You are on page 1of 3

Ekstradisi adalah sebuah proses formal dimana seorang tersangka kriminal ditahan oleh suatu pemerintah diserahkan kepada

pemerintahan lain untuk menjalani persidangan, tersangka tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumanya. Perjanjian ekstradisi di Indonesia muncul karena adanya kepentingan hukum maupun politis, Kepentingan hukum yang dimaksud adalah untuk menjamin kepastian hukum bagi para pelaku kejahatan yang melarikan diri kewilayah yuridiksi negara lain selain itu juga untuk memberikan rasa keadilan bagi korban tindak kejahatan tersebut, sementara kepentingan politisnya antara lain untuk menjalin hubungan yang baik dengan negara yang melakukan perjanjian ekstradisi agar tercipta komunikasi politik yang kondusif. Ketentuan mengenai ekstradisi di Indonesia diatur dalam UU No. 1 Tahun 1979. Indonesia sudah melakukan 7 perjanjian ekstradisi dengan negara lain namun masih ada dua perjanjian yang belum diratifikasi, perjanjian- perjanjan tersebut antara lain: Perjanjian ekstradisi RI-Malaysia: UU RI No. 9 Tahun 1974 Perjanjian ekstradisi RI-Australia: UU RI No. 8 Tahun 1994 Perjanjian ekstradisi RI-Philipina: UU RI No. 10 Tahun 1976 Perjanjian ekstradisi RI-Singapura: (Belum diratifikasi) Perjanjian ekstradisi RI-Thailand: UU RI No. 2 Tahun 1978 Perjanjian ekstradisi RI-Hongkong: UU RI No. 1 Tahun 2001 Perjanjian ekstradisi RI-Korea Selatan: (Belum diratifikasi) Walaupun hanya ada sedikit negara yang mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia tapi hal itu tidak menutup kemungkinan bagi Indonesia untuk melakukan ekstradisi dengan negara lain selama hubungan Indonesia dengan negara tersebut baik- baik saja. Indonesia mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Filipina yang disahkan dengan UU no 10 tahun 1976. Kedua negara berhasrat untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif dalam memberantas kejahatan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan kedua negara dalam masalah ekstradisi. Indonesia dan Filipina dapat mengadakan ekstradisi jika tempat dilakukannya tindak kejahatan berada didalam salah satu wilayah mereka, pihak yang diminta dapat menolak penyerahan orang yang diminta jika menurut pihak yang diminta tindak kejahatan itu dilakukan seluruhnya atau sebagian dalam wilayah pihak yang diminta. Perjanjian ekstradisi tersebut meliputi tindak kriminal yang menurut kedua negara yang dapat dihukum dengan hukuman mati atau perampasan kemerdekaan dengan jangka waktu diatas satu tahun, seperti:

Pembunuhan berencana Pemerkosaan Penculikan Perbudakan Korupsi Penggelapan uang Pemalsuan dokumen penyelundupan pembajakan udara, laut kejahatan yang bersangkutan dengan narkotika atau obat- obat terlarang Kejahatan yang bersangkutan dengan senjata api, bahan-bahan peledak atau bahanbahan yang menimbulkan kebakaran.

Tapi penyerahan tidak akan dilakukan jika kejahatan yang dimintakan penyerahan itu dianggap oleh Pihak yang diminta sebagai kejahatan politik. Karena kejahatan politik hingga kini parameternya masih tidak jelas, kejahatan politik masih berhubungan dengan hak untuk bebas bersuara menyuarakan pendapat.Seseorang dapat dianggap penjahat politik adalah jika orang tersebut menjadi korban pasif dari suatu gejolak politik maka yang bersangkutan merasa ketakutan untuk kembali ke negeri asalnya karena ada resiko akan mendapatkan perlakuan yang tidak adil secara hukum oleh pemerintah mereka. Maka negara yang diminta tidak berhak memberikan "penjahat politik" ke negara yang meminta. Kedua negara juga berhak menolak memberikan warga negaranya yang melakukan tindak kejahatan asalkan negara yang diminta dapat mengadili pelaku tindak kejahatan tapi pihak yang diminta tidak diwajibkan untuk menyerahkan perkara itu kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan penuntutan jika pejabat yang berwenang itu tidak mempunyai yurisdiksi. Indonesia dan Filipina pertama kali melakukan ekstradisi terhadap Dennis Austin Standeffer, warga negara Amerika serikat yang dituduh melakukan pemerkosaan gadis dibawah umur di Filipina. Ia dituduh memerkosa seorang gadis berumur 14 tahun pada bulan November 1994 di sebuah resort di Surigao del Norte. Tapi Standeffer menolak bahwa Ia telah melakukan pemerkosaan karena pada bulan November 1994 Ia tak berada di Filipina, Ia berdalih bahwa saingan bisnisnya di Filipina menyuap polisi lokal Filipina untuk mengambil alih proyek pengangkatan harta karun dari laut Filipina yang bernilai US$ 100 juta. Karena dalam perjanjian tahun 1976 mengatakan bahwa ekstradisi hanya dapat dilakukan jika Di Filipina dan di Indonesia pelaku pemerkosaan dibawah umur dapat dikenai hukuman mati, tidak seperti di Filipina di Indonesia pelaku pemerkosaan dibawah umur tidak bisa dihukum mati. Karena itu, Standefer hanya bisa diekstradisi bila ada jaminan dari Filipina bahwa ia tak akan dihukum mati. Pada Desember tahun 2000, Presiden Filipina Joseph Ejercito Estrada mengirimkan surat jaminan tersebut kepada Presiden Abdurrahman Wahid, isi surat tersebut mengatakan bahwa hakim Filipina tidak akan menerapkan hukuman mati pada kasus Dennis Austin

Standeffer. Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid lewat KEPRES NOMOR 46 TAHUN 2001 memberikan izin untuk melakukan ekstradisi terhadap Dennis Austin Standeffer yang dituduh melakukan kejahatan perkosaan dalam wilayah yurisdiksi negara Filipina dengan catatan Dennis Austin Standeffer. Kasus Dennis Austin Standeffer adalah pertama kalinya bagi Indonesia melakukan ekstradisi dari sana kita bisa melihat ekstradisi dapat berjalan lancar jika kedua belah pihak melakukan perjanjian ekstradisi, ini dapat dibandingkan dengan kasus kaburnya koruptorkoruptor atau pelaku tindak kriminal Indonesia yang lari ke Singapura karena perjanjian ekstradisi antara Indonesia- Singapura belum diratifikasi yang menjadi celah bagi para pelaku kriminal untuk lari ke Singapura. Ekstradisi sebenarnya bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun asalkan hubungan kedua Negara yang mempunyai kepentingan mempunyai itikad baik untuk melakukannya walau tanpa ada perjanjian sebelumnya, tentu saja hal itu tidak terlepas dari kepentingan politik suatu Negara karena atas dasar apapun perjanjian ekstradisi selain untuk menegakan Hukum Pidana Internasional juga menjadi ajang suatu Negara untuk mencari- cari kesempatan. Maka dari itu solusi win to win menjadi patokan dasar perjanjian ekstradisi, jika kedua Negara sama- sama tidak dirugikan maka perjanjianpun bisa berjalan dengan mulus tetapi jika satu Negara merasa dirugikan maka hanya deadlock yang tercapai, mungkin dengan cara menjaga hubungan baik dengan Negara luar adalah satu alasan ekstradisi dilakukan tanpa pamrih.

You might also like