You are on page 1of 6

Tugas Individu ASPERGILOSIS Infeksi dan Respon Ragawi Blok 10 Kelompok 10

Oleh: AGAPIETTA K. 09/286962/KH/06317

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011

Learning object: 1. Jelaskan tentang aspergilosis mengenai etiologi, pathogenesis, gejala klinis dan diagnosisnya! 2. Bagaimana respon imun tubuh melawan aspergilosis? Belajar Mandiri 1. Etiologi Aspergillosis adalah spectrum pnyakit yang bisa disebabkanoleh sejumlah spesies aspergillus. Spesies aspergillus adalah saprofit yang ad dimana-mana di alam, dan aspergillosis terjasi diseluruh dunia. A. fumigatus adalah pathogen manusia dan hewan yang paling sering ditemukan. A. flavus, A.niger, dan A. terreus juga bisa menyebabkan penyakit. Mold ini menghasilkan konidia kecil yang berlimpah dan mudah berterbangan. Setelah inhalasi konidia ini individu atopik sering mengalami reaksi alergi berat terhadap antigen konidia (Brooks, 2005). Bentuk-bentuk Aspergilosis Aspergilosis bentuk pulmonum pada unggas dapat ditemukan pada puyuh, kalkun, ayam dan terutama penguin. Aspergilosis bentuk sistemik dapat ditemukan pada kalkun dan ayam. Aspergilosis bentuk kulit jarang ditemukan. Namun bila ditemukan dapat dijumpai pada merpati dan ayam. Pada bentuk ini ditandai dermatitis dan granulomatosa. Aspergilosis bentuk tulang (osteomikosis) dapat ditemukan pada ayam yang ditandai adanya infeksi Aspergillus sp. pada tulang punggung dan dapat mengakibatkan paralysis (Ressang,1984). Aspergilosis bentuk mata dapat ditemukan pada ayam dan kalkun. Bentuk ini dapat bersifat unilateral dan lesi terutama pada konjunctiva dan permukaan luar mata yang ditandai adanya eksudat kaseus atau pembentukan plaque di bawah membrane niktitan. Kontak antara permukaan konjungtiva dengan spora jamur dari lingkungan menimbulkan keratitis (radang kornea) dan infeksi bagian superficial mata. Faktor-faktor yang mendukung timbulnya aspergilosis antaralain ventilasi kandang kurang, berdebu, kelembapan tinggi, temperature > 25C, kadar amoniak
1

tinggi, litter basah dan lembab, pakan lembab dan berjamur, penyakit immunosupresif (terutama gumboro) (Tabbu, 2006). Cara penularan Penularan aspergilosis adalah dengan cara menghirup/inhalasi spora dalam jumlah yang banyak. Penyakit ini dapat juga ditularkan melalui telur, karena Aspergillus fumigatus dapat tumbuh di bagian dalam telur dan dapat menurunkan daya tetas telur. Anak ayam yang menetas dari telur tersebut berisiko terkena aspergilosis (Tabbu, 2006). Gejala klinik Masa inkubasi sekitar 4-10 hari, dan proses penyakit sekitar 2 sampai beberapa minggu. Penyakit ini dapat dimukan dalam 2 bentuk yaitu kronis dan akut. Aspergilosis bentuk kronis memperlihatkan gejala meliputi kehilangan nafsu makan, lesu, bernafas dengan mulut, emasiasi, sianosis (kebiruan pada kulit daerah kepala dan jengger) dan dapat berlanjut dengan kematian. Ditemukan pula gangguan saraf terutama pada kalkun. Ayam yang terkena aspergilosis mengalami gangguan pertumbuhan. Aspergilosis bentuk kronis terjadi pada ayam dewasa. Aspergilosis kronis menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang rendah. Aspergilosis bentuk akut memperlihatkan dyspnoea, bernafas melalui mulut dengan leher yang dijulurkan ke atas, peningkatan frekuensi pernafasan, kehilangan nafsu makan, mengantuk, kadang terjadi paralisis dan kejang-kejang yang disebabkan oleh toksin dari Aspergillus sp. pada otak. Ayam yang terinfeksi berat biasanya akan mati dalam waktu 2-4 minggu. Aspergilosis terjadi pada ayam muda serta menyebabkan morbiditas dan mortalitas tinggi. Aspergilosis bentuk ensefalitik dapat ditemukan pada kalkun, ayam dan itik. Terdapat lesi ditimbulkan oleh hyphae dan gejala gangguan saraf pusat atau lesi pada otak berhubungan dengan toksin yang dihasilkan oleh Aspergillus sp. (Tabbu, 2006). Perubahan Patologik Yang terlihat adalah terdapat lesi di paru-paru berupa noduli kaseus kecil berwarna kekuningan dengan diameter 1 mm. Lesi disertai plaque yang terdiri atas
2

eksudat kaseus berwarna kuning mengumpul pada daerah koloni jamur. Noduli kaseus terdiri dari eksudat radang dan jaringan jamur. Pada kasus yang melanjut, plaque semakin banyak dan membentuk agregat. Secara mikroskopik, lesi pada stadium awal menciri karena adanya timbunan limfosit, sejumlah makrofag dan beberapa giant cells. Pada stadium selanjutnya akan terlihat lesi yang telah menjadi granuloma terdiri dari daerah nekrosis sentral mengandung heterofil dan dikelilingi makrofag, giant cells, limfosit dan sejumlah jaringan ikat. Lesi pada otak terdiri dari abses dengan bagian yang sama. Namun, pada daerah nekrosis ditemukan hyphae. Pada chamber dan retina dapat ditemukan infiltrasi heterofil, makrofag, hancuran sel dan hyphae (Tabbu, 2006). Diagnosis Pemeriksaan mikroskopik, dapat dilakukan dengan menempatkan noduli pada KOH 20% digerus dan ditutup deck glas, dipanaskan,dilihat pada mikroskop terhadap kemungkinan adanya hyphae yang akan tercat biru jika diwarnai dengan tinta. Biakan, Isolasi dan identifikasi jamur dapat dilakukan dengan pembenihan kusus pada Sobourauds Dextrose Agar. Spesies aspergillus akan tumbuh dalam beberapa hari pada kebanyakan media pada suhu ruangan. Spesies diidentifikasi menurut morfologi dari struktur konidianya (Brooks, 2005). Pemeriksaan serologi, hasilnya tidak terlalu efektif karena antigen jamur tidak spesifik. Uji agar gel presipitasi (AGP) dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dapat dilakukan untuk mengetahui adanya antibody terhadap Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus. Differensial diagnosisnya adalah daktilariosis (Tabbu, 2006). 2. Respon Imun terhadap aspergilus Beberapa penelitian melaporkan bahwa mycotoxin, seperti aflatoxin, ochratoxin, patulin, atau fumonisin mampu menimbulkan respon radang. Aflatoxin adalah senyawa toxin yang tedapat dalam aspergilus. Mereka mampu berperan dalam tingkat yang berbeda. Mereka mampu secara langsung mengganggu viabilitas fagositosis (makrofag dan neutrofil) dengan merusak fungsi sekretorik sel tersebut.
3

Aflatoxin B1 mampu menghambat fagositosis secara invitro, intacellular killing, dan produksi spontan O2 radikal pada makrofag peritoneal tikus (Cusumano et al., 1990). Toxin tersebut menyebabkan turunnya fungsi fagositosis dan timbulnya cytoplasmicblebbing serta disintegrasi nukleus ketika dilakukan uji invitro pada kultur makrofag ayam dan kalkun (Neldon-Ortiz and Qureshi, 1991; 1992). Dengan kata lain masuknya aflatoxin B1 pada tubuh tikus dan ayam dapat mengurangi jumlah dan fungsi makrofag (Ghosh et al., 1991). Aflatoxin juga mampu merubah sintesis

cytokine peradangan. Termasuk penghambatan cytokine peradangan yang telah di observasi pada rodent yang mengalami respiratory aflatoxicosis (Jakab et al., 1994) atau setelah intoxication per oral. Membutuhkan aflatoxin dalam konsentrasi tinggi untuk mampu memberikan respon pada imunitas humoral. Dalam uji tikus yang diekpose aflatoxin peroral, menunjukkan adanya penurunan jumlah sel T CD4+ dan produksi IL2 oleh splenocytes. Pada ayam, juga menyebabkan imunitas cell-mediated tertekan, seperti adanya delayed-type hypersensitivity (DTH), migrasi leukosit, dan

lymphoblastogenesis (Ghosh et al., 1991; Kadian et al., 1988). Daftar Pustaka Brooks, G.F., Janet S. Butel, Stephen A.Morse. 2005. Jawetz, Melnick, & Adelbergs Medical Microbiology. Mc Graw Hill companies Inc. Cusumano, V., G.B. Costa and S. Seminara. 1990. Effect of aflatoxins on rat peritoneal macrophages. Appl. Environ. Microbiol. 56:3482-3484. Ghosh, R.C., H.V.S. Chauhan and G.J. Jah. 1991. Suppression of cell-mediated immunity by purified aflatoxin B1 in broiler chicks. Vet. Immunol. Immunopathol. 28:165-172. Jakab, G.J., R.R. Hmieleski, A. Zarba, D.R. Hemenway and J.D. Groopman. 1994. Respiratory aflatoxicosis: supression of pulmonary and systemic host defenses in rats and mice. Toxicol. Appl. Pharmacol. 125:198-205.

Kardian, S.K., D.P. Monga and M.C. Goel. 1988. Effect of aflatoxin B1 on the delayed type hypersensitivity and phagocytic activity of reticuloendothelial system in chickens. Mycopathologia 104:33-36 Neldon-Ortiz, D.L. and M.A. Qureshi. 1991. Direct and microsomal activated aflatoxin B1 exposure and its effects on turkey peritoneal macrophages in vitro. Toxicol. Appl. Pharmacol. 109:432-442. Neldon-Ortiz, D.L. and M.A. Qureshi. 1992. The effects of direct and microsomal activated aflatoxin B1 on chicken peritoneal macrophages in vitro. Vet. Immunol. Immunopathol. 31:61-76. Ressang, A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Penerbit IPB: Bogor. Tabbu,C.R. 2006. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume 1. Kanisius: Yogyakarta.

You might also like