You are on page 1of 94

KOPERASI DAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI

BAB XI KOPERASI DAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI A. KOPERASI 1. Pendahuluan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1988 mengamanatkan kebijaksanaan dan langkah-langkah guna membantu perkembangan, membimbing pertumbuhan dan meningkatkan kemampuan yang lebih besar bagi golongan ekonomi lemah untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, antara lain dilakukan melalui peningkatan kegiatan koperasi. Untuk itu, koperasi sebagai salah satu bentuk badan usaha yang sesuai dengan ketentuan UUD 1945, harus diberikan kesempatan seluas-luasnya dan ditingkatkan pembinaannya, sehingga benar-benar mampu menunaikan peranan yang lebih besar dalam pembangunan. Sejalan dengan itu, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat perlu terus didorong perkembangannya agar mampu menjadi lembaga ekonomi rakyat yang mandiri dan berakar di dalam masyarakat. Usaha peningkatan kemampuan koperasi mencakup semua tingkat usaha dan jenis usaha masyarakat, terutama usaha koperasi primer dalam rangka peningkatan kemampuan masyarakat berpendapatan rendah dan golongan ekonomi lemah. XI/3

Kebijaksanaan pembangunan koperasi menjelang dimulainya Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V berpedoman pada Undangundang Koperasi No. 12 Tahun 1967. Namun sejak bulan Oktober 1992 telah diberlakukan Undang-undang Koperasi No. 25 Tahun 1992, yang pada pokoknya merupakan penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya dan lebih selaras dengan pertumbuhan pembangunan Indonesia dewasa ini. Dalam Repelita I, peran koperasi mulai ditingkatkan dengan membentuk Badan Usaha Unit Desa/Koperasi Unit Desa (BUUD/KUD) yang fungsi utamanya meliputi bidang pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, terutama bahan pangan. Kemudian dalam Repelita II, peranan BUUD/KUD ditingkatkan dan diperluas sehingga meliputi bidang industri kecil, penyaluran bahan bakar minyak serta pelayanan kelistrikan. Setelah itu, dalam Repelita III, yaitu sejak tahun 1983, peranan BUUD/KUD digantikan oleh koperasi/KUD yang diperluas ke daerah transmigrasi dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan para transmigran dan masyarakat di sekitarnya. Selanjutnya, pada awal Repelita IV, untuk lebih menggerakkan peran koperasi/KUD sebagai wahana penghimpun potensi ekonomi masyarakat pedesaan, pembinaan koperasi/ KUD ditingkatkan melalui pembinaan kelembagaan dan usaha koperasi yang diarahkan pada peningkatan keterampilan manajemen dan usaha-usaha pemupukan modal. Dalam Repelita V pembinaan koperasi yang telah ditumbuhkembangkan sejak Repelita I sampai dengan Repelita IV lebih ditekankan pada usaha peningkatan kualitas koperasi. Tujuannya, agar koperasi makin mandiri dan makin mampu mewadahi kegiatan para anggota serta mampu memanfaatkan peluang usaha yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan para anggotanya, termasuk para anggota di daerah terpencil, terkebelakang dan terisolasi. Dalam upaya meningkatkan kualitas koperasi tersebut dilakukan pembinaan kelembagaan dan usaha koperasi yang diarahkan pada perbaikan mutu koperasi melalui peningkatan kemampuan pengelolaan koperasi serta partisipasi aktif para anggota. Dalam rangka peningkatan partisipasi swasta dalam pembangunan perkoperasian, pada tahun 1989 dikeluarkan Pedoman Pembinaan Pengusaha Golongan Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mewajibkan BUMN untuk menyisihkan 1-5% dari labanya

XI/4

setelah pajak dengan jumlah maksimum sebesar Rp 500,- juta untuk membantu golongan ekonomi lemah termasuk koperasi. Dalam pada itu, untuk memberi keleluasaan bagi koperasi dalam mengembangkan diri, sistem perkreditan bagi golongan ekonomi lemah telah disederhanakan melalui paket Januari 1990. Kebijaksanaan dan langkah-langkah yang ditempuh dalam pembinaan perkoperasian selama kurun waktu Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V serta hasil-hasil yang telah dicapai dapat diuraikan sebagai berikut. 2. Kebijaksanaan dan Langkah-langkah Pembangunan koperasi sejak ditetapkannya Undang-undang Koperasi No. 12 Tahun 1967 sampai dengan tahun keempat Repelita V selalu diarahkan pada peningkatan kemampuan koperasi agar dapat berperan aktif dalam kegiatan ekonomi dalam rangka usaha meningkatkan kesejahteraan para anggotanya yang pada umumnya termasuk golongan ekonomi lemah. Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah kebijaksanaan yang diambil sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V meliputi pembinaan kelembagaan dan pengembangan usaha koperasi, yang dilaksanakan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan penerangan serta bimbingan dan konsultasi yang ditunjang dengan kegiatan penelitian. Pada permulaan Repelita I pembinaan koperasi dititikberatkan pada bidang organisasi koperasi dengan tujuan untuk mengusahakan agar kehidupan koperasi sesuai dengan asas dan sendi-sendi dasar koperasi. Kebijaksanaan ini dilaksanakan antara lain melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan bagi para anggota koperasi, manajer, pengurus dan badan pemeriksa. Di samping itu, dilaksanakan pula penyuluhan dan penerangan bagi para anggota dan calon anggota koperasi. Mengingat sebagian besar anggota dan calon anggota koperasi di daerah pedesaan adalah petani, maka dalam Repelita I bidang usaha yang diutamakan untuk dilaksanakan oleh koperasi adalah pengolahan dan pemasaran hasil pangan, atau lebih dikenal dengan pengadaan pangan. Seiring dengan itu, untuk memperlancar proses produksi pangan, koperasi juga diberi peranan dalam kegiatan penyaluran pupuk. Melalui pengadaan XI/5

pangan diharapkan bahwa para petani, terutama para anggota koperasi, dapat memperoleh harga yang memadai untuk hasil produksinya. Sedangkan dengan penyaluran pupuk melalui koperasi, para anggota koperasi diharapkan dapat memperoleh pupuk dengan harga yang wajar untuk proses produksi pertanian mereka. Untuk memperlancar usaha pengadaan pangan ini diberikan pula kredit pengadaan pangan kepada Koperasi Unit Desa (KUD) pelaksana. Sementara itu, untuk KUD-KUD yang dinilai belum mampu menyediakan jaminan untuk memperoleh kredit, penyediaan jaminannya dibantu melalui Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) yang sekarang disebut sebagai Perusahaan Umum Pengembangan Keuangan Koperasi (Perum PKK). Dalam Repelita II pembinaan koperasi ditingkatkan dan diarahkan untuk meningkatkan peranan golongan ekonomi lemah dengan jalan membantu kegiatan-kegiatan usaha mereka. Langkah-langkah yang ditempuh antara lain berupa pemberian kemudahan bagi koperasi untuk memperoleh kredit usaha, pemberian bimbingan usaha dan pengembangan organisasi koperasi. Selain pengadaan pangan dan penyaluran pupuk, usaha-usaha yang dikembangkan oleh koperasi di masa itu antara lain adalah pemasaran cengkeh dan kopra. Dalam rangka membantu para pedagang kecil di pedesaan, maka sejak tahun 1976 telah dikembangkan pula Kredit Candak Kulak (KCK) yang penyalurannya dilakukan oleh KUD. Selain itu, dalam Repelita II pola pengembangan BUUD/KUD yang ada disempurnakan dan peranan BUUD/KUD ditingkatkan dan diperluas sehingga mencakup pula bidang-bidang di luar pertanian, seperti usaha industri kecil, penyaluran bahan bakar minyak, dan pelayanan kelistrikan. Dalam Repelita III, seiring dengan meningkatnya perekonomian masyarakat di pedesaan, diusahakan agar koperasi, terutama KUD, dapat lebih mampu untuk tumbuh menjadi kekuatan ekonomi desa yang tangguh dan mandiri. Untuk mencapai tujuan tersebut ditempuh beberapa kebijaksanaan dalam bidang pembinaan kelembagaan dan pengembangan usaha koperasi. Langkah-langkah pembinaan kelembagaan dititikberatkan pada peningkatan keterampilan manajemen para anggota dan pengelola koperasi melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan. Sedangkan langkah-langkah pengembangan usaha diarahkan untuk pemupukan modal koperasi dan pelaksanaan usaha koperasi yang menguntungkan. Pemupukan modal koperasi dilakukan melalui pengem-

XI/6

bangan unit simpan pinjam koperasi. Usaha-usaha yang dilaksanakan oleh koperasi diperluas antara lain dengan melaksanakan penyaluran kredit produksi Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Selain itu, kegiatan koperasi diperluas pula ke daerah-daerah pemukiman transmigrasi. Selanjutnya, dalam Repelita IV pembinaan koperasi lebih ditingkatkan untuk melanjutkan kebijaksanaan yang telah ditempuh selama masa-masa sebelumnya dengan menitikberatkan pada peningkatan ketangguhan dan kemandirian koperasi. Pembinaan koperasi/KUD ditingkatkan dan dilaksanakan secara lebih intensif dan terpadu di segala sektor kegiatan ekonomi. Dalam pada itu pars Gubernur/Kepala Daerah bertindak sebagai koordinator dalam pelaksanaan bimbingan dan perlindungan yang dilakukan oleh Badan Pembimbing dan Pelindung (BPP) KUD. Untuk mempercepat usaha peningkatan keterampilan manajemen diselenggarakan pula kegiatan magang bagi para manajer dan karyawan dari koperasi/KUD yang belum maju di koperasi/KUD yang sudah maju. Melalui kegiatan magang ini diharapkan para manajer dan karyawan koperasi/KUD akan dapat melihat dan menerapkan hasil pelajaran yang diperoleh selama pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan koperasi mereka masing-masing. Untuk dapat mengukur tingkat kemandirian koperasi, sejak akhir Repelita IV telah ditetapkan kriteria KUD Mandiri. Kriteria-kriteria tersebut, dari segi kelembagaan antara lain mencakup: jumlah anggota penuh paling sedikit 25% dari jumlah penduduk dewasa yang memenuhi persyaratan keanggotaan KUD di wilayah kerjanya; paling sedikit dalam tiga tahun buku berturut-turut Rapat Anggota Tahunan (RAT) dilaksanakan tepat pada waktunya; anggota pengurus dan badan pemeriksa masing-masing sebanyak 5 orang dan 3 orang serta semuanya berasal dari anggota KUD. Dari segi kemandirian usaha, ditetapkan kriteria pelayanan kepada anggota paling sedikit 60% dari seluruh volume usaha, modal sendiri paling sedikit Rp 25 juta, toleransi deviasi antara realisasi usaha dan rencana usaha KUD sebesar-besarnya: 20%, tidak mempunyai tunggakan, dan volume usahanya rata-rata Rp 250 ribu per anggota per tahun. Dengan kriteria tersebut diharapkan adanya suatu tolok ukur yang dapat membantu mengukur tingkat kemandirian suatu koperasi sehingga mempermudah usaha untuk memberikan pembinaan yang setepat-tepatnya: Dalam tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V

XI/7

pembangunan koperasi lebih dititikberatkan pada peningkatan kualitas koperasi. Seiring dengan itu, kebijaksanaan yang dapat memberi peluang bagi koperasi untuk mengembangkan usahanya makin ditingkatkan. Dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan koperasi, maka program pendidikan dan pelatihan perkoperasian bagi para manajer dan karyawan, pengurus, anggota badan pemeriksa, kader koperasi dan Petugas Konsultasi Koperasi Lapangan (PKKL) makin ditingkatkan. Melalui pendidikan dan pelatihan ini diharapkan koperasi akan makin berpeluang untuk memperoleh pengelola yang sungguh-sungguh mampu menangani usaha-usaha yang dibutuhkan oleh para anggotanya. Pendidikan dan pelatihan bagi para kader koperasi juga dimaksudkan untuk memperoleh tenaga-tenaga untuk penerangan dan penyuluhan perkoperasian. Dengan adanya PKKL yang memperoleh pendidikan dan pelatihan diharapkan pembinaan perkoperasian di lapangan dapat dilaksanakan dengan lebih berdaya guna dan berhasil guna. Di samping itu, pembinaan dan pengembangan kemampuan usaha melalui kegiatan magang yang dimulai sejak Repelita IV terus dilanjutkan. Melalui kegiatan ini, diharapkan pengelola usaha pada KUD-KUD yang belum maju dapat mempelajari cara-cara usaha yang diterapkan oleh KUD-KUD yang sudah maju. Kegiatan lain yang terus dilanjutkan adalah kegiatan studi banding untuk para manajer guna memperluas wawasan dan pengetahuan mereka. Dalam rangka mendukung kelancaran usaha koperasi, sistem perkreditan bagi golongan ekonomi lemah terus disempurnakan melalui Paket Januari 1990. Agar peluang usaha dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya, selama lima tahun yang lalu, telah dilaksanakan kegiatan pelatihan penyusunan kelayakan usaha bagi para pengelola usaha koperasi. Dengan dilaksanakannya kegiatan ini, diharapkan makin banyak koperasi yang mampu menyusun kelayakan usaha yang dapat diterima oleh perbankan untuk memperoleh kredit untuk usaha mereka. Dalam rangka melaksanakan ketentuan tentang penggunaan 1-5% laba BUMN untuk pembangunan perkoperasian, kepada koperasi diberikan bantuan dalam bentuk modal kerja, kesempatan untuk meningkatkan keterampilan teknik produksi dan kemampuan pemasaran serta kemampuan untuk memperoleh kredit perbankan. Di samping itu, koperasi juga diberi

XI/8

kesempatan untuk memiliki saham perusahaan-perusahaan swasta yang sehat. Kesempatan tersebut diberikan terutama untuk koperasi karyawan perusahaan yang bersangkutan, untuk koperasi primer, termasuk Koperasi Unit Desa (KUD) di sekitar lokasi kerja perusahaan, serta untuk koperasi yang mempunyai kaitan usaha di bidang produksi ataupun di bidang distribusi dengan perusahaan swasta yang bersangkutan. Jumlah saham perusahaan yang dapat dimiliki oleh koperasi secara bertahap ditingkatkan sampai mencapai jumlah maksimum, yaitu sebesar 25 % dari seluruh saham yang dimiliki perusahaan. Rincian pembagian saham tersebut ialah 40% untuk koperasi karyawan perusahaan yang bersangkutan dan .60% diberikan kepada koperasi primer yang lain, termasuk KUD. Salah satu langkah strategis yang diambil dalam tahun keempat Repelita V adalah ditetapkannya Undang-undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian untuk mengganti Undang-undang No. 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian. Yang disebutkan terakhir dinilai sudah kurang sesuai lagi dengan situasi dan kondisi serta tuntutan pembangunan koperasi dewasa ini. Dengan diberlakukannya undang-undang yang baru tersebut diharapkan koperasi dapat lebih bebas dalam mengembangkan usahanya. Batasan-batasan seperti daerah kerja, tanggungan anggota atas kerugian koperasi dan fungsi pengawasan yang berlebihan oleh pemerintah terhadap koperasi, dalam undang-undang yang baru ditiadakan. Dengan adanya undang-undang baru tersebut, gerakan koperasi lebih bebas untuk menentukan arah kemajuan koperasinya masing-masing agar usahanya dapat berkembang makin sesuai dengan kebutuhan dan kehendak para anggotanya. 3. Hasil-hasil yang dicapai

Perkembangan pelaksanaan pembinaan kelembagaan dan usaha koperasi dalam kurun waktu Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi yang tumbuh di kalangan masyarakat serta jumlah anggota koperasi dan partisipasi mereka dalam koperasi semakin meningkat. Demikian pula, bidang usaha koperasi juga makin beragam dan makin dirasakan manfaatnya oleh para anggota. Dalam Repelita I dan Repelita II bidang usaha koperasi antara lain meliputi pengadaan pangan, penyaluran pupuk, pemasaran kopra, pemasaran cengkeh, pemasaran susu, serta pemasaran hasil-hasil perikanan, peternakan dan kerajinan rakyat. Memasuki masa Repelita III, bidang usaha koperasi bertambah dengan penyaluran kredit Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), XI/9

usaha industri logam dan tambang berskala kecil, usaha pakaian jadi, usaha angkutan dan pelayanan jasa listrik pedesaan. Dalam Repelita IV, koperasi mulai pula mengembangkan usahanya di bidang perumahan, terutama untuk pembangunan perumahan sederhana serta pemugarannya. Selanjutnya, dalam Repelita V, koperasi mulai merintis pelayanan jasa titipan dan penyaluran alat-alat kontrasepsi untuk program Keluarga Berencana (KB) terutama untuk para anggotanya di daerah-daerah terpencil dan untuk masyarakat sekitarnya. Pelayanan jasa titipan yang dimaksud berupa usaha pengiriman surat dengan pelayanan khusus, pengiriman barang cetakan, pengiriman surat kabar dan juga pengiriman uang. Perkembangan ragam usaha tersebut juga diikuti dengan semakin meningkatnya volume usaha. Perkembangan beberapa hasil pelaksanaan pembinaan koperasi secara rinci dapat diikuti di bawah ini. a. Pembinaan Kelembagaan Koperasi Hasil-hasil pembinaan kelembagaan koperasi sejak awal Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V antara lain tampak dalam Tabel XI1 sampai dengan Tabel XI-5. Tabel XI-1 menunjukkan perkembangan jumlah anggota pengurus, manajer, karyawan dan kader koperasi yang telah memperoleh pendidikan dan pelatihan perkoperasian sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V. Dari tabel tersebut tampak bahwa jumlah . peserta pendidikan perkoperasian secara kumulatif meningkat dengan pesat dari 36.708 orang dalam Repelita I, menjadi 46.070 orang dalam Repelita II, dan menjadi 103.814 orang dalam Repelita III. Jumlah yang dididik selama Repelita IV dan empat tahun Repelita V berturut-turut adalah sebesar 70.205 orang dan 42.957 orang, sehingga secara keseluruhan sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V jumlah anggota pengurus, manajer, karyawan dan kader koperasi yang dididik telah mencapai sekitar 300 ribu orang. Dalam Repelita I, pendidikan dan pelatihan perkoperasian lebih diutamakan untuk kader-kader koperasi dalam rangka mendukung usaha pemasyarakatan koperasi. Dari sebanyak 36.708 orang peserta pendidikan perkoperasian dalam Repelita I, 30.366 orang atau 82,7% di antaranya adalah kader-kader koperasi. Dalam Repelita II sampai dengan tahun keempat Repelita V pendidikan perkoperasian lebih diutamakan bagi para

XI/10

TABEL XI -1 JUMLAH PENGURUS, MANAJER KARYAWAN 1) DAN KADER KOPERASI YANG MEMPEROLEH PENDIDIKAN PERKOPERASIAN 1968 1992/93 (orang)

1) 2) 3) 4) 5)

Angka kumulatif 5 tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lainnya adalah angka tahunan Termasuk Juru Buku Termasuk kader koperasi dari lingkungan masyarakat Dimulai tahun 1989/90 Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

XI/11

pengurus, manajer dan karyawan koperasi. Demikianlah maka pada tahun 1989/90, 1990/91, 1991/92 dan 1992/93 jumlah pengurus, manajer, karyawan dan kader koperasi yang telah dididik berturut-turut adalah sebesar 9.510 orang, 18.391 orang, 10.373 orang dan 4.683 orang. Secara kumulatif, dalam 5 tahun terakhir jumlah manajer, karyawan, pengurus dan kader koperasi yang dididik tersebut berjumlah sebanyak 50.106 orang. Sebagai hasil, antara lain, dari pembinaan koperasi di bidang kelembagaan selama Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V, jumlah koperasi telah meningkat dengan pesat. Menjelang dimulainya Repelita I terdapat 9.339 buah koperasi, pada akhir Repelita I jumlah koperasi telah menjadi 19.975 buah atau meningkat sebesar 113,9%. Sedangkan pada akhir Repelita II dan akhir Repelita III jumlah koperasi berturut-turut menjadi 17.430 buah dan 25.161 buah. Pada akhir Repelita IV jumlah koperasi/KUD bertambah sehingga menjadi 33.324 buah atau meningkat 6,5% dibanding tahun 1987. Pada tahun 1992 jumlah koperasi telah mencapai 39.031 buah. Jumlah ini meningkat sebesar 24,7% jika dibanding tahun 1987, dan empat kali lipat lebih jika dibanding dengan tahun 1968. Jumlah koperasi pada tahun 1992 tersebut, terdiri dari koperasi non KUD sebanyak 30.282 buah dan KUD 8.749 buah (Tabel XI-2). Selanjutnya, dalam Tabel XI-2 juga nampak bahwa selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, jumlah koperasi non KUD meningkat dengan sedikit lebih cepat dibanding jumlah KUD. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir tersebut, koperasi non KUD dan KUD masing-masing meningkat rata-rata 5,0% dan 3,2% per tahun. Perbedaan pertumbuhan itu terjadi karena koperasi non KUD pada umumnya mengelola satu jenis usaha. Lagi pula koperasi karyawan di perusahaan atau kantor, misalnya, keanggotaannya juga lebih seragam, sehingga kebutuhan anggotanya juga lebih seragam. Dengan demikian koperasi yang bersangkutan lebih mudah tugasnya dalam melayani kebutuhan anggotanya dibanding dengan KUD. Apabila benar demikian halnya, maka dapat diartikan bahwa makin seragam kebutuhan atau usaha anggota suatu koperasi, maka akan makin mudah bagi koperasi yang bersangkutan untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya dan makin mudah bagi para anggotanya untuk menyalurkan usaha melalui koperasi. Dengan makin berkembangnya usaha koperasi yang berdasar pada kebutuhan dan usaha anggota tersebut, maka para anggota akan dapat merasakan perlunya

XI/12

TABEL XI 2 1) JUMLAH KOPERASI SELURUH INDONESIA 1968 1992


Akhir Uraian 1968 Repelita I (1973) Akhir Repelita II (1978) Akhir Repelita III (1983) 1987 Akhir Repelita IV (1988) 1989 Repelita V 2) 1990 1991 1992 3)

Koperasi Non KUD

9.339

17.614

12.986

18.788

23.819

25.451

27.871

28.168

29.323

30.282

KUD

2.361

4.444

6.373

7.480

7.873

8.276

8.334

8.535

8.749

Jumlah

9.339

19.975

17.430

25.161

31.299

33.324

36.147

36.502

37.858

39.031

1) Angka kumulatif sejak tahun 1968 dan mencakup Primer, Pusat, Gabungan dan Induk 2) Angka diperbaiki 3) Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

XI/13

GRAFIK XI 1 JUMLAH KOPERASI SELURUH INDONESIA, 1968 1992

XI/14

untuk ikut menumbuhkembangkan koperasinya dalam usaha mereka untuk meningkatkan kesejahteraan masing-masing. Sebagaimana tampak dalam Tabel XI-3, seiring dengan pertambahan jumlah koperasi, jumlah anggota koperasi juga makin meningkat; dari 1,5 juta orang pada permulaan Repelita I menjadi 33,0 juta orang pada tahun keempat Repelita V. Walaupun pada akhir Repelita IV jumlah anggota koperasi sedikit menurun dibanding tahun 1987, dalam masa empat tahun pertama Repelita V jumlahnya kembali meningkat sehingga pada tahun 1992 menjadi 33,0 juta orang atau 29,4% lebih tinggi dibanding jumlah anggota koperasi pada tahun 1987. Dalam pada itu kualitas kelembagaan koperasi juga makin meningkat. Peningkatan kualitas ini dapat dilihat dari semakin berfungsinya alat-alat perlengkapan organisasi koperasi, seperti pengurus, badan pemeriksa dan Rapat Anggota Tahunan (RAT). Penyelenggaraan RAT dapat menggambarkan partisipasi anggota dalam menentukan arah pengembangan koperasinya. Koperasi yang telah menyelenggarakan RAT mulai dimonitor dalam Repelita II dan pada akhir Repelita II koperasi yang menyelenggarakan RAT telah berjumlah 3.763 koperasi atau 21,6% dari seluruh koperasi yang ada pada waktu itu. Pada akhir Repelita III dan akhir Repelita IV, persentase tersebut meningkat menjadi 54,7% dan 58,8%. Dalam lima tahun yang lalu, sampai dengan tahun keempat Repelita V, persentase koperasi/KUD yang menyelenggarakan RAT nampak tidak banyak berubah dibanding tahun 1987 (Tabel XI-4). Hal ini menggambarkan bahwa dewasa ini masih banyak koperasi yang belum mengikutsertakan anggotanya dalam pengambilan keputusan. Dalam rangka meningkatkan keikutsertaan anggota dalam pengambilan keputusan guna menentukan arah pengembangan usaha koperasi/KUD, kegiatan pendidikan perkoperasian serta pemberian penerangan dan penyuluhan kepada para anggota terus ditingkatkan: Selain itu, agar anggota tertarik untuk berpartisipasi dalam segala kegiatan koperasi maka upaya-upaya untuk meningkatkan usaha koperasi, terutama yang secara langsung mewadahi usaha para anggotanya serta melayani kebutuhan mereka, diusahakan terus ditingkatkan. Tabel XI-5 menunjukkan bahwa sejak akhir Repelita III sampai dengan tahun keempat Repelita V jumlah manajer yang dimiliki koperasi

XI/15

TABEL XI 3 1) JUMLAH ANGGOTA KOPERASI PRIMER 1968 1992 (ribu orang)

1) 2)

Angka kumulatif sejak tahun 1968 Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

XI/16

GRAFIK XI 2 JUMLAH ANGGOTA KOPERASI PRIMER 1968 1992

XI/17

TABEL XI 4 PENYELENGGARAAN RAPAT ANGGOTA TAHUNAN (RAT) 1968 1992

1) 2) 3) 4)

Angka kumulatif sejak tahun 1968 Angka sementara sampai bulan Oktober 1992 Angka tahunan Realisasi RAT tahun bersangkutan dibagi dengan jumlah Koperasi/KUD tahun bersangkutan

XI/18

TABEL XI 5 1) KUD DAN KOPERASI NON KUD YANG TELAH MEMPUNYAI MANAJER 1968 1992

1) 2) 3) 4) 5)

Angka kumulatif sejak tahun 1968 Angka sementara sampai bulan Oktober 1992 Jumlah manajer tahun bersangkutan dibagi jumlah koperasi tahun yang bersangkutan Jumlah manajer KUD cukup besar karena dropping manajer yang berasal dari PNS oleh Dep. Koperasi Penurunan jumlah manajer karena manajer PNS ditarik ke Dep. Koperasi

XI/19

non KUD setiap tahun hanya sekitar 5,0% dari jumlah koperasinya pada tahun yang sama.

Pada akhir Repelita III jumlah manajer yang dimiliki koperasi non KUD dan KUD masing-masing sebanyak 964 orang dan 8.364 orang, atau masing-masing mencapai 5,1% dan 131,2% dibanding jumlah koperasi non KUD dan KUD yang ada pada tahun itu. Jumlah manajer yang dimiliki KUD pada akhir Repelita III lebih banyak dibanding jumlah KUDnya, karena pada KUD-KUD yang bersangkutan ditempatkan manajer yang diperbantukan untuk sementara oleh pemerintah untuk membantu mengembangkan pengelolaan usaha KUD. Sedangkan selama lima tahun terakhir ini jumlah manajer KUD setiap tahunnya sudah mencapai rata-rata 59,2% dari jumlah KUD yang ada.
Manajer koperasi bertugas melakukan pengelolaan usaha suatu koperasi. Pengelolaan usaha koperasi yang sudah dilakukan oleh manajer, dan tidak lagi dirangkap oleh pengurus, menggambarkan bahwa pengelolaan usaha koperasi yang bersangkutan sudah dilaksanakan secara lebih profesional. Untuk itu, keberadaan jumlah manajer yang memadai dibanding dengan jumlah koperasi yang ada dinilai cukup penting dan senantiasa ditingkatkan, dalam upaya untuk menumbuhkembangkan usaha koperasi. Sehubungan dengan itu, terutama untuk KUD-KUD yang berlokasi di daerah terbelakang dan terpencil telah diperbantukan para Tenaga Kerja Sukarela Terdidik (TKST). b. Pengembangan Usaha Koperasi (1) Permodalan Permodalan koperasi merupakan salah satu sarana terpenting agar koperasi dapat menjalankan usahanya dalam rangka melayani kebutuhan anggota dan masyarakat sekitarnya. Makin besar modal yang dimiliki suatu koperasi/KUD, makin besar peluang yang dimilikinya untuk meningkatkan pengembangan usahanya. Permodalan koperasi terdiri dari modal dari dalam yang terutama diperoleh dari simpanan anggota, yaitu simpanan pokok, simpanan wajib serta simpanan sukarela dan modal dari luar yang berupa kredit dari perbankan dan sumbangan.

XI/20

Perkembangan simpanan anggota, permodalan dan nilai usaha koperasi sejak permulaan Repelita I sampai dengan tahun 1992 terus meningkat, seperti tampak dalam Tabel XI-6. Simpanan anggota koperasi terus berkembang dari sekitar Rp 0,3 miliar sebelum Repelita I menjadi Rp 1.122,5 miliar dalam tahun 1992 atau meningkat sebesar 3.741 kali lipat. Dalam lima tahun terakhir ini,- jumlah simpanan anggota rata-rata meningkat sebesar 22,4% per tahun, dari Rp 435,7 miliar pada tahun 1987 menjadi Rp 1.122,5 miliar pada tahun 1992, tahun keempat Repelita V. Modal usaha pada akhir Repelita 1, akhir Repelita II dan akhir Repelita III masing-masing sebesar Rp 21,9 miliar, Rp 92,9 miliar dan Rp 537,6 miliar. Pada akhir Repelita IV, jumlah modal usaha mencapai Rp 926,0 miliar, menurun sebesar 21,8% dibanding tahun 1987. Akan tetapi pada tahun 1989, 1990, 1991 dan 1992 modal usaha berturut-turut meningkat sebesar 34,2%, 26,7%, 14,1% dan 75,7% sehingga pada tahun 1992 mencapai Rp 3.155,3 miliar. Dengan demikian selama lima tahun terakhir ini, modal usaha telah meningkat rata-rata sebesar 25,8% per tahun. Dengan modal usaha yang makin berkembang seperti tersebut di atas, secara keseluruhan nilai usaha koperasi sejak permulaan Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V juga makin meningkat. Pada permulaan Repelita I nilai usaha koperasi berjumlah Rp 74,0 miliar. Nilai usaba koperasi pada akhir Repelita II dan akhir Repelita III meningkat masing-masing menjadi lebih dari dua kali lipat sehingga pada akhir Repelita III mencapai Rp 2.114,4 miliar , atau hampir 29 kali lipat dibanding permulaan Repelita I. Sedangkan selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, nilai usaha meningkat rata-rata sebesar 14,2% per tahun, yaitu dari Rp 2.218,0 miliar pada tahun 1987 menjadi Rp 3.800,6 miliar pada tahun 1992.
(2) Perkreditan Perkembangan jaminan perkreditan untuk koperasi dalam rangka menunjang perkembangan usaha koperasi sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V dapat diikuti pada Tabel XI-7. Perkembangan nilai kredit k operasi yang dijamin oleh Perusahaan Umum Pengembangan

XI/21

TABEL XI 6 1) SIMPANAN ANGGOTA, MODAL DAN NILAI USAHA KOPERASI 1968 1992 (miliar rupiah)

1)
2) 3)

Angka tahunan Angka diperbaiki Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

XI/22

GRAFIK XI 3 SIMPANAN ANGGOTA, MODAL DAN NILAI USAHA KOPERASI 1968 1992

XI/23

TABEL XI 7 1) JUMLAH KUD/NON KUD DAN NILAI KREDIT YANG DIJAMIN OLEH PERUM PENGEMBANGAN KEUANGAN KOPERASI 1968 1992/93

1) 2)

Angka tahunan Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

XI/24

Keuangan Koperasi (Perum PKK), yang disebut Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) sampai dengan talmn 1981, selama Repelita I sampai dengan Repelita III terus meningkat. Namun mulai akhir Repelita IV dan empat tahun pertama Repelita V, jumlah jaminan dan nilai kredit yang diperoleh menurun, sedangkan jumlah koperasi yang dijamin meningkat. Pada akhir Repelita I, koperasi/KUD yang mendapat jaminan dari Perum PKK berjumlah 3.431 buah dengan nilai janunan sebesar Rp 1,9 miliar dan nilai kredit sebesar Rp 24,1 miliar. Pada tahun keempat Repelita V, jumlah koperasi/KUD yang mendapat jaminan Perum PKK meningkat menjadi 4.005 buah yang berarti meningkat sebesar 16,7% - dibanding akhir Repelita I. Sedangkan nilai jaminan dan nilai kredit pada tahun keempat Repelita V tersebut masing-masing meningkat lebih 46 kali lipat dan lebih dari tiga kali lipat, yaitu menjadi Rp 90,1 miliar dan Rp 102,2 miliar. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, jumlah koperasi/KUD yang dijamin meningkat rata-rata sebesar 28,7% per tahun, yaitu dari 1.646 buah pada tahun 1987/88 menjadi 4.005 buah pada tahun 1992/93. Sedangkan nilai jaminannya menurun rata-rata sebesar 3,5%-per tahun dari Rp 109,6 miliar pada tahun 1987/88 menjadi Rp 90,1 miliar pada tahun 1992/93. Demikian pula nilai kreditnya lebih berfluktuasi dan menurun rata-rata 0,4% per tahun dari Rp 129,1 miliar pada tahun 1987/88 menjadi Rp 102,2 miliar pada tahun 1992/93. Sedangkan pada tahun 1992/93, jumlah koperasi yang dijamin menjadi 4.005 buah atau meningkat sebesar 143,3% dibanding tahun 1987/88, dan nilai jaminannya menjadi Rp 90,1 miliar atau menurun sebesar 17,8% dibanding tahun1987/88. Sebagai upaya untuk membantu pedagang-pedagang kecil anggota koperasi di pedesaan, sejak tahun 1976 dikembangkan Kredit Candak Kulak (KCK). Perkembangan KCK yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1976 tersebut menunjukkan hasil yang menggembirakan, yang selengkapnya dapat diikuti dalam Tabel XI-8 dan Tabel XI-9. Pada akhir Repelita II, jumlah koperasi yang melayani KCK ada sebanyak 2.196 ,koperasi dengan jumlah nasabah 3,1 juta orang dan nilai kredit sebesar Rp 18,6 miliar. Pada akhir Repelita III dan akhir Repelita IV, jumlah koperasi yang melayani KCK berturut-turut adalah 4.286 koperasi dan 5.981 koperasi, dengan jumlah nasabah masing-masing sebesar 12,8 juta dan 16,8 juta orang serta nilai kredit mencapai Rp 145,7 miliar dan Rp 224,3 miliar. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, jumlah nasabah dan nilai kreditnya masing-masing meningkat rata-rata sebesar 2,7% dan 2,9% per

XI/25

tahun; jumlah nasabah meningkat dari 16,4 juta orang pada tahun 1987 menjadi 18,6 juta orang pada tahun 1992, dan nilai kreditnya dari Rp 234,6 miliar menjadi Rp 268,8 miliar (Tabel XI-8).

Tabel XI-9 menggambarkan penyebaran dana KCK sejak Nopember 1976 sampai dengan tahun keempat Repelita V (per September 1992). Dari tabel tersebut tampak bahwa program KCK ini telah bermanfaat di 27 propinsi. Ditinjau dari penyebaran jumlah kreditnya, propinsi yang memperoleh terbesar adalah Jawa Tengah disusul oleh Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat. Sedangkan jika ditinjau dari jumlah nasabah, urutannya adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan DI Yogyakarta. Jumlah koperasi yang terbesar yang memanfaatkan program KCK adalah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat. KCK ini sangat dirasakan manfaatnya oleh anggota koperasi dan golongan ekonomi lemah, karena membantu perkembangan usaha mereka yang sifatnya tradisional dan informal. Lagi pula walaupun nilai KCK untuk setiap nasabah kecil, ternyata dapat memenuhi kebutuban banyak anggota koperasi. Di samping itu salah satu sifat KCK yang sangat membantu bagi para pedagang kecil ialah: KCK dapat diperoleh secara cepat dan mudah tanpa harus menyediakan jaminan. (3) Pengadaan dan Penyaluran Pangan

Dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan harga dasar gabah/beras, dalam keadaan diperlukan khususnya di musim panen KUD melakukan pembelian gabah/beras dari para petani secara langsung sesuai dengan harga dasar. Dengan demikian para petani dalam musim panenpun dapat memperoleh harga yang layak untuk hasil produksi yang dijualnya. Pelaksanaan pengadaan gabahlberas pada akhir Repelita I, akhir Repelita II, akhir Repelita III dan akhir Repelita IV berturut-turut mencapai 281,3 ribu ton, 444,5 ribu ton, 970,1 ribu ton dan 1.096,0 ribu ton. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, hasil pengadaan gabah/beras berlluktuasi, rata-rata meningkat sebesar 20,8% per tahun, yaitu dari 1.261,5 ribu ton pada tahun 1987/88 menjadi 2.093,6 ribu ton pada tahun 1992/93. Untuk tahun 1988/89 dan tahun 1990/91 hasil pengadaan tersebut berturut-turut mencapai 1.096,0 ribu ton dan 1.231,3 ribu ton, atau menurun sebesar 13,1% dan 43,2% dibandi ng tahun

XI/26

TABEL XI 8 1) PELAKSANAAN KREDIT CANDAK KULAK 1968 1992

1) 2)

Angka kumulatif sejak Nopember 1976 Angka sementara sampai bulan September 1992

XI/27

TABEL XI 9 PENYEBARAN KREDIT CANDAK KULAK (KCK) MENURUT DAERAH TINGKAT I, NOPEMBER 1976 SAMPAI DENGAN SEPTEMBER 1992

1) Angka kumulatif

XI/28

sebelumnya. Penurunan pada tahun tersebut terjadi karena produksi gabah/beras hanya meningkat 4,0% pada tahun 1988 dan kemudian pada tahun 1990 bahkan hanya meningkat 1,0% dibanding tahun sebelumnya, sebagai akibat berkecamuknya kemarau panjang. Namun demikian, pada tahun keempat Repelita V pengadaan gabah/beras meningkat dengan 47,4% sehingga mencapai sebesar 2.093,6 ribu ton setara beras. Jumlah pengadaan pada tahun 1992/93 itu besarnya lebih dari enam kali lipat dibanding akhir Repelita I (Tabel XI-10). Penjualan gabah/beras pada tahun 1992/93 adalah sebesar 2.051,2 ribu ton setara beras atau lebih dari sepuluh kali lipat dibanding akhir Repelita I. Penjualan gabah/beras hasil pengadaan KUD kepada Bulog pada akhir Repelita 1, akhir Repelita II dan akhir Repelita III juga menunjukkan peningkatan. Penjualan gabah/beras tersebut pada akhir Repelita II sebesar 277,4 ribu ton, menjadi sebesar 198,4 ribu ton pada akhir Repelita I, atau 39,8% lebih tinggi. Dan akhir Repelita III mencapai 842,4 ribu ton, atau 203,7% lebih tinggi dari akhir Repelita II. Perkembangannya untuk lima tahun terakhir ini sampai dengan tahun keempat Repelita V sangat berfluktuasi. Penjualan pada akhir Repelita IV menjadi 956,6 ribu ton, menurun sebesar 16,3% jika dibanding tahun 1987/88. Sedangkan pada tahun 1990/91 dan tahun 1991/92 berturut-turut dijual 1.231,3 ribu ton dan 1.170,8 ribu ton, menurun masing-masing sebesar 39,2% dan 4,9% dibanding tahun sebelumnya (Tabel XI-II). Nilai perjanjian kredit untuk pengadaan gabah/beras pada tahun 1992/93 besarnya Rp 100,3 miliar atau meningkat lebih dari delapan kali lipat dibanding tahun 1973/74. Nilai perjanjian kredit untuk KUD dalam rangka pengadaan pangan pada akhir Repelita I, akhir Repelita II, akhir Repelita III dan akhir Repelita IV berturut-turut adalah sebesar Rp 10,7 miliar, Rp 17,2 miliar, Rp 36,1 miliar dan Rp 67,4 miliar. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, nilai perjanjian kredit pengadaan pangan yang disalurkan melalui KUD rata-rata meningkat sebesar 16,2% per tahun yaitu Rp 67,4 miliar pada tahun 1988/89 menjadi Rp 100,3 miliar pada tahun 1992/93. Peningkatan ini menujukkan bahwa peranan KUD dalam pengadaan pangan dari tahun ke tahun juga semakin meningkat. Gambaran selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel XI-12.

XI/29

TABEL XI 10 1) PELAKSANAAN PENGADAAN PANGAN (GABAH/BERAS) OLEH KUD 1968 1992/93

1) 2) 3) 4)

Angka tahunan Angka diperbaiki Angka sementara sampai bulan Desember 1992 Dari data yang tersedia tidak dapat dibedakan antara pelaksanaan oleh KUD secara murni dengan pelaksanaan secara kerja sama dengan pengusaha bukan KUD.

XI/30

TABEL XI 11 1) PENJUALAN GABAH/BERAS OLEH KUD KEPADA BULOG DAN DI PASARAN UMUM (LEWAT PUSKUD) 1968 1992/93

1) 2) 3)

Angka tahunan Angka diperbaiki Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

XI/31

TABEL XI 12 1) PELAKSANAAN KREDIT PENGADAAN PANGAN MELALUI KUD 1968 1992/93

1) 2) 3)

Angka tahunan Angka diperbaiki Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

XI/32

(4)

Penyaluran Sarana Produksi Pertanian dan Pemasaran Hasil Perkebunan Rakyat

Perkembangan penyaluran pupuk oleh KUD sejak akhir Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V disajikan dalam Tabel XI-13. Dari tabel tersebut ternyata bahwa penyaluran pupuk oleh KUD sejak akhir Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V terus meningkat dengan tajam, sehingga kalau pada akhir Repelita I jumlah yang disalurkan masih sebesar 314 ribu ton, pada tahun 1992/93 sampai bulan Oktober jumlah tersebut telah mencapai 2.511,3 ribu ton. Bahkan selama Iima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V walaupun penyaluran pupuk sedikit berfluktuasi namun pada tahun 1989/90, 1990/91 dan 1991/92 berturut-turut telah mencapai 4,4 juta ton, 4,3 juta ton dan 4,1 juta ton. Penyaluran pupuk oleh KUD pada akhir Repelita I, akhir Repelita II dan akhir Repelita III masing-masing adalah sebesar 314,0 ribu ton, 299,5 ribu ton dan 458,1 ribu ton. Pada akhir Repelita IV, jumlah pupuk yang disalurkan oleh KUD telah meningkat menjadi 3.360,1 ribu ton atau 157,5 % lebih tinggi dibanding tahun 1987/88. Dalam bidang perkopraan, apabila nilai pembelian kopra oleh koperasi/KUD dan nilai penjualannya pada tahun 1992/93 dibandingkan dengan akhir Repelita I telah terjadi peningkatan masing-masing hampir dua puluh kali lipat dan hampir dua puluh dua kali lipat. Sedangkan jumlah koperasi/KUD serta jumlah pembeliap dan jumlah penjualan kopra oleh koperasi/KUD sejak akhir Repelita I sampai dengan tahun 1992/93 sangat berfluktuasi. Jumlah koperasi/KUD yang melaksanakan pemasaran kopra pada akhir Repelita I, akhir Repelita II dan akhir Repelita III berturut-turut adalah sebanyak 53 koperasi, 208 koperasi dan 191 koperasi. Selama lima tahun terakhir, sejak akhir Repelita IV sampai dengan tahun keempat Repelita V, jumlah koperasi yang melaksanakan pembelian dan penjualan kopra juga berfluktuasi dari 130 koperasi pada tahun 1988, naik menjadi 137 koperasi pada tahun 1989, dan setelah sedikit menurun menjadi 129 koperasi pada tahun 1990, naik-laki menjadi 180 koperasi pada tahun 1991. Pada tahun keempat Repelita V, yaitu tahun 1992 sampai bulan Oktober, jumlah tersebut menunm menjadi 146 koperasi. Volume pembelian kopra oleh koperasi/KUD pada akhir Repelita I, akhir Repelita II dan akhir XI/33

TABEL XI 13 1) PELAKSANAAN DAN PENYALURAN PUPUK OLEH KUD 1968 1992/93

1) 2)

Angka tahunan Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

XI/34

Repelita III berturut-turut mencapai sebanyak 8,2 ribu ton, 134,7 ribu ton dan 56,9 ribu ton. Sedangkan volume penjualannya berturut-turut meliputi 6,5 ribu ton, 127,3 ribu ton dan 55,5 ribu ton (Tabel XI-14). Perkembangan usaha koperasi dalam pemasaran cengkeh sejak akhir Repelita II sampai tahun keempat Repelita V yang dapat diikuti dalam Tabel XI-15 tampaknya sangat berfluktuasi. Apabila volume dan nilai pembelian cengkeh pada tahun keempat Repelita V yaitu sebesar 77,4 juta ton dan sebesar Rp 309,6 miliar dibandingkan dengan volume dan nilai pembelian tahun 1978, telah terjadi peningkatan masing-masing sebesar hampir 45 kali lipat dan sebesar 44,7 kali lipat. Sedangkan apabila volume dan nilai penjualan cengkeh pada tahun keempat Repelita V, yaitu masing-masing sebesar 72,3 juta ton dan sebesar Rp 571,6 miliar dibandingkan dengan volume dan nilai penjualan tahun 1978, telah terjadi peningkatan masing-masing sebesar 56,6 kali lipat dan sebesar 111,7 kali lipat. Selanjutnya, koperasi yang menangani pemasaran cengkeh pada tahun keempat Repelita V berjumlah 698 buah atau meningkat hampir 19 kali lipat dibanding tahun 1978. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, terutama pada akhir Repelita IV, tahun 1989 dan 1990, volume dan nilai pembelian cengkeh maupun penjualannya cenderung menurun. Penurunan ini antara lain disebabkan oleh harga cengkeh selama kurun waktu tersebut kurang menarik, walaupun selama lima tahun terakhir ini, jumlah KUD yang terlibat dalam pemasaran cengkeh terus bertambah dengan rata-rata peningkatan sebesar 21,8% per tahun. Dalam rangka menghindari turunnya harga cengkeh tersebut lebih lanjut, maka sejak 1 Januari 1991 penyanggaan cengkeh dilaksanakan oleh Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Sebagai hasilnya, walaupun pada awal pelaksanaannya masih tersendat-sendat, perkembangan pemasaran cengkeh pada tahun 1991 dan 1992 nampak menunjukkan peningkatan. Volume pembelian cengkeh oleh koperasi/KUD pada tahun 1991 adalah sebesar 120,9 juta ton atau meningkat lebih dari sembilan kali lipat dibanding tahun 1987. Sedangkan volume penjualannya pada tahun yang sama adalah sebesar 119,8 juta ton atau meningkat sebelas kali lipat. Sementara itu, nilai pembelian cengkeh pada tahun 1991 adalah sebesar Rp 846,1 miliar atau meningkat sebelas kali lipat dibanding tahun 1987. Nilai penjualan pada tahun yang sama adalah sebesar Rp 947,4 miliar atau XI/35

TABEL XI 14 1) USAHA KOPERASI DALAM BIDANG PERKOPRAAN 1968 1992

1) 2)

Angka tahunan Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

XI/36

TABEL XI 15 1) USAHA KOPERASI DALAM PEMASARAN CENGKEH 1968 1992

1) 2)

Angka tahunan Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

XI/37

meningkat lebih dari sebelas kali lipat. Perkembangan pemasaran cengkeh pada akhir Repelita II dan akhir Repelita III adalah sebagai berikut. Volume pembelian pada akhir Repelita II dan akhir Repelita III berturut-turut sebesar 1,7 juta ton dan 20,4 juta ton. Sedangkan volume penjualannya pada waktu yang sama berturut-turut sebesar 1,3 juta ton dan 19,1 juta ton. Nilai pembelian cengkeh meningkat dari sebesar Rp 6,8 miliar pada akhir Repelita II menjadi Rp 152,9 miliar pada akhir Repelita III. Adapun nilai penjualannya juga meningkat, yaitu dari sebesar Rp 5,1 miliar menjadi Rp 157,4 miliar pada akhir Repelita III. Dalam rangka peningkatan produksi Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), sejak Repelita III KUD juga ditugaskan untuk membantu penyaluran kredit TRI. Pada akhir Repelita III, penyaluran kredit TRI disakukan oleh 712 KUD dengan nilai realisasi kredit sebesar Rp 155,7 miliar. Nilai kredit TRI yang disalurkan KUD tersebut menurun pada akhir Repelita IV menjadi sebesar Rp 99,0 miliar, sedangkan KUD yang menyelenggarakan menurun menjadi 548 KUD. Kemudian nilai kredit TRI meningkat lagi pada tahun 1989/90 menjadi Rp 114,8 miliar dan tahun 1990/91 menjadi Rp 222,9 miliar, sedangkan jumlah KUD yang melakukan juga meningkat menjadi 621 KUD dan 653 KUD. Pada tahun 1991/92 jumlah kredit TRI yang disalurkan melalui KUD berjumlah Rp 212,6 miliar atau meningkat sebesar 36,5% dibanding akhir Repelita III. KUD yang berpartisipasi sedikit menurun menjadi 644 KUD (Tabel XI-16). (5) Usaha Perikanan Rakyat Seperti tampak dalam Tabel XI-17, sejak akhir Repelita I sampai dengan tahun 1992, jumlah koperasi dan anggota koperasi yang mempunyai usaha perikanan rakyat cenderung terus meningkat. Pada tahun 1992, nilai usaha koperasi perikanan rakyat mencapai sebesar Rp 155,6 miliar atau lebih dari seratus dua puluh tujuh kali lipat dibanding akhir Repelita I. Begitu juga jumlah anggotanya meningkat dari 37,1 ribu orang pada akhir Repelita I menjadi sekitar 800,0 ribu orang pada tahun 1992, atau menjadi lebih dari dua puluh satu kali lipat. Pada akhir Repelita I, akhir Repelita II dan akhir Repelita III, usaha koperasi perikanan rakyat berturut-turut bernilai sebesar Rp 1,2 miliar, Rp 2,6 miliar dan Rp 70,1 miliar. Sedangkan selama lima tahun terakhir nilai usaha koperasi perikanan rakyat rata-rata meningkat

XI/38

TABEL XI 16 1) REALISASI KREDIT PRODUKSI TEBU RAKYAT INTENSIFIKASI OLEH KOPERASI UNIT DESA (KUD) 1968 1992/93

1) 2)

Angka tahunan Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

XI/39

TABEL XI 17 1) USAHA KOPERASI PERIKANAN RAKYAT 1968 1992

1)Angka tahunan 2)Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

sebesar 12,4% per tahun, yaitu dari 677 koperasi pada tahun 1988 menjadi 736 koperasi pada tahun 1992, tahun keempat Repelita V. Sedangkan jumlah anggotanya juga meningkat dari 154,1 ribu orang menjadi hampir 800,0 ribu orang. (6) Usaha Peternakan Rakyat Perkembangan usaha koperasi di bidang peternakan rakyat selama akhir Repelita II sampai dengan tahun keempat Repelita V juga terus berkembang. Nilai usaha koperasi pada tahun 1992 besarnya Rp 111,2 miliar, sama dengan 233 kali lipat dibanding nilai usaha pada akhir Repelita II. Jumlah anggotanya pada tahun 1992 mencapai 56,5 ribu orang, atau sama dengan delapan kali lipat dibanding tahun terakhir Repelita II. Pada akhir Repelita II, akhir Repelita III dan akhir Repelita IV, koperasi di bidang usaha peternakan berturut-turut berjumlah sebanyak 113 koperasi, 491 koperasi dan 499 koperasi. Jumlah tersebut terus bertambah dalam lima tahun terakhir, sehingga menjadi 568 koperasi pada tahun 1992. Sementara itu nilai usaha koperasinya juga meningkat dari Rp 477,4 juta pada akhir Repelita II menjadi Rp 61,0 miliar pada akhir Repelita III dan Rp 102,5 miliar pada akhir Repelita IV (Tabel XI-18). Dan sejak itu nilai usaha koperasi di bidang peternakan rata-rata meningkat sebesar 3,8% per tahun, yaitu dari Rp 102,5 miliar pada tahun 1988 menjadi Rp 111,2 miliar pada tahun 1992. Jumlah produksi susu pada tahun keempat Repelita V sebesar 260,0 juta liter apabila dibandingkan dengan produksi susu pada akhir Repelita II sebesar 3,8 juta liter, telah menunjukkan peningkatan sebanyak lebih dari enam puluh tujuh kali. Sedangkan jumlah koperasi dan anggotanya selama kurun waktu tersebut masing-masing meningkat menjadi lebih dari delapan belas kali lipat dan lebih dari empat puluh lima kali lipat, yaitu dari 11 koperasi dengan anggota sebanyak 2,2 ribu orang pada akhir Repelita II menjadi 203 koperasi dengan anggota sebanyak 98,1 ribu orang pada tahun keempat Repelita V. Jumlah koperasinya sejak tahun 1988 sampai dengan tahun 1992 meningkat sebesar 17,3% dari 173 koperasi menjadi 203 koperasi. Demikian pula jumlah anggotanya meningkat sebesar 20,9% dari 72,0 ribu orang menjadi 98,1 ribu orang. Khusus mengenai produksi susunya dapat dikemukakan bahwa pada tahun 1989 menurun dengan 19,4%

XI/41

TABEL XI 18 1) USAHA KOPERASI PETERNAKAN 1968 1992

1) Angka tahunan 2) Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

XI/42

dan pada tahun 1991 menurun lagi 0,7% dibanding tahun sebelumnya, akan tetapi pada tahun 1992 meningkat lagi sebesar 1,8% (Tabel XI-19). (7) Usaha Kerajinan Rakyat/Industri Kecil Pada akhir Repelita I jumlah dan anggota koperasi di bidang usaha kerajinan rakyat masing-masing adalah sebesar 437 buah dan 39,8 ribu orang, dengan nilai usaha sebesar Rp 23,8 miliar. Pada akhir Repelita IV jumlah koperasi sudah bertambah menjadi 1.253 koperasi, dengan jumlah anggota sebanyak 290,8 ribu orang dan nilai usaha sebesar Rp 411,8 miliar, atau masing-masing meningkat menjadi hampir tiga kali lipat, lebih dari tujuh kali lipat dan lebih dari tujuh belas kali lipat dibanding akhir Repelita I. Pada akhir Repelita IV dan tahun 1989, nilai usaha koperasi kerajinan rakyat berturut-turut meningkat sebesar 5,0% dan 7,3% dibanding tahun 1987. Dalam tiga tahun berikutnya nilai usaha tersebut menurun, demikian juga jumlah koperasi serta anggotanya. Pada tahun 1991 jumlah koperasi kerajinan rakyat menjadi sebanyak 1.173 buah dan jumlah anggotanya sebanyak 157,2 ribu orang; sedangkan nilai usahanya mencapai Rp 270,4 miliar (Tabel XI-20). Jumlah koperasi yang menangani usaha industri logam dan tambang skala kecil pada akhir Repelita III ada 210 buah dengan anggota sebanyak 19,7 ribu orang dan nilai usaha sebesar Rp 65,0 miliar. Pada akhir Repelita IV, jumlah koperasi industri logam dan tambang skala kecil sudah bertambah menjadi 338 buah dengan jumlah anggota sebanyak 21,9 ribu orang serta nilai usahanya sebesar Rp 112,8 miliar. Pada tahun 1989 jumlah koperasi meningkat 2,1% dibanding tahun 1987 menjadi 345 koperasi, jumlah anggotanya meningkat 6,5% menjadi 23,3 ribu orang, dan nilai usahanya meningkat 2,9% menjadi Rp 116,1 miliar. Selanjutnya, pada tahun 1990 jumlah koperasi dan anggota koperasi menurun, akan tetapi meningkat lagi pada tahun 1991 dan 1992. Nilai usaha koperasi industri logam dan tambang skala kecil, menurun pada tahun 1991, namun meningkat lagi pada tahun 1992. Jumlah koperasi yang berusaha dalam industri logam dan tambang skala kecil pada tahun 1992 berjumlah 177 koperasi, anggotanya 23,6 ribu orang. Sedangkan nilai usahanya mencapai sebesar Rp 133,4 miliar atau lebih dari dua kali lipat nilai usahanya pada akhir Repelita III (Tabel XI-21).

XI/43

TABEL XI 19 1) USAHA KOPERASI SUSU/KUD UNIT SUSU 1968 1992

1) Angka tahunan 2) Angka sementara sampai bulan Agustus 1992

XI/44

TABEL XI 20 1) USAHA KOPERASI KERAJINAN RAKYAT 1968 1992

1) Angka tahunan 2) Angka sementara sampai bulan Agustus 1992

XI/45

TABEL XI 21 1) USAHA KOPERASI INDUSTRI LOGAM DAN TAMBANG, 1968 1992

1) Angka tahunan 2) Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

XI/46

Jumlah koperasi yang menangani batik dan garment pada akhir Repelita III ada sebanyak 154 buah dan pada akhir Repelita IV bertambah menjadi 192 buah. Sedangkan jumlah anggotanya yang pada akhir Repelita III sebanyak 21,9 ribu orang, pada akhir Repelita IV sudah menjadi sebanyak 68,1 ribu orang. Adapun nilai usahanya dalam kurun waktu tersebut meningkat dari sebesar Rp 71,5 miliar menjadi sebesar Rp 117,6 miliar. Selanjutnya, perkembangan koperasi di bidang batik dan garment selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun 1992 nampak berfluktuasi. Selama periode tersebut, jumlah koperasi meningkat rata-rata 20,0% per tahun dibanding tahun 1987 sehingga pada tahun 1992 menjadi 404 koperasi. Sedangkan jumlah anggotanya menurun rata-rata 4,0% per tahun pada tahun tersebut menjadi 54,2 ribu orang. Demikian pula dengan nilai usahanya, yang menurun rata-rata 8,7% per tahun sehingga menjadi Rp 65,0 miliar pada tahun 1992 (Tabel XI-22). Jumlah kedele yang disalurkan oleh koperasi produksi tahu tempe pada tahun 1983 yang besarnya 84,5 ribu ton, pada tahun 1991 sudah bertambah menjadi 225,5 ribu ton. Sedangkan jumlah kedele yang disalurkan pada tahun 1991 adalah sekitar dua setengah kali lipat dibanding tahun 1983. Sejak akhir Repelita III sampai dengan tahun keempat Repelita V, jumlah koperasi yang memproduksi tahu tempe relatif tidak mengalami perubahan yang besar, yaitu dari 67 koperasi pada akhir Repelita III menjadi 73 koperasi pada tahun keempat Repelita V. Sedangkan jumlah anggotanya yang pada akhir Repelita III sebesar 17,2 ribu orang bertambah menjadi 34,0 ribu orang pada tahun keempat Repelita V. Jumlah permodalan koperasi produksi tahu tempe yang pada tahun 1983 adalah sebesar Rp 29,6 miliar, pada tahun 1991 sudah meningkat menjadi Rp 171,4 miliar. Hal ini berarti bahwa jumlah permodalan koperasi pada tahun 1991 adalah hampir enam kali lipat dibanding tahun 1983. Selama lima tahun terakhir jumlah permodalannya meningkat rata-rata 15,5% per tahun sehingga menjadi Rp 104,0 miliar pada tahun 1992. Sementara itu jumlah kedele yang disalurkan pada akhir Repelita IV menurun 23,1%, namun pada tahun 1989 meningkat lagi sebesar 42,0% (Tabel XI-23).

XI/47

TABEL XI 22 1) USAHA KOPERASI DI BIDANG BATIK DAN GARMENT, 1968 1992

1) Angka tahunan 2) Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

XI/48

TABEL XI 23 1) KOPERASI PRODUKSI TAHU TEMPE 1968 1992

1) Angka tahunan 2) Angka sementara sampai bulan Juni 1992

XI/51

(8)

Penyaluran Barang Kebutuhan Pokok

Dalam rangka membantu masyarakat golongan ekonomi lemah, terutama di daerah pedesaan, untuk mendapatkan bahan kebutuhan pokok dengan harga yang wajar, sejak awal Repelita III melalui KUD dan Puskud disalurkan pula bahan kebutuhan pokok berupa gula pasir dan tepung terigu. Gula pasir dan tepung terigu yang disalurkan ke masyarakat pada akhir Repelita III masing-masing berjumlah 529,1 ribu ton dan 93,7 ribu ton. Pada akhir Repelita IV, tahun 1988, jumlah gula pasir dan tepung terigu yang disalurkan masing-masing mencapai 552,4 ribu ton dan 201,2 ribu ton atau meningkat sebesar 0,5% untuk gula pasir dan 63,9% untuk tepung terigu dibanding tahun 1987. Khusus untuk tahun 1991, jumlah gula pasir dan tepung terigu yang disalurkan berturut-turut berjumlah 952,2 ribu ton dan 366,9 ribu ton atau hampir dua kali lipat dan hampir empat kali lipat jumlah pada akhir Repelita III (Tabel XI-24). (9) Usaha Pemasaran Jasa Angkutan

Jumlah koperasi yang bekerja di bidang jasa angkutan darat/sungai dalam Tabel XI-25 meningkat dari 108 buah pada akhir Repelita III menjadi 477 buah pada tahun 1992. Sedangkan armada angkutan darat dan sungainya dalam kurun waktu tersebut juga berkembang dengan pesat dari 5.650 unit menjadi 41.616 unit atau naik menjadi lebih dari tujuh kali lipat. Sementara itu jumlah anggota koperasinya naik dari 22,9 ribu orang pada tahun 1983 menjadi 159,3 ribu pada tahun 1992. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, armada angkutan darat dan sungai rata-rata meningkat 37,0% per tahun, yaitu dari 19.341 unit pada tahun 1988 menjadi 41.616 unit pada tahun 1992 (Tabel XI-25). Usaha koperasi angkutan laut menunjukkan perkembangan yang meningkat pula baik dalam jumlah koperasinya maupun jumlah armadanya seperti terlihat dalam Tabel XI-26. Koperasi angkutan laut yang pada akhir Repelita III berjumlah 27 koperasi dengan anggota sebanyak 3,4 ribu orang, pada tahun keempat Repelita V sudah menjadi 62 koperasi dengan anggota sebanyak 5,1 ribu orang. Jumlah armadanya yang pada akhir Repelita III baru sebesar 375 unit, pada tahun keempat Repelita V sudah menjadi 1.050 unit. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V,

XI/50

TABEL XI 24 1) PENYALURAN GULA PASIR DAN TEPUNG TERIGU 1968 1992 (ton)

1) Angka tahunan 2) Dilaksanakan oleh KUD 3) Dilaksanakan oleh Puskud 4) Angka sementara sampai bulan Juni 1992

XI/51

TABEL XI 25 1) USAHA KOPERASI ANGKUTAN DARAT/SUNGAI 1968 1992

1) Angka tahunan 2) Angka sementara sampai bulan Juni 1992

XI/52

TABEL XI 26 1) USAHA KOPERASI ANGKUTAN LAUT 1968 1992

1) Angka tahunan 2) Angka sementara sampai bulan Juni 1992

XI/53

jumlah koperasi angkutan laut meningkat rata-rata sebesar 11,9% per tahun, sedang jumlah anggotanya meningkat rata-rata sebesar 5,3% per tahun. Sejalan dengan peningkatan jumlah koperasi dan anggota tersebut, jumlah armada pada kurun waktu yang sama meningkat sebesar 24,7% per tahun. (10) Pemasaran Jasa Kelistrikan Peranan koperasi dalam pelayanan jasa listrik pedesaan, dilihat baik dari jumlah koperasi yang melayani serta jumlah pelanggannya maupun dari jumlah desa yang dilayani tampak terus meningkat. Jumlah koperasi/KUD yang berpartisipasi dalam pemasaran jasa listrik pedesaan pada akhir Repelita III tercatat 478 koperasi/KUD, melayani 1.394 desa dengan sebanyak 183,3 ribu pelanggan. Pada tahun 1992 jumlah koperasi/KUD yang bekerja dalam pelayanan listrik pedesaan sudah bertambah menjadi 2.232 buah, atau meningkat menjadi lebih dari empat kali lipat, dengan jumlah desa yang dilayani sebanyak 14,5 ribu desa, atau meningkat menjadi lebih dari sepuluh kali lipat, dan jumlah pelanggan sebanyak 6,6 juta rumah, yang meningkat menjadi lebih dari tiga puluh lima kali lipat dibanding akhir Repelita III. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, jumlah koperasi yang berusaha dalam pelayanan listrik pedesaan rata-rata meningkat 21,0% per tahun, yaitu dari 966 koperasi pada tahun 1988 menjadi 2232 koperasi pada tahun 1992; sedangkan jumlah desa dan pelanggannya masing-masing meningkat rata-rata sebesar 44,5% dan 41,6% per tahun, desanya dari 6.593 desa pada tahun 1988 menjadi 14.527 desa pada tahun 1992 dan pelanggannya dari 2.024,5 ribu rumah menjadi 6.586,4 ribu rumah dalam kurun waktu yang sama (Tabel XI-27). Salah satu ukuran yang dipakai untuk menilai hasil pembinaan kelembagaan dan usaha koperasi adalah tercapainya kemandirian KUD yang diterapkan sejak awal Repelita V. Sampai dengan bulan Oktober 1992, jumlah KUD yang dinilai sudah mandiri berjumlah 3.300 KUD, berarti 82,5% dari target maksimal sebanyak 4.000 KUD Mandiri dalam Repelita V. Dengan makin banyaknya KUD Mandiri ini diharapkan kegiatan pembinaan yang sementara ini dilakukan oleh pemerintah secara bertahap akan dapat dilaksanakan oleh KUD Mandiri tersebut. Partisipasi swasta dan BUMN dalam pembinaan koperasi ditunjukkan oleh perkembangan jumlah koperasi yang dibina, dana yang disediakan

XI/54

TABEL XI 27 1) PARTISIPASI KOPERASI DALAM PEMASARAN JASA LISTRIK PEDESAAN 1968 1992

1) Angka tahunan dan merupakan hasil swadaya serta kerjasama dengan PLN 2) Angka sementara sampai bulan Oktober 1992

XI/55

untuk pengembangan koperasi dan jumlah perusahaan yang berpartisipasi dalam pembinaan. Dalam rangka pengembangan usaha koperasi/KUD jumlah koperasi/KUD yang telah memperoleh pembinaan dari BUMN sejak tahun 1990 sampai dengan tahun 1992 adalah sebanyak 2.833 koperasi/ KUD, dengan dana yang digunakan untuk tujuan itu sebesar Rp 51,4 miliar, berasal dari 240 BUMN. Dalam kurun waktu itu perusahaan swasta yang telah menjual sahamnya kepada koperasi berjumlah sebanyak 324 perusahaan, dengan jumlah saham sebanyak 118,9 juta lembar yang dijual kepada 2.782 koperasi/KUD. Jumlah Koperasi/KUD yang telah menerima dividen sampai dengan tahun 1992 ada sebanyak 535 koperasi/KUD dengan nilai dividen sebesar Rp 2,6 miliar. c. Hasil-hasil Kegiatan Penunjang

Dalam rangka menyempurnakan kebijaksanaan pengembangan perkoperasian, maka pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan koperasi terus ditingkatkan. Penelitian dan pengembangan koperasi yang dilakukan sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V dapat dikelompokkan menjadi penelitian yang bersifat kajian untuk menyusun kebijaksanaan pembinaan perkoperasian dan penelitian terapan. Beberapa penelitian yang telah dilaksanakan selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun 1992/93 antara lain adalah: Pengembangan usaha koperasi/KUD di bidang industri kerajinan rakyat, listrik pedesaan, usaha angkutan, pemukiman dan peternakan, Pengembangan Peranan KUD di wilayah PIR-BUN, Evaluasi Pemanfaatan Pelatihan Perkoperasian, Evaluasi Pelaksanaan Pembinaan koperasi/KUD serta Kajian Empirik terhadap Kebijakan Pengembangan Perkoperasian. Selanjutnya, kegiatan penelitian dalam tahun 1992/93 berupa evaluasi pelaksanaan kebijaksanaan perkoperasian dalam kurun waktu PJPT I dan persiapan penyusunan kebijaksanaan perkoperasian dalam PJPT II. Beberapa penelitian dalam tahun 1992/93 tersebut adalah: Kajian Tentang Strategi Pembangunan Koperasi dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, Kajian Tentang Pengembangan Usaha Koperasi Karyawan, Kajian tentang Tindak Pengembangan Sistem Pelatihan dan Penataran Perkoperasian, Evaluasi Sistem Penyuluhan Perkoperasian, Evaluasi Peranan Warung Serba Ada (Waserda) Koperasi/KUD, Kajian tentang Model

XI/56

Pembangunan dan Pengembangan Koperasi/KUD di Wilayah Indonesia Bagian Timur, Kajian tentang Pola Kerja Sama Usaha Antar Koperasi, Studi Pengembangan Peranan KUD Mina dalam Meningkatkan Taraf Hidup Masyarakat Nelayan dan Petani Tambak, Studi Tentang Prospek Usaha Simpan Pinjam/Perkreditan Koperasi Era Deregulasi dan Kajian Peranan KUD dalam Tata Niaga Cengkeh. Melalui beberapa kegiatan penelitian tersebut diharapkan bahwa kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan kebijaksanaan perkoperasian selama PJPT I akan dapat dipelajari dan hasilnya dapat bermanfaat bagi upaya menyempurnakan kebijaksanaan perkoperasian dalam masa mendatang khususnya PJPT II. Pelaksanaan kebijaksanaan perkoperasian baik di bidang kelembagaan maupun di bidang usaha yang telah diuraikan di atas telah menunjukkan hasil-hasil yang cukup menggembirakan. Walaupun selama lima tahun terakhir ini dalam beberapa bidang usaha, seperti penyaluran pupuk, pemasaran kopra dan cengkeh, kegiatan koperasi/KUD menurun, ternyata bahwa usaha koperasi lainnya secara keseluruhan tidak menurun. Hasil-hasil yang telah dicapai tersebut, adalah berkat peran serta dan prakarsa segenap lapisan masyarakat terutama para anggota koperasi. B. PERDAGANGAN DALAM NEGERI 1. PENDAHULUAN

Sesuai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1988 pembangunan perdagangan diarahkan untuk meningkatkan efisiensi perdagangan dalam dan luar negeri sehingga lebih memperlancar arus barang dan jasa, mendorong pembentukan harga yang layak dalam iklim persaingan yang sehat, menunjang usaha peningkatan efisiensi produksi, mengembangkan ekspor, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, meningkatkan dan memeratakan pendapatan rakyat, dan memantapkan stabilitas ekonomi. Di samping itu GBHN juga menetapkan bahwa untuk mewujudkan sistem tataniaga dan distribusi nasional yang efisien dan efektif perlu ditempuh kebijaksanaan perdagangan yang terpadu dan saling mendukung dengan kebijaksanaan di bidang-bidang lainnya. Menjelang pelaksanaan Repelita I, kebijaksanaan ekonomi telah

XI/57

berhasil mengendalikan inflasi serta melaksanakan rehabilitasi prasarana ekonomi utama, yang merupakan syarat mutlak bagi berhasilnya pembangunan ekonomi selanjutnya. Pembangunan perdagangan dalam Repelita I diarahkan untuk menunjang peningkatan produksi dan pendapatan masyarakat serta menjamin kemantapan harga-harga. Kebijaksanaan perdagangan dalam Repelita I dititikberatkan pada. usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi pengadaan dan penyaluran barang dan jasa, mengembangkan prasarana penunjang perdagangan, serta meningkatkan kemampuan lembaga pemasaran. Pembangunan perdagangan dalam Repelita II dan Repelita III diarahkan untuk mewujudkan sistem tata niaga yang lebih menunjang peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan masyarakat serta menjamin adanya kepastian berusaha. Di samping melanjutkan serta memantapkan kebijaksanaan yang ditempuh dalam Repelita I, dalam periode tersebut dikembangkan pula kebijaksanaan untuk memperluas pasaran barang-barang produksi dalam negeri serta mengembangkan dan meningkatkan peranan pedagang golongan ekonomi lemah. Dalam Repelita IV upaya untuk meningkatkan efisiensi perdagangan lebih dikembangkan lagi dengan ditempuhnya kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi, termasuk dalam sektor perdagangan, ke arah makin berfungsinya mekanisme pasar serta makin meningkatnya peran swasta. Kebijaksanaan dasar tersebut sampai dengan tahun keempat Repelita V tetap dilanjutkan dan diperluas serta lebih dimantapkan. Kebijaksanaan yang ditempuh di bidang perdagangan dalam negeri dalam Repelita V diprioritaskan pada: (1) pemantapan pengadaan dan penyaluran barang-barang kebutuhan pokok dan penting bagi seluruh masyarakat, termasuk yang bermukim di daerah terpencil; (2) pemantapan tertib niaga dan kepastian berusaha serta peningkatan perlindungan konsumen; (3) peningkatan kemampuan lembaga-lembaga perdagangan dan pemasaran serta pengembangan sarana dan prasarana penunjang perdagangan; (4) perwujudan pasar yang semakin transparan; dan (5) perluasan pemasaran dan peningkatan daya saing barang-barang hasil produksi dalam negeri. 2. Kebijaksanaan dan Langkah-langkah Kebijaksanaan pokok sebagaimana tersebut di atas dijabarkan dalam berbagai kebijaksanaan operasional dan program-program pembangunan

XI/58

dengan sasaran utama terwujudnya sistem tata niaga dan distribusi nasional yang efektif dan efisien. Langkah-langkah itu dilaksanakan dengan bertumpu pada Trilogi Pembangunan, sehingga sistem tata niaga dan distribusi nasional yang terbentuk tidak saja diharapkan semakin efisien, namun juga tetap berorientasi pada stabilisasi pasar serta berwawasan pemerataan. Sejak Repelita I secara bertahap telah dilaksanakan upaya untuk menyederhanakan berbagai ketentuan dan peraturan yang menghambat kelancaran arus barang dan jasa, serta memperbesar peranan ekonomi pasar. Kecuali untuk beberapa komoditi tertentu yang dianggap strategis bagi kepentingan rakyat banyak dan bagi kelancaran pembangunan pada umumnya, alokasi sumber daya ekonomi dan pembentukan harga sepenuhnya diserahkan pada kekuatan dan mekanisme pasar. Untuk beberapa bahan pokok dan penting tersebut diupayakan pemantapan pola tata niaganya serta pengaturan penyediaan dan penyalurannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga barang-barang tersebut dapat tersedia secara lebih merata dengan harga relatif stabil serta terjangkau oleh daya beli mereka. Pelaksanaan daripada tata niaga terkendali itupun hams tetap mengacu pada bekerjanya mekanisme pasar dan diupayakan agar peran dunia usaha makin meningkat. Stabilisasi harga untuk beberapa komoditi dilaksanakan dengan penetapan Harga Pedoman Setempat (HPS) yang didukung dengan sarana penyangga bagi keperluan operasi pasar untuk mempertahankan harga tersebut. Dalam rangka mendukung program peningkatan produksi nasional misalnya beras, ditetapkan harga dasar untuk menjaga agar harga yang diterima para produsen, khususnya para petani, tetap memberikan kegairahan berproduksi. Dengan meningkatnya kemampuan nasional untuk memproduksi berbagai komoditi yang dibutuhkan masyarakat, secara bertahap ketentuan tata niaga tersebut semakin disederhanakan atau dilonggarkan, bahkan dibebaskan sepenuhnya tanpa campur tangan Pemerintah. Dengan demikian beban birokrasi dan beban pembiayaan untuk pengaturan tata niaga tersebut dapat dikurangi atau ditiadakan. Program pembangunan prasarana transportasi dan komunikasi yang mendapatkan prioritas tinggi sejak. Repelita I sangat penting artinya bagi upaya peningkatan efisiensi perdagangan dan kelancaran arus barang. Sementara itu pembangunan prasarana fisik perdagangan berupa pasar, pertokoan dan pusat-pusat perbelanjaan serta pergudangan, selalu mendapatkan perhatian khusus. Bagi daerah-daerah yang relatif masih XI/59

terpencil, terutama sejak Repelita III, diupayakan penyelenggaraan perdagangan perintis dan pemberian subsidi angkutan sehingga kebutuhan pokok di daerah tersebut tetap terpenuhi dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat setempat. Dalam rangka pelaksanaan deregulasi dan debirokratisasi selama Repelita IV telah dikeluarkan berbagai paket kebijaksanaan yang berkaitan dengan bidang perdagangan, antara lain: Inpres No. 4 Tahun 1985 yang menyangkut kelancaran arus barang; Paket Kebijaksanaan 6 Mei 1986 yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia; paket 24 Desember 1987 tentang kegiatan penanaman modal asing di bidang perdagangan dalam rangka meningkatkan ekspor; dan paket 21 Nopember 1988 yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan produksi dan ekspor serta langkah-langkah ke arah efisiensi bidang angkutan laut. Dalam periode lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi tersebut tetap dilanjutkan dalam bentuk antara lain: paket 28 Mei 1990 dan 3 Januari 1991 yang menyangkut pembebasan beberapa tata niaga komoditi ekspor; paket 6 Juli 1992 yang menyangkut kemudahan impor barang modal; dan Inpres No. 3 Tahun 1991 yang menyangkut penghapusan persyaratan pemberitahuan muat barang dan surat fiskal antar pulau dalam rangka meningkatkan kelancaran arus barang. Selanjutnya uraian lebih rinci daripada kebijaksanaan dan langkahlangkah yang ditempuh dalam perdagangan dalam negeri dapat diikuti dalam paparan di bawah ini. Paparan ini dikelompokkan berdasarkan langkahlangkah yang meliputi: (a) menjaga kemantapan penyaluran dan harga barang, khususnya barang-barang pokok dan penting; (b) menyempurnakan sarana dan prasarana perdagangan; (c) meningkatkan peranan pedagang nasional terutama pedagang golongan ekonomi lemah; dan (d) memperluas pasaran barang-barang produksi dalam negeri. a. Menjaga Kemantapan Penyaluran dan Harga Barang Pada dasarnya sistem distribusi nasional berintikan sistem yang menggunakan mekanisme pasar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, di mana campur tangan Pemerintah terbatas hanya pada bidang atau produk tertentu saja, dan dalam waktu terbatas sesuai dengan perkembangan dinamika pembangunan. Namun demikian, untuk mewujudkan terlaksananya secara efektif pemenuhan kebutuhan pokok

XI/60

masyarakat dan stabilisasi harga, sejak awal Repelita I telah ditempuh berbagai langkah kebijaksanaan yang meliputi pengendalian pengadaan dan penyaluran barang, penetapan harga patokan serta penyederhanaan tata niaga untuk beberapa bahan pokok dan penting. Untuk beberapa bahan pokok dan penting, seperti pupuk, besi baja, semen, kertas koran, cengkeh, garam, gula pasir, minyak goreng dan susu, langkah kebijaksanaan yang ditempuh adalah sebagai berikut: (1) Memantapkan pola pengadaan dan penyaluran pupuk serta mengkaitkannya dengan pembinaan terhadap KUD. Kebijaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk telah dikembangkan sejak Repelita I, terutama dikaitkan dengan program peningkatan produksi pertanian. Pengadaan pupuk, khususnya Urea, semakin lancar setelah secara bertahap industri pupuk dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan. Pola pengadaan dan penyaluran pupuk yang berlaku sampai dengan tahun keempat Repelita V didasarkan kepada pengaturan yang dikeluarkan pada bulan September 1984, yang antara lain menetapkan pembagian wilayah pemasaran pupuk dan pestisida menjadi 4 kelompok wilayah. Selanjutnya setelah tahun 1988/89, yaitu tahun terakhir Repelita IV, kebijaksanaan tersebut disempurnakan dengan penentuan bahwa: (a) penyaluran pupuk bersubsidi untuk keperluan program intensifikasi dan non intensifikasi dilakukan oleh PT Pusri sebagai penanggung jawab pelaksana; (b) pengadaan dan penyaluran pupuk mulai dari Lini I sampai Lini IV, serta besarnya stok minimal yang harus tersedia di gudang Lini III dan Lini IV, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah; dan (c) penjualan eceran pupuk dari Lini IV kepada petani dilakukan oleh KUD Pengecer atau pengecer yang ditunjuk oleh KUD Penyalur bekerja sama dengan kelompok tani. Penyesuaian harga pupuk tetap dilakukan secara berkala, dengan mengaitkannya dengan harga dasar hasil produksi dan secara bertahap mengurangi beban subsidi Pemerintah. Menjaga kelancaran pengadaan dan penyaluran besi baja, termasuk pengaturan impor dan pemasaran dalam negeri melalui PT Krakatau Steel. Pengaturan tersebut secara bertahap makin dilonggarkan, antara lain melalui paket deregulasi 3 Juni 1991. Kebijaksanaan ini ditempuh di samping untuk memantapkan harganya, juga untuk XI/61

(2)

mendorong peningkatan efisiensi industri dalam negeri tanpa meniadakan sepenuhnya perlindungan bagi beberapa produk tertentu. Dengan dikeluarkannya paket deregulasi tersebut, impor besi baja di samping dilakukan oleh PT Krakatau Steel, juga dapat dilakukan oleh importir produsen yang memerlukan besi baja guna kepentingan proses produksinya. (3) Menjaga kelancaran tata niaga dan stabilisasi harga semen di tingkat konsumen. Langkah kebijaksanaan tersebut telah ditempuh sejak Repelita I dan kemudian disempurnakan pada tahun 1982. Langkah penyempurnaan itu mencakup: (a) pemantapan pola penyaluran semen antar pulau dan antar daerah; dan (b) pengamanan penyediaan semen melalui impor. Selanjutnya pada tahun 1984 dilakukan lagi penyempurnaan, yang pengaturannya berlaku sampai saat ini, meliputi: (a) pengadaan dan penyaluran dari pabrik semen ke wilayah pemasaran masing-masing dilakukan sesuai kesepakatan bersama, dengan menggunakan penetapan Harga Pedoman Setempat (HPS) di tingkat ibu kota propinsi; dan (b) melaksanakan monitoring atas suplai, stok dan harga eceran di daerah-daerah secara periodik. Menjaga stabilitas harga dan penyaluran kertas koran dalam negeri melalui penyesuaian harga jual di tingkat gudang penerbit. Kebijaksanaan pembatasan impor kertas koran dilaksanakan berkaitan dengan usaha pengembangan industri kertas koran di dalam negeri. Kebijaksanaan mengimpor kertas koran dilakukan. sampai dengan tahun terakhir Repelita III, karena setelah tahun tersebut kebutuhan kertas koran sudah dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Dalam tahun keempat Repelita IV sebagian kertas koran sudah mulai di ekspor. Menyempurnakan sistem tata niaga cengkeh dengan tujuan untuk menjamin pendapatan petani, menjaga stabilitas harga cengkeh dan memantapkan penyediaan bahan baku cengkeh bagi kebutuhan industri rokok kretek dalam negeri. Pengaturan tata niaga cengkeh yang dilakukan sejak Repelita III meliputi penetapan harga cengkeh, pengangkutan cengkeh antar pulau, dan pembelian cengkeh dari petani. Selama lima tahun terakhir kebijaksanaan tata niaga cengkeh terus dievaluasi dan disempurnakan. Penyempurnaan tata niaga cengkeh yang diusahakan meliputi: (a) peningkatan peranan KUD dalam melakukan pembelian cengkeh dari petani;

(4)

(5)

XI/62

(b) pembentukan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) sebagai badan pelaksana tata niaga cengkeh, yang melakukan kegiatan pembelian, penyanggaan dan penjualan cengkeh; dan (c) penetapan harga dasar pembelian cengkeh di tingkat petani. (6) Mengusahakan penyempurnaan tata niaga garam melalui penyesuaian harga dasar pembelian garam dari petani produsen garam, penetapan standar kualitas dan penetapan Harga Pedoman Setempat (HPS), dan pelaksanaan yodisasi garam konsumsi (penambahan kadar yodium). Langkah kebijaksanaan ini telah dilakukan sejak Repelita III dan masih dilanjutkan sampai dengan tahun keempat Repelita V. Kebijaksanaan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup petani produsen garam dan menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah tangga akan garam konsumsi dan keperluan industri akan garam sebagai bahan baku. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengadaan dan penyaluran bahan baku minyak goreng untuk kebutuhan dalam negeri, sehingga harga minyak goreng tetap berada pada tingkat yang wajar sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat banyak. Kebijaksanaan yang telah ditempuh sejak tahun pertama Repelita III tersebut sampai tahun keempat Repelita V masih diteruskan. Mengusahakan terjaminnya keseimbangan antara pemasaran bahan baku susu produksi dalam negeri dan pengembangan Industri Pengolah Susu UPS), yaitu dengan mewajibkan semua IPS untuk memiliki bukti serap (Busep) susu segar. Dengan memiliki Busep berarti perusahaan yang bersangkutan telah melakukan pembelian susu segar yang diproduksi oleh peternak melalui koperasi. Selanjutnya Busep dapat digunakan sebagai dasar perhitungan untuk menetapkan besarnya impor bahan baku susu yang diizinkan. Besarnya rasio impor bahan baku susu terhadap besarnya pembelian susu dalam negeri disesuaikan secara periodik sesuai dengan peningkatan produksi susu segar di tingkat peternak. Kebijaksanaan tersebut sudah dijalankan sejak tahun ketiga Repelita III dan sampai tahun keempat Repelita V masih dilanjutkan. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas tata niaga gula pasir, sehingga kebutuhan akan gula pasir di dalam negeri dapat dipenuhi dengan XI/63

(7)

(8)

(9)

harga yang wajar baik bagi konsumen maupun bagi produsen. Kebijaksanaan tata niaga gula pasir yang dijalankan sampai dengan tahun keempat Repelita V didasarkan pada penyempurnaan atas pengaturan yang dikeluarkan sejak Repelita III, yang menyangkut baik sistem tata niaganya maupun penetapan harga patokannya. Sistem tata niaga gula pasir tersebut meliputi: (a) Pengadaan dan penyaluran gula pasir baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor dilakukan oleh Bulog; dan (b) Penetapan secara berkala harga gula pasir. b. Menyempurnakan Sarana dan Prasarana Perdagangan Pembangunan prasarana perdagangan merupakan salah satu upaya penting dalam rangka mewujudkan pola pengadaan dan penyaluran barang yang efisien dan efektif. Kebijaksanaan pembangunan di bidang prasarana fisik perdagangan meliputi: (1) Peningkatan penyediaan dan pemanfaatan pasar, pertokoan serta pusat perbelanjaan dan sarana angkutan serta pergudangan, terutama dengan mendorong berkembangnya partisipasi pengusaha swasta; dan (2) Peningkatan pelaksanaan pembangunan pasar percontohan di daerah terpencil, daerah perbatasan dan daerah transmigrasi. Dalam tahun-tahun 1988/89-1992/93 langkah kebijaksanaan yang telah ditempuh dalam pengembangan prasarana kelembagaan perdagangan tetap dilanjutkan. Kebijaksanaan tersebut diarahkan untuk mewujudkan tertib usaha dan tertib niaga, serta kepastian berusaha dan perlindungan konsumen. Langkah-langkah kebijaksanaan yang dilakukan antara lain: (1) Meningkatkan pelaksanaan Undang-undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (WDP) dengan lebih mendorong para pengusaha agar melaksanakan kewajiban untuk mendaftarkan perusahaan mereka dan menekankan kepada mereka betapa penting arti informasi tentang perusahaan mereka untuk pengembangan dunia usaha pada umumnya. Meningkatkan pelaksanaan Undang-undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, dengan melakukan berbagai upaya, antara lain: (a) memberlakukan ketentuan untuk tera dan tera ulang alai-alat Ukur, Timbang, Takar dan Perlengkapannya (UTTP), termasuk yang dipergunakan dalam usaha ketenagalistrikan dan dalam operasi

(2)

XI/64

pertambangan minyak dan gas bumi; dan (b) meningkatkan kegiatan penyuluhan dan pengawasan serta memperlancar pemberian izin tanda pabrik kepada pabrik/perusahaan yang memproduksi alat-alat UTTP, serta izin tipe peralatan yang diimpor; dan (c) melakukan pengawasan terhadap barang yang diperjualbelikan dalam keadaan terbungkus (BDKT). (3) Menciptakan dan mengembangkan iklim yang dapat mendorong peningkatan peranan dunia usaha dan menjamin kepastian berusaha, melalui upaya penyederhanaan pemberian Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), yang telah dirintis sejak Repelita II. Mulai tahun 1984 ditetapkan bahwa SIUP yang diterbitkan berlaku di seluruh wilayah Indonesia dan berlaku selama perusahaan yang memperolehnya masih menjalankan kegiatan usahanya. Kebijaksanaan penyederhanaan SIUP tersebut sejak tahun 1988 lebih disempurnakan lagi dengan mempercepat proses penerbitan SIUP, yaitu selambat-lambatnya 7 hari sejak diterimanya Surat Permohonan Izin (SPI) yang memenuhi syarat. Di samping itu, SIUP yang diterbitkan dapat dipergunakan untuk melakukan kegiatan perdagangan baik dalam negeri maupun ekspor, dan berlaku baik bagi perusahaan kecil, perusahaan menengah maupun perusahaan besar; lagi pula tidak diadakan perbedaan antara SIUP barang dan SIUP jasa. Meningkatkan kemampuan dan peranan lembaga informasi perdagangan, dalam rangka menciptakan pasar yang lebih transparan, sehingga lembaga tersebut secara efektif mampu berfungsi mengumpulkan, menganalisa serta menyebarluaskan informasi pasar, baik mengenai informasi harga dan non harga, maupun informasi mengenai peraturan dan kebijakan yang berlaku. c. Meningkatkan Peranan Pedagang Nasional dan Pedagang Golongan Ekonomi Lemah

(4)

Sebagai upaya untuk mewujudkan peningkatan peran serta masyarakat dan partisipasi pengusaha nasional, termasuk pedagang golongan ekonomi lemah, dalam kegiatan-kegiatan perdagangan baik lokal, nasional, maupun antar negara, selama tahun-tahun 1969/70-1988/89, telah ditempuh langkah-langkah berikut: XI/65

(1)

Menetapkan dan memantapkan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1977, yang telah ditempuh sejak Repelita II, tentang kewajiban bagi perusahaan asing di luar negeri yang akan memasarkan produknya ke pasaran Indonesia untuk menunjuk perusahaan nasional sebagai agen/distributor. Meningkatkan pelaksanaan pembinaan golongan ekonomi lemah, terutama keikutsertaan mereka dalam pemborongan dan pengadaan barang Pemerintah. Memupuk jiwa kewiraswastaan serta mengembangkan kegiatan usaha di bidang perdagangan melalui kegiatan pelatihan, temu usaha dan konsultasi usaha. Meningkatkan bantuan dan kemudahan bagi para pedagang golongan ekonomi lemah sebagai tindak lanjut dari pada kegiatan pelatihan, penyuluhan dan konsultasi, antara lain berupa: (a) penyediaan tempat berusaha yang layak; (b) pemberian kemudahan dalam perizinan terutama bagi pedagang kecil dan menengah; dan (c) pengikutsertaan pengusaha kecil dan menengah dalam kegiatan perdagangan sebagai penyalur dan pengecer dari persero niaga.

(2)

(3)

(4)

Dalam tahun-tahun 1989/90-1992/93 langkah-langkah kebijaksanaan tersebut di atas ini makin dimantapkan. Di samping itu, penyediaan kredit bagi pengusaha kecil juga ditingkatkan dengan dikeluarkannya Paket Kebijaksanaan 20 Januari 1990, yang antara lain menetapkan bahwa 20% dari kredit yang disediakan oleh sektor perbankan agar disalurkan untuk Kredit Usaha Kecil (KUK). d. Memperluas Pasaran Barang-barang Produksi Dalam Negeri

Langkah-langkah untuk memperluas pemasaran barang-barang produksi dalam negeri telah diusahakan sejak awal Repelita II dengan diberikannya berbagai kemudahan yang kemudian diatur melalui Keppres No. 14 Tahun 1979. Keppres ini kemudian disempurnakan dengan Keppres No. 14A Tahun 1980, dengan Keppres No. 18 Tahun 1981, dan yang terakhir dengan Keppres No. 29 Tahun 1984.

XI/66

Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V pelaksanaan Keppres No. 29 Tahun 1984 terus dimantapkan. Dalam Keppres itu antara lain ditetapkan bahwa: (a) setiap pekerjaan pemborongan/ pembelian barang oleh Departemen/Lembaga Pemerintah wajib memprioritaskan penggunaan hasil produksi dalam negeri; (b) setiap Departemen/ Lembaga Pemerintah yang dalam melakukan kegiatannya memerlukan jasa, wajib memprioritaskan penggunaan jasa kontraktor dan atau konsultan nasional; dan (c) dalam pekerjaan pemborongan/pembelian barang dan jasa oleh Pemerintah yang bersumber dari. APBN dan dana bantuan luar negeri harus diusahakan agar produsen, kontraktor dan konsultan nasional dapat diikutsertakan. Dalam rangka membantu mempromosikan hasil produksi dalam negeri, serta merangsang peranan produsen kecil dan golongan ekonomi lemah dalam meningkatkan produksinya, penyelenggaraan pameran dagang baik di pusat maupun di daerah-daerah terus ditingkatkan. Partisipasi produsen kecil dalam penyelenggaraan pameran-pameran juga makin diperluas. Penyelenggaraan informasi pasar, baik informasi yang menyangkut harga maupun aspek pemasaran yang lain, dalam tahun-tahun 1988/89-1992/93 terus ditingkatkan baik dalam cakupan jenis informasinya maupun dalam cakupan wilayahnya. Selain untuk mendorong memperlancar arus barang dan jasa, upaya penyebarluasan informasi pasar juga dimaksudkan untuk membantu memperluas pasaran bagi barang-barang produksi dalam negeri. 3. Hasil-hasil Pelaksanaan Pelaksanaan dari berbagai langkah kebijaksanaan yang ditempuh di bidang perdagangan dalam negeri tersebut di atas, telah memberikan hasilhasil yang dapat digambarkan sebagaimana diuraikan di bawah ini. a. Umum Sejalan dengan laju pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi nasional sejak Repelita I, maka peranan dan sumbangan sektor perdagangan menjadi semakin penting pula. Di samping peranannya yang cukup besar dalam memperlancar arus barang dan jasa serta mengusahakan dan menjaga XI/67

stabilisasi harga melalui pengembangan pasar yang semakin transparan dan kompetitif, sumbangan sektor perdagangan tercermin pula dalam peningkatan nilai tambah yang dihasilkan serta dalam penyerapan tenaga kerja. Laju inflasi yang berhasil dikendalikan bukan saja secara makro tetapi juga di daerah-daerah, yang secara geografis tersebar begitu luas, tidak lepas kaitannya dengan semakin berfungsinya sistem pemasaran dan distribusi nasional. Secara makro laju inflasi sejak Repelita I telah cenderung menurun. Tingkat inflasi rata-rata dalam periode 1970-1979 adalah 17,2%, sedangkan dalam periode 1980-1989 adalah 8,7%. Dalam 10 tahun terakhir sampai dengan tahun 1992 angka rata-rata tersebut adalah 7,6%, sedangkan dalam lima tahun terakhir 6,9%. Selama 12 tahun terakhir sejak 1981 bangsa Indonesia telah berhasil mengendalikan laju inflasi di bawah dua digit, kecuali pada tahun 1983 yang mencapai 11,5%. Sementara itu laju inflasi di daerah-daerah, yang ditunjukkan oleh data inflasi di 17 ibu kota propinsi sejak tahun 1979 dan di 27 propinsi sejak tahun 1990, juga terlihat cukup terkendali. Sistem pemasaran dan distribusi nasional yang berkembang hingga tahun kelima Repelita V terbukti mampu menunjang sektor-sektor produksi serta menyalurkan hasil produksinya untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri maupun ekspor. Volume dan ragam serta lokasi komoditi-komoditi yang disalurkan telah berkembang dengan begitu pesat sejak Repelita I. Produksi padi, misalnya, pada tahun 1992 mencapai sekitar 47,3 juta ton gabah kering giling atau telah meningkat menjadi 2,8 kali lipat dibandingkan produksinya tahun 1968. Hasil produksi yang bersifat musiman tersebut harus dikumpulkan, diolah, disimpan dan disalurkan oleh lembaga pemasaran kepada konsumen di seluruh tanah air. Harga yang terbentuk harus tetap menggairahkan produsen, tidak memberatkan konsumen dan memberikan keuntungan yang wajar kepada para pelaku niaga. Sementara itu kebutuhan pupuk Urea dan TSP bagi usaha peningkatan produksi pertanian dalam lima tahun terakhir rata-rata tidak kurang dari 4,7 juta ton per tahun. Pengadaan pupuk yang berasal dari produksi 6 buah pabrik harus didistribusikan secara tepat jenis, tepat waktu maupun tepat jumlahnya kepada jutaan petani yang tersebar di seluruh wilayah. Sedangkan untuk semen, yang pengadaannya berasal dari produksi 10 buah pabrik

XI/68

dan yang volumenya pada tahun 1992 menjadi 17,8 juta ton atau meningkat dari 43 kali lipat dibandingkan produksi tahun 1968, harus disalurkan ke berbagai pelosok tanah air yang sedang membangun. Sebagian dari produksi semen tersebut perlu diekspor, namun jumlahnya dimonitor terus sehingga persediaan dalam negeri tetap aman. Demikian pula produk-produk lain yang telah berkembang pesat sebagaimana diuraikan pada bab-bab terdahulu, khususnya industri pengolahan, yang memerlukan penyediaan sarana produksi serta pemasaran hasil secara lancar dan , efisien, kesemuanya telah berhasil dilayani secara efektif oleh jasa sektor perdagangan tanpa timbul gejolak harga yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemasaran dan distribusi nasional, termasuk sistem pergudangan, transportasi, komunikasi, informasi pasar dan pembiayaan yang mendukungnya, telah mampu berfungsi secara efektif. Perkembangan sistem jaringan pengadaan dan distribusi nasional yang cukup mantap tersebut semakin memperkokoh kesatuan ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan Wawasan Nusantara. Perkembangan kegiatan sektor perdagangan telah memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha anggota masyarakat serta meningkatkan nilai tambah. Sektor perdagangan termasuk hotel dan restoran, antara tahun-tahun 1969-1991 telah tumbuh dengan 7,7% per tahun, sedangkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kurun waktu yang sama adalah 6,8%. Angka pertumbuhan sektor perdagangan antara tahun 1969-1983 adalah sebesar 8,1% per tahun, kemudian sebesar 6,5% dalam tahun-tahun 1983-1987 dan sebesar 8,0% dalam tahun-tahun 1987-1991. Ini berarti bahwa pertumbuhan sektor perdagangan rata-rata lebih besar dari pertumbuhan ekonomi nasional, yang dalam tiga periode tersebut masing-masing sebesar 7,2%, 5,2% dan 6,7%. Dengan tingkat pertumbuhan itu sumbangan sektor perdagangan dalam Produk Domestik Bruto (PDB) dalam tahun 1971 adalah sebesar 17,5 %, sedangkan dalam tahun-tahun 1980 dan 1990 masing-masing menjadi sebesar 15,3% dan 17,2%. Sedangkan dalam tahun 1991 sumbangan sektor perdagangan sedikit menurun menjadi 16,6% dibandingkan dengan tahun 1990. Penurunan sumbangan relatif sektor perdagangan terhadap PDB ini terjadi sebagai akibat berlangsungnya pertumbuhan yang lebih tinggi pada sektor-sektor lain, seperti halnya tenaga listrik, keuangan dam industri pengolahan.

XI/69

Sebagai akibat dari pertumbuhan sektor perdagangan yang cukup pesat seperti tersebut di atas, maka kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor perdagangan juga meningkat. Dari hasil sensus penduduk tercatat bahwa angkatan kerja yang terserap dalam sektor perdagangan, termasuk hotel dan restoran, dalam tahun 1971 adalah sebesar 4,3 juta orang atau 10,3% dari jumlah angkatan kerja yang bekerja. Sedangkan dalam tahun 1980 dan 1990 angka tersebut masing-masing telah meningkat menjadi 6,6 juta orang atau 12,9% dari jumlah penyerapan tenaga kerja dan 10,6 juta orang atau 14,7% dari jumlah penyerapan tenaga kerja. Dengan demikian sektor perdagangan telah memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam penyerapan tenaga kerja selama tahun-tahun 1971-1990 tersebut. Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam sektor perdagangan telah meningkat dengan sebanyak 2,3 juta orang dalam tahun 1971-1980 atau meningkat dengan ratarata 5,0% per tahun, dan meningkat dengan sekitar 4,0 juta orang dalam tahun 1980-1990 atau meningkat dengan 4,8% per tahun. Hal ini peningkatan penyerapan tenaga kerja secara nasional yang dua periode tersebut masingmasing adalah 2,4% dan 3,4% per tahun. b. Perkembangan Aspek-aspek Khusus

(1) Menjaga Kemantapan Penyaluran dan Harga Barang Pada umumnya pengadaan dan penyaluran bahan pokok dan bahan penting dalam periode 1969/70-1992/93 berjalan cukup lancar, dan harga yang terbentuk relatif stabil dan cukup terkendali. Terkendalinya harga-harga bahan pokok dan penting tersebut telah memberikan sumbangan yang besar dalam rangka pengendalian inflasi. Dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, selain memantapkan kebijaksanaan yang sudah dijalankan sebelumnya, dilanjutkan pula langkah-langkah kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi untuk merangsang meningkatnya peran serta masyarakat, khususnya dunia usaha. Selama lima tahun terakhir ini pelaksanaan pembangunan bidang perdagangan dalam negeri telah menunjukkan perkembangan yang semakin berarti, terutama dalam penyederhanaan sistem tata niaga dan distribusi nasional yang semakin berorientasi pada mekanisme pasar. Perkembangan tersebut ditunjukkan antara lain oleh semakin lancar dan meluasnya pemasaran barang-barang di seluruh wilayah Indonesia, khususnya barang-barang pokok kebutuhan rakyat banyak dan bahan penting

XI/70

lainnya. Bahkan di daerah-daerah tertentu yang masih menghadapi masalah sarana dan prasarana transportasi pun, tidak terjadi gejolak harga yang melampaui kewajaran. Perkembangan penyaluran pupuk Urea dan TSP sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1992/93 tampak dalam Tabel XI-28. Perkembangan harga eceran besi beton di Jakarta sejak tahun 1968 sampai dengan tahun keempat Repelita V disajikan dalam Tabel XI-29. Sedangkan perkembangan harga eceran semen, minyak goreng, gula pasir, minyak tanah dan tekstil kasar sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992/93 di kota-kota Jakarta, Medan dan Surabaya disajikan dalam Tabel XI-30 sampai dengan Tabel XI-34. (a) Pupuk Pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi, terutama jenis pupuk Urea dan TSP, dari tahun ke tahun semakin mantap. Tabel XI-28 menunjukkan perkembangan penyaluran pupuk Urea dan pupuk TSP sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1992/93. Dengan semakin efisiennya tata niaga pupuk, penyaluran pupuk Urea dan pupuk TSP terus meningkat. Pada tahun 1969 penyaluran pupuk Urea dan pupuk TSP masing-masing baru sebesar 307,9 ribu ton dan 48,6 ribu ton, kemudian pada tahun 1992/93 (sampai Agustus 1992) angka tersebut masing-masing telah mencapai 1.232,2 ribu ton dan 456,0 ribu ton. Dalam tahun 1991/92 penyaluran pupuk Urea dan pupuk TSP masing-masing mencapai 3.070,5 ribu ton dan 1.302,6 ribu ton, dibanding dengan penyaluran tahun 1987/88 masing-masing meningkat sebesar 9,4% dan 7,8%, sedangkan dibanding dengan tahun terakhir Repelita IV penyaluran kedua jenis pupuk tersebut masing-masing meningkat 6,5% dan 3,0%. Penyaluran pupuk Urea dalam tahun-tahun 1988/89, 1989/90 dan 1990/91 sebesar 2.881,9 ribu, 2.982,0 ribu ton dan 3.116,2 ribu ton, sedang penyaluran pupuk TSP dalam tahun-tahun tersebut sebesar 1.264,1 ribu ton, 1.307,1 ribu ton dan 1.249,6 ribu ton. Dibandingkan dengan tahun 1990/91 penyaluran pupuk Urea dalam tahun 1991/92 mengalami penurunan sebesar 1,5%, yang antara lain karena terjadinya kekeringan di beberapa daerah sebagai akibat musim kemarau yang cukup panjang dalam tahun tersebut.

XI/71

TABEL XI - 28 1) REALISASI PENYALURAN PUPUK 1969 - 1992/93 (ribu ton)


Akhir Jenis Pupuk 1969 Repelita I (1973174) Akhir (1978179) Akhir 1987/88 (1983/84) Akhir Repelita IV (1988/89) 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 Repelita V 2)

Repelita II Repelita III

1. U R E A

307,9

668,0

1.019,6

3.321,8

2.806,6

2.881,9

2.982,0

3.116,2

3.070,5

1.232,2

2. TSP

48,6

134,0

267,6

1.232,2.

1.208,6

1.264,1

1.307,1

1.249,6

1.302,6

456,0

1) Angka tahunan

2)

Data sampai dengan Agustus 1992

XI/72

TABEL XI - 28 REALISASI PENYALURAN PUPUK 1969 - 1992/93 (ribu ton) 1)

XI/73

Adanya penyesuaian harga pupuk setiap tahun, seperti halnya peningkatan harga pupuk Urea dan ZA dari Rp 210/Kg menjadi Rp 220/Kg pada tahun 1991/92, dan kemudian ditingkatkan lagi menjadi Rp 240/kg pada tahun 1992/93, adalah sejalan dengan kebijaksanaan pengurangan subsidi pupuk secara bertahap. Penyesuaian harga pupuk tersebut dibarengi dengan penyesuaian harga produk, sehingga pengaruh peningkatan harga pupuk tersebut terhadap permintaan pupuk tidak besar. (b) Besi Beton

Tabel XI-29 menunjukkan perkembangan harga eceran rata-rata besi beton sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992/93 di Jakarta. Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992/93 rata-rata harga eceran besi beton cenderung meningkat, hal ini karena adanya penyesuaian harga yang ditempuh, tetapi gejolak harga yang terjadi terus menurun. Dalam tahun 1968 perbedaan harga terendah dengan harga tertinggi mencapai 483,2%, sedang pada tahun-tahun 1973/74, 1978/79, 1983/84 dan 1987/88 angka tersebut secara berurutan sebesar 82,6%, 54,4%, 18,6% dan 9,2%. Selama lima tahun terakhir pada umumnya perkembangan harga eceran besi beton yang terjadi masih pada tingkat yang wajar, walaupun terjadi sedikit gejolak harga terutama pada tahun-tahun 1990/91 dan 1991/92 yaitu sebesar 11,6% dan 18,2%, namun pada tahun 1992/93 gejolak tersebut dapat ditekan dan menjadi sebesar 2,0%. Hal ini menunjukkan semakin mantapnya pengadaan dan penyaluran barang tersebut, termasuk pengadaan dari impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan demikian pelaksanaan Paket Deregulasi 3 Juni 1991 yang juga menyangkut kebijaksanaan pengadaan besi beton telah memberikan hasil yang positip dalam usaha menjamin peningkatan efisiensi dan kemantapan harga barang tersebut. (c) Semen

Tabel XI-30 menggambarkan perkembangan harga eceran rata-rata semen sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992/93 di Medan, Jakarta dan Surabaya. Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992/93 rata-rata harga eceran semen di tiga tempat tersebut terus meningkat, namun gejolak harga yang terjadi cenderung menurun. Pada tahun terakhir Repelita I perbedaan harga tertinggi dengan harga terendah di Medan, Jakarta dan Surabaya masing-masing sebesar 134,5%, 254,9% dan 195,9%, sedang pada tahun 1987/88 angka tersebut telah menurun menjadi 4,3%, 6,1% dan

XI/74

TABEL XI - 29 1) PERKEMBANGAN RATA-RATA HARGA ECERAN BESI BETON DI JAKARTA 1968 - 1992/93 (Rp/kg)

1) 2)

Angka diperbaiki Angka sementara s/d Oktober 1992

XI/75

TABEL XI - 30 1) PERKEMBANGAN RATA-RATA HARGA ECERAN SEMEN DI MEDAN, JAKARTA DAN SURABAYA 1968 - 1992/93 (Rp/karung)

1) 2)

Angka diperbaiki Angka sementara s/d Oktober 1992

XI/76

1,9%. Demikian pula, selama lima tahun terakhir, pada umumnya harga eceran semen tetap mantap, begitu pula gejolak harga dan perbedaan harga antara kota masih berada dalam batas kewajaran. Hal ini menunjukkan bahwa pengadaan dan penyaluran semen dalam negeri cukup mantap dan semakin efisien. (d) Minyak Goreng

Tabel XI-31 memperlihatkan perkembangan harga eceran rata-rata minyak goreng sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992/93 di Medan, Jakarta dan Surabaya. Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992/93 rata-rata harga eceran minyak goreng di tiga tempat tersebut terus meningkat, namun gejolak harga yang terjadi cenderung menurun. Pada akhir Repelita I perbedaan antara harga tertinggi dengan harga terendah di Medan, Jakarta dan Surabaya masing-masing sebesar 225,5%, 175,9% dan 184,8%, pada akhir Repelita III angka tersebut masing-masing turun menjadi 100,0%, 89,8% dan 69,8%, kemudian pada tahun 1987/88 angka tersebut turun lagi masing-masing menjadi 0,0%,17,0% dan 3,3%. Dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V walaupun terjadi kenaikan harga eceran minyak goreng di tiga kota besar itu, terutama pada tahun 1991/92 untuk triwulan keempat, namun pada umumnya perbedaan antara harga terendah dengan harga tertinggi masih dalam kewajaran. Lonjakan kenaikan harga minyak goreng pada triwulan keempat tahun 1991/92 tersebut, yang kemudian turun lagi pada triwulan ketiga tahun 1992/93 (kecuali untuk Surabaya), terutama disebabkan antara lain oleh: (a) Kenaikan harga bahan baku minyak nabati di pasaran dalam negeri sebagai akibat adanya musim kering yang panjang, yang mempengaruhi tingkat produksi kelapa sawit; (b) Dibebaskannya tata niaga kopra sehingga mendorong ekspor kopra sehingga mempengaruhi penyediaan bahan baku minyak nabati. Menurunnya kembali harga minyak goreng untuk Surabaya mulai triwulan pertama tahun 1992/93 adalah karena pengadaan bahan baku kopra di daerah tersebut sudah normal kembali. (e) Gula Pasir

Tabel XI-32 menunjukkan perkembangan harga eceran rata-rata gula pasir sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992/93 di Medan, Jakarta dan Surabaya. Dalam periode 1968-1992/93 walaupun terjadi kenaikan harga gula pasir, namun gejolak harga yang terjadi masih pada tingkat yang wajar, XI/77

TABEL XI - 31 1) PERKEMBANGAN RATA-RATA HARGA ECERAN MINYAK GORENG DI MEDAN, JAKARTA DAN SURABAYA 1968 - 1992/93 (Rp/botol)

1)

Angka sementara s/d Oktober 1992

XI/78

TABEL XI - 32 1) PERKEMBANGAN RATA-RATA HARGA ECERAN GULA PASIR DI MEDAN, JAKARTA DAN SURABAYA 1968 - 1992/93 (Rp/kg)

1)

Angka sementara s/d Oktober 1992

XI/79

kecuali untuk Jakarta dan Surabaya dalam tahun 1968. Dalam tahun 1968 perbedaan harga tertinggi dengan harga terendah di Medan, Jakarta dan Surabaya masing-masing sebesar 16,6%, 74,3% dan 110,1%, sedang dalam tahun 1987/88 angka tersebut masing-masing menjadi 19,3%, 8,0% dan 11,3%. Dalam periode lima tahun terakhir harga eceran gula pasir pada umumnya cukup mantap, yang terlihat pada kecenderungan menurunnya gejolak harga di kota-kota tersebut. Perbedaan harga terendah dengan harga tertinggi di Medan, Jakarta dan Surabaya dalam tahun 1988/89 masing-masing sebesar 6,8%, 8,4% dan 8,7%, tahun 1991/92 sebesar 9,1%, 0,6% dan 6,5%, sedang dalam tahun 1992/93 perbedaan tersebut masing-masing sebesar 8,3 %, 0,9% dan 6,5%. Mantapnya harga gula pasir tersebut, karena selama ini telah diberlakukan sistem tata niaga gula pasir dengan penyesuaian harga secara berkala. Langkah kebijaksanaan tersebut mulai efektif sejak Repelita III dan terus dimantapkan sampai dengan tahun keempat Repelita V. Selama lima tahun terakhir ini telah dilakukan penyesuaian harga jual gula of-pabrik sebagai berikut: tanggal 1 Agustus 1989 sebesar Rp 74.300/kuintal; tanggal 1 April 1990 sebesar Rp 81.259/kuintal; dan tanggal 29 April 1991 sebesar Rp 90.200/kuintal. Dengan demikian sistem tata niaga tersebut telah memberikan hasil positip dalam rangka menjaga stabilitas harga dan mempertahankan tingkat harga yang sesuai dengan daya beli masyarakat serta menjamin pendapatan petani tebu dan pabrik gula pada tingkat yang cukup wajar. (f) Minyak Tanah Tabel XI-33 menunjukkan perkembangan harga eceran rata-rata minyak tanah sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992/93 di Medan, Jakarta dan Surabaya. Dalam periode 1968-1992/93 kenaikan harga minyak tanah yang terjadi pada umumnya karena adanya penyesuaian harga yang dilakukan oleh Pemerintah, namun gejolak harga yang terjadi dalam periode tersebut cenderung menurun. Dalam tahun 1968 perbedaan harga terendah dengan harga tertinggi di Medan, Jakarta dan Surabaya masing-masing sebesar 169,0%, 18,6% dan 85,6%, dalam tahun 1973/74 angka tersebut masing-masing menjadi 42,1 %, 9,9% dan 91,7%, sedang dalam tahun 1987/88 untuk ketiga tempat tersebut tidak terjadi perbedaan. Dalam lima tahun terakhir, pada umumnya harga-harga eceran minyak tanah mantap dan cukup terkendali, walaupun terjadi kenaikan harga, namun gejolak yang

XI/80

TABEL XI - 33 1) PERKEMBANGAN RATA-RATA HARGA ECERAN MINYAK TANAH DI MEDAN, JAKARTA DAN SURABAYA 1968 - 1992/93 (Rp/botol)

1) Angka sementara s/d Oktober 1992

XI/81

terjadi masih pada tingkat yang wajar. Kenaikan harga minyak tanah yang terjadi di kota-kota tersebut merupakan akibat dari adanya kebijaksanaan nasional tentang penyesuaian harga. (g) Tekstil Kasar

Tabel XI-34 menunjukkan perkembangan harga eceran rata-rata tekstil kasar sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992/93 di Medan, Jakarta dan Surabaya. Dalam periode 1968-1992/93 di kota-kota tersebut rata-rata harga tekstil naik dari tahun ke tahun, namun gejolak harga yang terjadi cukup terkendali. Dalam tahun 1968 perbedaan harga terendah dengan harga tertinggi di kota-kota tersebut masing-masing sebesar 3,7%, 28,5% dan 5,7%, dalam tahun 1973/74 angka tersebut sebesar 54,1%, 64,6% dan 64,0%, kemudian dalam tahun 1987/88 gejolak harga yang terjadi hanya di Surabaya yaitu sebesar 22,5%. Dalam lima tahun terakhir sampai dengan Repelita V walaupun masih terjadi kenaikan harga tekstil kasar, khususnya dalam tahun 1991/92 di Medan, Jakarta dan Surabaya, namun kenaikan harga tersebut masih berada pada tingkat yang wajar. Hal ini tampak dari perbedaan antara harga terendah dengan harga tertinggi yang terjadi di Medan, Jakarta dan Surabaya dalam tiga tahun terakhir makin kecil, yaitu dalam tahun 1988/89 masing-masing sebesar 22,2%, 88,9% dan 1,7%, tahun 1991/92 sebesar 27,3%, 9,6% dan 0,7%, sedang dalam tahun 1992/93 perbedaan tersebut hanya terjadi di Medan sebesar 10,0%. (h) Kertas Koran

Sejak Repelita I sampai tahun terakhir Repelita III Pemerintah masih melaksanakan kebijaksanaan mengimpor kertas koran, namun sejak awal Repelita IV kebutuhan kertas koran sudah dapat dipenuhi seluruhnya oleh produksi dalam negeri. Dalam periode 1968-1992/93 terjadi juga kenaikan harga kertas koran sebagaimana harga barang-barang lainnya, namun pada umumnya harga yang terjadi masih cukup terkendali. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V harga jual kertas koran juga selalu berada pada tingkat yang wajar. Hal ini dimungkinkan karena sistem tata niaga kertas koran yang dijalankan sudah semakin mantap dan efektif. Mantapnya harga tersebut berkaitan pula dengan kebijaksanaan pengendalian harga jual kertas koran di muka gudang penerbit, yaitu: (1) tanggal 18 Oktober 1988 sebesar Rp 1.080/kg; (2) tanggal 28 Maret 1991 sebesar Rp 1.460/kg. Sejak Oktober 1991, harga kertas koran produksi

XI/82

TABEL VI 34 PERKEMBANGAN RATA- RATA HARGA ECERAN TEKSTIL KASAR DI MEDAN, JAKARTA DAN SURABAYA 1968 - 1992/93 (Rp/meter)

1) Angka sementara s/d Oktober 1992

XI/83

dalam negeri tidak ditetapkan lagi oleh Pemerintah dan diserahkan kepada kekuatan pasar. Dalam tahun 1988/89 penyaluran kertas koran di dalam negeri berjumlah 135,9 ribu ton, dalam tahun 1991/92 sebesar 120,5 ribu ton atau turun 11,3% dari akhir Repelita IV. Terjadinya penurunan penyerapan pada tahun 1991/92 merupakan akibat dari adanya kelebihan stok di pasaran. Sedang penyaluran kertas koran tahun 1992/93 sampai dengan Agustus 1992 adalah sebesar 49,9 ribu ton. (i) Susu Dalam rangka menjaga kontinuitas penyaluran dan stabilitas harga bahan baku susu sejak Repelita III semakin diupayakan keseimbangan antara permintaan dan penawaran bahan tersebut. Dalam Repelita IV dan Repelita V kebijaksanaan tata niaga susu terus dimantapkan, sehingga keseimbangan antara pengadaan bahan baku susu produksi dalam negeri dan kebutuhan industri pengolahan susu makin terjamin. Dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V langkah kebijaksanaan yang ditempuh, antara lain meliputi: (a) menetapkan secara periodik ratio antara penyerapan susu dalam negeri terhadap impor susu oleh industri pengolahan susu, yaitu: bulan Desember 1989 sebesar 1:0,7, bulan Pebruari 1990 sebesar 1:0,5, bulan Januari 1991 sebesar 1:1, dan kemudian dalam semester II 1991 diubah lagi menjadi 1:2. Dengan demikian sejak semester II 1991 sampai tahun keempat Repelita V untuk setiap pembelian susu segar dalam negeri 1 (satu) ton industri pengolahan susu (IPS) akan diizinkan untuk mengimpor sebanyak 2 (dua) ton setara susu segar; (b) menentukan perkiraan jumlah susu segar yang diproduksi pada setiap semester; (c) mengikutsertakan KUD dalam pembelian susu segar dari peternak dengan harga yang layak dan bersaing, dengan ketentuan bahwa peternak dapat pula langsung menjual susu kepada konsumen sesuai dengan harga yang berlaku di pasaran; dan (d) menetapkan harga penjualan susu segar di tingkat KUD secara periodik berdasarkan kesepakatan antara IPS dengan Koperasi, hingga harga yang berlaku cukup menguntungkan para peternak susu. Pada tahun 1988 harga jual susu berkisar antara Rp 390-400/kg, tahun 1989 antara Rp 425-440/kg, tahun 1990 antara Rp 470-540/kg, kemudian pada tahun 1991 harga tersebut berkisar antara Rp 491-533/Kg. Pelaksanaan kebijaksanaan sistem tata niaga susu tersebut telah mendorong peningkatan penyerapan susu dalam negeri selama periode lima tahun terakhir, sehingga produksi susu dapat dimanfaatkan secara optimal,

XI/84

dan selanjutnya pendapatan peternak susu dapat ditingkatkan. Penyerapan susu oleh IPS pada tahun 1988/89 berjumlah 109,1 juta liter, tahun 1991/92 sebesar 209,0 juta liter atau naik 91,6% dari jumlah penyerapan tahun 1988/89. Sedang tahun 1992/93, sampai dengan Agustus 1992 susu yang diserap oleh IPS telah mencapai sebesar 126,3 juta liter. (2) (a) Menyempurnakan Prasarana Perdagangan Pembangunan prasarana fisik

Pembangunan prasarana fisik perdagangan, yang telah dilaksanakan sejak Repelita I dan terus ditingkatkan sampai dengan tahun keempat Repelita V, semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Sebagaimana langkah kebijaksanaan Repelita-repelita sebelumnya, dalam lima tahun terakhir langkah kebijaksanaannya lebih dimantapkan lagi, yaitu meliputi: (1) meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan sarana pasar, pertokoan dan pusat perbelanjaan, dengan semakin meningkatkan peran swasta; (2) melakukan koordinasi dalam penyediaan sarana angkutan dan pergudangan; dan (3) melaksanakan pembangunan pasar percontohan di daerah-daerah perbatasan, terpencil dan transmigrasi. Langkah-langkah kebijaksanaan tersebut telah ikut mendorong pertumbuhan sektor perdagangan, memperluas kesempatan berusaha dan mengembangkan perekonomian daerah. Dalam rangka pembangunan pasar percontohan, yang dimulai sejak awal Repelita IV, sampai dengan tahun 1992/93 telah berhasil dibangun sebanyak 134 buah pasar yang tersebar di 21 propinsi, sedang sampai dengan tahun 1987/88 angka tersebut baru mencapai 60 buah pasar yang tersebar di 10 propinsi. Dengan demikian, dalam periode 1988/89-1992/93 telah dibangun sebanyak 74 buah pasar percontohan, yang tersebar di 19 propinsi. Sedangkan untuk pasar Inpres, yang pembangunannya dilaksanakan sejak tahun 1976/77 sampai dengan tahun 1983/84, telah dibangun sebanyak 2.802 buah pasar yang secara keseluruhan mampu menampung 517.176 orang pedagang. Dalam usaha mendorong peran serta swasta sejak Repelita IV tidak lagi dilakukan pembangunan pasar Inpres. Sementara itu, pasar modern mulai berkembang pula dengan cukup pesat, terutama setelah ditempuhnya kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi sejak awal Repelita IV. Sampai dengan tahun keempat Repelita V telah

XI/85

terdapat 623 buah pasar modern, yang terdiri dari 372 buah pasar swalayan dan 251 buah pusat perbelanjaan.. (b) Pembangunan Prasarana Kelembagaan Hasil-hasil pelaksanaan pembangunan di bidang kelembagaan perdagangan, dapat diuraikan sebagai berikut. (i) Pelaksanaan Undang-undang Metrologi Legal Sejak Repelita I langkah kebijaksanaan pembangunan di bidang kemetrologian sudah dilakukan, kebijaksanaan tersebut terus dilanjutkan dalam Repelita . II. Dalam Repelita III dan Repelita IV langkah kebijaksanaannya lebih dimantapkan lagi yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal sebagai dasar bagi pengembangan kemetrologian. Selanjutnya dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, pengembangan di bidang kemetrologian dititikberatkan pada upaya untuk meningkatkan kemampuan melaksanakan Undang-undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal tersebut. Di samping menyempurnakan perangkat peraturan mengenai pelaksanaan Undang-undang tersebut, telah diupayakan pula pengembangan fasilitas kemetrologian di Pusat (Bandung) dan di 47 Daerah. Kemampuan untuk menera dan menera ulang atas kebenaran serta ketertiban pengukuran, dan legitimasi terhadap pemakaian alat Ukur, alat Timbang, alat Takar beserta Perlengkapannya (UTTP) yang dipergunakan dalam kegiatan perdagangan terus ditingkatkan. Dalam menunjang kegiatan pelayanan metrologi tersebut telah dilakukan pendidikan dan pelatihan keterampilan bagi para petugas kemetrologian. Sejak Repelita I sampai dengan tahun 1992/93 telah berhasil dilatih dan dididik sebanyak 3.030 orang, sedangkan sampai dengan tahun 1987/88 angka tersebut sebanyak 2.113 orang. Dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V telah dilatih dan dididik sebanyak 917 orang. Cakupan pelayanan metrologi secara bertahap telah meningkat sejalan dengan peningkatan dan perluasan kegiatan ekonomi masyarakat. Sejak Repelita IV di bidang kemetrologian telah mulai dirintis: (a) pengawasan atas Barang yang Diperjualbelikan dalam Keadaan Terbungkus (BDKT) yang beredar di pasaran di berbagai wilayah Indonesia; dan prasarana

XI/86

(b) peningkatan penyuluhan tentang kemetrologian kepada masyarakat melalui media cetak dan media elektronik. (ii) Pelaksanaan Undang-undang Wajib Daftar Perusahaan

Dalam rangka pelaksanaan Undang-undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (WDP), yang baru dimulai secara efektif dalam tahun 1985, sampai dengan tahun keempat Repelita V telah terdaftar sebanyak 801.235 perusahaan, yang terdiri dari 80.876 PT (Perseroan Terbatas), 9.565 Koperasi, 107.319 CV, 593.711 perusahaan perorangan, 2.240 Firma dan 7.524 badan usaha lainnya. Sedangkan sampai dengan tahun 1987/88 baru terdaftar sekitar 406.279 perusahaan, yang terdiri dari 32.826 PT, 3.654 Koperasi, 55.338 CV, 308.055 perusahaan perorangan, 1.455 Firma dan 4.951 badan usaha lainnya. Dengan demikian dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V telah terdaftar sebanyak 394.956 perusahaan, yang terdiri dari 48.050 PT, 5.911 Koperasi, 51.981 CV, 285.656 perusahaan perorangan, 785 Firma dan 2.573 badan usaha lainnya. Data tersebut diharapkan akan merupakan bagian penting dari sistem informasi perdagangan nasional. Dibanding dengan perkiraan jumlah perusahaan yang terkena WDP sebesar kurang lebih 2 juta perusahaan, maka sampai dengan tahun 1992/93 kegiatan pendaftaran tersebut telah mencapai 40,6%. Untuk mempercepat proses pendaftaran perusahaan dalam rangka lebih memasyarakatkan Undang-undang tersebut, berbagai upaya telah dilakukan antara lain: (a) penyuluhan melalui berbagai media massa, yaitu dengan menghimbau dan mengajak agar kalangan dunia usaha mematuhi ketentuan Undang-undang tersebut; (b) pendekatan langsung kepada kelompok dunia usaha dan/atau asosiasi; dan (c) pensyaratan WDP dalam prakualifikasi pembelian barang dan jasa oleh Pemerintah, termasuk pelaksanaan kerja sama dengan dunia perbankan. (iii) Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)

Sejak ditempuh kebijaksanaan penyederhanaan pemberian SIUP pada tahun 1984, sampai dengan tahun keempat Repelita V jumlah perusahaan yang telah memperoleh SIUP terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kesempatan berusaha di berbagai bidang kegiatan telah semakin terbuka.

XI/87

Sampai dengan tahun keempat Repelita V jumlah SIUP yang telah diberikan berjumlah 1.310,0 ribu perusahaan, terdiri dari 64,0 ribu perusahaan besar, 336,0 ribu perusahaan menengah dan 910,0 ribu perusahaan kecil. Sedangkan sampai dengan tahun 1987/88 angka tersebut baru sebesar 1.167,3 ribu perusahaan, terdiri dari 50,7 ribu perusahaan besar, 293,1 ribu perusahaan menengah dan 823,5 ribu perusahaan kecil. Dengan demikian selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V jumlah SIUP yang telah diberikan berjumlah 142,7 ribu perusahaan, terdiri dari 13,3 ribu perusahaan besar, 42,9 ribu perusahaan menengah dan 86,5 ribu perusahaan kecil. c. Meningkatkan Peranan Pedagang Nasional dan Pedagang Golongan Ekonomi Lemah

Upaya meningkatkan peranan pedagang nasional terutama pedagang golongan ekonomi lemah, sejak Repelita I sampai dengan Repelita V terus ditingkatkan pelaksanaannya. Di samping penciptaan iklim berusaha yang kondusif, termasuk penyediaan tempat berusaha yang memadai serta pemberian izin usaha yang dipermudah, dilaksanakan pula berbagai program pembinaan. Kegiatan pembinaan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan mereka memanfaatkan peluang yang makin terbuka luas. Program pelatihan dan penyuluhan, yang secara efektif telah dilakukan sejak Repelita II dan diteruskan sampai dengan tahun keempat Repelita V, terutama ditujukan untuk meningkatkan kemampuan golongan ekonomi lemah termasuk pedagang kecil melalui peningkatan pengetahuan dalam manajemen usaha, pengembangan jiwa kewirausahaan serta peningkatan , keterampilan berusaha. Sebagai hasil pelaksanaan program pembinaan dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, antara lain: (a) penataran bagi pelatih sebanyak 210 orang; (b) pengembangan pusat pembinaan dan pelayanan bagi pedagang golongan ekonomi lemah di 16 propinsi yang tersebar di 37 kabupaten; dan (c) penyelenggaraan penataran bagi para pedagang penyalur dan pengecer sebanyak 3.719 orang, dengan rincian per tahunnya sebagaimana tampak dari Tabel III-17. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sampai dengan tahun keempat Repelita V telah dilatih pedagang sebanyak 9.271 orang. Angka tersebut sampai dengan tahun 1987/88 baru mencapai 5.552 orang. Selain penataran dan penyuluhan, upaya penyediaan fasilitas perkreditan terus ditingkatkan dan

XI/88

dimantapkan, sebagaimana diuraikan terdahulu pada Bab III tentang Pengembangan Dunia Usaha. Fasilitas perkreditan tersebut juga telah banyak dimanfaatkan oleh para pedagang nasional, terutama golongan ekonomi lemah, dan sangat membantu dalam rangka pengembangan usaha mereka. Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1977 mengenai pengakhiran kegiatan asing di bidang perdagangan distribusi, jumlah perusahaan nasional yang menjadi agen/distributor terus meningkat. Sampai dengan tahun keempat Repelita V jumlah perusahaan nasional yang menjadi agen/distributor perusahaan asing berjumlah 9.604 perusahaan, sedangkan sampai dengan tahun 1987/88 angka tersebut baru mencapai 2.506 perusahaan. Dengan demikian dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V jumlah perusahaan nasional yang menjadi agen/distributor telah bertambah dengan sebanyak 7.098 perusahaan. Dengan perkembangan tersebut terus meningkat pula perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha serta alih keterampilan bagi perusahaan nasional di bidang keagenan/distribusi. Dari data SIUP tercatat bahwa jumlah perusahaan formal yang diberikan SIUP selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun 1992/93 telah meningkat dengan rata-rata 2,3% per tahun. Jumlah perusahaan besar memang telah meningkat lebih cepat, yaitu dengan 4,8% per tahun, dibandingkan dengan peningkatan jumlah perusahaan menengah sebesar 2,8% per tahun dan perusahaan kecil yang meningkat dengan 2,0% per tahun. Namun demikian kesempatan berusaha dan kesempatan kerja yang terserap di sektor perdagangan sebenarnya telah meningkat cukup besar. Hal ini didukung dengan data penyerapan tenaga kerja di sektor perdagangan, yang dalam periode 1980-1990 telah meningkat dengan rata-rata 4,8% per tahun, yaitu dari 6,6 juta orang pada tahun 1980 menjadi 10,6 juta orang pada tahun 1991. Dari data WDP terdahulu terungkap pula bahwa perusahaan yang terdaftar baru mencapai 40% dari keseluruhan perusahaan yang harus terdaftar. Sebagian besar dari perusahaan yang belum terdaftar ini dapat dipastikan termasuk dalam kelompok usaha skala kecil. Di samping itu pedagang informal yang tidak memerlukan SIUP jumlahnya sangat besar.

XI/89

d.

Memperluas Negeri

Pasaran

Barang-barang

Produksi

Dalam

Sejak Repelita III tampak bahwa peluang yang diberikan bagi peningkatan penggunaan produksi dalam negeri semakin luas. Dalam periode lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, upaya memperluas pasaran barang-barang hasil produksi dalam negeri tetap dilanjutkan, antara lain melalui peningkatan kegiatan promosi dan informasi pasar. Sementara itu pelaksanaan Keppres No. 29 Tahun 1984, terutama yang menyangkut ketentuan mengenai kewajiban menggunakan produksi dalam negeri bagi setiap Departemen/Lembaga Pemerintah yang melakukan pemborongan/pembelian barang terus dilaksanakan. Upaya tersebut telah memberikan dampak positip bagi para produsen dalam negeri, baik produsen di sektor primer maupun sektor sekunder. Sementara itu upaya yang dilaksanakan secara terus menerus untuk meningkatkan mutu serta meningkatkan efisiensi produksi dan pemasaran, secara bertahap juga telah meningkatkan daya saing hasil produksi dalam negeri. Sebagai upaya peningkatan mutu telah dilakukan berbagai kegiatan penyusunan, penerapan dan pemasyarakatan standar produk. Diharapkan bahwa Standar Nasional Indonesia (SNI) sudah bisa diterapkan secara mantap di seluruh wilayah tanah air pada tanggal 1 April 1994. Untuk meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap barang-barang produksi dalam negeri, kegiatan pengawasan mutu terhadap barang-barang hasil produksi dalam negeri juga terus ditingkatkan. Dalam rangka promosi pemasaran barang-barang hasil produksi dalam negeri, penyelenggaraan pameran dagang yang dimulai sejak tahun 1975, juga terus dilanjutkan dan ditingkatkan. Khususnya dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V kegiatan tersebut telah berhasil memperbesar peluang untuk berkembang bagi para produsen, termasuk pengusaha kecil, karena: (a) makin dikenalnya barang-barang hasil produksi dalam negeri baik di dalam negeri maupun di luar negeri; (b) makin banyaknya kontak dagang baik berupa transaksi jual beli secara langsung maupun melalui pemesanan percobaan; (c) makin banyaknya kontak dengan pengusaha dan lembaga niaga lainnya; dan (d) makin meningkatnya kesadaran para produsen akan pentingnya pengembangan ragam dan mutu barang-barang sesuai dengan permintaan pasar.

XI/90

Penyelenggaraan pameran dagang tersebut sampai dengan akhir Repelita III pelaksanaannya masih terbatas di beberapa ibu kota propinsi saja. Namun selama Repelita IV, di samping diselenggarakan pameran tetap di ibu kota propinsi, juga telah diperluas dengan pameran keliling di ibu kota kabupaten. Pada akhir Repelita IV pameran dagang yang diselenggarakan telah meliputi 12 propinsi dan tersebar di 35 kabupaten/kotamadya. Dalam tahun 1992/93, tahun keempat Repelita V, kegiatan pameran dagang telah diselenggarakan di 27 propinsi dan tersebar di 292 kabupaten/ kotamadya.

XI/91

You might also like