You are on page 1of 11

Perjanjian Internasional Dalam Sistem Perundang Undangan Nasional

1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak mempengaruhi kehidupan bangsa bangsa di dunia. Sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa bangsa di dunia, semakin berkembang pula permasalahan permasalahan dalam masyarakat internasional dan menyebabkan terjadinya perubahan perubahan dalam Hukum Internasional. 2. Hukum Internasional merupakan sistem aturan yang digunakan untuk mengatur negara yang merdeka dan berdaulat (1). Hukum Internasionall terdiri atas sekumpulan hukum, yang sebagian besar terdiri dari prinsip prinsip dan aturan tingkah laku yang mengikat negara negara dan oleh karenanya ditaati dalam hubungan antara negara, yang juga meliputi:

Peraturan peraturan hukum tentang pelaksanaan funsi lembaga lembaga dan organisasi organisasi Internasional serta hubungannya antara negara negara dan individu individu. Peraturan peraturan hukum tertentu tentang individu individu dengan kesatuan kesatuan bukan negara, sepanjang hak hak dan kewajiban individu dengan kesatuan kesatuan tersebut merupakan masalah kerjasama internasional.

3. Pada dasarnya berklakunya Hukum Internasional didasarkan pada 2 prinsip :


Pacta Sunt Servanda, yaitu perjanjian harus dan hanya ditaati oleh pihak pihak yang membuat perjanjian. Primat Hukum Internasional , Yaitu perjanjian internasional mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari undang undang Nasional Suatu negara perserta perjanjian.

Namun dalam perkembangan hubungan Internasional dewasa ini terdapat ajaran (doktrin) Tentang hubungan Hukum Internasional, yang dikenal sebagai Doktrin Inkoporasi. Doktrin ini menganggap bahwa perjanjian Internasional adalah bagian dari Hukum Nasional yang mengikat, dan berlaku secara langsung setelah penanda tanganan, kecuali perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan lembaga legislatif, dan baru dapat mengikat setelah diatur dalam peraturan perundang undangan nasional suatu negara. Doktrin ini dianut oleh Inggris dan negara negara Anglo Saxon lainnya. Amerika juga menganut doktrin ini, namun membedakannya dalam:

Perjanjian Internasional yang berlaku dengan sendirinya (Self Execuing Treaty), dan Perjanjian Internasional yang tidak berlaku dengan sendirinya (Non Self Executing Treaty)

Perjanjian perjanjian Internasional yang tidak bertentangan dengan konstitusi Amerika dan termasuk dalam Self Executing Treaty, akan langsung berlaku sebagai Hukum Nasionalnya. Sedangkan Perjanjian Internasional yang Non Self Executing baru dapat mengikat pengadilan di

Amerika setelah adanya peraturan perundang undangan yang menjadikannya berlaku sebagai Hukum Nasional. Perbedaan antara self executing dan non self executing Treaty tidak berlaku untuk perjanjian perjanjian yang termasuk golongan executive agreement karena tidak memerlukan persetujuan Badan Legislatif (Parlemen), dan akan dapat langsung berlaku. Dalam Sistem hukum kontinental di Jerman dan Perancis, suatu perjanjian internasional baru dapat berlaku apabila sesuai dengan ketentuan hukum nasional tentang Pengesahan Perjanjian, dan diumumkan secara resmi. Indonesia menganut sistem hukum kontinental. 4. Menurut Pasal 38 (1) Piagam Makamah Internasional, Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum Internasional. perjanjian Internasional yang diakui oleh pasal 38 (1) Piagam Makamah Internasional hanya perjanjian perjanjian yang dapar membuat hukum (Law Making Treaties). 5. Pada Tahun 1969, negara negara telah menandatangani Konvensi Wina tentang perjanjian Internasional, yang mulai berlaku tahun 1980. Pasal 2 Konvensi Wina 1980 mendefinisikan Perjanjian Internaional sebagai persetujuan (agreement) antara dua negara atau lebih, dengan tujuan mengadakan hubungan timbal balik menurut Hukum Internasional. 6. Bentuk dan istilah perjanjian Internasional antara lain adalah :

Konvensi / Covenant Istilah ini digunakan untuk perjanjian perjanjian resmi yang bersifat multilateral, termasuk perjanjian perjanjian yang dibuat oleh lembaga dan organisasi internasional, baik yang berada si bawah PBB maupun yang independen (berdiri sendiri). Protokol Bisa termasuk tambahan suatu kovensi yang berisi ketentuan ketentuan tambahan yang tidak dimasukkan dalam kovensi, atau pembatasan pembatasan oleh negara penandatangan. Protokol juga dapat berupa alat tambahan bagi kovensi, tetapi sifat dan pelaksanaannya bebas, dan tidak perlu diratifikasi. Ada juga protokol sebagai perjanjian yang sama sekali berdiri sendiri (independen). Persetujuan (agreement) Persetujuan (agreement) biasanya bersifat kurang resmi dibanding perjanjian atau kovensi. Umumnya persetujuan (agreement) digunakan untuk persetujuan persetujuan yang ruang lingkupnya lebih sempit atau yang sifatnya lebih tehnis dan administratif, dan pihak pihak yang terlibat lebih sedikit dibandingkan kovensi biasa. Persetujuan (agreement) cukup ditandatangani oleh wakil wakil departemen pemerintahan dan tidak perlu ratifikasi. Arrangement Hampir sama dengan persetujuan (agreement), umumnya digunakan untuk hal hal yang sifatnya mengatur dan temporer. Statuta Bisa berupa himpunan peraturan peraturan penting tentang pelaksanaan funsi lembaga

Internasional Statuta juga bisa berupa himpunan peraturan peraturan yang di bentuk bedasarkan persetujuan internasional tentang pelaksanaan fungsi fungsi suatu institusi (lembaga) khusus dibawah pengawasan lembaga / badan badan internasional. Dapat juga statuta sebagai alat tambahan suatu kovensi yang menetapkan peraturan peraturan yang akan di terapkan. Deklarasi Istilah ini dapat berarti : - Perjanjian yang sebenarnya - Dokumen tidak resmi, yang dilampirkan pada suatu perjanjian - Persetujuan tidak resmi tentang hal yang kurang penting - Resolusi oleh Konferensi Diplomatik Mutual Legal Assistance Perjanjian yang diadakan antara dua negara atau lebih dalam rangka memberikan bantuan yang bersifat untuk saling membantu.

7. Ratifikasi suatu kovensi atau perjanjian Internasional lainnya hanya dilakukan oleh Kepala Negara / Kepala Pemerintahan. Pasal 14 Kovensi Wina 1980 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan persetujuan agar dapat mengikat. Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada kedaulatan negara. Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu negara untuk meratifikasi. Suatu perjanjian. Namun bila suatu negara telah meratifikasi Perjanjian Internasional maka negara tersebut akan terikat oleh Perjanjian Internasional tersebut, Sebagai konsekuensi negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditanda tangani, selama materi atau subtansi dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan Nasional.Kecuali dalam perjanjian bilateral, diperlukan ratifikasi. Dalam sistem Hukum Nasional kita, ratifikasi Perjanjian Internasional diatur dalam Undang Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 8. Sistem Hukum nasional Sebagai Negara merdeka yang berdaulat Indonesia telah aktif berperan dalam pergaulan hubungan Internasional dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional dengan negaranegara lain, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian Internasional tersebut, Indonesia menganut prinsip Primat Hukum Nasional dalam arti bahwa Hukum Nasional mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada hukum Internasional. Dasar kewenangan presiden dalam pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam pasal 11 Undang-Undang dasar 1945 mengatur tentang perjanjian Internasional sebagai berikut: (1). Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain. (2). Presiden dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat. (3). Ketentuan lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan surat Presiden nomor : 2826/Hk tentang Pengesahan Perjanjian Internasional yang berisi ketentuan ketentuan sebagai berikut:

Bila Perjanjian Internasional tersebut mengatur perjajian tentang masalah masalah yang terkait dengan politik dan kebijaksanaan Negara Republik Indonesia, Diratifikasi dengan undang undang. Dalam hal Perjanjian Internasional tersebut mengatur tentang masalah-masalah yang bersifat tehnis dan segera, diratifikasi dengan keputusan Presiden. Pada tahun 2000 surat Presiden nomor: 2826 tersebut dihapus dengan juga adanya Undang-undang nomor: 24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang juga memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Surat Presiden nomor: 2826.

Perjanjian Internasional tidak termasuk dalam susunan jenis peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar 1945. b. Undang-Undang / Peraturan pengganti Undang-undang (Perpu). c. Peraturan Pemerintah (PP). d. Peraturan Presiden. e. Peraturan Daerah f. Peraturan Desa Tentang kedudukan Perjanjian Internasional dalam sistem peraturan perundang-undang Nasional, meskipun dalam Undang-Undang nomor: 10 tahun 2004 tentang Peraturan, Perundang-undangan tidak masuk sebagai jenis peraturan Perundang-undangan, namun perjanjian Internasional juga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (pasal 7 ayat 4 undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Perjajian Internasional). 9. Berdasarkan sistem Hukum Nasional kita, maka dengan meratifikasi suatu konvensi baik regional maupun multilateral, perjanjian bilateral, negara sudah terikat untuk tunduk pada ketentuan ketentuan dalam konvensi atau perjanjian tersebut. Suatu konvensi atau perjanjian internasional yang telah diratifikasi, baru dapat dilaksanakan apabila telah dimasukkan dalam suatu undang undang yang dikenal sebagai Undang Undang tentang Pengesahan Ratifikasi Perjanjian Internasional. Dalam sistem Hukum Nasional Indonesia, meskipun suatu perjanjian Internasional telah diratifikasi dengan Undang undang tentang Pengesahan Ratifikasi, tetapi perjanjian belum dapat dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan isi ketentuan peraturan perundang undangan Nasional yang mengatur tentang materi yang sama dengan yang ditentukan dalam perjanjian yang diratifikasikan tersebut. 10. Kesimpulan

Perjanjian Internasional yang telah diratifikasikan dengan peraturan perundang undangan Nasional, diakui keberadaannya sebagai bagian dari sistem Hukum Nasional dan mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat, setelah diatur dengan undang Undang undang Ratifikasi suatu Perjanjian Internasional. Namun dalam hal ada perbedaan isi ketentuan suatu Undang Undang Nasional dengan isi Perjanjian Internasional yang telah Diratifikasi, atau belum ada peraturan pelaksanaan Undang undang Ratifikasi suatu perjanjian, maka Perjanjian Internasional Tersebut tidak dapat dilaksanakan.

AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945


Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan Pertama UUD 1945, adalah perubahan pertama pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999. Perubahan Pertama menyempurnakan pasal-pasal berikut:

1.Pasal 5

(1) Presiden memegang kekuasan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat.

diubah menjadi

(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

2. Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

diubah menjadi

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

3. Pasal 9

Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut: Sumpah Presiden (Wakil Presiden): "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa." Janji Presiden (Wakil Presiden): "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa". 1)

diubah menjadi

(1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut: Sumpah Presiden (Wakil Presiden): "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa." Janji Presiden (Wakil Presiden): "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa". 1) (2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung.

4. Pasal 13

(1) Presiden mengangkat duta dan konsul. (2) Presiden menerima duta Negara lain.

diubah menjadi

(1) Presiden mengangkat duta dan konsul. (2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

5. Pasal 14
Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. menjadi 1. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. 2. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat

6. Pasal 15
Presiden memberi gelaran, tanda dyasa dan lain-lain tanda kehormatan. menjadi Presiden memberi gelar tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undangundang.

7. Pasal 17
2. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 3. Menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan.

menjadi 2. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

8. Pasal 20
1. Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakiln rakyat. 2. Jika sesuatu rantjangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan rakyat, maka rantjangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan rakyat masa itu. menjadi 1. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. 2. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. 3. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. 4. Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

9. Pasal 21
1. Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan rakyat berhak memajukan rantjangan undang-undang. 2. Jika rantjangan itu, meskipun disetudjui oleh Dewan Perwakilan rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rantjangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan rakyat masa itu. menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang.

Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Perubahan Kedua UUD 1945, adalah perubahan kedua pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000. Perubahan Kedua menyempurnakan dan menambahkan pasal-pasal berikut:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Pasal 18 Pasal 18A Pasal 18B Pasal 19 Pasal 20 Pasal 20A Pasal 22A Pasal 22B BAB IXA WILAYAH NEGARA 1. Pasal 25E 10 BAB X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK 1. Pasal 26 2. Pasal 27 11 BAB XA HAK ASASI MANUSIA 1. Pasal 28A 2. Pasal 28B 3. Pasal 28C 4. Pasal 28D 5. Pasal 28E 6. Pasal 28F 7. Pasal 28G 8. Pasal 28H 9. Pasal 28 I 10. Pasal 28J BAB XII PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA 1. Pasal 30 BAB XV BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN 1. Pasal 36A 2. Pasal 36B 3. Pasal 36C

11.

12. 13.

Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Perubahan Ketiga UUD 1945, adalah perubahan ketiga pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2001 tanggal 1-9 November 2001. Perubahan Ketiga menyempurnakan dan menambahkan pasal-pasal berikut:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Pasal 1 Pasal 3 Pasal 6 Pasal 6A Pasal 7A Pasal 7B Pasal 7C Pasal 8 Pasal 11 Pasal 17 BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH 1. Pasal 22C 2. Pasal 22D BAB VIIB PEMILIHAN UMUM 1. Pasal 22E 2. Pasal 23 3. Pasal 23A 4. Pasal 23C BAB VIIIA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN 1. Pasal 23E 2. Pasal 23F 3. Pasal 23G Pasal 24 Pasal 24A Pasal 24B Pasal 24C

12.

13.

14. 15. 16. 17.

Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Perubahan Keempat UUD 1945, adalah perubahan keempat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2002 tanggal 1-11 Agustus 2002. Perubahan Keempat menyempurnakan dan menambahkan pasal-pasal berikut:

1. 2. 3. 4. 5. 6.

7.

8.

9. 10.

11.

Pasal 2 Pasal 6A Pasal 8 Pasal 11 Pasal 16 BAB IV DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG 1. Pasal 23B 2. Pasal 23D 3. Pasal 24 BAB XIII PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 1. Pasal 31 2. Pasal 32 BAB XIV PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL 1. Pasal 33 2. Pasal 34 Pasal 37 ATURAN PERALIHAN 1. Pasal I 2. Pasal II 3. Pasal III ATURAN TAMBAHAN 1. Pasal I 2. Pasal II

You might also like