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakalanya sudah ditemukan nashnya yang jelas dalam kitab suci Al-Quran atau Sunnah Nabi, tetapi adakalanya yang ditemukan dalam Al-Quran atau Sunnah Nabi itu hanya berupa prinsif-prinsif umum. Untuk pemecahan permasalahan-permasalahan baru yang belum ada nashnya secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum, yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam Al-Quran atau Sunnah. Dengan jalan istinbath itu hukum Islam akan senantiasa berkembang seirama dengan terjadinya dinamika perkembangan masyarakat.
Dosen Fakultas Syariah IAIN Antasari, Sekretaris Kopertais Wilayah XI Kalimantan.
*

73

Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 2 No.1 April 2004

Bagi seseorang yang hendak melakukan ijtihad, maka ilmu ushul fikih mutlak diperlukan karena ia merupakan alat atau bahan acuan dalam melakukan istinbath hukum. Unsur-unsur penunjang ilmu ushul fikih itu yaitu: ilmu kalam, bahasa Arab dan taawur al-ahkm al-syariat. Ilmu Kalam yaitu yang membahas pokok-pokok agama yang berorientasi kepada meng-Esa-kan Allah SWT yang menurunkan syariat, rasul-rasul yang membawa syariat itu khususnya Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu apa yang bersumber daripada-Nya dan nabi-Nya menjadi sumber tasyri yang dapat memberikan pemahaman tentang hukum. Keterkaitan antara ushul fikih dengan ilmu kalam itu sangat jelas dan erat, karena ushul fikih terkait dengan masalah-masalah yang berdasarkan prinsif-prinsif kalamiyah, seperti pembahasan tentang dalildalil, pembagian dalil, pembagian ilmu dan dzanny, mengetahui dalil-dalil dan tinjauannya, pembuat hukum apakah berdasarkan aqli atau berdasarkan syara, pembahasan tentang baik dan buruk dalam hubungannya dengan hukum taklif. Demikian pula tentang pembicaraan segi-segi makna lafaz baik yang bersifat perintah atau larangan dan lain sebagainya yang berhubungan dengan pembahasan kalamiyah juga menjadi bahan kajian dalam ilmu ushul fikih. i Sedang bahasa Arab juga salah satu yang sangat fundamental dan esensial buat mengantarkan kepada pemahaman yang sempurna terhadap hukum syara yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Sunnah. Al-Quran dan Al-Sunnah adalah dwi tunggal sumber tasyri utama yang keduanya berbahasa Arab. Oleh sebab itu orang akan mendapat kesulitan dalam mengistinbath hukum dari Al-Quran dan Sunnah apabila tidak memahami bahasa Arab, seperti lafaz am dan khash, muthlaq, muqayyad, musytarak dan wadhih, pengertian lafaz menurut ibarat dan terjadinya seperti lafaz hakikat dan majaz, sharih dan kinayah dan seterusnya. ii Adapun unsur ketiga yaitu tashawurul-ahkam yakni penggambaran tentang pengertian-pengertian wajib, nadab, tahrim, karahat dan ibahat dihubungkan dengan dalil-dalil yang menunjukinya. iii Disiplin ilmu apapun yang akan dipelajari, belumlah lengkap tanpa mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangannya. Sejarah adalah rentetan peristiwa-peristiwa masa lalu yang bersifat monomental, baik tertulis atau tidak tertulis. Konteksnya dengan pembahasan tulisan ini yaitu tentang Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Ushul Fikih dalam Lintasan Sejarah maksudnya adalah kondisi-kondisi yang nampak pada awal pertumbuhan ushul fikih untuk selanjutnya menuju kepada perkembangan yang lebih konkrit. 74

Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 2 No.1 April 2004

Dari sini tergambar bahwa yang menjadi tujuan tulisan ini ialah untuk mengungkap sejarah pertumbuhan dan perkembangan ushul fikih berikut metode-metode istinbath hukum yang digunakan. Bertolak dari latar belakang yang dikemukakan di atas, maka permasalahan pokok dalam tulisan ini dapat dirumuskan; Bagaimana ushul fikih pada awal pertumbuhan dan perkembangannya, serta metode apa saja yang dipergunakan dalam istinbath hukum. Mengingat ruang lingkup pembahasan sejarah pertumbuhan dan perkembangan ushul fikih ini cukup luas, maka paparan dalam tulisan ini hanya dibatasi sejak masa Rasul sampai masa tabiut tabiin hingga munculnya aliran ushul fikih. II. PERIODESASI DAN METODE A. Periode Rasulullah SAW Ushul fikih tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya fikih. Dimana terdapat fikih disitulah terdapat manhaj al-istinbath. Dimana terdapat manhaj al-istinbath disitulah terdapat ushul fikih. Ushul fikih sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana yang kita kenal sekarang ini pada masa Rasulullah SAW belum dikenal. Hal ini dapat dimengerti karena pada masa itu Rasulullah SAW dalam memberikan fatwa dan menetapkan hukum dapat secara langsung mengambil nash Al-Qurn yang diwahyukan kepadanya atau beliau menjelaskan dengan sunnahnya yang pada hakikatnya juga merupakan wahyu. Di samping itu, beliau juga berijtihad dalam menetapkan hukum yang dilakukan secara naluri. Artinya, dilakukan tanpa memerlukan kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai pedoman dalam mengistinbath-kan hukum dan berijtihad. iv Pada masa Rasulullah SAW ushul fikih seperti sekarang ini belum diperlukan, sebab Rasulullah SAW dan para sahabat dapat memahami secara langsung hukum yang ditetapkan Al-Quran. Rasulullah SAW pada masa hayatnya menempati posisi sentral, beliau sebagai muballigh, peletak syariat, pemberi penjelasan (mufassir), pemberi fatwa, qadhi dan imam. Sehubungan dengan itu Abul Abbas alQurafi pernah berkata: Ketahuilah: bahwasanya Rasulullah SAW itu seorang pemimpin yang agung, seorang qadhi yang memutuskan hukum, seorang mufti yang paling tahu. Beliau juga penghulu dari para imam, seorang qadhi yang menegakkan hukum, orang yang paling alim. Maka

75

Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 2 No.1 April 2004

kehormatan keagamaan itu hanya diberikan kepadanya dan di dalam risalahnya oleh Allah .... v Risalah yang beliau terima dari Allah SWT kemudian disampaikan kepada umat manusia untuk menegakkan kemaslahatan dan menolak kerusakan guna terciptanya suasana kehidupan yang harmonis dalam tatanan pergaulan sosial. Nabi Muhammad SAW disamping sebagai penyampai risalah, beliau juga pemberi fatwa dan sekaligus sebagai legislator yang berdasarkan wahyu Tuhan dan atau penjelasan-penjelasan dari beliau sendiri melalui sunnahnya tanpa memerlukan kaidah-kaidah ushul sebagaimana yang diciptakan oleh para ulama kemudian. Dengan demikian pada periode Rasul SAW ini sumber hukum ada dua yaitu: Al-Quran dan Sunnah Nabawiyat yang berfungsi sebagai bayan terhadap Al-Quran, baik sebagai bayan tafsir, bayan taukid, bayan taqrir maupun bayan tasyri. B. Periode Sahabat Kalau pada masa Rasulullah SAW masih hidup, para sahabat dapat bertanya langsung kepada beliau tentang persoalan-persoalan yang dihadapi, namun sepeninggal beliau muncul persoalan-persoalan baru yang tadinya belum pernah dialami. Untuk menentukan hukum terhadap persoalan-persoalan baru itu para sahabat memberikan fatwa dan menetapkan hukum pada dalil-dalil nash yang mereka pahami berdasarkan kemampuan mereka dalam memahami bahasa Arab tanpa memerlukan kaidah-kaidah bahasa yang dijadikan pedoman dalam memahami nash. Mereka juga menetapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak dijumpai nashnya secara langsung dengan berdasarkan kemampuan mereka dalam memahami perkembangan pembinaan hukum Islam lantaran pergaulan mereka dengan Nabi SAW. Disamping itu, mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan wurud-nya hadis nabi. Mereka memahami tujuan dan dasar-dasar pembentukan hukum. Para sahabat mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang Al-Quran, Al-Sunnah, bahasa Arab dan sebab-sebab turunnya, rahasiarahasia dan tujuan syara. Pengetahuan ini disebabkan karena pergaulan mereka dengan Rasulullah SAW dan dapat menyaksikan kasus-kasus yang terjadi disamping kecerdasan mereka sendiri. Karena itu, mereka tidak memerlukan peraturan-peraturan dalam meng-istinbath-kan hukum seperti halnya mereka tidak memerlukan kaidah-kaidah untuk mengetahui bahasa Arab. Dengan demikian pada periode ini ushul fikih seperti yang sekarang juga belum dikenal karena memang belum dibutuhkan. Walaupun

76

Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 2 No.1 April 2004

demikian para sahabat telah menggunakan manhaj-manhaj tertentu dalam istinbath hukum misalnya tentang: 1. Larangan atau al-Nahyu: apakah larangan disini menunjukkan haram atau hanya makruh, seperti hadis yang menyatakan:

Hadis ini melarang menghadap kiblat atau membelakanginya ketika kencing atau ketika buang kotoran. Dalam memahami hadis ini di satu pihak ada sahabat yang menganggap hadis ini bersifat umum dan tidak mansukh, tetapi di pihak lain berpendapat bahwa hadis ini telah di-mansukh dengan alasan: Jabir selama satu tahun sebelum wafatnya kencing menghadap kiblat, begitu pula Ibnu Umar kencing atau buang kotoran membelakangi kiblat menghadap ke Syam. vi Dari dua hal yang kontroversial ini, di satu sisi melarang menghadap kiblat atau membelakanginya, namun pada sisi lain ada sahabat yang menghadap atau membelakanginya. Oleh karenanya larangan di sini hanya berstatus karahat. 2. Mereka menetapkan lafaz yang umum dari Al-Quran atau kecuali ada dalil yang menunjukkan kepada khusus argumentasi yang dikemukakan Umar r.a. kepada Abu Bakar membunuh orang yang enggan mengeluarkan zakat mengatakan: Sunnah seperti: tentang dengan

Argumentasi Umar ini kemudian dijawab oleh Abu Bakar dengan menjelaskan bahwa dalam hadis nabi itu ada istina yaitu ( ,)maksudnya orang yang enggan mengeluarkan zakat berhak untuk dibunuh. vii 3. Dalam bentuk lain mereka menetapkan bahwa keumuman ayat AlQurn dapat dikhususkan oleh hadis, seperti kasus Abdullah Ibnu Umi Maktum seorang sahabat yang buta, ia datang kepada Nabi SAW sehubungan dengan turunnya ayat:

77

Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 2 No.1 April 2004

lantas ia berkata: Bagaimana wahai Rasulullah orang mukmin yang memang tidak bisa untuk berjihad? Lalu Nabi SAW menjawab dengan

Demikianlah para sahabat ra. membahas hukum-hukum syara dengan berdasarkan Al-Quran atau Sunnah. Apabila tidak ada ditemukan nash dari Al-Quran atau Sunnah, mereka mempergunakan ijtihad. viii Ijtihad di sini termasuk di dalamnya qiyas, misalnya; Ali ra. Menetapkan hukuman orang peminum khamar dengan 80 kali pukul. Ali dalam hal ini meng-qiyas-kan mabuk kepada qazaf dengan perkataannya:

Apabila dia minum, dia mabuk. Apabila dia mabuk dia tidak terkontrol omongannya (qazaf). Sedang hukuman qazaf menurut hadis 80 kali pukul, oleh karena itu peminum khamar hukumannya juga 80 kali. ix Metode ijtihad yang lain misalnya dengan cara: Men-taufiq-kan dua dalil, seperti ayat:


dengan ayat :


Ayat pertama menjelaskan bahwa seorang perempuan yang mengandung dan menyapihnya selama selama 30 bulan, sedang ayat kedua menjelaskan bahwa perempuan-perempuan itu hendaknya menyusukan anaknya selama dua tahun. Dengan demikian 30 bulan kurang dua tahun sama dengan enam bulan, maka sahlah anak itu untuk dinisbatkan kepada bapaknya. x Bentuk metode ijtihad yang lain lagi yaitu: mendahulukan sebagian dari nash-nash yang lain apabila pada dzahir-nya berlawanan, baik dengan cara men-takhshish atau me-nasakh nash yang terdahulu karena ada nash yang datang kemudian. Termasuk dalam pembahasan ini misalnya: a. Mendahulukan ayat Al-Quran yang qathi atas khabar Ahad Contoh taqdmul am al-Qathiy ala khabaril wahid ini seperti yang diriwayatkan oleh ahli ushul bahwa pada suatu hari Fathimah binti Qaisyi bersaksi (melaporkan) kepada Umar bin Khattab bahwa ia telah diceraikan oleh Rasulullah, namun ia tidak diberi nafkah dan tempat tinggal. Umar menolak kesaksian perempuan ini dengan berpegang kepada ayat 1 surat Ath-Thalak yang berbunyi:

78

Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 2 No.1 April 2004

dan ayat 6 surat Ath-Thalak:


Kedua ayat ini menjelaskan tentang haramnya mengeluarkan perempuanperempuan yang dalam keadaan cerai raji dan dia masih berhak untuk mendapatkan nafkah dari suami. Karena itu Umar menolak kesaksian perempuan tadi dengan mendahulukan ayat Al-Quran yang qathi atas khabar Ahad. xi b. Dengan mendahulukan perkataan atas perbuatan (taqdm al-qaul ala alfili), seperti hadis dari Nafi yang menceritakan bahwasanya Ibnu Umar pernah menyewakan tanah pertaniannya pada zaman nabi hingga sampai masa Abu Bakar, Umar dan Utsman bahkan sampai masa khalifah Muawiyah. Pada akhir masa kekhalifahan Muawiyah, Rafii bin Khadij menceriterakan bahwa Rasulullah melarang menyewakan tanah perkebunan semacam itu, kemudian Ibnu Umar tidak lagi menyewakan tanah perkebunannya sesudah itu. Menyewakan tanah adalah perbuatan, larangan nabi adalah perkataan. c. Bentuk lain yang juga ditempuh sahabat yaitu: Mentakhshish Al-Quran dengan Khabar Ahad (takhshish al-Quran bi khabar al-Whid) misalnya: Utsman bin Affan menetapkan bahwa perempuan yang dicerai khulu sucinya hanya satu kali haid, dan tidak ada iddah sebagaimana cerai yang lain. Utsman berpendapat bahwa cerai khulu itu sama dengan fasakh, walaupun ada ayat yang menjelaskan iddah itu harus tiga kali suci (tsalatsata qur-in). Hadis di atas adalah takhshish dari ayat tsalatsata qur-in. Demikian menurut Utsman dan yang mengikutinya. Sementara yang tetap berpegang wajib iddah itu tiga kali suci atau haid karena nash Al-Quran tidak bisa ditinggalkan dengan sebab adanya khabar Ahad. xii d. Bentuk selanjutnya yaitu; me-nasakh yang terdahulu dengan yang datang kemudian. Seperti iddah wanita hamil yang suaminya meninggal. Dalam hal ini kalangan sahabat berbeda pendapat. Menurut Ali dan Ibnu Abbas, iddah wanita itu dari empat bulan sepuluh hari, artinya empat bulan sepuluh hari ditambah setelah ia melahirkan. Tetapi menurut Umar, Ibnu Majlis Taklim Abdan Syakuraud, Ibnu Umar, Abu Masud al-Badri dan Abu Hurairah, iddah-nya cukup setelah ia melahirkan (iddah hamil) dengan alasan ayat 4 surat AthThalak :


79

Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 2 No.1 April 2004

yang dinamai surat al-Nis Shugra turunnya kemudian daripada ayat 228 surat al-Baqarah yang dinamai surat al-Nisa Kubra yang berbunyi: Ini mengisyaratkan kepada prinsif bahwa yang datang kemudian menasakh yang datang lebih dahulu. Demikianlah beberapa bentuk metode yang ditempuh para sahabat dalam menuangkan hukum walaupun hasil tidak mesti sama antara satu dengan yang lain. Keragaman pendapat di kalangan sahabat itu adalah hal yang wajar, karena tingkat kemampuan mereka dalam memahami ayat Al-Qurn atau hadis nabi juga berbeda. Sudut pandang dan tinjauan merekapun tidak mesti sama. Di sinilah letaknya dinamika hukum Islam dan adanya peluang bagi para sahabat untuk melakukan kreatifitas ijtihadnya. Dapat disimpulkan bahwa pada periode sahabat ini sumber tasyri terdiri atas; Al-Qurn, al-Sunnat Nabawiyat dan Ijtihad. C. Periode Tabiin Setelah periode sahabat berlalu, kemudian diteruskan oleh periode berikutnya yaitu tabiin. Pada periode ini imam-imam mujtahid telah tersebar ke beberapa negeri dan telah terpengaruh pula oleh lingkungan serta cara berpikir yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap pola penetapan hukum. Karena itulah masing-masing mujtahid melakukan ijtihad menurut metodenya sendiri yang dianggap benar. Pada periode ini golongan tabiin harus bertindak sebagai mufti. Di Madinah misalnya tampil bintang-bintang ulama terkenal dengan sebutan fuqaha sabah yaitu; Said bin Musayyab, al-Qasim bin Muhammad, Urwah bin Zaid, Kharijah bin Zaid, Abu Bakar bin AbdirRahman, Sulaiman bin Yassar dan Ubaidillah bin Utbah bin Mas'ud. Sedang di Kufah muncul pula mufti-mufti yang memiliki reputasi mengagumkan seperti; Al-Qamah bin Qais an-Nakhai, Aswad bin Yazid an-Nakhai, Amr bin Syurahbil al Hamdani, Syuraih bin Harits al-Qadhi dan lainnya. xiii Di hadapan mereka terbentang kitab suci, sunnah Rasul dan fatwa sahabat serta keharusan mengembalikan segala hukum kepada kitab suci dan sunnah Rasul. Mulai periode ini nampaklah manhaj-manhaj yang ditempuh mereka secara lebih nyata dan jelas daripada dua periode sebelumnya. Aliran-aliran fikih yang tumbuh pada periode ini membuat metode80

Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 2 No.1 April 2004

metode tersendiri yang berbeda satu sama lain. Fuqaha-fuqaha Madinah memperhatikan maslahat mursalat apabila tidak menemukan nash. Golongan ini dipengaruhi oleh pemikiran Umar bin Khattab dan sahabat lain yang mempergunakan manhaj ini. Fuqaha di Kufah-Irak menggunakan qiyas mengikuti jejak Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas'ud. Kedua sahabat ini banyak menggunakan qiyas. Perbedaan metode dalam menetapkan hukum tersebut akhirnya melahirkan aliran-aliran tertentu yang dikenal dengan aliran Ahli Hadis dengan tokohnya Imam Malik yang berpusat di Madinah dan aliran Ahli Qiyas yang berpusat di Kufah dengan tokoh utamanya Imam Abu Hanifah. Kaidah-kaidah istinbath yang telah dipegangi oleh para mujtahid baik pada masa sahabat maupun masa tabiin merupakan cikal bakal lahirnya ushul fikih yang pada gilirannya menjadi satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada periode tabiin ini sumber tasyri terdiri atas; Al-Qurn, Sunnah Rasul, Aqwalush Shahabat dan Ijtihad. Dalam perkembangan berikutnya, Imam al-Syafii tampil untuk meletakkan pedoman dan kerangka berpikir yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Metode berpikir yang dirumuskan Imam alSyafii itulah yang kemudian disebut dengan Ushul Fiqh. Imam al-Syafii dinilai sebagai orang pertama membangun ilmu ushul fiqh dalam kitab al-Risalah-nya. Meskipun sebelum itu telah muncul imam-imam mujtahid yang merumuskan metode fiqh, namun ketika itu belum tersusun secara sistematis sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Metode berpikir al-Syafii itu kemudian dikembangkan oleh pengikut-pengikutnya secara utuh, sementara ulama Hanafiah mengambil sebagian pemikiran al-Syafii dengan pengembangan konsep istihsan dan urf. Kelompok Malikiyah juga demikian dengan pengembangan konsep Maslahat Mursalah dan Sad al-Dzarai. Dengan demikian konsep yang dikembangkan itu, pada perkembangan berikutnya melahirkan aliran-aliran ushul fiqh yang berbeda. III. ALIRAN-ALIRAN USHUL FIKIH Abad kedua hijriyah yang dikenal dengan nama masa tabiit tabiin dan imam-imam mazhab seperti Malik bin Anas yang terkenal ahli hadis dengan kitabnya al-Muwatha, Imam Abu Yusuf seorang faqih di Irak, Abu Hanifah, Asy Syafii dan Ahmad bin Hanbal. Pada periode inilah dimulai gerakan pembukuan sunnah, fikih dan cabang-cabangnya.

81

Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 2 No.1 April 2004

Seperti dikemukakan, ushul fikih dikenal sebagai suatu cabang ilmu yang berdiri sendiri juga lahir padaabad kedua hijriyah atau masa tabiittabiin yaitu dengan hadirnya kitab al-Risalah hasil karya monomental dari Imam Asy-Syafii (wafat 204 H). Dengan kehadiran kitab al-Risalah, mulailah para ulama berlomba menyusun ilmu ushul fikih sehingga ia lebih berkembang menuju kepada kesempurnaannya. Imam-imam mujtahid dalam menyusun kaidah-kaidah istinbath hukum ada yang mengikuti jejak yang telah ditempuh oleh Asy-Syafii dan ada pula yang membuat kaidah atau istilah-istilah dan metode tersendiri. Dari sinilah kemudian lahirnya aliran-aliran ushul fikih yang pada dasarnya ada dua aliran yaitu: Aliran Kalamiyah dan aliran Hanafiyah. Aliran Kalamiyah dalam pembahasan ushulnya biasanya mengikuti cara-cara pembahasan yang ditempuh oleh ulama kalam. Pembahasan mereka didasarkan kepada penerapan kaidah dan alasan-alasan yang kuat dalam menetapkan kaidah-kaidah itu tanpa terikat apakah kaidah itu sesuai dengan pendapat imam mazhabnya atau tidak, apakah sesuai dengan furu yang telah berjalan dan berkembang dalam mazhabnya atau tidak. Selama mereka menganggap bahwa kaidah-kidah yang ditetapkan dan alasan-alasan itu kuat, itulah yang mereka pegang terlepas sesuai atau tidak dengan mazhabnya. Yang termasuk aliran ini kebanyakannya para ulama ahli ushul fikih dari golongan Syafiiyah dan Malikiyah. xiv Sedang aliran Hanafiyah, dalam pembahasan ushulnya berangkat dari kasus-kasus atau soal-soal furuiyah yang terjadi dan berusaha menyesuaikan dengan yang telah disepakati oleh imam mazhab mereka. xv Apabila kaidah-kaidah tersebut bertentangan dengan soal-soal furu maka kaidah itu diubah sehingga sesuai dengan furu tersebut. Dengan demikian ushul dari aliran Hanafiyah ini banyak berisi hukum furu, karena furu itulah yang menjadi dasar bagi pembentukan kaidah-kaidah yang ditetapkannya. Di samping dua aliran di atas, ada pula aliran ushul fikih yang berusaha mengkombinasikan kedua aliran itu yang biasa disebut thariqah aljaman atau aliran konvergensi. Aliran ini, dalam konteks tertentu cenderung kepada aliran kalam (tradisional), namun pada kasus lain cenderung kepada aliran rasionalisme Hanafiyah. Di antara tokoh aliran yang disebut terakhir yakni Imam Kamal alDin bin al-Humam dengan kitabnya al-Tahrir dan Tajuddin Abdul Wahab alSubhi dengan kitabnya Jamul-Jawmi. Kemudian pada abad ke-8 Hijriyah tampil Imam al-Syathibi (w. 790 H) yang memberi warna baru di bidang ushul fikih dengan kitabnya al-Muwfiqt fi Ushul al-Syariah. Dalam kitab ini, di samping diuraikan berbagai kaidah yang berkaitan dengan aspek-aspek kebahasaan juga dikemukakan tujuan-tujuan syara dalam menetapkan 82

Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 2 No.1 April 2004

hukum. Kitab ini dinilai sebagai kitab ushul fikih yang komprehensif dan akomodatif untuk saat ini. xvi IV. KESIMPULAN Kaidah-kaidah yang menerangkan metode-metode yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum-hukum amali dari dalil-dalil yang tafshili yang selanjutnya disebut ushul fikih pada masa Rasulullah hingga masa sahabat masih dalam bentuk yang sangat bersahaja. Pada waktu itu ushul fikih belum terkodifikasi secara sempurna sebagaimana layaknya sebuah disiplin ilmu, hal ini karena memang situasi dan kondisi yang menghendaki demikian. Kendati begitu adanya kita tidak dapat memungkiri bahwa rumusan atau konsep-konsep umum yang pernah dipraktikkan pada masa rasul, sahabat dan tabiin sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan ushul fikih sesudahnya termasuk yang mengilhami penyusun pertama ilmu ushul fikih tersebut pada abad kedua hijriyah dan pada abad-abad berikutnya. Perbedaan konsep yang dikembangnkan oleh para ulama ushul fikih, pada perkembangan berikutnya melahirkan adanya aliran-aliran ushul fikih yang berbeda yaitu aliran kalamiyah (tradisional), aliran furuiyah (rasional) dan aliran konvergensi yaitu aliran yang mengkompromikan antara aliran tradisional dan rasional.

83

Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 2 No.1 April 2004

DAFTAR CATATAN KAKI Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, Al-Fikr al-Ushul, Darusy-Syuruq, Jeddah, 1983M/1403H, h. 23 ii Vide, Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Dar al-Fikr, Mesir, h. 225-326 iii Abdul Wahab Ibrahim, Op. Cit., h. 25 iv Abdul Wahab Khallaf, Op. Cit., h. 16 v Vide, Abdul Wahab Ibrahim, Op. Cit., h. 21 vi Ibid., h. 30 vii Ibid. viii Muhammad Hudhari Bik, Ushul Fikih, Dar al-Fikr, Mesir, 1969M/1384H, h. 4 ix Muhammad Abu Zahrat, Ushul Fikih, Dar al-Gazali, Mesir, h. 11 x Abdul Wahab Ibrahim, Op. Cit., h. 32 xi Ibid., h. 30 xii Ibid. xiii Ibid., h. 44, dan lihat pula H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, h. 37 xiv Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri al-Islamiy, Dar al-Maarif, Mesir, 1964, h. 18; lihat pula: Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, h. 12-13 xv Ali Hasaballah, Loc. Cit xvi Vide, Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Rajawali Pers, Jakarta, 1993, h. 109-110; dan bandingkan dengan Nasrun Haroen, Op. Cit., h. 1314
i

84

Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 2 No. 1 April 2004

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, Al-Fikr al-Ushul, Darusy-Syuruq, Jeddah, 1983M/1403H. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dar al-Fikr, Beirut, t.th Abu Zahrat, Muhammad, Ushul Fiqh, Dar al-Gazali, Mesir, 1973. Hasaballah, Ali, Ushul al-Tasyri al-Islamiy, Dar al-Maarif, Mesir, 1964, Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997. Hudhari Bik, Muhammad, Ushul Fikih, Dar al-Fikr, Mesir, 1969M/1384H. Syarifuddin, Amir, H., Ushul Fiqh I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997. Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Rajawali Pers, Jakarta, 1993.

85

You might also like