You are on page 1of 21

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FKUP - RS HASAN SADIKIN BANDUNG SARI KEPUSTAKAAN Oleh : Nur Melani Sari Divisi

: Infeksi dan Penyakit Tropis Pembimbing : Prof.H. Azhali M. S.,dr., Sp. A (K) Prof.H. Herry Garna, dr., Sp. A (K)., PhD Prof. H. Alex Chairulfatah, dr., Sp. A (K) dr. Djatnika Setiabudi.,SpA (K)., MCTM dr. Anggraini Alam, Sp. A (K) Hari/Tanggal : 6 September 2011

PATOGENESIS INFEKSI VIRUS DENGUE

PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa dalam 50 tahun terakhir insidensi infeksi dengue telah meningkat 30 kali lipat, dengan meluasnya infeksi ke negaranegara baru.1,
2

Infeksi virus dengue memiliki manifestasi klinis yang beragam, dari yang

ringan berupa undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD) hingga yang berat yaitu demam berdarah dengue (DBD), bahkan ancaman kematian pada sindrom syok dengue (SSD).3,
4

DBD menyebabkan lebih dari 20.000 kematian tiap tahunnya. Case fatality rate

(CFR) DBD/SSD setinggi 4050% jika tidak mendapat tatalaksana yang tepat5 dan dengan meningkatnya kewaspadaan serta penanganan yang lebih baik CFR cenderung menurun sehingga secara keseluruhan CFR di Asia Tenggara kurang dari 1%.2,
6

Di Indonesia

berdasarkan riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan terjadinya penurunan incidence rate DBD, yaitu 60,06% akan tetapi menunjukkan angka relatif tinggi bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, dan disertai penurunan CFR yaitu 1,01% pada tahun 2007 menjadi 0,86% pada tahun 2008.7 Dua juta populasi manusia berisiko terinfeksi dengue per tahun disebabkan tidak adanya profilaksis terhadap infeksi ini, baik vaksin maupun obat antiviral.8 Pengembangan vaksin dengue sebagai vaksin yang aman dan efektif dan merupakan prioritas ilmu kesehatan masyarakat cukup sulit, akibat dari pemahaman imunitas protektif dengue, patogenesis penyakit yang kompleks dan sulitnya model hewan coba untuk evaluasi vaksin dengue. Walaupun demikian, penelitian vaksin dengue dalam 10 tahun terakhir mengalami kemajuan yang cepat dan beberapa kandidat vaksin sedang dalam proses uji klinis.4 Oleh karenanya,

penyakit ini sangat diperhatikan karena masih memiliki dampak terhadap pelayanan kesehatan dan ekonomi yang signifikan.8Mekanisme yang terlibat berkembangnya manifestasi infeksi dengue menjadi DBD atau SSD masih belum jelas. Selama perjalanan infeksi dengue terdapat beragam hipotesis patogenesis yang berasal dari penelitian berbagai penjuru dunia yang ternyata menunjukkan data yang tidak konsisten dalam mengindentifikasi hipotesis yang universal untuk DBD/SSD.9,
10

Beberapa penelitian menunjukkan dominasi

teori antibody dependent

enhanchement (ADE) untuk menerangkan infeksi dengue sekunder dengan manifestasi lebih berat. Namun tidak semua manifestasi berat dengue dapat diterangkan oleh teori ini. Berbagai penelitian menunjukkan keterlibatan multifaktorial yang terdiri atas faktor virus, respon imun, dan faktor inang.11 Pemahaman patogenesis infeksi virus dengue yang baik akan memberikan celah untuk intervensi baru dalam penanganan infeksi dengue. Referat ini akan membahas berbagai hipotesis patogenesis infeksi dengue dengan terlebih dahulu menguraikan sekilas mengenai virus dengue itu sendiri.

VIRUS DENGUE Virus dengue termasuk genus flavivirus famili flaviridae. Virus ini terdiri atas 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 serta ditransmisikan oleh nyamuk terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus.5 Virus dengue berbentuk ikosahedral simetris yang ditutupi oleh envelope berkapsul berdiameter 4850 nm dengan inti kepadatan elektron sekitar 30 nm dilapisi oleh envelope lemak.12 Genom virus dengue terdiri atas 11 kb rantai RNA positif yang mengkode 3 protein struktural, yaitu protein C (lipid), protein E, dan protein M/prM (glikoprotein), serta 7 protein nonstruktural (NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5).9,
13, 14

Terdapat dua tipe virion, yaitu: virion ekstraselular matur yang

mengandung protein M, dan virion imatur intraselular yang mengandung protein membran (prM) yang membelah selama maturasi membentuk protein M.15 protein E dan M. Protein E merupakan glikoprotein yang antibodi netralisasi.16 Envelope terdiri atas

bertanggung jawab untuk

penempelan reseptor sel dan membran sel serta merupakan epitop utama yang dikenali oleh

Gambar 1 Genom Virus Dengue Sumber: Faheem dkk. Replikasi terjadi secara lambat dan dimulai 15 jam setelah infeksi.9 Virus dengue terikat pada reseptor target sel, diikuti endositosis. Virus ketika berada dalam vesikel endosom dan dalam kondisi pH yang rendah menyebabkan perubahan bentuk pada virus, yaitu dari bentuk dimer menjadi trimer. Perubahan ini yang kemudian memfasilitasi fusi membran selubung (envelope) virus dengan sel target dan kemudian nukleokapsid dilepaskan ke dalam sitoplasma. Proses selanjutnya adalah translasi protein dari genom viral tanpa selubung. Translasi awal terjadi pada retikulum endoplasma yang kasar yang melokalisasi protein virus, selanjutnya beberapa protein non struktural akan membentuk kompleks replikase yang berikatan pada daerah 3 UTR (untranslated region) dari genom virus, kemudian menggandakan RNA strand positif menjadi RNA strand negatif membentuk RNA dupleks. Proliferasi yang ekstensif dari organel bermembran seperti retikulum endoplama kasar dan badan golgi merupakan karakteristik unik sel yang terinfeksi flavivirus. Nukleokapsid kemudian memiliki selubung melalui mekanisme budding pada membran retikulum endoplasma, selanjutnya menyebabkan akumulasi virion pada vesikel sitoplasmik.17

Gambar 2 Replikasi Virus Sumber : Zyber18 Adaptasi dari H. M van der Schaar

HIPOTESIS PATOGENESIS INFEKSI DENGUE


3

Empat serotipe virus dengue saling erat berhubungan secara antigenik dan memiliki kemungkinan 65__70% homologi. Infeksi awal terhadap jenis serotipe tertentu diketahui sebagai infeksi primer, biasanya asimtomatik atau dengan manifestasi ringan. Infeksi selanjutnya dengan serotipe yang lain (infeksi dengue sekunder) dapat menyebabkan manifestasi yang lebih berat seperti DBD/SSD, namun, hanya 0,18__1% infeksi primer dan 2__9% infeksi sekunder yang bermanifestasi sebagai DBD/SSD.19 Oleh karenanya, sebagian besar individu yang terinfeksi tidak bermanifestasi klinis atau bermanifestasi ringan. Adanya DBD/SSD merupakan hasil interaksi kompleks dari virus, genetik inang dan faktor respons imun.20 Teori mengenai infeksi virus dengue beragam,21 walaupun yang dianggap memegang peranan penting adalah teori ADE, yang sejak pertama kali dicetuskan telah mengalami beberapa kali modifikasi dan juga teori virulensi.22-24 Penjelasan mengenai hipotesis patogenesis dengue berikut ini adalah berdasarkan teori-teori yang berhubungan dengan faktor virus, inang, dan reaksi imun tubuh.

FAKTOR VIRUS Teori Tropisme Virus Dengue Data in vitro dan autopsi menunjukkan setidaknya terdapat tiga organ yang memegang peranan pada patogenesis dengue, yaitu sistem imun, hepar, dan sel endotel yang melapisi pembuluh darah.25 Kepustakaan juga menyebutkan sifat neurotropisme virus dengue, sel glia merupakan tempat untuk replikasi virus dan telah dibuktikan pada hewan coba.17 1. Sel sistem imun Saat nyamuk menggigit kulit manusia, virus akan terpapar pada lapisan epidermis dan dermis, menginfeksi sel langerhan imatur (sel dendritik kulit) dan keratinosit. Sel yang terinfeksi kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening, diikuti oleh keterlibatan monosit dan makrofag yang menjadi target infeksi selanjutnya, serta menyebar melalui sistem limfatik. Setelah infeksi, sel monosit sebagian besar akan mengalami apoptosis, sementara sel monosit yang gagal terinfeksi atau disebut sel dendritik bystander akan dirangsang untuk memproduksi sejumlah mediator yang terlibat dalam respons inflamasi dan keseimbangan hemostasis.25 Makrofag memegang peranan dalam modulasi respons imun innate dan adaptif. Selain itu makrofag juga menjadi tempat replikasi virus dengue. Sensor terhadap infeksi sistem imun innate adalah toll like receptor (TLR) dan pathogen-recognition receptors (PRRs). Contohnya: lectin tipe C. Lektin terdiri atas dendritic cell specific intercelluler
4

adhesion melecule/ICAM3-grabbing non integrin (DC-SIGN), mannose receptor (MR), dan C-type lectin domain family (CLEC5), namun juga TLR3 dan TLR7. Aktivasi PRRs menyampaikan sinyalnya melalui beberapa faktor transkripsi yang menginduksi interferon- (IFN-). Interferon- berikatan dengan reseptor IFN pada sel yang terinfeksi maupun sel tetangga. Hal ini mengaktivasi janus kinase (JAK) - signal transducer and activation of transcription (STAT) yang mengekspresikan lebih dari 100 protein. Interferon berperan untuk menginduksi kondisi antiviral dan memulai berbagai proses mulai kontrol metbolik hingga membatasi infeksi virus, lebih lanjut lagi merangsang respons imun adaptif, melalui stimulasi maturasi sel dendritik dan aktivasi langsung sel B dan sel T.18, STAT1/STAT2.18 2. Patologi Organ Berdasarkan studi literatur autopsi dari 160 kasus dengue berat yang meninggal dalam 36 jam setelah mengalami syok menunjukkan frekuensi organ yang tersering ditemukannya virus secara berurutan adalah kulit, hepar, limpa, kelenjar getah bening, timus, dan otak. Adanya virus dalam organ-organ tersebut tidak begitu meyakinkan karena secara umum virus hanya dapat diisolasi dari hepar dan sel monosit perifer. Kegagalan mengisolasi virus dari sebagian besar organ mengindikasikan bahwa jaringan tersebut mengandung degradasi virus primer atau virus berikatan dengan antibodi yang mencegah infeksi sel secara in vitro. Secara umum adanya virus dengue pada beberapa organ tidak selalu berhubungan dengan bukti mikroskopis yang jelas. Hal tersebut dibuktikan saat terjadi syok, virus tidak lagi ditemukan dalam darah dan oleh karenanya respons tubuh memegang peranan penting pada patogenesis infeksi dengue.25 Hepar umumnya terlibat pada infeksi dengue manusia dan hewan coba mencit.
26

NS2A, NS4A,

NS4B, dan NS5 dianggap dapat memblokade respons IFN tipe 1 dengan cara memblokade

Hepatitis dengue ditandai dengan nekrosis hepatosit midzonal sedang, steatosis mikrovesikular, dan badan councilman.27 Berdasarkan laporan dengue hepatitis didapatkan hubungan kenaikan kadar enzim hepar dengan kecenderungan perdarahan, serta berhubungan dengan kadar viremia.27 Pada hepatitis dengue, kadar AST lebih tinggi daripada ALT dengan rasio 1__1,5 sedangkan virus lainnya ALT lebih tinggi daripada AST.21 Beberapa mekanisme yang mungkin terlibat dalam apoptosis yang diinduksi oleh virus dengue meliputi: efek langsung sitopatik virus, disfungsi mitokondria, serta keterlibatan imun selular dan humoral di hepar. Peningkatan stres retikulum endoplasma menyebabkan apoptosis pada infeksi dengue. Infeksi DEN-2 menyebabkan aktivasi tumour necrosis factor-related apoptosisinducing ligand (TRAIL).25 Namun, selain tropisme virus, mekanisme imun memegang
5

peranan dalam kerusakan sel hepar melalui RANTES, kemokin yang mampu menarik limfosit dan sel natural killer (NK) ke lokasi inflamasi.21 3. Sel endotel Sel endotel memegang peranan penting dalam respons koagulasi inflamasi berat. Berbeda dengan monosit, sel endotel tidak memiliki reseptor Fc yang kemudian tidak akan mengandung kompleks imun. Oleh karenanya, tropisme RNA virus dengue pada sel ini akan mudah diterima sebagai mekanisme pinositosis. Penelitian in vitro memperlihatkan semua serotipe dengue dapat secara aktif bereplikasi pada sel endotel. Infeksi menyebabkan perubahan fungsi dibandingkan dengan kerusakan secara morfologi. Respons koagulasi terhadap inflamasi sel endotel yang berat berbeda pada berbagai sistem anyaman pembuluh darah. Selain itu, sel endotel pada berbagai jaringan memiliki pola aktivasi yang berbeda terutama sel endotel di paru-paru dan abdomen yang bereaksi terhadap infeksi dengue yang kemudian menyebabkan sindrom kebocoran pembuluh darah yang selektif sebagai karakteristik DBD/SSD. Apoptosis sel endotel yang selektif pada daerah pulmonal dan intestinal telah menerangkan keterlibatan kebocoran plasma yang berat dan bermanifestasi sebagai efusi pleura dan asites. NS1 berikatan dengan sel endotel di paru-paru dan jaringan hepar. NS1 melalui antibodi anti-NS1 kemudian berkontribusi pada kebocoran plasma vaskular.25 Selain itu sel endotel juga dipengaruhi oleh faktor respons imun tubuh melalui efek sitokin dan kemokin seperti IL-6, IL-8, dan RANTES. Proses ini pada akhirnya akan meningkatkan vasopermeabilitas dan pelepasan trombomodulin. Antibodi antidengue juga dapat ikut merusak sel endotel dengan cara yang sama. Disimpulkan bahwa efek sitopatik dan kerusakan yang dimediasi imun merupakan penyebab kerusakan endotel.21

Teori Virulensi Virus Perbedaan manifestasi klinis disebabkan oleh serotipe virus dengue dengan berbagai derajat virulensi. Semua serotipe telah menunjukkan gambaran manifestasi klinis yang berat, namun risiko DBD/SSD dan epidemi lebih tinggi pada DEN 2 dan 3 daripada serotipe lainnya.20,
28

Titer viremia yang tinggi berhubungan dengan beratnya penyakit. Titer virus

puncak 100__1.000 kali lebih tinggi pada penderita SSD daripada DD.21 Kelihatannya jumlah viral load juga berhubungan dengan perkembangan DBD/SSD.28, 29 Bukti yang paling kuat adalah hubungan strain Amerika dari DEN-2 yang jarang berhubungan dengan DBD/SSD berbeda dengan strain Asia.29

Virulensi virus juga ditentukan oleh tambahan gugus karbohidrat terhadap protein, contohnya: glikosilasi pada posisi E Asn (strain Asia) 153 diperkirakan memegang peranan pada interaksi dimer stabilisasi antara monomer E dan secara parsial mengoklusi fusi peptida. Lebih lanjut lagi penambahan karbohidrat terhadap E Asn67 juga diobservasi penting untuk produksi virus dan memediasi partikel virus terhadap DC-SIGN.18 Sebagai tambahan terhadap protein E, beberapa penelitian menujukkan bahwa glikosilasi terhadap protein NS1 dianggap penting untuk virulensi virus.18, 30

FAKTOR RESPONS IMUN TUBUH Respons imun tubuh terutama efek langsung glikoprotein E dan protein membran pada permukaan virus. Antibodi terhadap NS1 juga dibentuk dan protein ini diekspresikan pada permukaan sel terinfeksi dan disekresikan pada sel ini sebagai faktor terlarut. Antibodi terhadap NS1 telah dibuktikan mengaktivasi sistem komplemen. Antibodi dapat menetralisasi dan memperkuatkan infeksi pada virus dengue in vitro dan in vivo.18

Teori ADE Mayoritas infeksi virus menghasilkan antibodi netralisasi dan subnetralisasi yang berhubungan dengan kontrol, eliminasi, resistensi, dan bahkan proteksi terhadap reinfeksi.25,
31

Antibodi memiliki efek merugikan pada sel yang diinfeksi, fenomena ini dibuktikan

dengan studi epidemiologi yang menunjukkan risiko yang tinggi DBD/SSD setelah infeksi sekunder dan dikenal dengan hipotesis ADE. Halstead dkk.23 menunjukkan bahwa insidensi DBD/SSD memiliki dua puncak yaitu pada usia 6__9 bulan yang terinfeksi serotipe yang berbeda dengan ibunya dan puncak kedua yaitu pada anak kecil yang memiliki gejala infeksi dengue primer dengan gejala yang ringan. Pada infeksi dengue sekunder, infeksi dengue primer mensensitisasi dan melepaskan repons imun yang terganggu, meliputi kaskade

sitokin, dan respons sel T yang abberant. Hipotesis ADE ini tidak saja memfasilitasi masuknya virus namun dapat memodifikasi respons imun tubuh terhadap virus baik innate maupun adaptif.32 Fenomena ADE ini tidak hanya melibatkan protein E, tetapi juga protein membran (prM) menunjukkan bahwa antibodi terhadap prM memperkuat infeksi virion imatur.18 Antibodi berikatan dengan virus sekunder membentuk kompleks antigen-antibodi subnetralisasi yang kemudian terikat pada reseptor Fc monosit dan makrofag.15 Kompleks antigen antibodi ini menyebabkan tingginya produksi virus karena mampu menghambat molekul antivirus yaitu radikal nitrit oksida, dengan cara mengganggu proses transkripsi gen
7

iNOS (IRF-1) dan memblokade aktivasi dari STAT-1 yang menyebabkan replikasi virus yang tidak terbatas.15, 25, 31 Selain itu menekan produksi nitrit oksida sintase (NO2 syntase), IL-12, IFN-c, TNF dan memfasilitasi ekspresi dan sintesis sitokin antiinflamasi, yaitu IL-6, dan IL10. 15, 31 Produksi IL-10 oleh kompleks antigen antibodi diduga menjadi penyebab pergeseran respons Th1-Th2 pada DBD.32

Gambar 3 Mekanisme ADE Sumber : Chareonsirisuthigu dkk. 31

Teori Aktivasi Sistem Komplemen Sistem komplemen merupakan salah satu komponen sistem imunitas innate humoral. Mekanisme imune innate memberikan waktu untuk terbentuknya mekanisme pertahanan adaptif.25 Terdapat tiga jaras aktivasi komplemen yaitu jalur klasik, dimulai dengan aktivasi spontan protein komplemen.5 Jalur klasik dimulai dengan pembentukan kompleks antibodi C1q dengan permukaan patogen atau sel yang terinfeksi. Kompleks ini kemudian mengaktivasi C2 melalui protease serine. Protein C2a bergabung dengan C4a membentuk C3 convertase (C2aC4b). C3b membentuk kompleks protein sentral melalui ikatan dengan komplemen reseptor atau dengan membentuk C5 convertase (C2aC4bC3b). Kompleks ini kemudian menstabilisasi bentuk C5a yang membentuk fungsi efektor sentral dari sistem komplemen. C5__C9 akan berikatan dan kemudian melisiskan sel. Mannose binding pathway memiliki kemiripan kaskade dengan jalur klasik, namun tidak bergantung antibodi. MASP1 dan MASP2 berikatan dengan struktur manose yang umum ditemukan pada patogen. Kompleks mannan binding lectin mirip dengan C1q yang dapat mengaktivasi C2 dan C4. Jalur yang ketiga dimulai dengan aktivasi
8

mannose binding

pathway yang tidak memerlukan antibodi untuk aktivasinya, sedangkan jalur alternatif

komplemen secara spontan. Pada jalur ini, ikatan tioester pada C3 melalui hidrolisis menjadikan faktor B berikatan dan pemecahan oleh protease plasma (faktor D). 5 Pada waktu suhu turun (deverfescence), kebocoran plasma tampak, kadar produk aktivasi C3a dan C5a meningkat di dalam darah,5 diikuti dengan konsumsi yang dipercepat dan penurunan komponen komplemen pada penderita SSD. C3a merupakan anafilatoksin yang diproduksi oleh aktivasi komplemen dan mampu merusak pembuluh darah. C3a menyebabkan recruitment dari monosit, makrofag, sel dendritik, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas, dan kontraksi otot halus. Pada makrofag dan eosinofil, anafilatoksin dapat menginduksi oxidative burst. Pada basofil dan sel mast anafilatoksin menginduksi pelepasan histamin, serta dapat memperkuat efek sitokin proinflamasi yaitu: TNF-, IL-6, dan SDF-1. Aktivasi C3aR menyebabkan ekspresi sitokin melalui fosforilasi AKT sama halnya dengan aktivasi MAP kinase. C3aR diekspresikan sebagai mediator kunci pada sistem imun. C3aR juga mengaktivasi jaras sinyal phospoinositol-3 kinase (PI3K), phospholipase C, phospholipase D.5 Produksi kompleks C5b__C9 dapat merangsang reaksi selular dan menstimulasi sitokin inflamasi yang berhubungan dengan terjadinya DBD/SSD. C5b__C9 juga dapat secara mandiri mencetuskan efek sistemik dan lokal yang berimplikasi pada koagulasi intravaskular.5 NS1 dapat mengaktivasi komplemen secara langsung pada fase cairan maupun melalui ikatan dengan antibodi heterotipik yang diekspresikan pada sel yang terinfeksi.25 Beberapa kelompok telah membuktikan bahwa IgG1 dan IgG3 merupakan antibodi subkelas yang terlibat dalam respons antibodi pada infeksi dengue. Keduanya dapat memperbaiki dan mengaktivasi sistem komplemen, sementara IgG2 dan IgG4 kurang efektif dalam melakukan hal serupa. Walaupun IgG1, IgG2, dan IgG4 mampu untuk mengaktivasi jalur klasik komplemen, kelompok ini memerlukan 2 molekul IgG yang terikat dekat dengan antigen untuk mempromosikan terikatnya C1q, sedangkan IgG3 di lain pihak mampu secara mandiri membentuk kompleks multivalen sehingga meningkatkan afinitas fungsional dan kecenderungan terikatnya C1q. Adanya asam sialit pada glikan pada subkelas IgG dapat juga mempengaruhi karakteristik ikatan komplemen dan kemungkinan akan memperkuat aktivitas infeksi.5, 25

Teori Autoimunitas Transien Molecular mimicry diajukan sebagai salah satu hipotesis untuk penyakit autoimun, yaitu terdapatnya struktur yang sama antara determinan virus dengan antigen inang. Antibodi pada infeksi dengue memperlihatkan reaksi silang dengan beberapa self antigen yaitu
9

trombosit dan endotel.33

Lin dkk.33 memperlihatkan adanya autoantibodi antiplatelet

(antitrombosit) dan antiendotel dalam serum penderita dengue. Kadar autoantibodi lebih tinggi pada kasus DBD/SSD dibandingkan penderita DD. Reaksi silang dengan sel endotel paling tinggi pada fase akut (3__7 hari setelah onset demam) dan kemudian menurun pada fase konvalesen (1__3 minggu setelah fase akut). Autoantibodi isotipe IgM lebih tinggi daripada IgG. Antiendotel menyebabkan kerusakan, ditandai dengan persentase apoptosis yang lebih tinggi pada penderita DBD dibandingkan DD, namun tidak didapatkan perbedaan pada serotipe yang berbeda. Reaksi silang antibodi NS1 dengan sel di hepar, sel endotel, dan trombosit dapat menjadi dasar pada beberapa penelitian. 1. Autoimunitas pada sel endotel Mekanisme yang terlibat pada autoimunitas pada sel endotel meliputi apoptosis. Antibodi NS1 yang bereaksi silang dengan endotel dapat merangsang sel-sel ini untuk melepaskan nitrit oksida (NO) dan kemudian mengalami apoptosis. Walaupun NO telah menunjukkan inhibisi replikasi virus dengue, namun produksi yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan sel. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk membuktikan reaksi silang antibodi NS1 terhadap sel endotel dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas yang merupakan karakteristik DBD. 2. Autoimunitas pada trombosit Mekanisme ini merupakan salah satu penjelasan gejala trombositopenia pada infeksi dengue selain adanya supresi sumsum tulang yang mendepresi sintesis trombosit.34 Antibodi NS-1 bereaksi silang dengan trombosit dan menyebabkan trombositopenia dan perdarahan pada mencit. Kondisi autoimun bersifat tidak persisten dikarenakan kinetik autoantibodi NS1 sulit dipelajari dengan durasi yang pendek sejak terjadinya hiperpermeabilitas yang menyebabkan syok sehingga teori ini masih kontroversial. 14, 25

Teori Reaksi Silang Sel T Aktivasi masif sel T, monosit, dan makrofag memproduksi sitokin seperti TNF dalam jumlah besar. Teori ini menunjukkan imunopatologi yang mempengaruhi gambaran sitokin pada infeksi sekunder kurang infektif terhadap serotipe baru, dan diperkirakan memperkuat replikasi virus, sehingga menyebabkan bentuk klinis yang lebih berat.20 Penelitian menunjukkan aktivasi sel T CD8 memori selama infeksi dengue sekunder adalah oleh sitokin. Pada sebuah penelitian di Taiwan Selatan pada tahun 1998 pada penderita DBD/SSD menunjukkan perbandingan CD4/CD8 <1. Fenomena ini ditemukan tidak hanya
10

pada DBD/SSD tetapi pada DD. Rasio ini secara bertahap akan kembali menuju normal sampai 15 hari. 21 Respons sel T pada infeksi akut memiliki reaksi silang yang sangat tinggi. Namun, sekresi sitokin dan fungsi sitolitik ditentukan oleh reaksi dengan antigen dengue virus, MHC dan kompleks reseptor sel T, diperkirakan pula bahwa respons sel T terhadap serotipe dengue virus yang baru bergantung pada pengulangan sel T memori spesifik. Adanya reaksi silang sel T spesifik dengue telah memperlihatkan kapasitas degranulasi suboptimal, tetapi menghasilkan sejumlah besar sitokin. Bentuk gejala klinis yang berat juga dapat terjadi pada infeksi primer, pada kondisi tidak adanya reaksi silang antibodi dengan sel T. Infeksi primer berat pada DBD terjadi pada bayi dan wanita hamil, hal tersebut membuktikan bahwa reaksi silang sel T dengan antibodi bukan satu-satunya patogenesis berlangsungnya infeksi berat. Diperkirakan bahwa pada penderita dengan manifestasi klinis yang berat memiliki kemungkinan memiliki respons sel T yang terganggu. Namun IL-10 sebagai sitokin pengatur sel T utama ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan gejala klinis yang ringan.5, 20, 25

Teori Faktor Terlarut (Cytokine Storm) Karakteristik sitokin dibedakan menjadi sel T helper (Th) 1 dan Th2, Th 1 menghasilkan IFN, interleukin-2 (IL-2) dan TNF, dan bertanggung jawab untuk reaksi inflamasi yang dimediasi oleh sel, hipersensitivitas tipe lambat, kerusakan jaringan pada penyakit infeksi, dan autoimun. Th2 mensekresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IL-13, dan berhubungan dengan produksi antibodi.35 Infeksi menyebabkan respons imun humoral yang didominasi oleh sitokin yang diekspresikan oleh sel Th-2. Respons Th-1 berhubungan dengan penyembuhan setelah infeksi, sementara respons Th-2 berhubungan dengan patologi dan eksaserbasi penyakit.35 Pada infeksi dengue, dijumpai pergeseran respons imun yang didominasi oleh respons Th 1 pada DD menjadi respons Th2 pada DBD. Meningkatnya kadar IL-4, IL-6, dan IL10 di observasi terutama pada kasus DBD, sementara kadar IFN, dan IL 2 ditemukan terutama pada DD. TNF- tidak menunjukkan pola hubungan, baik pada DD maupun DBD. Kadar sitokin yang pertama kali meningkat adalah IL-2, IL-6, IFN-, dan TNF-, sementara IL-4 dan IL-10 cenderung meningkat pada hari ke-4 hingga ke-8 penyakit. Virus dengue bereplikasi pada makrofag dan menghasilkan radikal bebas, oksigen reaktif, dan peroksinitrit. Radikal bebas tersebut, selain membunuh target sel dengan apoptosis juga secara langsung meregulasi produksi dari sitokin proinflamasi IL-1, TNF,
11

IL-8, dan hidrogen peroksida dalam makrofag. Perubahan kadar relatif IL-12 dan TGF- serta pergeseran ke arah respons Th 2 menyebabkan infeksi dengue yang lebih berat. Permeabilitas vaskular meningkat disebabkan oleh histamin, radikal bebas, sitokin proinflamasi, dan produk dari jaras pengaktivan komplemen.

Gambar 4 Infeksi Dengue menginduksi Kaskade Sitokin


Keterangan: Dengue virus bereplikasi pada makrofag dan mengadakan recruitment sel CD4 yang menhasilkan hCF. hCF memproduksi kaskade yang menyebakan respons Th1 menyebabkan sakit ringan atau Th2 yang menimbulkan sakit yang lebih berat pada DHF. Garis tipis: induksi positif; Garis putus-putus: inhibisi; Garis tebal: Efek merusak

Sumber : Chaturvedi dkk. 35

Banyak peneliti yang mempelajari patogenesis dengue mempercayai bahwa tingginya viral load dan aktivasi sel T non protektif menghasikan badai sitokin dan mediator lainnya, menyebabkan peningkatan kebocoran plasma. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi berbagai sitokin, mediator lainnya, dan reseptornya meningkat secara signifikan pada infeksi dengue. Kadar IL-1, IL-2, IL-4, IL-6, IL-7, IL-8, IL-10, IL-13, IL-18, TGF-1, TNF-, IFN- ditemukan pada plasma penderita dengan dengue berat dengan kadar yang tinggi. Mediator lain dan faktor lainnya yang meningkat pada penyakit berat meliput vascular endothelial growth factor (VEGF), granulocyte-macrophage colony-stimulating factor, monocyte chemoattactant protein 1 (MCP-1), macrophage migration inhibitory factor, thrombopoietin, soluble vascular cell adhesion molecule 1 (VCAM-1), soluble ICAM-1, von
12

Willebrand factor antigen, thrombomodulin, E-selectin, tissue factor (TF), plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), dan tissue plasminogen activator. Beberapa bukti yang mendukung peranan sitokin berasal dari hewan coba terhadap peningkatan permeabilitas vaskular dan perdarahan selama infeksi dengue. TNF, IL-1, IL6, dan IL-10 telah menunjukkan kadar yang tinggi pada infeksi dengue. Sebagai tambahan beberapa penelitian eksperimental in vitro menunjukkan kadar sitokin yang tingi pada kultur sel dendritik supernatan, sel monosit, dan sel endotel. Adanya antibodi anti-NS-1 , sel endotel memproduksi MCP-1, IL-6 dan IL-8 in vitro. Sel T yang terlibat pada infeksi dengue juga dapat memproduksi TNF- dan IFN, IL-4, serta IL-10.

FAKTOR INANG Beberapa penelitian epidemiologi mengindikasikan bahwa faktor genetik memegang komponen penting terhadap kerentanan penyakit dan juga faktor protektif penyakit.20 Beberapa alel HLA kelas I dan kelas 2 berhubungan dengan berkembangnya DBD, yaitu usia (risiko yang lebih tinggi pada anak), penyakit kronik seperti asma, diabetes melitus, sickle cell anemia, etnis (kulit putih lebih berisiko daripada kulit hitam), status nutrisi, dan jenis kelamin.24 15 Sementara HLA-B13, HLA-B14, dan HLA29 ditemukan sebagai faktor protektif infeksi virus dengue.18 Lebih lanjut lagi individu dengan penyakit kronis seperti diabetes melitus (DM) lebih rentan untuk berkembangnya infeksi dengue yang berat. Hal ini diperkirakan karena peningkatan sitokin pada DM tipe 2 sebagai predisposisi untuk kebocoran plasma.18
Tabel 1 Faktor-Faktor HLA dan Non HLA yang Berhubungan dengan Faktor Genetik pada DBD/SSD
Faktor Genetik Polimorfism Reseptor Vitamin D Polimorfism FcRIIa G6PD (Glukosa 6 phosphat dehidrogenase) MBL2 (Mannan Binding Lectin) TGF- Polimorfism TNF308A CTLA4 Polimorfism DC-SIGN Alel HLA kelas 1 Alel HLA kelas 1
Sumber: Martina dkk25

13

PANDANGAN TEORI TERINTEGRASI Infeksi dengue masih belum dapat dijelaskan secara sempurna, tetapi diperkirakan bersifat multifaktorial. Latar belakang genetik sel inang mempengaruhi bagaimana respons imun berespons terhadap infeksi dengue. Pada saat inokulasi virus DEN pada kulit, sel langerhans dan keratonosit yang pertama kali terinfeksi, kemudian virus menyebar melalui pembuluh darah (viremia primer) dan menginfeksi jaringan makrofag pada beberapa organ, khususnya makrofag di lien. Efisiensi replikasi virus DEN pada sel dendritik, monosit, dan makrofag, sama halnya tropisme untuk dan replikasi pada sel endotel, stroma sumsum tulang, dan sel hepar, secara keseluruhan menentukan viral load yang diukur dalam darah. Viral load tentunya merepresentasikan faktor risiko penting untuk perkembangan penyakit. Khususnya infeksi pada makrofag, hepatosit dan sel endotel mempengaruhi hemostatik dan respons imun terhadap virus dengue. Sel yang terinfeksi mati sebagian besar melalui apoptosis dan sejumlah kecil melalui nekrosis. Nekrosis dihasilkan akibat pelepasan produk toksik dan kadar IL-6, IL-8, IL-10 dan IL-18, hemopoesis ditekan menyebabkan penurunan trombogenisitas. Trombosit berinteraksi erat dengan sel endotel, dan sejumlah trombosit yang normal diperlukan untuk mempertahankan stabilitas vaskular. Tingginya viral load dalam darah dan kemungkinan tropisme virus pada sel endotel, trombositopenia berat, disfungsi trombosit dapat menyebabkan peningkatkan fragilitas kapiler, serta perdarahan gastrointestinal. Pada saat yang sama, infeksi menstimulasi pembentukan antibodi spesifik dan respons imun selular terhadap infeksi dengue. Ketika antibodi IgM bereaksi silang dengan sel endotel, trombosit, dan plasmin diproduksi. Sebagai tambahan IgG yang diperkuat berikatan pada infeksi virus sekunder dan meningkatkan antigen presenting cells, oleh karenanya pengaruh viral load dapat dilihat pada infeksi sekunder. Lebih lanjut lagi tingginya viral load menstimulasi keadaan aviditas rendah dan tinggi sel T yang bereaksi silang. Sel T yang bereaksi silang mengurangi klirens virus, sementara meningkatkan produksi kadar proinflamasi yang tinggi dan mediator lainnya. Kadar faktor terlarut ini sebagian besar belum dapat diidentifkasi, menghasilkan perubahan pada sel endotel menyebabkan koagulopati dan kebocoran plasma.

14

KESIMPULAN Infeksi dengue dengan beragam manifestasi klinisnya masih merupakan masalah kesehatan yang berdampak penting pada pelayanan kesehatan dan ekonomi. Patogenesis dan hubungannya dengan manifestasi klinis yang berat masih belum dipahami dengan baik. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya model in vitro dan in vivo untuk diamati dan dipelajari progesivitas dari bentuk yang ringan menjadi berat, sehingga teori-teori yang berkembang berasal dari penelitian epidemiologi dan bukti eksperimental. Adanya teori integrasi dan teori alternatif memberikan wacana yang lebih terpadu dalam memahami patogenesis dengue dan menjelaskan berbagai spektrum manifestasi klinis dengue. Pemahaman patogenesis infeksi dengue dengan baik akan memberikan wacana baru bagi tatalaksana dengue seperti pengembangan vaksin dengue, terapi antisitokin, bahkan pemberian antiviral.

15

DAFTAR PUSTAKA

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

12. 13.

14. 15.

16.

17. 18. 19. 20. 21.

World Health Organization.Dengue guideline for diagnosis, treatment, prevention, and control. Edisi ke-3. Geneva: World Health Organization;2009. Sapir DG, Schimmer B. Dengue fever: new paradigms for a changing epidemiology. Emerg Them Epidemiol. 2005;2:1__10. Lin CF, Lein HY, Liu CC, Liu HS, Yeh TM, Wang ST, dkk. Generation of IgM anti platelet autoantibody in dengue patients. J Med Virol. 2001;63(63):143__9. Pierson TC, Diamond MS. Molecular mechanisms of antibody-mediated neutralisation of flavivirus infection. Expert Rev Mol Med. 2009;10:1__17. Nielsen DG. The relationship of interacting immunological components in dengue pathogenesis. J Virol. 2009;6(211):1__7. Setiati T, Wagenaarb J, Kruifb M, Mairuhub A, Van Gorpb E, Soemantria A. Changing epidemiology of dengue haemorrhagic fever in Indonesia. Dengue Bull. 2006;30:1__7. Departemen Kesehatan. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan; 2009. WHO. Dengue and dengue hemorrhagic fever. [diunduh 1 September 2009] Tersedia dari: htttp://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en. Chaudhry S, Swaminathan S, Khanna N. Viral genetics as a basis of dengue pathogenesis. Dengue Bull. 2006;30:121__32. Guzman MG, Vazquez S, Kouri G. Dengue: where are we today. MJMS. 2009;16(3):5__12. Noisakran S, Perng GC. Alternate hypothesis on the pathogenesis of dengue hemorrhagic fever (DHF)/dengue shock syndrome (DSS) in dengue virus infection. Exp Biol Med. 2008;233:401__8. Leyssen P, Clercq ED. Perspectives for the treatment of infections with Flaviviridae. Clin Microbiol Rev. 2000;13:67__82. Vaugh DW, Green S, Kalayanarooj S, Innis BL, Nimmannitya S, Suntayakorn S, et al. Dengue viremia titer, antibody responsse pattern, and virus serotype correlate with disease severity. J Infect Dis. 2000;(181):2__9. Zybert IAR, Wilschut J, Smit JM. Dengue virus life cycle: viral and host factors modulating. Cell Mol Life Sci. 2010;67:2773__86. Faheem M, Raheel U, Riaz MN, Kanwal N, Javed F, Zaidi NuSS, dkk. A molecular evaluation of dengue virus pathogenesis and its latest vaccine strategies. Mol Biol Rep. 2011;38:3731__40. Smith KM, Nanda K, Spears CJ, Ribeiro M, Vancini R, Piper A, dkk. Structural mutants of dengue virus 2 transmembrane domains exhibit host range phenotype. J Virol. 2011;8(8):1__15. Mcbride WJH, Ohmann HB. Dengue viral infections: pathogenesis and epidemiology. Microb Infect. 2000;2:1041__50. Guzman MG, Vazquez S. The complexity of antibody dependent enhanchement of dengue virus infection. Viruses. 2010;2:2649__62. Kurane I. Dengue hemorrhagic fever with special emphasis on immunopathogenesis. Microbiol Infect Dis. 2006;30:329__40. Seema K, Jain S. Molecular mechanism of pathogenesis of dengue virus: entry and fusion with target cell. Indian J Clin Biochem. 2005;20(2):92__103. Mathew A, Rothman A. Understanding the contributin of cellular immunity to dengue disease pathogenesis. Immunol Rev. 2008;225:300__13.

16

22. 23. 24.

25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.

34. 35.

Malavige GN, Fernando N, Ogg G. Pathogenesis of dengue viral infection. Sri Langka J Infect Dis. 2011;1(1):2__8. Lei HY, Yeh TM, Lue HS, Lin YS, Chen SH, Liu C-C. Immunopathogenesis of dengue virus infection. J Biomed Sci. 2001;8:377__88. Halstead SB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody dependent enhancemet, a brief history and personal memoir. Rev Cubana Med Trop. 2002;54(3):171__9. Halstead SB. Observations related to pathogenesis of dengue hemorrhagic fever. Yale J Biol Med. 1970;42:350__61. Martina BEE, Koraka P, Osterhaus ADME. Dengue virus pathogenesis: an integrated view. Clin Microbiol Rev. 2009;22(4):564__81. Chaturvedi UC, Nagar R, Shrivastava R. Macrofag and dengue virus: friend or foe. Indian J Med Res. 2006;124:23__40. Seneviratne SL, Malavige GN, Silva HJd. Pathogenesis of liver involvement during dengue viral infection. Royal Soc Trop Med. 2006;100:608__14. Stephenson JR. Understanding dengue pathogenesis: implication vaccine design.WHO Bull. 2005;83:308__14. Rothman AL. Dengue: defining protective versus pathologic immunity. J Clin Invest. 2004;113:946__51. Lin CF, Lei HY, Liu CC, Liu HS, Yeh TM, Chen SH, dkk. Autoimmunity in dengue virus infection. Dengue Bull. 2004;28:51__6. Lei HY, Huang KJ, Lin YS, Liu HS, Yeh TM, Liu CC. Generation on antiplatelet autoantibody during dengue virus infection. Am J Infect Dis. 2008;4(1):50__9. Chareonsirisuthigul T, Kalayanarooj S, Ubol S. Dengue virus (DENV) antibodydependent enhancement of infection upregulates the production of anti-inflammatory cytokines, but suppresses anti-DENV free radical and pro-inflammatory cytokine production in THP-1 cells. J Gen Virol 2007;88:365__75. Ubol S, Halstead SB. How innate immune mechanism contribute to antibody-enhanced viral infection. Clin Vacc Immunol. 2010;17(12):1829__35. Chaturvedi U, Agarwal R, Elbishbishi E, Mustafa A. Cytokine cascade in dengue hemorrhagic fever: implication for pathogenesis. Immunol Med Micro. 2000;28:183__8.

17

Lampiran: Pandangan Teori Integrasi

18

19

END NOTE
1. Dengue guideline for diagnosis, treatment, prevention, and control2009. 2. Sapir DG, Schimmer2 B. Dengue fever: new paradigms for a changing epidemiology. Emer Them in Epi. 2005;2:1-10. 3. Lin CF, Lein HY, Liu CC, Liu HS, Yeh TM, Wang ST, et al. Generation of IgM anti platelet autoantibody in dengue patients. J Med Virol. 2001;63(63):143-49. 4. Pierson TC, Diamond MS. Molecular mechanisms of antibody-mediated neutralisation of flavivirus infection. Expert Rev Mol Med. 2009;10:1-17. 5. Nielsen DG. The relationship of interacting immunological components in dengue pathogenesis. Vir Jour. 2009;6(211):1-7. 6. Setiati T, Wagenaarb J, Kruifb M, Mairuhub A, VanGorpb E, Soemantria A. Changing epidemiology of dengue haemorrhagic fever in Indonesia. Dengue bulletin. 2006;30:1-7. 7. Profil Kesehatan In: Indonesia DK, editor.: Departemen Kesehatan. 8. Dengue and dengue hemorrhagic fever. Available from: htttp://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en. 9. Noisakran S, Perng GC. Alternate hypothesis on the pathogenesis of dengue hemorrhabid fever (DHF)/dengue shock syndrome (DSS) in dengue virus infection. Exp Biol Med. 2010;233:401-8. 10. Leyssen P, Clercq ED, contents. JNto. Perspectives for the treatment of infections with Flaviviridae. Clin Microbiol Rev 2000;13:67-82. 11. Vaugh DW, Green S, Kalayanarooj S, Innis BL, Nimmannitya S, Suntayakorn S, et al. Dengue viremia titer, antibody response pattern, and virus serotype correlate with disease severity. J Infect Dis. 2000(181):2-9. 12. Faheem M, Raheel U, Riaz MN, Kanwal N, Javed F, Zaidi NuSS, et al. A molecular evaluation of dengue virus pathogenesis and its latest vaccine strategies. Mol Biol Rep. 2011;38:3731-40. 13. Smith KM, Nanda K, Spears CJ, Ribeiro M, Vancini R, Piper A, et al. Structural mutants of dengue virus 2 transmembrane domains exhibit host range phenotype. Virolog Jour. 2011;8(8):1-15. 14. Mcbride WJH, Ohmann HB. Dengue viral infections: pathogenesis and epidemiology. Micr and Infec. 2000;2:1041-50. 15. Guzman MG, Vazquez S. The complexity of antibody dependent enhanchement of dengue virus infection. Viruses. 2010;2:2649-62. 16. Kurane I. Dengue hemorrhagic fever with special emphasis on immunopathogenesis. Microbiol Infect Dis. 2006;30:329-40. 17. Seema K, Jain S. Molecular mechanism of pathogenesis of dengue virus: entry and fusion with target cell. Indian J Clin Biochem. 2005;20(2):92-103. 18. Zybert IAR, Wilschut J, Smit JM. Dengue virus life cycle: viral and host factors modulating. Cell Mol Life Sci. 2010;67:2773-86. 19. Mathew A, Rothman A. Understanding the contributin of cellular immunity to dengue disease pathogenesis. Immunological Reviews. 2008;225:300-13. 20. Malavige GN, Fernando N, Ogg G. Pathogenesis of dengue viral infection. Sri Langka Jour of Infec Dis. 2011;1(1):2-8. 21. Lei HY, Yeh TM, Lue HS, Lin YS, Chen SH, Liu C-C. Immunopathogenesis of dengue virus infection. J Biomed Sci. 2001;8:377-88. 22. Halstead SB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody dependent enhancemet, a brief history and personal memoir. Rev Cubana Med Trop. 2002;54(3):171-9. 23. Halstead SB. Observations related to pathogenesis of dengue hemorrhagic fever. Yale Jour Biol and Med. 1970;42:350-61. 24. Guzman MG, Vazquez S, Kouri G. Dengue: where are we today. MJMS. 2009;16(3):5-12.

20

25. Martina BEE, Koraka P, Osterhaus ADME. Dengue virus pathogenesis: an integrated view. Clin Micr Rev. 2009;22(4):564-81. 26. Chaturvedi UC, Nagar R, Shrivastava R. Macrofague and dengue virus: friend or foe. Indian J Med Res. 2006;124:23-40. 27. Seneviratne SL, Malavige GN, Silva HJd. Pathogenesis of liver involvement during dengue viral infection. Royal Soc of Trop Med. 2006;100:608-14. 28. Chaudhry S, Swaminathan S, Khanna N. Viral genetics as a basis of dengue pathogenesis. Dengue Bulletin. 2006;30:121--32. 29. Stephenson JR. Understanding dengue pathogenesis: implication vaccine design. Bull of WHO. 2005;83:308-14. 30. Rothman AL. Dengue: defining protective versus pathologic immunity. J Clin Invest. 2004;113:946__51. 31. Chareonsirisuthigul T, Kalayanarooj S, Ubol S. Dengue virus (DENV) antibody-dependent enhancement of infection upregulates the production of anti-inflammatory cytokines, but suppresses anti-DENV free radical and pro-inflammatory cytokine production in THP-1 cells. J Gen Virol 2007;88:365-75. 32. Ubol S, Halstead SB. How innate immune mechanism contribute to antibody-enhanced viral infection. Clin and vacc Immunology. 2010;17(12):1829-35. 33. Lin CF, Lei HY, Liu CC, Liu HS, Yeh TM, Chen SH, et al. Autoimmunity in dengue virus infection. Dengue Bulletin. 2004;28:51-6. 34. Lei HY, Huang KJ, Lin YS, Liu HS, Yeh TM, Liu CC. Generation on antiplatelet autoantibody during dengue virus infection. Am J Infect Dis. 2008;4(1):50-9. 35. Chaturvedi U, Agarwal R, Elbishbishi E, Mustafa A. Cytokine cascade in dengue hemorrhagic fever: implication for pathogenesis. Imunol dan Med Micro. 2000;28:183-88.

21

You might also like