You are on page 1of 12

KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

Kerusakan lingkungan hidup terjadi karena adanya tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung sifat fisik dan/atau hayati sehingga lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (KMNLH, 1998). Kerusakan lingkungan hidup terjadi di darat, udara, maupun di air. Kerusakan lingkungan hidup yang akan dibahas dalam Bab ini adalah meluasnya lahan kritis, erosi dan sedimentasi, serta kerusakan lingkungan pesisir dan laut. A. LAHAN KRITIS

Salah satu masalah kerusakan lingkungan adalah degradasi lahan yang besar, yang apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat akan menjadi lahan kritis sampai akhirnya menjadi gurun. Lahan kritis umumnya banyak terjadi di dalam daerah aliran sungai (DAS) di seluruh Indonesia. Data Departemen Kehutanan menunjukkan lahan kritis di luar kawasan hutan mencapai 15,11 juta hektar dan di dalam kawasan hutan 8,14 juta hektar. Hutan rusak dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sudah mencapai 11,66 juta hektar dan lahan bekas HPH yang diserahkan ke PT. Inhutani 2,59 juta hektar. Mangrove yang rusak dalam kawasan hutan telah mencapai luasan 1,71 juta hektar dan di luar kawasan hutan sebesar 4,19 juta hektar. Total hutan yang rusak sudah mendekati angka 57 juta hektar. Ironisnya, kapasitas lembaga yang bertanggung jawab merehabilitasi hutan dan lahan dengan inisiatif pemerintah tak cukup kuat menangani kerusakan yang terjadi. Realisasi lahan kritis yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan dari tahun 1999 sampai tahun 2001 mencapai 1.271.571 hektar yang terdiri dari 127.396 hektar di dalam kawasan hutan dan 1.144.175 hektar di luar kawasan hutan. Sumber dana untuk merehabilitasi pun amat terbatas padahal tiap hektar lahan yang rusak butuh dana minimal Rp 5 juta. Untuk merehabilitasi lahan kritis 57 juta hektar maka negara perlu menyediakan dana hingga Rp 285 trilyun. Kerugian bukan hanya karena negara harus menyediakan dana untuk rehabilitasi lahan kritis tetapi juga kerugian akibat penebangan ilegal (illegal logging ). Menteri Kehutanan Prakosa (2002) mengatakan tiap tahun diperkirakan negara rugi hingga Rp 31 trilyun akibat illegal logging (pencurian, penebangan, peredaran, serta perdagangan kayu secara ilegal). Luas areal hutan yang perlu direboisasi di seluruh Indonesia mencapai 43,111 juta hektar, meliputi Pulau Jawa 111 ribu hektar dan di luar Pulau Jawa seluas 43 juta hektar. Idealnya Pulau Jawa mempunyai hutan minimal 30 persen dari luas daratan. Namun sampai saat ini baru 23% dikurangi lahan kritis yang mencapai antara 250 ribu ha sampai 300 ribu ha (Dr.Ir. Prakoso, MSc, Menteri Kehutanan, pada acara Pencanangan Reboisasi PT Perhutani bersama masyarakat Bojonegoro, Kompas 5 Januari 2003). Penyebab utama meluasnya lahan kritis adalah adanya : 1. tekanan dan pertambahan penduduk, 2. luas areal pertanian yang tidak sesuai, perladangan berpindah, 3. pengelolaan hutan yang tidak baik dan penebangan illegal, 4. pembakaran hutan dan lahan yang tidak terkendali, 5. ekploitasi bahan tambang. Meluasnya lahan kritis membuat penduduk yang tinggal di daerah tersebut relatif miskin, tingkat populasi sangat padat, luasan lahan yang dimiliki bertambah sempit, kesempatan kerja sangat terbatas, dan lingkungan hidup mengalami kerusakan/degradasi. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya krisis ekonomi sejak tahun 1997 yang telah memperburuk kondisi perekonomian petani gurem. Akibatnya penebangan hutan oleh rakyat semakin merebak serta lahan yang terancam menjadi kritis semakin meluas. 1. Tekanan dan pertambahan penduduk

Menurut Statistik Indonesia 2001, pertambahan penduduk dari tahun 1980 sampai tahun 2000 meningkat cepat. Pada tahun 1980 penduduk berjumlah 146,935 juta jiwa bertambah sebesar 1,97 persen menjadi 178,500 juta jiwa pada tahun 1990. Pada tahun 2000 jumlah penduduk menjadi 205,845 juta jiwa atau 2 naik 1,49 persen dengan kepadatan mencapai 109 jiwa per km . Bertambahnya penduduk meningkatkan kebutuhan pangan dan lapangan kerja serta meningkatkan
Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 VI - 1

eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang akhirnya mengakibatkan terjadikan kerusakan lingkungan.
GAMBAR 6.1 JUMLAH PENDUDUK
250
JUMLAH PENDUDUK (dalam juta)

205.843

200

178.5 146.935

150 100 50 0 1980

1990 TAHUN

2000

Sumber: BPS, 2001

2.

Luas areal pertanian yang tidak sesuai dan perladangan berpindah

Untuk meningkatkan produksi pangan, sekaligus membuka lapangan kerja, khususnya di daerah pedesaan, maka dilakukan perluasan areal pertanian yang sampai tahun 2001 mencapai 11,5 juta hektar. Namun perluasan areal pertanian di daerah banyak yang secara geografis tidak layak untuk tanaman pertanian, misalnya terdapat pada lereng dengan kemiringan yang tajam, bahkan dengan merusak areal hutan, seperti diilustrasikan Gambar 6.2. Sungguh ironis, program ekstensifikasi lahan pertanian, khususnya di luar Pulau Jawa, disebabkan lahan pertanian yang subur dan sesuai secara geografis di Jawa beralih fungsi menjadi kawasan industri dan pemukiman. Alih lahan ini pada tahun 2000 mencapai 250.000 hektar (Situs Departemen Pertanian, 2002). Selain itu terjadi juga alih lahan konservasi menjadi areal pertanian.
GAMBAR 6.2 CONTOH PENEBANGAN POHON DI HUTAN SECARA LIAR UNTUK DIJADIKAN AREAL PERTANIAN TERMASUK DI LERENG YANG DILARANG UNTUK TANAMAN SAYURAN

Sumber: Kompas, 2002

Kegiatan lain yang memperluas lahan kritis adalah peladang berpindah yang menurut data dari Departemen Kehutanan sampai tahun 2000 ada 14.618 KK (Kepala Keluarga) peladang berpindah yang mengolah lahan 24.264 hektar.
Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 VI - 2

BOKS 6.1 LANGKAH PEMERINTAH DALAM MENGATASI ALIH FUNGSI LAHAN Pemberlakukan Intruksi Presiden No. 3 Tahun 1990 tentang Larangan Alih Fungsi Lahan Sawah untuk Penggunaan Selain Pertanian; Pembentukan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) di bawah koordinasi BAPPENAS, tahun 1993; Pemberlakuan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; Pemberlakuan UU No. 69 Tahun 1996 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Tata Ruang; Pemberlakuan PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

4.

Pengelolaan hutan yang tidak baik dan penebangan ilegal

Pengelolaan hutan Indonesia perlu dilakukan secara profesional dan terencana sehingga hutan dapat dimanfaatkan secara optimal, tanpa mengurangi kemampuan hutannya memberikan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat lokal, nasional, regional, dan internasional. Sistem pengusahaan hutan yang ada telah menimbulkan berbagai masalah di beberapa daerah yang berdampak pada degradasi hutan. Selama lima tahun terakhir, laju deforestasi diperkirakan 1,6 juta hektar per tahun. Berdasarkan citra satelit 1995-1999 hutan produksi yang rusak di Indonesia pada 432 HPH mencapai 14,2 juta hektar, sedangkan kerusakan pada hutan lindung dan hutan konservasi mencapai 5,9 juta hektar. Dalam buku Potret Keadaan Hutan Indonesia yang diterbitkan akhir tahun 2001 oleh Forest Watch Indonesia diungkapkan laju kerusakan hutan pada era tahun 1980-an di Indonesia adalah sekitar satu juta hektar/tahun, kemudian pada awal tahun 1990-an tingkat kerusakan mencapai 1,7 juta hektar/tahun. Lalu, sejak tahun 1996 meningkat lagi menjadi rata-rata dua juta hektar/tahun. Hutan yang sudah terdegradasi dan gundul di Indonesia ada di Sumatera (terdegradasi 5,8 juta hektar dan gundul 3,2 juta hektar); di Kalimantan (degradasi 20,5 juta hektar dan gundul 4,3 juta hektar); di Sulawesi (degradasi dua juta hektar dan gundul 203.000 hektar); di Nusa Tenggara (degradasi 74.100 hektar dan gundul 685 hektar); di Papua (degradasi 10,3 juta hektar dan gundul 1,1 juta hektar); dan di Maluku (degradasi 2,7 juta hektar dan gundul 101.200 hektar). Kerusakan itu disebabkan oleh pemilik HPH melanggar prosedur, penebangan ilegal, perambahan hutan, pembukaan hutan skala besar, kebakaran hutan, serta banyaknya lokasi tambang di daerah hutan lindung dan daerah konservasi meskipun dilarang berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999. Kondisi ini diperburuk oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia beberapa tahun lalu. Konflik konsesi pertambangan dengan kawasan lindung menjadi pelik karena ada kontrak-kontrak pertambangan berada di dalam kawasan konservasi. Data Departemen Energi dan Sumber daya Mineral menunjukan saat ini ada 150 perusahaan pertambangan yang kawasan konsesinya (terdiri dari 116 tahap eksplorasi dan 34 sudah dalam tahap ekploitasi) berada di daerah konservasi, dengan jumlah nilai rencana investasi 1-5 tahun sejak 2000 sebesar US$ 3,2 milyar.
GAMBAR 6.3 PENEBANGAN KAYU ILEGAL (ILLEGAL LOGGING) DI HUTAN DI KALIMANTAN TIMUR TELAH MEMPERLUAS TERJADINYA LAHAN KRITIS DAN RAWAN LONGSOR

Sumber: Bapedalda Kota Balikpapan, Kaltim, 2002

Penebangan ilegal juga semakin merajalela karena kebutuhan kayu untuk industri tidak bisa 3 dipenuhi dari penebangan legal. Kapasitas industri kayu saat ini adalah 60 juta m , sedangkan 3 produksi kayu legal dari hutan alam, hutan rakyat, dan perkebunan hanya 22 juta m . Kekurangan tersebut dipenuhi dari penebangan kayu ilegal atau penebangan berlebih yang dilakukan oleh pemilik HPH.
Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 VI - 3

BOKS 6.2 KASUS PERAMBAHAN HUTAN SUAKA MARGASATWA CIKEPUH, KABUPATEN SUKABUMI Banyak sekali kasus perambahan dan pencurian kayu hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka margasatwa. Salah satunya terjadi di kawasan Suaka Margasatwa Cikepuh, Sukabumi. Penebangan kayu dan perambahan hutan Suaka Margasatwa Cikepuh dimulai awal tahun 1999 sampai bulan Maret 2002. Kayu yang ditebang adalah jenis kayu bungur dan laban berdiameter antara 20 60 cm. Kayu ditebang menggunakan alat tebang tradisional dan chain saw. Lahan yang dirambah diperkirakan mencapai 7.000 hektar. Kementerian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi berupaya melakukan penegakan hukum dan berhasil menjerat para ketua kelompok, koordinator, dan aktor utamanya. Sumber: KLH, 2002

BOKS 6.3 PENEBANGAN KAYU LIAR DI SUKABUMI Penjarahan hutan disertai penebangan kayu di wilayah Perhutani Unit III Jabar, termasuk di wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Sukabumi, masih terus berlangsung. Dalam tahun 2001, di Perhutani Unit III terjadi pencurian kayu sebanyak 114.601 pohon dari berbagai jenis kayu. Kerugian yang diderita mencapai Rp 35,7 miliar lebih. Khusus di KPH Sukabumi dalam tahun yang sama tercatat ada 13.340 pohon yang ditebang ilegal oleh pencuri dengan kerugian senilai Rp 4,1 miliar lebih. Sementara pencurian kayu di wilayah Perhutani Unit III dalam tahun 2002, mulai Januari sampai Mei tercatat sebanyak 23.137 pohon dengan kerugian senilai Rp 8,1 miliar lebih (Ukin Prawirasutisna, Kepala Seksi Humas Perhutani III, Jawa Barat). Untuk menekan gangguan keamanan hutan selama ini lebih dititikberatkan pada pendekatan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat desa hutan khususnya melalui pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Demikian pula dengan upaya yang bersifat polisional, lebih mengedepankan upaya preventif, seperti penyuluhan melalui berbagai media, patroli rutin, kampanye pelestarian hutan. Khusus di KPH Ciamis, Garut dan Sukabumi dilakukan bersama FKPPI dan lembaga lainnya. Kemudian berbagai operasi di antaranya dilaksanakan melalui operasi kayu selama bulan April dan Mei 2002, juga melalui Balok Lodaya 2001 bekerja sama dengan Polda Jabar. Upaya represif yang dilakukan bersama institusi keamanan, selama tahun 2002 berhasil menyita kayu sebanyak 3.506,76 meter kubik, atau naik sekitar 21 persen dibanding prestasi tahun 2001. Ada pun jumlah tersangka yang berhasil diamankan sebanyak 82 orang. Sumber: Pikiran Rakyat, 2 Juli 2002

Kendala yang dihadapi dalam pemberantasan illegal logging antara lain: (1). Ada 11 instansi yang berada dalam satu mata rantai pemberantasan illegal logging yang sangat menentukan proses penegakan hukum kejahatan bidang kehutanan yaitu: Menko Polkam, TNI AD/Hankam, TNI AL, Polri, Dephut, Deperindag, Dephub, Bea Cukai, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemda Provinsi/Kabupaten; (2). Penegakan hukum masih lemah sehingga mafia kayu beraksi dengan bebas; (3). Modus penebangan ilegal: oknum aparat menjadi dinamisator dan supervisor tindak pidana kehutanan, di samping juga menjadi backing; (4). Kondisi moral, sosial dan budaya masyarakat, serta aparat cenderung menjadi tidak lagi peduli pada kelestarian hutan dan penegakan hokum; (5). Ketahanan dan kemandirian masyarakat yang masih rendah dengan pembodohan yang berdalih pemberdayaan masyarakat; (6). Masih ada industri pengolahan kayu yang menerima dan mengolah kayu ilegal;
Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 VI - 4

(7). Penanganan illegal logging saat ini belum mencapai hasil yang maksimal karena dilaksanakan secara tidak berkesinambungan akibat biaya yang cukup besar; (8). Kompleksnya permasalahan sosial dan moral di berbagai lapisan masyarakat; (9). Data dan informasi tentang penanganan illegal loging masih sangat terbatas; (10). Pelaksanaan otonomi daerah yang lebih berorientasi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa mempehatikan kelestarian hutan.
TABEL 6.1 DAERAH-DAERAH YANG RAWAN PENCURIAN DAN PENYELUNDUPAN KAYU NO PROPINSI LOKASI

1 Aceh . Gunung Leuser, Bireun, Singkil, Kuala Simpang 2 Riau . Bukit Tigapuluh, Rumbai, Dumai, Siak Hulu 3 Jambi . Kerinci Seblat, Kuala Tungkal, Bungo Tebo 4 Jawa Timur . Meru Betiri, Bondowoso, Lamongan 5 Kalimantan Barat . Gunung Palung, Kapuas, Bukit Dayeuh, Batuampar, Paloh, Betung Kerihun 6 Kalimantan Tengah . Tanjung Puting, Kuala Kapuas, Barito Utara, Palangkaraya, Barito Selatan 7 Kalimantan Selatan Muara Teweh, Hulu Sungai Selatan 8 Kalimantan Timur Kutai, Pasir, Hulu Sungai Utara, Tenggarong, Balikpapan 9 Sulawesi Tengah .Lore Lindu, Donggala, Palu 10 Papua Sumber: Media Indonesia, 28 Juni 2002

Upaya Penanggulangan dan Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal Tahun 2002 Dewan Pertahanan Nasional telah menyatakan kejahatan perusakan hutan terutama illegal logging merupakan salah satu ancaman potensial yang dapat meruntuhkan keutuhan dan kesatuan, serta integritas dan integrasi bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu pada tahun 2003 Departemen Kehutanan bersama TNI serta instansi terkait dalam penegakan hukum, bertekad meningkatkan penindakan secara tegas pelaku, pemodal, dan backing kejahatan kehutanan tanpa pandang bulu, serta akan lebih transparan dalam pengungkapan aktor di belakangnya. Salah satu upaya Pemerintah untuk menanggulangi penebangan kayu ilegal yang semakin marak dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab adalah dengan Pemberlakuan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal dan Peredaran Hasil Hutan ilegal di Kawasan Ekosistem Leuseur dan Taman Nasional Tanjung Puting. Selain itu KLH atas nama Pemerintah Indonesia telah menandatangani letter of intent dengan Pemerintah Norwegia pada tanggal 30 Agustus 2002 yang pada prinsipnya menekankan pentingnya KLH berperan pada kegiatan advokasi, yaitu mendorong semua pihak untuk meningkatkan dan mensinergikan kemampuan dalam pemberantasan mafia illegal logging.
BOKS 6.4 LANGKAH PEMERINTAH MENANGGULANGI MASALAH PERTAMBANGAN DI KAWASAN KONSERVASI DAN HPH Pemerintah membentuk dua tim melibatkan unsur masyarakat terdiri dari LSM, Perguruan Tinggi, KLH, pemerintah daerah, serta swasta untuk menyelesaikan masalah pertambangan sebagai akibat dari kebijakan yang dituangkan dalam UU No. 41 Tahun 1999. Tujuannya untuk mencari titik penyelesaian masalah tumpang tindih ini, terutama difokuskan pada kontrak-kontrak pertambangan dan energi yang ditandatangani sebelum ditetapkannya UU No. 41 Tahun 1999. Kedua tim tersebut adalah Tim A yang dibentuk melalui SK Menteri Perekonomian dan bertugas untuk meneliti perusahaan yang sudah dalam tahap eksploitasi. Sedang Tim B dengan SK Menhut meneliti perusahaan yang masih dalam tahap ekplorasi; Menyelesaikan Peraturan Pemerintah yang akan menjembatani masalah yang timbul dari UU No. 41 Tahun 1999. Semua kontrak ke depan akan mengikuti aturan UU No. 41 Tahun 1999 yang menyatakan dengan tegas tidak boleh melakukan pertambangan terbuka di hutan lindung dan konservasi. Perusahaan yang menyalahgunakan HPH akan ditunda izin HPH-nya sampai ada pengkajian HPH untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh mengenai hutan Indonesia selesai dilakukan. Pemerintah mengharapkan pada tahun 2003 semua HPH sudah mendapatkan sertifikasi pengelolaan hutan produksi lestari. Sumber: siklusits.tripod.com/hutan.htm

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002

VI - 5

Berikut langkah-langkah strategis Dephut untuk mengatasi penebangan ilegal: Menerbitkan SK Menhut No. 541/Kpts-II/2002, yang isinya antara lain mencabut SK Menhut No. 05.1/Kpts-II/2000, menghentikan sementara kewenangan gubernur atau bupati/walikota menerbitkan HPH/izin pemanfaatan hasil hutan. Penerbitan SK Menhut ini telah diperkuat dengan terbitnya PP No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan yang antara lain mengatur kewenangan pemberian izin pemanfaatan hutan dan hasil hutan; Menerbitkan SKB Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 1132/Kpts-II/2001, dan No. 292/MPP/Kep/10/2001, tentang Penghentian Ekspor Kayu Bulat/Bahan Baku Serpih yang dikuatkan dengan PP No 34 Tahun 2002 yang dengan tegas melarang ekspor log; Melakukan kerja sama dengan TNI AL dalam pelaksanaan Operasi Wanabahari, serta dengan Polri dalam pelaksanaan Operasi Wanalaga; Kerja sama dengan negara lain, yaitu penandatanganan MoU dengan Pemerintah Inggris, pada tanggal 18 April 2002, dan dengan RRC pada tanggal 18 Desember 2002, untuk pemberantasan illegal logging dan illegal trade. Diharapkan kerja sama serupa dengan Pemerintah Jepang serta beberapa negara lainnya akan segera menyusul; Mem-back up operasi khusus di daerah sensitif seperti wilayah perbatasan, kawasan konservasi dan taman nasional terpilih; Secara bersama melaksanakan operasi di laut dan perairan; Memberikan back up data intelejen; Pengawasan yang ketat terhadap oknum TNI di lapangan yang bertindak sebagai backing maupun pelaku.

Penegakan hukum telah dilaksanakan di bagian hilir proses penyelundupan kayu. Bea Cukai menangkap kapal Putri IV yang mengangkut kayu gelondongan sebanyak 50 meter kubik. Kemudian tanggal 12 Maret 2002 ditangkap lagi dua kapal asing berbendera Indonesia yaitu Promex 26 dan Promex 27. Kapal itu mengangkut kayu gelondongan 3.400 meter kubik dari Tanjung Selor, Kalimantan Timur. Total kerugian negara yang berhasil diselamatkan kurang lebih Rp 5,8 milyar. Penangkapan ini merupakan yang terbesar sejak adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menperindag dan Menhut bernomor 292/MPP/Kep/10/2001 tertanggal 8 Oktober 2001.

BOKS 6.5 DATA PENEBANGAN ILEGAL

Departemen Kehutanan tanggal 15 Januari 2003 mengeluarkan informasi (berupa siaran pers) yang menggambarkan kondisi aktual kerusakan hutan tropis serta praktek illegal logging yaitu: (1) Hutan yang rusak atau tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai luasan 43 juta hektar dari total hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar, dengan laju degradasi empat tahun terakhir mencapai 2,1 juta hektar per tahun; 3 (2) Penebangan kayu liar dan peredaran kayu ilegal mencapai 50,7 juta m /tahun, dengan perkiraan kerugian finansial sebesar Rp 30,42 trilyun/tahun. Di samping itu ada kerugian secara ekologi yaitu hilangnya beberapa jenis/spesies keanekaragaman hektaryati; (3) Penyelundupan kayu dari Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Riau, Nangroe Aceh Darussalam, Sumatra Utara, dan Jambi dengan tujuan 3 negara Malaysia, Cina, Vietnam, India mencapai 10 juta m /tahun. Khusus dari Papua mencapai 3 600.000 m /bulan dengan kerugian sebesar Rp 600.000 milyar/bln, atau Rp 7,2 trilyun/thn; 3 (4) Peredaran kayu ilegal di Pantai Utara mencapai 500.000 m /bln (sekitar 500 700 kapal per bulan) dengan kerugian finansial sebesar Rp 450 milyar/bln, atau Rp 5,4 trilyun/tahun (5) Kerusakan sangat besar terjadi di daerah perbatasan Indonesia Malaysia. Di daerah perbatasan dengan Provinsi Kaltim laju kerusakan seluas 150.000 hektar/th, dan di perbatasan dengan Provinsi Kalbar seluas 250.000 hektar/tahun; (6) Dari hasil kerja sama Dephut dengan TNI AL melalui operasi Wanabahari pada tahun 2001 telah 3 ditangkap delapan kapal, dengan barang bukti sitaan kayu log sebanyak 26.564 m , dengan perkiraan penerimaan negara yang diperoleh sebesar Rp 63,6 milyar. Tahun 2002 ditangkap lima 3 3 kapal dengan barang bukti sitaan barupa kayu olahan 2.500 m , kayu log 11.300 m , perkiraan penerimaan negara yang diperoleh sebesar Rp 447 milyar.

Sumber: Departemen Kehutanan, 2003

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002

VI - 6

4.

Pembakaran hutan dan lahan yang tidak terkendali

Terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia beberapa tahun yang lalu telah membawa dampak yang sangat besar pada lingkungan hidup, sehingga mendapat perhatian yang serius di dalam dan di luar negeri, khususnya oleh negara-negara ASEAN, seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam, yang sebagian wilayahnya terkena dampak pencemaran asap lintas batas. Kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan dilihat dari aspek ekonomi bukan hanya hilangnya aset kekayaan tegakan hutan berupa kayu, tetapi dari aspek ekologi banyak kehilangan habitat flora dan fauna liar. Sebagai gambaran akibat pembakaran hutan dan lahan seluas 2.970 hektar oleh PT. Adei Plantation di Bangkinang, Provinsi Riau, negara dirugikan kurang lebih 500 milyar rupiah. Dampak yang sering dirasakan oleh masyarakat adalah kabut asap yang sangat merugikan kesehatan, seperti meningkatnya penderita penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas). Selain itu kabut asap ini mengganggu transportasi baik udara, darat maupun sungai, yang pada gilirannya akan mempengaruhi perekonomian masyarakat, baik lokal, regional maupun internasional. a. Pemantauan kebakaran hutan dan lahan

Pemantauan kebakaran hutan dan lahan telah dilakukan sebagai bagian dari sistem deteksi dini dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kegiatan ini dilakukan secara kontinu oleh KLH dan meliputi pemantauan titik panas ( hotspot) di wilayah Kalimantan dan Sumatera, kualitas udara (ISPU), jarak pandang, kelembaban, sebaran asap dan awan. Data tersebut diperoleh dari instansi terkait seperti Departemen Kehutanan, BMG, dan LAPAN, serta informasi dari situs ASEAN Service Meteorological Center, Singapura dan Koichi University, Jepang. Hasil pemantauan disampaikan kepada pemerintah daerah untuk pengendalian kebakaran.

GAMBAR 6.4. GRAFIK SEBARAN HOTSPOT DI WILAYAH SUMATERA TAHUN 2002


1,800

Aceh Sumatera Utara Riau Sumatera Barat Jambi Sumatera Selatan Bengkulu
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Jumlah Hotspot

1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 -

Kep.Bangka Belitung Lampung

Bulan Sumber: KLH, 2002

GAMBAR 6.5. GRAFIK SEBARAN HOTSPOT DI WILAYAH KALIMANTAN TAHUN 2002 5,500 5,000 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 1 2 3 4 5 Bulan6 7 8 9 10 11 12

Jumlah Hotspot

Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur

Sumber: KLH, 2002


Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 VI - 7

Menurut data dari Departemen Kehutanan, luas kebakaran hutan di seluruh Indonesia tahun 2002 mencapai 38.389,23 hektar dengan kerugian Rp.122.967.050. Secara rinci luas kebakaran setiap provinsi tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 6.2

TABEL 6. 2 KEBAKARAN HUTAN DI SELURUH INDONESIA TAHUN 2002 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 PROVINSI LUAS HUTAN TERBAKAR (HA) 2.211,85 10.983,53 33,25 212,00 8.265,92 2.089,89 141,20 140,95 7.137,30 4.087,75 600,00 361,00 301,09 423,50 200,00 300,00 900,00 38.389,23 KERUGIAN (RP) 72.371.300 8.000.000 13.870.000 17.225.750 11.500.000 122.967.050

Riau Sumatera Selatan Kalimantan Timur Jambi Nusa Tenggara Timur Jawa Timur Bali Sulawesi Tenggara Lampung Sulawesi Selatan Sulawesi Utara Nusa Tenggara Barat Jawa Barat Kalimantan Barat Maluku D.I. Yogyakarta Sulawesi Tengah JUMLAH Sumber: Departemen Kehutanan, 2002 (Hasil rekapitulasi laporan rutin daerah: Dishut, dishut kab, Balai TN, Balai KSDA, Unit KSDA, HPH, HPHTI, radio komunikasi dari daerah)

b. (1)

Perkembangan penanganan Upaya antisipasi

Pemerintah telah mengantisipasi akan terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 2002 melalui pertemuan Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan Gubernur lima provinsi, Bupati dan ketua DPRD 17 kabupaten yang daerahnya rawan kebakaran hutan dan lahan pada tanggal 9 Januari 2002. Pertemuan kemudian dilanjutkan dengan penyusunan rencana aksi 17 kabupaten di Lembang pada tanggal 12-14 Maret 2002; Mengadakan pertemuan antara Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan ketua DPRD, Gubernur dan Bupati yang daerahnya rawan kebakaran hutan dan lahan di Riau, serta kunjungan Menteri Kehutanan ke daerah rawan kebakaran Tahun 2002
Memberdayakan masyarakat lokal dan lembaga adat dengan kearifan tardisional melalui Community Based Fire Management;

Memobilisasi mahasiswa untuk melakukan pemantauan dan advokasi di Kalimantan Barat. Untuk itu ditandatangani kesepakatan kerja sama antara Menteri Negara Lingkungan Hidup, Gubernur Kalimantan Barat dan lima rektor perguruan tinggi di Kalimantan Barat; Melatih tenaga penyuluh lapangan kebakaran hutan dan lahan sebanyak 297 orang; Menyepakati mekanisme pelaporan penanggulangan kebakaran berjenjang dari tingkat desa sampai provinsi dengan melibatkan pemerintah, perusahaan dan masyarakat; Mensosialisasikan informasi mengenai kemungkinan timbulnya kebakaran oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan ke daerah; Menyusun peta rawan kebakaran hutan dan lahan untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan tahun 2002 yang bertujuan untuk memprioritaskan kegiatan pengendalian kebakaran pada lokasi-lokasi yang rawan terjadi kebakaran. Peta rawan kebakaran wilayah Sumatera dan Kalimantan terlampir; Mendorong langkah moratorium penebangan hutan, yang pada tahap awal dilakukan di Pulau Jawa dan Bali; Mendorong perubahan misi PT. Perhutani dalam empat tahun mendatang, dari produksi menjadi rehabilitasi hutan-hutan yang gundul;
Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 VI - 8

Mendorong penataan kembali kawasan-kawasan lindung yang saat ini lahannya untuk peruntukan lain, seperti kawasan wisata dan permukiman; Mendorong/memfasilitasi pemerintah daerah dan masyarakat dalam proses penegakan hukum bagi pelaku perusakan lingkungan/hutan. (2). Upaya penanganan di tingkat regional ASEAN

Penanganan kabakaran hutan dan lahan juga dilakukan di tingkat regional, yaitu dalam forum ASEAN, baik melalui pertemuan rutin tingkat teknis (Sub-Regional Firefighting Arrangement/ SRFA) untuk wilayah Sumatera dan Semenanjung Malaya, maupun SRFA untuk wilayah Borneo (Kalimantan, Sabah Sarawak, Brunei Darussalam). Di samping itu ada forum pertemuan yang lebih tinggi yaitu ASOEN Haze Technical Task Force (AHTTF). Upaya yang dilakukan di tingkat regional antara lain ditandatanganinya Perjanjian ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution) oleh para th menteri lingkungan negara ASEAN dalam Pertemuan Para Menteri ASEAN tentang Asap ke-9 ( 9 ASEAN Ministerial Meeting on Haze) pada tanggal 10 Juni 2002 di Kualalumpur, Malaysia. Perjanjian akan berlaku efektif bila enam negara telah meratifikasinya. Perjanjian ini mengandung semangat kebersamaan untuk berupaya mencegah, memantau, serta menanggulanggi polusi lintas batas negara. Kemudian akan dibentuknya ASEAN Coordinating Center for Transboundary Pollution Control yang selanjutnya secara singkat disebut ASEAN Center.

BOKS 6.6 UPAYA PENEGAKAN HUKUM DALAM KASUS PEMBAKARAN HUTAN DAN LAHAN 1. PT. Adei Plantation and Industry Putusan pada tingkat banding: delapan bulan kurungan dan denda Rp 100 juta Status: dalam proses kasasi di Mahkamah Agung RI 2. PT. Jatim Jaya Perkasa Putusan Pengadilan Negeri: bebas murni Status: Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung 3. PT. Cisadane Sawit Raya Status: dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Rantau Prapat 4. PT. Bumi Pratama Katulistiwa Status: P21 (tinggal menunggu persidangan) 5. PT. Inti Prona Status: dalam proses penyidikan 6. PT. Mustika Sembuluh Status: dalam proses penyidikan oleh Polda Kalimantan Tengah 7. PT. Windu Nabasindo Lestari Status: dalam proses penyidikan oleh Polda Kalimantan Tengah 8. PT. Bisma Dharma Kencana Status: dalam proses penyidikan oleh Polda Kalimantan Tengah Sumber: KLH, 2002

5.

Ekploitasi pertambangan

Penambangan yang dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia saat ini banyak menimbulkan kerugian tidak hanya kerugian materi berupa hilangnya devisa bagi negara tetapi juga ancaman dan kerugian bagi lingkungan hidup yaitu rusaknya lingkungan dan menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan. Beberapa perusahaan pertambangan besar dalam melakukan aktifitasnya banyak menimbulkan masalah lingkungan, seperti pembuangan tailing pada PT. Freeport Indonesia ke sungai yang telah menimbulkan masalah. Begitu juga penambangan pasir laut yang banyak menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Namun ada perusahaan pertambangan yang mempunyai reputasi yang cukup baik dalam pengelolaan lingkungan hidup, antara lain PT. Kaltim Prima Coal (KPC),
Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 VI - 9

Masalah lain yang perlu diperhatikan dan segera ditanggulangi adalah penambang tanpa izin (PETI) yang lokasinya tersebar di hampir seluruh Indonesia (Lihat Gambar 6.6) yang banyak menggunakan air raksa (Hg) dalam proses pengekstrakan emas. Sebagai contoh PETI yang terdapat di Propinsi Kalimantan Tengah, tepatnya pada DAS Rungan dengan sungai utamanya Sungai Takaras. Di sana ada 480 PETI. Satu PETI menggunakan satu atau lebih mesin sedot. Apabila satu mesin menggunakan satu kg Hg dalam rentang waktu tiga bulan dapat dipastikan Sungai Takaras tercemar oleh Hg sebanyak 480 kg, atau dua ton Hg dalam setahun (Kalteng Pos, 21 dan 22 Maret 2003). Kegiatan PETI bahan galian tambang, antara lain batubara dan emas, semakin marak seiring dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Masalah yang terkait dengan penanggulangan PETI adalah: penegakan hukum belum optimal dengan tingkat kedisiplinan aparatnya yang masih perlu ditingkatkan, tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan, serta krisis ekonomi yang berkepanjangan Fokus penanganan masalah PETI bahan galian tambang batubara dan emas didasarkan pada pertimbangan: PETI batubara dalam prakteknya sangat merusak kondisi fisik: lingkungan tempat batubara tersebut, tempat penimbunan batubara (stock pile), lokasi pelabuhan khusus batubara, dan sarana jalan transportasi yang digubakan untuk mengangkut batubara. PETI emas dalam prakteknya merusak kondisi fisik wilayah penambangan emas serta terjadinya pencemaran merkuri yang semakin meluas. Upaya Penanganan masalah PETI telah dilakukan dengan berbagai cara oleh KLH bersama sama dengan Instansi terkait, baik tingkat pusat maupun Daerah. Selain itu juga dijalin kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap lingkungan hidup. Upaya tersebut baru pada tahap melakukan sosialisasi tentang bahayanya merkuri terhadap kesehatan manusia melalui berbagai sarana serta perlunya para PETI mengikuti peraturan yang berlaku.

BOKS 6.7 PT FREEPORT INDONESIA Sesuai ketentuan Pasal 32 PP No. 27 Tahun 1999 tentang Amdal, pihak PT. Freeport Indonesia (PT. FI) wajib menyampaikan Laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) kepada Bupati Timika, Gubernur Papua, Departemen ESDM dan KLH. Atas dasar ketentuan tersebut, pihak PTFI secara rutin, yaitu setiap tiga bulan menyampaikan laporan itu kepada KLH, termasuk di dalamnya laporan tentang pengelolaan tailing. Dari laporan itu tercatat produksi PT. Freeport Indonesia pada tahun 2001 mencapai 242.333 ton bijih per hari. Pembuangan batuan limbah sampai tahun 2001 mencapai 181.623.100 ton ke Danau Wanagon. Rencananya PT. Freeport akan membuang batuan limbah sebanyak 2.675 milyar ton sampai tahun 2014. Berdasarkan laporan pelaksanaan RKL-RPL, KLH memberikan arahan saran tindak. Saran tindak terakhir diberikan pada bulan Oktober 2000 dalam bentuk revisi atas dokumen RKL dan RPL, mengingat beberapa ketentuan dalam RKL-RPL yang ditetapkan tahun 1997 sudah tidak efektif lagi. Sejalan dengan proses revisi RKL dan RPL tersebut, pihak PTFI juga telah melaksanakan studi ERA (Environmental Risk Assesment) khusus untuk pengelolaan tailing dengan bantuan konsultan Parametrix, sesuai dengan komitmen mereka dalam dokumen RKL 300K. Hasil studi ERA ini telah disampaikan oleh pihak PT. FI kepada KLH pada tanggal 23 Desember 2002 dengan kesimpulan antara lain: Hasil kajian belum menunjukkan bukti konklusif risiko dapat diabaikan, tetapi risiko tailing mungkin lebih tinggi dari yang diperkirakan oleh Parametrix. Sebagian besar hasil kajian menunjukkan adanya dampak lingkungan akibat tailing, sebagaimana diprediksi dalam dokumen Andal 300K. Hasil kajian juga menunjukkan adanya beberapa parameter baru yang bermasalah dan memerlukan pengkajian lebih lanjut. Memperhatikan berbagai temuan studi ERA tersebut, maka dalam waktu dekat akan segera ditetapkan Keputusan Menteri KLH tentang Penyempurnaan RKL-RPL PT. FI. Sumber: KLH, 2002
Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002
VI - 10

BOKS 6.8 PT. KALTIM PRIMA COAL (KPC) PT. KPC merupakan perusahaan pertambangan dan produksi batu bara PMA yang beroperasi di Kecamatan Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan Kontrak Karya No. B - 50 /Pres/10/1981. Dalam laporan (Agustus, 2002), PT. KPC memiliki tenaga kerja 2716 orang, dengan jumlah tenaga kerja asing 28 orang. Produksi batu bara PT KPC : 14.013 kiloton (tahun 1999); 13.135 kiloton (tahun 2000); 15.611 kiloton (tahun 2001). Pada kurun waktu 1999 2000, 2000 2001, 2001 2002 PT. KPC memperoleh sertifikat emas atas penilaian Proper yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. RKL/RPL untuk triwulan Oktober s/d Desember 2001, PT. KPC akan menambang 4,1 juta ton batu bara dan 34 juta bcm (bank cubic meter) overburden dipindahkan ke areal dumping (waste disposal), sedangkan total luas lahan yang dibuka sektar 73 ha. Kegiatan manajemen pengelolaan lingkungan hidupnya melaksanakan Environmental Management System (EMS) berikut: Pengelolaan lingkungan hidup internal dan eksternal melibatkan tenaga ahli Integrasi manajemen lingkungan dengan struktur manajemen perusahaan Rencana kerja manajemen lingkungan yang komprehensif Program tahunan audit lingkungan internal Laporan rutin bulanan dan tahunan pengelolaan lingkungan oleh divisi lingkungan kepada manajemen perusahaan Mekanisme pelaporan kecelakaan kerja Program pelatihan karyawan Penyediaan dana pengelolaan lingkungan tahun 2001 mencapai US$ 6.026.698 1 Upaya pengelolaan kualitas udara TABEL 6.3 HASIL PEMANTAUAN KUALITAS UDARA AMBIEN DI PT. KPC Parameter Baku Mutu (PP 41/1999) NH (ppm) 3 CO (ug/Nm ) H2S (ppm) HC (ug/Nm ) NOx (ug/Nm ) SO2 (ug/Nm ) Debu (ug/Nm ) Pb ug/Nm ) Hasil Analisa Kws Kws Lembah Hijau Tj. Bara Camp < 0,001 < 0,001 34 - 101 42 - 243 < 0,001 < 0,001 37 30 19 - 33 20 - 26 <8 <8 42 37 < 0,1 < 0,1

2,0 10,000 0,02 160 150 365 230 2

Kws Panorama < 0,001 259 - 546 < 0,001 34 91 159 <8 70 < 0,1

Kws Batu Putih < 0,001 19 99 < 0,001 32 1 20 <8 19 < 0,1

Sumber : Lab Udara ITB, Juni, 2002

Upaya pengelolaan kualitas air Setiap hari secara rutin setiap hari dilakukan pemantauan kualitas air limbah dan air sungai sekitar lokasi operasi PT KPC (42 titik pantau), lokasi Sangatta dump discharge, Pit K, Sungai Murung. Pemanfaatan fasilitas oily water separator plant ( oil spill control ) Pengelolaan air asam tambang dengan melakukan klasifikasi dan pemisahan batuan penutup yang didasarkan pada potensi pembentukan asam. Jika diperlukan penutupan batuan asam dilakukan dengan rekayasa dan bila tidak mungkin, maka aliran air asam tambang dinetralisir dengan menggunakan kapur. Hasil uji NAG, sisa batuan terbagi menjadi NAF (Non Acid Forming/tidak berpotensi menghasilkan air asam tambang) sehingga ditempatkan di atas final dump dengan luas terkelola 1.700 ha (2002); PAF (Potensial Acid Forming) ditempatkan pada bagian bawah final dump dengan luas terkelola 1.700 ha (2002). Meneliti geokimia di areal eksplorasi dan penumpukan akhir (final dump). Pengukuran kualitas air bulanan untuk pendingin di aliran keluaran berbataan dengan stasiun pembangkit listrik, air laut dekat bakau di titik pasang surut pantai dan air laut di daerah bakau

3 Upaya pengelolaan limbah B3 Penyimpanan: pelumas bekas di gudang penyimpanan limbah B3 dengan upaya tidak melewati waktu 90 hari (memiliki izin dari KLH melalui SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 45, tanggal 11 April 2003) Pemanfaatan: pemanfaatan pelumas bekas untuk bahan bakar pembantu dalam kegiatan peledakan ANFO-Emuls kegiatan penambangan (memiliki izin dari KLH melalui SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No 49, tanggal 11 April 2003) PT. KPC melalui data uji Laboratorium ASL yang diterbitkan Agustus 2002, telah melakukan uji TCLP dan LD50 terhadap sampel limbah padat (fly ash dan bottom ash) dengan kesimpulan kandungan parameter uji yang masih di bawah baku mutu. Namun demikian perlu juga dilakukan uji karakteristik limbah B3 lainnya. 4 Aspek lingkungan lain Revegetasi: pelaksanaan revegetasi di lahan bekas galian, top soil dan overburden yang sudah baik Reklamasi: 800.000 pohon telah ditanam pada lahan 1.000 ha Rehabilitasi tambang 106,5 ha dengan pembibitan 215.973 pohon terdiri dari 104 spesies (92 lokal). 5 Community development (Menurut data tahun 2002 dana untuk kegiatan CD Rp 15.444.000.000) Peningkatan pendidikan (renovasi dan pembangunan gedung sekolah). Kegiatan peyediaan infrastruktur bagunan sekolah, jalan dengan perkiraan biaya US$ 301.160; peningkatan pendidikan SD S3 (US$ 171.000) Peningkatan kesehatan & gizi dengan perkiraan biaya US$ 182.670. Peningkatan ekonomi atau pendapatan dengan perkiraan biaya US$ 690.000. Peningkatan pelayanan masyarakat dan pengembangan SDM (US$ 180.313)

Sumber: KLH, 2002


Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002
VI -

Sumber : http://www.duniaotomotif.net/pemanfaatan-mikoriza-untukpenanggulangan-lahan-kritis.html#

Di akses tanggal 19 April 2012 , 10:15

You might also like