You are on page 1of 5

Aspek Psikologis dari Permainan Anak Tradisional:

Engklek Kendalikan Diri, Betengan Asah Kerja Sama


26 Oktober 2008 No Comment

Pesatnya perkembangan teknologi informasi (TI) menggusur permainan tradisional.


Anak-anak sekarang lebih banyak permainan berbasis TI. Permainan tradisional pun
kini sudah ditinggalkan. Bahkan, anak-anak banyak yang tidak tahu beragam permainan
tradisional yang dulu diwariskan turun temurun.

Cuaca di sekitar gedung Dome UMM kemarin sore terlihat cerah. Sekitar dua belas anak
dari Panti Asuhan TPQ Al Hilal Malang terlihat duduk-duduk santai. Sambil menikmati
suasana sore, mereka menunggu tiga dosen UMM, Iswinarti, Siti Suminarti F -keduanya
dosen fakultas psikologi- dan Sulismadi, dosen Fisip. Sengaja anak-anak itu diundang
untuk memeragakan salah satu permainan tradisional. Namanya krupukan.

Setelah lengkap, permainan pun dimulai. Seperti sudah hafal di luar kepala, anak-anak
tersebut begitu cekatan memeragakannya. Pertama, mereka menetapkan dua rekannya
yang bertugas sebagai penjaga. Yang ditunjuk adalah Dea dan Rara. Mereka lantas
berembuk menentukan nama kelompok. Dea memilih Leci dan Rara menggunakan nama
Manggis. Selanjutnya keduanya merentangkan kedua tangannya ke atas dengan posisi
kedua tangan saling menyatu.

Rekan-rekannya yang lain mendendangkan lagu krupukan sambil berjalan memegangi


bahu teman di depannya. Barisan mengular ini melewati di bawah rentangan kedua
pemain yang bertugas sebagai induk. Lagu berhenti, kedua tangan si induk diturunkan
untuk menangkap temannya. Anggota yang tertanggap disodori untuk memilih masuk
Leci atau Manggis. Begitu seterusnya sampai para pemain habis.

Kedua kelompok terbentuk meski dalam jumlah tidak seimbang dan akhirnya memasuki
permainan puncak. Kedua kelompok tersebut saling menarik dengan cara saling
berpegangan tangan. Sedangkan teman-temannya berbaris memeluk perut teman yang
berada di depannya. Suara canda tawa mewarnai permainan ini untuk mempertahankan
agar tidak ada pemain yang lepas. Dan, pemenangnya adalah kelompok yang bisa
melepaskan pemain dari kelompok lawan.

Ya, permainan yang diperagakan sejumlah anak-anak tersebut di kota-kota memang


sudah sulit didapati. Anak-anak era sekarang barangkali juga sudah tidak mengenalnya.
Berangkat dari kondisi sekarang, tiga dosen UMM melakukan kajian terhadap permainan
tradisional melalui penelitian Permainan Anak Tradisional Sebagai Model Peningkatan
Kompetensi Sosial Anak Usia Sekolah Dasar. .

Iswinarti, selaku ketua tim peneliti, bersama dua dosen lain, Suminarti dan Sulismadi,
sudah dua tahun melakukan penelitian yang didanai Ditjen Dikti tersebut. Hasil penelitian
tahap dua diharapkan menghasilkan buku pedoman permainan tradisional yang dapat
meningkatkan kompetensi sosial anak.

Hanya saja, serangkaian penyempurnaan penelitian dihadapi ketiganya pada 6-8


November. Mereka akan mempresentasikan dalam seminar internasional yang diadakan
Lemlit (Lembaga Penelitian) UMM. “Kami tidak tahu, di seminar internasional nanti
siapa saja yang hadir. Presentasi di seminar nasional sudah kami lakukan beberapa waktu
lalu. Kami mendapatkan banyak masukan,” ucap Ketua Tim Iswinarti. Harapannya, di
seminar internasional nanti karyanya mendapat masukan sehingga lebih
menyempurnakan sebelum dijadikan dalam bentuk buku pedoman.

Penelitian tahun pertama telah menghasilkan Buku Panduan Permainan Tradisional untuk
Anak Usia Sekolah Dasar beserta analisis manfaat psikologisnya. Buku tersebut dengan
mengindentifikasi 18 permainan tradisional beserta nama dan variasinya. Berdasarkan
hasil eksplorasi, setiap permainan tradisional mempunyai nama lebih dari satu. Misalnya,
krupukan. Sebut saja di Jawa dan Bengkulu dikenal permainan ular naga, sleboran
(Gresik), dor salindor (Madura), wak-wak gong (Jakarta), oray-oray (Bandung), jamuran
(Sunda), tam-tam (Sumatera Selatan), lemon nipis (Irian Jaya), dan teng bukuk (Sumatera
Selatan). “Jadi permainan tradisional ini di setiap daerah ada, hanya namanya saja
berbeda,” ungkap ibu tiga anak ini.

Nama permainan tradisional lain yang berhasil diidentifikasi adalah cician, congklak lidi,
cublak-cublak suweng, dam-daman, dingklik oglak-aglik, goak-goakan, isutan jarat,
keng-keng, ketek karet, landar-lundur, lelade, maen kemereh, mpa’a isi mangge, penteng,
tepuk nyamuk, Tokyo. Sementara variasi nama dan prosedur paling banyak ada pada
permainan pada engklek. “Sebenarnya ada 34 jenis permainan. Namun, saat ini hanya 18
yang berhasil diidentifikasi,” ujar Iswinarti.

Iswinarti menjelaskan, permainan tradisional erat kaitannya dengan fungsi psikologis


perkembangan anak. Tak sekadar memberi perasaan senang, fungsi kognitif, dan sosial.
Tapi ada aspek emosional yang dikedepankan. “Karena permainan tradisional itu
berkelompok, maka dapat meningkatkan afiliasi dengan teman sebaya, kontak sosial,
konservasi, dan ketrampilan sosial,” tambah Suminarti.

Lebih penting lagi dapat menggali aspek-aspek kompetensi sosial yang meliputi problem
solving, pengendalian diri, empati, dan kerja sama. “Permainan anak sekarang terlalu
banyak dijejali permainan dari industri barat. Pengaruh negatifnya lebih banyak, karena
mengarah pembentukan sifat ego-sentris karena terlalu asyik bermain sendiri dan kurang
berhubungan dengan orang lain,” ucapnya.

Aspek problem solving, lanjut Suminarti, anak akan belajar mengatur strategi untuk
mengalahkan lawan ketika mereka bermain dalam permainan-permainan kelompok.
Misalnya pada permainan betengan, sepak tekong, dan gembatan. Bersama teman
sekelompoknya, anak belajar bagaimana mengatur agar kelompoknya tidak curang.
Mereka juga mencari pemecahan masalah ketika kelompok mereka berada pada posisi
yang kalah.
Kemampuan anak dalam mengambil keputusan juga tampak ketika anak bermain wak-
wak gong. Dalam permainan ini anak harus memilih untuk ikut kelompok di antara dua
kelompok yang ada. Anak juga belajar mengambil keputusan memilih batu mana yang
akan diambil lebih dahulu dalam permainan slentik. “Bermain dakon, anak belajar
memilih biji bekel yang akan diambil terlebih dahulu,” ucapnya. Pelatihan konsentrasi
agar tugas bisa selesai dengan baik dijumpai ketika anak bermain engklek, enthik,
kelereng, dan ketek karet.

Permaian tradisional juga mampu mengasah aspek pengendalian diri. Yakni, kemampuan
anak untuk menunda kepuasan, bisa bersabar, tidak mudah tersinggung. Anak bisa belajar
untuk berhati-hati dan berkonsentrasi untuk bisa mengendalikan diri. Perlu dicermati
juga, secara umum hampir semua permainan tradisional yang berbentuk games akan
melatih anak untuk belajar menunda kepuasan. Karena mereka harus mengikuti aturan-
aturan yang telah disepakati, sehingga tidak bisa begitu saja memperoleh kemenangan.

“Anak akan belajar berkonsentrasi dan berhati-hati ketika dia bermain engklek. Ketika
anak harus melompat dengan satu kaki, membawa gaco di tangan sambil engklek ataupun
menaruh gaco di atas kepala sambil engklek,” sambung Sulismadi.

Dengan permainan tradisional itu, pada dasarnya anak melatih diri untuk berkonsentrasi
dan mengendalikan diri. Kemampuan-kemampuan tersebut akan banyak dilakukan anak
ketika mereka bermain batu taba, kelereng, dan enthik.

Dari hasil penelitian ini juga didapatkan hampir semua permainan tradisional bentuk atau
berkelompok mengasah kemampuan bekerja sama. Permainan-permainan yang
mengandung unsur kerja sama, yakni batu taba, betengan, sepak tekong, wak-wak gong,
gobak sodor, dan petak umpet.

Peneliti ini juga melakukan pengumpulan data untuk memperoleh pendapat orang tua dan
guru tentang kemungkinan menerapkan permainan tradisional ini di sekolah. Hasilnya,
kebanyakan orang tua menyetujui jika permainan ini bisa diberikan di sekolah. Beberapa
orang tua bahkan mengusulkan untuk diberikan pada saat pelajaran olah raga,
ketrampilan atau ekstrakurikuler.

“Persoalannya, permainan ini hampir


tergPERMAINAN TRADISIONAL (TAK) LAGI
POPULER
October 19th, 2008 by dark-udo
Permainan petak umpet yang dulu sangat digemari telah tergantikan permainan sejenis counter
strike. Lahan luas sebagai sarana bermainpun sudah tergantikan mal, perumahan, dan rumah toko (ruko).
Kini permainan tradisional tak lagi digandrungi anak-anak zaman sekarang, ahh…

Kondisi Indonesia yang bervariasi mulai dari alam pegunungan, sungai, dataran, pulau, sampai
suku-suku yang mendiaminya. Seakan menjadi latar lahirnya permainan-permainan kreatif yang diciptakan
oleh leluhur bangsa ini untuk anak bangsa dengan memanfaatkan kondisi alam. Nilai-nilai yang disisipkan
pun diharapkan dapat dilaksanakan anak-anak dalam setiap tindakan dan perbuatannya dengan penuh
kesadaran atau tanpa adanya paksaan. Selain itu, dapat memberikan rasa puas atau senang bagi si pemain.
Beberapa ahli psikologi berpendapat bahwa dalam permainan tradisional sangat besar
pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak. Dengan bermain bersama, anak-anak dilatih untuk bisa
saling menghargai bahwa setiap orang memiliki karakter dan nasib yang berbeda-beda. Sesama manusia
harus hidup tolong-menolong dengan bergotong-royong. Selain itu, pada setiap tahap permainan ini anak-
anak sudah melatih diri untuk bersikap ulet, jujur, setia kawan, dan disiplin agar dapat mencapai apa yang
dicita-citakan.
Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa permainan tradisional ini akan banyak
memberi pengaruh bagi masa depan bangsa. Rasa senang dapat dialami oleh setiap orang, kaya atau
miskin, orang kota atau desa dan berlaku dari dulu, sekarang, dan seterusnya sampai waktu tak terhingga.
Nilai-nilai luhur yang tersirat didalamnya bisa melekat pada pemain-pemainnya, yakni anak-anak yang
kelak akan meneruskan perjuangan mempertahankan bangsa ini. Bagi Prof. Dr. N. Driyarkara S. J, ahli
filsafat, pendidikan kebudayaan lokal seperti permainan merupakan awal dari pendidikan kepribadian
nasional. Oleh karena itu, setiap pendidikan budaya lokal akhirnya harus diintegrasikan dengan pendidikan
nasional.
Permainan tradisional bisa mengasah kemampuan motorik anak, baik kasar maupun halus, serta
gerak refleksnya. Selain gerakan motorik, anak juga dilatih bersikap cekatan, berkonsentrasi, dan melihat
peluang dengan cepat untuk mengambil keputusan terbaik agar bisa menangkap lawan seperti dalam
permainan Benteng. Kemudian permainan seperti dakon dapat merangsang menggunakan strategi. Anak
harus pandai menentukan poin atau biji di lubang mana yang harus diambil terlebih dahulu, agar bisa
mengumpulkan biji lebih banyak dari lawan.Melihat manfaat-manfaat tersebut, sebenarnya permainan
tradisional ini penting dilakukan oleh anak-anak zaman sekarang. Selain untuk memperoleh manfaat yang
tidak bisa didapat dari permainan modern, juga untuk mendapatkan wacana lain yang bisa membuat hidup
anak lebih kreatif.
Sebagai kota besar yang terus berkembang, Kota Malang sekarang ini mengalami perubahan tidak
hanya dari wajah lingkungan sekitar dan wajah-wajah baru warga yang menempati rumah silih berganti
namun juga jenis permainan yang dulu popular dimainkan seperti bermain petak umpet, layang-layang,
gasing, egrang dan lain-lain. Modernisasi yang bergerak lambat namun pasti telah membuat permainan
modern berkembang pesat dengan jenis-jenisnya yang makin variatif, permainan tradisional kini kian
tersisih, tertinggal bahkan terlupakan. Mulai dari anak-anak sampai mereka yang telah dewasa pun kini
asyik di depan layar TV, komputer, dan handphone untuk bermain game. Bahkan mereka rela merogoh
kocek yang tidak sedikit untuk melengkapi aplikasi game mereka. Hal tersebut tidak mengherankan karena
permainan ini tidak memerlukan tempat khusus dan luas serta bisa dimainkan sendiri.
Permainan modern memang bisa dimainkan dimana saja dan kapan saja. Tidak jarang pula anak-
anak membawa HP ke sekolah untuk main game di waktu istirahat atau ketika ada guru yang berhalangan
hadir. Walaupun sekolah sudah melarang siswa-siswa membawa HP namun ternyata masih banyak siswa
yang tetap membawa. Mereka memanfaatkan HP bukan hanya sekedar sebagai alat komunikasi tetapi juga
sebagai sarana hiburan.
Sementara itu, permainan modern yang saat ini menjadi idola baru bagi anak-anak sangat tidak
mendidik, cenderung individual, materialistis, ingin menang sendiri, dan masih banyak efek negatif
lainnya.
Ironis memang, permainan modern yang sebagian besar berasal bukan dari negara sendiri, justru semakin
digemari. Padahal, permainan tradisional dapat menjadi identitas warisan budaya bangsa ditengah
keterpurukan kondisi bangsa saat ini.
Semakin berkurangnya lahan untuk bermain di Kota Malang menjadi titik awal minimnya anak-
anak untuk memainkan permainan tradisional. Lahan terbuka yang selama ini sebagai ruang publik telah
banyak tergusur. Padahal, permainan tradisional ini sama dengan olahraga rekreasi yang membutuhkan
lahan luas, bahkan sudah diatur dalam Undang-Undang olahraga Rekreasi. Tapi kalau lahan yang ada
sekarang ini sudah terasa sempit, tentunya memainkan permainan tradisional akan terbatas pula.
Selama ini, pembangunan yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Malang cenderung
mengabaikan kebutuhan masyarakat akan lahan terbuka. Bahkan, RTRW yang sudah dirancang seringkali
dirubah Pemkot demi keinginan investor. Akibatnya, masyarakatlah yang menuai dampaknya terutama
anak-anak yang akan kehilangan lahan untuk bermain.
Adagium Malang Kota Ruko (Makoru) sejak Peni Suparto berkuasa, karena kurang memerhatikan
permainan tradisional dan menyediakan lahan untuk permainan tersebut. Apalagi melihat perkembangan
permainan tradisional semakin tersisihkan dengan hadirnya permaian-permainan modern.Tak bisa
dipungkiri, kurangnya perhatian dari pemerintah, membuat permainan tradisional tertinggal jauh dibanding
video game, komputer game, pinball, game watch, dan jenis permainan modern ektronik lain yang saat ini
menjamur di berbagai kota-kota besar. Jika hal ini tidak juga menjadi perhatian serius baik dari pemerintah
maupun masyarakat, bukan tidak mungkin salah satu warisan budaya turun temurun itu akan musnah
karena ketidaktahuan generasi muda dan generasi seterusnya.
Dengan penghayatan tentang pentingnya generasi-generasi yang tangguh dan bermoral semestinya
permainan tradisional tidak ditinggalkan begitu saja lantaran tidak modern. Perlu ditegaskan pula bahwa
tidak semua yang kuno itu jelek dan sebaliknya tidak semua yang modern itu baik. Semua kebudayaan
semestinya diserap dengan akulturasi yang benar, dalam arti kebudayaan tradisional maupun kebudayaan
modern yang baik harus dilestarikan sedangkan kebudayaan yang bernilai tidak baik bagi kemajuan bangsa
harus disingkirkan.

Bagaimana mau melestarikan jika tidak tahu jenis-jenis permainan tradisional dan cara memainkannya.
Kenyataan ini menjadi suatu tamparan bagi generasi sekarang yang telah banyak berubah seiring
berkembangnya teknologi modern. Jika permainan tradisional tetap terjaga tentunya bisa menjadi daya tarik
tersendiri bagi suatu daerah, seperti Desa Petungsewu Kecamatan Dau, Malang. Desa ini menerapkan
konsep ecotourism, dimana semua kebudayaan tradisional desa ditampilkan mulai dari permainan, tarian,
hingga tradisi yang ada. Sebuah langkah kongkret dalam melestarikan budaya tradisional. Sehingga dengan
demikian tidak sekedar kebudayaan saja tetapi kebudayaan yang bisa mendatangkan devisa yakni dikemas
dalam pertunjukan kebudayaan dan pariwisata.

Posted in Weblogs | 1 Comment »

usur di tengah perkembangan arus yang sudah serba modern ini. Dengan pedoman yang
kami susun ini dapat menjadi referensi. Bukan hanya di sekolah tapi juga untuk orang
dewasa yang memberikan pendidikan kepada anak,” ungkap Sulismadi.

You might also like