You are on page 1of 8

KOMUNIKASI POLITIK ORDE BARU

Tanpa komunikasi, tidak akan ada usaha bersama, dengan demikian tidak ada politik, (Galnoor, 1980). Jika merujuk pada pemahaman Galnoor, mungkin bangsa Indonesia tidak pernah berpolitik sungguh di bawah rezim Orde Baru. Selama 32 tahun yang dipraktekkan hanyalah politik negatif. Jangankan tercipta komunikasi politik yang dialogis, terbuka, dan egaliter, semua saluran-saluran komunikasi politik praktis mampat. Partisipasi rakyat membeku. Sabda penguasa meracau. Alfian (1991) masih santun menyimpulkan bentuk komunikasi politik Orde Baru memiliki karakteristik yang khas berupa Budaya Politik Ketergantungan. Ditandai dengan adanya penafsiran Demokrasi Pancasila dan konsensus nasionalnya, konsep pembina politik oleh birokrat, kebebasan yang bertanggung jawab, kebijaksanaan massa mengambang, pelembagaan semua unsur masyarakat, dan pembatasan partai politik. Betapapun Alfian berpendapat, sesungguhnya komunikasi politik Orde Baru lebih mencerminkan sistem politik yang totaliter. Ketika eksekutif begitu dominan dan peran legislatif dimarjinalkan, mulailah penafsiran simbol-simbol politik dimonopoli. Pengontrolan komunikasi politik dilakukan secara ketat. Semua jaringan politik baik fungsi input maupun output di bawah kendali tangan eksekutif. Yang memungkinkannya bersikap indoktrinatif. Mental masyarakat diteror lewat ancaman, intimidasi, dan pembungkaman. Kehidupan masyarakat dihantui rasa takut, cemas, dan akhirnya memilih diam. Suatu pilihan yang bukan berarti emas tetapi wujud pelarian orang-orang tertindas. Secara sistematis, mereka yang bersuara sumbang diberi label tendensius, subversif, bahkan di luar sistem, yang muaranya tentu saja PKI. Suatu partai terlarang yang telah menjadi senjata ampuh Orde Baru dalam menghabisi lawan politiknya. Jika telah dicap berbau PKI, siapa pun orangnya apa pun lembaganya walau belum dibuktikan di pengadilan, efektif menciutkan nyali siapa saja yang tidak disenangi Orde Baru. Konsekuensinya jelas, selain masyarakat masih trauma dengan pemberontakan PKI, tertuduh akan terpangkas hak politiknya bahkan hak asasinya. Tak ada pembelaan baginya karena lapisan masyarakat begitu hening dari diskursus politik. Komunikasi politik pendidikan politik ditabukan. Kebijaksanaan massa mengambang yang diterapkan melahirkan masyarakat yang buta politik. Tak ada lagi akses parpol pada masyarakat lapisan bawah. Mereka yang sebenarnya menjadi obyek praktek politik tidak diberi wadah artikulasi. Isu-isu politik tidak menetes ke bawah. Sehingga jika terjadi argumentasi di tingkat elit tentang masalah strategis, masyarakat hanya menerimanya dengan nanar. Tidak paham mereka, apakah

kebijaksanaan politik yang diambil demi sebatas kepentingan elit, menciptakan tambang pemerasan rakyat, atau malah menggerogoti kekayaan negara. Masyarakat acuh dengan lahan-lahan milik negara yang dipakai untuk kepentingan pribadi. Mereka membiarkan fasilitas mewah gratis bagi pejabat. Pura-pura tidak peduli ribuan kilometer ruas jalan tol dimiliki segelintir orang. Yang penting dapat lahan kerja. Mereka tidak protes ketika harga listrik dinaikkan atau tagihan PAM yang kadaluwarsa hingga hitungan tahun. Stiker-stiker siluman bergentahayangan. Kupon-kupon PMI yang tidak pernah diaudit. Parkir tanpa karcis. Biarkan saja. Toh pendapatan kini jauh lebih baik dibanding Orde Lama. Mereka pun terjebak bingung mengapa tata niaga cengkeh yang telah diberi monopoli itu masih bisa merugi. Mobil nasional yang penuh fasilitas namun hampir semua kandungannya masih asli impor. Konsesi pengelolaan hutan dan pertambangan yang cuma menyisakan bangkai. Ke mana larinya aset negara itu? Semua malas menelusurinya. Itu urusan pemerintah, bukan urusan saya, begitu selalu yang terngiang. Itu semua akibat masyarakat dibuai dengan janji kemakmuran. Jauhi politik, bermanis-manis sajalah dengan pembangunan ekonomi. Kesuksesan seseorang diukur dengan penumpukan materi. Inilah Indonesia gemah ripah loh jinawi. Bekerja keras dimanipulasi sebagai patriotisme politik bangsa. Yang tidak produktif akan ditinggal kereta pembangunan. Masyarakat yang berposisi sebagai massa rakyat dalam kampanye pemilu Orde Baru tertelan pesta semu demokrasi. Harga per kepalanya sekedar untuk titian menuju singgasana kursi dewan. Saat rakyat menyuarakan keluhannya, gaungnya nyaris tak terdengar. Wes-ewes-ewes bablas angine karena disuarakan dari luar pagar rumah rakyat. Sedang gedungnya begitu megah, temboknya tebal, dan ruang sidang anggota dewan diberi peredam. Kesenjangan persepsi masyarakat dan wakil rakyat mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara sulit terjembatani. Wakil rakyat sulit bersentuhan dengan para pemilihnya. Asing, aneh, dan kaku. Kesempatan berdialog acap merupakan hal yang istimewa. Kecurigaan bahwa DPR sebenarnya tidak efektif sebagai wadah perjuangan aspirasi rakyat seharusnya sudah disadari sejak dibentuknya Komnas HAM. Suatu pelecehan bagi anggota dewan karena Komnas HAM yang ramping itu ternyata lebih produktif. Bahkan dapat menuntaskan persoalan yang sepatutnya menjadi kewajiban DPR. Orde Baru tahu benar memanfaatkan momentum komunikasi politik. Pagar maya dipatokkan di setiap ruang pikir masyarakat. Saluran-saluran komunikasi politik dipakai untuk memperkuat hegemoni mereka atas khalayak dalam menafsir realitas. Rakyat disajikan informasi yang sudah disensor, digunting, ditambah, dimanipulasi, yang semuanya indoktrinatif. Rakyat diberi

banyak pilihan tetapi mengucur pada satu aksi retorika politik, Orde Baru adalah orde yang bersih bebas cela. Kalau yang dihadapi presiden adalah khalayak yang sudah sedikit intelek, lain lagi penanganannya. Dipilihlah mereka yang berasal dari kader Golkar. Mencegah supaya suara minor tidak menyeruak. Kemudian disisipi barisan peresap, mulai dari ring satu hingga tiga. Petugas ring inilah yang akan menertibkan peserta temu wicara yang ingin membuat ulah. Mereka yang dicurigai digiring secara halus menuju ruang interogasi. Budaya ini memabukkan. Pejabat merasa selalu benar karena yang dihadapinya boneka-boneka hasil jahitan panitia. Suara asli masyarakat senyap tertelan ambisi pribadi para penjilat kekuasaan. Sehingga kritik dianggap tidak sopan dan melawan kemapanan. Wajarlah bila kemasan komunikasi politik tipu palsu begini selalu dirindukan hingga tingkat camat sekalipun. Kesenangan memanfaatkan saluran komunikasi politik untuk kepentingan kekuasaan merambah pula ke media massa. Wajib relay ditetapkan, pembatasan dan pemusatan nara sumber, pembentukan dewan pembina media, budaya telepon, sensor, dan sebagainya. Kesemuanya demi suka cita pejabat melanggengkan status quo. Wajib relay memangkas hak khalayak memilih informasi dan menganggu kreativitas media. Radio menanggung beban paling berat. Hampir setiap jam harus bergabung dengan RRI. Coba-coba mangkir, Dewan Pembina Radio langsung menegurnya. Kejadian menyesakkan apabila ada acara khusus. Suatu acara yang dianggap pemerintah mengandung kepentingan nasional. Televisi dan radio harus meng-ground semua program yang telah disiapkan. Khalayak dipaksa menerima informasi tunggal yang kerap penuh pariwara politik. Sampai-sampai saat Piala Dunia bergulir banyak khalayak berdoa semoga tidak ada pejabat nasional yang mangkat. Khawatir karena siaran televisi pernah selama seminggu penuh menyatakan berlasungkawa dengan program kenang-mengenang. Berusaha menghibur kesedihan sang penguasa tunggal. Yang paling mengerikan adalah pemusatan dan pembatasan nara sumber. Pemberitaan yang menyangkut kekuasaan eksekutif harus seragam. Bersumber dari Deppen, Setneg, maupun Puspen ABRI. Tidak boleh kreatif melakukan investifigasi sendiri. Nanti masyarakat gelisah menentukan pihak yang harus dipercaya. Maka jangan harap Orde Baru memperbolehkan para oposan tampil di televisi. Begitu pula menggunakan bahasa. Media massa harus hati-hati. Tidak boleh menggunakan kata-kata lugas. Harus diperhalus. Iklim sejuk dikedepankan. Jangan membuat masyarakat gaduh. Media massa dituntut kreatif dalam memakai kata diamankan (berarti: ditahan), kekurangan pangan (lapar), daerah tertinggal (miskin), atau dibina (diatur paksa).

Dari semua kata-kata kreatif itu, yang paling menyesatkan adalah pengertian bantuan yang berarti hutang. Informasi yang benar-benar menjebak. Rakyat banyak beranggapan betapa mulianya negara-negara donor itu. Tumbuh kekaguman dengan Jepang, Belanda, AS, Bank Dunia, dan IMF. Padahal anak-cuculah yang akan meradang. Kemampuan dan produktivitas mereka kelak diperas untuk melunasi hutang-hutang hingga ratusan milyar dollar US. Hutanghutang yang sebagian dipakai untuk pesta-pesta pembangunan. Kesenian sebagai media rakyat, sebagai saluran komunikasi tradisional memang lekat nuansa sindir. Teater, drama, pantun, semua selalu merefleksikan realitas. Sering pula dipakai masyarakat menyampaikan keluhannya kepada tuan pejabat. Pada masanya dulu begitu efektif sebagai saluran komunikasi politik. Para tuan pejabat pun menganggap sebagai media yang positif nan menghibur. Lingkungan kekuasaannya disediakan untuk pentas semacam itu. Mereka merasa sepi bila kesenian tradisional itu lama tak manggung sehingga menganggap rakyat telah melupakannya. Betapa tidak, dari kesenian itulah para tuan pejabat dapat memahami kondisi asli masyarakatnya. Lebih akurat dibanding laporan para hulubalang yang lebih sering ambil puji puja saja. Maka kalau sikap pemerintah sudah alergi pada teater, drama, dan segala bentuk wacana sastra, tentu kondisi yang dibentuk selalu anti dialog. Mereka tidak ingin hartanya diungkit-ungkit. Mereka tidak ingin perilakunya dikilik kritik. Pengalaman Teater Koma, Iwan Fals, atau Rendra telah sering membuktikan. Kelompok seperti Teater Koma begitu populer karena di sanalah masyarakat dapat melepaskan ketegangan politiknya. Dalam komunitas ini dapat saling becermin, berdialog, dan ber-reorientasi tanpa batas hirarkis dan politis. Sesuatu yang menggetarkan. Sesuatu yang jarang mereka dapat pada laku hidup sebenarnya. Jika berani bicara politik di tempat umum, sebatas antar dua orang sahabat pun, bersiaplah diciduk aparat. Mata-mata kuping-kuping bertebaran. Semua siap menghamba pada atasan. Inilah bentuk Negara Polisi. Segala aktivitas dan dinamika masyarakat dipantau. Dari ladang hingga ranjang. Tidak hanya sebatas aksi. Sekedar lontar pendapat sudah layak diberi warna. Merah, kuning, atau hijau. Keheningan komunikasi politik yang dipaksakan Orde Baru untuk mengamankan pembangunan itu ternyata menumbuhkan rezim yang besar kepala. Kontrol masyarakat yang lemah memancangkan kesewenang-wenangan. Tangantangan birokrasi bebas merentangkan kekuasaannya. Bertumpuk-tumpuk masyarakat dihimpit paksa menjejali saku konco-konco penguasa. Tak lagi malu-malu, korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin rimbun. Dahannya meracuni sistem sosial yang mematikan solidaritas, tenggang rasa, dan kerukunan. Daun-daunnya membelai kantuk sistem hukum yang meredupkan mata hatinya dalam memandang kejujuran, keadilan, dan kebenaran. Akarnya

menghisap sistem ekonomi sehingga kesenjangan terkuak, kemiskinan bertebaran, dan pengangguran terselubung membentang. Akibat selalu dikencingi, negara ini mulai bau pesing. Semua dada masyarakat sesak. Berbagai sektor kehidupan tampak bersih namun membuat perut mual. Dari semua kesumpekan itu mahasiswa yang paling gerah. Semua geram karena idealisme-idealisme yang mereka dapatkan di kampus macet jika diimplementasikan di masyarakat. Kekuatan moral mahasiswa itulah yang menjadi pilar harapan saat semua lapisan psikis masyarakat tak berdaya. Gerakan murni mahasiswa yang diunjukkan begitu bergelombang sehingga sulit diakali oleh rezim yang sakti sekalipun. Ceceran darah hingga nyawa bukan penghalang. Saluran komunikasi politik mereka ambil alih. Diskursus politik mengumandangkan beragam tuntutan. Counter informasi gencar mereka suarakan. Vox populi vox dei. Akhirnya tanggal 21 Mei 1998 Orde Baru itu tumbang.

KOMUNIKASI POLITIK ERA REFORMASI


Tercatat, politik di Indonesia mengalami tiga periodisasi, mulai dari masa Orde Lama, Orde Baru, dan era reformasi yang kini tengah bergulir. Orde Baru sendiri dapat dikatakan sebuah era di mana dialektika politik menjadi sesuatu yang diharamkan. Dengan pola pemerintahan otoriter serta militeristik, komunikasi politik pada masa ini nyaris berjalan linear, ruang-ruang kritis dibungkam sehingga kondisi di dalam ranah kekuasaan pun sangat tidak sehat. Kultur feodal ala jawa dengan sistem Bapak-Anak Buah menjadi batasan dalam melakukan komunikasi politik. Seluruh proses komunikasi sistem politik Indonesia akhirnya berada di tangan presiden semata. Badan legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat, tetapi tak lain hanya mendukung presiden dan kekuasaan yang dimilikinya. Sebuah masa di mana demokrasi adalah formalitas yang dibalut realitas semu. Hal ini pula yang sempat terjadi pada masa akhir kekuasaan Orde Lama. Gelinding roda jaman pada akhirnya mencapai titik jenuh dan berputar 180 derajat. Krisis ekonomi yang mendera Asia pada medio 1997 mengakibatkan guncangan hebat bagi ekonomi Indonesia yang kemudian berbuntut pula menjadi krisis kepercayaan yang berakhir pada krisis politik. Mei 1998, Orde Baru kekuasaan yang bersahabat dengan korupsi dan kekerasan itu- runtuh yang ditandai dengan lengsernya ikon rezim ini: Soeharto. Era baru kemudian tiba, era reformasi. Semangat keterbukaan dalam segala lini kemudian menjadi spirit baru yang mengawali genderang perubahan, termasuk pula di dalamnya lini politik. Ibarat keran air yang dibuka mendadak, demikianlah kondisi perpolitikan kala itu. Partai-partai politik tumbuh subur mencoba mengeluarkan suaranya yang pernah dibungkam. Kelompok reformis maupun yang mengaku-ngaku reformis turun gunung meramaikan jagad

perpolitikan nasional. Para politisi ini kemudian seolah menemui dunia politik yang sebenar-benarnya. Dunia politik di mana retorika serta propaganda silih berganti sekaligus bertubi-tubi menyapa masyarakat yang haus akan perubahan. Politisi dan Komunikasi Politik dalam Jagad Reformasi Satu hal yang harus diakui, para politisi mencari pengaruh dengan melakukan kegiatan komunikasi. Kegiatan komunikasi ini, jikalah mengutip pernyataan Stendhal, seperti menembakkan pistol ke udara di tengah keramaian. Letupan yang menggelar tersebut tentu membuat khalayak menoleh ke arah suara. Memang, dalam rangka kepentingannya untuk memengaruhi opini, komunikasi dalam ranah politik Indonesia kerap menomorduakan esensi dan mengedepankan sensasi. Dalam kehidupan di negara berkembang seperti Indonesia, komunikator politik memengaruhi konsep dan pilihan masyarakat, disebabkan political level yang ada di negara ini hanya sebatas cultural politic. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan warga negara Indonesia masih rendah, dan juga belum merata. Masyarakat kita sepertinya belum bisa lepas dari lingkaran kultural. Terkait dengan politisi yang juga merupakan komunikator politik, Daniel Katz menunjukkan bahwa pemimpin politik mengerahkan pengaruhnya ke dua arah: memengaruhi alokasi ganjaran dan mengubah struktur sosial yang ada. Dalam kewenangannya yang pertama, politikus itu berkomunikasi sebagai wakil kelompok atau langganan; pesan-pesan politikus itu mengajukan dan atau melindungi tujuan kepentingan politik; artinya, komunikatir politik mewakili kepentingan kelompok. Sebaliknya, politikus yang bertindak sebagai ideologi tidak begitu terpusat perhatiannya kepada mendesakkan tuntutan seorang langganan; ia lebih menyibukkan dirinya untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih jelas, mengusahakan reformasi, dan bahkan mendukung perubahan revolusioner. Ideolog itu terutama berkomunikasi untuk membelokkan mereka kepada suatu tujuan, bukan mewakili kepentingan mereka dalam gelanggang tawar-menawar dan mencari kompromi. Kedua tipe politikus ini sama-sama memengaruhi orang lain, yakni bertindak dengan tujuan memengaruhi orang lain. Wakil partisan mengejar perubahan atau mencegah perubahan opini dengan tawar-menawar aar keadaannya menguntungkan bagi semua pihak, sedangkan ideolog memengaruhi bukan dengan mengendalikan situasi agar menguntungkan semua kepentingan, melainkan dengan menetapkan kepentingan yang bertentangan dan atau netral dan dengan meyakinkan orang kepada satu cara berpikir. Dengan kata lain, wakil adalah makelar yang yang membujuk orang lain agar ikut dan setuju; ideolog adalah pesilat lidah yang menawarkan gagasan yang lebih baik. Sebagian besar politisi di negeri ini, pasca reformasi, kerap mendengungkan demokrasi yang dibalut dengan kesantunan dan tak lagi berjalan dengan semangat yang sama seperti halnya di awal reformasi. Semangat reformasi

dalam kancah politik pada dekade akhir milenia memang kental dengan perjuangan untuk perubahan. Komunikasi politik yang dibangun pun mengarah pada perbaikan, atau jika mengutip pernyataan Gertz di atas, para politisi ideolog. Sebut saja para pengusung Deklarasi Ciganjur yang digagas oleh mahasiswa pada awal reformasi. Terasa benar semangat demokrasi dalam komunikasi politiknya meski tak menutup kemungkinan masing-masing pihak tentu membawa pula kepentingan-kepentingan kelompoknya di dalam jalinan komunikasi tersebut. Amien Rais yang mewakili perlawanan kaum intelektual di era Orde Baru, Megawati sebagai simbol wong cilik, Gusdur sebagai pemersatu umat, dan Sri Sultan Hamengkubuwono yang mewakili tokoh reformis dari partai penguasa kala itu membangun sebuah komunikasi yang memiliki harga di hadapan publik. Berkebalikan dengan peristiwa bertahun-tahun lalu itu, saat ini, pola komunikasi yang dibangun oleh politisi terkesan begitu pragmatis dengan mengedepankan kepentingan kelompok. Para politisi bersolek dan menempatkan dirinya sebagai kelompok selebritas baru yang sah-sah saja membangun komunikasi dengan alasan demokrasi. Tak usah jauh-jauh, beberapa waktu yang lalu masyarakat seakan diajak bersama-sama untuk menyaksikan dagelan politik berjudul Pansus Century. Alih-alih ingin membongkar skandal terbesar di tahun 2009, adu caci dan adu hantam malah menjadi suguhan tersendiri yang ditampilkan oleh para politisi. Ketika Ruhut Sitompul dan Gayus Lumbun bertukar makian, pembelaan justru datang dari kelompok politisi yang mengatakan bahwa hal tersebut wajar dalam demokrasi. Ironisnya, ketika presiden mendapat serangan dari para politisi dan juga masyarakat perihal skandal tersebut, ia justru menyampaikan pidato-pidato yang seolah-olah hendak mengatakan bahwa tak patut dan tak santun di dalam politik untuk melakukan hal-hal demikian. Kritik adalah tak patut dan tak santun. Betapa ironis! Pencitraan politik kemudian menjadi hal terpenting dalam membangun komunikasi politik di Indonesia pasca reformasi. Pola komunikasi yang dipopulerkan oleh partai penguasa ini kemudian seolah menjadi primadona politisi di dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya. Padahal, jika dikaji secara idealis, demokratisasi komunikasi politik merupakan bagian dari proses reformasi. Penyelenggaraan sistem kehidupan politik demokrasi dimaksudkan untuk menghasilkan kesejahteraan rakyat. Sebaikmya kesejahteraan rakyat yang meningkat akan menumbuhkembangkan kehidupan yang demokratis. Oleh karena itu, harus dicegah terjadinya distorsi atau gangguan yang dapat melemahkan hubungan yang saling mendukung antara demokrasi dan kesejahteraan. Di sinilah peran komunikasi politik seharusnya menjadi semakin penting. Komunikasi yang disampaikan oleh politisi sudah barang tentu merupakan perbincangan politik yang di dalamnya mencakup lambang, bahasa, dan opini publik. Ketika politisi menggunakan bahasa-bahasa yang cenderung politis, seharusnya ia memberikan lambang-lambang tertentu kepada publik yang memberi simbol tentang kekuasaan sekaligus pula mencerahkan. Masalahnya,

politisi di Indonesia pasca reformasi kemudian cenderung menggunakan bahasabahasa yang begitu legal formal dengan dalih demi kepentingan bangsa dan negara namun kosong makna. Pada detik ini, politisi berusaha mencitrakan bahwa dirinya adalah perwakilan publik yang santun dengan tidak memerhatikan aspek-aspek logika sederhana. Pada perkembangannya, komunikasi politik yang dilakukan oleh para politisi tidak memberikan edukasi banyak bagi publiknya. Apa lacur, politik yang kultural memang mengenyampingkan rasionalitas. Komunikasi politik dalam dunia politik kultural dengan demikian belum mementingkan apa isi pembicaraan, namun baru sekadar siapa yang berbicara. Pepatah lama yang mengatakan penggede selalu diliputi kebajikan yang dahulu dilawan mati-matian di era tumbangnya Orde Baru kini justru terlahir kembali. Sama seperti halnya public figure di kancah hiburan, pun demikian pula halnya dengan para politisi di negeri ini. Apapun yang dilakukannya dianggap wajar melalui komunikasi-komunikasi yang mereka lakukan. Memang, harus diakui, tak semua politisi melakukan komunikasi politik hanya demi memerbaiki citranya semata. Politisi ideolog masih cukup banyak pula bertebaran. Namun, kekuatan yang mereka miliki tak sehebat para politisi yang begitu terbuai dengan pencitraan yang dilakukannya. Walhasil, politisipolitisi ideolog yang kerap bersuara lantang kerap dalam melakukan komunikasi politiknya kerap dipersandingkan dengan politisi cari muka yang memang nyaris melakukan tindakan yang sama, kerap lantang berbicara. Hanya saja, ketika politisi ideolog memberi pesan kuat dalam tiap ucapannya alias memiliki esensi, politisi cari muka kerap berkoar tanpa memedulikan esensi dari apa yang diucapkannya. Kembali lagi kepada komunikasi politik pasca reformasi di Indonesia. Nyaris 12 tahun setelah bergulirnya reformasi, kini komunikasi politik yang dikembangkan di Indonesia penuh idiom-idiom dalam tataran formalitas kesantunan sekaligus kerikuhan. Ketika demokrasi bertemu dengan pola-pola kesantunan yang cenderung hanya menjadi bahasa semata, mau tak mau, kita meski digadang-gadang telah menjadi negara demokrasi dalam artian sebenarnyajustru kembali terjebak dalam retorika-retorika politik yang membuat komunikasi politik menjadi mampet di satu sisi, namun lancar terjalin di sisi lain: di sisi ketika komunikasi politik adalah ujaran-ujaran yang justru bertendensi demi kepentingan kelompok maupun kepentingan sendiri meski mengatasnamakan publik. Pada akhirnya, gemerlap publisitas komunikasi politik yang dilakukan oleh para politisi pun tak ubahnya seperti sebuah pertunjukan opera sabun. Sebuah selebrasi dari aksi selebritas yang kadung menular dan melekat di diri para politisi kita.

You might also like