You are on page 1of 8

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kabupaten Banyuasin adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan.

Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Musi Banyuasin yang terbentuk berdasarkan UU No. 6 Tahun 2002. Nama kabupaten ini berasal dari istilah bahasa Jawa banyu (air) dan asin, merujuk pada tempat kabupaten ini yang terletak di wilayah pantai. Karena pemekaran wilayah, sekolah di daerah ini pun masih belum sepenuh nya memiliki fasilitas yang lengkap dan memadai. Jumlah sekolah nya pun belum tersebar sebanyak yang di inginkan karena pemerintah membutuhkan waktu untuk membangun sekolah negeri dengan kualitas baik. Sekolah yang di bangun di daerah daerah plosok di kabupaten ini pun aksebilitas nya pun masih sangat sulit. Penyedian sarana dan prasarana pendidikan masih cukup berat mengingat fasilitas yang harus dibangun dan direhab masih cukup banyak. Perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sekolah rusak pun belum bisa di selesaikan karena mengingat keterbatasan biaya dan banyak nya gedung sekolah yang mengalami kerusakan berat maupun kerusakan ringan. Walaupun sumatera selatan telah menerapkan sekolah gratis 12 tahun namun, sarana dan prasarana yang di miliki oleh sekolah-sekolah negeri di kabupaten banyuasin belum sepenuhnya terpenuhi mengingat banyak nya fasilitas yang harus di penuhi satu persatu untuk setiap sekolah negeri. Karena sekolah pelosok pun sulit untuk di capai karena letak nya yang pelosok dan aksebilitas untuk mencapai sekolah tersebut butuh perjuangan yang tak mudah maka banyak fasilitas yang tak lengkap atau pun gedung yang sudah mulai rusak karena di makan oleh usia. B. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apa penyebab kurang nya sarana dan prasarana di sekolah pelosok yang ada di

Banyuasin 2. 3. Faktor-raktor apa yang mempengaruhi kurang nya sarana dan prasarana di sekolah Bagaimana penanganan serta pemecahan permasalahan kurang nya sarana dan pelosok prasarana di sekolah pelosok.

C. 1. 2. 3.

TUJUAN Untuk mengetahui apa penyebab kurang nya sarana dan prasarana di sekolah pelosok Untuk mengetahui faktor-raktor yang mempengaruhi kurang nya sarana dan Untuk mengetahui penanganan serta pemecahan permasalahan kurang nya sarana dan

di Banyuasin III. prasarana di sekolah pelosok. prasarana di sekolah pelosok. D. 1. 2. MANFAAT Untuk memperbaiki dan menambah sarana dan prasarana yang rusak dan belum Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah pelosok karena fasilitas nya yang

terpenuhi terpenuhi dan memadahi.

BAB II PEMBAHASAN A. Sekolah Menurut bahasa aslinya (Latin), sekolah berarti waktu luang atau waktu senggang. Alkisah, orang Yunani tempo dulu gemar mengisi waktu luang dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-hal yang mereka rasa perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Mereka menyebut kegiatan itu dengan istilah skhole, scola, scolae, atau scholayang keempatnya mempunyai arti yang sama yakni waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar (leisure devoted to learning). Tradisi schola ini kemudian dilembagakan pola dan proses pengasuhannya secara sistematis dan metodis oleh Johannes Amos Comenius dalam kitab Didactica Magna.Pelembagaan sekolah ini kemudian dikembangkan oleh Pestalozzi dengan menerapkan penjenjangan kelas dan tingkatannya. Dan gagasan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal pola pelajaran sekolah-sekolah modern yang kita kenal seperti sekarang ini. (Roem Topatimasang, 2007) Lembaga sekolah kemudian terus berkembang bentuk dan metodenya di berbagai negara. Di Indonesia sendiri, kegiatan belajar dan pengajaran sebenarnya sudah dikenal melalui pendidikan di pesantren. Lembaga pendidikan bernama sekolah, justru diwariskan oleh bangsa kolonial melalui kebijaksanaan politik balas budi (etische politiek) antara Belanda dan Inggris kala itu. Seperti halnya kegiatan belajar dan pengajaran di pesantren, sekolah diharapkan mampu menjadi wahana terbaik bagi pewarisan dan pelestarian nilai-nilai. Sekolah adalah tempat bagi proses pembelajaran yang menyenangkan. Fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan, seperti halnya diutarakan oleh Benjamin Bloom, pada dasarnya berfungsi menggarap tiga wilayah kepribadian manusia yang disebutnya sebagai taksonomi pendidikan yakni membentuk watak dan sikap (affective domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain), serta melatihkan keterampilan (psychomotoricatau conative domain). Namun dalam dua dasawarsa ini, fungsi sekolah sudah tidak dianggap lagi menjadi media yang cocok dalam pembebasan dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar yang menyenangkan, menjelma menjadi semacam penjara yang memisahkan anak didik dari dinamika persoalan masyarakat. Semakin lama seseorang bersekolah, semakin besar pula jarak antara dirinya dan realitas kehidupan yang sebenarnya.
3

Sekolah dan perangkat di dalamnya, dalam hal ini kepala sekolah dan guru, seharusnya mampu membantu anak-anak didik menemukan identitas diri dan potensinya. Bukan justru memaksakan identitas guru, identitas sekolah, bahkan identitas birokrat pendidikan di dalam diri anak didik. Parameter keberhasilan peserta didik yang ditentukan oleh angka-angka dalam ijasah, urutan rangking sebagai prestasi, kepandaian berbicara yang dianggap mampu menemukan gagasan yang melahirkan karya (padahal yang terjadi adalah sebaliknya) akan semakin menjauhkan anak didik dari kreatifitas dan kekaryaannya. Sekolah seharusnya menjadi tempat bagi anak-anak mendefinisikan dirinya, mencari halhal yang bermanfaat, dan memahami tujuan hidup sebagai bekal menghadapi realitas dan tantangan kehidupan ke depan. Sehingga, diharapkan, setelah lulus dari sekolah anak-anak mampu menempatkan diri dalam masyarakat, menjalankan perannya dengan baik, sehingga mampu menjadi manusia bermanfaat bagi lingkungan sekitar.
B.

Sekolah Pelosok Satu juta lebih anak rentang usia 7-15 tahun (SD dan SMP) setiap tahun putus sekolah. Terutama anak-anak di pelosok daerah terpencil. Ada berbagai faktor yang membuat anak di pelosok daerah terpencil putus sekolah, yakni tidak ada biaya, lokasi sekolah lanjutan jauh, terbatasnya transportasi, dan karena harus bekerja membantu orangtua. Berdasarkan penelitian World Vision Indonesia, di sekolah-sekolah terpelosok juga masih ditemukan oknum guru yang berbisnis buku untuk mencari keuntungan. Praktik diskriminasi terhadap murid juga sering dirasakan siswa. Siswa yang aktif diperhatikan dan siswa yang kurang aktif terabaikan. Bahkan, transaksi jual beli nilai pun masih terjadi. Masih ada guru yang mengajar dengan cara kekerasan. Selain itu, ada juga anakanak yang putus sekolah karena pergaulan bebas. orangtua dan sekolah seharusnya dapat memberi motivasi dan memfasilitasi anak sehingga anak terpacu untuk sekolah. Pemerintah juga diminta tanggap terhadap permasalahan anak-anak di daerah pelosok atau terpencil. Selain itu di sekolah terpencil biasanya guru yang mengajar pun jumlah nya sedikit sehingga kegiatan belajar menajar tidak berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di tengah banyaknya jumlah anak yang harus dilayani pendidikannya itu, sekolah di daerah- daerah memang jauh dari pemukiman masyarakat dan dari segi jumlah masih perlu penambahan.
4

Sekolah SD dan SMP satu atap, merupakan salah satu solusi agar anak di daerah pelosok dapat terlayani pendidikannya sehingga mengurangi anak yang putus sekolah. Di samping itu, pemerintah daerah juga harus menambah guru di daerah pelosok yang masuk dalam kategori sangat kurang guru.
C. Sekolah Pelosok Butuh Tambahan Guru

Jumlah pendidik yang mengabdikan diri di Kabupaten Banyuasin masih jauh dari jumlah ideal. Saat ini masih dibutuhkan tenaga guru baru untuk mencukupi kekurangan yang ada. Terutama, untuk pendidik yang bakal ditugaskan di sekolah yang tersebar di desa-desa. Dari jumlah guru yang ada, setidaknya Kabupaten Banyuasin masih membutuhkan tambahan cukup banyak tenaga pendidik lagi Kekurangannya masih cukup banyak untuk mencapai jumlah ideal. Itu untuk memenuhi kebutuhan di desa-desa pelosok. Untuk menutupi kekurangan itu, masih membutuhkan waktu yang lama. Penambahan jumlah tenaga pendidik terserah dan tergantung pemerintah daerah. Pihak Didik sendiri kerap melakukan koordinasi membahas masalah ini dengan pihak Pemkab. Terutama untuk memenuhi kuota kebutuhan tenaga pengajar di seluruh sekolah yang ada. Tapi, kekurangan itu bisa dipenuhi. Buktinya, Meski tenaga guru yang bertugas di sekolah pelosok di Kota ini jumlahnya kurang, namun masih bisa ditutupi dengan kinerja guru yang optimal. Tidak hanya dihadapkan dengan kekurangan guru saja. Namun, juga kenyataan sekolah pelosok banyak kekurangan murid. Sementara itu, untuk guru mata pelajaran di tingkat SMP maupun SMA, yang harus memenuhi standar jam mengajar wajib selama 24 jam sepekan. Jika tidak memenuhi maka harus ditutupi dengan kesepakatan yang dilakukan kepala sekolah dengan sekolah lainnya.
D. Standar Kelulusan

Ada standard khusus agar seorang siswa layak diluluskan dari institusi tempat dia menimba ilmu. Kata layak sesungguhnya merupakan standard kelayakan kelulusan siswa ini sangat ganjil digunakan, mengingat guru bidang studi tidak lagi memiliki wewenang untuk menilai sendiri apakah si siswa patut diluluskan untuk dapat menempuh pendidikan di jenjang berikutnya. Semua tergantung pada hasil Ujian Nasional itu sendiri, tidak mengindahkan hak guru dalam menilai. Sepintar apapun seorang murid, bila pada saat UN dia mendapat
5

masalah dengan kertas ujiannya hingga jawaban yang dituliskan tidak terbaca oleh komputer, maka si siswa pastilah tak bakalan lulus Agak mengherankan memang, bagaimana mungkin dengan beragamnya letak geografis masing-masing sekolah dan kesejahteraan masing-masing daerah, kita bisa menyamakan standard kelulusan siswa seluruh Indonesia? Sementara kualitas guru di masing-masing sekolah dalam satu wilayah saja sudah tidak seragam. Pasti sangatlah susah untuk menyamakan daya serap siswa di dua wilayah di Jakarta dengan yang ada nun di pelosok Kalimantan Timur, misalnya. Atau sekolah yang ada di kawasan tengah kota besar seperti Kodya Jogjakarta, dengan sekolah lain yang berada di pelosok Gunung Kidul sana, yang untuk mencapainya saja harus melalui jalan batuan tak beraspal naik turun gunung gersang.

BAB III PENUTUP Kesimpulan

Menurut bahasa aslinya (Latin), sekolah berarti waktu luang atau waktu senggang. Ada berbagai faktor yang membuat anak di pelosok daerah terpencil putus sekolah, yakni tidak ada biaya, lokasi sekolah lanjutan jauh, terbatasnya transportasi, dan karena harus bekerja membantu orangtua.

Jumlah pendidik yang mengabdikan diri di Kabupaten Banyuasin masih jauh dari jumlah ideal. Saat ini masih dibutuhkan tenaga guru baru untuk mencukupi kekurangan yang ada. Terutama, untuk pendidik yang bakal ditugaskan di sekolah yang tersebar di desa-desa.

Ada standard khusus agar seorang siswa layak diluluskan dari institusi tempat dia menimba ilmu. Kata layak sesungguhnya merupakan standard kelayakan kelulusan siswa ini sangat ganjil digunakan, mengingat guru bidang studi tidak lagi memiliki wewenang untuk menilai sendiri apakah si siswa patut diluluskan untuk dapat menempuh pendidikan di jenjang berikutnya.

Saran
Ujian nasional bukan patokan untuk menentukan kelulusan siswa karena kualitas guru di suatu daerah berbeda dengan daerah yang lain. Aksebilitas yang menuju sekolah sebaiknya di perbaiki Jumlah tenaga pendidik di daerah terpelosok sebaiknya di perbanyak Tingkatkan kualitas sekolah sekolah di wilayah pelosok Penuhi fasilitas sekolah di daerah pelosok.

Sumber
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://matanews.com/wpcontent/uploads/Sekolah140110.jpg&imgrefurl=http://beta.matanews.com/2 010/01/14/sekolah-talang-mamak/&usg=__d45AvAvwigNNNXreaNR8vvdr0E=&h=425&w http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://baltyra.com/wpcontent/uploads/2009/11/sekolah2.jpg&imgrefurl=http://baltyra.com/2009/1 1/27/ma-larang-pemerintah-gelar-ujiannasional/&usg=__R7japP57nZmhL_lAB7jhjqqU6ps=&h=390&w=550&sz=83 &hl=id&start=1&zoom=1&tbnid=1uYAZO_oKR89M:&tbnh=94&tbnw=133&ei=RPzxTsjeC43rAe2yLHhDw&prev=/search%3Fq%3Dsekolah%2Bpelosok%26um %3D1%26hl%3Did%26sa%3DG%26biw%3D1366%26bih%3D627%26noj %3D1%26tbm%3Disch&um=1&itbs=1

You might also like