You are on page 1of 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Malaria Malaria adalah penyakit yang disebabkan protozoa dari genus plasmodium dari family plasmodidae dan ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi. Terdapat 4 spesies Plasmodium yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia, yaitu Plasmodium vivax (malaria tertian), Plasmodium falciparum (malaria tropika), Plasmodium malariae (malaria quartana), dan Plasmodium ovale (malaria ovale) (6,9). Malaria menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, mengigil, anemia dan splenomegali (10). B. Patogenesis dan Patofisiologi Waktu antara nyamuk menghisap darah yang mengandung gametosit sampai mengandung sporozoit dalam kelenjar liurnya, disebut masa tunas ekstrinsik. Infeksi dapat terjadi dengan 2 cara, yaitu: 1) secara alami melalui vektor, bila sporozoit dimasukkan ke dalam badan manusia dengan tusukan nyamuk dan 2) secara induksi, bila stadium aseksual dalam eritrosit secara tidak sengaja masuk dalam badan manusia melalui darah, seperti transfusi, suntikan atau secara congenital (11). Patofisiologi malaria masih belum diketahui dengan pasti. Berbagai macam teori dan hipotesis telah dikemukakan. Perubahan patofisiologi pada malaria terutama mungkin berhubungan dengan gangguan aliran darah setempat sebagai akibat melekatnya eritrosit yang mengandung parasit pada endothelium kapiler. Peran

beberapa mediator humoral masih belum pasti, tetapi mungkin terlibat dalam patogenesis demam dan peradangan. Skizogoni eksoeritrositik mungkin dapat menyebabkan reaksi leukosit dan fagosit, sedangkan sporozoit dan gametosit tidak menimbulkan perubahan patofisiologi. Patofisiologi malaria adalah multifaktorial dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut : Penghancuran eritrosit. Eritrosit dihancurkan tidak saja oleh pecahnya eritrosit yang mengandung parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan hemolisis intravaskular yang berat, dapat terjadi hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat mengakibatkan gagal ginjal (9). Mediator endotoksin-makrofag. Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang rupanya menyebabkan perubahan patofisiologi yang berhubungan dengan malaria. TNF adalah suatu monokin, ditemukan di dalam darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin lain yang berhubungan, menimbulkan demam, hipoglikemia, dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa (ARDS) dengan sekuestrasi sel neutrofil dalam pembuluh darah paru. TNF dapat juga menghancurkan Plasmodium falciparum in vitro dan dapat meningkatkan perlekatan eritrosit yang dihinggapi parasit pada endotelium kapiler. Konsentrasi TNF dalam serum pada anak dengan malaria falsiparum akut berhubungan langsung dengan mortalitas, hipoglikemia, hiperparasitemia dan beratnya penyakit (9).

Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi. Eritrosit yang terinfeksi dengan stadium lanjut Plasmodium falciparum dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen malaria dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung Plasmodium falciparum terhadap endothelium kapiler darah dan alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasii alat dalam, bukan di sirkulasi perifer. Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endothelium kapiler darah dan membentuk gumpalan (sludge) yang membendung kapiler alat-alat dalam. Protein dan cairan merembes melalui membrane kapiler yang bocor dan menimbulkan anoksia dan edem jaringan. Anoksia jaringan yang cukup meluas dapat menyebabkan kematian. Protein kaya histidin Plasmodium falciparum ditemukan pada tonjolan-tonjolan tersebut sekurangkurangnya ada 4 macam protein yang berperan dalam sitoadherens sel endotel untuk eritrosit yang terinfeksi Plasmodium falciparum (9). C. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya transmisi infeksi malaria. Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium (Plasmodium falciparum sering memberikan komplikasi), daerah asal infeksi, umur, ada dugaan konstitusi genetik, keadaan kesehatan dan nutrisi, kemoprofilaksis dan pengobatan sebelumnya (9,10,11). Gejala yang klasik yaitu terjadinya Trias Malaria yaitu :

1.

Periode menggigil (15-60 menit) dimulai dengan perasaan dingin sekali, sehingga menggigil. Penderita menutupi bajunya dengan baju tebal dan dengan selimut. Nadinya cepat, tetapi lemah, bibir dan jari-jari tangannya menjadi biru, kulit kering dan pucat. Kadang-kadang disertai dengan muntah. Pada anak sering disertai kejang-kejang.

2.

Periode panas (2-6 jam) dimulai dari perasaan dingin sekali berubah menjadi panas sekali. Muka menjadi merah, kulit kering dan terasa panas seperti terbakar, sakit kepala hebat, mual, muntah, nadi berdenyut keras. Perasaan sangat haus pada saat suhu naik sampai 41oC atau lebih.

3.

Periode berkeringat (2-4 jam) dimulai dengan penderita berkeringat banyak sehingga tempat tidurnya basah, suhu turun dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah ambang batas normal (9,11). Serangan demam yang khas ini sering dimulai pada siang hari dan berlangsung

8-12 jam. Lamanya serangan demam ini untuk setiap spesies malaria tidak sama. Gejala infeksi yang timbul kembali setelah serangan pertama biasanya disebut relaps. Relaps dapat bersifat :
a.

Rekrudensi (relaps jangka pendek) yang timbul karena parasit daur eritrosit menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu 8 minggu sesudah serangan pertama hilang.

b.

Rekurens (relaps jangka panjang) yang timbul karena parasit daur esoeritrosit dari hati masuk ke dalam darah dan menjadi banyak, sehingga demam timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah serangan pertama hilang (9).

Serangan demam makin lama makin berkurang beratnya karena tubuh menyesuaikan diri dengan adanya parasit dalam badan dan karena adanya respon imun hospes (9). D. Siklus Hidup Siklus hidup Plasmodium dimulai pada host manusia ketika sporozoit memasuki aliran darah setelah ditularkan melalui gigitan nyamuk. Di dalam tubuh manusia akan terjadi fase aseksual. Fase aseksual mempunyai 2 siklus, yaitu:
1. 2.

daur eritrosit dalam darah (skizogoni eritrosit) daur dalam sel parenkim hati (skizogoni eksoeritrosit) atau stadium jaringan dengan :
a. skizoogoni praeritrosit (skizogoni eksoeritrosit primer) seteah sporozoid masuk

dalam sel hati


b. skizogoni eksoeritrosit sekunder yang berlangsung di hati (12).

Sporozoit dewasa berubah menjadi schizon, dan merozoit dilepas sirkulasi darah, dimana mereka menginfeksi sel darah merah. Selanjutnya mereka menjalani fase aseksual, beberapa merozoit dewasa menjadi schizont untuk menjadi merozoit yang lebih banyak, merozoit yang lainnya berdiferensiasi menjadi gametosit. Yang nantinya akan ditularkan ke nyamuk pada saat nyamuk menggigit manusia dan akan menjadi sporozoid baru yang dapat menginfeksi manusia lainnya. Pada infeksi Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae hanya terdapat satu generasi aseksual di hati sebelum daur di darah dimulai, sesudah itu daur di hati tidak dilanjutkan lagi. Dua jenis Plasmodium yaitu Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale dapat bertahan lama

dalam hati pasien yang terinfeksi dan menyebabkan kambuh dengan menginvasi aliran darah dalam beberapa minggu, atau bahkan bertahun-tahun kemudian (13,14).

Gambar 2.1 Siklus Hidup Plasmodium (13)

E. Diagnosis Diagnosis malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang asal penderita apakah berasal dari daerah endemik malaria, riwayat bepergian ke daerah malaria, riwayat pengobatan kuratif maupun preventip (3,11,15). Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat penting untuk menegakkan diagnosa. Adapun pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui :

a.

Tetesan darah tebal. Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi lapangan. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit, jumah parasit dapat dihitung per lapangan mikroskopik. Metoda semi-kuantitatif untuk hitung parasit pada sediaan darah tebal adalah sebagai berikut : + = 1-10 parasit per 100 lapangan pandang

++ = 11-100 parasit per 100 lapangan pandang +++ ++++ +++++ = 1-10 parasit per 1 lapangan pandang = > 10 parasit per 1 lapangan pandang = > 100 parasit per 1 lapangan pandang

Hitung parasit dapat juga dilakukan dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit dalam sediaan darah tebal dan jumlah leukosit rata-rata 8000/l darah, sehingga densitas parasit dapat dihitung sebagai berikut :

parasit /l darah=jumlah parasit yang dihitung x 8000jumlah leukosit yang dihitung (200)

b.

Tetesan darah tipis. Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan preparat tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang

mengandung parasit per 1000 sel darah merah. Hitung parasit penting untuk menetukan prognosa penderita malaria, walaupun komplikasi juga dapat timbul dengan jumlah parasit yang minimal.
c.

Tes serologi. Mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tehnik indirect fluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibody specific terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal (3,5,15,16,17).

F. Terapi Malaria tanpa komplikasi Untuk infeksi Plasmodium falciparum yang terdapat di daerah tanpa strain klorokuin yang resisten, pasien dapat diobati dengan klorokuin oral. Dosis klorokuin dari 600 mg basa harus diberikan pada awalnya, diikuti dengan 300 mg basa pada 6, 24 dan 48 jam setelah dosis awal, untuk dosis klorokuin total adalah 1.500 mg basa. Atau, hydroxychloroquine dapat digunakan pada dosis 620 mg basa diberikan pada awalnya, diikuti dengan 310 mg basa pada 6, 24 dan 48 jam setelah dosis awal, untuk total dosis hydroxychloroquine adalah 1.550 mg basa (18). Untuk infeksi Plasmodium falciparum yang terdapat di daerah dengan resisten klorokuin, ada empat pilihan pengobatan yang tersedia. Pilihan pengobatan yang pertama adalah atovakuon-roguanil (Malarone) atau artemeter-lumefantrine (Coartem). Ini adalah kombinasi obat yang dapat digunakan untuk penderita malaria dewasa yang tidak hamil dan pasien anak. Kedua pilihan ini sangat berkhasiat. Kina sulfat ditambah

doksisiklin, tetrasiklin, atau klindamisin merupakan pilihan pengobatan selanjutnya. Untuk pilihan kombinasi kina sulfat, sulfat kina plus doksisiklin atau tetrasiklin umumnya lebih disukai untuk sulfat kina klindamisin ditambah karena ada lebih banyak data tentang kemanjuran kina ditambah doksisiklin atau tetrasiklin. Pengobatan dengan kina harus dilanjutkan untuk 7 hari untuk infeksi yang diperoleh di Asia Tenggara dan selama 3 hari untuk infeksi yang diperoleh di Afrika atau Amerika Selatan. Piilihan keempat, mefloquine, terkait dengan reaksi neuropsikiatrik yang jarang namun berpotensi parah bila digunakan pada dosis pengobatan.

Direkomendasikan pilihan keempat ini hanya ketika pilihan lain tidak dapat digunakan. Jika infeksi awalnya dikaitkan dengan "spesies yang tidak teridentifikasi" yang kemudian didiagnosis sebagai akibat P. vivax atau P. ovale, pengobatan tambahan dengan primakuin harus diberikan (18,19). Untuk infeksi Plasmodium malariae tidak ditemukan bukti luas resistensi klorokuin. Sehingga klorokuin atau hydroxychloroquine masih dapat digunakan pada infeksi tersebut. Selain itu salah satu rejimen untuk pengobatan malaria resisten terhadap klorokuin dapat digunakan untuk pengobatan malaria yang disebabkan infeksi Plasmodium malariae (18). Pada infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, Klorokuin atau hydroxychloroquine tetap merupakan pilihan yang efektif untuk semua infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale kecuali untuk infeksi Plasmodium vivax yang diperoleh di Papua Nugini atau Indonesia. Rejimen yang terdaftar untuk pengobatan P. falciparum juga efektif dan dapat digunakan. Laporan telah mengkonfirmasi tingginya

10

prevalensi Plasmodium vivax resisten terhadap klorokuin di kedua daerah tersebut. Kasus Plasmodium vivax yang jarang resisten terhadap klorokuin terdapat di Burma (Myanmar), India, dan Amerika Tengah dan Selatan. Orang yang mendapat infeksi Plasmodium vivax dari daerah selain Papua Nugini atau Indonesia awalnya harus ditangani dengan klorokuin. Jika pasien tidak merespon terhadap klorokuin, pengobatan harus diubah ke salah satu dari dua rejimen yang direkomendasikan untuk infeksi Plasmodium vivax yang resisten klorokuin. Orang yang mendapat infeksi Plasmodium vivax di Papua Nugini atau Indonesia awalnya harus diobati dengan rejimen yang direkomendasikan untuk infeksi Plasmodium vivax yang resisten klorokuin. Tiga rejimen untuk pengobatan Plasmodium vivax yang resisten terhadap klorokuin adalah kina sulfat ditambah doksisiklin atau tetrasiklin, atau, atovakuonproguanil, atau mefloquine. Ketiga pilihan pengobatan sama-sama dianjurkan (18, 20,21).

You might also like