You are on page 1of 14

Perspektif inMedical Sociology

PATIENTs AUTONOMY with ROLE DOCTOR


Edited by Erwin Wahid, M.D. erwinwahidone@yahoo.com

PATIENTS AUTONOMY WITH ROLE DOCTOR Erwin Wahid, M.D., F.Ina.C.S.

1. Introduction Doctor-Patient Relationship, New Paradigm in the World. (figure: egg-shaped layers model, closed authority role theory)

Role Doctor Patient Autonomy BoundaryMaintenance: trust. fiduciary and believe Covert-role taking: Social Norms Table: Doctor-Patient Relationship Difference ------------------------------------------------------------------------------------Old Paradigm 500 BC New Paradigm 2000 AD

-------------------------------------------------------------------------------------Doctor-Centered/Disease-Centered Patient-Centered Parent-Child Model/Biomedical model Egg-shaped layers model Paternalism Autonomy Boundary maintenance: Belief/Trust Believe Vertical Dyadic On care/decision-making asymmetrical Patient decides Doctor as expert Doctor presents option Not autonomy Max. autonomy for patient The dignity of the person Professional Covert role-taking: with role distance; No role distance; Social norms not Social norms yes Oriented: oath, ethic add Communication Malpractice doctor: yes No -----------------------------------------------------------------------------------------

Contents 1. Introduction 2. Changing Paternalism Doctor to Autonomy 3. Patient Autonomy 4. Patient Autonomy and Informed Consent 5. Patient Autonomy and effective Communication 6. Patient Autonomy and Social Norms 7. Conclusion

2. Pertukaran Dokter dari Paternalistik ke Otonomi Pandangan umum paternalistik sebagai dokter yang serba tahu serta paling baik merawat pasien (doctor knows best). Dokter memeriksa dan memutuskan pengobatan kepada pasien mereka (decision-making asymmetrical). Paling penting semua ini, pasien menerima hubungan ini dan apa yang dikatakan dokter berorientasi penyakit (biomedical model). Zaman dahulu seorang dokter sangat dihormati oleh pasien, meskipun pasien mempunyai harapan dari hasil kerja dokter adalah rendah. Hari ini, meskipun, dokter tetap memegang tanggungjawab jika berlaku kesilapan, sikap perbuatan dokter terhadap pasien masih sama (paternalism). Mulai pada abad ke 20, dalam kata pengantar sebuah karya bukunya The Doctors Dilemma, George Bernard Shaw menulis bahwa seluruh profesi adalah berkomplot melawan masyarakat umum. Pada 1964, Pedro Lain Entralgo, mengaitkan sejarah kedokteran orang-orang Spanyol dengan menyatakan dalam buku klasiknya Larelacion medico-inferno (The doctor-patient relationship) bahwa sedikit dari elemen dalam hubungan ini telah mempunyai pergeseran selama 25 abad yang lalu. Meskipun, beberapa tahun kemudian dia berhasil menyatakan bahwa dalam akhir 35 tahun dari abad ke 20, hubungan antara doktor dan pasien barangkali telah terjadi pergeseran lebih selama 25 abad yang lalu. Keprihatin masyarakat telah meningkat dengan adanya pelaporan media masa pada kasus dimana dokter dituntut berhadapan hasil displiner, atau aksi perdata dan kriminal dalam pengadilan tlnggi atau Mahkamah Agung (crisis of malpractice doctor). Perbincangan kumpulan sosial sekitar pengalaman mereka berjumpa dokter. Setiap orang mempunyai pengalaman tersendiri terhadap layanan dokter yang berbeda. Tuntutan pasien

hasilnya sia belaka bahwa dokter menyembunyikan faktor kebenaran dan pelindungnya.

selalu menjadi

Pasien yang berjumpa dokter dikarena mereka menderita badannya sakit, dan mereka berharap bahwa dokter bisa menolong mereka sembuh. Dokter akan melakukan perawatan pesakit. Seperti semua doktor adalah manusia dan mudah mendapat membuat kelalaian, kesalahan yang tak dapat dielakkan dalam praktek kedokteran. Jarak dari kelalaian atau kesalahan adalah lebar dan mungkin dapat mengisi buku sebagai bandingkan dengan sebuah buku pelajaran. Kelalaian berbeda-beda dan kesungguhan mereka mendapat hasil dalam perkara hukum atau bahkan bertambah buruk, hilang izin untuk berpraktek. Beberapa kelalaian hasil dari kedokteran yang melekat sifat risiko tinggi dan ketidaktentuan. Pendekatan kedokteran hari ini lebih berfokus pasien (patient-centered). Zaman sekarang jalan pikiran sangat meningkat penolakan dokter paternalistik, sebagai dokter sangat luas memandang sikap acuh tak acuh dari moral pasien dan menurut undang-undang baik dari status kesehatannya. Doktor zaman dulu, bermatabat tinggi (the dignity of the person), dan mempunyai kewenangan penuh membuat keputusan apa paling baik untuk pasiennya (doctor-centered); dokter sekarang butuh keterangan pasiennya untuk memberikan pilihan pengobatan (doctor presents option), menyerahkan keputusan kepada pasien untuk membuat memilih pilihan (patient decides). Selanjutnya, dokter tidak lama berhubungan kekebalan dengan pengadilan, karena dokter meningkat kena panggilan oleh hakim untuk memberi jawaban tuntutan dari tidak

kepuasan pasien. Sebagai profesional dokter mempunyai hak untuk transaksi terapeutik dengan apa saja Dokter akan melakukan koreksi segera daripada terlambat, akibat mempunyai kesan kekeliru hubungan antara dokter dan pasien. Dokter mampu memberikan perbaiki bila terjadi keliruan, dokter boleh berbuat kebetulan saja, inilah diperlukan dari kualitas praktek.

3. Otonomi Pasien Otonomi pasien telah mempunyai batas tegas sebagai inti yang legal dan dasar etika bahwa menekankan semua interaksi manusia dalam perawatan kesihatan. Setiap orang dewasa berbuat dalam suara pikiran yang baik pada arah apa yang akan dilakukan diri sendiri dan dia

mempunyai tanggungjawab untuk membuat keputusan perawatan kesihatan (kebebasan 4

terapeutik). Otonomi orang dapat berkelakuan, memilih dan berpikir sebagai dia berharap. Bagaimanapun, otonomi berbuat menekan individu-individu pintar menunjukkan haluan hidup mereka, sejauh tidak ada sekatan terhadap otonomi yang lain. Otonomi adalah sebuah kata asli dari Greek, berasal dari kata Greek iaitu eautos, yang mana arti diri, dalam gabungan dengan kata nomos, yang mana arti peraturan, tatanegara atau hukum. Otonomi dipergunakan dalam bahasa Inggris untuk menjelaskan upaya orang untuk menyatakan dirinya bebas, dan kebebasan tindakan dalam masyarakat tertentu. Otonomi mempunyai kompleksitas dan variasi percobaan pada definisi yang telah dibuat. Dalam pertengahan tahun 80s Gillon (1985) berpendapat bahwa konsep otonomi menggabungkan latihan kepada apa Aristoteles katakan spesifik sifat manusia, memberi penjelasan yang rasional. Osman dan Perlin (1994) memberi definisi otonomi sebagai pilihan membuat pertimbangan. Smith (1994) menjelaskan serba luas definisi dengan merujuk kepada otonomi sebagai sebuah tekad berbagai tanggapan termasuk tatanegara, kebebasan sempurna, privacy, pilihan individu, kebebasan mengikuti sesuatu, sebab berkelakuan sesuatu dan orang berbuat sesuatu. Dalam tahun 1994, dalam Journal Lancet, hubungan antara pasien pintar dan otonomi, menekankan bahwa masyarakat melakukan membenarkan ketentuan diri dan memerintah diri sendiri, termasuk penentuan keutamaan kesehatannya. Nessa dan Malterud (1998) menjelaskan otonomi sebagai jenis kesiapan mental bahwa ketentuan kedua-kedua bagian kelakuan ke dalam dan ke luar. Leino-Kilpi et al. (2000) berpendapat bahwa ada tiga konsep sentral pada otonomi: 1) Tatanegara-diri, 2) Realisasi-diri dan 3) Otonomi aktual dan definisi otonomi sebagai seni kemampuan berpikir membuat keputusan. Dalam tahun 2002, Vaughan dan Leddy menyokong bersama ide-ide bahwa otonomi dalam akal orang sebagai kebebasan orang, kebebasan membuat keputusan diri sendiri. Otonomi berarti pasien pintar membuat keputusan mereka sejauh keputusan tidak masuk campur kepada orang yang lain. Barangkali otonomi pasien maklum kepada individu membuat keputusan perawatan kedokteran mereka dan menandakan batas garis untuk campur tangan bidang kedokteran.

Leino-Kilpi et al., (2000) berpendapat, untuk perlindungan otonomi pasien, profesional kesihatan selalu mencoba memastikan bahwa orang tidak mengobati dirinya lagi, bahwa mereka melibatkan perawatan kesehatan dalam proses membuat keputusan. Konsep otonomi adalah komplek, banyak variasi penulis telah mencoba kepada analisis otonomi pasien, oleh pemikiran komponen individu. Untuk contoh, Boladeras (1998),

mendekati dasar otonomi oleh memisalkan dua ide: 1) kesadaran pada nilai dasar sesuatu pilihan individu bebas selama mereka hidup, rancangan dan pengadaptasian kepada ide manusia yang cermelang, dan 2) menyatakan individu lain harus tidak ikut campur tangan dalam pilihan orang. Setelah mengkaji ulang perpustakaan perawatan kesehatan hubungan otonomi pasien. Dowrkin (1998) pengenalpastian dua wajah bahwa biasa hampir-hampir semua definisi kepada otonomi. 1) Otonomi hubungan kepada individu, dan 2) Otonomi menjadi sebuah sifat idaman. Leino-Kilpi et al (2000) membedakan otonomi pasien ke dalam tiga tahap: 1) Otonomi pada tahap physiologis melibatkan sesuatu proses berotonomi dan kebebasan dari proses berotonomi lain (social control). 2) Otonomi tahap pribadi melibatkan menentukan dan menjelaskan pada diri (autonomous). Dia mencadangkan sebuah kebebasan berkelakuan menurut seseorang, mempunyai pikiran bebas dan kawalan semasa pilihan, dan 3) Otonomi tahap sosial, melibatkan suatu model otonomi memberi faktor memaksa ke dalam sesuatu pertimbangan (social contract). Ikonomidis dan Singer (1999) menekankan keprihatinan selama membendung otonomi dari kepentingan individu dalam membuat keputusan penting, tinggal mereka menyesuaikan pada nilai atau konsep dari kehidupan yang baik. Barer (1997) menyokong bahwa hormat otonomi pasien mengisyaratkan pasien maklum memilih pengobatan alternatif, sementara Haddad dan Vernarec, (2001) berpendapat bahwa profesional perawatan kesehatan memastikan menghormati otonomi pasien, bersetuju dengan pengalaman personal mereka dan membenarkan pasien pada keputusan mendengarnya. Walaupun perpustakaan mengembangkan dan berusaha, pasien selalu mengecualikan proses keputusan perawatan kesehatan dan biasanya profesional perawatan kesihatan datang pertama`untuk persetujuan pengobatan atau perawatan dan mereka segera membincangkan dengan pasien. Bagaimanapun, pasien dan profesional perawatan kesehatan mempunyai realisasi sasaran umum mereka dan pemeliharaan mengupayaan pasien kepada kebebasan dan berotonomi. Oleh 6 atau tidak mahu

itu, profesional perawatan kesehatan membuat yakin pasien mengerti dasar diagnosis mereka dan mencadangkan pengobatan mereka dan mereka telah menolongnya perasaan selamat, menolak cadangan profesional jika mereka mau. Ada beberapa peristiwa bilamana dokter boleh menentukan mengupayaan membuat keputusan merusakkan. Kemudian, suatu pengganti akan melibatkan dalam membuat keputusan mengikuti arah, nilai, keinginan pasien. Leino et al. (2000) berpendapat bahwa konsep otonomi telah berbeda arti dalam berbeda budaya. Dalam Etika Amerika Syarikat, otonomi adalah suatu konsep emperik mengupayaan definisi kepada berkelakuan dengan sengaja, pemahaman dan tanpa kontrol pengaruh. Etika Eropah mentafsirkan dasar otonomi sebagai mengupayaan pada perbuatan manusia menyusahkan hukum moral mutlak diatas dia sendiri sambil di budayakan, beberapa masa keterangan dan membuat keputusan tidak hanya tanggungjawab pasien tetapi merupakan tanggungjawab keluarganya. Kottow MH. (1994) telah mengkaji kapan seorang pasien memberikan seluk beluk keterangan pribadi pada dokter, dia mencurigakan otonominya. Bilamana dia mengizinkan campur tangan, dia telah mengantisipasi bantuannya. Hubungan kepercayaan memberikan jaminan tidak membocorkan rahasia, dan hingga sekarang otonomi bersama disetujui. Beauchamp Tl (1994) telah mengkaji individu sendiri menunjukkan nilai-nilai baik sangat tinggi dalam tradisi Amerika. Para pasien pintar menerima atau menolak pengobatan. Seorang harus hormat otonomi dengan prinsip pertama hukum moral dan kesucian hidup. Beaucham TL (2001) ada empat arti penting dari otonomi: 1) mengupayaan ciptaan ide dan tujuan hidup (norma kesopanan); 2) mengupayaan wawasan moral (norma etika); 3) mengupayaan pembuatan undang-undang dan kebebasan pribadi (norma hukum); 4) mengupayaan keputusan rasional dan tindakan tanpa paksaan (patient decides); 5) mengupayaan memberikan informed consent. Daryl Pullman (2002) mempunyai pikiran paternalistik berbanding terbalik dengan otonomi. Dalam arti yang luas berkurang kebebasan profesional dokter akan menambah kebebasan terapeutik pasien. Inilah menjadi kecemasan para dokter takut akan kehilangan wewenangnya yang telah lama menikmati kebebasan profesional.

4. Otonomi pasien dan Informed consent Dasar pasien pintar adalah otonomi dan informed consent, Otonomi pasien menjelaskan landasan prinsip dalam perawatan kesehatan. Pasien pintar menunjukkan isu-isu kesehatannya. Pasien pintar melakukan proses membuat keputusan perawatan kesehatannya dan profesional kesehatan selalu mencoba melarang orang tidak mengobati diri sendirinya. Informed consent adalah kesadaran tidak ada paksaan membuat keputusan oleh individu berotonomi kompeten kecuali atau penolakan beberapa aksi tindakan. Pasien pintar memberikan informasi tentang pengobatannya dan perawatan dan memberi persetujuan kepada dokter perawatan kesehatan sebelum regimen pengobatan dapat dimulai. Kata consent berasal dari bahasa latin consensio atau concentio kemudian dalam bahasa Inggris menjadi consent yang berarti persetujuan, izin, menyetujui, persetujuan, memberi wewenang. Informed consent atau real consent berarti pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapat informasi dari dokter dan sudah dimengerti oleh pasien. Informed consent tidak hanya diperlukan sebelum dilakukan tindakan medik karena Informed consent adalah suatu proses bukan suatu yang sekali selesai. Jenis Informed consent adalah dinyatakan secara lisan atau tertulis atau tersirat dalam keadaan biasa atau darurat. Dalam perkembangan terakhir Informed consent dibuat penjelasan secara tertulis dalam hal-hal tertentu informasi tertulis diwajibkan oleh hukum. Secara yuridis, kewajiban memberikan informasi kepada pasien dibebankan kepada dokter untuk memperoleh persetujuan sebelum melakukan tindakan medik. Kesaktian informed consent memang sangat menajubkan kerana dengan memberikan informed yang jelas sudah terpenuhi norma etika, kemudian dengan menandatangani consent terpenuhi syarat hukum berarti telah melakukan norma hukum dan jangan lupa waktu melakukan proses informed consent harus komunikasi efektif bersikap santun, empati, hormat dan lainlain, berarti telah menjunjung norma kesopanan. Tetapi orang-orang bergerak dalam bidang hukum (contoh, lawyer) memandang kurang berarti nilai hukum informed consent, kerana mereka mengira pasien dalam kondisi sakit, jadi tidak seimbang terjadi berat sebelah dan bagaimana pula pasien dalam keadaan darurat/kecemasan tidak perlu minta persetujuan kerana dilindungi undang-undang, berarti bias dalam keadaan sulit bisa. Apakah seorang lawyer dapat pasti memenang perkara, begitu apakah dokter dapat pasti menyembuh pasien, jawab kedua-duanya tidak. 8

Sebetulya profesi dokter itu sangat mulia, dihormati masyarakat, bahkan dulu sampai dianggap wakil tuhan di dunia (Yesus/Nabi Isa), maka dokter kembalilah ke fitrah Hippcrates, tidak ada dalam lafal sumpah Hippocrates istilah malpraktek, jangan sekali sampai mengasuransikan profesi (malpractice doctor insurance), berarti seorang dokter telah mengasuransi profesi dokter bahwa dia telah mengakui profesi dokter sebagai sarang tempat malpraktek dokter, maka berkerjalah praktek dokter yang baik menggunakan komunikasi efektif.

5. Otonomi Pasien dan Komunikasi Efektif Hubungan komunikasi antara dokter dan pasien yang berlangsung antara dokter dengan pasiennya selama proses praktek yang terjadi di ruang rumah sakit dalam rangka membantu menyelesaikan masalah kesehatan pasien. Pengembangan komunikasi efektif hubungan antara dokter dan pasien secara efektif yang berlangsung secara efisien, dengan tujuan utama penyampaian informasi atau pemberian penjelasan yang diperlukan dalam rangka membangun kerja sama antara dokter dengan pasien (shared model). Komunikasi yang dilakukan secara verbal dan non-verbal menghasilkan pemahaman pasien terhadap keadaan kesehatannya, peluang dan kendalanya, sehingga dapat bersama-sama dokter mencari alternatif untuk mengatasi permasalahannya (reciprocal asymmetris relationship; Surbone, 2004). Komunikasi efektif dalam hubungan antara dokter dan pasien diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatannya. Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Dalam pemberian pelayanan medik, adanya 9

komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang diharapkan sehingga dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien, berdasarkan kebutuhan pasien. Namun disadari bahwa dokter belum disiapkan untuk melakukannya. Dalam kurikulum kedokteran,membangun komunikasi efektif dokter-pasien belum menjadi prioritas. Untuk itu dirasakan perlunya memberikan pedoman untuk dokter guna memudahkan berkomunikasi dengan pasien dan atau keluarganya. Melalui pemahaman tentang hal-hal penting dalam pengembangan komunikasi antara dokter dan pasien diharapkan terjadi perubahan sikap dalam hubungan dokter-pasien. Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya adalah untuk mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih memberikan dukungan pada pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya (Kurtz,1998). Dalam komunikasi dokter-pasien diperlukan kemampuan berempati, yaitu upaya menolong pasien dengan pengertian terhadap apa yang pasien butuhkan. Menghormati dan menghargai pasien adalah sikap yang diharapkan dari dokter dalam berkomunikasi dengan pasien, siapa pun dia, berapa pun umurnya, tanpa memerhatikan status social ekonominya. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan medis adalah dasar pengembangan komunikasi efektif dan menghindarkan diri dari perlakuan diskriminatif terhadap pasien. Ahkir kata tujuan komunikasi efektif hubungan antara dokter dan pasien agar pasien dapat memahami/mengerti antara kelalaian medik dengan risiko medik, karena setiap dokter harus berbuat baik, berlaku adil (justice) dan menjaga privacy pasien (otonom).

6. Otonomi Pasien dan Norma-norma Sosial Dalam kurun yang lama dari abad ke abad dokter menikmati kebebasan profesional menentukan membuat keputusan atas dasar keyakinan sendiri (doctor-centered), mau tidak mau, suka tidak suka, pasien mulai terbuka mata kepala, kesadaran masyarakat meningkat, dengan berkembang isu hak azasi manusia untuk menentukan nasib sendiri, pasien merasa ada ketidakpuasan atas pelayanan dokter, bahkan menuntut sampai kemuka pengadilan (malpractice doctor). Dari dulu terdapat tiga dasar stratifikasi dalam institusi kedokteran menurut Waitzkin (1993) yaitu: 1. Profesionalisme, 2. Elitisme dan 3. Keterbatasan komunikasi. Ketiga dasar ini yang menjadi penyebab konflik berkepanjangan hubungan antara dokter dan pasien seantero dunia ini, menyebabkan pelayanan dokter kurang memuas dirasakan pasien. Jadi kita mesti 10

menekan strata itu seminimal mungkin karena dokter dan pasien di era globalisi kedudukkan mereka sederajat (dyadic), hampir serupa dengan teori Homans (1961) yakni teori tingkah sosial dasar (elementary social behavior theory) tapi teori ini tidak mengguna norma-norma sosial dan hubungan peranan terbuka (open role). Aneh para pakar dalam kepustakaan membicara

hubungan antara dokter dan pasien (transaksi terapeutik) melihat dari kaca mata pandangan masing-masing: hubungan medik, hubungan sosial dan hubungan hukum saja sehingga tidak ketemu titik penyelesaian malapraktek dokter. Contoh, Szazs dan Hollender (1978), mengemukakan bentuk komunikasi beberapa jenis hubungan antara pasien dan dokter dengan didasari analogi hubungan orang tua dan anak, hubungan orang tua dan remaja, dan hubungan antara orang dewasa. Terdapat 3 pola hubungan dasar dokter dan pasien yaitu: Pola dasar hubungan aktif-pasif. Dalam keadaan ini pasien tidak dapat berbuat sesuatu dan hanya menerima. Dokter ditempatkan dalam keadaan yang superior (paternalistik). Menurut Jones (1951) dan Marmor (1953) para dokter tidak lagi mengidentifikasikan pasien sebagai manusia, namun hanya sebagai benda biomedik (biomedical model) dan Jones mengistilahkan sebagai keadaan the god complex. Ditemukan pada keadaan ketika sakit darurat. Pola dasar hubungan membimbing-kerjasama. Dokter masih menjadi tokoh sentral dalam membuat keputusan tetapi tidak melakukan disidentifikasi terhadap pasien, yang menganggap sebagai benda biomedis (doctor-centered). Dokter menganggap bahwa dia hanya sekedar membimbing pasien untuk menjadi sehat. Szasz dan Hollender mengistilahkan pygmalion complex biasanya pada kasus sakit yang tidak berat, misalnya pada sakit alergi atau penyakit akut. Pola dasar hubungan saling berperan serta. Hubungan ini didasarkan pada struktur sosial yang demokratis (collegium model). Ditemukan pada kasus pasien sehat yang melakukan medical check-up rutin. Szasz dan Hollender mengemukakan transaksi terapeutik di lihat dari hubungan sosial saja (komunikasi), berarti hanya satu sratifikasi yaitu keterbatasan komunikasi. Dalam malpraktek dokter harus kembali ke era otonomi pasien. Maka untuk menekan tiga stratifikasi kedokteran itu kita harus berbuat: 1. Patient decides (autonomy) versi Profesionalisme. 2. Effective communication versi Limitation communication. 3. Social norms versi Elitisme. Dulu terjadinya stratifikasi kedokteran karena ada perbedaan yang signikan antara jenjang pendidikan antara dokter dan pasien, sekarang gap itu telah berasur berkurang kerana kemajuan teknologi dan informasi serta maju dunia pendidikan sehingga kesadaran masyarakat meningkat. Dokter yang profesional adalah dokter yang kompeten pada dirinya melekat 6 kompenen 11

profesionalisme kedokteran (altruism, accountability, excellence, duty, respect for others, honor and integrity), tetapi sekarang hak azasi manusia untuk menerima atau dasar/azasi untuk

menentukan diri sendiri (the right of self determination), harus diberikan hak pasien untuk memberikan persetujuan tindakan mediknya (informed consent) terhadap tindakan pelayanan yang akan dilakukan terhadap dirinya (patient decides). Dari dulu sampai sekarang pendidikan dokter sangat disanjung, dihormat masyarakat, bahkan kalau keluarga salah satu jadi dokter, keluarga tersebut menjadi golongan keluarga elite yang dikenal elitisme, seakan dokter menjadi manusia sombong, angkuh dan arogan dipandang orang, disini diperlu norma kesopanan, tidak etis dan hanya tahu etika kedokteran dan kadang-kadang melanggar etika seperti dokter kandungan lebih cepat melakukan sectio Caesar dan menghindari tuntutan jika ada sesuatu yang salah selama persalinan (Marcones, 2012) , maka disini perlu norma etika, dokter seakan mempunyai kekebalan terhadap hukum berlaku itupun diperlu juga norma hukum untuk melindungi dari tuntutan malpraktek. Dulu kesenjangan pendidikan antara dokter dengan pasien, pasien bodoh dirasakan dokter maka dokter berlaku sedikit membatasi komunikasi, namun sekarang itu tak boleh terjadi menjadi penyebab kesalah paham pasien, pasien merasa tidak puas atas pelayanan diberi oleh dokter, terlebih sekarang sangat maju tehnologi informasi elektronik, hal apapun dapat di ekses cepat, sehingga sekarang dokter harus mempunyai wawasan berkomunikasi efektif (Amnon Carni, 2004). Roter (1992) mengkaji hubungan antara dokter dan pasien, dalam bentuk empat model iaitu: 1) Paternalism; 2) Consumerism; 3) Mutually; dan 4) Default. Dalam model paternalistik hubungan antara dokter dan pasien, dokter mendominasi membuat keputusan

tentang keterangan dan pelayanan; pasien pasif dan mengharapkan melakukan sebagai hasil diskusi mereka. Dokter mempunyai tingkat kontrol tinggi sambil pasien mempunyai kontrol rendah (doctor centered). Dalam model consumerism, ciri hubungan ini pasien kontrol tinggi dan doktor kontrol rendah. Dalam model ini, doktor suka bekerjasama mencapai pasien untuk memerlukan keterangan dan pelayanan (model provider-consumer). Dalam model mutually, doktor dan pasien mempunyai kontrol tinggi dalam hubungannya, setiap mereka boleh memiliki memberikan perspektif dan kekuatan. Membuat keputusan bersama (collegium model). Bilamana pasien dan dokter untuk harapan hubungan berbeda pendapat, satu kemungkinan hubungan model default, ciri kontrol rendah untuk kedua-duanya pasien dan doktor. Model ini

12

boleh berlaku keadaan dalam interaksi tak diduga siapa yang mengadakan tuntutan malpraktik pada doktornya, tetapi berterusan berbeda pendapat melihat doktor itu. Seakan menurut Roter hubungan model default yang dapat timbul malpraktek, bagaimana model paternalism dengan desicion-making asymmetrical, model comsumerism boleh patient decides dengan komunikasi dokter bagaimana, model mutually dapat kedudukan sederajat (parnertship) tapi dalam mengambil putusan kerjasama (shared model), tampak model ini ideal tapi riskan malpraktek kerana masih ada ikut campur tangan dokter. Jadi bagaimana hubungan antara dokter dan pasien yang model ideal. Szasz dan Hollander, Roter dan Pakar-pakar lain mengemukakan hubungan antara dokter dan pasien menggunakan kotak-kotak, sebetulnya kesalahpahaman mengartikan hubungan dokter dan pasien seperti hubungan bapak dan anak yang selalu diartikan bapak serba tahu (father knows best) dan anak tak tahu-tahu apa-apa (paternalistik). Sebetulnya hubungan antara dokter dan pasien adalah merupakan ikatan khusus (relation-based), kembali ke lafal sumpah Hippocrates antara lain berani menjaga/simpan rahasia kedokteran dan kepentingan pasien paling diutamakan, berarti hubungan bapak dan anak ini maknanya hubungan peranan tertutup (closed role) yang tidak bisa dicampur tangan secara logika oleh orang lain berbatas tegas (covert-role taking) memakai norma-norma sosial tertentu (social norms). Hubungan peranan tertutup ini seperti terbungkus oleh lingkaran bisa bentuk bulat, lonjong, persegi atau unit sel. Untuk lebih sederhana hubungan ini digambarkan bentuk telur (oval) karena variabel ada 2 yaitu dokter (paternalistik) dan pasien (otonomi), kulit telur sebagai pembungkus ibarat pelindung diberikan nama norma-norma sosial setempat yang berlaku (covert-role taking): contoh norma mana dipakai, pasien orang Indonesia berobat di Singapura, lalu operasi robotic di rumah sakit Mount Elizabeth Singapura dan operator operasi di Amerika. Karena pasien sekarang telah menjadi fokus (patient-centered) sebagai membuat patient

decides, maka inti kuning telur di umpamakan sebagai otonomi pasien, putih telur sebagai peranan dokter memberikan alternatif-alternatif terapi (doctor presents option). Antara bapak dan anak berbatas tegas yakni hubungan cinta berupa kasih sayang, kerana masalah ini dokter dan pasien yang kita kenal hubungan kepercayaan, saling percaya dan percaya, digambarkan batas antara putih telur dan inti kuning telur sebagai pertahanan sistem dari serangan luar disebut boundary-maintenance. Jika hubungan kepercayaan (trust, belief) mana mungkin dokter diperlakukan seperti menganut suatu agama, bila hubungan saling percaya (fiduciary) mana 13

mungkin dokter harus percaya dulu pada pasien baru mengobati, bertentangan dengan sumpah kedokteran dan etika, dan hubungan percaya (believe) ini cukup tepat kerana pasien berobat ke dokter dia harus percaya dulu keahlian dokter tersebut. Tetapi harus ada teori pendukung model ini yakni Closed authority role theory, dokter dan pasien masing-masing mempunyai

wewenang yang sama kuat kekuatan dan perspektif (seperti model mutually) tapi yang memutuskan akhirnya tetap pasien (patient decides). Model hubungan baru sekarang ini lagi trend di dunia (take on the world) dikenal model egg-shaped layers.

7. Kesimpulan Kalau praktek dokter yang baik melaksanakan norma-norma sosial yang berlaku setempat dimana ia bekerja secara profesional berkomunikasi efektif, melakukan persetujuan tindakan medik informed consent, kemungkinan kecil terjadinya malpraktek, kerana dokter harus menjelaskan lebih dulu perbedaan kelalaian medik dan risiko medik setelah diantipasi semua dari mula A.. SAMPAI.Z.

14

You might also like