You are on page 1of 8

RESUME MOLECULAR MARKER

Diajukan untuk memenuhi persyaratan salah satu tugas Mata Kuliah Fisiologi Tumbuhan

Oleh : Irlanggana (071510101054)

PROGRAM STUDI AGRONOMI JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN - UNIVERSITAS JEMBER 2012

Tanaman memiliki banyak kegunaan dalam kehidupan manusia. Kita dapat menggunakannya baik sebagai sumber pangan, kesehatan, kosmetik, dll. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika orang selalu mencoba untuk mengkoleksi tanaman yang memiliki karakteristik tertentu untuk tujuan tertentu. Sejauh ini, para pemulia tanaman menggunakan karakter morfologi dalam hal seleksi maupun persilangan. Namun cukup disayangkan bahwa penggunaan teknik ini seringkali dibatasi oleh rendahnya jumlah marka morfologi yang tersedia untuk program pemuliaan tanaman. Sebagai tambahan, ekspresi marka morfologi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kadang-kadang juga dipengaruhi oleh adanya interaksi epistatik dan pleiotropik. Hal ini mengakibatkan sulitnya memperoleh data yang bisa dipercaya. Kemajuan yang pesat di bidang biologi molekular tanaman akhir-akhir ini telah memecahkan permasalahan di atas. Marka molekuler yang terkait erat dengan sejumlah karakter yang memiliki nilai ekonomi penting telah berhasil dikembangkan. Keadaan ini memungkinkan adanya seleksi tidak langsung dari suatu sifat yang diinginkan yaitu dengan hanya menguji pada tingkat bibit. Hal ini memberikan efisiensi dari segi waktu, sumber daya maupun energi yang sebenarnya dibutuhkan untuk memelihara suatu populasi yang besar selama beberapa generasi dan juga untuk memperkirakan parameterparameter yang digunakan dalam proses seleksi secara langsung. Sebagai tambahan, seleksi tidak langsung ini sangat selektif karena bebas dari pengaruh lingkungan, dan juga memungkinkan adanya piramida gen untuk karakter seperti ketahanan terhadap penyakit, yang biasanya cukup sulit jika dilakukan dengan pemuliaan konvensional. Pemuliaan tanaman merupakan suatu metode eksploitasi potensi genetik untuk mendapatkan kultivar unggul baru yang berdaya hasil dan berkualitas tinggi pada kondisi lingkungan tertentu (Mayo 1980; Guzhov 1989; Stoskopf et al. 1993; Shivanna dan Sawhney 1997). Kegiatan eksploitasi potensi genetik tanaman semakin gencar setelah dicetuskannya Revolusi Hijau. Sejak itu, dengan teknik pemuliaan konvensional, pemulia tanaman telah berhasil memperbaiki sifat kualitatif maupun kuantitatif tanaman. Walaupun teknologi pemuliaan konvensional terbukti berhasil meningkatkan produksi tanaman dan mampu memenuhi pangan penduduk bumi sampai saat ini, teknologi tersebut memiliki keterbatasan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, berkurangnya luas lahan produktif, dan semakin melandainya produktivitas hasil pertanian.

Kegiatan seleksi dalam pemuliaan secara konvensional hanya didasarkan pada pengamatan fenotipe yang dibantu dengan pendugaan menggunakan metode statistik yang tepat. Beberapa masalah yang sering muncul dalam pemuliaan secara konvensional, seperti yang disarikan oleh Lamadji et al. (1999), adalah: 1) memerlukan waktu yang cukup lama, 2) sulit memilih dengan tepat gen-gen yang menjadi target seleksi untuk diekspresikan pada sifat-sifat morfologi atau agronomi, karena penampilan fenotipe tanaman bukan hanya ditentukan oleh komposisi genetik, tetapi juga oleh lingkungan tempat tanaman tersebut tumbuh, 3) rendahnya frekuensi individu berkenan yang berada dalam suatu populasi yang besar sehingga menyulitkan kegiatan seleksi untuk mendapatkan hasil yang valid secara statistik, dan 4) pautan gen antara sifat yang diinginkan dengan yang tidak diinginkan sulit dipisahkan saat melakukan persilangan. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi molekuler pada awal tahun 1980-an, ditemukan teknologi molekuler yang berbasis pada DNA. Marka molekuler merupakan alat yang sangat baik bagi pemulia dan ahli genetik untuk menganalisis genom tanaman. Sistem ini telah merevolusi bidang pemetaan genetik dan dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan keragaman genetik, klasifikasi dan filogeni dalam pengelolaan plasma nutfah, dan sebagai alat bantu dalam pemuliaan dan seleksi melalui penandaan gen. Marka molekuler juga dapat digunakan untuk pengklonan gen yang difasilitasi oleh peta marka molekuler. Kegiatan seleksi pada pemuliaan secara konvensional dapat dipercepat jika dapat disinergikan dengan teknologi marka molekuler yang dikenal dengan nama marker assisted selection (MAS). Dengan MAS, kegiatan seleksi menjadi lebih efektif dan efisien karena seleksi hanya didasarkan pada sifat genetik tanaman, tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. MARKA MOLEKULER SEBAGAI ALAT BANTU SELEKSI Teknologi marka molekuler pada tanaman berkembang sejalan dengan makin banyaknya pilihan marka DNA yaitu: 1) marka yang berdasarkan pada hibridisasi DNA seperti restriction fragment length polymorphism (RFLP), 2) marka yang berdasarkan pada reaksi rantai polimerase yaitu polymerase chain reaction (PCR) dengan menggunakan sekuen-sekuen nukleotida sebagai primer, seperti randomly amplified

polymorphic DNA (RAPD) dan amplified fragment length polymorphism (AFLP), 3) marka yang berdasarkan pada PCR dengan menggunakan primer yang menggabungkan sekuen komplementer spesifik dalam DNA target, seperti sequence tagged sites (STS), sequence characterized amplified regions (SCARs), simple sequence repeats (SSRs) atau mikrosatelit, dan single nucleotide polymorphisms (SNPs). Pemilihan marka yang akan digunakan dalam analisis genetik perlu mempertimbangkan tujuan yang diinginkan, sumber dana yang dimiliki, fasilitas yang tersedia, serta kelebihan dan kekurangan masing-masing tipe marka. Keberhasilan penggunaan suatu marka penyeleksi dalam kegiatan pemuliaan bergantung pada tiga syarat utama yang harus dipenuhi (AMBIONET 1998) yaitu: 1) tersedianya peta genetik dengan jumlah marka polimorfis yang cukup memadai sehingga dapat mengidentifikasi QTL atau gen-gen mayor target secara akurat, 2) marka terkait erat dengan QTL atau gen mayor target pada peta genetik yang sudah dikonstruksi, dan 3) kemampuan menganalisis sejumlah besar tanaman secara efektif.

Tabel 1 memperlihatkan bahwa tingkat kemampuan deteksi marka isozim dan DNA dibagi menjadi dua, yaitu marka yang memiliki kemampuan mendeteksi keragaman di tingkat alel, yaitu isozim, RFLP dan mikrosatelit, serta marka yang mampu mendeteksi keragaman di tingkat lokus yaitu RAPD dan AFLPs. AFLPs merupakan marka DNA dengan prinsip kerja menggabungkan kelebihan dari RFLP dan RAPD sehingga sangat baik digunakan dalam penelitian genetik. Namun demikian, penggunaan marka AFLPs di Indonesia belum meluas karena memerlukan investasi yang besar dan keterampilan khusus. Dalam konteks MAS, marka berbasis DNA dapat lebih efektif jika digunakan untuk tiga tujuan dasar, yaitu: 1) identifikasi galur-galur tetua untuk perbaikan suatu karakter untuk tujuan khusus, 2) penelusuran alel-alel dominan atau resesif pada tiap generasi persilangan, dan 3) identifikasi individu-individu target sesuai dengan karakter yang diinginkan di antara turunan yang bersegregasi, berdasarkan komposisi alel persilangan sebagian atau seluruh genom. 1. PCR (Polymerase Chain Reaction) Reaksi berantai polimerase atau dikenal sebagai PCR adalah suatu proses sintesis enzimatik untuk mengamplifikasi suatu sekuen nukleotida tertentu secara invitro. Teknik PCR biasanya memiliki sensivitas yang sangat tinggi, sehingga kontaminasi sampel DNA dapat mempengaruhi hasil analisis. Ada 5 (lima) komponen utama PCR yaitu oligonukleotida primer, buffer amplifikasi, deoxyribonucleoside triphosphates (dNTP), sekuen target (template DNA) dan Taq DNA polimerase. Dalam analisis keragaman, hal penting yang perlu diperhatikan adalah pemilihan primer yang dapat menampilkan polimorfisme pita-pita DNA diantara individu yang diuji serta kualitas pita DNA untuk memudahkan dalam interpretasi data (Fatchiyah, 2008). Keunggulan metode PCR dapat meningkatkan jumlah urutan basa nukleotida ribuan bahkan jutaan kali dari jumlah semula. Setiap urutan basa nukleotida yang diamplifikasi akan menjadi dua kali jumlahnya. Pada setiap n siklus PCR akan diperoleh 2n kali banyaknya DNA target. Kunci utama pengembangan PCR adalah menemukan bagaimana cara amplifikasi hanya pada urutan DNA target dan meminimalkan amplifikasi urutan non-target (Fatchiyah, 2008). Pada umumnya PCR dilakukan dengan mengulangi siklus reaksi pelipatgandaan sebanyak 20-30 siklus. Akan tetapi, banyaknya

siklus yang diperlukan terutama tergantung pada konsentrasi awal molekul DNA target yang akan dilipatgandakan. Siklus yang terlalu banyak justru akan meningkatkan konsentrasi produk yang tidak spesifik. Sedangkan siklus yang terlalu sedikit akan mengurangi kuantitas produk yang diharapkan. 2. Penanda Molekuler RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) RAPD atau teknologi polimorpisme amplifikasi fragmen DNA dalam pelaksanaannya membutuhkan bantuan PCR adalah sebuah metode in vitro yang efektif untuk memperbanyak sekuen DNA spesifik, sehingga sering dinamakan metode analisis RAPD-PCR. Teknik PCR ini memanfaatkan dua sifat utama DNA, yaitu komplementasi basa-basanya (A=T; G=C) dan anti paralelisme dari kedua rantai DNA-nya. Amplifikasi DNA dengan teknik ini secara teknis dapat memberikan keuntungan dibandingkan metode-metode lainnya. Untuk mendapatkan karakterisasi sampel, metode ini dapat dikatakan sederhana, cepat dan akurat. Marka RAPD dapat dilakukan dengan mengamplifikasi DNA secara random primer. Adanya polimorphic DNA dapat dideteksi di bawah cahaya ultraviolet setelah sebelumnya gel elektroforesis diberi Etidhium Bromida (EtBr) sehingga dapat menimbulkan pendaran. Semakin banyak jenis primer yang digunakan akan menambah besar kemampuan mendeteksi perubahan yang kecil dan pasangan basa DNA genom (Ishak, 1998). Beberapa kelebihan dari teknik analisa RAPD ialah pelaksanaannya lebih cepat, hanya membutuhkan sampel DNA dalam jumlah sedikit (0,5-50 nm) dan tidak membutuhkan radioisotop (Demeke dan Adam, 1994). Selain itu menurut Yu dan Pauls (1994), RAPD tidak membutuhkan informasi sekuen DNA lebih dulu dan prosedurnya lebih sederhana. Sedangkan kelemahan dari teknik RAPD adalah tidak dapat membedakan individu homozigot dan heterozigot karena bersifat sebagai penanda dominan serta sulit mendeteksi perubahan yang kecil pada struktur DNA (gen), kecuali jika menggunakan lebih dari 500 jenis primer (Schmidt et al., 1993 dalam Ishak, 1998). Selain itu RAPD menghasilkan data yang tidak spesifik dan tidak kodomain, namun karena kemudahan dan kecepatan dalam menganalisa data, maka teknik ini banyak digunakan (Bustaman dan Moeljopawiro, 1998). 3. Penanda Molekuler AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) Pada dasarnya AFLP merupakan gabungan dari teknik RLFP dan teknik PCR, yang dikembangkan pertama kali oleh Vost et al. pada tahun 1995. Teknik ini sedikit

rumit karena melibatkan enzim restriksi dan amplifikasi. Prosedur AFLP lebih banyak membutuhkan tenaga dan lebih mahal daripada analisis RAPD, namun jumlah lokus yang diperoleh dari setiap reaksi lebih banyak, hal ini disebabkan karena penggunaan primer PCR yang lebih panjang sehingga memungkinkan dilakukannya reaksi pada suhu yang tinggi. Marka AFLP mirip dengan RAPD, tetapi primernya spesifik dan jumlah pitanya lebih banyak. Marka AFLP dikategorikan 18-25 nukleotida. Reproduksibilitas dan kegunaan sebagai marka kodominan, walaupun pada kenyataannya seringkali diperlakukan sebagai marka dominan. Hal ini diakibatkan sulitnya membedakan intensitas pita antara dominan homozigot dari heterozigot. 4. Penanda Molekuler SSR (Simple Sequence Repeats) SSR yang juga sering disebut dengan mikrosatelit merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotipe, evaluasi kemurnian benih, pemetaan, dan seleksi genotip untuk karakter yang diinginkan. SSR tergolong sebagai penanda molekuler yang sangat efektif, yakni sekuen DNA yang bermotif pendek dan diulang secara tandem dengan 2 sampai 5 unit basa nukleotida (dikenal sebagai motif) yang tersebar dan meliputi seluruh genom. Motif ini misalnya urutan ATT (tri nukleotida) yang kemudian diulang 9-30 kali (ATTATTATTATTATTATTATTATTATTATT). Marka ini sangat berguna sebagai marka genetik karena bersifat kodominan sehingga tingkat heterozigositasnya tinggi yang berarti memiliki daya pembeda antar individu sangat tinggi serta dapat diketahui lokasinya pada DNA sehingga dapat mendeteksi keragaman alel pada level yang tinggi, mudah dan ekonomis dalam pengaplikasiannya karena menggunakan proses PCR (Prasetiyono dan Tasliah, 2004). SSR memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi stabil secara somatik dan diwariskan secara Mendelian oleh karena potensi SSR dalam melakukan kesalahan replikasi yang mengakibatkan bertambahnya pengulangan basa nukleotida. Penambahan pengulangan ini terjadi sebanyak 103 per lokus per gamet (satu pada setiap 1000 gamet). Oleh karena itu, SSR dapat dikatakan relatif stabil sehingga dapat dijadikan marka DNA dan akan konsisten menampilkan suatu fragmen yang sama apabila menggunakan primer yang sama (Hartwell et al., 2004). Penanda SSR bersifat multialellik dan mudah diulangi, sehingga baik digunakan untuk mempelajari keragaman genetik diantara genotip-genotip yang berbeda. Selain itu SSR juga bermanfaat dalam mendeteksi tingkat heterosigositas dari

genotip-genotip yang akan dijadikan sebagai calon tetua hibrida. Sedangkan kelemahan teknik ini adalah marka SSR tidak tersedia pada semua spesies tanaman, sehingga untuk merancang primer yang baru dibutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal (Powell et al., 1996 dalam Azrai, 2005). 5. Penanda Molekuler RFLP (Restriction Fragment Lenght Polymorphisme) Penanda RFLP ini telah digunakan sejak tahun 1980 yang mempunyai kemampuan menandai suatu segmen dari genom yang mengandung sifat ekonomi penting. Metode ini dapat digunakan untuk menganalisa secara molekuler keragaman genetik diantara individu dalam suatu populasi. Selain itu teknik ini mempunyai spesifitas sampai tingkat inter spesies dimana adanya mutasi pada daerah non coding DNA menyebabkan perbedaan tempat pemotongan oleh enzim tersebut dapat dipisahkan melalui elektroforesis gel agarosa. Perbedaan pola potongan DNA atau polimorfisme tersebut akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Metode analisa ini juga dapat digunakan untuk menentukan kesamaan dan perbedaan kedua gen (Primarck et al., 1998). Kelebihan lain dari penggunaan metode ini adalah kemampuan dalam menandai adanya polymorphisme pada sites sequences nucleotid yang ditunjukkan melalui pola pemotongan restriksi enzim endonuklease. Polymorphisme akan menghasilkan perbedaan ukuran fragmen yang terpotong, sehingga setiap siklus restriksi dapat dipetakan (Adam et al., 1992). DAFTAR PUSTAKA Adams, R.L.P., J.T. Knowle dan D.P. Leader. 1992. The Biochemistry of The Nucleid Acids (11th ed). Chapman dan Hall Publishing. London. P.117-120. Azrai, M. 2005. Sinergi Teknologi Marka Molekuler Dalam Pemuliaan Tanaman Jagung. Jurnal Litbang Pertanian 25(3):81-89. Ishak. 1998. Identifikasi DNA Genom Mutan Padi Atomita-2 dan Tetuanya Menggunakan RAPD Markers. Zuriat. 9 (2):71-83. Prasetiyono, J. dan Tasliah. 2004. Marka Mikrosatelit: Marka Molekuler yang Menjanjikan. Buletin AgroBio: Jurnal Tinjauan Ilmiah Riset Biologi dan Bioteknologi Pertanian 6(2):45-51. Primarck, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia.

You might also like