You are on page 1of 15

MAKALAH MAL PRAKTEK

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Dalam rentang dua bulan terakhir ini, media massa marak

memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktorfaktor lainnya. Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasuskasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang dokter? Untuk diketahui, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum ihwal standar profesi kedokteran yang bisa mengatur kesalahan profesi. Sebenarnya kasus malpraktek bukanlah barang baru. Sejak bertahun-tahun yang lalu, kasus ini cukup akrab di Indonesia. Makalah ini akan membahas tentang malpraktek ditinjau dari hukum dan etika. Menurut Coughlin's Dictionary Of Law: Malpractice may be the result of ignorance,neglec,orlack of skill or fidelity in the performance of profesional duties; intentional wrongdoing ;ol illegal or unethical practice.(malpraktek bisa diakibatkan kareba sikap kurang keterampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanakan kewajiban profesional;tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis). Menurut Di oxford Illustrated dictionary,2nded,1975: Malpraktice =

Wrongdoing;(law) Improper treatment of patient by medical attendant;illegal action for one's owun benefit while I position of trust. (Malpraktek=Sikap atau tindakan

yang salah; (hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medik; tindakan yang ilegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan). Perumusan dari banyak penulis lainnya,tidak jauh berbeda dari perumusan-perumusan tersebut diatas. Akan tetapi inti dari pada perumusan malpraktek tersebut di atas,serta menurut hokum yang berlaku di indonesia, kurang lebih adakah sebagai berikut: malpraktek adalah perbuatan dokter/tenaga kesehatan lainnya pada waktu menjalankan tugas profesinya yang bertentangan atau melanggar atau tindak/kurang hati-hati memperhatikan ketentuan atau prsyaratan yang berlaku untuk setiap tingkt keadaan penyakit pasien yang ditanganinya,baik menurut paraturan perundangan maupun ukuran kepatutan atau ukuran ilmu kedokteran yang dapat dipertanggung jawabkan serta menurut ukuran profesionalitas dan menimbulkan akibat yang merugikan pasien/keluarganya. Dengan mencermati rumusan-rumusan malpraktek seperti dikutip diatas,maka

dalam pengertian malpraktek mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja, (Intentional,dolus,opzettelijk) melanggar undang-undang dan

ketidaksengajaan (Culpa,negligance), Kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh. sembrono, tak perduli terhadap kepentingan orang lain. Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian dan kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter di karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah memberikan obat. Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang terjadi di beberapa rumah sakit, kasus yang paling buming di bicarakan di media-media adalah kasus prita mulyasari. Ia mengaku adalah korban malpraktik di rumah sakit Omni internasional. Tidak hanya kasus Prita saja, masih banyak lagi kasus-kasus lain. Pihak rumah sakit berlindung pada nama besarnya. Sesungguhnya Prita hanya berbicara tentang kebenaran dan hak sebagai seseorang yang dirugikan. Dalam pengakuannya Prita pernah berobat di rumah sakit Omni Internasional tersebut. Tapi ia tidak menyangka bahwa ia akan mendapat perlakuan medis yang tidak layak. Ia mengungkapkan hal ini pada teman-temannya melalui media internet dan tanpa disangka hal ini membuat Prita terlilit kasus pencemaran nama baik.

1.2.

Perumusan Masalah Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Putusan pengadilan apakah ada kelalaian atau tidak atau tindakan tersebut merupakan risiko yang melekat pun belum pernah diambil. Masyarakat hanya melihat dampak dan akibat yang timbul dari tindakan malpraktik tersebut. Semua bergantung kepada si penafsir masing-masing (keluarga, media massa, pengacara), dan tidak ada proses hukumnya yang tuntas. Karena itu sangat perlu bagi kita terutama tenaga medis untuk mengetahui sejauh mana malpraktek ditinjau dari segi etika dan hukum?. Terlepas dari kasus Prita, banyak sekali orang yang menjadi korban kasus Malpraktik. Mengapa dokter di negara kita ini bertindak semaunya dan tidak teliti? Tidak sadarkah bahwa keselamatan seorang pasien berada ditangannya? Kesalahan yang dilakukan Dokter seperti ini mengapa masih saja dilindungi oleh pihak rumah sakit bahkan hukum? Bukankah seharusnya hukum membela hak asasi manusia. Lalu mengapa dalam kasus ini hukum bertindak sangat lemah? Mengapa hukum seperti tidak dapat melihat kebenaran? Seharusnya yang seorang pasien korban malpraktik berhak menuntut haknya sebagai pihak yang dirugikan. Tapi mengapa justru pihak rumah sakit tersebut yang menuntut ganti rugi kepada pasien yang menjadi korban malpraktik akibat kelalaian tim medisnya dengan tuduhan pencemaran nama baik? Apakah hal ini adil? Bukankah semua manusia sama derajatnya dihadapan hukum?

Hukum terlihat begitu memihak pada pihak yang lebih memiliki kuasa dan uang. Hukum lemah dalam memperjuangkan hak rakyatnya yang telah menjadi korban malpraktik. Sebenarnya siapa yang paling bersalah dalam kasus seperti ini? Tentu saja pihak rumah sakit. Mengapa rumah sakit tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang telah dilakukan? Haruskah mempersulit masalah seperti ini demi melindungi nama baik rumah sakit?. Dengan tersebarnya kasus seperti ini walaupun belum terungkap yang sebenarnya, nama rumah sakit tersebut sudah mendapat keraguan dari masyarakat. Tidak ada asap jika tidak ada api. Kasus ini timbul karena kesalahan dari pihak rumah sakit. Mengapa kasus ini harus dibesar-besarkan yang justru membuat nama rumah sakit tersebut tercemar? Yang dibutuhkan dalam hal ini

adalah pertanggung jawaban bukan fakta yang dibalikkan. Pasien yang justru dirugikan dan tidak mendapat pertanggung jawaban. Dalam hal ini benar-benar hukum harus berlaku adil tanpa memandang siapa dan apa kekuasaan yang dimiliknya. Siapapun dia kalau memang bersalah harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. Dalam kasus seperti ini, ada sanksi bagi tim medis atau dokter yang melakukan malpraktik akibat unsur kesengajaan dan kelalaian. Dalam Undang-undang KUHP pasal 360 yang berbunyi: ( 1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat lukaluka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharia selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah. Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum. Dan dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya. Tunjukkan bahwa hukum tidak dapat dipermainkan dengan uang dan kekuasaan. Bukankah manusia sama dimata hukum, maka pihak yang berwenang harus lebih tegas dan adil dalam menghadapi kasus malpraktek ini. Karena Hukum berlaku adil dan jujur dihadapan Tuhan dan rakyatnya.

BAB II PEMBAHASAN

Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau sampai diajukan ke Pengadilan tetap terkatungkatung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa gunanya? Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi. Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran. Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang. Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal

tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam bukubukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar. Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat. Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit. Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu. Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum de minimis noncurat lex, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 April 2004). Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya merupakan Pe-Er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik

adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien. Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi. Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent (persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini angat perlu tidak hanya ntuk melindungi dar kesewenangan tenaga keehatan seprti doter atau bidan, tetapi juga diperlukanuntuk melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan malpraktek). Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu: 1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri. 2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis. 3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya. 4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam. 5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat

dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedic lain sebagai saksi adalah penting. 6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).

BAB III PENUTUP

Menurut teori dan doktrin, sesuatu tindakan praktik kedokteran yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktik dokter dilihat dari 3 aspek/hal: 1. Intensional Professional Misconduct, yaitu bahwa seorang dokter atau dokter gigi dinyatakan bersalah/buruk berpraktik, bilamana dokter tersebut dalam berpraktik melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap standar-standar dan dilakukan dengan sengaja. Dokter yang berpraktik dengan tidak mengindahkan standarstandar dalam aturan yang ada dan tidak ada unsur kealpaan/kelalaian. Misalnya seorang dokter atau dokter gigi sengaja membuat keterangan palsu atau tidak sesuai dengan diagnosis ataupun memang sama sekali tidak melakukan

pemeriksaan. Seorang dokter membuka rahasia pasien dengan sengaja tanpa persetujuan pasien ataupun tanpa permintaan penegak hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang. Seorang dokter melakukan aborsi tanpa indikasi medis (illegal). 2. Negligence atau tidak sengaja (kelalaian) yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang karena kelalaiannya (culpa) yang mana berakibat cacat atau meninggalnya pasien. Seorang dokter atau dokter gigi lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan keilmuan kedokteran, maka hal ini masuk dalam kategori malpraktik, namun juga hal ini sangat tergantung terhadap kelalaian yang mana saja yang dapat dituntut atau dapat dihukum, hal ini tergantung oleh hakim yang dapat melihat jenis kelalaian yang mana. Misalnya dokter sebelum melakukan tindakan medis seharusnya melakukan sesuatu terlebih dahulu namun itu tidak dilakukan atau melakukan sesuatu tapi tidak sempurna. 3. Lack of Skill yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan medis tetapi diluar kompetensinya atau kurang kompetensinya. Misalnya, dokter

cardiofaskuler melakukan operasi tulang. Ketiga hal tersebut diatas itulah berdasarkan teori masuk kategori malpratik namun bagaimana secara yuridis atau aturan hukum positif kita. Dalam undangundang kesehatan maupun dalam undang-undang praktik kedokteran tidak ada satu kata pun yang menyebut kata malpraktik. Pada undang-undang kesehatan menyebut kesalahan/kelalaian yang dilakukan dokter atau doker gigi dan dalam undang-undang praktik kedokteran menyebut kata kesalahan saja. Begitu pula dalam kitab undang-undang hukum pidana maupun kitab undang-undang hukum perdata hanya menyebut kata kesalahan dan kelalaian. Bilamana kita menelaah dan mengkaji tentang malpraktik dalam hukum positif kita, maka dapatlah dikatakan bahwa malpraktik yang dimaksud itu adalah perbuatan-perbuatan yang jelek atau buruk yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang dikarenakan karena adanya kesalahan atau kelalaian oleh dokter atau dokter gigi yang berakibat cacatnya pasien atau matinya pasien ataupun akibat lain terhadap pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Undang

undang

nomor

29

tahun

2004

tentang

Praktik

Kedokteran;

Abdul gani, Mal Praktik ditinjau Dari Segi ilmu Hukum, Makalah, Denpasar, 1987 Hermien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medis, Airlangga Universitas, Press, Surabaya, 1984. Sabir Alwy, Mal praktikdi Rumah Sakit, Makalah, Jakarta, 2006.

Masalah Malpraktek Dan Kelalaian Medik Dalam Pelayanan Kesehatan Edisi SMW | Kesehatan Written by Siswoyo on Monday, 14 June 2010 06:21

Di dalam berbagai tulisan bahwa penggunaan istilah malpraktek (malpractice) dan kelalaian medik (medical negligence) di dalam pelayanan kesehatan sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya sama, padahal istilah malpraktek tidak sama dengan kelalaian medik.

Kelalaian medik dapat digolongkan sebagai malpraktek, tetapi di dalam malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian medik, dengan perkataan lain malpraktek mempunyai cakupan yang lebih luas daripada kelalaian medik. Perbedaan yang lebih jelas dapat terlihat dari istilah malpraktek yang selain mencakup unsur kelalaian, juga mencakup tindakantindakan yang dilakukan dengan sengaja (dolus), dilakukan dengan sadar dan akibat yang terjadi merupakan tujuan dari tindakan tersebut walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Misalnya dengan sengaja melakukan pengguguran kandungan tanpa alasan (indikasi) medis yang jelas, melakukan operasi pada pasien yang sebenarnya tak perlu dioperasi, memberikan surat keterangan dokter yang isinya tidak benar. Sebaliknya, istilah kelalaian medik biasanya digunakan untuk tindakan-tindakan yang dilakukan secara tidak sengaja (culpa), kurang hati-hati, tak peduli/tak acuh, dan akibat yang ditimbulkannya bukanlah merupakan tujuannya, tetapi karena adanya kelalian yang terjadi di luar kehendaknya. Misalnya menelantarkan pasien dan tidak mengobatinya sebagaimana mestinya sehingga pasien meninggal.

MALPRAKTEK Menurut berbagai sumber, malpraktek merupakan perbuatan yang tidak melakukan profesinya sebagaimana yang diajarkan di dalam profesinya, misalnya seorang dokter, insiniur, pengacara, akuntan, dokter gigi, dokter hewan dan lain-lain. Oleh karena itu, istilah malpraktek sebenarnya tidak hanya digunakan untuk profesi kedokteran saja tetapi dapat digunakan untuk semua bidang profesi, dan jika digunakan untuk profesi kedokteran seharusnya dipakai istilah malpraktek medik.

Malpraktek dapat terjadi akibat ketidaktahuan, kelalaian, kurangnya ketrampilan, kurangnya ketaatan kepada yang diajarkan dalam profesinya atau melakukan kejahatan untuk mendapatkan keuntungan di dalam melaksanakan kewajiban profesinya, adanya perbuatan salah yang disengaja, maupun praktek gelap atau bertentangan dengan etika.

Menurut pasal 51 Undang-undang (UU) no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bahwa dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :

-memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. -merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan. -merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. -melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. -menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau ilmu kedokteran gigi. Kesemuanya hal-hal yang diuraikan di atas merupakan kewajiban profesi yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi menurut UU, dan dikatakan malpraktek medik jika : -Adanya tindakan atau sikap perbuatan dokter yang bertentangan dengan etik dan moral, bertentangan/melawan hukum (onrechtmatige daad), bertentangan dengan standar profesi medik dan kurangnya pengetahuan dan ketrampilan atau ilmu yang dimilikinya sudah ketinggalan zaman di dalam pelayanan kesehatan. -Menelantarkan, lalai, kurang hati-hati dan adanya kesalahan dalam melakukan tindakan.

KELALAIAN MEDIK Kelalaian bukanlah suatu kejahatan. Seorang dokter dikatakan lalai jika ia bertindak tak acuh, tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya. Sepanjang akibat dari kelalaian medik tersebut tidak sampai menimbulkan kerugian kepada orang lain dan orang lain menerimanya maka hal ini tidak menimbulkan akibat hukum. Akan tetapi, jika kelalaian itu telah mencapai suatu tingkat tertentu sehingga tidak memperdulikan jiwa orang lain maka hal ini akan membawa akibat hukum, apalagi jika sampai merengut nyawa maka

hal ini dapat digolongkan sebagai kelalaian berat (culpa lata).

Adapun yang menjadi tolak ukur dari timbulnya kelalaian dapat ditinjau dari beberapa hal: a.Tidak melakukan kewajiban dokter yaitu tidak melakukan kewajiban profesinya untuk mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya bagi penyembuhan pasien berdasarkan standar profesinya. Menurut penjelasan pasal 7 ayat 2 UU no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bahwa standar profesi medik adalah pendidikan profesi yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional. Seorang dokter atau dokter gigi tentunya tidak dapat dipersalahkan lagi jika akibat tindakannya tidak seperti yang diharapkan atau merugikan pasien, sepanjang tindakan yang dilakukannya telah memenuhi standar profesi medik yang ada.

b.Menyimpang dari kewajiban yaitu menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.

Perlu dipahami bahwa jika seorang dokter atau dokter gigi mempunyai pendapat yang berlainan dengan dokter atau dokter gigi lain mengenai penyakit pasien belumlah berarti bahwa ia telah menyimpang, karena untuk menentukan apakah terdapat penyimpangan atau tidak harus berdasarkan fakta-fakta yang ada dalam kasus tersebut dengan bantuan pendapat ahli atau saksi ahli.

c.Adanya hubungan sebab akibat yaitu adanya hubungan langsung antara penyebab dengan kerugian yang dialami pasien sebagai akibatnya. Seringkali pasien maupun keluarganya menganggap bahwa akibat yang merugikan yang dialami pasien adalah akibat dari kesalahan ataupun kelalaian dokternya. Anggapan ini tidak selamanya benar karena harus dibuktikan dahulu adanya kelalaian dan adanya hubungan sebab akibat antara akibat yang dialami pasien dengan unsur kelalaian dokter.

PERLU DIPERHATIKAN Hukum menginginkan agar seluruh masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya termasuk kewajiban profesinya harus dengan cara yang wajar dan menjaga agar orang lain termasuk pasiennya tidak sampai menderita kerugian yang tidak perlu. Di dalam menjalin adanya hubungan antara dokter dengan pasien di dalam pengobatannya terdapat unsur yang sangat penting yaitu kepercayaan yang diberikan oleh pasien terhadap dokter yang merawatnya bahwa dokter mempunyai ilmu ketrampilan untuk menyembuhkan penyakit

pasien, dokter akan bertindak dengan hati-hati dan teliti serta bertindak berdasarkan standar profesi medik yang ada. Kepercayaan tersebut hendaknya jangan disia-siakan, dengan menghindari melakukan malpraktek medik termasuk kelalaian medik (dr.Pirma Siburian SH, SpPD,KGer, Koordinator Bidang Hukum dan Perlindungan Anggota, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Sumatera Utara).

Antisipasi Dampak Penyakit Selama Kemarau (2)


17 September, 2011

Dr.dr.Ari F Syam SpPD-kGEH,MMB,FINASIM,FACP, spesialis penyakit dalam menjelaskan jika mengalami diare maka yang harus dicegah adalah orang yang mengalami diare tersebut tidak jatuh kedalam keadaan kekurangan cairan dan elektrolit.

Kekurangan cairan dan elektrolit jika tidak terdeteksi dan tidak tertangani dengan baik akan menyebabkan komplikasi yang lanjut seperti gangguan fungsi ginjal sampai menyebabkan kematian, ujarnya. Cairan yang mengandung elektrolit seperti oralit sebaiknya segera harus diberikan dan disesuaikan dengan jumlah atau banyaknya feses cair yang dikeluarkan. Jika kondisi dehidrasi cukup berat atau pasien tidak bisa menkonsumsi minuman akibat mual dan muntahnya maka pasien perlu perawatan di rumah sakit untuk mendapatkan infus cairan untuk mengatasi dehidrasi yang terjadi. Pengobatan Diare Obat-obatan yang diberikan adalah obat anti diare untuk memberhentikan diare, antibiotika untuk membunuh kuman penyebab diare tersebut. Walau sebenarnya tidak semua diare tersebut karena infeksi oleh karena itu tidak semua diare tersebut perlu antibiotika. Obat obat lain juga kadang kala diperlukan untuk mengurangi gejala-gejala tambahan pada penderita diare tersebut. Gejala-gejala tambahan tersebut bisa diatasi dengan obat-obatan misalnya jika terjadi demam diberikan obat penurun panas, jika mual sampai muntah dapat diberikan obat anti muntah. Jika terjadi mules kadang kala diberikan obat anti kejang usus (antispasmodik). Obat anti diare harus diberikan dengan bijaksana jika berlanjut harus segera mencari pertolongan medis. Selain itu langkah pencegahan diare harus dilakukan antara lain masyarakat harus pandaipandai memilih makanan dan minuman.

Sudah seharusnya kita memperhatikan kondisi lingkungan sekitar, kebersihan tempat makanan dan minuman, apakah banyak ditemukan lalat atau tidak. Banyaknya lalat bahkan adanya kecoa pada satu tempat merupakan suatu tanda bahwa makanan dan minuman yang akan kita konsumsi tersebut sudah tercemar atau tidak, pungkasnya. (kar)

You might also like