You are on page 1of 35

I.

IDENTITAS PASIEN Nama Jenis Kelamin Usia Alamat Status Pendidikan Pekerjaan Suku Agama NRM Datang ke RSCM : Ny. E : perempuan : 44 tahun : Kramat Sawah, Jakarta : menikah : SMP : pedagang : Makassar : Islam : 3 Februari 2009 : 293-20-30

II. RIWAYAT PSIKIATRI Diperoleh dari: autoanamnesis dan alloanamnesis dari rekam medis (tanggal 3 Februari 2009) A. Keluhan Utama Pasien merasa lemas dan tidak nafsu makan tiga hari sebelum kontrol ke poli jiwa RSCM B. Riwayat Gangguan Sekarang Sejak kontrol poli terakhir (8 januari 2009), pasien sudah merasa baikan. Ketakutan, rasa sedih, emosi, gelisah dan suara-suara yang menggangu mulai berkurang dan dapat dikendalikan. Dua hari setelah setelah kontrol poli, saat bangun pagi pasien merasa lupa siapa dirinya dan keluarganya. Hal ini dirasakan selama + 30 menit setelah itu pasien kembali ingat. Seminggu sebelum kontrol, pasien merasa senang dan mentraktir tetangganya dengan uang keuntungan dagangannya (Rp.100.000,-). Pasien merasa senang karena tetangganya yang berkata Wah, senangnya Bu Eripah, dagangannya laris. Setelah uangnya habis, pasien baru tersadar benar kalau uangnya sudah

habis untuk mentraktir yang seharusnya ditabung untuk membeli sepeda anak bungsunya. Dalam sebulan terakhir, pasien terkadang masih merasakan ketakutan terutama tentang keadaan anaknya di sekolah, pasien takut kalau anak bungsunya jatuh saat main di tangga sekolah. Selain itu, pasien juga merasa khawatir akan nasib ke-4 anaknya nanti bila pasien sudah tidak ada (meninggal dunia). Ketakutan pun dirasakan saat pasien akan memegang pisau dapur untuk memasak, hal ini mengingatkan pasien saat dulu pernah menyakiti dirinya dengan pisau. Bila ketakutan muncul pasien biasanya merasa sedih. Tak lama rasa sedih ini ada, mulailah timbul suara-suara yang menyuruhnya melakukan hal yang negatif. Suara-suara itu terdengar saat pasien sedang wudhu dan menjelang sholat. Suara tersebut terdengar biasanya seminggu sekali. Suara tersebut awalnya terasa seperti hembusan angin, kemudian terdengar suara lelaki tua yang berkata buat apa sholat, tidak ada gunanya kamu sholat. Saat pasien akan minum obat, suara-suara terkadang terdengar pula dan berkata buat apa minum obat, itu tidak ada manfaatnya buat kamu, tidak akan buat kamu sembuh. Untuk mengatasi ketakutan, rasa sedih, dan suara-suara yang mengganggu itu, selain minum obat teratur, pasien juga melakukan relaksasi yang telah diajarkan oleh dokter dan menjalankan CBT (cognitive behaviour theraphy) dengan menuliskan hal-hal yang ia resahkan dalam diari dan berpikir positif. Relaksasi biasanya dilakukan selama + 30 menit. Setelah melakukan relaksasi maupun CBT, perasaan takut, sedih, dan suara-suara yang menggangu itu hilang. Tiga hari sebelum kontrol, pasien merasakan kesedihan lagi, pasien merasa lemas dan tidak nafsu makan. Tidak ada suara-suara yang mengganggu. Pasien masih dapat berdagang dengan lancar. Saat hari kontrol poli, pasien sudah merasa baikan walaupun masih ada rasa cemas terhadap anak bungsunya. C. Riwayat Gangguan Sebelumnya 2

1. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien belum pernah mengalami trauma kepala, kecelakaan, serta kejang. Pasien juga menyangkal adanya riwayat sering sakit kepala maupun sering demam tinggi. 2. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif Pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol, obat-obatan terlarang, dan rokok. 3. Riwayat Gangguan Psikiatri Sebelumnya Tahun 1986, setelah melahirkan anak pertama pasien merasa sedih hingga 25 hari. Saat itu pasien merasa tidak nafsu makan, sering terbangun malam hari, tidak bisa mengerjakan apa-apa, tidak bisa berkonsentrasi, merasa hampa, dan tidak bergairah untuk hidup. Dua puluh tahun yang lalu (1988), suami pasien berhenti Sebelumnya suaminyalah yang menanggung biaya bekerja.

kehidupan keluarganya. Pasien berhenti bekerja setelah kejadian kebakaran di tempat kerjanya (pom bensin) yang disangkut pautkan dengan suaminya. Perasaan pasien sangat sedih dan kecewa karena pasien merasa suaminya tidak bersalah atas kejadian itu. Pasien pun mulai berpikir bagaimana kebutuhan anak-anaknya dapat terpenuhi. Pasien juga merasa pesimis untuk mengharapkan pekerjaan yang lebih baik pada suaminya karena suaminya hanyalah lulusan SMP. Pasien akhirnya memutuskan untuk menggunakan uang simpanannya untuk usaha buka warung kecil-kecilan. Namun, usaha ini tak berdiri lama. Kentungan yang tidak seberapa tak sebanding keluarga dengan pengeluaran anaknya. untuk Pasien membenuhi kebutuhan terutama

merasa kecewa dan sedih karena usahanya ini harus gulung tikar. Di tahun yang sama, pasien dituduh tidak becus mengurus mertuanya yang mengidap diabetes melitus. Pasien merasa tidak dihargai dan berguna. Tubuhnya terasa lemas dan dia cenderung banyak diam. Pasien juga sering mengeluh sakit kepala. Saat malam hari, pasien mendengar suara-suara yang ia tidak ketahui 3

sumbernya, suara itu menyuruhnya membunuh anaknya. Pasien awalnya ia tidak mengiraukan suara gaib itu. Akan tetapi, intensitasnya semakin kuat dan mengganggu tidurnya. Pasien akan diam bila suara itu terdengar. Hal ini juga membuat pasien menjadi malas makan, mandi, dan mengurus dirinya dan anaknya. Hal ini terus terjadi hampir setiap hari dan untuk mengatasinya pasien hanya berdiam diri. Setelah diam dan tenang, suara-suara itu menghilang. Pasien memutuskan untuk berobat ke puskesmas. Dokter mengatakan bahwa ia harus dirawat di RS Grogol. Pasien tidak menerima karena ia merasa badannya sehat bugar dan hanya suara-suara saja yang mengganggunya. Pasien memutuskan tidak ke RS Grogol dan meminum obat tidur dari dokter puskesmas bila sulit tidur. Sebelas tahun yang lalu (1997) pasien mulai merasa gelisah. Ia dituduh adik iparnya tidak mengurusi mertuanya yang sakit kencing manis dengan baik hingga akhirnya meninggal dunia. Pasien jadi merasa bersalah karena merasa tidak becus dalam merawat mertuanya selama ini. Selain itu, adik iparnya juga mantii bunuh diri karena ketergantuang obat. Pasien kembali merasa bersalah karena tidak dapat mencegah hal ini terjadi. Kedua kejadian ini semakin membuatnya pikiran dan perasaanya kacau hingga ia sulit tidur selama + 2 minggu. Sejak itu ia mulai mendengar suara-suara lelaki tak dikenal, yang mengatakan, Kalau begini terus supaya tidak disalahkan lebih baik kamu akhiri hidup saja. Pasien tidak dapat mengendalikan suara tersebut sehingga ia merasa kepalanya bergerak hingga membentur tembok. Suara tersebut muncul seminggu dua kali. Selain itu pasien juga sering mendengar bisikan yang mengatakan, Kalau kamu keluar akan ada yang melukai kamu. Akibatnya pasien jadi merasa takut bila akan keluar rumah. Suara-suara tersebut terus terdengar walau intensitasnya semakin jarang. Namun pada tahun 1999 dan 2002 pasien merasa 4

sangat emosi. Saat itu, pasien sedang menyetrika baju suami dan anaknya. Tiba-tiba kakak iparnya memarahinya dan memukul pasien. Tiba-tiba, terdengar suara-suara yang menyuruhnya untuk kabur dari rumah dan mengikuti jalannya suara itu. Tanpa sadar pasien sudah tiduran di jalan raya dan mencoba terjun dari gedung Kenari Mas. Pasien juga pernah dituduh oleh saudara iparnya mencuri uang Rp.5000,-. Pasien merasa kesal sekali dan suara-suara itu terdengar kembali yang menyuruhnya mengakhiri hidupnya. Kebetulan ada pisau dapur didekat pasien, lalu pasien menggoreskan pisau itu ke tangan kirinya hingga berdarah. Untung saja, ibu pasien melihatnya lalu menamparnya sehingga usaha bunuh diri itu terhenti. Pasien menyatakan bila sedang ketakutan pasien mencium bau-bauan bunga, kemenyan dan juga bau busuk. Ia juga mengatakan jika ketakutan itu bercampur dengan emosi (marah, perasaan ingin menghancurkan atau memukul sesuatu), bisikan untuk mengakhiri hidup semakin kencang. Setiap bisikan selalu diawali dengan bunyi seperti angin lewat kemudian tiupan, katakata mati, dan perintah untuh mengakhiri hidup. Bila suara-suara untuk bunuh diri sangat kuat pasien jadi merasa lemas, tidak berdaya, malas mengerjakan sesuatu, dan sulit tidur karena ketakutan. Lima tahun yang lalu (Agustus 2003) saat melihat lomba 17 Agustusan, pasien tiba-tiba merasa gelisah dan ketakutan. Pasien merasa orang-orang di sekitarnya mau melempar pasien dengan batu. Ia yakin karena melihat tangan diacung-acungkan seperti orang yang akan melihat barang. Karena merasa sangat ketakutan pasien menjerit-jerit, lari ke rumah, dan bersembunyi. Tiga tahun yang lalu (Mei 2005) anak pasien dituduh mencuri burung. Pasien merasa emosi (marah) dan muncul bisikan untuk mencari tahu penjelasan masalah ini. Karena sangat emosi ia terjatuh di trotoar. Pasien merasa lemas seluruh tubuh dan tidak 5

bersemangat. Pasien pun dibawa ke poli saraf. Saat diperiksa, pasien bercerita bahwa ia merasa emosi, gelisah, ketakutan, sedih, dan tidak bersemangat. Pasien kemudian dirujuk ke poli psikiatri dan dikatakan sedang mengalami depresi berat. Pasien direkomendasikan untuk dirawat namun menolak. Beberapa hari kemudian, terdengar suara-suara pria tua yang mengatakan Apa gunanya hidup, lebih baik akhiri saja hidup mu! semakin sering dan keras. Akibatnya pasien semakin ketakutan sehingga mengamuk. Ia kemudian dibawa ke IGD oleh kakak pasien dan akhirnya dirawat di PKW. Saat di PKW, pasien melihat orang-orang di sekelilingnya seperti binatang dan makhluk aneh. Ia sampai protes dan mengatakan kenapa ia dimasukkan ke kandang binatang. Selain itu, pasien juga melihat orang besar bertaring dan bertanduk di pintu. Saat dirawat, pasien takut untuk tidur di atas ranjang karena ada makhluk hitam besar bertaring yang mengawasinya terus dan hal ini membuat pasien sampai menjerit-jerit hingga akhirnya diikat. Selama dirawat, pasien mendengar bisikan kenapa minum obat, tidak ada gunanya, kamu tidak akan sembuh juga. Pasien jadi sering tidak minum obat dan menyembunyikannya di bawah lidah. Setelah tidak dilihat oleh suster pasien membuang obat tersebut. Saat perawatan pasien meminum Haloperidol dan THP. Pasien mengeluh kaku-kaku setelahnya. Pasien hanya dirawat selama 4 minggu dan cuti pulang di tengah-tengah perawatan karena ingin mengurus anaknya yang akan masuk sekolah. Sebenarnya, Pasien masih merasa depresi dan suara-suara yang mengganggu itu. Namun, agar dapat diizinkan pulang, pasien berkata bahwa pasien sudah tenang dan nyaman. Setelah keluar dari perawatan pasien merasa lebih baik. Pasien masih sering merasa ketakutan namun tidak seperti dulu. Bisikanbisikan untuk mengakhiri hidup masih ada namun dapat dikontrol. Ia rutin periksa di poli dan sering mengeluhkan badannya kaku 6

seprti robot sehingga mengganggu aktivitasnya. Sejak itu obat haloperidol tidak diresepkan lagi dan diganti dengan Risperidone. Pada tahun 2006-2007 pasien mengikuti penelitian obat Seroquel (Quetianapin) dan selama menggunakan obat itu, pasien merasa enak dan tidak ada gejala-gejala yang muncul. Pasien diresepkan pula obat Calsetin. Segera sesudah makan obat ini, pasien merasakan rasa bahagia, lebih banyak senyum, dan tidak mudah lelah walaupun sudah banyak kerjaaan yang ia lakukan. Hal ini terus dirasakan selama pasien meminum obat dalam 2 tahun ini. Setelah tahun 2007, pasien sudah tidak diberikan Calsetin oleh dokter. Pasien tidak lagi merasakan perasaan senang seperti sebelumnya. Setelah mengikuti penelitian tersebut, pasien sempat putus obat selama 3 hari dan gejala depresi dan suara-suara yang mengganggu itu terdengar kembali. Bahkan pasien hampir melukai diri sendiri karena suruhan suara-suara itu. Namun, hal ini tidak bertahan lama karena pasien sudah kembali minum obat teratur dan pasien merasa tenang. Enam bulan yang lalu (Juli 2008) rumah pasien terbakar. Pasien merasa tidak berdaya lagi, barang-barangnya, alat-alat masak, dan semua perlengkapan dagangnya musnah dimakan si jago api. Pasien sungguh sedih sekali, merasa usahanya yang selama ini dirintis telah musnah berakhir. Bahkan pasien hingga mengurung diri selama 2 hari di kamar rumah ibunya, tidak makan dan mandi. Saat itu, pasien mendengar bisikan, Kalau begini kenapa gak ikut bakar diri aja. Pasien pun menjadi semakin tidak semangat hidup, susah tidur, dan merasa serba salah. Empat bulan yang lalu (September 2008) pasien sempat putus obat selama 3 hari. Sebelum ke poli pasien merasa gelisah dan takut tidak mendapatkan obat (obat di apotik habis, sulit menebus resep). Saat di poli dan diwawancara, pasien melihat pulpen yang dipegang dokter yang memeriksanya berubah menjadi sebatang kayu. Pasien merasa ketakutan dan ingin cepat-cepat pulang. 7

Ketika pulang pasien merasa dokter yang memeriksanya tadi ada di belakangnya dan mengejar-ngejarnya. Ia menjadi sangat ketakutan. Besoknya pasien kembali ke poli untuk meminta stempel agar dapat menebus obat. Saat mau ke apotik pasien mendengar juga bisikan ,Kalau obat tidak ada lebih baik bunuh diri saja. Tiga bulan yang lalu (Oktober 2008) pasien putus obat 4 hari. Ia merasa gelisah dan ketakutan. Suara di telinga yang menyuruh untuk bunuh diri masih terdengar walau pelan. Semakin hari suara tersebut semakin kencang. Karena ketakutan pasien merasa susah tidur (suka terbangun), jadi malas, berpikir hidup ini tidak ada gunanya (lebih enak ngelamun dan bengong), dan makan jadi lebih sedikit dari biasanya. Pasien jadi mudah emosi bila ada masalah sedikit. Pasien juga merasa suka lupa (bertengkar karena merasa sudah memberi uang jajan pada anak, padahal belum). Setelah mendapat obat, suara-suara tersebut terdengar lebih pelan. Ia juga bercerita kalau selama ini bila sudah merasa baikan obat tidak diminum lagi (bila sehari harusnya 2 kali hanya diminum sekali atau pernah pula 2 hari sekali). Hal ini dilakukan untuk menghemat obat karena harga obat yang mahal dan pasien kesulitan biaya. Dua bulan yang lalu (November 2008), dalam satu hari pasien kembali merasakan rasa bahagia. Rasa bahagia ini timbul setelah ia bangun tidur. Setelah sarapan, pasien sangat giat dalam merapihkan rumah. Sebelumnya pasien tidak pernah merasakan hal tersebut. Pasien merasa energinya tidak habis, nyanyi-nyanyi, dan serasa harga dirinya membumbung. Pasien tidak ada minum obat calsetin. Satu bulan yang lalu (Desember 2008) pasien mengatakan rasa sedihnya berkurang dan justru lebih merasa takut dan cemas. Rasa cemas muncul jika anak-anaknya tidak ada yang menjaga atau pergi bermain dan ke sekolah. Pasien khawatir terjadi

sesuatu pada anaknya jika anak pergi sekolah. Suara-suara tidak terdengar lagi. D. Riwayat Kehidupan Pribadi 1. Riwayat Prenatal dan Perinatal Pasien lahir spontan ditolong bidan, cukup bulan, dengan berat lahir cukup (3,4 kg). Riwayat trauma, infeksi, dan kejang selama hamil disangkal. 2. Riwayat Masa Kanak Awal Pasien diasuh oleh orang tua pasien. Ibu pasien memberikan ASI eksklusif Pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai dengan teman-teman sebayanya. 3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan Pasien tinggal bersama orang tua pasien. Orang tua pasien sering memukul pasien bila berlaku salah. Pasien jadi sering ketakutan. Ia menyatakan tidak mempunyai banyak teman karena mudah tersinggung (sering diejek bertubuh besar). 4. Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja Pasien menyatakan tidak memiliki banyak teman. Pasien lebih senang menyendiri. 5. Riwayat Masa Dewasa a. Riwayat Pendidikan Pasien hanya bersekolah hingga kelas 2 SMP. Alasan tidak melanjutkan pendidikan karena biaya dan kemampuan otak kurang (merasa tidak mampu). Saat kelas 5 SD pernah tidak naik kelas. b. Riwayat Pekerjaan Setelah tidak bersekolah pasien bekerja sebagai pramuniaga kosmetik. Pasien kemudian mencari nafkah dengan berjualan makanan setelah menikah. c. Riwayat Pernikahan Pasien sudah menikah dan memiliki 4 orang anak

Anak I : perempuan, sudah menikah, baru saja melahirkan anak pertama Anak II : laki-laki, tamat SMA, saat ini sedang mencari pekerjaan Anak III: laki-laki, sudah selesai SMP dan kini ingin melanjutkan ke STM Anak laparotomi Anak V: laki-laki, saat ini di bangku SD d. Riwayat Kehidupan Beragama Pasien beragama Islam. Pasien menyatakan rajin dalam beribadah dan rutin mengikuti kegiatan pengajian baik di lingkungan tempat tinggal maupun di Masjid Istiqlal. e. Riwayat Militer Pasien tidak pernah mengikuti kegiatan militer. f. Riwayat Pelanggaran Hukum Pasien tidak pernah melakukan pelanggaran hukum. g. Riwayat Psikoseksual Pasien mulai menyukai lawan jenis ketika berusia 20 tahun. Ia kemudian berpacaran dan menikah pada usia 24 tahun. Pasien hanya berhubungan seksual dengan suaminya. h. Aktivitas Sosial Pasien jarang mengikuti aktivitas yang bersifat sosial di lingkungan sekitar rumahnya. i. Situasi Kehidupan Sekarang Sejak cucu pertamanya lahir 3 bulan yang lalu, pasien mondarmandir dari rumahnya ke rumah orang tuanya. Pagi hari ia ke rumahnya untuk menyiapkan makanan untuk suami dan anak keduanya serta berjualan makanan. Siangnya ia ke rumah orang tuanya untuk mengurus cucunya. Pada dasarnya ia lebih senang tinggal di rumah orang tuanya karena rumahnya gelap (tidak memakai listrik). Situasi yang gelap membuat ia sering ketakutan. Selain itu, di rumahnya (Kramat Sawah) tinggal pula 10 IV: perempuan, meninggal usia 7 bulan setelah

kakak

ipar

dan

adik

ipar

(saudara

suaminya)

dengan

keluarganya. Hubungannya dengan adik ipar tidak baik (sering bertengkar). Suami pasien sudah tidak bekerja lagi sejak 20 tahun yang lalu sehingga kini dia yang menjadi tulang punggung keluarga. Jika emosi itu muncul pasien menjadi sulit berdagang karena takut mendengar bisikan-bisikan untuk melukai dirinya lagi. Namun, sejak bisa minum obat teratur, relaksasi, dan CBT, pasien bisa mengendalikan dirinya dan keluhannya terus berkurang. 6. Riwayat Keluarga Pasien adalah anak kelima dari delapan bersaudara. Ayah pasien meninggal karena sakit jantung. Anak-anak pasien tumbuh dengan normal dan tidak ada yang menampilkan gejala yang serupa dengan pasien. 7. Persepsi Pasien tentang Diri dan Kehidupannya Pasien rutin kontrol ke poli karena merasa butuh obat untuk penyakitnya. Jika minum obat ketakutan, emosi, serta suara-suara di telinga berkurang. Namun pasien tidak ingin keluarganya mengetahui bahwa ia mempunyai gangguan jiwa. Orang yang mengetahui bahwa ia mempunyai gangguan jiwa hanya kakak ke-3 yang mengantarkannya ketika dirawat di PKW tahun 2005. Selain itu pada anggota keluarga yang lain ia mengatakan alasan ia dirawat adalah karena sakit jantung. Hal ini dilakukan karena sejak merasa ketakutan pasien sering menjerit-jerit sehingga dijuluki Si Stress.Ia merasa tidak nyaman dan tetangga-tetangga juga mulai menjauhinya. Pasien jadi lebih senang menyendiri dan segan berbicara dengan keluarganya. Genogram

11

Keterangan : : anggota keluarga laki-laki : anggota keluarga perempuan : anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa : pasien : tinggal satu rumah

: sudah meninggal

8. Persepsi Keluarga tentang Diri Pasien Keluarga pasien tidak mengetahui bahwa pasien mengalami gangguan jiwa hanya kakak no 3 yang tahu. Keluarga hanya melihat ada waktu-waktu tertentu pasien terlihat gelisah, marahmarah, melamun, menjerit-jerit, dan mencoba bunuh diri. Namun keluarga tetap mendukung pasien untuk memeriksakan diri. 9. Impian, Fantasi, dan Cita-cita Pasien Pasien ingin menabung untuk biaya sekolah anaknya yang ingin melanjutkan ke STM. Selain itu pasien juga ingin mencari tempat yang permanen untuk berjualan makanan. III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL (Dilakukan pada tanggal 4 Februari 2009) A. Deskripsi Umum 1. Penampilan 12

Seorang wanita, berpenampilan sesuai usianya, berpakaian kemeja, celana panjang dan berjilbab. Secara umum, penampilan pasien menunjukkan pasien dapat merawat diri dengan baik 2. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor Pasien terlihat tenang saat diwawancara. Kontak mata baik 3. Sikap Terhadap Pemeriksa Pasien memberikan keterangan secara jelas, terbuka, dan tidak berbelit-belit. Sikap pasien terhadap pemeriksa kooperatif. B. Mood dan Afek 1. Mood 2. Afek C. Pembicaraan Pasien berbicara dengan lancar dan spontan saat ditanya. Jumlah kata-kata yang dikeluarkan pasien banyak (produktivitas baik). Kontak mata dengan pemeriksa baik. D. Gangguan Persepsi Tidak ada gangguan persepsi E. Pikiran 1. Proses Pikir/Bentuk Pikir Tidak ditemukan gangguan proses pikir 2. Isi Pikir Terdapat bungsunya. F. Kesadaran dan Kognisi 1. Taraf Kesadaran dan Kesigapan Kompos Mentis. Pasien memiliki kesan sigap bila ada bahaya yang akan datang pada pasien. 2. Orientasi Waktu:baik (pasien dapat menyebutkan hari, tanggal, bulan) 13 ide-ide paranoid terhadap keadaan anak : luas : serasi 3. Keserasian : euthym

Tempat: baik (pasien mengetahui tempat pasien Orang: baik (pasien dapat menyebutkan nama

berada saat wawancara dan letak rumah pasien) orang-orang di sekitar pasien 3. Daya Ingat Jangka panjang : baik (pasien masih ingat masa SD sampai SMP, pasien juga ingat pengalaman-pengalamannya kanak-kanak) Jangka sedang : baik (pasien masih ingat hal-hal yang membawa pasien datang ke rumah sakit dan orang-orang yang mengantar pasien ke rumah sakit) Jangka pendek : baik (pasien ingat akan menu dan nama pewawancara) Segera : baik (pasien dapat menyebutkan empat macam benda yang disebutkan oleh pemeriksa) 4. Konsentrasi dan Perhatian Baik. Pasien dapat mempertahankan konsentrasinya saat diwawancarai . 5. Kemampuan Membaca dan Menulis Baik. Pasien dapat membaca dan menulis sesuai permintaan. 6. Kemampuan Visuospasial Baik. Pasien dapat menggambar jam dinding .Selain itu pasien juga dapat menggambar segitiga dan persegi yang diminta pewawancara dengan baik 7. Pikiran Abstrak makan paginya semasa kecilnya ketika

14

Cukup baik. Pasien dapat menyebutkan persamaan bis dan sepeda motor serta mengerti beberapa arti kiasan panjang tangan dan setali tiga uang 8. Inteligensi dan Kemampuan Informasi Cukup. Pasien dapat menyebutkan kabar terbaru yang sedang hangat dibicarakan di media massa 9. Kemampuan Menolong Diri Sendiri Baik (pasien dapat makan, minum, mandi, dan mencuci baju sendiri). G. Pengendalian Impuls Baik. Pasien tidak menujukkan agresivitas selama diwawancara. H. Daya Nilai dan Tilikan 1. Daya Nilai Sosial: baik (pasien mengatakan tidak pernah ingin menyusahkan orang lain). 2. Uji Daya Nilai: baik, pasien akan mengembalikan barang yang tertinggal pada pemiliknya jika tersedia keterangan yang jelas. 3. Penilaian Realita: baik (pasien menyadari kenyataan yang sesungguhnya pada diri dan lingkungannya, tidak ada waham maupun halusinasi lagi) 4. Tilikan: Derajat 6. Pasien sadar sepenuhnya bahwa dirinya sakit, bahwa sakitnya adalah mendengar suarasuara tersebut, dan ketakutan serta gelisah. Maka, pasien berobat ke Poli Psikiatri, mau minum obat, melakukan relaksasi dan CBT. I. Taraf Dapat Dipercaya Secara umum dapat dipercaya meskipun keterangan pasien suka berubah-rubah. IV. PEMERIKSAAN FISIK A. Status Generalis Keadaan umum : Sakit ringan 15

Kesadaran Frekuensi nadi Suhu Kepala dicabut Mata pupil

: kompos mentis : 88x / menit : afebris : deformitas (-), rambut hitam, tidak mudah : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, refleks baik

Tekanan darah : 150/100 mmHg Frekuensi napas : 24x / menit

THT Leher Mulut ompong Jantung Paru Abdomen normal Ekstremitas

: deformitas (-), serumen (-/-) : pembesaran kelenjar getah bening (-) : oral higiene cukup, tampak gigi pasien yang : BJ I/II normal, murmur (-), gallop (-) : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-) : datar lemas, nyeri tekan (-), bising usus (+) : simetris, akral hangat, edema -/-, perfusi perifer cukup, needle tract (-), scar di tungkai distal dekstra (+)

B. Status Neurologikus a. Gejala rangsang selaput otak (-) b. Pupil bulat, isokor, 3mm/3mm, RCL +/+ dan RCTL +/+ c. Refleks fisiologis normal d. Nervus kranialis: kesan paresis (-), nistagmus (-) e. Refleks patologis (-) e. Pemeriksaan Motorik : 5555 5555 5555 5555 f. Gejala ekstrapiramidal : - gaya berjalan dan postur tubuh normal - stabilitas postur tubuh normal 16

- rigiditas ekstremitas tidak ada - gangguan keseimbangan dan tremor (-) g. Pemeriksaan Sensorik Sensibilitas : parestesia di kaki-tangan kiri dan kanan (-) h. Pemeriksaan Saraf Otonom Inkontinensia alvi dan urin(-), anhidrosis(-) V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA Telah diperiksa seorang wanita, Ny. E, 44 tahun, bertempat tinggal di Kramat Sawah, suku Makassar, agama Islam, status menikah dengan 4 orang anak, pendidikan terakhir SMP kelas II. Dua puluh tahun yang lalu (1988), suami pasien berhenti bekerja. Pasien sedih, dan pesimis yang semakin memberat setelah ia gagal dalam usaha warungnya. Pasien merasa tidak dihargai, tidak berguna, lemas dan banyak diam. Pasien juga sering mengeluh sakit kepala. Saat malam hari, pasien mendengar suara-suara yang ia tidak ketahui sumbernya, suara itu menyuruhnya membunuh anaknya. Pasien akan diam bila suara itu terdengar. Hal ini juga membuat pasien menjadi malas makan, mandi, dan mengurus dirinya dan anaknya. Pasien telah mendengar suara-suara yang mengganggu seperti mengomentari tindakannya maupun menyuruhnya melukai dirinya bahkan menyuruhnya bunuh diri sejak 20 tahun yang lalu (1988). Awalnya pasien merasa gelisah, ketakutan, rasa bersalah yang mendalam, dan kesulitan tidur selama + 2 minggu sejak mertua dan adik iparnya meninggal. Lalu pasien mendengar suara-suara untuk mengakhiri hidupnya. Bila suara-suara tersebut semakin kencang dan tanpa sadar menuruti perintah tersebut. Percobaan bunuh diri pernah dilakukan beberapa kali dengan membentur-benturkan kepala ke dinding (1997), tiduran di jalan raya (1999), dan loncat dari gedung bertingkat (Kenari Mas) pada tahun 2002. Suara-suara tersebut terus ada walau tidak sesering dan sekencang tahun 1997,1999, dan 2002. Bila pasien merasa 17

ketakutan, ia juga mencium bau-bau yang tidak dicium oleh orang sekitarnya. Pada bulan Agustus 2003, pasien merasa orang-orang ingin menyakitinya karena ia melihat tangan diacung-acungkan sehingga ia lari ketakutan, menjerit-jerit, dan bersembunyi di rumah. Dua tahun setelahnya (tahun 2005) pasien dirujuk dari poli saraf paska trauma kepala, ke poli psikiatri dan dikatakan mengalami depresi berat. Pasien kemudian dirawat selama 4 minggu. Selama perawatan pasien melihat orang-orang di sekelilingnya menjadi binatang. Selain itu ia juga melihat orang besar bertaring dan bertanduk sehingga pasien menjerit-jerit ketakutan. Saat dirawat ia juga sering mendengar bisikan bahwa minum obat itu tidak berguna sehingga tidak jarang ia membuang obat tersebut. Setelah keluar dari perawatan pasien kontrol rutin ke poli. Ia merasa gelisah, ketakutan, dan suara-suara yang mengganggu cenderung berkurang. Pasien rutin minum obat walau tidak jarang bila merasa sudah enakan ia tidak minum obat lagi. Hal itu ia lakukan untuk menghemat biaya beli obat. Enam bulan yang lalu (Juli 2008) rumah pasien terbakar. Pasien merasa tidak berdaya lagi. Alat-alat masak dan semua perlengkapan dagangnya telah musnah. Pasien merasa sedih sekali hingga mengurung diri selama 2 hari, tidak makan dan mandi. Saat itu, pasien mendengar suara-suara yang menyuruhnya membakar diri. Pasien pun menjadi semakin tidak semangat hidup, susah tidur, dan merasa serba salah. Empat bulan yang lalu (September 2008), saat kontrol ke poli, pasien tiba-tiba melihat pulpen yang dipegang oleh dokter yang memeriksanya berubah menjadi kayu. Pasien jadi ketakutan sehingga cepat-cepat pulang. Saat pulang ia merasa dokter yang memeriksanya mengikutinya sehingga ia semakin ketakutan. Tiga bulan yang lalu (Oktober 2008) pasien putus obat 4 hari. Ia kembali merasa gelisah dan ketakutan. Suara di telinga yang menyuruh untuk bunuh diri masih terdengar walau pelan. Semakin 18

hari suara tersebut semakin kencang. Karena ketakutan pasien merasa susah tidur (suka terbangun), jadi malas, berpikir hidup ini tidak ada gunanya (lebih enak ngelamun dan bengong), dan makan jadi lebih sedikit dari biasanya. Pasien jadi mudah emosi bila ada masalah sedikit. Pasien juga merasa suka lupa. Setelah mendapat obat, suara-suara tersebut terdengar lebih pelan. Ia juga bercerita kalau selama ini bila sudah merasa baikan obat tidak diminum lagi Hal ini dilakukan untuk menghemat obat karena harga obat yang mahal dan pasien kesulitan biaya. Dua bulan yang lalu (November 2008) Pasien merasa energinya tidak habis, nyanyi-nyanyi, dan serasa harga dirinya membumbung. Satu bulan yang lalu (Desember 2008) pasien mengatakan rasa sedihnya berkurang dan justru lebih merasa takut dan cemas. Rasa cemas masih berkaitan dengan anaknya. Suara-suara tidak terdengar lagi. Saat kontrol poli psikiatri (3 Februari 2008) pasien sudah merasa baikan. Ketakutan, rasa sedih, emosi, dan suara-suara yang menggangu mulai berkurang dan dapat dikendalikan. Pasien sempat mengalami selama + 30 menit. Pasien juga pernah merasa senang yang amat hingga mentraktir tetangganya dengan uang keuntungan dagangannya. Dalam sebulan terakhir, pasien terkadang masih merasakan ketakutan terutama tentang keadaan anaknya dan masa depannya. Ketakutan pun dirasakan saat pasien akan memegang pisau dapur untuk memasak. Bila ketakutan muncul pasien biasanya merasa sedih. Tak lama rasa sedih ini ada, mulailah timbul suarasuara yang menyatakan ataupun menyuruhnya melakukan hal yang negatif. Untuk mengatasi ketakutan, rasa sedih, dan suara-suara yang mengganggu itu, selain minum obat teratur, pasien juga melakukan relaksasi yang telah diajarkan oleh dokter dan menjalankan CBT. Keadaan keluarganya sekarang, suami pasien tidak bekerja sejak 20 tahun yang lalu. Hubungannya dengan adik ipar tidak baik (sering bertengkar).

19

Dari pemeriksaan status mental (saat kontrol poli 3 Februari 2009) ditemukan sudah tidak ditemukan halusinasi auditori, halusinasi olfaktorius, visual, maupun taktil. Pada pasien didapat ideide paranoid. Sedangkan dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya hipertensi, nistagmus, parestesia di kaki kiri dan telapak kaki kanan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hipertensi grade 1. Tidak ada nistagmus dan parastesia kaki dan tangan kiri dan kanan. VI. FORMULASI DIAGNOSTIK Pada pasien ditemukan sindrom atau pola perilaku atau psikologis yang bermakna secara klinis dan menimbulkan penderitaan (distress) dan hendaya (disability) dalam fungsi pekerjaan dan aktivitas seharihari pasien. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami suatu gangguan jiwa sesuai dengan definisi yang tercantum dalam PPDGJ III. Diagnosis Aksis I Berdasarkan anamnesis tidak ditemukan adanya riwayat trauma kepala yang dapat menyebabkan gangguan intrakranial. Sakit kepala yang berputar pada pasien dan adanya nistagmus menunjukkan adanya penyakit vertigo. Namun, kelainan ini tidak menjadi sebab gangguan yang dialami pasien. Selain itu, tidak ditemukan riwayat kejang yang mengarah pada kelainan organik di otak. Pada pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan adanya tanda-tanda yang mengarah pada gangguan intrakranial sehingga adanya gangguan organik (F0) pada pasien dapat disingkirkan. Gejala yang ditemukan pada pasien dapat terjadi pada penggunaan zat psikoaktif. Namun, tidak didapatkan adanya riwayat penggunaan zat psikoaktif berupa konsumsi alkohol maupun obatobat yang dapat menstimulasi maupun mendepresi susunan saraf pusat. Dari pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan adanya needle tract. Pasien juga tidak mengkonsumsi rokok. Kemungkinan gangguan mental akibat penggunaan zat psikoaktif (F1) sejauh ini dapat disingkirkan. 20

Pada pasien didapatkan hendaya dalam menilai realita, oleh sebab itu gangguan jiwa pada pasien dimasukkan ke dalam golongan besar psikotik. Selain itu, pasien juga ditemukan hendaya pada moodnya. Hendaya moodnya ini dapat muncul mendahului ataupun bersamaan dengan gejala psikotiknya pada hampir setiap episodenya. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan status mental, ditemukan beberapa gejala psikopatologi yaitu: 1. Adanya riwayat halusinasi auditorik yang bersifat commenting dan commanding (menyuruh pasien bunuh diri dan mengatakan obat itu tidak berguna). 2. Adanya riwayat waham kejar (pasien merasa ada orang yang ingin menyakiti dirinya, misal :ada orang yang ingin memukulnya) 3. Adanya riwayat halusinasi visual (melihat monyet,dll), taktil (merasa didorong orang) dan halusinasi olfaktorius (baubauan bunga, kemenyan, busuk). 4. 5. Riwayat Riwayat waham gejala rujukan depresi (merasa susah orang-orang tidur (suka membicarakannya) yakni terbangun), jadi malas, berpikir hidup ini tidak ada gunanya (lebih enak ngelamun dan bengong), dan makan jadi lebih sedikit dari biasanya. 6. 7. 8. 9. Riwayat gejala manik (perasaan senang yang amat , Adanya ide-ide paranoid tentang keadaan anak mentraktir tetangganya, irritable, dan gelisah). bungsunya. Gejala tersebut sudah muncul lebih dari satu bulan Setiap episode gangguan mood, terjadi kurang dari 2 (sudah sejak 11 tahun yang lalu) minggu untuk depresi dan 1 minggu untuk manik. Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan saat ini, diagnosis pada pasien adalah skizoafektif tipe campuran (F25.2) yang sedang terkontrol pengobatan. Skizofrenia paranoid dan gangguan afektif 21

bipolar dengan gejala psikotik merupakan diagnosis banding pada kasus ini. Dipikirkannya skizofrenia paranoid terkontrol sebagai diagnosis banding karena gejala psikotik seperti waham kejar serta halusinasi terutama auditorik yang bersifat commenting dan commanding yang pernah ada cukup menonjol dalam mewarnai setiap episode yang ada. Namun, pada skizofrenia paranoia tidak terjadi penonjolan gejala-gejala afek dan mood yang cukup jelas pada pasien walaupun terjadi secara rapid cycling. Atas dasar adanya gangguan afektif yang meramaikan remisi. Diagnosis Aksis II Tidak ada diagnosis. Diagnosis Aksis III Saat ini pasien menderita penyakit jantung, hipertensi, carpal tunnel syndrome, dan tarsal tunnel syndrome. Pasien sering merasa nyeri seperti ditekan pada dadanya, bila tidur harus memakai 2 bantal (orthopnea), dan sering capai jika berjalan jauh (exercise intolerance). Pasien rutin kontrol ke poli jantung dan meminum ISDN dan adalat. Pasien memiliki riwayat vertigo dan dulu meminum obat Mertigo, Flexor, dan Renadinac. Untuk hipertensi, CTS, dan TTS pasien lupa nama obatnya. Diagnosis Aksis IV Pasien mengalami masalah ekonomi. Suami pasien tidak bekerja lagi sehingga pasien menjadi tulang punggung keluarga. Bila ada keuntungan berjualan makanan baru pasien bisa membeli obat. Akibat kesulitan ekonomi itu pula yang membuat pasien tidak minum obat dengan teratur. Alasannya agar uang bisa dihemat untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Namun saat ini, masalah ekonomi menjadi beban pikiran bagi pasien. Pasien mencoba untuk menerima dan berusaha sebaik mungkin pekerjaannya sekarang walaupun masih menjadi masalah. 22 perjalanan penyakitnya, perlu dipikirkan diagnosis banding gangguan afektif bipolar dengan gejala psikotik episode kini

Selain itu, pasien juga mengalami masalah dengan keluarga terutama saudara ipar sehingga membuat pasien tidak betah tinggal di rumah. Ia juga menyembunyikan penyakitnya dari keluarganya sehingga kurang ada yang mendukung pengobatan pasien, dan hubungan dengan keluarga menjadi renggang. Pasien juga mulai merasa terasing dari lingkungannya karena sering dijuluki Si Stress. Kedua masalah ini tidaklah jelas sebagai stressor untuk diagnosis. Tetapi stressor yang berpengaruh dalam pengobatan dan prognosis. Diagnosis Aksis V Pada aksis V, dinilai kemampuan penyesuaian diri pasien dengan menggunakan GAF (Global Assessment of Functioning). GAF saat dilakukan pemeriksaan adalah 90 (beberapa gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas, dan gangguan yang ada tidak lebih dari masalah harian biasa). Hal ini ditetapkan karena pasien tetap bisa berdagang untuk mencari nafkah walaupun terkadang masih ada halusinasi auditorik dalam kuantitas dan kualitas minimal (saat pemeriksaan tidak ada) maupun ide-ide paranoid. Kedua gangguan ini sudah menjadi biasa bagi pasien dan dengan mudah ia tangani dengan relaksasi dan CBT. Sedangkan nilai tertinggi GAF tahun lalu adalah 55 (gejala sedang, disabilitas sedang dalam fungsi). Hal ini berdasarkan riwayat gangguan tahun 2008, dimana saat itu terjadi peristiwa terbakarnya rumah pasien serta riwayat beberapa kali putus obat (hanya beberapa hari) yang membuat gejala depresi dan psikotik muncul kembali bahkan hingga fungsi pasien mengalami disabilitas sedang. VII. DAFTAR MASALAH 1. Organobiologis: Jantung, vaskular (hipertensi grade 1), dan saraf tepi (CTS dan TTS) 2. Psikologis: Ide-ide paranoid

23

Riwayat halusinasi auditorik yang bersifat commanding dan commenting, halusinasi visual, olfaktori, dan taktil. Riwayat waham kejar Riwayat gejala depresi dan manik ekonomi: pasien menjadi tulang pungggung

3. Lingkungan dan sosial ekonomi: Masalah perekonomian keluarga Masalah keluarga: tidak akur dengan adik iparnya sehingga pasien tidak betah di rumah dan lebih senang tinggal di rumah orang tuanya. Selain itu pasien juga ingin menyembunyikan penyakitnya dari keluarganya (hanya kakak no 3 yang tahu) sehingga dukungan keluarga terhadap penyakit pasien kurang Masalah dengan lingkungan: karena sering terlihat ketakutan dan menjerit-jerit pasien dijuluki si stress oleh keluarganya. VIII. EVALUASI MULTIAKSIAL Aksis I : Skizoafektif tipe campuran terkontrol obat DD/ Gangguan Afektif bipolar dengan gejala psikotik episode kini Remisi (dalam pengobatan) Skizofrenia paranoid terkontrol obat Aksis II Aksis III Aksis IV Aksis V : tidak ada diagnosis. : penyakit jantung, hipertensi, CTS, TTS, riwayat vertigo : masalah ekonomi, keluarga, dan lingkungan : GAF Current : 90 GAF Highest Level Past Year : 55 IX. PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanactionam : bonam : bonam : dubia ad bonam 24

Faktor-faktor yang berpengaruh positif penyakit pasien: Wanita Onset pada usia dewasa

terhadap perjalanan

Adanya pengetahuan pasien untuk berobat Tidak ada anggota keluarga yang menderita kelainan yang sama Adanya gejala gangguan mood (diagnosis skizoafektif) Pasien sudah menikah Respon terhadap pengobatan baik Lama setiap episode kurang dari sebulan (karena pengobatan) Sikap pasien yang kooperatif :

Faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap perjalanan penyakit pasien Gangguan berulang Onsetnya tersembunyi (insidious) Dukungan yang kurang dari keluarga (hanya ibu dan kakak kandungnya) Masalah ekonomi yang dapat membuat pasien tidak teratur minum obat X. FORMULASI PSIKODINAMIK Gangguan psikiatri dapat terjadi apabila terdapat ketidakseimbangan adaptasi antara faktor adalah biologis, suatu sosiokultural, pendekatan dan psikologis. yang Psikodinamika konseptual

memandang proses-proses mental sebagai gerakan dan interaksi energi psikis, yang berlangsung intra- maupun inter-individual. Berdasarkan definisi tersebut, psikodinamika berusaha mempelajari struktur (kepribadian), kekuatan (dorongan), gerakan (aksi), pertumbuhan dan perkembangan, serta maksud dan tujuan dari fenomena patologik yang ada pada seseorang. Psikodinamika

25

menganggap bahwa gejala-gejala psikosis yang dialami pasien terjadi akibat konflik yang dialaminya. Freud berpendapat bahwa skizofrenia terjadi akibat fiksasi dalam perkembangan kepribadian dan adanya defek ego. Karena kedua hal tersebut, seseorang akan mengalami regresi ke tingkat di mana terjadi fiksasi apabila ia mengalami konflik atau kejadian yang signifikan dalam hidupnya. Skizofrenia digambarkan oleh Freud sebagai keadaan pecahnya objek dari emosi dari pikiran, ide, atau seseorang, dan sebuah regresi yang merupakan respon terhadap frustasi atau konflik terhadap orang lain. Pada berulangnya kasus pasien ini karena tidak ada pekerjaan sehingga pasien merasa putus asa. Onset dari gejala-gejala skizofrenia biasanya mulai muncul pada fase kehidupan adolesence, di mana pada saat ini seorang remaja membutuhkan ego yang kuat untuk berfungsi secara bebas, terlepas dari orang tua, untuk mengidentifikasi tugas, untuk mengkontrol insting-insting dasar, dan untuk menyeimbangkan diri dengan stimulasi eksternal yang intense. Gejala psikotik muncul pada pasien ketika usia dewasa tepat setelah masa adolescense. Teori psikoanalisis lain mengatakan bahwa setiap gejala psikosis memiliki makna simbolik bagi pasien. Halusinasi timbul akibat ketidakmampuan pasien dalam menghadapi kenyataan objektif dan menggambarkan ketakutan atau keinginan pasien yang terpendam. Sedangkan waham merupakan upaya-upaya regresif untuk menciptakan suatu realita yang baru atau untuk mengekspresikan ketakutan atau impuls yang tersembunyi. Pada kasus ini, gejala-gejala psikosis yang dialami pasien (dalam hal ini berupa antara lain halusinasi anditorik yang bersifat commanding dan commenting, halusinasi visual, taktil, dan olfaktori serta adanya waham kejar. Pada pasien dengan gangguan psikotik, mekanisme pertahanan yang digunakan biasanya berupa penyangkalan, proyeksi, regresi dan distorsi (semuanya merupakan mekanisme pertahanan yang imatur). 26

Pasien dengan gangguan skizofrenia paranoid tidak pernah mendapatkan objek secara konstan yang dicirikan sebagai suatu perasaan yang aman. Pasien skizofrenia menemukan kesulitan untuk menangkap berbagai macam stimulus dan memfokuskan pada satu stimulus pada saat yang bersamaan. Pemahaman psikodinamik tentang depresi yang digambarkan oleh Sigmund Freud dan telah diperluas oleh Karl Abraham dikenal sebagai pandangan yang klasik tentang depresi. teori tersebut terdiri dari empat, yaitu: (1) gangguan pada hubungan ibu-anak pada usia 10-18 bulan pertama kehidupan menjadikan seseorang lebih mudah untuk jatuh ke dalam depresi; (2) depresi dapat merupakan perwujudan kehilangan suatu obyek; (3) introjeksi dari obyek yang hilang tersebut adalah suatu mekanisme pertahanan yang dihubungkan dengan kehilangan obyek tersebut; dan (4) sebab kehilangan obyek yang hilang tersebut merupakan campuran dari rasa cinta dan rasa benci, sehingga kemarahan diarahkan pada diri sendiri. Edward Bibring melihat depresi sebagai fenomena dimana seseorang menyadari pertentangan antara ide-ide yang tinggi dan ketidakmampuan untuk mencapai tujuan-tujuan. Edith Jacobson melihat depresi sebagai sesuatu yang tidak berbeda dengan anak yang lemah dan tanpa pertolongan yang merupakan korban dari orangtuanya. Silvano Arieti mengobservasi bahwa orang yang menderita depresi telah menjalani hidup mereka lebih banyak untuk orang lain dibandingkan dengan dirinya sendiri. Depresi muncul ketika pasien menyadari bahwa seseorang atau tempat dimana pasien tersebut hidup tidak akan pernah memberikan respon atas apa yang telah mereka kerjakan. Hal ini terlihat pada pasien, saat ia dituduh tidak merawat mertuanya dan akhirnya meninggal pada tahun 1997 bersamaan dengan kematian adik iparnya. Konsep depresi dari Heinz Kohut, diambil dari teorinya tentang selfpsychological, dimana suatu pribadi yang berkembang memiliki kebutuhan yang spesifik yang harus disadari oleh orang tua untuk 27

memberikan kepercayaan diri yang positif kepada anaknya. Ketika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, akan terjadi kehilangan kepercayaan diri yang sangat besar yang bermanifestasi sebagai depresi. John Bowlby meyakini bahwa perpisahan yang traumatik pada masa kanak-kanak merupakan predisposisi untuk menjadi depresi. Etiologi depresi pada pasien ini belum jelas. Namun beberapa faktor diduga berpengaruh terhadap etiologi depresi. Faktor yang pertama yaitu faktor genetik. Meskipun penyebab depresi secara pasti tidak dapat ditentukan, faktor genetik mempunyai peran terbesar. Gangguan alam perasaan cenderung terdapat dalam suatu keluarga tertentu. Bila suatu keluarga salah satu orangtuanya menderita depresi, maka anaknya berisiko dua kali lipat dan apabila kedua orangtuanya menderita depresi maka risiko untuk mendapat gangguan alam perasaan sebelum usia 18 tahun menjadi empat kali lipat. Tetapi pada pasien ini tidak ditemukan riwayat gangguan yang sama dengan yang dialami pasien. Faktor yang kedua adalah faktor sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status perkawinan orangtua, jumlah sanak saudara, status sosial keluarga, perpisahan orangtua, perceraian, fungsi perkawinan, atau struktur keluarga banyak berperan dalam terjadinya gangguan depresi. Suami pasien sudah tidak bekerja lagi sejak 20 tahun yang lalu dan sebagai kompensasinya pasien harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri. Sedangkan dalam fungsi keluarga yang, suami sebagai kepala keluarga yang berperan utama sebagai tulang punggung keluarga bukan istri. Hal ini dapat menjadi faktor terjadinya depresi pada pasien karena harus menanggung beban berat sendiri. Faktor yang terakhir diduga berpengaruh dalam terjadinya gangguan depresi yaitu faktor biologis. Dua hipotesis yang menonjol mengenai mekanisme gangguan alam perasaan terfokus pada: terganggunya regulator sistem monoamin-neurotransmiter, termasuk norepinefrin dan serotonin (5-hidroxytriptamine). Hipotesis lain 28

menyatakan bahwa depresi yang terjadi erat hubungannya dengan perubahan dengan keseimbangan adrenergik-asetilkolin sementara yang dopamin ditandai secara meningkatnya kolinergik,

fungsional menurun. Banyak teori psikodinamik tentang manik menyatakan bahwa manik merupakan sebuah defensi melawan depresi. Karl Abraham percaya bahwa manik terjadi sebagai refleksi dari ketidakmampuan untuk mentoleransi suatu tragedi yang sedang berkembang. Manik juga dikatakan sebagai hasil dari superego triannikal, yang tidak dapat menerima kritikan padanya dan digantikan dengan kepuasan euforianya. Klein juga menyatakan hal yang serupa dengan Karl dimana pada seseorang dengan manik akan berkembang waham kebesaran. Pasien mengetahui betul bahwa sedang sulit dalam masalah keuangan dan setiap ada keuntungan memikirkan kebutuhan alokasi makan pemanfaatan sekeluarga, uang yang memenuhi pasien harus Untuk anak didapat.

permintaan

bungsunya untuk dibelikan sepeda, dan menambah modal usahanya. Tekanan pemikiran ini diduga menyebabkan depresi pada pasien dan ternyata defensi pasien justru timbul manik dengan mentraktir tetangganya. XI. RENCANA TERAPI A. Psikofarmaka Risperidon (per oral) 2x3 mg Asam valproat (per oral) 3x 250 mg, setelah makan

B. Psikoterapi Dilakukan melalui: a. Psikoterapi suportif Psikoterapi ini dapat dilakukan dengan bimbingan, reassurance, serta terapi kelompok b. Psikoterapi reedukatif Terhadap Pasien

29

Memberikan informasi kepada pasien dan edukasi mengenai penyakit yang dideritanya, gejala-gejala, dampak, faktor-faktor penyebab, pengobatan, komplikasi, prognosis, dan risiko kekambuhan agar pasien tetap taat meminum obat dan segera datang ke dokter bila timbul gejala serupa di kemudian hari Memotivasi pasien untuk berobat teratur

Mengajarkan terapi relaksasi pada pasien saat pasien marah ataupun akan marah sehingga diharapkan pasien dapat mengontrol marahnya dan mengemukakan amarahnya dengan cara yang lebih halus. Terhadap Keluarga Memberikan edukasi dan informasi mengenai penyakit pasien, gejala, faktor-faktor pemicu, pengobatan, komplikasi, prognosis, dan risiko kekambuhan di kemudian hari. Menjelaskan kepada keluarga bahwa salah satu faktor pemicu penyakit pasien saat ini adalah keluarga pasien yang mengabaikan pasien Meminta keluarga untuk mendukung pasien pada saat-saat setelah sakit agar pasien dapat mengalami remisi. c. Terapi kognitif perilaku Dilakukan untuk merubah keyakinan yang salah dari pasien dan memperbaiki distorsi kognitif. XII. DISKUSI Menurut DSM IV diagnosis Skizoafektif dapat ditegakkan apabila terdapat: 1. Pada saat episode yang sama, terdapat episode depresi dan atau manik yang bersamaan engan gejala pada kriteria A untuk skizofrenia yakni: Gejala karakteristik : 2 atau lebih dari gejala muncul dalam waktu yang signifikan selama 1 bulan (atau kurang bila berhasil diobati) a. Waham b. Halusinasi 30

c. Disorganisasi dalam berbicara (inkoherensi, dll) d. Perilaku disorganized, katatonik e. Gejala negatif yaitu afek yang mendatar,dll Bila waham yang terdapat pada pasien adalah waham aneh atau halusinasi yang bersifat commenting maka 1 gejala sudah dapat memenuhi. 2. Selama periode sakit (episode), terdapat waham atau halusinasi setidaknya minimal 2 minggu dimana tidak ada gejala gangguan mood/afektif yang berarti 3. Gejala yang memenuhi kriteria episode gangguan mood jelas terjadi pada bagian dari total durasi periode aktif dan residual dari penyakit 4. Gangguan ini terjadi bukan karena efek langsung dari zat psikoatif ataupun penyakit sistemik tertentu. Pada pasien ditemukan halusinasi auditori yang bersifat commenting, commanding, dan waham kejar selama lebih dari satu bulan (gejala yang mereda bila mengkonsumsi obat).. Gejala gangguan mood/afektif pada pasien ditemukan gejala depresi dan manik dengan sifat rapid cycling yakni terjadi perubahan dari manik dan depresi dari hari ke hari bahkan jam ke jam. Gejala depresi pasien terlihat jelas dari episode-episode yang ada, dimana hampir setiap gejala depresi akan diikuti dengan gejala psikotik. Untuk manik, tidak seperti gejala depresinya, manik yang terjadi tidak selalu diikuti oleh gejala psikotik. Terkadang gejala psikotik saja yang jelas dalam satu episode tanpa ada gejala depresi maupun manik. Dari anamnesis juga tidak didapatkan keterangan penggunaan zat psikoaktif, alkohol, rokok, maupun penyakit sistemik yang berkaitan dengan gangguan psikiatri. Dengan demikian gejala-gejala pada pasien sudah memenuhi kriteria skizoafektif menurut DSM IV. Karena didapatkan gejala depresi dan manik pada perjalanan penyakitnya dan pada saat kunjungan poli terakhir (anamnesis dan pemeriksaan status mental) tidak ada keluhan lagi sehingga diagnosis lengkapnya menjadi skizoafektif tipe campuran terkontrol obat. Untuk kasus 31

(terutama riwayat perjalan penyakitnya, bukan keadaan sekarang) ini perlu didiagnosis banding dengan gangguan afektif bipolar disertai gejala psikotik dan skizofrenia paranoid. Untuk skizofrenia paranoid, dapat disingkirkan dengan adanya gejala afek yang menonjol pada pasien. Namun masih perlu dipikirkan terjadi superimposed atau concomitant antara skizofrenia paranoid dengan gejala depresi. Hal ini dapat dipikirkan karena terdapat beberapa episode depresif terjadi setelah gejala psikotik halusinasi auditorik yang menyuruhnya bunuh diri ataupun commenting pasien. Gangguan afektif bipolar dengan gejala psikotik merupakan diagnosis banding terkuat, terutama gangguan afektif bipolar tipe II. Gejala depresi pada pasien bervariasi dari depresi ringan, sedang, hingga berat. Hal ini terlihat jelas pada perjalanan penyakit depresinya yang dari sekedar membuat disabilitas fungsi ringan hingga adanya perasaan ingin mengakhiri hidupnya (berat). Akan tetapi, efek dari depresi yang banyak terjadi cenderung ringansedang dan adanya usaha bunuh diri lebih disebabkan gejala psikotik halusinasi auditoriknya bukan langsung dari depresinya. Untuk gejala manik yang segera timbul setelah minum calsetin, tidaklah suatu manik karena antidepresan. Hal ini kemungkinan suatu episode manik murni. Dalam kepustaakaan, efek primer dari antidepresan baru ada setelah 2-4 minggu pemakaian. Dari keterangan pasien, selama ia minum obat calsetin pasien merasakan gejala manik. Diduga manik saat 2 minggu pertama pemakaian calsetin adalah manik murni sedangkan minggu-minggu selanjutnya manik murni tersalut oleh efek samping antidepresan. Dalam awal perjalanan penyakitnya pasien kemungkinan mengalami depresi berat dengan gejala psikotik. Namun, depresi yang tidak berat terkadang diikuti dengan gejala psikotik. Gejala psikotik tidak selalu bersama gejala depresi dan saat itu pasien mengalami skizoafektif tipe depresif. Dalam 2 tahun ini, pasien juga

32

mengalami episode manik selain gejala depresi dan psikotiknya. Sehingga diagnosis pasien menjadi skizoafektif tipe campuran. Terapi pada pasien terdiri dari psikofarmaka dan psikoterapi. Psikofarmaka yang diberikan berupa risperidon obat anti psikosis atipikal dari golongan benzisoxazole. Obat ini mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2) dan aktivitas menengah terhadap reseptor dopamin (D2), 1 dan 2 adrenergik, serta histamin. Dengan demikian obat ini efektif baik untuk gejala positif (waham, halusinasi), maupun gejala negatif (upaya pasien yang menarik diri dari lingkungan). Risperidon dimetabolisme di hati dan diekskresi di urin. Dengan demikian perlu diadakan pengawan terhadap fungsi hati. Secara umum risperidon ditoleransi dengan baik. Efek samping sedasi, otonomik, dan ekstrapiramidal sangat minimal dibandingkan obat antipsikosis tipikal. Dosis anjurannya adalah 2-6 mg/hari. Pada pasien ini diberikan dosis 2x3 mg/hari karena pada dosis yang lebih rendah 2x2 mg pasien tidak merasakan manfaatnya. Pemberian asam valproat ditujukan untuk mengatasi gangguan mood/afektifnya pasien yakni depresi dan manik. Asam valproat diindikasikan pada gangguan afektif bipolar (kombinasi dengan litium) dan skizoafektif. Obat ini lebih efektif pada rapid cycling yang terjadi pada pasien dibandingkan litium sehingga dijadikan pilihan utama pada gangguan afektif dengan ciri rapid cycling . Pembuktian terakhir menndapatkan bahwa asam valproat lebih efektif menangani episode depresi dibandingkan litium dan karbamazepin. Mekanisme keefektivitasannya dalam gangguan psikiatri masih belum diketahui. Obat ini dimetabolisme oleh hati melalui sistim beta-oksidasi, glukuronidasi, dan sitokrom P450. Adapun efek samping yang sering terjadi antara lain gangguan gastrointestinal, hati (hepatitis), darah (trombositopenia), dan saraf (ataksia, tremor). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan fungsi hati dan hematologi secara berkala. Psikoterapi yang diberikan pasien adalah psikoterapi suportif, psikoterapi reedukatif, dan terapi kognitif-perilaku. Psikoterapi 33

suportif

bertujuan

untuk

memperkuat

mekanisme

defens

(pertahanan) pasien terhadap stres. Hal ini dilakukan mengingat toleransi (kemampuan) pasien mengahadapi stres (tekanan, kecewa, frustasi) rendah. Selain itu pasien mudah marah (merasa emosi, ingin memukul, menghancurkan barang) bila ada masalah. Adanya percobaan bunuh diri beberapa kali juga semakin memprkuat kenyataan bahwa perlu diadakannya terapi untuk meningkatkan kemampuan pengendalian diri dan menghadapi masalah. Psikoterapi reedukatif bertujuan untuk meningkatkan insight (pengetahuan pasien) terhadap penyakitnya serta mengembangkan kemampuannya untuk menunjang penyembuhan dirinya. Selain itu juga meningkatkan pengetahuan keluarga untuk mendukung kesembuhan pasien. Peningkatan pengetahuan dilakukan dengan edukasi baik terhadap pasien maupun keluarga. Keluarga pasien saat ini belum mengetahui penyakit pasien. Adalah hak pasien untuk tidak memberitahukan keadaan ini terhadap keluarga. Namun sudah menjadi tanggung jawab kita sebagai dokter untuk memberikan informasi apa saja keuntungan yang didapat bila keluarga turut berperan serta sebagai care giver yang menunjang kesembuhan pasien. Adapun materi yang dapat diberikan pada keluarga adalah informasi mengenai penyakit pasien, gejala, faktorfaktor pemicu, pengobatan, komplikasi, prognosis, dan risiko kekambuhan di kemudian hari. Perlu pula dijelaskan bahwa dukungan moral sangat dibutuhkan oleh pasien. Dengan demikian sebaiknya keluarga tidak mengucilkan dan menjatuhkan mental pasien dengan menganggapnya orang yang stress. Selain psikoterapi di atas dapat dilakukan pula terapi kognitif perilaku. Terapi ini bertujuan untuk merubah keyakinan yang salah dari pasien dan memperbaiki distorsi kognitif. Prognosis Quo ad vitam pasien adalah bonam. Karena pasien sudah tidak lagi merasakan halusinasi yang pernah menyuruhnya untuk bunuh diri. Quo ad functionam bonam karena pasien masih dapat menjalankan fungsinya misal merawat diri, mengurus rumah 34

tangga, dan berdagang dengan baik. Quo ad sanactionam dubia ad bonam. Gangguan yang ada beberapa waktu terakhir ini sudah cenderung berkurang dari segi kualitas maupun kuantitias dan pasien sudah dapat mengatasinya dengan relaksasi dan CBT). DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pelayanan Medik. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III). Jakarta : Departemen Kesehatan RI. 1993. 2. Kaplan HI, Saddock BJ, Greb JA. Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry. 9th ed. USA : Lippincott Williams & Wilkins. 2003. 3. Maslim R. Paduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Jakarta : PT Nuh Jaya. 1996. 4. Birnkrant J, Carlsen A. Crash course Psychiatry: The Psychotic Disorders and The Mood disorders. In: Horton-Szar D, editor. U.K ed. China: Mosby Elsevier Inc.2007. 5. Albers J L, Hahn RK, Reist C. Handbook of Psychiatric Drugs. 2005 edition. Current Clinical Strategies Publishing. Diunduh dari: www.ccspublishing.com/ccs pada tanggal 30 Januari 2009.

35

You might also like