You are on page 1of 24

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BEAKANG

Gangguan psiaktri dapat mengancam jiwa dan mental seseorang. Bentuk dari gangguan pskiatri dapat berupa gangguan tidur dan anxietas. Gangguan tidur merupakan penyebab utama morbiditas sosial yang dapat menyebabkan hilangnya produktivitas dan terganggunya perkembangan kondisi medis seseorang. Sedangkan anxietas merupakan kecemasan yang sering dihadapi oleh seseorang bahkan dapat mengancam kenyaman hidup (Dipiro et al., 2005). Sekitar 50% orang dewasa menderita gangguan tidur yang kemungkinan salah satunya disebabkan oleh kecemasan dan dilaporkan bahwa di Amerika Serikat gangguan kecemasan terjadi 13,3% pada orang berusia 18 hingga 54 tahun dan 10,6% pada mereka yang berusia diatas 55 tahun (Dipiro et al., 2005). Penyebab terjadinya anxietas masih belum diketahui walaupun banyak hal mengenai patogenesisnya telah terungkap. Diketahui bahwa gangguan kecemasan ini dapat menyebabkan hal yang negatif terhadap kesehatan yakni salah satunya terjadinya gangguan tidur. Apabila seseorang telah mengalami gangguan tidur, maka aktivitas sehari-hari dapat terganggu. Masih tingginya kejadian gangguan tidur dan anxietas pada masyarakat terutama kalangan orang dewasa, menuntut pemahaman seorang farmasis untuk melakukan farmakoterapi gangguan tidur dan anxietas secara optimal. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dibuat suatu makalah tentang gangguan tidur dan anxietas serta tatalaksana terapinya. 1.2 TUJUAN FARMAKOTERAPI Tujuan utama dari terapi penderita gangguan tidur dan anxietas adalah meningkatkan kualitas hidup pasien agar dapat menjalani aktivitas sehari-hari dengan baik. Tujuan lainnya adalah untuk melakukan pencegahan terjadinya komplikasi dan efek samping dari terapi yang digunakan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1

2.1

GANGGUAN TIDUR (SLEEP DISORDER) Tidur disertai dengan berbagai perubahan fisiologis, termasuk respirasi, fungsi jantung,

tonus otot, temperatur, sekresi hormon, dan tekanan darah. Gangguan tidur merupakan gejala awal dari penyakit mental yang mengancam (Kaplan et al., 1997). 2.1.1 ETIOLOGI Faktor penyebab terjadinya gangguan tidur (insomnia) secara umum, yakni: situasional (seperti tekanan pekerjaan atau masalah keuangan, konflik interpersonal, peristiwa besar dalam kehidupan pasien, jet lag atau pergantian jam kerja), gangguan medis (seperti gangguan kardiovaskular, gangguan pernafasan, nyeri kronik, gangguan endokrin, gangguan saluran pencernaan, gangguan saraf, serta kehamilan), kejiwaan (seperti gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, penyalahgunaan zat-zat), dipicu bahan obat (seperti obat antikonvulsan, penghambat adrenergic pusat, diuretik, penghambat pengambilan kembali serotonin selektif, steroid, stimulan) (Dipiro et al., 2008). 2.1.2 PATOFISOLOGI Tidur terdiri dari dua fase yakni: tidur dengan gerakan mata tidak cepat atau non-rapid eye movement (NREM) dan tidur dengan gerakan mata cepat rapid eye movement (REM). Serotonin memiliki peranan dalam mengendalikan tidur NREM, sedangkan kolinergik dan adrenergik memediasi tidur REM. Selain itu, dopamin, norepinefrin, hipokretin, substansi P, dan histamin memiliki peranan dalam keadaan terjaga (Burns et al., 2008). Kualitas tidur akan berkurang ketika terjadi penurunan aktivitas serotonin atau destruksi pada dorsal raphe nucleus di batang otak. Sintesis dan pelepasan serotonin oleh neuron serotonergik dipengaruhi oleh tersedianya prekursor asam amino pada neurotransmiternya tersebut, seperti L-tryptophan. (Kaplan et al., 1997). 2.1.3 GEJALA

1. Sulit memulai tidur atau tidak merasa nyenyak dibandingkan dengan kesempatan yang

dimiliki untuk tidur (insomnia) (Dipiro et al., 2008).


2. Gangguan pernfasan pada malam hari disertai dengan dengkuran yang keras dan

kesulitan menghembuskan nafas yang disebut obstruksi apnea (OSA) (Dipiro et al., 2008).
3. Mengantuk yang berlebihan di siang hari, serangan tidur bisa berlangsung hingga 30

menit yang disebut narkolepsi (Dipiro et al., 2008).

4. Merasakan kesemutan, terbakar, atau perasaan pegal di kaki atau lengan. Hal tersebut

menyebabkan kegelisahan berulang yang ditunjukkan dengan menendang kaki selama tidur yang disebut dengan periodic limb movements of sleep atau restless-legs syndrome (Burns et al., 2008).
5. Tidur sambil berjalan, tidur sambil berbicara, serta bruxism (grinding gigi) yang disebut

parasomnia (Burns et al., 2008).


2.1.4 DATA KLINIK (Clinical Presentation)

Parameter yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dari gangguan tidur meliputi polisomonografi, parasomnia, tidur malam yang berkaitan dengan narkolepsi. Tidur dapat diamati dan dipantau dengan menggunakan EEG, elektro-okulogram, elektromiogram, elektrokardiogram, termisotor udara, sabuk regangan perut dan dada, serta monitor saturasi udara. Alat tersebut dapat mengukur onset tidur, tahapan tidur, gerakan mata, gerakan kaki dan rahang, irama jantung, aliran udara selama tidur, upaya penafasan, serta desaturasi oksigen (Burns et al., 2008). 2.1.5 A. PENATALAKSANAAN TERAPI Terapi Nonfarmakologi Terapi nonfarmakologi dari gangguan tidur terdiri dari (Burns et al., 2008):
Edukasi tentang tidur yang higienis, yakni: menjaga jadwal tidur yang teratur, olahraga

yang teratur tapi tidak segera sebelum tidur, hindar alkohol dan zat penstimulasi (kafein, nikotin), menjaga lingkungan tidur yang nyaman (gelap, tenang, bebas dari gangguan), hindari konsumsi makanan dan minuman sebelum tidur.
Kontrol stimulus, meliputi: pergi tidur hanya bila mengantuk, hindari tidur siang, jika

merasa tidak bisa tidur, maka bangunlah dan pergi ke ruangan lain dan kembalilah ke tempat tidur jika sudah mengantuk, tempat tidur hanya untuk tidur dan dan melakukan hubungan intim (tidak makan atau menonton TV di tempat tidur), selalu bangun pada waktu yang sama setiap hari.
Terapi relaksasi, yakni: mengurangi rangsangan somatik (relaksasi otot), mengurangi

rangsangan mental (fokus pada prosedur, citra pelatihan, meditasi, dll), melakukan biofeedback. Terapi kognitif, yakni mengubah keyakinan, sikap, dan harapan tentang tidur.
Pengurangan berat badan, tonsillectomy, perbaikan nasal septal, dan nasal continous

positive airway pressure (CPAP), terapi bedah (uvulopalatopharyngoplasty) untuk pasien OSA. 3

B.

Terapi Farmakologi

Gambar Algoritma Terapi Sleep Disorder (Dipiro et al., 2008)

Berikut merupakan tinjauan obat yang digunakan dalam gangguan tidur, antara lain (Dipiro et al., 2008): 1. Benzodiazepine Reseptor Agonis Benzodiazepine reseptor antagonis terdiri dari :

Benzodiazepin hipnotik (tradisional) memiliki efek sedatif, anxiolitik, relaksan otot, dan antikonvulsan. Contohnya: estazolam, flurazepam, quazepam, temazepam, triazolam. Nonbenzodiazepine GABA agonis baru yang selektif mengikat reseptor GABAA dan efektif menginduksi kantuk, contohnya: zolpidem, zaleplon dan eszopiclone. Zolpidem memiliki efek minimal sebagai anxiolitik dan tidak ada efek sebagai relaksasi otot atau antikonvulsan. Zalepon dapat digunakan untuk mengurangi frekuensi bangun pada malam hari atau meningkatkan waktu total tidur. Eszopiclone efektif dalam mengurangi waktu dalam onset tidur, waktu bangun setelah onset tidur, jumlah terjaga dan meningkatkan waktu tidur total dan kualitas tidur.

2. Agen Miscellaneous Agen miscellaneous terdiri dari: antihistamin (diphenhydramine, doksilamin, dan pyrilamine), antidepresan (alternatif untuk pasien dengan kuantitas tidur yang rendah yang tidak dapat menerima terapi benzodiazepin, seperti amitriptyline, doxepin, mirtazapine, dan nefazodone), trazodone (sering digunakan pada pasien insomnia yang menginduksi serotonin reuptake inhibitor (SSRI) atau bupropion).
3. Agen serotonergik (fluoxetin), antidepresan trisiklik/TCA (impiramin, protriptylin)

memiliki efek untuk membangun tidur dan patensi saluran udara bagian atas. Selain itu modafinil (provigil) dapat meningkatkan kondisi terjaga pada pasien yang memiliki sisa kantuk di siang hari ketika diterapi dengan PAP pada pasien yang menderita OSA.
4. Natrium oxybate (-hidroksibutirat, Xyrem) mengurangi kelumpuhan tidur, cataplexy,

dan halusinasi hypnagogic. Natrium oxybate merupakan hipnotik sedatif potensial dan tidak boleh digunakan bersamaan dengan obat penenang lainnya. 2.2 2.2.1 ANXIETAS DEFINISI GANGGUAN KECEMASAN Gangguan kecemasan merupakan suatu keadaan emosional, sering disebabkan oleh persepsi nyata atau bahaya yang dirasakan mengancam keamanan individu. Gangguan kecemasan dapat berupa gangguan kecemasan umum (generalized anxiety disorder), gangguan kepanikan (panic disorder), gangguan kecemasan sosial (social anxiety disorder), fobia spesifik (specific phobia), dan gangguan stress pasca trauma (posttraumatic stress disorder) (Dipiro, et al., 2005). 2.2.2 ETIOLOGI

a) Gangguan kecemasan umum, gangguan kepanikan, gangguan kecemasan sosial, dan fobia spesifik dapat disebabkan oleh:

Penyakit medis yang terkait dengan kecemasan (kardiovaskular (angina, aritmia, gagal jantung kongestif, penyakit jantung iskemik, miokard infark), gangguan endokrin dan metabolik, gangguan neurologis (demensia, migrain, penyakit parkinson, kejang, stroke, neoplasma), gangguan sistem pernapasan (asma, penyakit paru obstruktif kronik, emboli paru, pneumonia).

Penyakit psikiatri yang berhubungan dengan kecemasan (gangguan mood, skizofrenia, delirium, dan demensia. Obat-obat yang menginduksi kecemasan (antikonvulsan (carbamazepine), antidepresan (SSRI, antidepresan trisiklik), antihipertensi (felodipin), antibiotik (kuinolon, isoniazid), 5

bronkodilator (albuterol, teofilin), kortikosteroid (prednison), dopa agonis (levodopa), herbal (ma-huang, ginseng, efedra), NSAID (ibuprofen), stimulan (amfetamin, metilfenidat, kafein, kokain), simpatomimetik (pseudoefedrin), hormon tiroid (levotiroksin), serta penghentian alkohol, obat penenang) (Dipiro, et al., 2005). b) Stres pasca trauma (posttraumatic stress disorder) Etiologi yang tepat dari gangguan stress pasca trauma (PTSD) belum diketahui secara pasti. Ada kemungkinan bahwa kelainan fungsi otak menyebabkan gangguan kecemasan kronis. Genetika mungkin juga berperan dalam munculnya kecemasan akibat stress pasca traumatik, namun faktor lingkungan juga dapat terlibat (Dipiro, et al., 2005). 2.2.3 PATOFISIOLOGI Data dari studi biokimia dan neuroimaging menunjukkan bahwa modulasi keadaan kecemasan normal dan patologis berhubungan dengan beberapa daerah di otak dan fungsi abnormal di beberapa sistem neurotransmitter, termasuk norepinefrin (NE), -aminobutyric acid (GABA), dan serotonin (5-HT). Terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan patofisiologi gangguan kecemasan, yaitu: a) Teori noradrenergik Teori ini menunjukkan bahwa system saraf autonom pada pasien dengan gangguan kecemasan dapat hipersensitif dan bereaksi berlebihan terhadap berbagai rangsangan. Locus ceruleus (LC) memiliki peranan dalam mengatur kecemasan yaitu dengan mengaktivasi pelepasan NE serta merangsang sistem saraf simpatik dan parasimpatik. Aktivitas berlebihan noradrenergik yang kronik menurunkan jumlah 2-adrenoreseptor pada pasien dengan gangguan kecemasan umum dan gangguan stress pasca traumatik. Pasien dengan gangguan kecemasan sosial nampak memiliki respon adrenokortikal yang berlebihan terhadap tekanan psikologis/kejiwaan (Dipiro, et al., 2005). b) Teori reseptor GABA Terdapat dua superfamilies dari reseptor protein GABA (Asam -aminobutirat) yaitu GABAA dan GABAB. Target obat-obat untuk gangguan kecemasan biasanya adalah reseptor GABAA. Benzodiazepin memiliki efek pengontrolan dan penghambatan yang kuat pada NE, serotonin, dan dopamin. Timbulnya gejala kecemasan dapat disebabkan oleh penurunan aktivitas GABA atau penurunan jumlah reseptor pusat benzodiazepin. Pada pasien dengan gangguan kecemasan umum, ikatan benzodiazepine pada lobus temporalis kiri berkurang. Sensitifitas abnormal terhadap sifat antagonis tempat ikatan benzodiazepine dan pengurangan ikatan terjadi pada pasien dengan gangguan kepanikan (Dipiro, et al., 2005). c) Teori serotonin (5-HT) 6

Transmisi 5-HT berlebihan atau rangsangan berlebihan pada jalur stimulasi 5-HT dapat menyebabkan timbulnya gejala-gejala gangguan kecemasan umum. Pasien dengan gangguan kecemasan sosial memiliki respon prolaktin yang lebih besar terhadap rangsangan buspiron. Hal ini menunjukkan peningkatan respon serotonergik pusat. Buspirone adalah 5-HT1A parsial agonis selektif diketahui efektif untuk gangguan kecemasan umum namun tidak efektif untuk gangguan kepanikan (Dipiro, et al., 2005). 2.2.4 a) DATA KLINIK Gangguan kecemasan umum Kriteria diagnosis dari gangguan kecemasan ditegakkan melalui gejala-gejala yang menetap hampir setiap hari dan berlangsung minimal 6 bulan. Gejala-gejala gangguan kecemasan umum meliputi: gejala psikologi dan kognitif (kecemasan yang berlebihan, kekhawatiran yang sulit dikendalikan, perasaan cemas sebelum sesuatu terjadi, dan sulit berkonsentrasi), gejala fisik (gelisah, letih, otot regang, sulit tidur, mudah marah), dan gangguan (pada kehidupan sosial, pekerjaan, atau tempat penting lainnya), kemampuan pengatasan masalah rendah) (Dipiro, et al., 2005). b) Gangguan kepanikan Gangguan panik dimulai dengan serangan panik tak terduga (spontan) yang melibatkan rasa takut, terus menerus seperti ketakutan terhadap bahaya yang mengancam jiwa. Serangan panik tak terduga yang diikuti setidaknya 1 bulan akan muncul serangan panik lain. Gejala-gejala serangan panik yaitu: gejala psikologis (takut kehilangan kontrol, takut gila, takut mati) dan gejala fisik (nyeri perut, nyeri dada, pusing atau sakit kepala ringan, wajah merah, mual, gemetar) (Dipiro, et al., 2005). c) Gangguan kecemasan sosial Gangguan kecemasan sosial ditandai oleh rasa takut, irasional, dan terus menerus akan dinilai negatif dalam kehidupan sosial. Pada pasien di bawah 18 tahun, durasi gejala minimal 6 bulan. Gangguan kecemasan sosial merupakan gangguan kronis dengan durasi rata-rata 20 tahun (Dipiro, et al., 2005). 2.2.5 A. PENTALAKSANAAN TERAPI Terapi Nonfarmakologi Psikoedukasi, konseling jangka pendek, manajemen stres, meditasi, dan olahraga. Psikoterapi dapat digunakan ketika pasien menderita gejala ringan. Menghindari kafein, pil diet, dan penggunaan alkohol berlebihan.

Terapi kognitif-sikap (Cognitive-Behavioral Therapy CBT), pasien belajar untuk mengurangi ketakutan dan serangan panik. (Dipiro, et al., 2005)

B.

Terapi Farmakologi Obat lini pertama Venlafaxin XR Paroksetin Escitalopram SSRI Obat lini kedua Benzodiazepin Imipramin Buspiron Imipramin Klomipramin Alprazolam Klonazepam Citalopram Escitalopram Fluvoksamin Klonazepam Alternatif Hidroksizin Fenelzin

Tabel. Drug of choice untuk gangguan kecemasan Gangguan kecemasan Gangguan kecemasan umum Gangguan kepanikan

Gangguan kecemasan sosial

Paroksetin Sertralin Venlafaxin XR

Buspiron Gabapentin Fenelzin (Dipiro, et al., 2005)

a) Antidepresan Antidepresan merupakan obat lini pertama dalam terapi gangguan kecemasan umum jangka panjang. Venlafaxin lepas lambat (serotonin reuptake norepinefrin inhibitor/SNRI), paroksetin, dan escitalopram merupakan antidepresan yang disetujui FDA (Food and Drug Administration) untuk terapi gangguan kecemasan umum (GAD). Imipramine dipertimbangkan ketika pasien gagal untuk merespon SSRIs. Penelitian menunjukkan bahwa antidepresan memodulasi aktivasi reseptor pada jalur transduksi sinyal saraf yang terhubung dengan neurotransmitter 5-HT, DA, dan NE. Pada pasien dengan gangguan kepanikan, antidepresan SSRI dan imipramine efektif digunakan. Penghambat MAO dapat digunakan untuk pasien gangguan kepanikan yang sulit disembuhkan. Pada pasien dengan gangguan kecemasan sosial (SAD), paroxetin, sertralin, dan venlafaxin lepas lambat dapat digunakan dan dianggap terapi lini pertama karena efikasi dan tolerabilitasnya. Sedangkan pada gangguan stress pasca traumatik, SSRI adalah terapi lini pertama dan penghambat MAO juga efektif namunn tidak terlalu dipertimbangkan efek sampingnya karena penggunaaannya (Dipiro, et al., 2005). b) Benzodiazepin Benzodiazepin merupakan obat yang paling sering diresepkan dalam terapi kecemasan. Clonazepam digunakan dalam terapi antipanik dan antikonvulsan, alprazolam diindikasikan untuk terapi gangguan kepanikan dengan atau tanpa agoraphobia dan GAD. Secara umum, benzodiazepine mengatasi kecemasan dengan mempotensiasi aktivitas GABA. Benzodiazepin mengikat reseptor GABAA di 1, 2, 3, dan 5. Efek benzodiazepine terhadap kecemasan 8

dimediasi di 2. Pada pasien gangguan kepanikan, alprazolam, dan klonazepam merupakan golongan benzodiazepine yang paling sering digunakan. Alprazolam adalah terapi yang tepat untuk pasien yang membutuhkan bantuan cepat. Tingkat kekambuhan 50% atau lebih umum terjadi meskipun penurunan dosis telah dilakukan bertahap. Pada pasien dengan SAD, benzodiazepin paling umum diresepkan (Dipiro, et al., 2005). c) Azapiron (Buspiron) Buspirone merupakan ansiolitik nonbenzodiazepin dengan efek antikonvulsan, relaksan otot, hipnotis, gangguan motorik, dan ketergantungan yang rendah. Buspiron merupakan terapi lini kedua untuk gangguan kecemasan umum dan kurang berefek pada gangguan kecemasan yang lain, misalnya gangguan kecemasan sosial maupun gangguan kepanikan. Mekanismenya dalam mengatasi kecemasan belum diketahui secara pasti, kemungkinan berkaitan dengan aktivitasnya sebagai agonis parsial 5HT1A. Buspirone efektif untuk mengatasi gejala kognitif pada kecemasan (Dipiro, et al., 2005).

Algoritma terapi gangguan kecemasan umum BAB III CASE STUDY DAN ANALISISNYA

PENYELESAIAN KASUS DENGAN METODE SOAP a) Subjektif


Data pasien Keluhan pasien Nama : Ibu Mary Jane Smith Jenis kelamin : Perempuan Umur : 72 tahun Diabetesnya semakin memburuk lebih dari 2 bulan terakhir Lelah dan mengantuk Makan sambil tidur Kesulitan untuk tidur dan tetap tertidur selama beberapa tahun Ketidakmampuan menahan kencing ketika sedang batuk atau bersin Nyeri lutut kanan dan kekakuan/kram, biasanya sehabis bangun tidur dan setelah duduk. Nyeri pada tangan dan pergelangan Rasa panas dan geli pada tungkai bawahnya Merasa lapar sepanjang waktu Sering mengalami sakit kepala dan alergi musim semi Rasa pusing dan berputar-putar/puyeng jika berdiri terlalu cepat Pernah pingsan/jatuh kira-kira 1 bulan yang lalu Insomnia bertahun-tahun Osteoarthritis (pinggul kanan, lutut kanan, dan kedua tangan) Dislipidemia DM Tipe 2 selama 12 tahun Neuropati perifer Hipertensi selama 10 tahun Depresi Pernah jatuh Rinitis alergi Ibu meninggal akibat CVA pada umur 65 tahun, memiliki kanker payudara, Ayah meninggal akibat infark miokardial pada umur 55 tahun Amlodipin Telah bercerai, mengalami kesulitan keuangan, telah pension

Riwayat penyakit

Riwayat kesehatan keluarga Riwayat alergi Riwayat social

b) Obyektif
Hasil pemeriksaan Hasil laboratorium

- Nyeri panggul kanan, dan lutut kanan serta terjadi perubahan bentuk pada tulang lutut
mengindikasikan terjadinya OA Indikator Fungsi ginjal Natrium Kalium Klorida CO2 BUN SCR Gula darah Kadar glukosa HbA1C Fungsi hati (LFT) ALT (SGPT) AST (SGOT) GGT T.bilirubin T.protein Albumin Darah Hgb Pasien 140 mEq/L 4,2 mEq/L 105 mEq/L 28 mEq/L 11 mg/dL 1,6 mg/dL 242 mg/dL 9,2 % 32 IU/L 34 IU/L 47 IU/L 0,3 mg/dL 7,1 g/dL 4,0 g/dL 14 g/dL Normal 135 - 145mEq/L 3,5 - 5 mEq/L 95 -105 mEq/L 20-29 mEq/L 7-20 mg/dL 0-8 1,4mg/dL <140 mg/dL < 7% < 23 IU/L < 21 IU/L 5-38 IU/L 0,25-1,0 mg/dL 61-82 g/L 37-52 g/L 14-17,5 mg/dL Status Gangguan fungsi ginjal (GFR GFR = 34,19 ml/menit) Dibetes mellitus

Gangguan fungsi hati (child A)

Normal

10

Hct RBC Plt Wbc

43%

- 4,7 x 106/mm3 - 262 x 103/mm3 - 6,2 x 103/mm3

20-50% (P) 4-6 x 106/mm3 140-340 x 103/mm3 - 4,5-10 x l03 mm3

Riwayat penyakit Riwayat pengobatan

Hasil diagnosa dokter

150-200 mg/dL < 100 mg/dL Dislipidemia 45-65 mg/dL (P) 120-190 mg/dL - Tekanan darah - 90/62 mmHg - 120/80 mmHg Hipotensi 1 Insomnia bertahun-tahun, 2Osteoarthritis (pinggul kanan, lutut kanan, dan kedua tangan), 3 Dislipidemia, 4DM tipe 2 selama 12 tahun, 5Peripheral neuropathy, 6Hipertensi selama 10 tahun, 7Depresi, 8Riwayat pernah jatuh, 9Allergi rhinitis. Obat yang sedang dikonsumsi saat ini yaitu : 1. Zolpidem 10 mg, 1 kali sehari tiap sebelum tidur per oral, bila diperukan. 2. Ibuprofen 600 mg, 3 kali sehari per oral. 3. Glucosamine 500, 3 kali sehari per oral. 4. Amitriptyline 100 mg, tiap sebelum tidur per oral. 5. HCTZ 25 mg, Q AM per oral. 6. Metformin 1,000 mg, 2 kali sehari per oral. 7. Lisinopril 40 mg, 1 kali sehari per oral. 8. Doxazosin 4 mg, tiap sebelum tidur per oral. 9. Excedrin Extra Strength 1 tablet, tiap sebelum tidur per oral. 10. Venlafaxine ER 150 mg, 1 kali sehari per oral. 11. Aspirin 81 mg, 1 kali sehari per oral. 12. Diphenhydramine 25 mg, 3 kali sehari per oral, bila diperlukan. 13. Advil Cold and Sinus, tiap hari per oral, bila diperlukan. 1 Insomnia, 2Makan sambil tidur yang disebabkan oleh zolpidem, 3Diabetes tipe 2 yang tak terkontrol, 4Inkontinensia urin yang tidak diobati, 5OA, 6Dislipidemia yang tak diobati, 7 Riwayat pernah jatuh, 8Depresi, 9Riwayat HTN (hipotensi), 10Peripheral neuropathy, 11 Obesitas, 12Insufisiensi ginjal kronis, 13Allergi rhinitis, 14Resiko osteoporosis, 15Resiko terjadinya GI bleed, 16Nonadherence

Kadar Lipid TC LDL HDL TG

212 mg/dL 137mg/dL 45 mg/dL 180 mg/dL

c) Assesment:
Assesment Diabetes mellitus + neuropati perifer Gangguan fungsi ginjal Gangguan fungsi hati Dislipidemia Depresi + gangguan tidur Osteoathritis Data Pendukung - Rekam medis, hasil laboratorium Berdasarkan perhitungan GFR = 34,19 ml/menit - Hasil laboratorium - Rekam medis, hasil laboratorium - Rekam medis, keluhan dari keluarga pasien, gejala dari pasien. - Pemeriksaan fisik

d) Plan

Terapi Farmakologi
1. Untuk penyakit DM yang diderita pasien, penggunaan metformin dihentikan dan dapat

diganti dengan golongan obat antidiabetes oral lainnya yakni kombinasi antara sulfonilurea

11

dengan thizolindindion. Penggunanan metformin pada gangguan fungsi hati sebaiknya dihindari, penyakit hati itu merupakan faktor resiko dari peningkatan asidosis laktat selama terapi metformin. Penggunaan metformin juga dihindari pada disfungsi ginjal (serum kreatinin 1,5 mg/dL pada pria dan 1,4 mg/DL pada wanita ). Maka dari itu dilakukan penggantian metformin dengan kombinasi antara Sulfonilurea (Glimepirida) dan Thizolindindion (Rosiglitazon) yakni: 1 mg/hari glimepirida dan 4 mg/hari rosiglitazon (Lacy, et al., 2009). Dimana kombinasi kedua obat tersebut lebih aman pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal, selain itu kombinasi tersebut dapat menyebabkan perbaikan nilai HbA1c hingga -1,1% pada pasien DM (Dipiro et al., 2005).
2. Untuk dislipidemia yang diderita pasien, diberikan Fluvastatin dengan dosis 40 mg/hari

karena obat tersebut sedikit diekskresi di ginjal, maka dari itu penggunaan obat statin jenis ini lebih aman digunakan pada pasien gagal ginjal (Lacy, et al., 2009).
3. Untuk terapi depresi dan insomnia, pemberian obat venlafaxin dan amitripilin

(antidepresi) serta zolpidem (obat insomnia) dihentikan. Venlafaxine dimetabolisme di hati, penggunaannya pada pasien dengan gangguan fungsi hati dapat menyebabkan peningkatan kadar venlafaxin bebas di dalam darah akan meningkat sehingga dapat menimbulkan toksisitas. Penggunaaan antidepresan amitripilin dapat menyebabkan insomnia sehingga harus dihentikan penggunaannya. Zolpidem mengakibatkan makan sambil tidur pada pasien. Untuk penanganan depresi, pasien diberikan paroxetine dengan dosis 10 mg. hari dan diberikan dalam selang waktu 2 jam setelah pemberian aspirin.
4. Karena pasien memiliki riwayat hipertensi bertahun-tahun, pemberian antihipertensi

tetap diberikan walaupun tekanan darah pasien sudah menurun untuk mengantisipasi terjadinya risiko kembalinya peningkatan tekanan darah yang nantinya akan berakibat terjadinya penyakit jantung koroner, namun pemberian obat antihipertensi yang diberikan hanya Lisinopril dosis 2,5-5 mg/hari (Lacy, et al., 2009), sedangkan doxazosin dan HCT dihentikan. Hal tersebut dikarenakan lisinopril bersifat renoprotektif (melindungi ginjal) serta aman digunakan pada pasien DM.
5.

Untuk OA yang diderita pasien, pasien tetap diberikan Glukosamin dosis 500 mg,

diminum 3 kali sehari (Lacy, et al., 2009).


6. Penggunaan Aspirin 81 mg sekali sehari tetap diberikan, yang berfungsi sebagai

antiplatelet untuk mencegah thrombosis, dimana jika penghentian aspirin dilakukan maka resiko terjadinya penyakit jantung dapat tejadi. Selain itu, pasien juga mengalami risiko terkena penyakit jantung akibat hipertensi yang diderita selama bertahun-tahun.
7. Penggunaan Excedrin Extra, Diphenhydramine, Advil Cold and Sinus tetap diberikan

bila perlu, karena obat tersebut merupakan obat simptomatik yang diberikan untuk 12

menangani keluhan pasien jika kambuh (rhinitis alergi). Sedangkan penggunaan ibuprofen dihentikan karena ibuprofen dieliminasi terutama melalui metabolisme secara luas di hati (Lacy, et al., 2009). Terapi Non Farmakologi
a)

Tidak makan berlebihan, menjaga berat badan. Hindari makanan siap saji

dengan kandungan kalori, karbohidrat dan lemak, hindari makanan dengan kadar gula tinggi serta makanan dengan kadar garam yang tinggi b) c) d) e) f) g) Membiasakan untuk hidup sehat, teratur dan disiplin. Pasien harus menghindari kontak dengan allergen, misalnya serbuk sari bunga, Psikoedukasi, manajemen stres, serta meditasi. Istirahat yang cukup, olahraga teratur serta menghindari konsumsi kafein. Terapi kognitif-sikap (Cognitive-Behavioral Therapy/CBT) yakni pasien belajar Edukasi tentang tidur yang higienis dan terapi relaksasi, yakni: mengurangi

debu, jamur, bulu.

untuk mengurangi kecemasan yang dialami. rangsangan somatik (relaksasi otot), serta mengurangi rangsangan mental (fokus pada prosedur, citra pelatihan, meditasi, dll). Pasien dapat diajarkan untuk menggunakan berbagai teknik relaksasi sesaat sebelum tidur. (Dipiro, et al., 2005; Burns et al., 2008) KIE (KOMUNIKASI, INFORMASI, DAN EDUKASI)
1. Dukungan dan perhatian dari keluarga sangatlah penting dalam hal ini guna

mengurangi progresifitas penyakit, seperti untuk mengatur pengobatannya secara intensif dapat dilakukan oleh anak pasien secara, karena usia pasien yang sudah lanjut tidak memungkinkan untuk mengatur pengobatan sendiri.
2. Selalu mengingatkan kepada pasien untuk melakukan terapi baik farmakologi

maupun non farmakologi sesuai dosis yang tercantum serta memberikan motivasi dengan meyakinkan bahwa pasien dapat sembuh.
3. Jangan biarkan pasien merasa kepikiran, tertekan, terlebih stres serta terapkan pola

makan yang teratur, serta hindari makanan yang mengandung kolesterol, seperti daging-dagingan atau makanan siap saji. Selain itu, diberitahukan kepada anaknya turut serta dalam mengatur pola makan dari pasien.
4. Hindari sebuk sari, debu, binatang berbulu untuk mencegah kambuhnya rhinitis

alergi. 13

5. Lakukan diet makanan dengan kadar gula, lemak, dan garam berlebih untuk

mengurangi keparahan dari penyakit diabetes mellitus, dislipidemia dan hipertensi.

BAB IV KESIMPULAN

14

4.1 Obat-obat yang dapat digunakan dalam terapi gangguan tidur (sleeping disorder) yaitu obat dari golongan benzodiazepin (zolpidem), antidepresan trisiklik (venlafaxine), antidepresan SSRI (trazodon), dan antihistamin (difenhidramin). 4.2 Obat-obat yang dapat digunakan dalam terapi gangguan kecemasan (anxiety disorder) adalah obat-obat golongan antidepresan (trisiklik, SSRI, penghambat MaO), benzodiazepine, dan azapiron (buspiron). 4.3 Penanganan insomnia pada pasien usia lanjut, pemilihan terapi farmakologinya harus mempertimbangkan kondisi fungsi hati dan ginjal pasien yang sudah menurun, serta penggunaan terapi non farmakologi.

DAFTAR PUSTAKA

15

Burns, M. A, Barbara G.W, Terry L.S, Patrick M.M, Jill M.K, John C.R, Joseph T.D. 2008. Pharmacotherapy Principles & Practice. New York: Mc Graw-Hill Companies, Inc. Dipiro, J.T., Robert L.T., Gary C.Y, Gary R.M, Barbara G.W, and Michael P. 2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 6th Edition. United States of America: The Mc Graw-Hill Companies, Inc. Dipiro, J.T., Robert L.T., Gary C.Y, Gary R.M, Barbara G.W, and Michael P. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th Edition. United States of America: The Mc Graw-Hill Companies, Inc. Ehrenpies, S., and Eli D.E. 2001. Clinicians Handbook of Prescripton Drugs. United of States of America: The Mc Graw-Hill Companies, Inc. Kaplan, H.I., Benjamin J.S, and Jack A.G. 1997. Ilmu Pengetahuan Perilaku Pskiatri Klinis Edisi Ketujuh, Jilid Dua. Indonesia: Bina Rupa Aksara. Lacy, C.F., Lora L.A., Morton P.G., Leonard L.L. 2009. Drug Information Handbook 18th Edition. United of States of America: Lexi-comp, Inc. Sweetman, S. C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference 36th Edition. Pharmaceutical Press. USA:

LAMPIRAN Zolpidem

16

Mekanisme Kontraindikasi Efek Samping

: Mengikat dan memodulasi GABA-benzodiazepine reseptor kompleks dalam neuron SSP (Ehrenpiers and Eli, 2001) : Tidak ada (hipersensitivitas pada zolpidem atau salah satu komponen dari formulasi (Lacy et all., 2009) : Kepala pusink, kantuk, diare, mulut kering, kecanduan, anaphylaxis, depresi, tekanan jantung, depresi, sumsum tulang belakang (Ehrenpiers and Eli, 2001)

Interaksi

: Obat-obat yang dapat meningkatkan efek toksisitas zolpidem adalah obaobat depresan, SSP seperti imipramine, klorpromazin. Khusus obat flumazenil dapat membalikkan efek zolpidem (Ehrenpiers and Eli,2001)

Dosis

: Sediaan ambien: 5 mg sebelum tidur pada orang tua, orang dewasa 10 mg sebelum tidur (Ehrenpiers and Eli, 2001).

Metformin Indikasi : Manajemen DM tipe 2 (NIDDM) sebagai monoterapi saat hiperglikemia tidak bisa dikontrol dengan diet saja. Pada orang dewasa dapat digunakan bersamaan dengan sulfinurea atau insulin untuk meningkatkan kontrol glukosa. Kontraindikai : Hipersensitivitas terhdap metformin, difungsi ginjal ( serum kriatenin 1,5 mg/DL pada pria dan 1,4 mg/DL pada wanita ) atau klierns kreatinin abnormal dari suatu penyebab termasuk shock, infark miokardial akut atau septikemi, metabolic asidosis akut atau kronis maupun tanpa (termasuk diabetes ketoasidosis) Efek samping : Diare, mula muntah, flatulen, plapitasi, sakit kepala, kemerahan, hipoglikemia, distensi abdominal, konstipasi, dyspepsia, meningkatkan kadar vit b 12, anemia megaloblastik. Interaksi : Toksisitas metformin dapat ditingkatkan dengan pemakaian cephalexin, cimetidin, penurunan efek dari metformin dapat terjadi pada pemakaian kortikosteroid Dosis : DEWASA: Dosis awal 500 mg 2 x sehari atau 850 mg 1x sehari. (Lacy et all., 2009) Venlafaxine Indikasi : Terapi gangguan depresi, ganguan kecemasan social (SAD) , ganguan kecemasan umum (GAD), ganguan kepanikan. 17

Mekanisme CNS KontraindikasI Efek samping

: Menghambat penyerapan kembali dari serotonin ke dalam neuron : Penggunaan penghambat MAO sampai 14 hari, hipersensitivitas terhadap venflaxine. : Gangguan kepala, isomia, mual, anoreksia, konstipasi, hipertensi, edema, takikardia, hipotensi postural, mimpi abnormal, amnesia, migraine, vertigo,diare.

Interaksi

: Hindari penggunaan dengan MAO inhibitor, venlafaxine dapat meningkatkan toksisitas dari aspirin, penekan SSP, NSAID, alphabetha-agonis.venlafaxine dapat menurunkan efek dari indinavir.

Dosis (Lacy et all., 2009) Diphenhydramine Mekanisme Indikasi Kontraindikasi Efek samping Interaksi

: Pada orang dewasa 75 mg 1xsehari bersamaan makanan.

: Efek antagonis pada histamine dalam GI, pembuluh darah, system respirasi, antikolinergik, dan efek sedative dapat muncul. : Mengatasi gejala alergi menyebabkan pelepasan histamine termasuk alergi nasal, kulit. Antitusif (Lacy et all., 2009) : Hipersensitivitas pada antihistamin, asma akut, penyempitan glukoma : Kantuk, mulut kering, tengorokan kering, gemetaran, susah buang air, depresi sumsum tulang belakang, hipotensi, halusinasi, bingung. :Diphenhydramin dapat meningkatkan efek dari antikolinergik, penekan SSP, dapat menurunkan efek codein, tramadol,asaetilkolin esterase inhibitor (Lacy et all., 2009)

Dosis

: Dosis dewasa untuk pengobatan reaksi alergi, oral :25-50 mg setiap 6-8 jam. Pada orangtua dosis awal 25 mg 2-3 x sehari dan dapat ditinkatkan bila diperlukan (Lacy et all., 2009).

Doxazosin Indikasi : Terapi tunggal hipertensi amupun dengan kombinasi diuretic,ACE inhibitor, beta bloker, atau kalsium antagonis. 18

Mekanisme

: Menghambat secara kompetitif reseptor alpha1 andrenergik yang menyebabkan vaosdilatasi vena dan arteri, menurunkan resistensi perifer dan tekanan darah.

Kontra indikasi Efek samping

: Hipersensitivitas terhadap quinazolines, doxazosin : Sakit kepala, hipotensi ortostatik, edema, palpitasi, aritmia, vertigo, isomia, kecemasan, depresi, kemerahan pada kulit, pruritus, disfungsi seksual, nyeri abdomen, diare, mual, konstipasi,dyspepsia, kram otot.

Interaksi

: Hindari penggunaan bersamaan dengan selodosin, tamsulosin. Doxazosin dapat meningkatkan efek kalsium chenal bloker, selodosin,tamsulosin.

Dosis (Lacy et all., 2009)

: Pada orang dewasa untuk hipertensi dosis maksimal:16 mg per hari.

HCT (hydro klorothiaziad) Indikasi Kontraindikasi Efek samping : Managemen hipertensi ringan sampai sedang, terapi edema pada gagal jantung kongestif dan sindrom nefrotik. : Hipersensitivitas pada klorothiazid, thiazid atau obat turunan sulfonamide, kehamilan. : Hipotensi ortostatik, hipoklaemia, anoreksia, anemia aplastik, eritema, hiperkalemia, gangguan fungsi ginjal,leucopenia, kegagalan fungsi hati, anemia himolitik. Interaksi Mekanisme Dosis (Lacy et all., 2009) : Dapat meningkatkan efek ace inhibitor allopurinol. Penggunaan hydro klorothiazid dapat menurunkan efek NSAID : Menghambat reabsobrsi natrium dalam tubulus distal yang menyebabkan peningkatan eksresi natrium dan air . : Hipertensi pada dewasa: 12,5-50 mg/perhari, orangtua:12,5-25 mg 1 x sehari

Ibuprofen Mekanisme : Inhibitor kompetitif dari ACE inhibitor, mencegah konversi angiostesin 1 menjadi angiostesin 2 menyebabkan penurunan kadar

19

angiostesin 2 dan peningkatan aktivitas rennin plasma serta penurunan sekresi aldosteron. Indikasi Kontraindikasi Efek samping Dosis Interaksi Mekanisme : Sebagai terapi pada penyakit inflamasi dan rematik meliputi RA, nyeri ringan sampai sedang, demam, dysmenorhea : Hipersensitivitas pada ibuprofen , aspirin, NSAID lain. : Edema, sakit kepala, kemerahan pada kulit, retensi cairan, mual, nyeri pada perut, kram,konstipasi, diare, muntah. : Pada orang dewasa sebagai analgesic : 200-400 mg tiap 4-6 jam dosis maksimum seharinya 1,2 gram :Ibuprofen dapat meningkatkan efek dari aminoglikosida, anticoagulant, antiplatelet,quinolon. :Menghambat COX 1 dan COX 2 secara reversible sehingga menyebabkan penurunan prostaglandin dan menyebbakan efek antipiretik, anlgesik dan antiinflamasi. (Lacy et all., 2009) Lisinopril Indikasi Kontraindikasi Efek samping Interaksi obat : Terapi hipertensi baik tunggal maupun kombinasi dengan hipertensi lainnya, terapi pada infrak miokardial akut. : Hipersensitivitas terhadap lisinopril, angiodema, pasien dengan idiopatik. : Hipotensi,sakitkepala,kemrahan pada kulit, hiperkalemia, diare, mual, muntah, nyeri abdomen, penurunan hemoglobin. : Lisinopril dapat meningkatkan efek dari allopurinol dan efek lisinopril dapat diturunkan dengan penggunaan antasida dan NSAID. Dosis :Pada Dewasa: 10-40 mg perhari, pada orang tua : 2,5-5 mg perhari (Lacy et all., 2009)

Excedrin Extra Strength (asetaminophen,aspirin,kafein) Indikasi : Penangan nyeri ringan sampai sedang.

20

Dosis (Lacy et all., 2009)

: Dosis dewasa sebagai analgesic 500 mg/dosis, 2 dosis setiap 6 jam (maksimum 8 dosis per 24 jam)

Advil Cold and Sinus (pseudoefedrin dan ibufropen) Indikasi Dosis (Lacy et all., 2009) Aspirin Indikasi : Terapi nyeri ringan sampai sedang, inflamsi, demam, dapat digunakan sebagai profilaksis infark miokardial, profilaksis stroke dan iskemia, managemen RA, osteoarthritis, gout. Kontraindikasi Efek samping : Hipersensitivitas terhadap salisilat dan NSAID lain, asma, rhinitis. : Hipotensi, takikardi, edema, insomnia, agitasi, sakit kepala, kemerahan pada kulit, hiperkalemia, dehidrasi, hipoglikemia, hipernatremia, mual muntah, dyspepsia, nyeri perut, ulcer, anemia, hepatotoksisitas, kerusakan tulang, asma. Interaksi : Aspirin dapat meningkatkan efek dari anticoagulant, kortikosteroid, asam valproat. Efek dari aspirin dapat ditingkatkan dengan penggunaan antidepressant (trisiklik), antiplatelet, calcium chenal bloker, NSAID.Aspirin dapat menurunkan efek dari NSAID, ACE inhibitor. Efek dari aspirin dapat diturunkan dengan penggunaan kortikosteroid, NSAID. Dosis Mekanisme : Pada orang tua: sebagai analgesic oral :325-650 mg setiap 4-6 jam sampai 4 g perhari : Penghambatan COX 1 dan COX2 irreversibel yang menyebabkan penurunan prostaglandin(Lacy et all., 2009). : Untuk menghilangkan batuk, sinus, gejala flu (termasuk kongestinasal), tekanan sinus, sakit kepala, nyeri, demam. : Pada dewasa:Pseudoefedrin 30 mg perdosis setiap 4-6 jamdan dapat ditingkatkan (maksimum 6 dosis per 24 jam)

Amitriptyline

21

Indikasi Efek samping

: Menghilangkan gejala depresi, yang digunakan secara oral(Lacy et all., 2009) : Efek antimuscarinic relatif umum dan terjadi sebelum efek antidepresan diperoleh. Termasuk mulut kering, konstipasi kadang-kadang menyebabkan ileus paralitik, retensi urin, penglihatan kabur dan gangguan dalam akomodasi, peningkatan tekanan intra okular, dan hipertermia. Mengantuk kegelisahan dan insomnia, sakit kepala, tremorneuropati, perifer, ataksia, kejang epileptiform, tinnitus, dan gejala ekstrapiramidal sesekali termasuk kesulitan berbicara (disartria). Kebingungan, halusinasi, atau delirium (Sweetman, 2009).

Interaksi

: Interaksi melibatkan antidepresan trisiklik sering hasil dari toksisitas aditif atau dari metabolisme satu obat diubah oleh yang lain. Obat yang menghambat atau menginduksi sitokrom P450 isoenzim CYP2D6 dapat mempengaruhi metabolisme dan menghasilkan perubahan trisiklik ditandai dalam konsentrasi plasma.Efek samping dapat ditingkatkan oleh obatobatan depresan SSP atau antimuscarinic, termasuk alkohol. Barbiturat dan induser enzim lainnya seperti rifampisin dan beberapa antiepilepsi dapat meningkatkan metabolisme dan antidepresan trisiklik dapat menurunkan konsentrasi plasma dan mengurangi respon antidepresan. Cimetidine, methylphenidate, antipsikotik, dan kalsium channel blocker dapat mengurangi konsentrasi metabolisme plasma tricyclics, dan yang mengarah yang kemungkinan menyertainya meningkat toksisitas

(Sweetman, 2009). Kontra indikasi : Efek antimuscarinic menjamin perawatan antidepresan trisiklik pada pasien dengan retensi urin, hiperplasia prostat, atau sembelit kronis; hatihati juga telah disarankan dalam diobati sudut tertutup glaukoma dan feokromositoma. Potensi epileptogenik dari antidepresan trisiklik membutuhkan perawatan pada pasien dengan riwayat epilepsitrisiklik harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dan dihindari pada mereka dengan blok jantung, aritmia jantung, atau dalam periode pemulihan segera setelah infark miokard. hipertiroidisme sebagai trisiklik dapat meningkatkan risiko pengembangan aritmia jantung (Sweetman, 2009). Dosis : Dewasa: oral: 50 -150 mg/hari dosis tunggal menjelang tidur atau dalam dosis terbagi, dosis dapat dinaikkan secara bertahap sampai 300 mg/hari. 22

Orang tua: depresi: oral: initial: 10-25 mg sebelum tidur, dosis ditingkatkan 10-25 mg secara bertahap tiap minggu jika terjadi toleransi: range dosis: 25-150 mg/hari (Lacy, et all., 2009) Rosiglitazon + glimepiride Indikasi Interaksi : Terapi diabetes tipe 2 : Efek rosiglitazone dapat meningkat dengan pemberian bersamaan dengan gemfibrozil, pregabalin, dan thrimetoprim. Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap rosiglitazone dan glimepiride. Dosis Fluvastatin Indikasi Interaksi : Mengurangi kolesterol total, LDL, dan trigliserida : Fluvastatin dapat menurunkan efek dari vitamin K dan menurunkan efek dari etravirine, fenitoin, dan derivat rifampicin. Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap fluvastatin Dosis Paroxetine Indikasi : Terapi gangguan kepanikan, gangguan kecemasan sosial, gangguan kecemasan umum, dan gangguan kecemasan pasca traumatik. Efek samping : Sakit kepala, mual, konstipasi, diare. Interaksi Dosis : Paroxetine dapat meningkatkan efek antikoagulan,antiplatelet : 10 mg per hari Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap paroxetine : 40 mg/hari Efek samping : Sakit kepala, insomnia, dispepsia, diare, mual, nyeri abdomen. : Rosiglitazone 4 mg, glimepiride 1 mg. Efek samping : Hipertensi, sakit kepala, edema, hipoglikemia, diare, anemia

Lampiran Pertanyaan

23

1.

Apa penyebab terjadinya gangguan kecemasan umum dan gangguan stres pasca traumatik? Bagaimana hubungan neurotransmitter dengan terjadinya gangguan kecemassan? (Penanya: Adi Wiguna)

Jawab: Kecemasan umum dapat muncul karena kesadaran seseorang tentang penyakit fisik (misalnya, kanker dan diabetes) yang dideritanya. Kecemasan juga dapat muncul sebagai gejala sekunder dari penyakit medis maka biasanya akan mereda dengan sembuhnya penyakit tersebut. Gangguan medis yang berhubungan dengan kecemasan antara lain penyakit kardiovaskular (angina, aritmia, gagal jantung kongestif, penyakit jantung iskemik, miokard infark) serta gangguan endokrin dan metabolik (sindrom cushing, hiperparatiroidisme, dll. Kecemasan umum juga dapat disebabkan karena gangguan psikiatri seperti gangguan mood, skizofrenia, delirium, dan demensia. Obat-obatan juga dapat memicu gangguan kecemasan umum yaitu antikonvulsan (carbamazepine), antidepresan (SSRI, antidepresan trisiklik), antihipertensi (felodipin), antibiotik (kuinolon, isoniazid), bronkodilator (albuterol, teofilin), kortikosteroid (prednison), dll. Sedangkan, gangguan stress pasca traumatik dapat disebabkan karena kelainan fungsi otak berupa abnormalitas yang berhubungan dengan penghambatan maupun perangsangan aktivitas neurotransmitter. Neurotransmitter sangat mempengaruhi sikap, emosi, dan perilaku seseorang diantaranya neurotransmitter dopamin, serotonin, epinefrin, dan norepinefrin. Norepinefrin mempengaruhi pernafasan, pikiran, persepsi, daya penggerak, fungsi kardiovaskuler, tidur, dan bangun. Dopamin berperan dalam pergerakan, koordinasi, emosional, dan penilaian. Sedangkan serotonin mempengaruhi tidur, bangun, libido, nafsu makan, perasaan, agresi persepsi nyeri, koordinasi, dan penilaian. Neurotransmitter tersebut dapat meningkatkan derajat kecemasan. Sehingga, rangsangan berlebihan dari neurotransmitter tersebut, misalnya karena kelainan fungsi otak (faktor genetik) dapat menyebabkan timbulnya gejala kecemasan. 2. Apakah pengaruh L-tryptopan terhadap sintesis dan pelepasan serotonin oleh neuron serotonergik? (Penanya: Kadek Ayu Pradnyani) Jawaban: Intake berlebih dari tryptopan dapat menyebabkan penurunan latensi tidur (waktu yang dibutuhkan untuk mulai jatuh tidur) dan terjaga noktural. Sebaliknya, jika intake trptopan dalam tubuh berkurang akan menyebabkan kurangnya waktu untuk tidur mencapai ke fase REM (rapid eye movement) (Kaplan et al., 1997).

24

You might also like