You are on page 1of 3

Tarjo! Metu ora kowe! Gedoran bertubi-tubi di pintu membuat tubuhmu menggigil. Aku meringkuk dalam dekapan bapak.

Airmataku sejak tadi sudah meluncur jatuh sampai membasahi baju putih lusuh bapak. Aku ketakutan. Teriakan murka Mbah Tukiyo di luar sana yang masih getol meminta bapak keluar membuatku makin mengeratkan pelukan pada tubuh ringkih bapak. Nduk, bapak harus keluar sekarang.. Bapak mengelus kepalaku sayang. Perlahan dilepaskannya cengkeraman tanganku dari tubuhnya. Aku yang sudah kehilangan kehangatan bapak langsung lari bersembunyi ke dalam kamar. Ku jatuhkan tubuhkan ke atas dipan reot tanpa kasur yang selama ini setia menimangku ke alam mimpi. Suara teriakan Mbah Tukiyo dan permohonan memelas bapak masih terdengar jelas. Kututup kedua telingaku dengan jarit kusam peninggalan simbok. Beliau baru saja meninggal lima bulan yang lalu. Sakit yang simbok derita mengharuskannya melakukan operasi. Itulah yang membuat bapak terpaksa meminjam uang pada Mbah Tukiyo, juragan akik dari Solo. Namun sayang, takdir berkata lain. Simbok lebih memilih kembali pada Yang Maha Kuasa. Braakk! Aku terlonjak kaget. Masih dengan tubuh bergetar aku kuatkan diri untuk keluar dari kamar. Batapa terkejutnya aku melihat bapak tersungkur di atas lantai tanah. Mataku menangkap sosok Mbah Tukiyo yang mulai melangkah meninggalkan rumahku dengan membawa sesuatu di tangannya. Apa itu? Ah! Jam bandul antik kesukaan Bapak. Jam yang selalu setia berdenting untuk kami bertahun-tahun itu sekarang sudah tidak kami miliki lagi. XOXOXOXOXO Dinginnya malam tak membuat niatku untuk berlatih jathilan menjadi pudar. Apa yang kurasakan ini tak sebanding dengan perjuangan bapakku untuk menghidupiku sampai sekarang. Utang yang melilit bapak membuat beban hidupnya semakin berat. Pekerjaan yang tak pasti membuat kondisi ekonomi keluargaku menurun. Jangankan untuk melunasinya, untuk makan sehari saja belum tentu cukup. Bapak memang melarangku untuk melanjutkan sekolah mengingat biaya yang tak cukup. Tetapi aku bertekad untuk terus sekolah. Aku hanya mempunyai ijazah SD dan tentu saja tak dapat meraih citacitaku menjadi seorang dokter. Oleh karena itu, aku masuk perguruan reog jathilan di desaku. Upahnya lumayan banyak. Seratus ribu rupiah setiap kali tanggapan. Cukup untuk membiayai sekolahku tanpa menyusahkan bapak. Namun upahku jathil selalu dipotong dua puluh lima persen setiap kali tanggapan karena guruku sudah mengetahui kedokku. Kutelusuri jalan setapak yang ditemani suara-suara jangkrik saling bersaut-sautan. Aku masih terbayangbayang dengan insiden pertama kali tanggapan. Kejadian itu diawali pada saat Mbah Kasino yang akrab dipanggil Mbah Raden membakar dupa. Semua penari harus kesurupan. Aku melihat semua temantemanku kerasukan setan. Aku masih sadar. Aku tak kesurupan. Aku bahkan belum pernah bertemu

setan,gendruwo,tuyul,kuntilanak, atau entah apa. Terpaksa aku pura-pura kerasukan. Aku tak ingin membuat guruku kecewa dan tak memberiku upah. Orang-orang memberiku daging mentah,daun pepaya,bunga mawar, dan lainnya. Aku masih bisa menelan. Rasanya membuat lidahku kelu. Aku pura-pura tak merakan apa-apa. Layaknya orang yang benar-benar kerasukan. Sampai sekarang pun, aku tak ingin muncul di panggung pada saat babak kesurupan. Aku tak mau purapura kerasukan lagi. Rasanya sungguh menyiksa. Sampai guruku mengetahui semua hal itu, dan upahku dipotong setiap kali tanggapan. Cahaya terang telah tampak dari tempatku berpijak. Cahaya itu tak lain adalah lampu depan pendopo rumah guru Jathilku. Disitulah tempatku latihan setiap malam. Aku mempercepat langkahku karena teman-teman ternyata sudah berkumpul di pendopo. Mereka sibuk mempersiapkan alat-alat untuk latihan malam ini. Aku hanya duduk termenung di depan teras pendopo. Aku masih berpikir, mengapa aku tak dapat kesurupan? Padahal aku telah menguasai seluruh gerakan. Aku juga berpikir, mengapa mereka bisa? Padahal mereka belum menguasai seluruh gerakan dengan sempurna. Aku ingin kesurupan seperti teman-teman yang lainnya agar upahku tak dipotong lagi. Aku tak ingin merasakan pahitnya daun pepaya, rasanya daging mentah, bahkan aku ingin memakan bunga mawar tanpa rasa arum yang menjijikkan di mulutku. Aku ingin gaji utuh. Aku tak ingin terus menerus seperti ini. Dalam benakku muncul pertanyaan, sebenarnya apa penyebab dari kesurupan? Hei, Sarti Sontak suara itu membuatku terbangun dari lamunan yang cukup lama. Seseorang yang telah mengagetkanku dengan tepukan keras di pundakku. Sedang apa kau disini? Eee.. anu Mbak, Cuma mau cari udara segar. Ucapku bohong. Jangan bohong, sampeyan pasti mikirin soal kesurupan itu, ya? Tanya Mbak Diyan penari jathil yang sudah lama kondang. Emmm, iya Mbak. Jawabku pelan. Dulu aku juga sepertimu. Kata Mbak Diyan dengan senyum sinis di wajahnya. Lalu? Tanyaku penasaran. Kau ini pura-pura tak tahu apa benar-benar dungu?! Mbak Diyan bertanya dengan nada tinggi. Aku merasa tersentak olehnya. Benar Mbak, aku belum tahu. Memangnya apa, Mbak? Tanyaku sedikit ketakutan. Cukup minum ciu sebelum tanggapan, kau pasti akan kesurupan. Ucapannya membuat dahiku mengeryit.

Ciu apa? Aku menjadi tambah bingung. Seperti ini Mbak Diyan memperlihatkan sebotol minuman beralkohol kepadaku dan meneguknya sampai habis. Ia pun segera pergi meninggalkanku. Kucamkan dalam-dalam ucapan Mbak Diyan. Aku bingung. Aku tak tahu maksud dari semua katakatanya. Ciu dan kesurupan ? Apa hubungannya? Tiba-tiba suatu dugaan melintas di pikiranku. Mungkinkah sebenarnya mereka tak benar-benar kerasukan setan? Mungkinkah hanya minuman beralkohol yang membuat mereka tak sadar dan membuat mereka makan makanan yang tak wajar? Apakah ini arti kata kesurupan bagi mereka? XOXOXOXOXOXOXO Hentakan kaki, gelengan kepala dan liukan tubuhku seiring suara gendang meriuhkan suasana. Sorak sorai penonton membuatku melepas senyum lebar. Selendang merah yang terselip disabuk pinggangku mengayun-ayun indah seiring gerakan badanku yang semakin menggila. Aku memejamkan mata. Kepalaku menengadah ke atas menentang matahari. Suara seruling mulai mengikuti pukulan gendang. Memberi isyarat babak kesurupan akan segera dimulai. Tubuhku berhenti bergerak. Senyum di wajahku memudar. Ah.. upahku hari ini pun akan dipotong.

You might also like