You are on page 1of 3

Maskulinitas Geng

Oleh: Abu Bakar Fahmi

Sebagai institusi yang sengaja dibentuk sendiri oleh remaja, geng tidak tampak
eksistensinya tanpa kehadiran sesuatu yang menonjol. Kebutuhan anggota geng
untuk menguasai, mendominasi, tampil beda, dan menampakkan kelebihan
dibanding yang lain mendorong aggotanya menampilkan kepribadian maskulin.
Sikap dan perilaku maskulin yang mendapat tempat dari pihak lain di luar anggota
gengnya dikukuhkan sebagai cara yang mampu memenuhi kebutuhan untuk diakui
statusnya dalam kelompok sebaya (peer-status need)

Sikap dan perilaku maskulin dalam geng tumbuh sedangkan sikap dan perilaku yang
mencerminkan femininitas dalam geng ditekan. Maskulinitas ini terejawantah dalam
cara menyikapi sesuatu (jantan atau tidak), cara berbicara (tegas atau tidak) maupun
cara bertindak (keras atau tidak). Sebagai sebuah ciri kepribadian, maskulinitas dalam
geng tidak memandang apakah anggota gengnya terdiri atas laki-laki atau perempuan.
Sebagaimana pribadi maskulin yang tidak identik laki-laki, maskulinitas dalam geng
pun tidak memandang apakah anggota geng terdiri atas laki-laki saja, perempuan saja
atau keduanya.

Dalam sebuah geng yang notabene kumpulan orang, penampilan maskulin pun
cenderung mendapat tempat yang tepat bagi remaja. Jadi, bisa dipahami bahwa geng
yang anggota-anggotanya berjenis kelamin perempuan pun bisa menampilkan sikap
dan perilaku maskulin. Bahkan lebih dari maskulinitas yang ditampilkan laki-laki,
seperti adegan kekerasan geng Nero (Neko-neko Dikeroyok) yang berulang kali
ditampilkan di layar televisi beberapa waktu lalu. Anggota geng lebih mendapat status
di hadapan teman sebaya yang lain dengan menampilkan ciri kepribadian maskulin
(Lips, 2005) yang kompetitif, dominan, petualang, berani, agresif dan resisten terhadap
tekanan. Sedangkan ciri kepribadian feminin yang penuh kasih sayang, simpatik, jentel,
sensitif, pengasuh, sentimental, mampu berhubungan sosial dan koopertif kurang
diapresiasi dalam pergaulan antaranggota geng.

Potensi Maskulin
Kecenderungan anggota geng yang menampilkan sikap dan perilaku maskulin
sesungguhnya tidak lepas dari dinamika psikologis masa remaja itu sendiri. Masa
remaja merupakan masa subur bagi tumbuhnya maskulinitas. Sebagai masa peralihan
menuju dewasa, remaja sering ‘tersesat’ pada premis bahwa seseorang yang dewasa
adalah yang menampilkan sikap dan perilaku maskulin. Gerak pertumbuhan psikologis
remaja dari interaksi yang terjalin dengan orang tua menuju interaksi dengan teman
sebaya justru cenderung sebagai ‘pemberontakan’ atas norma-norma yang terjalin
sebelumnya (di keluarga maupun di sekolah). Keinginan untuk tampil dengan sikap dan
perilaku berbeda dari sebelumnya menyumbang intensi remaja untuk menampilkan
kepribadian maskulin. Maskulinitas pada remaja merupakan buah bagi pertumbuhan
interpersonal yang belum sepenuhnya matang. Perkembangan intelektual, emosi dan
sosial pada remaja yang belum matang memengaruhi cara remaja berinteraksi dengan
orang lain. Terhadap suatu kejadian, remaja berpeluang terjebak dalam cara berpikir
pendek yang irasional, tanggapan emosi yang mudah tersulut dan gagap menyesuaikan
diri diantara norma-norma masyarakat. Sebagai misal, agresi sebagai aspek pribadi
maskulin akan muncul pada remaja sebagai reaksi atas sesuatu. Menurut Abraham H
Maslow (1994), agresi dan sikap yang mementingkan diri pada remaja lebih sering
timbul sebagai akibat perasaan kecewa, ditolak, kesepian, takut tidak dihormati, takut
kehilangan perlindungan. Pada kasus geng Nero, hasil penyelidikan sementara yang
dilakukan polisi (Kompas, 23/6) menunjukkan bahwa motif kekerasan bermula dari
masalah pribadi yang dibawa ke solidaritas kelompok. Salah satu anggota geng
mengaku telah dihina oleh teman sekolahnya. Lalu ia menceritakan persoalan tersebut
ke teman-teman anggota gengnya. Persoalan pun diselesaikan dengan cara geng:
korban dibawa ke lorong gang Blimbing, Juwana, lalu di dampar dan dijotos mukanya.
Sebuah adegan yang lebih mencengangkan dibanding perhelatan dua laki-laki di atas
ring tinju. Selain dinamika psikologis remaja, dinamika kelompok pun potensial
mumunculkan sikap dan perilaku maskulin. Myers (2005) mengartikan kelompok
sebagai dua orang atau lebih yang dalam waktu lama saling berinteraksi dan
memengaruhi satu dengan yang lain dan merasakan satu sama lain sebagai ‘kita’.
Kekitaan ditunjukkan dengan solidaritas. Dan bagi remaja, solidaritas tidak jarang
disalahartikan dengan cara melakukan pembelaan-pembelaan yang menunjukkan
maskulinitasnya. Pembelaan terhadap seorang anggota geng --yang disakiti,
dikecewakan, dihina-- pada dasarnya pembelaan terhadap nama baik geng dan harga
diri anggota-anggotanya.

Otonomi Moral
Potensi maskulin yang terejawantah tidak proporsional sesungguhnya dapat dikekang
dengan menumbuhkan otonomi moral pada remaja. Otonomi moral memungkinkan
remaja bersikap dan berperilaku seturut kontrol dirinya. Remaja tidak menimbang
sikap dan perilakunya dari kendali eksternal (termasuk dari temannya yang segeng) tapi
dari pertimbangan moral yang tumbuh dari kesadaran sendiri. Namun, menilik
perkembangan moral Lawrence Kohlberg , remaja cenderung masih berada pada
perkembangan moral konvensional yang tindakan-tindakannya dipengaruhi oleh apa
yang diinginkan orang-orang di sekitarnya (keluarga, teman sebaya, maupun
lingkungan sekitar). Mungkin butuh pengasahan moral yang terus-menerus untuk
mencapai otonomi moral—ini akan beriringan dengan tingkat kedewasaan. Remaja
yang memiliki moralitas otonom ini bukan hanya tidak terpengaruh oleh maskulinitas
destruktif yang ditampilkan oleh anggota-anggota gengnya, tapi bahkan mengendalikan
maskulinitas yang destruktif itu. Adanya otonomi moral mendorong remaja menimbang
ulang bahwa sikap dan perilaku yang baik itu bukan hanya yang maskulin. Seluhurnya,
nama baik geng akan diperoleh bukan dari sikap dan perilaku maskulin semata.
Maskulinitas dan femininitas potensial menampilkan harga diri tinggi anggota-anggota
geng asal sesuai dengan norma moral yang berlaku. Eksistensi geng yang terbentuk
karena minat (hobi) misalnya, tidak diukur dari tingginya kadar maskulinitas (seperti
pada geng motor) tapi sejauh mana minat (hobi) itu mampu memenuhi kebutuhan
aktualisasi pribadi dan memberi manfaat bagi orang lain (publik). Lebih dari itu semua,
otonomi moral yang bisa mengekang potensi maskulin yang negatif dapat tumbuh pada
remaja jika dan hanya jika lingkungan mendukung tumbuhnya otonomi moral itu.
Sayangnya, lingkungan yang diketengahkan pada remaja justru rangkaian kejadian yang
memupuki maskulinitas yang negatif itu : kekerasan muncul dimana-mana!

Penulis adalah Alumni Psikologi UGM.


Tulisannya bisa dibaca di http://www.abubakarfahmi.blogspot.com

You might also like