You are on page 1of 15

HASIL KAJIAN ASPIRASI RUU PENDIDIKAN KEDOKTERAN SELURUH MAHASISWA KEDOKTERAN INDONESIA

Pendidikan kedokteran merupakan salah satu unsur perwujudan tujuan negara yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui Sistem Pendidikan Nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembaruan Pendidikan Kedokteran dilakukan melalui

penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran yang terarah, terukur, dan terkoordinasi. Untuk itu diperlukan rencana strategi dan penyelenggaraan pendidikan kedokteran yang meliputi seleksi mahasiswa kedokteran, proses belajar mengajar, pendidik dan tenaga kependidikan, kurikulum, jenjang pendidikan, rumah sakit pendidikan, kerja sama, dan beasiswa dan bantuan biaya pendidikan yang diselenggarakan secara komprehensif. Dalam praktiknya berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sistem pendidikan nasional belum mengatur secara spesifik dan komprehensif mengenai penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran. Mahasiswa kedokteran sebagai bagian dari masyarakat kedokteran seluruh Indonesia ikut merasakan dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif kurikulum dan hal-hal terkait Pendidikan Dokter saat ini karena mahasiswa merupakan subjek dari kurikulum Pendidikan Dokter itu sendiri. Terlebih lagi, mahasiswa yang secara hakekatnya merupakan agent of change, pemuda bangsa penyokong pembangunan yang ingin membangun bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik. Berdasarkan latar-belakang tersebut, sehubungan dengan sidang pengesahan RUU Pendidikan Kedokteran yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 Maret 2012, dan uji publik akan dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 2012, maka atas inisiasi dari Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia beserta organisasi mahasiswa kedokteran lainnya bersama-sama memberikan pendapatnya terhadap RUU Pendidikan Kedokteran yang telah ada saat ini. Melalui online questionnaire yang diterbitkan pada tanggal 19 Maret 201221 Maret 2012, kami menghimpun suara dari mahasiswa kedokteran Indonesia mengenai beberapa topik dalam RUU Pendidikan Kedokteran. Berikut ini akan kami sampaikan hasil dari kajian RUU Pendidikan Kedokteran. Responden yang mengisi questionnaire berjumlah 1054 mahasiswa kedokteran yang tersebar di seluruh Indonesia yang terdiri dari 57% responden perempuan (597 orang) dan 43% responden laki-laki (457 orang) dengan gambaran responden yang sudah mengetahui RUU Pendidikan Kedokteran sebelumnya berjumlah 623 orang (59%) dan tidak mengetahui

sebanyak 431 orang (41%). Berikut adalah grafik pemahaman mahasiswa kedokteran mengenai isi dari RUU Pendidikan Kedokteran.

Gambar 1.1 Grafik Pemahaman Mahasiswa Kedokteran Tentang Isi RUU Pendidikan Dokter

Beberapa topik yang kami soroti dalam RUU Pendidikan Kedokteran adalah sebagai berikut : 1. Penyelenggaraan pendidikan kedokteran pasal 5 ayat 1 bahwa Perguruan Tinggi yang memenuhi persyaratan dapat membuka fakultas kedokteran

Dari hasil questionnaire yang mempertanyakan penyelenggaraan pendidikan kedokteran melalui dimana 255 orang menjawab tidak setuju dan 815 orang menjawab setuju. Sebagian besar mahasiswa berpendapat bahwa dengan

bertambahnya fakultas kedokteran maka akan menambah jumlah dokter yang harapannya akan memenuhi kebutuhan dokter di Indonesia. Tetapi masih banyak universitas kedokteran di indonesia yang masih belum memenuhi standard baik dari sarana, prasarana, kurikulum, maupun staff pengajar. Akan lebih baik apabila saat ini fokus pemerintah adalah memperbaiki institusi yang sudah ada serta meningkatkan kualitas institusi tersebut. Apabila memang mendirikan fakultas baru maka haruslah

perguruan tinggi yang telah memiliki akreditasi baik serta dilihat dari kebutuhan daerah tertentu. Mengenai perubahan pasal menjadi Perguruan tinggi yang membuka program studi kedokteran dan/atau kedokteran gigi harus membentuk fakultas kedokteran dan/atau kedokteran gigi, mahasiswa meyakini apabila dibentuk program studi pendidikan dokter yang berada di fakultas lain (bukan fakultas kedokteran), maka akan menimbulkan banyak masalah terkait ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran. Tidak kalah penting yaitu penerapan syarat yang diberlakukan harus melalui pengawasan penuh terhadap pelaksanaannya. Mahasiswa dapat dijadikan sebagai sumber yang tepat untuk pengawasan penyelenggaraan pendidikan yang tepat.

2.

Persyaratan pembukaan fakultas kedokteran

Dari

hasil

questionnaire

mengenai

persyaratan

pembukaan

fakultas

kedokteran, terdapat 791 responden yang menjawab setuju. Mahasiswa menyetujui adanya syarat tersebut karena untuk melahirkan lulusan yang bermutu maka fakultas kedokteran harus ditunjang dengan fasilitas lengkap. Selain itu hal ini akan membuat keseragaman dan tidak memunculkan kesenjangan antar fakultas kedokteran. mahasiswa dapat belajar maksimal, proses belajar mengajar dapat lebih lancar sehingga mendapat outcome yang berkompeten. Tenaga pengajar harus lolos sertifikasi menkes, serta dokter konsulen harus dipersiapkan pula sebagai tenaga pengajar agar pengajaran bisa lebih baik dan sesuai kurikulum. Namun yang paling kami harapkan adalah dokter yang pintar dalam mengajar yang telah mendapatkan pelatihan pengajaran. Selain itu, perlu ditegaskan kembali jangka waktu minimal untuk sebuah persiapan fakultas kedokteran berdiri agar bisa menata administrasi, kurikulum yang baik. Fasilitas penunjang dalam proses pembelajaran seperti perpustakaan dan alatalat kedokteran, pemenuhan jumlah ideal perbandingan tenaga profesional dengan

mahasiswa (dimana saat ini perbandingan dosen mahasiswa masih sangat banyak) sesuai dengan data dibawah ini :
1 Dosen untuk 5 Mahasiswa 1 Dosen untuk 6-10 Mahasiswa 1 Dosen untuk 11-15 Mahasiswa 1 Dosen untuk 16-20 Mahasiswa 1 Dosen untuk 21-25 Mahasiswa 1 Dosen untuk 26-30 Mahasiswa Other 161 395 215 104 30 71 94 15% 37% 20% 10% 3% 7% 9%

Selain itu dibutuhkan standarisasi kurikulum dan menajemen administrasi yang dikelola secara professional. Tidak hanya itu standar setiap fasilitas pun harus disebutkan juga untuk lebih memperjelas persyaratan.

3.

Penutupan program studi Pasal 6 ayat 1 Fakultas Kedokteran yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus ditutup: bahwa minimal harus memiliki a. tenaga pendidik yang tersertifikasi; b. gedung untuk

penyelenggaraan pendidikan; c. laboratorium biomedik, keterampilan Klinis, dan kesehatan masyarakat; dan d. rumah Sakit Pendidikan

Dari hasil questionnaire mengenai penutupan program studi yaitu diketahui terdapat 574 mahasiswa menyetujui serta 482 responden tidak menyetujui. Mahasiswa berpendapat bahwa apabila institusi pendidikan dokter sudah dibuka dan memiliki mahasiswa, maka sebaiknya tidak dilakukan penutupan terhadap institusi tersebut. Akan tetapi alangkah baiknya apabila diberikan waktu untuk melakukan pengembangan kualitasnya dalam jangka waktu yang cukup lama agar mahasiswamahasiswa yang sudah berkuliah dengan biaya yang tidak sedikit tidak begitu saja ditelantarkan. Hal yang perlu diperhatikan dan ditekankan adalah pelarangan pembukaan fakultas baru tapi tidak memenuhi syarat. Tenaga pendidik dapat dishare, dipakai dibeberapa fakultas yang berbeda hal ini untuk memberi kesempatan pada

fakultas di daerah, yang tenaga pendidik terbatas. Izin pendirian rumah sakit pendidikan baiknya dipermudah.

4.

Seleksi penerimaan calon mahasiswa kedokteran pasal 7 ayat (2) Seleksi penerimaan calon mahasiswa kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjamin adanya kesempatan bagi calon mahasiswa kedokteran dari daerah sesuai dengan kebutuhan daerahnya, kesetaraan gender, dan masyarakat berpenghasilan rendah

Hasil questionnaire menunjukkan jumlah koresponden yang menjawab setuju dengan penerimaan jalur daerah adalah 89 % dari total. Pasal ini dapat menepis stigma negatif yang bekembang di masyarakat tentang biaya pendidikan kedokteran yang mahal untuk menghindari penumpukan SDM yang berlebih di kota-kota besar. Nantinya penerimaan putra daerah haruslah berdasarkan kompetensi, bukan koneksi agar sistem kesehatan yang terintegrasi di seluruh daerah dapat tercapai. Pendidikan tidak hanya ditujukan bagi kalangan tertentu. terkadang banyak lulusan fakultas kedokteran yang tidak mau ditempatkan didaerah terpencil, solusinya adalah dengan membina warga setempat yang memiliki minat dibidang kedokteran dengan menerapkan sistem Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dengan syarat mereka yang diterima dengan "jalur" ini diwajibkan mengabdi di daerahnya masing-masing dan tidak boleh bekerja jauhjauh dari tempat dia berasal. Tentu saja hal ini juga harus didukung oleh pemerintah agar kehidupan dokter-dokter di daerah tersebut mendapatkan kehidupan yang layak, mendapat jaminan ketersediaan obat,dan jaminan ketersediaan sarana kesehatan yang baik. Adapun yang menolak pasal ini memiliki pendapat bahwa penyeleksian calon mahasiswa dari daerah terlalu mengekang bakat-bakat dokter lain yang walapun tidak

dari daerah tersebut tapi lebih berpotensi. Tidak perlu sampai bila orang jawa maka hanya bertugas di pulau jawa Bukan kuota calon mahasiswa yang harusnya diubah, melainkan kualitas siswa-siswa di daerah yang seharusnya ditingkatkan dengan cara memperbaiki pendidikan di Indonesia timur mulai dari PAUD sampai perguruan tinggi. Tidak adil bagi dokter umum yang berasal dari FK yang sama. Menurut saya ada baiknya, di daerah dibuka kesempatan yang sama dengan jumlah uang masuk yang tidak berlebih, serta adanya penyetaraan akreditasi pendidikan spesialis senusantara.

5.

Tenaga pendidik Pasal 12 (1) Pendidik terdiri atas: a. dosen; dan b. dokter pendidik klinis

Setelah melakukan pendataan kepada seluruh mahasiswa kedokteran yang ada di Indonesia dengan mengisi quesioner didapatkan hasil sekitar 977 mahasiswa yang mengatakan iya sangat penting adanya tenaga pendidik seperti dosen yang dibutuhkan sebagai tenaga pengajar sesuai kompetensinya. Ada sekitar 76 orang mahasiswa yang mengatakan tenaga pendidik tidak begitu penting namun sampai sekarang alasannya masih kurang jelas. Dokter pendidik klinis, sangat dibutuhkan terutama pada saat pendidikan keprofesian. Terdapat dua aspek pendidikan kedokteran yang harus kita perhatikan. Yang pertama Akademik dan kedua Profesi yang tidak bisa di pisahkan. Pendidik yang disebutkan di atas juga telah dapat terlihat secara holistik dengan fungsi dari keduanya dapat bekerjasama dan menerapkan kemampuan masingmasing. Mengingat sistem yang berlaku sekarang berbasis kompetensi, maka perlu pengajar tetap dan pengajar yang bersifat klinis sesuai persyaratan dengan penetapan dosen pendidik klinis tidak secara otomatis tapi melalui proses sertifikasi khusus dan

pelatihan, sehingga setiap dosen pendidikan klinis memiliki pengetahuan dan skill pendidikan kedokteran sehingga mampu menjadi dokter pendidik klinis yg baik. Terdapat universitas yang semua dosen dan pendidik adalah lulusan dokter umum, bahkan dari mereka yang belum lulus ukdi. Inilah yang perlu ditempuh agar memperoleh tenaga yang berkualitas sejak dini macam spesialis agar mahasiswa lebih terampil dan mampu memadukan antara teori saat kuliah dan praktik klinik, inilah yang akan menjembatangi proses pembelajaran mahasiswa sebelum masuk ke dunia klinik Untuk pasal 12 ayat 1 sebaiknya perlu penjelasan yang lebih rinci agar tidak terjadi kesalahan/kesimpangsiuran antar mahasiswa dengan tenaga pendidik. Seperti yg tercantum ada dosen dan tenaga pendidik (apakah hanya profesi dokter atau boleh juga tidak). Disamping itu agar keluaran dokter bisa lebih kompleks tidak hanya mampu menguasai profesi kedokteran yang hanya melulu belajar anatomi, fisiologi dan mata kuliah Kedokteran lainnya. Pendidikan Kedokteran juga harus dilandasi dengan mata kuliah umum seperti Agama, management , Pancasila, Ilmu Budaya Dasar serta Kewarganegaraan agar para mahasiswa Fakultas Kedokteran juga mempunyai dasar Agama dan Cinta Negara yang baik. Karena itu diperlukan juga Dosen Non Medis yang mengajarkan mata kuliah tersebut. Sebagai mahasiswa, kami berharap RUU pendidikan kedokteran mampu menjadi penengah mengenai kesulitan tenaga pendidik yang ada diinstitusi kami semua, disini kami menginginkan tenaga pendidik mahasiswa kedokteran harus memiliki pengetahuan yang tinggi dan jiwa pendidik, apabila pendidik memiliki pengetahuan yang tinggi namun tidak berjiwa pendidik, maka sulit bagi mahasiswa mencerna ilmu yg diturunkannya. Selain itu juga, kami berharap bahwa pendidik memiliki lebih banyak waktu luang untuk mendidik mahasiswa. Dikti pun harus berani banyak menyekolahkan dokter yg tersedia dikopertis atau dosen tetap Fakultas Kedokteran menjadi spesialis melalui beasiswa sehingga para spesialis itu nantinya bisa royal dan loyal untk sebagai tenaga pendidik/dosen dan ditempatkan di rumah sakit pendidikan fakultas kedokteran tersebut nantinya.

6.

Kurikulum pendidikan

Pasal 25 Fakultas kedokteran wajib menerapkan kurikulum berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Kedokteran dan Standar Kompetensi Dokter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1). (1) Fakultas kedokteran yang tidak menerapkan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penutupan sementara; dan c. pencabutan izin.

Sebanyak 80 % mahasiswa menyetujui penerapan pasal ini dengan berbagai alasan ,diantaranya seperti alasan karena dengan standarisasi yang ditetapkan diharapkan dapat menyamaratakan mutu pendidikan di seluruh Fakultas Kedokteran se-Indonesia sehingga nantinya seluruh lulusan dokter dari berbagai institusi ini dapat bersaing dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan mengurangi angka malpraktik akibat dokter tak berkompeten. Selain itu , standarisasi ini diharapkan dapat menjadi stimulator bagi seluruh institusi di Indonesia untuk meningkatkan kualitasnya agar tak terkena sanksi dalam pasal 25 ini. Kualitas diharapkan pula sesuai dengan biaya yang dikeluarkan oleh mahasiswa terutama bagi Fakultas Kedokteran di PTS karena banyak pula yang mendirikan sebuah fakultas kedokteran tanpa standar yang memadai sehingga mahasiswa pun banyak merasa dirugikan karena sudah terlanjur menjadi bagian dari fakultas kedokteran tersebut. Pelaksanaan pasal ini pun harus transparan mulai dari alasan memberi peringatan hingga proses pencabutan izin diberikan agar tak jadi kesalahpahaman. Banyak di antara responden juga menyatakan setuju namun dengan beberapa catatan seperti aturan ini diharapkan tidak menjadi pengekang bagi inovasi dalam sistem pendidikan di setiap universitas. Maksud dari kalimat sebelumnya itu adalah setiap universitas diberikan kebebasan untuk memodifikasi sistem pendidikannya karena setiap universitas memiliki situasi dan kondisi yang berbeda namun tetap sesuai dengan aturan yang sudah ada. Kurikulum yang berlaku pun baiknya dipertimbangkan secara matang sebelum penerapannya dan harus berdasarkan persetujuan bersama

para dekan agar tidak ada pergantian kurikulum dalam setiap pergantian jabatan di dunia pendidikan agar tidak terkesan mahasiswa sebagai korban percobaan sistem. Pelaksanaan pun diharapkan secara bertahap karena perbedaan sumber daya di setiap institusi. Selain itu juga baiknya kalimat dalam pasal tersebut juga diperbaiki agar tidak ada makna ganda, dijelaskan dengan kalimat yang baik bahwa sanksi yang diberikan bagi fakultas kedokteran yang tidak menerapkan kurikulum yang dimaksud akan mendapat sanksi dalam beberapa tahap yaitu peringatan tertulis , penutupan sementara hingga akhirnya dicabut izinnya. Dalam setiap tahapan sanksi tersebut baiknya sebelum mendapat sanksi paling berat yaitu pencabutan izin, diberikan kesempatan pada institusi yang mendapatkan sanksi untuk memperbaiki diri, mendapat bimbingan lalu evaluasi dalam beberapa bulan. Bila tidak ada perubahan ,maka sanksi terberat pun layak dberikan. Selain itu juga harus dijelaskan secara rinci nantinya apa saja hal yang tercantum dalam standar pendidikan yang dimaksud agar semua komponen pendidikan dapat mengerti. Diharapkan pula bahwa standar ini tidak hanya berlaku bagi mahasiswa ,tetapi juga dengan tenaga pendidiknya. Begitu pula tentang rincian wilayah tugas bagi mahasiswa saat praktik lapangan ,misalnya koas, internship atau PTT (Pegawai Tidak Tetap) agar tidak terjadi pelimpahan wewenang yang tidak seharusnya. Dalam implementasi pasal ini pun diharapkan pemerintah terutama Menteri Pendidikan dapat bertindak tegas untuk menjatuhkan sanksi kepada institusi yang melanggar tanpa ada unsur KKN (Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme) dengan asumsi bahwa semua institusi memiliki kesempatan untuk tidak mendapat sanksi atau semua institusi memiliki kesempatan untuk mendapat sanksi bila melanggar pasal 25 ini. Di lain sisi, terdapat pula mahasiswa yang menolak (19 % ) berlakunya pasal ini karena alasan bila dibubarkan fakultas kedokteran tersebut memikirkan nasib seluruh civitas akademika di fakultas tersebut. Mungkin perlu adanya pasal tambahan yang mengatur nasib fakultas yang dibubarkan apakah akan digabungkan dengan fakultas kedokteran lain atau bagaimana. Bila dengan fakultas kedokteran lain, atur pula kriteria pemilihan fakultas kedokteran yang tepat digabungkan dengan fakultas kedokteran yang bermasalah. Mereka juga berpendapat agar tidak terjadi pembubaran yang dapat

merugikan berbagai pihak, yang berwenang dituntut untuk tidak dengan mudah memberikan izin untuk mendirikan sebuah fakultas kedokteran baru. Selain itu, para mahasiswa yang menolak ini memiliki alasan bahwa kurikulum yang berlaku saat ini dirasakan kurang memberikan efek yang baik dalam meningkatkan kualitas dan terkesan menyulitkan mahasiswa misalnya angkatan yang masih menggunakan kurikulum konvensional namun lulusnya bersamaan dengan angkatan dengan kurikulum yang baru ,terkena sistem untuk mengikuti intership juga. Mungkin evaluasi penerapan kurikulum yang baru ini harus senantiasa dipantau dan dievaluasi. Beberapa juga berpendapat bahwa penentuan kurikulum adalah hak institusi. 7. Jenjang pendidikan kedokteran Pasal 26 (1) Jenjang Pendidikan Kedokteran terdiri atas: a. program pendidikan akademik; dan b. program pendidikan profesi.

Secara umum, mayoritas responden SETUJU karena teori akan lebih mudah dipahami jika teori tersebut sudah di aplikasikan, masa di fakultas merupakan masa pemahaman dan pembelajaran sebelum terjun ke kepaniteraan klinik,dan masa kepaniteraan klinik sebagai ajang peningkatan skill mahasiswa kedokteran dalam menangani pasien dan merupakan ajang persiapan sebelum terjun ke dunia kerjanya. Selain itu fase klinik memungkinkan mahasiswa untuk lebih mengenal dan memahami dunia kerjanya sebagai seorang dokter nantinya. Selain itu alasan lainnya adalah Kepaniteraan Klinik merupakan sebagai sarana bagi seorang mahasiswa kedokteran untuk lebih mengenal masing-masing bidang spesialis sehingga dapat dijadikan bekal mereka nantinya untuk memilih spesialisasi mana yang ia minati. Sedangkan pendapat mereka yang TIDAK SETUJU (sebagian kecil) alasannya adalah mereka lebih setuju bahwa pembekalan teori dilakukan bersamaan dengan praktek, dalam artian ketika dalam suatu blok telah berjalan pembekalan teori selama beberapa minggu makan akan ditambah lagi beberapa minggu sebagai bentuk praktiknya

karena sebagian mereka beranggapan jika dipisah seperti saat ini ketika masuk kepaniteraan klinik mereka sudah lupa pembekalan pengetahuan baik pre klinis maupun klinis yang pernah diberikan.

Pada RUU dikdok pasal 41 ayat (3)(4) dijelaskan bahwa mahasiswa kedokteran yang telah disumpah sebagai dokter wajib melaksanakan ikatan dinas, atau mengikuit wajib kerja sarjana, atau mengikuti pegawai tidak tetap. Hal ini mengacu kepada program Internship. Dari usulan pemerintah sendiri, program internship merupakan suatu program pemahiran kemandirian. Sejauh ini, dalam kepaniteraan klinis mahasiswa (dokter muda) tidak hanya melakukan observasi kasus dan pasien tapi juga dapat melakukan pengaplikasian langsung ilmu yang mereka dapat semasa perkuliahan, namun tetap dibawah arahan supervisor. Bedanya dengan internship adalah mahasiswa tersebut sudah menjadi dokter umum yang secara kasat mata masyarakat sudah dapat melakukan tindakan medis tanpa harus dibawah bimbingan supervisor lagi. namun, setelah adanya internship ini agak sedikit membingungkan, apakah hanya bersifat observasi atau juga dapat melaksanakan pengaplikasian? Mayoritas mahasiswa lebih tertarik jika proses kepaniteraan klinik dilakukan atas dasar observasi dan aplikasi langsung. Kedua hal ini harus dilaksanakan pada masa co-ass. Observasi bertujuan untuk menumbuhkan rasa adaptasi terlebih dahulu mengenai suatu kasus, ini mungkin dapat dilakukan saat dokter muda tersebut baru atau awal memasuki jenjang kepaniteraan klinik. Ini juga dapat melatih mental dokter muda yang saat kuliah mungkin hanya banyak disuguhkan dengan pembelajaran teori atau pembelajaran praktis yang notabene hanya memakai alat peraga skills lab. Dokter muda tersebut juga pasti akan tertantang untuk mengaplikasikan ilmu yang mereka dapat ketika kuliah atau ilmu yang ternyata telah sinkron dengan apa yang mereka pelajari dengan apa yang mereka telah lihat (observasi) pasa saat kepaniteraan klinik.

Pengaplikasian saat co-ass juga dapat bersifat luas. Dokter muda dapat terjun langsung pada pasien gawat darurat sekalipun, tidak hanya berkutat dengan pasien rawat jalan atau rawat inap. Namun juga harus diimbangi dengan adanya bimbingan dari supervisor yang mengerti tentang keadaan atau kasus tersebut, mengingat dokter muda sepenuhnya belum menjadi dokter umum yang dengan sumpah dokter- nya dapat melakukan tindakan medis secara mandiri sesuai kompetensinya. Jadi, dengan adanya observasi ditunjang dengan pengaplikasian langsung oleh dokter muda dibawah bimbingan supervisor, dokter muda akan semakin banyak mendapatkan ilmu teori dan lebih pentingnya ilmu praktis yang dapat kami bawa nantinya setelah menjadi dokter. Namun, ada beberapa kendala yang membuat proses pengaplikasian ini agak susah dilakukan oleh dokter muda. Salah satunya adalah adanya residen yang juga magang di rumah sakit tersebut. Sehingga lahan pengaplikasian tersebut untuk dokter muda terlihat berkurang. Mengenai topik INTERNSHIP, data hasil kuesioner juga menunjukkan mayoritas mahasiswa tidak setuju dengan adanya internship. Mengapa bisa begitu?? Gambaran dari Internship sendiri adalah dokter muda yang telah di-sumpah dokter dan telah sah menjadi dokter, masih terikat dengan adanya program Internship yang gambaran kerjanya sama seperti proses kepaniteraan klinik. PENGAPLIKASIAN KETERAMPILAN AGAR MENJADI DOKTER YANG MAHIR. Banyak yang berpendapat ini sudah merupakan bagian dari kepaniteraan klinik, mengapa masih harus ada internship? 8. Lulusan pasal 41 (3) Mahasiswa Kedokteran yang telah disumpah sebagai dokter wajib melaksanakan ikatan dinas, atau mengikuti wajib kerja sarjana, atau mengikuti pegawai tidak tetap.

Pasal yang di paparkan di atas menimbulkan banyak tanggapan yang pro dan kontra. Dalam hal ini kita harus dapat menilai secara objektif dan holistik dari segala sisi kehidupan dan sector tentang perlu atau tidak perlunya ikatan dinas atau PTT bagi dokter.Tentu Pemerintah dalam hal ini mempunyai alasan dalam menentukan isi pasal tersebut. Namun yang perlu kita pahami bersama, sebuah UU yang baik adalah UU yang dapat merepresentasi dan hendaknya dapat diterima di tengah-tengah masayarakat dengan pertimbangan semua sektor.Sehingga dalam pelaksanaan UU ke depannya dapat lebih terarah dan terlaksana. Pada Kesempatan ini kita akan membahas dari elemen mahasiswa yang setuju dari questionnaire yang telah disebarkan ke seluruh Mahasiswa Kedokteran di Indonesia terhadap isi pasal di atas. Alasan PTT itu adalah sebuah pilihan, dan sebagai dokter seharusnya memilih itu, karena sangat banyak manfaat yang di dapatkan dari PTT . Adapun manfaatnya secara mayoritas pendapat dari mahasiwa : Menambah Pengalaman,Wawasan, Pengetahuan, dan Peningkatan Skill. Melatih rasa empati,peduli terhadap sesama,dan menolong dengan ikhlas. Karena tugas dokter adalah mengabdi, sebagaimana juga tertulis pada Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pengabdian. Di samping itu juga untuk pemerataan tenaga kesehatan di daerah-daerah terpencil yang selama ini sangat jauh dari harapan. Di sisi lain mahasiswa yang tidak setuju dengan isi pasal di atas karena beberapa hal , redaksi kata wajib di atas menimbulkan reaksi dari teman-teman mahasiswa. Mereka beranggapan bahwa setiap individu berhak atas jalan hidupnya masing-masing, karena tidak sedikit yang berniat melanjutkan ke spesialis terhambat dikarenakan program ini. Karena ada batasan umur dalam mengambil spesialis. Kemudian karena ketidakjelasan waktu,daerah penempatan,seringnya keterlambatan gaji dari dokter PTT, fasilitas yang sangat minim ditambah lagi resiko dan beban kerja yang sangat luar biasa. Selain itu Akan memperlama dokter untuk bisa mandiri, terlebih untuk fakultas yang menerapkan sistem 6 tahun kelulusan, akan ditambah intership lalu ditambah ptt. Sangat membebani mahasiswa. Menurut kami, mahasiswa yang sudah lulus dan disumpah dokter tidak wajib ada ikatan dinas, kecuali mereka yang selama pendidikan dibiayai oleh Negara (beasiswa). Mereka yang telah disumpah dokter sebaiknya diberi kebebasan akan mengikuti pegawai tidak tetap, membuka praktek pribadi, bekerja di perusahaan, atau melanjutkan studi pendidikan spesialis. Pun saat

ini tidak ada jaminan bila yang mengikuti PTT akan lebih baik dengan yang tidak ikut. Masukan dari teman-teman mahasiswa terhadap isi pasal di atas, sebaiknya tidak diwajibkan agar tidak ada keterpaksaan. Biarlah itu merupakan panggilan jiwa dari seseorang. Disamping itu sudah banyak putra-putra daerah yang akan kembali ke daerahnya masing-masing. Bila memang dibebaskan, pemerintah dapat melakukan promosi agar menarik minat para dokter untuk ikut PTT. Kalaupun ini menjadi sebuah peraturan nantinya, diharapkan pemerintah memerhatikan kesejahteraan Dokter yang melakukan PTT, memberikan gaji yang layak bagi seorang dokter yang memiliki keilmuwan tinggi , serta keadilan, dan adanya Reward bagi dokter yang mau melakukakn PTT. Sebaiknya ada undang undang pembagian dokter dokter muda akan merata di seluruh daerah agar tidak hanya tertumpuk di satu daerah atau satu wilayah jadi peningkatan mutu kesehatan nasional juga merata dan tidak ada lagi tertinggalnya mutu kesehatan suatu daerah.

9.

Kesetaraan pendidikan profesi dengan program magister

Dari hasil questionnaire mengenai kesetaraan program pendidikan profesi dengan program magister didapatkan 616 mahasiswa menyetujui serta 454 responden tidak menyetujui. Yang menyatakan setuju berpendapat bahwa waktu durasi dan bobot ilmu yang didapatkan sudah setara dengan magister. Tingkat kesulitan dari pendidikan profesi dokter setara dengan pendidikan magister. Jumlah SKS yang kurang lebih sama dengan SKS magister. 144 sks , program pasca 36 sks). Kalau dalam jam : 36 sks dengan pertemuan dalam 1 semester 14-16 tatap muka = 36 sks x 3 jam x 16 = 1698 jam. Serta sudah menjalani profesi dimana sudah menjalani proses diluar S.ked yang melewati strata 1 sarjana. Responden yang tidak menyetujui

menyatakan bahwa kemampuan yang dimiliki tidak sespesifik pendidikan magisterdimana pendidikan profesi masih umum dimana profesi adalah skill, bukan academic degree. Sebaiknya yg disetarakan dengan magister adalah pendidikan profesi dokter spesialis. Selain itu, penyamarataan ini menutup jenjang pendidikan S2 untuk para dokter dan juga untuk spesialis dan subspesialis menjadi pilihan yang terbatas.

Demikian rangkuman pendapat dalam kuisioner ini, semoga hasil kuisioner di atas dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi pengesahan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ini.

You might also like