You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu.(pangkal ayat 59).
Ayat ini dengan sendirinya menjelaskan bahwa masyarakat manusia dan disini
dikhususkan masyarakat orang yang beriman, mestilah tunduk kepada peraturan.
Pelaturan Yang Maha Tinggi ialah Peraturan Allah. Inilah yang pertama wajib
ditaati. Allah telah menurunkan peraturan itu dengan mengutus Rasul-rasul, dan
penutup segala Rasul itu ialah Nabi Muhammad Saw. Rasul-rasul membawa
undang-undang Tuhan yang termaktub di dalam Kitab-kitab suci, Taurat, Zabur,
Injil dan al-Quran. Kemudian orang yang beriman itu diperintahkan pula taat
kepada Rasul, sebab taat kepada Rasul adalah lanjutan dari taat kepada Tuhan,
banyak perintah Tuhan yang wajib ditaati, tetapi tidak dapat dijalankan kalau
tidak melihat contoh teladan Kemudian diikuti oleh taat kepada Ulil-Amri
minkum, orang-orang yang menguasai pekerjaan, tegasnya orang-orang berkuasa
diantara kamu, atas daripada kamu. Untuk mengetahui lebih lanjut poin tentang
bagaimana taat kepada uill amri tersebut kami akan memaparkannya lebih lanjut
di dalam makalah ini.

2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada pembahasan makalah ini ialah:
1. Apa yang di maksud dengan ulil amri ?
2. Sebutkan ayat yang menunjukan harus taat kepada ulil amri?
3. Apa kandungan surah An-Nisa : 59 ?
4. Apa kandungan surah Ali-Imran: 144 ?





BAB II
PEMBAHASAN

1. Kewajiban Taat Kepada Allah, Rasul dan Ulil-Amri (Surah An-Nisa : 59)
t~+kt- u&<_ #-9+uAt u&e\u#( #-!v
&e\u#( 'u#Bt+u)#( #-!vet #-! )e<v (ov
('& e ?oZu~t('A| (o-e| ( BeZ3'O( #-{uA|_ 4
#-u,c u#-9.uu|Oe /e--! ?\o|BeZu|t .'+'A| )e|
u#-9+uA e ?o(_ u&(T, ,| o9e7
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-nisa : 59).
Tafsir Al-Misbah :
Ayat ini dan ayat-ayat sesudahnya masih berhubungan erat dengan ayat-ayat yang
lalu, mulai dari ayat yang memerintahkan untuk beribadah kepada Allah, tidak
mempersekutukan-Nya, berbakti kepada orag tua, menganjurkan berinfak, dan
lain-lain. Perintah-perintah itu mendorong manusia untuk menciftakan masyarakat
yang adil dan makmur, anggotanya tolong menolong dan bantu membantu, taat
kepada Allah dan Rasul, tunduk kepada ulil amri, menyelesaikan perselisihan
berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan al-Quran dan sunnah, dan lain-lain yang
terlihat dengan jelas pada ayat ini dan ayat-ayat mendatang, sampai pada perintah
berjuang di jalan Allah. Demikian hubungan ayat-ayat ini secara umum.
Secara khusus dapat dikatakan bahwa setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk
menetapkan hukum dengan adil, maka ayat di atas memrintahkan kaum mukmin
agar menaati putusan hukum dari siapapun yang berwenang menetapkan hukum.
Secara berurutan dinyatakan-Nya ; Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dalam perintah-perintah-Nya, yakni Muhammad saw, dalam segala macam
perintahnya, baik perintah melakukan sesuatu, maupun perintah untuk tidak
melakukannya, sebagaimana tercantum dalam sunnahnya yang shahih, dan
perkenankan juga perintah ulil amri, yakni yang berwenang menangani urusan-
urusan kamu, selama mereka merupakan bagian diantara kamu wahai orang-orang
mukmin, dan selama perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah atau
perintah rasul-Nya. Maka jika kamu tarik menarik, yakni berbeda pendapat
tentang sesuatu karena kamu tidak menemukan secara tegas petunjuk Allah dalam
al-Quran dan tidak juga petunjuk Rasul dalam sunnah yang shahih, maka
kembalikanlah ia kepada nilai-nilai dan jiwa, firman Allah yang tercantum dalam
al-Qur an, serta nilai-nilai dan jiwa tuntunan Rasul saw. Yang kamu temukan
dalam sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman secara mantap dan
bersinambung kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, yakni sumber
hukum ini adalah baik lagi sempurna, sedang selainnya buruk atau memiliki
kekurangan, dan disamping itu, ia juga lebih baik akibatnya, baik untuk kehidupan
dunia maupun kehidupan akhirat kelak.
Para pakar Al-Quran menerangkan bahwa apabila perintah taat kepada Allah dan
Rasul-Nya digabungkan dengan menyebut hanya sekali perintah taat, maka hal itu
mengisyaratkan bahwa ketaatan yang dimaksud adalah keaatan yang
diperintahkan Allah swt., baik perintah-Nya secara langsung dalam Al-Quran,
maupun perintah-Nya yang dijelaskan oleh Rasul melalui hadits-hadits beliau.
Perintah taat kepada Rasul saw, di sini menyangkut hal-hal yang bersumber dari
Allah swt., bukan yang beliau perintahkan secara langsung. Adapun bila perintah
taat diulangi seperti Surah An-Nisa : 59 diatas, maka disitu Rasul saw, memiliki
wewenang serta hak untuk ditaati walaupun tidak ada dasarnya dari Al-Quran. Itu
sebabnya perintah taat kepada ulil amri tidak disertai dengan kata taatilah karena
mereka tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan kepada mereka bertentangan
dengan ketaatan kepada Allah swt, atau Rasul saw.
Pendapat ulama berbeda-beda tentang makna kata ulil amr. Dari segi bahasa, (uli)
adalah bentuk jamak dari (waliy) yang berarti pemilik atau yang mengurus dan
menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukan bahwa mereka itu
banyak, sedang kata (al-amr) adalah perintah atau utusan. Dengan demikian, ulil
amri adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum muslim. Mereka
adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan
kemasyarakatan. Siapakah mereka? Ada yang berpendapat bahwa mereka adala
para penguasa pemerintahan. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka adalah
ulama, dan pendapat ketiga menyatakan bahwa mereka adalah yang mewakili
masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya.
Perlu dicatat bahwa kata al-amr berbentuk marifat atau difine. Ini menjadikan
banyak ulama membatasi wewenang pemilik kekuasaan itu hanya pada persoalan-
persoalan kemsyarakatan, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni.
Selanjutnya, karena Allah memerintahkan umat Islam taat kepada mereka, maka
ini berarti bahwa ketaatan tersebut bersumber dari ajaran agama, karena perintah
Allah adalah perintah agama. Di sisi lain, bentuk jamak pada kata uli dipahami
oleh sementara ulama dalam arti mereka adalah kelompok tertentu, yakni suatu
badan atau lembaga yang berwewenang menetapkan dan membatalkan sesuatu-
katakanlah-misalnya dalam hal pengangkatan kepala negara, pembentukan
undang-undang dan hukum, atau yang dinamai (ahlul halli walaqd). Mereka
terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat, para ulama, petani, buruh, wartawan, dan
kalangan profesi lainnya serta angkatan bersenjata. Pendapat ini antara lain
dikemukakan oleh pengarang tafsir Al-Manar, yakni Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha, juga oleh al-Maraghi.
Ayat ini juga mengisyaratkan berbagai lembaga yang hendaknya diwujudkan
umat Islam untuk menangani urusan mereka, yaitu lembaga eksekutif, yudikatif,
dan legislatif.
Sementara ulama memahami bahwa pesan utama ayat ini adalah menekankan
perlunya mengembalikan segala sesuatu kepada Allah dan rasul-Nya, khususnya
jika muncul perbedaan pendapat. Ini terlihat dengan jelas pada pernyataan, maka
jika kamu tarik menarik pendapat menyangkut sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunah), dan ayat-ayat sesudahnya yang
mengecam mereka yang ingin mencari sumber hukum selain Rasul saw., lalu
penegasan bahwa rasul tidak diutus kecuali untuk ditaati, dan penafian iman bagi
yang tidak menerima secara tulus ketetapan Rasul saw
Tafsir Al-Azhar :
Ketaatan Kepada Penguasa
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu.(pangkal ayat 59).
Ayat ini dengan sendirinya menjelaskan bahwa masyarakat manusia dan disini
dikhususkan masyarakat orang yang beriman, mestilah tunduk kepada peraturan.
Pelaturan Yang Maha Tinggi ialah Peraturan Allah. Inilah yang pertama wajib
ditaati. Allah telah menurunkan peraturan itu dengan mengutus Rasul-rasul, dan
penutup segala Rasul itu ialah Nabi Muhammad Saw. Rasul-rasul membawa
undang-undang Tuhan yang termaktub di dalam Kitab-kitab suci, Taurat, Zabur,
Injil dan Al-Quran. Maka isi kitab suci itu semuanya, pokoknya ialah untuk
keselamatan dan kebahagiaan kehidupan manusia, ketaatan kepada Allah
mengenai tiap-tiap diri manusia walaupun ketika tidak ada hubungannya dengan
manusia lain. Umat beriman disuruh terlebih dahulu taat kepada Allah, sebab
apabila dia berbuat baik, bukanlah semata-mata karena segan kepada manusia,
dan bukan pula karena semata-mata mengharapkan keuntungan duniawi. Dan jika
dia meninggalkan berbuat suatu pekerjaan yang tercela, bukan pula karena takut
kepada ancaman manusia, dengan taat kepada Allah menurut agama, berdasarkan
Iman kepada Tuhan dan Hari Akhirat; manusia dengan sendirinya menjadi baik,
dia merasa bahwa siang dan malam dia tidak lepas dari penglihatan dan tilikan
Tuhan.
Kemudian orang yang beriman itu diperintahkan pula taat kepada Rasul, sebab
taat kepada Rasul adalah lanjutan dari taat kepada Tuhan, banyak perintah Tuhan
yang wajib ditaati, tetapi tidak dapat dijalankan kalau tidak melihat contoh
teladan. Maka contoh teladan itu hanya ada pada Rasul dan dengan taat kepada
Rasul barulah sempurna beragama, sebab banyak juga orang yang percaya kepada
Tuhan, tetapi dia tidak beragama, sebab dia tidak percaya kepada Rasul, maka
dapatlah disimpulkan perintah taat kepada Allah dan kepada Rasul itu dengan
teguh kuat memegang al-Quran dan as-Sunah.
Kemudian diikuti oleh taat kepada Ulil-Amri minkum, orang-orang yang
menguasai pekerjaan, tegasnya orang-orang berkuasa diantara kamu, atas daripada
kamu, Minkum mempunyai dua arti pertama diantara kamu, kedua daripada
kamu, maksudnya yaitu mereka yang berkuasa itu adalah daripada kamu juga,
naik atau terpilih atau kamu akui kekuasaannya, sebagai satu kenyataan. Disini
kita mendapat beberapa pokok pembangunan kekuasaan dalam Islam itu:
1. Taat kepada Allah
2. Taat kepada Rasul
3. Taat kepada Ulil-Amri daripada kamu (diantara kamu).
Supaya ketaatan kepada Ulil-Amri itu dapat dipertanggungjawabkan, urusan-
urusan duniawi hendaklah dimusyawarahkan, bahkan perintah-perintah Allah
sendiripun, mana yang kelancarannya berkehendak kepada duniawi, hendaklah
dimusyawarahkan. Misalnya, naik Haji Wajib, untuk naik haji hendaklah
mempunyai kapal, Ulil-amri wajib mengikhtiarkan kapal itu, dan kalau semua
mukmin di perintahkan membayar harga kapal itu oleh Ulil-Amri, wajiblah
mereka bayar, tidak mau membayarnya, artinya melanggar agama, sebab urusan
kenegaraan di saat itu telah menjadi agama.
Negara tempat berdiamnya kaum Muslim satu-satu wajib dipertahankan dari
serangan musuh. Mengatur siasat untuk mempertahankan negara itu adalah
kewajiban Ulil-Amri. Maka apabila Ulil-Amri memerintahkan tiap-tiap orang
memanggil senjata mempertahankan negara, menjadi kewajiban agamalah
mentaati perintah itu. Bahkan kalau musuh telah masuk ke dalam negeri, menjadi
Fardhu ain bagi tiap orang, laki-laki dan perempuan memanggul senjata.
Tentang Ulil-Amri setengah ulama berpendapat bukan ulama agama saja, bahkan
termasuk juga panglima-panglima perang perang dan penguasa-penguasa besar,
petani-petani dalam negara. Mohammad abduh berpendapat di zaman modern kita
ini direktur-direktur pengusaha besar, profesor-profesor, sarjana-sarjana di
berbagai bidang, wartawan dan lain-lain yang terkemuka di masyarakat adalah
Ahlul-Halli walAqdi, berhak diajak musyawarah.
Oleh sebab itu, maka jelaslah bahwa Islam memberikan lapangan luas sekali
tentang siapa yang patut dianggap Ulil-Amri itu, yang patut diajak musyawarah
pemungutan suara, atau kepala pemerintahan saja menunjuk siapa yang patut,
yaitu lalu diakui dan ditaati oleh orang banyak. Kamu lebih tahu urusan dunia
kamu
Dengan ini semua dapat disimpulkan:
1. Tentang taat kepada Allah, menjadi kewajiban bagi semua, tidak ada tawar-
menawar.
2. Tentang taat kepada Rasul, menjadi kewajiban semua, tidak ada tawar-menawar
3. Tentang taat kepada Ulil-Amri menjadi kewajiban bagi semua. Bagaimana
menyusun Ulil-Amri, apakah dipilih atau ditunjuk, terserahlah kepada
kebijaksanaan kamu, menurut ruang dan waktu, asal: Tunaikanlah amanat
kepada ahlinya.

2. Makna Lain Taat Kepada Kepada Pemimipin (Q.S. Ali-Imran: 144)
uBt- &(o-e 4 #-9~ o7|#e&e Be ,=vM( o( uuA
)ee X\tt0s tZ)o=e=( uBt 4 &()o~6e3'N| t?v#
#-P)o=v6|'A| \ue~ &| B-N, #-!+ uu|(c 3 v.-
#-!v t+ (o=v t)6t.e t?v4 ___ #-9~6ct
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh Telah berlalu
sebelumnya beberapa orang rasul[1]. apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu
berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia
tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
[1] Maksudnya: nabi Muhammad s.a.w. ialah seorang manusia yang diangkat
Allah menjadi rasul. rasul-rasul sebelumnya Telah wafat. ada yang wafat Karena
terbunuh ada pula yang Karena sakit biasa. Karena itu nabi Muhammad s.a.w.
juga akan wafat seperti halnya rasul-rasul yang terdahulu itu. di waktu
berkecamuknya perang Uhud tersiarlah berita bahwa nabi Muhammad s.a.w. mati
terbunuh. berita Ini mengacaukan kaum muslimin, sehingga ada yang bermaksud
meminta perlindungan kepada abu Sufyan (pemimpin kaum Quraisy). sementara
itu orang-orang munafik mengatakan bahwa kalau nabi Muhammad itu seorang
nabi tentulah dia tidak akan mati terbunuh. Maka Allah menurunkan ayat Ini
untuk menenteramkan hati kaum muslimin dan membantah kata-kata orang-orang
munafik itu. (Sahih Bukhari bab Jihad). abu bakar r.a. mengemukakan ayat Ini di
mana terjadi pula kegelisahan di kalangan para sahabat di hari wafatnya nabi
Muhammad s.a.w. untuk menenteramkan Umar Ibnul Khaththab r.a. dan sahabat-
sahabat yang tidak percaya tentang kewafatan nabi itu. (Sahih Bukhari bab
ketakwaan Sahabat).
Tafsir Al-Misbah:
Ayat ini masih merupakan lanjutan kecaman terhadap sebagian besar yang terlibat
dalam perang Uhud itu, bahkan kini kritikan tersebut lebih tajam lagi. Seperti
diketahui, ketika para pemanah meninggalkan pos mereka karena terdorong
keinginan untuk mendapatkan rampasan perang, kaum musrikin di bawah
pimpinan Khalid ibn al-Walid yang ketika itu belum memeluk Islam, mengambil
kesempatan tersebut untuk mengatur barisan dan menyerang balik kaum muslim.
Akibatnya, terjadi kekacauan dan ketika itu muncul isu bahwa Nabi Muhammad
saw telah gugur. Mendengar isu tersebut pasukan kaum muslim yang memang
telah kacau, bertambah kacau dan sebagian besar mereka meninggalkan medan
tempur. Mereka yang tinggal bertahan bersama Rasul saw, hanya beberapa saja.
Berbeda-beda riwayat tentang jumlahnya, antara sepuluh sampai tiga puluh orang.
Sikap mereka itulah yang ditegur dan dikecam Allah Swt.
Kamu menduga bahwa (Nabi) Muhammad Saw telah meninggal dunia,sehingga
kamu bepaling meninggalkannya, seakan-akan kamu tidak menyembah Tuhan
Yang Maha Hidup dan tidak pula berjuang untuk menegakkan nilai-nilai-Nya.
Ketahuilah bahwa suatu ketika beliau pasti meninggalkan dunia ini, karena Nabi
Muhammad saw yang selama ini berada bersama kamu tidak lain hanyalah rasul-
rasul yang lain, sungguh terlah berlalu dengan kematian mereka sebelumnya,
yakni sebelum Nabi Muhammad sar., beberapa orang Rasul. Apakah jika dia
wafat yakni meninggal secara normal, misalnya karena sakit atau nyawanya
berpisah dengan tubuhnya karena ulah manusia misalnya karena dibunuh,
sehingga dia tidak berada lagi di tengah-tengah kamu, apakah bila itu terjadi kamu
berbalik ke belakang meninggalkan pula agamanya dan menjadi murtad dan
tuntunan-tuntunan Nabi-Nya maka ia sendiri yang rugi dan celaka, ia tidak dapat
mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, karena kedurhakaan makhluk
tidak mengurangi sedkitpun kekuasaan-Nya dan tidak juga ketaatan mereka
menambah setetes pun dari kerajaan-Nya dan Allah akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur, serta menyiksa orang-orang yang kafir.
Muhamad tidak lain hanyalah seorang Rasul. Dalam Al-Quran nama Nabi
Muhammad saw., bila disebut selalu dirangkaikan dengan gelar beliau (Q.S.
Muhammad 47:2), berbeda dengan nama nabi dan rasul-rasul yang lain, yang
biasanya disebut tanpa gelar mereka. Redaksi ayat ini menonjolkan sifat kerasulan
Nabi Muhammad saw yang serupa dengan rasul-rasul yang lalu dari sisi
keniscayaan kematian, untuk membantah mereka yang boleh jadi menduga
bahwa sifat kerasulan bertentangan dengan kematian, atau menduga bahwa
kerasulan Nabi Muhammad saw, memiliki kelebihan dibanding dengan kerasulan
yang lain dalam hal keabadian hidup. Kalaupun hal ini tidak terbetik dalam hati
para sahabat beliau, tetapi sikap mereka meninggalkan Rasul saw. Ketika itu,
dapat dinilai sebagai sikap yang menduga seperti itu, bahkan boleh jadi ada yang
menduga bahwa usia beliau akan sedemikian panjang, sehingga tidak akan
percaya bila suatu saat beliau wafat, sebagaimana yang kemudian dialami oleh
oleh Sayyidina Abu Bakar ra. Yang baru sadar tentang wafatnya Nabi Saw.
Ketika itu, dapat dinilai sebagai sikap yang menduga seperti itu. Bahkan boleh
jadi ada yang menduga bahwa usia beliau akan sedemikian panjang, sehingga
tidak akan percaya bila suatu saat beliau wafat, sebagaimana yang kemudian
dialami oleh sayyidina Umar ra membacakan kepadanya ayat ini. Dalam satu
riwayat dikemukakan ucapan Umar ibn al-Khattab ra setelah membaiat Abu
Bakar ra menjadi khalifah- sehari setelah wafatnya Nabi SAW, -bahwa: Aku
tadinya mengharap Rasul Saw hidup, sehingga menjadi manusia yang paling
belakang wafat diantara kita semua, tetapi Allah memilih untuk Rasul-Nya apa
yang ada di sisi-Nya, bukan apa yang ada di sisi kita.
Firman-Nya inqalabtum ala aqabikum yang diterjemahkan dengan berbalik ke
belakang, adalah satu istilah yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu
yang sagat buruk. Seorang yang meninggalkan kebenaran dan petunjuk ilahi dan
menggantinya dengan kesesatan di ibaratkan keadaannya seperti seorang yang
mundur ke belakang sedang matanya mengarah ke depan. Sedang aqab jamak
aqaib, yakni tumitnya yang menuntun dia ke belakang, sehingga dia dalam
keadaan terbalik, kepalanya di bawah dan kakinya di atas. Demikian penjelasan
Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsirnya al-Wasith.
Ayat ini dipahami juga oleh sementara ilmuwan sebagai petunjuk untuk tidak
menjadikan penilaian baik buruk satu ide berdasarkan pencetus ide itu, atau
faktor-faktor luar lainnya seperti keuntungan materi, tetapi hendaknya didasarkan
pada nilai-nilai ide itu sendiri. Sementara sahabat Nabi Saw memeluk Islam
karena terkagum-kagum kepada Nabi Saw., dan memang kepribadian beliau
merupakan salah-satu faktor yang sangat mengagumkan sehingga mereka
memeluk Islam. Nah, melalui kecaman ini, Allah meluruskan sikap para sahabat
itu. Hemat penulis, pendapat ini baik, tetapi itu bukan berarti larangan mangagumi
Nabi Saw. Atau larangan menjadikan beliau teladan dan idola kaum muslimin.
Yang dimaksud adalah jangan menjadikan seseorang sebagai tolak ukur
kebenaran, tetapi hendaknya tolak ukur kebenaran adalah kebenaran itu sendiri,
siapapun yang menyampaikannya.

Tafsir Al-Azhar :
Tidak lain Muhammad itu, hanyalah seorang Rasul dan telah lalu beberapa
Rasul sebelumnya (pangkal ayat 144).
Pangkal ayat ini menjelaskan, bahwa Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang
Rasul, sebagaimana juga Rasul-rasul yang lain yang terdahulu daripadanya, yaitu
manusia yang dipilih oleh Allah untuk menjadi utusan-Nya dalam kalangan
manusia sendiri, maka bukanlah dia malaikat, atau jin. Dahulu daripadanya telah
berlalu Rasul-rasul yang lain ; mulanya mereka lahir ke dunia, kemudian diangkat
menjadi rasul ; dan bila pada waktunya merekapun wafat. "apakah apabila dia
mati atau terbunuh, kamu akan berpaling diatas kedua tumit kamu ?
Sekarang dihembus-hembuskan orang berita di medan perang, bahwa Nabi
mereka telah mati, merekapun bergoncang padahal setiap rasul termasuk Nabi
Muhammad Saw suatu waktu pasti meninggal, bahkan mungkin juga mati
terbunuh dalam keadaan perang, kalau dia mati atau terbunuh apakah mereka akan
memutar kedua tumit dari maju kemuka, lari kebelakang ? kalau demikian sikap
mereka nyatalah bahwa mereka tidak memegang teguh ajaran yang dibawa Nabi
yaitu bertawakal penuh kepada Tuhan, melainkan mereka telah menggantungkan
cita-cita mereka hanya kepada pribadi Nabi. Inilah kesalahan besar dalam
perjuangan, karena inilah yang pada zaman kita ini dinamai orang pemujaan orang
seorang.
Dan ayat ini pun memberikan petunjuk bagi Muslimin, bahwasanya dalam
peperangan menegakkan agama, sekali-kali jangan peperangan itu digantungkan
kepada kepribadian seseorang, yang amat penting ialah yang jadi tujuan
peperangan zaman purbakala memanglah panglima itu sendiri yang bersosoh
menghadapi lawan, sampai salah seorang atau dia atau panglima perang
musuhnya yang tewas, kalau panglima perang telah mati, artinya perang telah
kalah dan tentaranya yang masih hidup berarti menjadi tawanan dan budak belaka.
Maka ayat ini telah memberikan tuntunan sesuai dengan peperangan zaman
modern sekarang. Hilangnya seorang panglima belum berarti kekalahan,
melainkan harus tampil penggantinya. Dalam Islam hal seperti itu telah dijalankan
dalam peperangan Mutah yang jadi kepala perangnya Zaid bin Haritsah dan kalau
dia tewas penggantinya ialah Jafar bin Abu Thalib dan kalau dia tewas pula,
penggantinya ialah Abdullah bin Rawahah, kemudian tewaslah berturut-turut
ketiga panglima itu, namun tentara Islam tidak juga menjadi kocar-kacir sebab
atas kesepakatan bersama tampil ke muka Khalid bn Walid mengambil pimpinan
kepanglimaan dan memimpin peperangan itu, sehingga tentara Muslim dapat
diselamatkan dan dapat mengundurkan diri dengan teratur, tidak sampai hancur
karena 3000 kaum Muslimin berhadapan dengan ratusan ribu tentara Romawi.
Lalu datanglah ancaman Tuhan: Barangsiapa yang berpaling atas kedua
tumitnya, maka sekali-kali tidaklah dia akan membahayakan bagi Allah
sedikitpun.
Belum tentu roboh-tegaknya, belum pasti Rasul wafat, mereka telah memutar
tumit, ada yang lari karena takut. Apakah mereka sangka dengan sebab mereka
memutar itu rencana Tuhan akan gagal? Tidak, sekali-kali tidak! Tuhan tidak akan
rugi, karena kehilangan mereka. Kehilangan mereka bagi Tuhan tidak akan sama
nilainya dengan kepecahan telur sebuah. Allah akan memberi ganjaran bagi
siapa-siapa yang bersyukur. (ujung ayat 144).
Setelah beberapa tahun sesudah ayat ini turun, karena peperangan Uhud, memang
Rasulallah Saw wafat, maka Sayyidina Umar bin Khatab demikian terharu karena
kematian itu, sehingga tidak dapat mengendalikan perasaan lagi, sampai dia
marah-marah dalam mesjid dan mengancam Barangsiapa yang mengatakan
bahwa Rasulallah telah wafat akan kupotong lehernya, kata beliau sambil
menyentak pedang pada sarungnya. Bukankah ini satu gejala pemujaan atas
seorang menyerupai pemujaan kepada Allah, padahal sudah terang bahwa
Rasulallah telah wafat? Untunglah kekacauan perasaan itu dengan segara dapat
diatasi sedatangnya Abu Bakar segera pulang, karena dia menyangka bahwa
Rasulallah agak sembuh pada hari itu, tetapi belum lama dia sampai di rumah,
orang telah segera menjemput dan menyempaikan berita itu kepadanya. Dengan
segera dia kembali ke mesjid dan langsung masuk kamar anak perempuannya
Aisyah, karena di sana jenazah yang mulia itu telah terbaring. Baliau segera
membuka kain yang menutup wajah Nabi Saw, di lihatnya wajah mayat itu
sebentar dengan tenang, kemudian dicium keningnya, lalu dia berkata: tetap
harum engkau ya Rasulallah, baik pada waktu hidupmu atau matimu. perkataan
beliau yang demikian itulah yang menghilangkan segala keraguan atas wafatnya
Rasulallah. Lalu beliau segera keluar kamar itu, langsung masuk ke mesjid naik
ke mimbar, lalu memulai pidatonya yang mula-mula sekali beliau baca, ialah ayat
yang tengah kita tafsirkan ini: Tidak lain Muhammad itu, hanyalah seorang
Rasul dan telah lalu beberapa Rasul sebelumnya. Apakah apabila dia mati atau
terbunuh, kamu akan berpaling di atas kedua tumit kamu? beliau sambung
dengan perkataan yang lebih tegas lagi yang akan menjadi pokok pendirian
pertama bagi tiap-tiap orang beriman setelah Rasul yang mereka cintai wafar.
barangsiapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah
wafat tetapi, barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah tetap
hidup dan tidak akan pernah mati.
Disinilah Umar bin Khattab sadar akan dirinya yang nyaris tenggelam, karena
dipengaruhi oleh cinta, Abu Bakar juga cinta kepada Nabi, tidak kurang dari cinta
Umar dan cinta seluruh umat Muhammad, sehingga Nabi pernah mengatakan
bahwa jika ditimbang iman Abu Bakar dengan iman seluruh makhluk Mukmin di
dunia ini, iman Abu Bakar masih tetap lebih berat. Tetapi cinta Abu Bakar
tidaklah berhenti, karena wafatnya Rasul, melainkan terus mempertahankan ajaran
Rasul sampai dia sendiri pun mati pula.

3. Tafsir Makna Ulil Amri
Tafsir at-Thabari, sebuah kitab tafsir klasik yang ditulis oleh ulama besar Abu
Jafar Muhammad bin Jarir at-Thabari dan banyak dirujuk oleh para mufassir
berikutnya, menyebutkan bahwa para ahli ta'wil berbeda pandangan mengenai arti
ulil amri. Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil
amri adalah umara. Berkata sebagian ulama lain, masih dalam kitab tafsir yang
sama, bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu
dan pengetahuan akan fiqh). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa
sahabat-sahabat Rasulullah-lah yang dimaksud dengan ulil amri. Sebagian lainnya
berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar. (Lihat lebih jauh dalam
Tafsir at-Thabari, juz 5, h. 147-149)
Imam al-Mawardi dalam kitab tafsirnya menyebutkan ada empat pendapat dalam
mengartikan kalimat "ulul amri" pada QS An-Nisa:59. Pertama, ulil amri
bermakna umara (para pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah
keduniaan). Ini merupakan pendapat Ibn Abbas, as-Sady, dan Abu Hurairah serta
Ibn Zaid. Imam al-Mawardi memberi catatan bahwa walaupun mereka
mengartikannya dengan umara namun mereka berbeda pendapat dalam sabab
nuzul turunnya ayat ini. Ibn Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan Abdullah bin Huzafah bin Qays as-Samhi ketika Rasul mengangkatnya
menjadi pemimpin dalam sariyah (perang yang tidak diikuti oleh Rasulullah
saw.). Sedangkan As-Sady berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
Amr bin Yasir dan Khalid bin Walid ketika keduanya diangkat oleh Rasul sebagai
pemimpin dalam sariyah.
Kedua, ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut pendapat
Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah. Ketiga, Pendapat dari
Mujahid yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah sahabat-sahabat Rasulullah
saw. Pendapat keempat, yang berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna
ulil amri hanya kepada dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar. (Tafsir al-
Mawardi, jilid 1, h. 499-500)
Ahmad Mustafa al-Maraghi menyebutkan bahwa ulil amri itu adalah umara, ahli
hikmah, ulama, pemimpin pasukan dan seluruh pemimpin lainnya dan zuama
yang manusia merujuk kepada mereka dalam hal kebutuhan dan kemaslahatan
umum. Dalam halaman selanjutnya al-Maraghi juga menyebutkan contoh yang
dimaksud dengan ulil amri ialah ahlul halli wal aqdi (legislatif ?) yang dipercaya
oleh umat, seperti ulama, pemimpin militer dan pemimpin dalam kemaslahatan
umum seperti pedagang, petani, buruh, wartawan dan sebagainya. (Tafsir al-
Maraghi, juz 5, h. 72-73)
Imam Fakhur Razi mencatat ada empat pendapat tentang makna ulil amri.
Pertama, makna ulil amri itu adalah khulafa ar-rasyidin. Kedua, pendapat lain
mengatakan bahwa ulil amri bermakna pemimpin perang (sariyah). Ketiga, Ulil
amri itu adalah ulama yang memberikan fatwa dalam hukum syara dan
mengajarkan manusia tentang agama (islam). Keempat, dinukil dari kelompok
rawafidh bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah imam-imam yang
mashum. (Tafsir al-fakhr ar-Razi, juz 10, h. 144)
Senada dengan sejumlah kitab tafsir di atas, al-Alusi, pengarang tafsir Ruh al-
Maani, mendata adanya beberapa pandangan tentang makna ulil amri. Ada yang
mengatakan bahwa ulil amri itu adalah pemimpin kaum muslimin (umara al-
muslimin) pada masa Rasul dan sesudahnya. Mereka itu adalah para khalifah,
sultan, qadhi (hakim) dan yang lainnya. Ada juga yang mengatakan bahwa
maknanya adalah pemimpin sariyah. Juga ada yang berpendapat bahwa ulil amri
itu adalah ahlul ilmi (cendekiawan?). (Tafsir Ruh al-Maani, juz 5, h 65)
Ibn Katsir, setelah mengutip sejumlah hadis mengenai makna ulil amri,
menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah, menurut zhahirnya, ulama. Sedangkan
secara umum ulil amri itu adalah umara dan ulama" (Tafsir al-Quran al-Azhim,
juz 1, h. 518)
Dr. Wahbah az-Zuhaili, ulama masa kini yang semasa dengan Dr. Yusuf
Qardhawi, dalam kitab tafsirnya, at-Tafsir al-Munir, menyebutkan bahwa
sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa makna ulil amri itu adalah ahli hikmah
atau pemimpin perang. Sebagian lagi berpendapat bahwa ulil amri itu adalah
ulama yang menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum syara'.
Sedangkan syiah, masih menurut Wahbah Az-Zuhaili, berpendapat bahwa ulil
amri itu adalah imam-imam yang mashum. (at-Tafsir al-Munir, juz 5, h. 126).
Dalam kitab ahkam al-Quran, Ibn al-arabi berkata: "yang benar dalam pandangan
saya adalah ulil amri itu umara dan ulama semuanya". (Ahkam al-Quran, juz 1, h.
452)
(Nadirsyah Hosen)
Para ulama tafsir dan fikih siyasah membuat empat definisi tentang ulul amri.
Pertama, ulum amri adalah raja dan kepala pemerintahan yang patuh dan taat
kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Kedua, ulul amri adalah raja dan ulama.
Ketiga, ulum amri adalah amir di zaman Rasulullah SAW. Setelah Rasul wafat,
jabatan itu berpindah kepada kadi (hakim), komandan militer, dan mereka yang
meminta anggota masyarakat untuk taat atas dasar kebenaran. Keempat, ulul amri
adalah para mujtahid atau yang dikenal dengan sebutan ahl al-hall wa al-aqd
(yang memiliki otoritas dalam menetapkan hukum).
Tidak adanya kesepakatan tentang pengertian ulul amri itu disebabkan kata amr
itu sendiri mempunyai banyak arti. Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid
Ridha (1865-1935) mencoba merumuskan ulul amri dengan merangkum seluruh
cakupan makna amr itu sendiri. Menurut mereka, ulul amri adalah para pemegang
otoritas di sebuah negara yang terdiri dari penguasa, para hakim, ulama,
komandan militer, dan pemuka masyarakat yang menjadi rujukan umat dalam hal-
hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Rasyid Rida, cendekiawan
Muslim, juga memasukkan mereka yang memegang otoritas di bidang kesehatan,
perburuhan, perniagaan, pemimpin media massa, dan pengarang.
Sebagai ulul amri. Muhammad Abduh mengatakan, "Kepada mereka inilah kita
harus taat dan patuh selama mereka menaati Allah SWT dan Rasulullah SAW."
Apa yang diucapkannya itu sesuai dengan Alquran surah An-Nisa ayat 59 yang
artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya
dan ulul amri di antara kamu.."Perintah taat pada ulul amri dalam ayat itu tidak
didahului kata ati'u. Menurut para musafir, hal ini mengandung pengertian bahwa
ketaatan umat kepada ulul amri hanya selama ulum amri itu taat kepada Allah
SWT dan Rasulullah SAW. Seperti dinyatakan dalam hadis nabi :"Seorang
Muslim wajib mendengar dan taat (kepada para pemimpin) terhadap yang ia
senangi atau ia benci, kecuali jika ia disuruh (pemimpinnya) berbuat maksiat
(durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya). Jika disuruh berbuat durhaka, ia tak boleh
mendengar dan taat." (HR Muslim dari Ibnu Umar).







BAB III
SIMPULAN

Dari sejumlah kitab tafsir yang dikutip di atas dapat diberikan catatan singkat
sebagai berikut: Para ulama berbeda pendapat mengenai makna ulil amri. Ada
yang mencoba meluaskan makna ulil amri dengan semua ulama dan umara. Ada
pula yang mencoba menyempitkannya dengan khusus pada Abu Bakar dan Umar
semata. Ada yang hanya melihat pada ulama saja (ahlul ilm) dan ada yang hanya
berpegang pada arti pemimpin perang.
Sejumlah kitab tafsir, khususnya kitab tafsir klasik semisal Tafsir at-Thabari dan
Ruh al-Maani, hanya menyebutkan contoh ulil amri itu pada jabatan atau profesi
yang dipandang krusial pada masanya. Sedangkan Tafsir al-Maraghi, yang
merupakan kitab tafsir yang ditulis pada abad 20 ini, menyebutkan contoh-contoh
ulil amri itu tidak hanya berkisar pada ahlul halli wal aqdi, ulama, pemimpin
perang saja; tetapi juga memasukkan profesi wartawan, buruh, pedagang, petani
ke dalam contoh ulil amri.
Sebagai catatan akhir, kita memang diperintah oleh Allah untuk taat kepada ulil
amri (apapun pendapat yang kita pilih tentang makna ulil amri). Namun perlu
diperhatikan bahwa perintah taat kepada ulil amri tidak digandengkan dengan kata
"taat"; sebagaimana kata "taat" yang digandengkan dengan Allah dan Rasul
(periksa redaksi QS an-Nisa: 59). Quraish Shihab, yang disebut-sebut sebagai
mufassir Indonesia, memberi ulasan yang menarik: "Tidak disebutkannya kata
"taat" pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak
berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan
Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan
Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini
dikenal kaidah yang sangat populer yaitu: "La thaat li makhluqin fi ma'shiyat al-
Khaliq". Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam
kemaksiatan kepada Khaliq (Allah)."







DAFTAR PUSTAKA

Hamka, Tafsir Al-Azhar, PT Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983.
Shihab, Quraish, M., Tafsir Al-misbah, Lentera Hati, Ciputat, 2000.
http://tafsirtematis.wordpress.com/2009/02/28/ulil-amri-adalah-para-imam-dari-
ahlul-bait-as/
http://www.e-bacaan.com/artikel_ulilamri.htm

You might also like