You are on page 1of 11

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pada era globalisasi sekarang ini, umat beragama dihadapkan pada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan yang pernah dialami sebelumnya. Seperti dalam halnya pernikahan siri yang saat ini menjadi fenomena yang kian marak terjadi dan tidak hanya dilakukan oleh artis, pejabat, atau birokrat pemerintahan, tetapi juga oleh masyarakat umum dengan taraf ekonomi yang relatif pas-pasan. Bahkan, juga dipraktekkan oleh figur masyarakat yang selama ini sering disebut dengan istilah kyai, dai, ustad, ulama, atau istilah lainnya untuk menandai kemampuan seseorang mendalami agama ( Islam ). Sebenarnya, pernikahan siri yang terjadi di dalam masyarakat adalah kasus yang sudah lama sekali muncul dan hadir di tengah masyarakat. Namun, karena sekarang ini pernikahan siri juga sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri. Maka pernikahan siri pun menjadi sebuah fenomena tersendiri yang dimana sekarang ini keabsahannya pun ( baik dalam segi hukum Islam maupun hukum Negara ) dipertanyakan seiring dengan semakin maraknya alasan-alasan tertentu yang digunakan sebagai dasar dilakukannya pernikahan siri yang lebih banyak menimbulkan dampak negatif. Pernikahan siri adalah pernikahan secara rahasia, yang kadang kita kenal dengan nikah di bawah tangan atau mungkin dalam khasanah kajian hukum islam konteks nikah semacam ini mendekati istilah nikah yang kita kenal dengan nikah misy'ar. Apabila ditinjau dari segi hukum Islam dan hukum positif nasional, nikah siri sangat berbeda dengan nikah resmi pada umumnya. Namun, sebenarnya pernikahan siri merupakan pernikahan yang sesuai dengan syariat Islam dan bertujuan untuk mengesahkan hubungan antara pria dan wanita di mata Allah SWT. Akan tetapi, pernikahan siri tidak dicatatkan di instansi yang berwenang ( KUA ). Sehingga dalam pernikahan siri muncul berbagai macam dampak yang selalu merugikan pihak wanita atau Istri. Hal ini disebabkan karena tidak adanya bukti catatan resmi pernikahan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Menurut kajian ilmu hukum pencatatan adalah wajib, hal ini karena pencatatan menjadi alat pembuktian, yaitu pembuktian secara otentik. Sedangkan menurut norma agama pencatatan

merupakan kesunatan, keberadaanya bukan menjadi syarat sahnya perkawinan akan tetapi menjadi wajib apabila sudah menjadi qanun atau undang-undang. Negara Indonesia yang menganut hukum positif menegaskan bahwa setiap pernikahan yang dilakukan sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing adalah sah dan dicatat oleh pejabat pemerintahan yang berwenang agar hak-hak negara maupuan warga negara dapat dilindungi. Ini dimaksudkan agar tidak adanya permasalahan yang timbul menyangkut hak dan kewajiban laki-laki maupun perempuan setelah menikah. Dalam islam juga ditegaskan bahwa segala sesuatunya harus dilakukan secara menyeluruh (kaffah) sesuai dengan aturan yang berlaku agar terhindar dari hal-hal yang menjerumuskan kepada keburukan.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah, antara lain : 1. Apa pengertian dari pernikahan siri ?

2. Bagaimanakah pernikahan siri dipandang dari perspektif hukum Islam maupun hukum positif Nasional ? 3. Bagaimanakah pengaruh dan akibat dari adanya pernikahan siri ? 4. Apa saja tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pernikahan siri ? C. Tujuan 1. Agar mengetahui dan memahami pengertian dari pernikahan siri. 2. Agar mengerti dan mengetahui landasan hukum nikah siri ditinjau dari segi hukum islam dan hukum positif Nasional. 3. Untuk mengetahui pengaruh dan akibat dari pernikahan siri. 4. Untuk mengetahui tindakan-tindakan apa saja yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi angka terjadinya pernikahan siri.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah Siri Berdasarkan Kajian Bahasa Dalam khasanah kajian hukum islam, konteks nikah siri mendekati istilah nikah yang dikenal dengan nikah misy'ar. Kata siri berasal dari bahasa Arab: sirra, israr yang artinya rahasia, maksudnya nikah yang dirahasiakan karena takut dan malu diketahui umum. Padahal nikah itu harus dimaklumatkan, diumumkan, dan diketahui oleh orang banyak supaya menghilangkan fitnah dan menjaga nama baik serta kehormatan.

Berdasarkan konteks masyarakat di Indonesia Terbagi menjadi dua pengertian, yaitu :

Pertama: pernikahan yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai. Lalu tidak didaftarkan ke KUA sehingga pernikahan itu tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Kedua: pernikahan yang dilakukan sembunyi-sembunyi oleh sepasang laki-perempuan tanpa diketahui oleh kedua pihak keluarganya sekalipun. Bahkan benar-benar dirahasiakan sampai tidak diketahui siapa yang menjadi wali dan saksinya. B. Pernikahan Siri dalam Perspektif Hukum Islam Dalam Hukum Islam, pernikahan siri dibagi menjadi empat macam fakta atas hukum syariatnya, antara lain: Pertama, pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Pernikahan seperti ini jelas tidak sah sebab wali merupakan rukun sahnya pernikahan. Seperti halnya Rasulullah SAW bersabda: "Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali." ( HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648 ). Yang juga dipertegas dan diperkuat oleh hadits: Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil.

[HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649]. Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri". (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649) Dapat disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah SWT dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Namun, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.

Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil Kedua, pernikahan di bawah tangan ( tanpa dicatatkan di KUA ) tapi sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil sehingga dari segi hukum formal ( UU ) bahwa pernikahan tersebut tidak sah.. Sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda, yakni : (1) Hukum pernikahannya Menurut agama hukumnya sah dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. (2) Hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan. Saat pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa dijadikan sebagai alat bukti jika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dll. Nabi Muhammad SAW sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau 4

mewajibkan para sahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka, walaupun perintah untuk menulis ( mencatat ) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran. Dasar hukum bahwa pernikahan itu haruslah dicatat kepada lembaga pemerintah (KUA/catatan sipil), Allah SWT berfirman :

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... [QS AL-Baqarah (2)] Pernikahan yang tidak dicatatkan tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang dilakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah SWT. Adapun rukun pernikahan, antara lain : (1) adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang serta terlarang secara syari untuk menikah (2) adanya ijab (3) adanya qabul Syarat-syarat pernikahan, antara lain: (1) Kepastian siapa mempelai laki-laki dan wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas, (2) Keridhaan dari masing-masing pihak, (3) Adanya wali bagi mempelai wanita. Pada prinsipnya, selama pernikahan siri itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang disepakati para ulama sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat dipastikan hukum perkawinan itu ada dasarnya sudah sah, tapi bertentangan dengan perintah Nabi Muhammad SAW, yang menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah-tuduhan buruk dari masyarakat. Bukankah salah satu perbedaan perzinaan dengan perkawinan itu dalam hal diumumkan dan terang-terangannya. Orang berzina tentu takut diketahui orang karena perbuatan keji, sedang perkawinan ingin diketahui orang karena perbuatan mulia.

Ketiga, pernikahan yang dilakukan tanpa adanya saksi, jelas halnya tidak sah. Seperti halnya Rasulullah SAW bersabda: Artinya: Dari Aisyah bahwa rasul allah saw berkata tidak ada nikah kecuali denagan wali dan dua orang saksi yang adil (HR. Al-Daraquthniy) Keempat, pernikahan yang dihadiri saksi dan wali akan tetapi tidak di sampaikan ke khlayak (walimah). Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi SAW, bersabda :

"Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing".[HR. Imam Bukhari dan Muslim].

C. Pernikahan Siri dalam Perspektif Hukum Positif Nasional Pernikahan siri muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan: 1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13. Pasal 10 PP No. 9 Tahun1975 mengatur tatacara perkawinan. Dalam ayat (2) disebutkan: "Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya". Dalam ayat (3) disebutkan: "Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi". Dari ketentuan perundang-undangan di atas dapat diketahui bahwa peraturan perundangundangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan ditandaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Peraturan 6

perundangan hanya mengatur perkawinan dari formalitasnya, yaitu perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan agar terjadi ketertiban dan kepastian hukumnya. Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah SAW maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di'ilankan ( diumumkan ke khalayak luas ), antara lain melalui media walimatul'ursy. Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan,

pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Dalam hal ini, melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara sumai isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Selain itu dengan adanya pencatatan perkawinan maka pernikahan itu akan mendapat perlindungan hukum. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya UU atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam.

D. Pengaruh dan Akibat Adanya Pernikahan Siri Pernikahan siri adalah jalan yang diambil dengan mudah oleh laki-laki dan perempuan yang ingin mendapatkan kebahagiaan tanpa campur tangan hukum pemerintah. Hanya dengan Ijab Kabul mereka resmi sebagai pasangan dan halal dalam pergaulan, namun ternyata dibalik itu

masalah yang ditimbulkan juga tidak sedikit. Tidak diakui oleh negara dan masyarakat luas serta dampak psikologis yang cukup rumit. Pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri), selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaandugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut, pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya, dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anakanak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.

E. Tindakan yang Dilakukan untuk Mengurangi Angka Terjadinya Pernikahan Siri Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi angka terjadinya pernikahan siri, antara lain: 1. Membuat regulasi dan menetapkan sangsi yang tegas agar masyarakat tidak melakukan perbuatan nikah siri. 2. Perlu adanya kepastian hukum dari pemerintah tentang nikah siri agar masyarakat mengetahui pengaruh dari nikah siri. 3. Mengadakan sosialisasi bagi masyarakat mengenai pernikahan siri. 4. Mengadakan sosialisasi tentang pentingnya mencatatkan pernikahan di instansi yang berwenang.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Pernikahan siri adalah pernikahan yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia dan tidak didaftarkan ke KUA sehingga pernikahan itu tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Pernikahan siri mungkin bisa dianggap sah asalkan sesuai dengan syarat dan rukun pernikahan, sebagaimana dipahami oleh sebagian kalangan ulama dan masyarakat muslim. Namun, dalam prespektif hukum Islam dalam nikah siri tidak hanya didasarkan pada syarat dan rukunnya, tetapi juga perlu melihat persoalan mengumumkan dan mencatatkan pernikahan secara resmi melalui pejabat berwenang sehingga pernikahan itu akan mendapat perlindungan hukum. Sedangkan berdasarkan hukum positif nasional, sudah sangat jelas bahwa nikah siri dinyatakan sebagai pernikahan tidak sah, bahkan dianggap illegal. Yang terpenting dari pernikahan itu adalah sah secara syariat agama dan hukum Negara. Jadi nikah siri bukanlah keputusan yang tepat dalam mengatasi masalah hubungan cinta kasih anak manusia. Karena pernikahan dimaksudkan agar kita mendapatkan ketenangan didalamnya, bukanlah untuk melahirkan masalah yang akhirnya hanya merugikan semua pihak didalamnya. Pernikahan akan lebih indah apabila diakui oleh semua elemen kehidupan.

B. Saran

10

DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.google.co.id/search?q=makalah+hukum+islam+tentang+nikah+siri&hl=id&client=fir
efox- a&rls=org.mozilla:id:official&channel=s&start=40&sa=N

2. http://farhansyaddad.wordpress.com/2010/02/20/kedudukan-nikah-siri-dalam-islam/ 3. Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Satria, Bandung: 2000 4. Alquran; 5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 6. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 7. www.google.com/HTI.hukumislamtentangnikahsiri.blog

11

You might also like