You are on page 1of 48

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari harapan hidup penduduknya. Demikian juga Indonesia sebagai suatu negara berkembang, dengan perkembangannya yang cukup baik, makin tinggi harapan hidupnya diproyeksikan dapat mencapai lebih dari 70 tahun pada tahun 2000. (Darmojo R. B.,2004) Bertambahnya usia selalu meninggalkan bekas pada setiap makhluk hidup., dan prinsip ini berlaku bagi semua tingkat oragnisasi(molekul,sel, organ, dan organism). Rentang hidup manusia menunjukkan periode perkembangan secara bertahap dengan meningkatnya efisiensi tubuh pada masa anak-anak dan remaja sampa mencapai tingkat kematangan. Setelah melalui periode yang panjang dengan perubahan yang kecil, terjadilah penurunan bertahap dalam kekuatan, khususnya kekuatan fisik. Ini biasa disebut periode menua.(Zarb G.A, 2002) Proses penuaan adalah proses yang tersembunyi, dan permulaannya berbedabeda antara tiap individu, demikian pula kecepatan penurunannya. Perubahan ini meliputi perubahan kekuatan jantung, penurunan sekresi cairan pencernaan, penurunan aktivitas endokrin. Pada tingkatan psikologis, proses penuaan ini ditandai dengan melambatnya waktu beraksi, melambatnya proses belajar, serta penurunan daya ingat dan efisiensi intelektual. G.A, 2000) Sebelum mempertimbangkan perawatan gigi pada lansia akan bermanfaat bila kita mengetahui sesuatu tentang proses penuaan dan kerusakan yang terjadi saat kita menjadi tua. Beberapa kerusakan ini sangat biasa terjadi sehingga dianggap suatu hal yang normal, sementara lainnya dianggap penyakit yang terjadi akibat kerusakan atau secara kebetulan.(Barnes, E.2006)

Survei yang telah dilakukan di berbagai belahan dunia menunjukkan jumlah orang tak bergigi dalam presentasiyang relative tinggi diantara orang berusia lanjut; karena itu tibul pemikiran bahwa kedokteran gigi geriatric sebagian besar meliputi rehabilitasipasien-pasien tak bergigi. Namun situasi ini dengan cepat berubah, dan akhir-akhir ini diperkirakan bahwa akan terjadi penurunan dalam jumlah orang tak bergigi serta dalam jumlah gigi hilang di antara orang-orang berusia lanjut. Perlu pula diingat bahwa harapan hidup saat ini telah bergeser ke usia lebih tua, dan jumlah orang pun bertambah. (Zarb G.A, 2002) Dalam rangka peningkatan kualitas kesehatan, diperlukan pengetahuan lebih mendalam terhadap kesehatan manula. Pelayanan kesehatan pada lansia tentunya berbeda dengan pelayanan kesehatan yang biasa dilakukan pada anak-anak maupun dewasa muda. Banyak hal yang perlu diketahui dan dipertimbangkan dalam melakukan perawatan pada lansia. Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan hal-hal yang menjadi dasar pengetahuan yang penting diketahui dalam menangani pasien lansia.

1.2

Tujuan Instruksional Umum Setelah pembelajaran modul ini selesai, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang proses penuaan serta dampak dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam rongga mulut lansia baik secara fisiologis, morfologi maupun patologis.

1.3

Tujuan Instruksional Khusus Setelah pembelajaran dengan modul ini, mahasiswa diharapkan mampu: 1. Menjelaskan tentang pengertian dan batasan lansia 2. Menjelaskan tentang pertumbuhan lansia dan dampaknya pada pola pelayanan kesehatan gigi dan mulut. 3. Menjelaskan tentang teori-teori penuaan.

4. Menjelaskan tentang perubahan fisiologis maupun morfologis pada jaringan gigi, mukosa mulut, gingival, periodontal, kelenjar ludah, tulang alveolar dan otot. 5. Menjelaskan tentang penyakit-penyakit yang sering dijumpai pada lansia serta dampaknya pada rongga mulut.

1.4 Skenario Seorang laki-laki umur 58 tahun dating ke RSGM, setelah menunggu cukup lam pasien bertemu dokter gigi dan mengeluh giginya goyang, gusi sering sakit dan berdarah, nafsu makan berkurang, susah menyunyah dan menelan. Pasien juga mengeluh cepat lelah dan berat badan semakin turun.

1.5 Rumusan Masalah 1. Jelaskan pengertian lansia dan batasan lansia! 2. Jelaskan demografi pertumbuhan lansia dan dampaknya terhadap masyarakat! 3. Jelaskan tentang teori-teori penuaan! 4. Jelaskan proses biologis terjadinya penuaan! 5. Jelaskan perubahan fisiologi dan morfologi pada jaringan rongga mulut pada lansia! 6. Bagaimana keadaan psikologis atau kejiwaan pada lansia umumnya? 7. Bagaimana layanan perawatan kesehatan gigi dan mulut pada lansia? 8. Jelaskan Penyakit-penyakit kronis dan sistemik yang sering dijumpai pada lansia? 9. Bagaimana dampak /manifestasi oral dari penyakit-penyakit sistemik? 10. Mengapa pasien tersebut susah mengunyah, menelan, dan nafsu makan berkurang? 11. Bagaimana cara pemenuhan nutrisi pada lansia?

BAB II PEMBAHASAN

2.1

Pengertian dan Batasan Lansia Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998). Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat. Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputuan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda (Suara Pembaharuan 14 Maret 1997) Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah permulaan kemunduran. Usia tuadipandang sebagai masa kemunduran, masa kelemahan manusiawi dan sosial sangat tersebar luas

dewasa ini. Pandangan ini tidak memperhitungkan bahwa kelompok lanjut usia bukanlah kelompok orang yang homogen. Usia tua dialami dengan cara yang berbeda-beda. Ada orang berusia lanjut yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi manusia, yaitu sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatan-kesempatan untuk tumbuh berkembang dan bertekad berbakti . Ada juga lanjut usia yang memandang usia tua dengan sikap-sikap yang berkisar antara kepasrahan yang pasif dan pemberontakan , penolakan, dan keputusasaan. Lansia ini menjadi terkunci dalam diri mereka sendiri dan dengan demikian semakin cepat proses kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri. Disamping itu untuk mendefinisikan lanjut usia dapat ditinjau dari pendekatan kronologis. Menurut Supardjo (1982) usia kronologis merupakan usia seseorang ditinjau dari hitungan umur dalam angka. Dari berbagai aspek pengelompokan lanjut usia yang paling mudah digunakan adalah usia kronologis, karena batasan usia ini mudah untuk diimplementasikan, karena informasi tentang usia hampir selalu tersedia pada berbagai sumber data kependudukan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa lanjut usia adalahseseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.

2.2

Demografi lansia : Proporsi penduduk lanjut usia ( lansia ) bertambah lebih cepat dibandingkan kelompok usia lain. Pada tahun 2002 terdapat sekitar 600 juta orang berusia 60 tahun keatas dan akan menjadi dua kali lipat pada tahun

2025 bahkan pada tahun 2050 akan menjadi 2 milyar, 80 % di antaranya bermukim di negara berkembang . Populasi lansia di Indonesia tahun 2005 diperkirakan akan mencapai angka kurang lebih 18,7 juta orang 8,5% jumlah penduduk (Wangsarahardja dkk, 2007). Jumlah penduduk lanjut usia Indonesia sudah di atas 7%, dan Indonesia merupakan negara tertinggi dalam pertumbuhan penduduk lanjut usia (414% dalam kurun waktu 1990-2010) serta negara keempat dalam hal berpenduduk struktur tua setelah China, India, Amerika Serikat. Badan Pusat Statistik (BPS) mensurvai bahwa jumlah Lansia di Indonesia sebanyak 17.717,800 jiwa atau 7,90% (BPS-Susenas 2006), dan jumlahnya pada tahun 2010 diprakirakan sebesar 23.992.552 (9,77%) dan pada tahun 2020 sebesar 28.822.879 (11,34%). Keadaan Lansia Indonesia, sebanyak 2.426.191 (15%) terlantar, dan sebanyak 4.658.279 (28,8%) rawan terlantar. Di tingkat perdesaan dan perkotaan, jumlah Lansia yang tidak/belum pernah sekolah sebesar 35,53%, yang tidak tamat SD sebesar 30,77% dan yang tamat SD sebesar 21,27% (BPS-Susenas 2006. cit. Gemari, 2008). Sedangkan menurut sensus kependudukan di Amerika Serikat, penduduk yang berusia di atas 65 tahun pada tahun 1980-an mencapai 30 juta dan pada tahun 2000-an diproyeksikan mencapai sekitar 20% dari populasi. Gambaran tersebut kurang lebih sama dengan kondisi yang dijumpai di Indonesia, dimana menurut Biro Pusat Statistik (1990) proyeksi jumlah Lansia di Indonesia sampai dengan tahun 2020 adalah seperti tertera pada Tabel dibawah.

Tabel 1: Proyeksi jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia (dalam juta)

Sumber : (Slamat tarigan, 2005)

Pada tahun 2015 ke atas jumlah populasi lanjut usia akan mencapai 10% dari penduduk Indonesia, bahkan akan terus meningkat persentasenya dari tahun ke tahun (Slamat tarigan, 2005).

Populasi penduduk usia lanjut (usila) di dunia terus meningkat tanpa disadari. Dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran, perbaikan pelayanan kesehatan, dan gizi yang lebih baik, maka mereka hidup lebih lama dari sebelumnya khususnya di negara maju sehingga usia harapan hidup (UHH) meningkat dua kali lipat dari 45 tahun di tahun 1900 menjadi 80 tahun di tahun 2000. Sementara itu dalam dua dekade terakhir ini terdapat peningkatan populasi penduduk usia lanjut (usila) di Indonesia. Proporsi penduduk usila di atas 65 tahun meningkat dari 1,1% menjadi 6,3% dari total populasi. Dalam 20 tahun terakhir ini ada peningkatan 5,2% penduduk usila di Indonesia pada tahun 1997. Hal itu mencerminkan bahwa proporsi penduduk usila akan

meningkat dua kali pada tahun 2020 menjadi 28,8 juta atau 11,34% dari seluruh populasi.

2.3

Teori Penuaan Teori Genetic Clock Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetic untuk spesies-spesies tertentu. Tiap spesies mempunyai jam genetic di dalam nuclei (inti sel) yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan menghitug mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak diputar, jadi menurut konsep ini bila jam kita berhenti akan meninggal dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit akhir yang katastrofal. Konsep genetic clock didukung oleh kenyataan bahwa ini merupakan cara menerangkan mengapa pada beberapa spesies terlihat adanya perbedaan harapan hidup yang nyata. Secara teoritis dapat

dimungkinkan memutar jam ini lagi meski hanya untuk beberapa waktu dengan pengaruh-pengaruh dari luar, berupa peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dengan obat-obatan atau tindakan-tindakna

tertentu.(Darmojo R. B.,2004)

Mutasi Somatik (teori Error Catastrophe) Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya proses menua adalah faktor lingkungan yang menybabkan terjadinya proses mutasi somatic. Menurut teori ini, terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel somatic, akan menyebabkan terjadinya terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel tersebut. Bagaimana mekanisme pengontrolan genetic dalam tingkat subsellular dan molecular? Salah satu hipotesis yang berhubungan dengan mutasi sel somatic adalah Hipotesis Error Catastrophe.

Menurut hipotesis tersebut, menua disebabkan oleh kesalahankesalahan yang beruntun sepanjang kehidupan setelah berlangsung dalam waktu yang cukup lama, terjadi kesalahan dalam proses transkripsi, maupun dalam proses translasi. Kesalahan tersebut akan menyebabkan terbentuknya enzim yang salah, sebagai reaksi dan kesalahan-kesalahan lain yang berkembang secara eksponensial dan akan menyebabkan terjadinya reaksi metabolisme yang salah, sehingga akan mengurangi fungsional sel, walaupun dalam batas-atas tertentu kesalahan dalam pembentukan RNA dapat diperbaiki, namun kemampuan memperbaiki diri sendiri itu sifatnya terbatas pada kesalahan dalam proses transkripsi (pembentukan RNA) yang tentu akan menyebabkan kesalahan dalam proses translasi (pembuatan protein), maka akan terjadilah kesalahan yang makin banyak, sehingga terjadi katastrop. (Darmojo R. B.,2004)

Teori menua akibat metabolisme Pada tahun 1935, McKay et al.(terdapat dalam Goldstein,et al,1989), memperlihatkan bahwa pengurangan intake kalori pada rodentia muda akan menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur. Hewan yang paling terhambat pertumbuhannya dapat mencapai umur 2xlebih panjang umur kontrolnya. Lebih jauh ternyata bahwa

perpanjangan umur tersebut berasosiasi dengan tertundanya proses degenerasi. Perpanjangan karena penurunan jumlah kalori tersebut, anatara lain disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormone yang merangsang proliferasi sel, misalnya insulin, dan hormone pertumbuhan. .(Darmojo R. B.,2004) Pentingnya metabolism sebagai faktor penghambat umur panjang, dikemukaan pula oleh Balin dan Allen(1989). Menurut mereka ada

hubungan antara tingkat metabolisme dengan panjang umur. Modifikasi cara hidup yang kurang bergerak menjadi lebih banyak bergerak mungkin juga dapaqt meningkatkan umur panjang. Hal ini menyerupai hewan yang hidup di alam bebas yang banyak bergerak dibanding dengan hewan laboratorium yang kurang bergerak dan banyak makan. Hewan di alam bebas lebih panjang umurnya daripada hewan laboratorium. (Darmojo R. B.,2004)

Kerusakan akibat radikal bebas Radikal bebas (RB) dapat terbentuk di alam bebas, dan dialam tubuh jika fagosit pecah, dan sebagai produk sampingan di dalam rantai pernafasan di dalam mitokondria. Untuk organism aerobic, RB terutama terbentuk pada waktu respirasi (aerob) di dalam mitokondria, karena 90% oksigen yang diambil tubuh, masuk ke dalam mitokondria. Waktu terjadi proses tersebut oksigen dilibatkan dalam mengubah bahan bakar menjadi ATP, melalui enzim-enzim respirasi di dalam mitokondria, maka radikal bebas akan dihasilkan sebagai zat antara. Radikal bebas yang terbentuk tersebut adalah: superoksida (O2), radiakal hidroksil (OH), dan juga hydrogen peroksida (H2O2). RB bersifat merusak, karena sangat reaktif sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, asam lemak tak jenuh, seperti dalam membrane sel dan dengan gugus SH. Tubuh sendiri sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menangkal RB, dalam bentuk enzim. Disamping itu RB dapat juga dinetralkan menggunakan senyawa non enzimatik, seperti: vitamin C, provitamin A, dan vitamin E. (Darmojo R. B.,2004) Walaupun telah ada sistem penangkal, namun sebagian RB tetap lolos, bahkan makin banyak RB terbentuk sehingga proses pengrusakan

terus terjadi, kerusakan organel sel makin lama makin banyak dan akhirnya sel mati. (Darmojo R. B.,2004) Teori Wear And Tear (Dipakai dan Rusak) Teori Wear And Tear mengajukan akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA. August Weissmann berpendapat bahwa sel somatik nomal memiliki kemampuan yang terbatas dalam bereplikasi dan menjalankan fungsinya. Kematian sel terjadi karena jaringan yang sudah tua tidak beregenerasi. Teori wear and tear mengungkapkan bahwa organisme memiliki energi tetap yang terseddia dan akan habis sesuai dengan waktu yang diprogramkan. Teori Rantai Silang Teori rantai silang mengatakan bahwa struktur molekular normal yang dipisahkan mungkin terikat bersama-sama melalui reaksi kimia. Agen rantai silang yang menghubungkan menempel pada rantai tunggal. dengan bertambahnya usia, mekanisme pertahanan tubuh akan semakin melemah, dan proses cross-link terus berlanjut sampai terjadi kerusakan. Hasil akhirnya adalah akumulasi silang senyawa yang menyebabkan mutasi pada sel, ketidakmampuan untuk menghilangkan sampah metabolik. Riwayat Lingkungan Menurut teori ini, faktor yang ada dalam lingkungan dapat membawa perubahan dalam proses penuaan. Faktor-faktor tersebut merupakan karsinogen dari industri, cahaya matahari, trauma dan infeksi.

Teori Imunitas Teori imunitas berhubungan langsung dengan proses penuaan. Selama proses penuaan, sistem imun juga akan mengalami kemunduran dalam pertahanan terhadap organisme asing yang masuk ke dalam tubuh sehingga pada lamsia akan sangat mudah mengalami infeksi dan kanker.1 perubahan sistem imun ini diakibatkan perubahan pada jaringan limfoid sehingga tidak adanya keseimbangan dalam sel T intuk memproduksi antibodi dan kekebalan tubuh menurun. Pada sistem imun akan terbentuk autoimun tubuh. Perubahan yang terjadi merupakan pengalihan integritas sistem tubuh untuk melawan sistem imun itu sendiri.

Teori Neuroendokrin Teori neuroendokrin merupakan teori yang mencoba menjelaskan tentang terjadinya proses penuaan melalui hormon. Penuaan terjadi karena adanya keterlambatan dalam sekresi hormon tertentu sehingga berakibat pada sistem saraf. Hormon dalam tubuh berperan dalam mengorganisasi organ-organ tubuh melaksanakan tugasnya dam menyeimbangkan fungsi tubuh apabila terjadi gangguan dalam tubuh. Pengeluaran hormon diatur oleh hipotalamus dan hipotalamus juga merespon tingkat hormon tubuh sebagai panduan untuk aktivitas hormonal. Pada lansia, hipotalamus kehilangan kemampuan dalam pengaturan dan sebagai reseptor yang mendeteksi hormon individu menjadi kurang sensitif. Oleh karena itu, pada lansia banyak hormon yang tidak dapat dapat disekresi dan mengalami penurunan keefektivitasan. Penerunan kemampuan hipotalamus dikaitkan dengan hormon kortisol. Kortisol dihasilkan dari kelenjar adrenal (terletak di ginjal) dan kortisol bertanggung jawab untuk stres.

Hal ini dikenal sebagai salah satu dari beberapa hormon yang meningkat dengan usia. Jika kerusakan kortisol hipotalamus, maka seiring waktu hipotalamus akan mengalami kerusakan. Kerusakan ini kemudian dapat menyebabkan ketidakseimbangan hormon sebagai hipotalamus kehilangan kemampuan untuk mengendalikan sistem.

2.4

Perubahan fisiologis dan morfologis pada rongga mulut dan jaringan rongga mulut lansia:

Penuaan dapat didefinisikan sebagai suatu hal biologis di mana proses tersebut merupakan hal yang genetik, suatu terminasi yang tak terelakkan dari pertumbuhan normal. Segi patologis dari penuaan termasuk 1. proses destruksi, yang kemungkinan berkaitan dengan reaksi autoimun, atau 2. akumulasi dari pengaruh trauma-trauma minor yang terjadi sepanjang hidup. Penurunan metabolism selular menyebabkan berkurangnya

kemampuan sel untuk bertumbuh dan reparasi. Laju pembelahan sel (mitosis) menurun sehingga pada usia 65 tahun deplesi selular mendekati 30%. Perubahan yang terjadi pada rongga mulut mirip dengan yang terjadi pada kulit dan wajah. Dijumpai keadaan atropi, pengurangan ketebalan mukosa dan submukus, demikian juga dengan kelenturan jaringan ikat. Berkurangnya vaskularisasi menyebabkan memburuknya nutrisi dan

pemberian oksigen ke jaringan. Mukosa menjadi peka terhadap iritasi mekanis, kemis dan bakteri. Waktu penyembuhan penyakit melambat. Atropi umum dapat dikaitkan dengan merosotnya output estrogen karena menopause. Radang mukosa dapat dikaitkan dengan kekurangan vit.

B12, riboflavin dan zat besi pada diet pasien lanjut usia. Kekurangan vit. C dapat menyebabkan lambatnya penyembuhan luka, kerapuhan kapiler dan perdarahan serta pembangkakan pada gingival. Salah satu perubahan yang benar-benar karena usia adalah bahwa perubahan ini memenuhi criteria berikut: Perubahan yang terjadi karena usia tidak harus bersifat merusak Perubahan berlangsung secara progresif Perubahan ini terlihat pada seluruh anggota spesies Perubahan ini tidak reversible Meski beberapa perubahan pada struktur rongga mulut ini dapat dianggap sebagai perubahan yang benar-benar karena usia, yang lainnya tidak diragukan lagi mempunyai hubungan dengan proses penyakit atau merupakan kombinasi dari proses patologi dan penuaan. Jaringan-jaringan yang patut dipertimbangkan adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Tulang Sendi temporomandibula Otot dan saraf Kelenjar saliva Mukosa mulut Jaringan periodontal Gigi geligi

Tulang Mengikuti pertumbuhandari tulang, terdapat suatu periode konsolidasi selama 15 tahun saat terjadi pengendapan kalsium yang lebih banyak, berkutangnya porositas kortikal, dan bertambahnya penebalan kortikal. Massa tulang dewasa mencapai puncaknya sekitar 35 tahun. Kemudian, massa tulang

menurun sejalan dengan usia, dengan hilangnya baik tulang kortikal maupun tulang trabekular. Pada usia tua, terutama pada wanita, makin banyak proporsi tulang kortikal yang dipenuhi oleh pusat-pusat resorpsi, terutama pada dan di dekat permukaan endosteum. Factor tambahan pada kerusakan tulang karena usia adalah ketidak seimbangan antara resorpsi dan penggantian tulang pada system Haverian. Penuaan juga mempengaruhi arsitektur internal dari tulang. Terjadi penurunan ketebalan kortikal yang lebih besar pada wanita dari pada pria. Penelitian potongan melintang menunujukkan penurunan yang lambat dan mantap dari tulang kortikal sepanjang kehidupan, dimana pria berusia 75 thaun mempunyai ketebalan 90% dibanding pria 25 tahun. Namun pada wanita, kehilangan tulang dimulai pada usia sekitar 35-45 tahun dan berlangsung lebih cepat dari pria, sehinggawanita berusia 75 tahun mempunyai ketebalan tulang hanya 60% disbanding dengan yang beruisa 25 tahun. Total kalsium tubuh pada wanita, seperti dijelaskan dengan analisa aktivasi neutron, turun sebnayak 3% untuk usia 45-55 tahun, tetapi turun sebanyak 9% perdekade pada wanita pascamenopause. Secara spesifik dapat ditunjukkan bahwa kepadatan tulang mandibula menurun sekitar 20% antara usia 45 dan 90 tahun dan bahwa di antara usia ini, angkanya pada wanita jelas terlihat lebih rendah. Selain berkurangnya kepadatan, tulang biasanya lebih rapuh, dengan meningkatnya jumlah fraktur mikro dan trabekula yang tipis yang sembuh dengan lambat karena remodelling yang melemah. Juga ada peningkatan porositas tulang yang terutama diakibatkan oleh meningkatnya ruangan vascular. Perubahan pada osteoklas yang berhubungan dengan usia lebih berhubungan dengan keadaan sumsum tukang dari pada tulang itu sendiri. Namun, osteobas berasal dari sel-sel tepi tulang yang sayangnya akan sangat berkurang jumlah maupun aktivitasnya akibat penuaan. Jadi, kegagalan

produksi dan fungsi osteoblas untuk mengimbangi resorpsi diperkirakan merupakan faktor kunci dalam perubahan bentuk tengkorank jangka panjang. Ketidakseimbangan aktivitas osteoklastik dan osteoblastik dipengaruhi dengan berkurangnya estrogen selama menopause. Kadar estrogen yang menurun, menyebabkan keseimbangan antara parathormon dan kalsitonin berubah menjadi lebih dominan ke parathormon yang dengan nyata meningkatkan ekskrsi mineral melalui ginjal. Lansia juga mengalami penurunan kemampuan dalam meningkatkan absorpsi kalsium akibat dietnya yang rendah kalsium. Selain perunbahan pasokan dan distribusi garam kalsium, pasokan darah ke tulang yang lebih tua juga berkurang.

Sendi temporomandibula Keadaan yang berhubungan dengan sendi temporomandibula masih belum jelas. Sejumlah kelainan termasuk perubahan arthritis dan kerusakan meniscus telah disebutkan, tetapi hubungannya dengan kepentingannya dengan usia, sebagai hal yang terpisah dari trauma local dan penyakit sistemik belum dipastikan.

Otot Bukti menunjukkan bahwa terjadi pengurangan massa otot total sebesar sepertiga selama periode 80 tahun. Terlihat kehilangan massa otot tahunan yang relative lebih besar bila subjek usia 70 dan 80 tahun diperbandingkan. Juga telah ditunjukkan bahwa tidak terjadi pengurangan ukuran serabut otot yang besar sejalan dengan usia, yang mencerminkan penuruna jumlah serabut. Jadi, harus dipertimbangkan apakah berkurangnya serabut oleh karena usia disebabkan oleh hilangnya unit motoris secara total atau apakah disetiap unit terjadi penurunan jumlah serabut otot. Penelitian elektorfisiologi menunjukkan hilangnya unit mototris sejalan dengan usia, terutama setelah usia 60 tahun. Pembesaran dari unit mototris yang tersisa

menunjukkan bahwa unit ini mengambil alih dan menginnervasi kembali serabut-serabut otot yang kehilangan pasokan saraf. Penelitian baru-baru ini tentang otot penutup mulut menunjukkan perpanjangan fase kontraksi sejalan dengan usia, yang menunjukkan perubahan umum dari otot atau hilangnya serabut otot untuk gerakan mengernyit yang berlangsung dengan cepat berkaitan dengan pertambhahan usia. Penelitian lain pada otot rahang lansia menunjukkan tidak ada tandatanda atrofi maupun menurunnya populasi serabut tipe II yang diketahui berkontraksi dengan cepat dan menimbulkan tegangan tinggi.

Sistem saraf Saat meneliti kembali fungsi otot sesuai dengan usia, harus dipertimbangakn juga sistem persarafan sebab keduanya berhubungan erat. Telah diketahui dengan baik bahwa hilangnya sel saraf adalah umum terjadi pada usia tua dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai perubahan yang benar-benar berhubungan dengan usia. Pada korteks serebral, meskipun cukup bervariasi, hilangnya sel saraf diperhitungkan antara 36% dan 60% anatara usia 18 dan 95 tahun. Namun, pada korda spinalis, terdapat kehilangan yang tidak selalu berarti sampai usia 60 tahun, tetapi setelah itu terjadi reduksi antara 5% dan 50%. Plak senilis dan kekacauan nuerofibrilar juga terdapat pada otak yang mengalami penuaan meski masih diperdebatkan apakah ini termasuk perubahan karena usia yang normal. Penelitian terbaru juga memperlihatkan bahwa terjadi perubahan neurotransmitter yang terkait usia, mengesankan bahwa ada gangguan fungsi pada lansia. Diperkirakan bahwa penurunan enzim sintesi dopamine khususnya, mencernminkan gangguan transmisi dopaminergik yang pada gilirannya menyebabkan disfungsi mototris yang menjadi ciri usia tua. Fungsi saraf perifer biasanya menurun dengan bertambahnya usia dimana ada perubahan terkait usia yang umum, progresif, dan tak terhindarkan. Juga ada

penurunan

kecepatan

konduksi,

meningkatnya

kelatenan

pada

jalur

multisinapsis, menurunnya konduksi pada pertautan neuromuscular dan hilangnya reseptror.

Gigi Meskipun gigi geligi biasanya menunjukkan tanda-tanda perubahan dengan bertambahnya usia, perubahan ini bukanlah sebagai akibat dari usia tetapi reflex, keausan, penyakit, kebersihan mulut, dan kebiasaan. Email mengalami sejumlah perubahan yang nyata karena pertambahan usia, termasuk kenaikan konsentrasi nitrogen dan fluoride sejalan dengan usia. Perubahan yang terjadi pada kompleks pulpa-dentin sangat dikenal baik oleh para dokter gigi sebab efek klinisnya. Pembentukan dentin yang berlanjut sejalan dengan usia menyebabkan reduksi secara bertahap pada ukuran kamar pulpa. Pembentukan dentin sekunder terutama terjadi pada atap dan dasar dari kamar pulpa. Perubahan lain yang terjadi pada dentin adalah sklerosis melalui pembentukan yang berlanjut dari dentin tubular. Perubahan ini akan mengarah ke reduksi kerentanan dentinal pada lansia. Sklerosis selalu ditemukan pada akar gigi. Seperti penurunan ukuran pulpa, perubahan lain yang dikenal adalah meningkatnya insidensi kalsifikasi pulpa. Kalsifikasi ini mungkin saja difus atau dalam bentuk batu pula, dan pada mayoritas kasus berhubungan dengan cidera dentin atau pulpa yang baru terjadi. Kalsifikasi yang meluas melibatkan kamar pulpa dan saluran akar dapat menimbulkan masalah pada perawatan akar gigi. Perubahan pada pasokan darah ke dalam pulpa telah diteliti dengan seksama dan mengambil bentuk penurunan pasokan arterial melalui saluran akar dan penurunan jumlah kapiler di dalam pulpa.

Jaringan periodontal Jaringan periodontal meliputi gingival (epitel dan jaringan ikat), ligament periodontal, tulang alveolar dan sementum, jaringan ini secara keseluruhan dipengaruhi oleh perubahan usia. Epitel Epitel mulut bertambah tipis sejalan dengan usia, kurang berkeratin, dan terdapat peningkatan kepadatan sel. Sambungan antara epitel dan jaringan ikat juga berubah sesuai usia dari sambungan (antarmuka) tipe linger (ridge) menjadi tipe papila. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan mitosis sejalan usia, beberapa lainnya melaporkan kecepatan mitosis yang tetap, dan ada juga yang menunjukkan penurunan aktivitas. Jaringan ikat Dewasa ini telah diketahui bahwa kulit menunjuukkan perubahan yang jelas sejalan dengan usia, sebagai contoh munculnya keriput dan hilangnya elastisitas. Jaringan gingival tidak mengandung lemak seperti itu dan oleh sebab itu perubahan yang nyata tidak terlihat. Meskipun demikian, perubahan akibat usia ditemukan pada jaringan ikat gingival, dan mencakup perubahan tekstur dari halus menjadi lebih padat dan jaringan bertekstur kasar. Ligamentum periodontal Komponen jaringan ikat pada ligament periodontal juga

mengalami perubahan akibat usia. Komponen serabut dan sel menurun sementara struktur ligamen menjadi lebih tidak teratur. Perubahan lain pada struktur ini termasuk penurunan kepadatan sel dan aktivitas mitosis, penurunan produksi matriks organik, dan hilangnya asam mukopolisakarida.

Sementum Pembentukan sementum, terutama aseluler, terjadi terus-menerus sepanjang hidup dan peningkatan ketebalan yang sejalan dengan usia terlihat paling jelas di daerah apical gigi. Temuan yang terakhir tersebut diperkirakan merupakan respon terhadap erupsi pasif.

Tulang alveolar Tulang alveolar menunjukkan perubahan sejalan dengan usia yang mencakup meningkatnya julmlah lamella interstitial, menghasilkan septum interdental yang lebih padat, dan menurunnya jumlah sel pada lapisan osteogenik dari fasi kribrosa. Dengan bertambahnya usia permukaan periodontal dari tulang alveolar menjadi tajam dan serabut kolagen menunjukkan insersi yang kurang teratur ke dalam tulang.

Kelenjar Saliva Sudah diketahui secara luas bahwa penyusunan fungsi kelenjar saliva merupakan suatu keadaan normal pada proses penuaan manusia. Lansia dianggap mengeluarkan jumlah saliva yang lebih sedikit baik pada keadaan istirahat maupun respons terhadap rangsang sewaktu berbicara dan sedang makan dibandingkan orang setengah baya dan dewasa muda. Anggapan ini terlalu sederhana dan dengan

berkembangnya pengetahuan klinis, secara umum anggapan tersebut semakin sulit dipertahankan. Memang benar bahwa keluhan xerostomia (mulut kering) lebih sering ditemukan pada orang tua dari pada orang muda. Fungsi utama saliva adalah pelumasan, buffer dan perlindungan untuk jaringan lunak dan keras pada rongga mulut. Jadi, penurunan aliran saliva yang serius akan mempersulit bicara dan penelanan,

menaikkan jumlah karies gigi, dan meningkatkan kerentanan mukosa terhadap trauma mekanis dan infeksi mikrobal. Sebagai contoh, perubahan-perubahan ini sering dilihat pada pasien yang mendapat perawatan radiasi, yang kelenjar salivanya mengalami kerusakan berat. Bagaimanapun juga, penyakit mulut yang separah ini tidak umum dijumpai pada lansia yang sehat. 1. Saliva Pada Keseluruhan Istilah ini mengacu pada seluruh pada seluruh saliva yang terkumpul dalam mulut. Ringkasan sementara yang didapat disebutkan bahwa reduksi pada aliran saliva seperti yang terjadi secara alamiah pada lansia adalah seimbang tuntunan fisiologis dari rongga mulut pada saat itu. Jadi, temuan secara statistic cukup bermakna pada populasi. Sepertinya berkurangnya aliran saliva istirahat pada lansia sebagai suatu kelompok. Salah satu alasan masuk akal bahwa pada lansia, kecepatan istirahat dari pengosongan kelenjar saliva mulut mungkin juga berkurang sehingga setara dengan penurunan jumlah sekresi istirahat. Hanya jika ada penurunan tambahan dari aliran saliva, seperti pada terapi obat atau setelah radiasi, keseimbangan antar kecepatan aliran saliva dan pengosongan kelenjar menjadi terganggu dan terjadi kekeringan mulut yang patologis. Yang juga terpenting diperhatikan bahwa, pada kebanyakan penelitian pada lansia sehat, tidak ada penyusunan saliva total yang dapat ditunjukan sebagai perbandingan dengan dewasa muda. Bagaimana pun dilihat dari sudut pandang kehilangan stuktur jaringan saliva pada lansia.

2. Kelenjar parotis Kelenjar parotis adalah kelenjar saliva terbesar pada manusia, memproduksi 20% dari jumlah total saliva waktu istirahat dan 50%

dari jumlah total saliva sewaktu distimulasi. Karena orifisum saluran parotis dapat dilihat dan mudah diisolasi, aliran saliva dari kelenjar ini telah diteliti lebih dalam dan lebih sering disbanding kelenjar saliva lainnya. Beberapa penelitian dirancang dengan baik menggunakan populasi yang berbeda secara geografi maupun social berulang kali gagal menunjukan perbedaan kecepatan. Tidak diragukan bahwa degenerasi epitel saliva, atrofi, dan fibrosis terjadi dengan frekuensi dan keparahan yang meningkat dengan meningkatnya usia. Sejauh yang telah diteliti, perubahan ini luasnya bervariasi pada seluruh kelenjar manusia. Meskipun demikian, derajat di mana perubahan structural ini direfleksikan pada perubahan fungsional sejalan dengan usia masih kurang jelas. Kelenjar individual tertentu, seperti parotis, tidak menunjukkan pengurangan fungsi akibat usia, sementara yang lain contohnya submandibula, member bukti yang bertentangan dalam hal berkurangnya kecepatan aliran saliva pada usia tua. Secara umum dapat dikatakan bahwa saliva nonstimulasi (istirahat) secara keseluruhan berkurang volumenya pada usia tua sedangkan saliva yang distimulasi tidak berkurang. Berdasarkan kenyataan yang tidak diragukan lagi bahwa ada perubahan struktur pada kelenjar saliva di lansia, penelitian akhir-akhir ini khususnya, membuktikan bahwa kelenjar saliva pada orang tua dapat bekerja dengan lebih efisien dibandingkan orang muda. Pada orang muda diperkirakan ada kapasitas persediaan fungsional saliva yang semakin meningkat dengan meningkatnya usia untuk mempertahankan respon fisiologi optimal pada tingkat stimulasi tertentu. Lebih jauh lagi, berkurangnya jumlah saliva nonstimulasi keseluruhan pada usia tua

mungkin seimbang dengan tuntutan fisiologis dari rongga mulut pada masa itu. Yang terpenting dari seluruhnya adalah bahwa xerostomia yang sangat sering dialami lansia kelihatannya lebih merupakan akibat sampingan dari efek pengobatan daripada disebabkan perubahan akibat usia yang alami pada kelenjar saliva, di luar kerusakan histologis yang parah yang dialami kelenjar-kelenjar saliva pada usia tua.

2.5

Proses biologis terjadinya penuaan Bervariasinya proses penuaan antar individu dipengaruhi oleh beberapa faktor endogen (genetic dan biologik) dan faktor eksogen (lingkungan, giizi, pola hidup, social, budaya, ekonomi, serta penyakit). Pada proses penuaan, perubahan yang terjadi pada organ diawali dengan perubahan yang terjadi pada tingkat seluler dan molekuler yang dicirikan

denganmenurunnya pengelolaan homeostasis yang biasanya disebabkan oleh stress oksidatif seluler. Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa terjadinya proses penuaan berkaian erat dengan proses metabolism molekuler sel dan hal ini erat kaitannya dengan sintesis protein. Secara harfiah penuaan dapat didefinisikan sebagai suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk

memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap serangan dari agen-agen penyebab jejas dan berkurangnya kemampuan memperbaiki kerusakan yang diderita.

Pada kenyataannya penuaan merupakan suatu proses yang terjadi secara alamiah, namun ada faktor endogen dan eksogen yang mempengaruhi seperti telah dijelaskan sebelumnya. Stress mengakibatkan terjadinya peningkatan produksi radikal bebas yang disebut Reactive Oxygen Species (ROS) oleh sel yang memicu terjadinya stress oksidatif sehingga terjadinya stress oksidatif sehingga terjadi penuaan sel dini (cellular senescence). Contoh dari radikal bebas yang adalah superoksida (O2), hidrogen peroksida (H202) dan radikal hidroksil (OH). ROS secara fisiologik dihasilkan oleh sel sebagai proses metobolisme sel normal, namun pada keadaan tertentu seperti adanya stress akibat radiasi ion, produksi ROS menjadi tidak terkontrol yang berakibat fatal bagi sel. ROS tidak hanya dihasilkan oleh sel namun dialam sendiri radiasi ion menghasilkan sejumlah radikal bebas yang sangatt banyak dan berbahaya bagi tubuh. Di dalam sel, organel yang berfungsi menghasilkan ROS adalah mitokondria. ROS terbentuk pada saat terjadinya respirasi di dalam mitokondria, karena 90% oksigen yang diambil tubuh pada respirasi masuk ke dalam mitokondria. Oksigen ini diperlukan untuk mengubah karbohidrat menjadi ATP melalui enzim-enzim respirasi yang ada di dalam mitokondria. Pada proses pembentukan ATP ini, ROS diperlukan sebagai zat antara yaitu sebagai second messenger yang mengaktifkan faktor-faktor transkripsi spesifik seperti Nuclear faktor Kb (NF-Kb) dan activator protein-1 (AP-1) yang menghantarkan sinyal ke dalam membrane mitokondria. Radikal bebas bersifat merusak karena sangat reaktif dan apat bereaksi dengan DNA, protein, asam lemak tak jenuh dan gugus SH sel yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian sel (apoptosis) akibat kerusakan molekuler di dalam sel yang tidak dapat diperbaiki. Kematian sel terprogram (apoptosis) ini tterjadi akibat induksi ROS yang menyebabkan transisi permeabilittas membran mitokondria sehingga terjadi akibat induksi ROS

yang menyebabkan transisi permeabilitas membrane mitrokondria sehingga terjadi pelepasan faktor-faktor apoptogenik yaitu sitokrom c. Kerusakan sel akibat akumulasi yang berlebihan dari radikal bebas disebut dengan kerusakan oksidatif. Stress oksidatif ini menyebabkan terjadinya perubahan material genetik (DNA) dan perubahan produksi protein sehingga terjadi kesalahan ekspresi protein, hal inilah yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel, organ dan jaringan yang berupa penuaan sel dini (cellular senescence) dan ekses yang sangat ekstrim adalah terjadinya kematian. Induksi kerusakan DNA selama proses ini mengakibatkan instabilitas genomic berupa lesi DNA yang menetap, mutasi DNA dan interferensi proses transkripsi. Kerusakan oksidatif tidak hanya menyebabkan kerusakan telomere. Telomere merupakan bagian ujung dari kromosom yang berfungsi untuk menjaga stabilitas kromosom. Spesifitas sel sendiri terhadap radiasi tergantung pada system pertahanan jaringan yaitu antioksidan. Antioksidan berfungsi sebagai system perlindungan sel yang mampu menetralisir bahaya yang ditimbulkan oleh radikal bebas secara enzimatik maupun non-enzimatik. Contoh antioksidan yang mampu menetralkan radikal bebas melalui proses enzimatik adalah superoksid dismutase (SOD), glutasion S-transferase (GTS), katalase (CAT), glutasion peroksidase (GSH-Px), glukuronisil transferase dan quinon reduktase. Sedangkan antioksidan yang menetralkan radikal bebas melalui proses non-enzimatik adalah vitamin C, vitamin E, dan provitamin A yang biasanya harus diasup dari luar tubuh. System pertahanan antioksidan bekerja menetralisir radikal bebas dengan berbagai cara, yaitu 1) transfer material sensitive ke bagian yang terpisah untuk melindungnya dari ROS, 2) transisi logam yang merupakan sumber electron potensial menjadi tidak reaktif, 3) menghambat proses yang memudahkan terjadinya stress oksidatif melalui replikasi DNA, 4) memperbaiki kerusakan molekul. 5) inisiasi apoptosis, 6) aktifitas enzim

antioksidan dan 7) memanfaatkan berbagai radikal bebas rusak yang dapat melawan radikal bebas itu sendiri salah satunya adalah melatonin, (N-acetyl5-methoxytryptamine). Dari hasil penelitian terbaru , diketahui bahwa stress oksidatif meningkatkan aktifitas ekspresi gen yang mengkode enzim antioksidan seperi S-transferase, 7-glutamii sistein sintetase dan heme oksigenase. Selain itu stress oksidatif juga menginduksi ekspresi gen yang terlibat dalam respon imun dan inflamasi. Stres oksidatif seluler menginduksi terjadinya respon adaptif, yakni suatu system pertahanan biologic tubuh sebagai respon terhadap induksi oleh radikal bebas dalam dosis rendah, sebagai upaya untuk memperbaiki kerusakan selular terutama kerusakan DNA. Mitokondria berisi kromosom sirkular unik yang mengkode 13 protein dan beberapa regulasi enzim. Mitokondria adalah pusat respirasi seluler yang menghasilkan ATP sebagai sumber energy bagi aktivitas sel. Sintesis energi terjadi melalui proses oksidasi ADP menjadi ATP dengan bantuan oksigen yang diperoleh dari proses respirasi sel. Mitokondria dalam menjalankan fungsinya tidak hanya menghasilkan ATP tapi juga menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS) sebagai produk metabolism aerobic yang

menyebabkan terjadinya stress oksidatif. Kerusakan oksidatif menyebabkan terjadinya delesi dan duplikasi mtDNA yang menyebabkan percepatan penuaan berbagai sel jaringan tubuh proses penuaan berbagai sel jaringan tubuh. Proses penuaan berhubungan dengan menurunnya proses transkripsi dari mtDNA yang disebabkan oleh penuaan efisiensi transkripsi di dalam mitokondria atau akibat reduksi sejumlah kopi mtDNA di dalam sel. Mitokondria bertindak sebagai biosensor stress oksidatif namun gangguan respirasi dan fosforilasi oksidatif mitokondria dapat menyebabkan peningkatan kerusakan oleh stress oksidatif yang memperparah terjadinya rearrangement dan delesi dari mttDNA akibat

pengaruh oksidatif 20x lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan DNA inti. Dari hasil penelitian para ahli gerontology molekuler terbukti bahwa mitokondria sangat berperan pada proses penuaan sehingga lahirlah teori mitokondria-penuaan yang menyatakan bahwa peningkatan produksi ROS dan akumulasi mutasi mtDNA pada mitokondria dari sel yang telah mengalami mitosis merupakan faktor yang berperan pada proses penuaan seluler molekuler. Orang yang mengalami sres berkepanjangan akan terlihat kurus dan biasanya mengalami penuaan yang lebih cepat (premature aging), sehingga penyakit-penyakit yang berhubungan dengan penuaan juga lebih cepat tterjadi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa telomere dan telomerase yang sangat berperan pada penuaan seluler akibat adanya stress oksidatif. Telomere merupakan kompleks protein DNA pada ujung kromosom yang berfungsi untuk menjaga kestabilan kromosom, sedangkan telomerase adalah enzim reverse transcriptase yang berfungsi untuk memperpanjang kembali telomere yang memendek pada saat terjadi transkripsi. Pada saat terjadinya pembelahan sel, telomere tidak sepenuhnya bereplikasi akibat keterbatasan dari DNA polymerase. Akibatnya pada system replikasi telomerase mengalami pemendekan. Pemendekan telomere pada sel normal mengakibatkan terjadinya kematian sel yang berperan pada replikasi senescencens sel dan bila p53 inaktif maka pembelahan sel menjadi tidak terkendali yang menyebabkan terjadinya Kehilangan telomere akibat pemendekan basa-basanya selama berlangsungnya replikasi DNA akan diperparah dengan adanya stress oksidaif yang berupa hipoksia, disfungsi mitokondria, arsenic maupun radiasi. Hal ini disebabkan oleh karena ttelomer sangat sensitive terhadap stress oksidatif dan DNA yang rusak. Stress oksidatif menyebabkan erosi telomere pada saat fungsi dari antioksidan menurun.

2.6

Perubahan Pskiologi Dan Mental Pada Lansia

a.

Penurunan Kondisi Fisik Setelah seseorang memasuki masa lansia, umumnya mulai dihinggapi

adanya kondisi patologis (tidak sehat) berganda, misalnya: tenaga berkurang, energi menurun, kulit keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologis, maupun sosial, sehingga dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Dalam hal ini, agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan fisik dengan kondisi psikologis maupun sosial, sehingga mau tidak mau, perlu untuk mengurangi kegiatan yang bersifat mem-forsir fisiknya. Seorang lansia perlu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat, dan olah raga yang seimbang.

b.

Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lansia sering kali

berhubungan dengan gangguan fisik, seperti: Gangguan jantung Gangguan metabolisme (proses pencernaan energi kimiawi dalam tubuh), misalnya: Diabetes Mellitus. Vaginitis (peradangan pada saluran melahirkan) Baru selesai operasi: misalnya Prostatektomi (operasi prostat) Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat berkurang Penggunaan obat-obat tertentu, seperti obat darah tinggi, golongan steroid (obat-obat penekan proses radang), dsb

Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain: - Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia - Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serat dipengaruhi oleh budaya. - Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya, pasangan hidup telah meninggal, Disfungsi (fungsi tidak optimal) seksual, karena perubahan hormonal aatu masalah kesehatan jiwa, misalnya cemas, depresi, pikun, dan sebagainya.

c.

Perubahan Aspek Psikososial Pada umumnya setelah orang memasuki lansia, maka ia mengalami

penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fugsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengalaman, dll. Sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin tidak seoptimal pada saat muda. Fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan, seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang aktif daripada waktu masih muda. Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan psikososial yang berkaitan dengan kepribadian lansia. Beberapa perubahan dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia, sebagai berikut: Tipe Kepribadian Konstruktif, biasanya tipe ini tidak mengalami gejolak, tenang, dan mantap sampai sangat tua. Tipe Kepribadian Mandiri, pada tipe ini ada yang mengalami Post Power Sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak ada kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.

Tipe Kepribadian Tergantung, pada tipe ini sangat dipengaruhi keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dan maju.

Tipe Kepribadian Bermusuhan, pada tipe ini seorang lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginannya yang kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan keadaan menjadi morat-marit.

Tipe Kepribadian Kritik Diri, pada lansia terlalu terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain sehingga membuat susah dirinya.

d.

Perubahan yang Berkaitan dengan Pekerjaan Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun

tujuan ideal pensiun agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status, dan harga diri. Reaksi setelah orang pension lebih tergantung dari model kepribadiannya, seperti yang telah diuraikan di atas. Reaksi tersebut, ada yang menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan, ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing punya dampak, baik positif yaitu lebih

menentramkan, dan dampak negatif yang akan mengganggu kesehatan lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan perlu benar-benar diisi dengan kegiatan kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya dengan masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh. Persiapan tersebut dengan berencana, terorganisasi, dan terarah bagi masingmasing orang yang akan pensiun, perlu dilakukan kajian untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan dan positif. Untuk merencanakan

kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa pensiun, dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing dengan

berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan ragam pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ditekuni, ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, dan sebagainya.

e.

Perubahan dalam Peran Sosial di Masyarakat Akibat berkurangnya fungsi indra pendengaran, penglihatan, gerak

fisik maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badan bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur, dan sebagainya akan menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka pada aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dan kadang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, marah-marah, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menahan orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil. Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas, pada umumnya lansia yang tinggal bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu mereka dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun, bagi mereka yang tidak punya sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak ada karena sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seperti terlantar. Di sinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk perawatan bagi lansia disamping sebagai long stay rehabilitation yang tanpa kehidupan

bermasyarakat. Di sisi lain perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat dan kehidupan dalam lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik daripada dalam masyarakat sebagai seorang lansia.

2.7

Layanan Kesehatan Gigi Dan Mulut Pada Pasien Lansia

Menurut Martono dan Darmojo (1994) pelayanan kesehatan usia lanjut merupakan pelayanan geriatric yang harus dilaksanakan secara holistic dan tidak hanya berdasarkan organ. Untuk memahami perinsip pelayanan ini harus diketahui beberapa hal, yaitu: a. Berbagai keadaan yang sering didapati pada penderita usia lanjut atau yang biasa dinamakan geriatric giants. b. Berbagai teori tentang proses menua. c. Berbagai cirri khas penyakit usia lanjut. d. Pengorganisasian pelayanan kesehatan pada usia lanjut di rumah sakit dan di masyarakat, yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh badan sukarela. Selain beberapa hal diatas, dibutuhkan juga dasar pengetahuan dalam melaksanakan prinsip pelayanan pada lansia secara individu melalui suatu pemahaman terhadap keadaan normal dan patologik dari proses penuaan, pengaruh obat terhadap penyakit mulut, kemampuan interpersonal,

kemampuan menegakkan diagnosa, pengenalan pengaruh penyakit sistemik terhadap rongga mulut dan teknik berkomunikasi yang baik terutama bagi individu yang memiliki gangguan sensori. Prinsip-prinsip pelayanan geriatric secara umum meliputi: a. Pendekatan yang tepat dan menyeluruh. b. Pendekatan secara team work. c. Keterpaduan dalam diagnose dan terapi. Dalam melakukan perawatan terhadap lansia peranan dokter gigi dan perawat membutuhkan kesabaran, simpatik, terampil (dapat bekerja cepat) dan terencana sesuai dengan prinsip-prinsip geriatric yaitu:

1. Melakukan diagnose keadaan kesehatan gigi dan mulut, serta selalu mencurigai adanya penyakit umum/sistemik yang diderita. 2. Merencanakan perawatan terutama untuk penyakit yang dikeluhkan. 3. Melakukan perawatan secara sistemik dengan waktu yang singkat dan dilakukan dengan sabar, simpatik, dan terampil 4. melakukan perawatan secara bersama-sama (team work) antara dokter dan dokter gigi, sehingga kebutuhan perawatan gigi dan mulut dapat dilakukan secara optimal dalam menunjang kesehatan secara keseluruhan. 5. Selama perawatan sebaiknya tetap didampingi keluarga lansia.

2.8

Penyakit Yang Sering Terjadi Pada Lansia Nina Kemala Sari dari Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam suatu pelatihan di kalangan kelompok peduli lansia, menyampaikan beberapa masalah yang kerap muncul pada usia lanjut , yang disebutnya sebagai a series of Is. Mulai dari immobility (imobilisasi), instability (instabilitas dan jatuh), incontinence (inkontinensia), intellectual impairment (gangguan intelektual), infection (infeksi), impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran), isolation (depresi), Inanition (malnutrisi), insomnia (ganguan tidur), hingga immune deficiency (menurunnya kekebalan tubuh). Selain gangguan-gangguan tersebut, Nina juga menyebut tujuh penyakit kronik degeratif yang kerap dialami para lanjut usia, yaitu: 1. Osteo Artritis (OA) OA adalah peradangan sendi yang terjadi akibat peristiwa mekanik dan biologik yang mengakibatkan penipisan rawan sendi, tidak stabilnya

sendi,

dan

perkapuran.

OA

merupakan

penyebab

utama

ketidakmandirian pada usia lanjut, yang dipertinggi risikonya karena trauma, penggunaan sendi berulang dan obesitas. 2. Osteoporosis Osteoporosis merupakan salah satu bentuk gangguan tulang dimana masa atau kepadatan tulang berkurang. Terdapat dua jenis

osteoporosis, tipe I merujuk pada percepatan kehilangan tulang selama dua dekade pertama setelah menopause, sedangkan tipe II adalah hilangnya masa tulang pada usia lanjut karena terganggunya produksi vitamin D. 3. Hipertensi Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah sistolik sama atau lebih tinggi dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih tinggi dari 90mmHg, yang terjadi karena menurunnya elastisitas arteri pada proses menua. Bila tidak ditangani, hipertensi dapat memicu terjadinya stroke, kerusakan pembuluh darah (arteriosclerosis), serangan/gagal jantung, dan gagal ginjal 4. Diabetes Mellitus Sekitar 50% dari lansia memiliki gangguan intoleransi glukosa dimana gula darah masih tetap normal meskipun dalam kondisi puasa. Kondisi ini dapat berkembang menjadi diabetes melitus, dimana kadar gula darah sewaktu diatas atau sama dengan 200 mg/dl dan kadar glukosa darah saat puasa di atas 126 mg/dl. Obesitas, pola makan yang buruk, kurang olah raga dan usia lanjut mempertinggi risiko DM. Sebagai

ilustrasi, sekitar 20% dari lansia berusia 75 tahun menderita DM. Beberapa gejalanya adalah sering haus dan lapar, banyak berkemih, mudah lelah, berat badan terus berkurang, gatal-gatal, mati rasa, dan luka yang lambat sembuh. 5. Dimensia Merupakan kumpulan gejala yang berkaitan dengan kehilangan fungsi intelektual dan daya ingat secara perlahan-lahan, sehingga

mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari. Alzheimer merupakan jenis demensia yang paling sering terjadi pada usia lanjut. Adanya riwayat keluarga, usia lanjut, penyakit vaskular/pembuluh darah (hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi), trauma kepala merupakan faktor risiko terjadinya demensia. Demensia juga kerap terjadi pada wanita dan individu dengan pendidikan rendah. 6. Penyakit jantung koroner Penyempitan pembuluh darah jantung sehingga aliran darah menuju jantung terganggu. Gejala umum yang terjadi adalah nyeri dada, sesak napas, pingsan, hingga kebingungan. 7. Kanker Kanker merupakan sebuah keadaan dimana struktur dan fungsi sebuah sel mengalami perubahan bahkan sampai merusak sel-sel lainnya yang masih sehat. Sel yang berubah ini mengalami mutasi karena suatu sebab sehingga ia tidak bisa lagi menjalankan fungsi normalnya. Biasanya perubahan sel ini mengalami beberapa tahapan, mulai dari yang ringan sampai berubah sama sekali dari keadaan awal (kanker).

Kanker merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit jantung. Faktor resiko yang paling utama adalah usia. Dua pertiga kasus kanker terjadi di atas usia 65 tahun. Mulai usia 40 tahun resiko untuk timbul kanker meningkat. Pola kemampuan mental dan sikap pasien lanjut usia merupakan hasil interaksi kompleks dari pengalaman masa lalu, ketuaan fisiologis dan perubahan sosial ekonomi pasien. Perubahan dalam kemampuan fisik : Perubahan penampilan serta peranan pasien tersebut di dalam kehidupan keluarga dan di masyarakat sering menimbulkan stres yang sangat besar pada pasien lanjut usia. Perubahan pada indera tertentu : dan sistem syaraf pusat, terjadi kemunduran kemampuan untuk menerima serta menyimpan informasi. Fungsi seperti pengertian logika dan persepsi spasial berkurang atau bisa hilang sama sekali, sehingga perubahan dalam penampilan dan kapasitas fisik dapat menimbulkan tekanan mental. Hilangnya atau memutihnya rambut, rusak atau tercabutnya gigi serta kekuatan fisik yang menurun mengarah kepada self image yang buruk. Pasien tersebut memandang dirinya seperti sudah tidak berguna atau hanya menyusahkan orang saja! hal ini kembali menambah beban mental baginya. Karakteristik penyakit lansia di Indonesia: 1. Penyakit persendian dan tulang, misalnya rheumatik, osteoporosis, osteoartritis

2. Penyakit Kardiovaskuler. Misalnya: hipertensi, kholesterolemia, angina, cardiac attack, stroke, trigliserida tinggi, anemia, PJK 3. Penyakit Pencernaan yaitu gastritis, ulcus pepticum 4. Penyakit Urogenital. Seperti Infeksi Saluran Kemih (ISK), Gagal Ginjal Akut/Kronis, Benigna Prostat Hiperplasia 5. Penyakit Metabolik/endokrin. Misalnya; Diabetes mellitus, obesitas 6. Penyakit Pernafasan. Misalnya asma, TB paru 7. Penyakit Keganasan, misalnya; carsinoma/ kanker 8. Penyakit lainnya. Antara lain; senilis/pikun/dimensia, alzeimer, parkinson, dsb 2.9 Manifestasi Oral dari Penyakit-Penyakit Sistemik 1. Penyakit Mukokutaneus

Reaksi lichenoid Dinamakan demikian karena kemiripannya dengan lichen planus, baik klinis maupun histologis. Lesi dapat terjadi di mana saja di dalam mukosa mulut, tetapi berbeda dengan lichen planus, distribusinya asimetris dan biasanya menyerang palatum. Berbagai obat seperti antihipertensi,

hipoglikemik dan obat-obat antiinflamasi nonsteroid, makanan, serta bahan tambalan (amalgam) berpengaruh pada terjadinya reaksi lichenoid pada mukosa.(Lewis M.A.,1998)

2.

Penyakit Haemopoetik dan Defisiensi

Sudah lama diketahui bahwa gejala-gejala oral merupakan indikasi awal adanya kelainan hematologis atau defisiensi nutrisi yang mendasarinya. Anemia Anemia didefenisikan sebagai berkurangnya jumlah hemoglobin sampai di bawah batas normal untuk umur dan jenis kelamin pasien tersebut. Pasien

dapat dikatakan anemic bila konsenterasi hemoglobin di bawah 12,5 g/dl pada pria, dan 12,0 g/dl pada wanita. Penyebab anemia bermacam-macam, meliputi defisiensi nutrisi (zat besi, vitamin B12, atau asam folat), menurunnya produksi sel darah merah (anemia aplastik), serta kerusakan sel darah merah (anemia Haemolitik). (Lewis M.A.,1998) Defisiensi zat besi Glositis serta angular cheilitis terjadi pada kira-kira 40% kasus dan pada 15% penderita anemia. Gambaran klinis glositis bervariasi mulai dari terjadinya penipisan papilla pada tepi-tepi lidah sampai terjadinya atrofi papilla filiformis dan fungiformis pada kasus yang parah. Di sini juga terjadi penipisan mukosa mulut secara menyeluruh, sehingga pasien rentan terhadap stomatitis. (Lewis M.A.,1998)

Defisiensi vitamin B12 Penderita mengalami glositis atrofik juga mengalami angular cheilitis serta stomatitis aptosa rekuren. (Lewis M.A.,1998)

Defisiensi folat Defisiensi folat seringkali disebabkan oleh diet yang tidak memadai, tetapi dapat juga terjadi karena penyerapan yang tidak baik sebagai akibat keabnormalan pencernaan, khusunya penyakit koeliak.

Defisiensi folat juga dikenal sebagai efek samping penggunaan fenitonin. Manifestasi oral mencakup angular cheilitis, glositis, dan stomatitis aptosa rekuren. (Lewis M.A.,1998)

Anemia aplastik Kondisi ini terjadi sebagai akibat kegagalan sumsum hemopoetik, yang menimbulakn pansitopenia dengan anemia normokromik,

granulositopenia, dan trombositopenia. Infeksi oportunistik serta lesilesi hemoragik dari mukosa mulut dan gingival sering timbul. (Lewis M.A.,1998) 3. Penyakit Saluran Pencernaan Lesi mulut merupakan bagian dari proses penyakit primer yang menyerang bagian mana saja di usus atau merupakan manifestasi sekunder dari defisiensi nutrisi sebagai akibat penyerapan yang tidak baik atau kehilangan darah yang menurun. Penyakit Crohn Penyakit ini merupakan kelainan peradangan granulomatosis yang dapat terjadi di setiap tempat dari saluran pencernaan, terutama ileum. Penyakit paling sering muncul pada decade ketiga, walaupun insidens puncak terjadi antara decade keenam dan ketujuh. Lesi oral merupakan hal umum dengan stomatitis aphtosa rekuren terjadi pada 20% kasus. Manifestasi oral lainnya adalah pembengkakan pada bibir, penebalan edematous dari mukosa bukal, tag mukosa, angular cheilitis dan gingivitis menyeluruh. Piostomatitis vegetans dan epidermolisis bullosa akuisita kadang-kadang dapat terjadi. Gejala oral dapat mendahului timbulnya penyakit Chron pada saluran pencernaan bawah. (Lewis M.A.,1998)

4.

Penyakit Imunologis

Infeksi HIV dan AIDS Sekarang sudah dibuktikan bahwa virus yang bertanggung jawab atas terjadinya AIDS dinamakan human immunodeficiency virus (HIV). HIV mempunyai kemampuan untuk melekat pada dan membunuh limfosit CD4, dan dengan demikian mengurangi imunitas humoral dan imunitas yang diperantarai sel. Jangka waktu antara kontak awal sampai munculnya infeksi bervariasi dan umumnya berkisar antara 9 bulan sampai 2 tahun, walaupun tampaknya dapat lebih lama. Ada juga yang melaporkan bahwa adanya

inkubasi dengan waktu paling singkat 2 bulan dan paling lama 7 tahun. (Lewis M.A.,1998) Gambaran klinis infeksi HIV bervariasi mulai dari sindrom tipe demam glandular setelah infeksi awal, sampai pada terjadinya limfaddenopati umum yang persisten (PGL), dan AIDS related complex (ARC), serta akhirnya AIDS yang merebak penuh. Manivestasi oral infeksi HIV berupa kandidiasis, gingivitis/periodontitis, herpes simpleks berupa lesi lesi intraoral dan perioral, hairy leukoplakia, dan stomatitis aptosa rekuren, sarcoma kaposi. (Lewis M.A.,1998) 5. Penyakit Endokrin

Diabetes melitus Diabetes mellitus terjadi sebagai akibat absolute atau relative defisiensi insulin yang diproduksi oleh sel-sel islet pancreas. Pada penderita yang kadar glukosa darahnya terkontrol, tidak terdapat manifestasi dalam rongga mulut, tetapi sederetan gejala mungkin muncul sebelum diagnosis dilakukan atau terdapat pada penderita diabetes dengan control glikemik yang tidak baik. (Lewis M.A.,1998) Tanda-tanda dan gejala oral meliputi perasaan kering pada mulut, kandidiasis, penyakit periodontal, sialosis serta rasa terbakar pada mulut. Pada penderita diabetes mungkin juga terjadi reaksi lichenoid pada mukosa mulut sebagai akibat obat-obat hipoglikemik oral. (Lewis M.A.,1998)

2.10

Susah Mengunyah, Menelan dan Nafsu Makan Berkurang Hal ini dikarenakan pada usia pasien termasuk golongan lansia. Pada lansia mengalami banyak masalah pada system gastrointestinal. Dimana system gastrointestinal mulai dari gigi samapai anus terjadi perubahan morfologik degenerative, antara lain perubahan atrofi pada rahang,mukosa kelenjar dan otot-otot penecernaan.

Hilangnya tulang perioteum dan periodontal, penyusutan dan fibrosis pada akar halus, pengurangan dentin dan reaksi stuktur gusi. Implikasi dari hal ini adalah tanggalnya gigi, dimana makanan yang masuk tidak bisa dicerna dengan baik akibatnya pencengecapan yaitu hilangnya kuncup rasa. Implikasi dari hal ini adalah dimana perubahan sensasi rasa dan peningkatan penggunaan garam atau gula untuk mendapatkan rasa.

Atrofi penurunan sekresi asam hidroklorik mukosa lamubung sebesar 11% sampai 40% dari populasi. Implikasi dari hal ini adalah perlambatan dalam mencerna makanan dan mepengaruhi berkurangnya penyerapan vitamin B12, bakteri pada usus halus akan berkembang biak bertambah banyak dan menyebabkan kurangnya penyerapan lemak. Hal ini menyebabkan nafsu makan pada lansia berkurang.

Terdapat pengurangan nyata pada tegangan maksimum dan hilangnya kekuatan otot isometrik serta dinamik pada lansia. Daerah potongan melintang adalah penentu penting dari gaya maksimum yang dihasilkan oleh otot. Dengan memakai computer tomografi ditemukan bahwa ada pengurangan yang nyata sekitar 40% pada daerah potongan melintang sejalan dengan usia pada dua otot penutup mulut, masseter dan pterigoid medial. Juga, perubahan densitas sinar-X dari otot-otot ini menunjukkan meningkatnya jumlah jaringan lemak fibrous dengan meningkatnya usia. Secara khusus, ini menunjukkan bahwa kekuatan pengunyahan pada lansia berkurang.

Hilangnya kemampuan untuk menikmati makanan seperti pada saat seseorang bertambah tua mungkin dirasakan sebagai kehilangan salah satu keniknatan dalam kehidupan. Perubahan yang terjadi pada pengecapan akibat proses menua yaitu penurunan jumlah dan kerusakan papila atau kuncup-kuncup perasa lidah. Implikasi dari hal ini adalah sensitivitas terhadap rasa (manis, asam, asin, dan pahit) berkurang.

2.11

Kebutuhan nutrisi pada pasien lansia Jumlah orang lanjut usia (lansia) di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 28,8 juta atau 11 persen dari total populasi penduduk. Namun, ada sekitar 74 persen dari lansia usia 60 ke atas menderita penyakit kronis yang harus makan obat terus selama hidup mereka. Kebutuhan gizi bagi lansia perlu dipenuhi secara adequat karena merupakan kelangsungan proses pergantian sel sel tubuh, dan guna mengatasi proses menua serta memperlambat terjadinya usia biologis. Kebutuhan kalori pada klien lanjut usia cenderung berkurang karena kurangnya kalori dasar dari kegiatan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya : untuk jantung, usus, pernafasan, dan ginjal. Kebutuhan kalori dianjurkan tidak melebihi 1700 kalori, untuk kebutuhan protein normal adalah 1 gram/kg BB/hari. Faktor faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi pada lansia : Kurangnya mencerna makanan (adanya kerusakan gigi / ompong) Kurangnya cita rasa (rasa dan buah) Kurangnya koordinasi otot-otot saraf Keadaan fisik yang kurang baik Faktor ekonomi dan sosial Faktor penyerapan makanan (daya absorpsi)

Kebutuhan kalori pada lanjut usia berkurang, hal ini disebabkan karena berkurangnya kalori dasar dari kegiatan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya : untuk jantung, usus, pernafasan, ginjal, dan sebagainya.

Jadi kebutuhan kalori bagi lansia harus disesuaikan dengan kebutuhannya. Petunjuk menu bagi lansia adalah sebagai berikut (Depkes, 1991): Menu bagi lansia hendaknya mengandung zat gizi dari berbagai macam bahan makanan yang bterdiri dari zat tenaga, pembangun dan pengatur. Jumlah kalori yang baik untuk dikonsumsi lansia 50% adalah hidrat arang yang bersumber dari hidrat arang komplex (sayur sayuranan, kacang- kacangan, biji bijian). Sebaiknya jumlah lemak dalam makanan dibatasi, terutama lemak hewani. Makanan sebaiknya mengandung serat dalam jumlah yang besar yang bersumber pada buah, sayur dan beraneka pati, yang dikonsumsi dengan jumlah bertahap. Menggunakan bahan makanan yang tinggi kalsium, seperti susu non fat, yoghurt, ikan. Makanan yang mengandung zat besi dalam jumlah besar, seperti kacang kacangan, hati, bayam, atau sayuran hijau. Membatasi penggunaan garam, hindari makanan yang

mengandung alkohol. Makanan sebaiknya yang mudah dikunyah. Bahan makanan sebagai sumber zat gizi sebaiknya dari bahan bahan yang segar dan mudah dicerna. Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan goreng gorengan. Makan disesuaikan dengan kebutuhan Minum air putih 1.5 2 liter

Manusia perlu minum untuk mengganti cairan tubuh yang hilang setelah melakukan aktivitasnya, dan minimal kita minum air putih 1,5 2 liter

per hari. Air sangat besar artinya bagi tubuh kita, karena air membantu menjalankan fungsi tubuh, mencegah timbulnya berbagai penyakit di saluran kemih seperti kencing batu, batu ginjal dan lain-lain. Air juga sebagai pelumas bagi fungsi tulang dan engselnya, jadi bila tubuh kekurangan cairan, maka fungsi, daya tahan dan kelenturan tulang juga berkurang, terutama tulang kaki, tangan dan lengan. Padahal tulang adalah penopang utama bagi tubuh untuk melakukan aktivitas. Manfaat lain dari minum air putih adalah mencegah sembelit. Untuk mengolah makanan di dalam tubuh usus sangat membutuhkan air. Tentu saja tanpa air yang cukup kerja usus tidak dapat maksimal, dan muncullah sembelit. Dan air mineral atau air putih lebih baik daripada kopi, teh kental, soft drink, minuman beralkohol, es maupun sirup. Bahkan minuman-minuman tersebut tidak baik untuk kesehatan dan harus dihindari terutama bagi para lansia yang mempunyai penyakit-penyakit tertentu seperti DM, darah tinggi, obesitas dan sebagainya.

BAB III PENUTUP

3.1

KESIMPULAN

Secara biologis manusia lanjut usia adalah manusia yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Lanjut usia (elderly) 6074 tahun, lanjut usia tua (old) 75 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa lanjut usia adalahseseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Jumlah penduduk lanjut usia Indonesia sudah di atas 7%, dan Indonesia merupakan negara tertinggi dalam pertumbuhan penduduk lanjut usia (414% dalam kurun waktu 1990-2010) serta negara keempat dalam hal berpenduduk struktur tua setelah China, India, Amerika Serikat. Teori-teori penuaan antara lain adalah teori Genetic Clock, mutasi somatik (teori error catastrophe), teori menua akibat metabolism, teori wear and tear (dipakai dan rusak). teori rantai silang, riwayat lingkungan, teori imunitas, teori neuroendokrin Perubahan yang terjadi pada rongga mulut mirip dengan yang terjadi pada kulit dan wajah. Dijumpai keadaan atropi, pengurangan ketebalan mukosa dan submukus, demikian juga dengan kelenturan jaringan ikat. Berkurangnya vaskularisasi menyebabkan memburuknya nutrisi dan

pemberian oksigen ke jaringan. Mukosa menjadi peka terhadap iritasi mekanis, kemis dan bakteri. Waktu penyembuhan penyakit melambat. Jaringan-jaringan yang patut dipertimbangkan adalah sebagai berikut ulang, sendi temporomandibula, otot dan saraf, kelenjar saliva, mukosa mulut, jaringan periodontal, dan gigi geligi. Lansia mengalami perubahan dalam berbagai aspek di antaranya aspek fisik, psikososial, peran kerja, dan peran dalam masyarakat. Dalam sertiap perubahan tersebut, lansia mengalami penurunan dari segi kognitif, lebih mudah depresi, paranoid, mengalami demensia, dan tidak sabar.

Prinsip-prinsip pelayanan geriatric secara umum meliputi: a. Pendekatan yang tepat dan menyeluruh. b. Pendekatan secara team work. c. Keterpaduan dalam diagnose dan terapi. Dalam melakukan perawatan terhadap lansia peranan dokter gigi dan perawat membutuhkan kesabaran, simpatik, terampil (dapat bekerja cepat) dan terencana sesuai dengan prinsip-prinsip geriatrik. Penyakit-penyakit kronis dan sistem8ik yang seing dijumpai pada lansia adalah osteo artritis (oa), osteoporosis, hipertensi, diabetes mellitus, dimensia, penyakit jantung koroner, kanker, daqn penyakit-penyakit lain. Penyakit-penyakit sistemik pada lansia akan menimbulkan manifestasi pada rongga mulut.

DAFTAR PUSTAKA Darmojo , R.B. Martono, H.2004.Geriatri(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi 3.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p.3-9,25-27 Zarb, G.A. Bolender,C.L. Hickey,J.C. Carlsson,G.E.2002 Buku Ajar Prostodonti untuk Pasien Tak Bergigi Menurut Boucher.Edisi 10.Jakarta:EGC.p.31-32 Barnes, E. Walls,A.2006. Perawatan Gigi Terpadu Untuk Lansia. Jakarta: EGC.p.9 Sumber : Fatimah. Respons Imunitas Yang Rendah Pada Tubuh Manusia Usia Lanjut.Jurnal Makara, Kesehatan, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 47-53 IJD 2006; 13(2):84-89 FKG UI Santi Chismirina Elza Ibrahim Auerkari Aspek molekuler proses penuaan: pengaruh stress oksidatif akibat radiasi ion terhadap mitokondria, telomere dan system kekebalan tubuh (Mahabara YP. 2011. Kesehatan Jiwa Lanjut Usia (Lansia). Majalah Kasih Edisi 12. Tersedia: http://majalahkasih.pantiwilasa.com. Accessed: 20 March, 2012) Sumber : Ahmad Kholid, S.Kep., Ns. KEBUTUHAN GIZI PADA LANJUT USIA.Nursing community ( Barnes, IE & Walls, A. 2006. Perawatan Gigi Terpadu untuk Lansia. Jakarta: EGC.) Darmojo , R.B. Martono, H.2004.Geriatri(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi 3.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p.3-9,25-27 Lewis, M. A. Lamey, J.P.1998. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut (Clinical Oral Medicine).Alih bahasa:Wiriawan,Elly.Jakarta:Widya Medika. p.66-84

You might also like