You are on page 1of 11

Ideologi Pancasila: Doktrin yang Komprehensif atau Konsepsi Politis?

Status Pancasila, apakah merupakan ideologi atau bukan, masih menimbulkan tanggapan berbeda di kalangan ilmuwan. Di satu pihak, ada yang berpendapat bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi, seperti terlihat pada pendapat Ongkhokham, Armahedy Mahzar, Garin Nugroho, dan Franz Magnis Suseno. Menurut Onghokham Pancasila jelas merupakan dokumen politik, bukan falsafah atau ideologi, dan harus dilihat sebagai kontrak sosial, yaitu kompromi atau persetujuan sesama warga negara tentang asas-asas negara baru yang dapat disamakan dengan dokumendokumen penting negara lain seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Rights di Amerika Serikat dan Droit delhomme di Perancis (Kompas, 6 Desember 2001).

Armahedy Mahzar melihat Pancasila sebagai ideologi menyebabkan monointerpretasi terhadap Pancasila oleh penguasa, sementara Garin menilai bahwa Pancasila dijadikan alat untuk menciptakan industrialisasi monokultur yang berakibat terjadinya sentralisasi (www.mamienrais.com, 20 Oktober 2004). Keduanya berpendapat bahwa Pancasila tidak bolehlagi menjadi sekadar ideologi politik negara, melainkan harus berkembang menjadi paradigma peradaban global (Kompas, 20 Juni 2003). Franz Magnis Suseno menyatakan, Pancasila.lebih tepat disebut kerangka nilai atau cita-cita luhur bangsa Indonesia secara keseluruhan daripada sebuah ideologi (Kompas 28 April 2000). Di pihak lain, anggapan bahwa Pancasila merupakan ideologi, baik dalam pengertian ideologi negara, atau ideologi bangsa masih dipertahankan oleh komentator lain. Pendapat mereka bukan merupakan tanggapan langsung terhadap pendapat yang menolak Pancasila sebagai ideologi. Ini terlihat pada pandangan Koentowijoyo (Kompas, 13 Juli 1999 ; 20 Februari 2001), Azyumardi Azra, Asvi Warman Adam dan Budiarto Danujaya (dalam Kompas 23 Juni 2004 ; 9 Juni 2004 ; 1 Juni 2004), James Dananjaya (Kompas, 28 Juni 2002), dan Asyari (Kompas, 12 Juni 2004). Patut dicatat bahwa pendapat yang bertolak belakang tentang Pancasila itu muncul sebagai bagian dari kekecewaan terhadap perkembangan Pancasila selama ini, yaitu terhadap interpretasi dan pelaksanaan Pancasila di bawah rezim-rezim pemerintah Indonesia sebelumnya. Dengan kata lain, kedua kubu yang memberikan penilaian berbeda tentang status Pancasila tersebut masing-masing meletakkan analisisnya dalam kerangka evaluasi terhadap perkembangan Pancasila seperti yang dipraktekkan pada jaman Orde Lama di bawah kekuasaan Soekarno dan Orde Baru di bawah kekuasaan Suharto.

Pancasila Sebagai Ideologi Transnasional


Pancasila dinilai gagal meniupkan roh kebangsaan dan spiritualitas rakyat Indonesia ? Karena dianggap terlalu normatif dibandingkan dengan ideologi lainnya, semisal Marxisme, Sosialisme dan Liberalisme, terutama dalam hal metodologinya, maka ada yang mengatakan hal itu benar. Bagaimana bisa mengangkat bangsa ini, jika Pancasila telah terpinggirkan dari zona kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila hanyalah sebuah artefak sejarah yang nasibnya tak jauh beda dengan sampah, dimasukkan di tempat pembuangan dan dilupakan begitu saja. Apalagi menurut Koento Wibisono Siswomihardjo, penghapusan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila menimbulkan sikap alergi dan sinis masyarakat terhadap Pancasila. Yang lebih menyedihkan lagi adalah hampir 70 % perguruan tinggi telah menanggalkan mata kuliah Pancasila sebagai bahan ajarnya. Ini adalah preseden buruk bagi Pancasila sendiri. Semakin Pancasila terpinggirkan, bangsa Indonesia terancam krisis ideologi dan mudah tersusupi ideologi lain yang kental sektarian. Ini adalah titik nadir bagi keberlanjutan NKRI (Gatut Saksono:2007).

Ada beberapa ideologi yang masih eksis. Ideologi kapitalisme menawarkan nikmat duniawi seperti kekayaan, penguasaan modal sebagai tujuan pokok. Sedangkan komunisme menawarkan persamaan kepemilikan antar individu dalam suatu komunitas sebagai representasi keadilan distributif yang menjadi unsur pokoknya. Di Indonesia, ideologi Pancasila menawarkan keluhuran budi dalam etika berbangsa sebagai daya pikat untuk mengundang masyarakat sepaham dengan muatan ideologi yang dibawanya. Jadi semua ideologi pada umumnya menawarkan satu garis perjuangan pokok sebagai konsentrasi utamanya. Kemudian dengan isu pokok tersebut diasumsikan dapat menjawab segala persoalan kehidupan.

Indikasi tersebut banyak bermunculan mengingat perilaku para ideolog cenderung menjadi fanatik, dan bangga, terhadap ideologi yang dianutnya. Kaum kapitalis begitu bernafsunya mengejar uang sebagai pangkal pokok kehidupan. Sehingga apapun yang tidak berbau uang bukanlah kehidupan yang pantas untuk dijalani. Demikian juga komunisme, para pengajur ideologi ini begitu lantang meneriakan keadilan distributif bagi kaumnya, tanpa pernah mengimbangi dirinya dengan sisi spiritualisme Akibatnya ideologi yang ada sekarang terlihat kurang utuh dalam menyikapi problem kehidupan. Ideologi terlalu diginalisir menjadi sebuah

sistem yang mampu menuntaskan segala hal. Padahal ideologi di mata orang awam yang dihinggapi perut lapar, takkan ada manfaatnya apa-apa jika tidak mendatangkan keadilan dan kemakmuran.

Maka dari itu persoalan umat manusia hubungannya dengan kehidupan bangsa, terutama ekonomi menjadi begitu dominan. Prof. Gunar Mirdal peraih hadiah nobel bidang ekonomi melalui penelitiannya mengenai keterpurukan negara-negara terbelakang dalam bidang ekonomi menyebutkan bahwa faktor akhlaklah yang menjadi penyebab utama keterbelakangan tersebut. Hal ini menandaskan bahwa dalam kehidupan apapun segala persoalan harus menempatkan pembenahan perilaku harus menjadi perhatian utama. Artinya bahwa apapun ideologi yang dianut, tetap aspek perilaku memegang kunci dalam membangun peradaban.

Pancasila, yang notabene dilahirkan atas pondasi nilai-nilai luhur yang tumbuh di dalam diri bangsa Indonesia, menurut saya amatlah pantas dijadikan ideologi trans nasional. Hal ini didasarkan pada subtansi nilai-nilai Pancasila yang cenderung melengkapi berbagai unsur-unsur kehidupan termasuk didalamnya ideologi dan bukannya membenturkannya. Sehingga Pancasila, saya nilai sebagai ideologi yang mempunyai karakteristik konvergensi daripada dikotomis. Oleh karennya untuk mendapatkan hasil yang dicita-citakan Pancasila dibutuhkan pemahaman bersama (mutual understanding) dan tingkat pendidkan yang lebih baik (well educated) agar kesan yang muncul dari pancasila sebagai ideologi tidak terlalu apologetik. Menurut Maruf Amin, Pancasila memang bukan agama, karena ia merupakan kumpulan value (nilai) dan vision (visi) yang hendak diraih dan diwujudkan bangsa Indonesia saat berikhtiar mendirikan sebuah negara. Menurutnya Pancasila adalah sebagai Vision of state. Inilah yang sering kali tidak dipahami para penentang Pancasila sebagai ideologi transnasional bangsa Indonesia. Mereka kecewa kepada Pancasila karena tidak membawa perubahan yang berarti bagi hidup mereka. Padahal jika kita lihat pandangan Feith, Persepsi yang salah dari beberapa kelompok terhadap Pancasila sebenarnya bukan terletak pada nilai-nilai luhurnya, tetapi lebih ditujukan kepada cara menafsirkan dan memperlakukan nilai-nilai tersebut (Feith,1991).

Ke depan agaknya senada dengan pendapat Dr Kaelani, agar Pancasila tidak menjadi ideologi Transnasional yang tumpul maka perlunya adanya pembenahan dari epistemologi pemahaman kita terhadap Pancasila. Beliau mengusulkan agar ada usaha untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila adalah dengan mengembangkan nilai-nilai Pancasila melalui pengembangan Pancasila sebagai kerangka dasar pengembangan dasar epistemis ilmu; Pancasila sebagai landasan etis bagi pengembangan ilmu; Pancasila sebagai landasan filosofis pengembangan pendidikan yang berkepribadian Indonesia; dan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber nilai dalam realisasi normative dan praksis kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan demikian Pancasila sebagai sebuah sistem nilai semakin dapat dielaborasi lebih jauh.

Pancasila is Better than No Ideology, Experts Say

Indonesia may face disintegration if its national ideology, Pancasila, is replaced by sharia, said politicians and historians Monday. Pancasila was developed by Indonesias founding fathers as a middle way to accommodate the interests of numerous ethnic, cultural and religious groups in Indonesia. Any attempt to replace it with religious ideology would trigger civil conflict and tear Indonesia apart, experts said.Indonesia will observe today the 65th anniversary of the birth of Pancasila on June 1, 1945. The Peoples Consultative Assembly (MPR) will host the celebration for the first time in 20 years, and President Susilo Bambang Yudhoyono is expected to attend. Irman Gusman, Speaker of the Regional Representatives Council (DPD), said that the celebration would strengthen Pancasilas position as the ideology that glues the nations ethnic, religious and cultural groups together."History has proven that Pancasila has been very effective in saving the nation from the dangers of communism and capitalism. We need it to achieve social justice," he told The Jakarta Post on Monday.The country might have disin-tegrated into several smaller countries along ethnic and religious lines without Pancasila, he added. The five tenets of Pancasila are belief in one God, just and civilized humanity, unity of Indonesia, democracy guided by consensus and social justice for all.Pancasila lost popularity after Soehartos downfall in 1998. Pancas-ila was abused by Soeharto during his authoritarian 32year rule.Islamic fundamentalist groups have recently revived their old dream to replace Pancasila with sharia, which is supported by some Islamic political parties.Slamet Effendy Yusuf, deputy chairman of Nahdlatul Ulama (NU), Indonesias largest moderate-Mus-lim organization, said that the sharia campaign was a setback and would undermine the nations progress over the last six decades."The whole nation should celebrate the birth of Pancasila on June 1 and stop questioning its posirion as the states ideology. "For NU, Pancasila is final and [we] will never entertain any idea of replacing it. The real problem is how to refresh our perceptions of it and put it into the 1945 Constitution and lower laws," he said in a recent discussion.A.M. Fatwa, a regional representative and Muslim figure, is

opposed to celebrating Pancasilas birthday on June 1. He was imprisoned by Soeharto regime for celebrating Pancasilas birthday on June 22, the day the Jakarta Charter was established.Fatwa said that Pancasila was mentioned in the preamble of an early version of the 1945 Constitution that had also mentioned sharia. "We want it to be celebrated by political parties and mass organizations, instead of state institutions. If the nationalist Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) wants to celebrate Pancasila because its ideology is close to founding president Sukamos, it should bc given chance to do so," he said.However, the government and the state should not observe a national celebration of Pancasila, as some have wanted, he added.All parts of society should accept Pancasila as the final state ideology and end the prolonged debate, or Indonesia would suffer a setback, said Asvi Warman Adam, a historian at the Indonesian Institute of Sciences.

Reimagining the State Ideology Pancasila?

Recently, Sanata Dharma University in Yogyakarta hosted the 2nd International Yale Indonesia Forum, the title of which was Pancasilas Contemporary Appeal: Re-Legitimizing Indonesias Founding Ethos. The central questions of this conference implied that the degree to which Pancasila remained relevant in contemporary Indonesia largely hinged upon its continuing ability to counter the effects of potentially centrifugal forces, such as religion and ethnicity. However, is this enough? Can such an instrumental relationship suffice in order for Pancasila to assume its place as one of the primary foundations of what it means to be an Indonesian? In short, what is, or rather, what can be the relationship between Pancasila and national identity in contemporary Indonesia? The goal of any government or regime is to render itself the primary source of authority, ideally legitimate, within its borders. It is in this respect that a genuinely felt sense of national identity becomes significant in so much as it is able to act as a source of legitimacy; reflected, for example, in the notion of a government existing and acting for the people. The problem in many post-colonial states is that who and what exactly are the people remains relatively amorphous, especially in the presence of multiple ethnicities and/or religions. Such states have generally lacked a coherent, inclusive myth to supply a metaphysical basis for the state. However, as the history of independent Indonesia demonstrates, Pancasila has been able to act as just one such inclusive myth, providing a common footing from which to weave together the many diverse and disparate elements that constitute Indonesia.

It is as an articulation of Bhineka Tunggal Ika, arguably the most elemental and long-standing expression of Indonesian national unity, that Pancasila continues to enjoy widespread consensus from almost all sections of Indonesian society. However, this broad societal acceptance of Pancasila as something quite essential in determining what it means to be Indonesian is altogether different than agreeing on how exactly to interpret this fundamental concept. This is especially evident after the fall of the New Order regime in 1998 with the emergence of a far more uncertain terrain upon which to negotiate the relationship between Pancasila and Indonesian national identity. What we see then in the era Reformasi is a proliferation of competing discourses on national identity of which most, but not all, were Pancasila-based. In fact, one can discern a number of distinct derivations of the overarching discourse which posits an explicit link between Pancasila and Indonesian national identity. In the first instance, there are the Secular Nationalists who are uncomfortable with Pancasilas tight association with the oppressive excesses of the former New Order regime and yet regard Pancasila as a useful means of combating the influence of political Islam. In order to do so, this broad group either relies on emphasizing the first sila of Ketuhanan yang Maha Esa or, if they are unwilling to explicitly employ the language of Pancasila, they may instead refer to the values contained within Pancasila in terms of human rights, universal equality, etc. Confronting the Secular Nationalists are two broad groups, both of which also broadly identify with Pancasila. On the one side are Pancasila Islamists who view themselves as both Muslims and Indonesian nationalists and have little trouble interpreting each of the as expressions of values that exist within Islam. On the other side are Pancasila Nationalists who look to a more original version of Pancasila before it became polluted by political interests. At its core, this latter group seeks to place equal

emphasis on all five silas in order to restore Pancasila as part of the jiwa of Indonesia, as Pancasila kita. At an even more fundamental level, there are discourses present in Indonesia that question the very relevance of Pancasila as a manifestation of Bhinneka Tunggal Ika. Campaigns for an Islamic state are representative of this. Intriguingly, there are also some who assert that Pancasila has become so corrupted by political interests that Indonesians need to be brave enough to risk replacing Pancasila with an alternative ideology, one that better functions as a legitimate articulation of unity in diversity. What this chaos of competing discourses demonstrates is that there is still a real need for ideological debate on the relationship between Pancasila and Indonesian-ness. With so many discourses vying for dominance such a dialogue is essential. As in the early years of independent Indonesia this is the time to explore, once again, the ways in which Pancasila can act as that which moulds Indonesians together into a common community. It is not enough to simply bellow Pancasila harga mati. As Sukarno noted, Pancasila was something that came from the very soil of Indonesia. If that earth has since shifted, changed in composition, then Pancasila must be grounded (membumikan) anew. It must be constantly cultivated in line with the times so as to ensure the continuing existence of an Indonesia firmly rooted in Bhinneka Tunggal Ika.

No More Debate on Pancasila: SBY

President Susilo Bambang Yudhoyono says there should be no more doubts about Pancasila being the countrys basic ideology. Let us stop all the debate about Pancasila being our nations basic ideology, because doing so will be counterproductive and historically not correct, Yudhoyono said during his speech at the birth of Pancasila commemoration ceremony at the Peoples Consultative Assembly (MPR) in Jakarta on Tuesday. Yudhoyono said he hoped the spirit of the Pancasila ideology would continue to inspire the current and future leaders of the country. The ceremony is to commemorate the speech of Megawati's father and Indonesia's first president, Sukarno, which gave birth to the country's ideology known as Pancasila.

Source : http://maulanusantara.wordpress.com http://koranpendidikan.com http://bataviase.co.id/node/232003 http://psp.ugm.ac.id/reimagining-the-state-ideology-pancasila.html http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/01/no-more-debate-pancasila-sby.html

WINTON 120310100136

Analisis
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia telah menjadi doktrin yang sepatutnya ditanamkan dalam diri masyarakat Indonesia guna membangung negara yang lebih baik. Pancasila memiliki banyak sisi positif yang mencerminkan kepribadian bangsa. Dari sila pertama hingga sila kelima menggambarkan indentitas bangsa yang patut dijadikan acuan dalam berperilaku. Pancasila memberikan pijakan untuk menggabungkan banyak unsur beragam yang terdiri dari bermacammacam etnik, agama, dan suku membentuk Indonesia. Namun, banyak orang salah mengartikan nilai-nilai yang terdapat di dalam Pancasila. Masalah Pancasila sebenarnya berhubungan dengan kenyataan bahwa Pancasila telah berkembang menjadi doktrin yang komprehensif tanpa didukung dengan sosialisasi yang baik. Di sisi lain Pancasila semakin terpinggirkan, bangsa Indonesia terancam krisis ideology dan mudah tersusupi oleh ideologi lain. Intervensi-intervensi seperti itulah yang akan membobrokkan moral bangsa. Sila pertama menjadi sila yang paling rancu dan membuka celah lebar untuk terjadinya perdebatan antar penganut agama. Indonesia adalah negara dengan banyak penduduk yang menganut agama Islam, tetapi bukan merupakan Negara Islam. Banyak orang ingin membentuk negara yang lebih religius Islam di Indonesia. Pengertian sila pertama sendiri sebetulnya

menunjukkan negara Indonesia yang religius tetapi menjungjung tinggi perbedaan yang ada. Namun seiring semboyan Bhinekka Tunggal Ika telah banyak dilupakan, perbenturan kebudayaan banyak terjadi. Pancasila sendiri sudah banyak dicemari oleh perilaku politik pemerintah Indonesia yang baik secara sengaja maupun tidak telah banyak merubah pola pikir masyarakat terhadap Pancasila. Menghentikan perdebatan tentang Pancasila adalah jalan terbaik yang sepatutnya diambil. Masyarakat sebaik lebih fokus dalam pembenahan perilakunya dan pemahaman terhadap Pancasila yang lebih baik. Pendidikan perlu ditingkatkan agar dalam memahami Pancasila tidak mudah tergoyahkan oleh intervensi-intervensi negatif yang datang dari dalam maupun luar bangsa. Persatuan dalam pembenahan ini sangat diperlukan, di samping peran pemerintah juga besar dalam menyukseskan apa yang seharusnya dicanangkan dari dulu ini.

You might also like