You are on page 1of 5

Nilai-nilai Hubungan Internasional?

August 16th, 2007 · 6 Comments

Musa Maliki*

Kita hidup dengan nilai-nilai yang kita yakini. Kita hidup bersama nilai yang kita anut selama hidup
kita. Kemana saja seseorang atau kelompok masyarakat pergi, dia atau mereka selalu disertai nilai-
nilai yang diyakininya selama ini. Nilai-nilai ini abstrak dan tak tampak. Nilai -yang mengambil
istilah Derrida “representasi metafisik” (metaphysics representation/appearance)- merupakan apa
yang telah lama diyakini seseorang sebagai suatu kebenaran dalam menjalani hidupnya. Socrates
berani meminum racun karena mempertahankan nilai kebenaran yang diyakininya. Isa berani disalib
karena meyakini nilai-nilai keyakinan yang diajarkannya, demikian juga Muhammad yang dilempari
batu hingga kotoran unta dan dikejar-kejar untuk dibunuh.

Buddha meninggalkan kekayaan dan kekuasaan demi nilai-nilai pencerahan yang diyakininya.
Descartes mencari dirinya dalam akalnya, Kant percaya akan nilai-nilai etika universal, Habermas
yang masih yakin dengan etika diskursus Eropanya, Machiavelli dengan the end justified the means-
nya, dll.

Modernitas membawa nilai rasionalitas yang berakar dari abad pencerahan dan renaissance. Revolusi
industri dibawa oleh semangat nilai liberalisme. Fukuyama meyakini tatanan dunia menghadirkan
representasi metafisik Liberalisme Eropa yang dilanjutkan oleh Amerika Serikat. Semuanya tampak
seragam, seperti gagasan international society-nya Fred Halliday. Dunia sekarang ini diyakini semua
orang, khususnya mahasiswa HI baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, khususnya di UI yang
modern. Dengan mengambil istilah Marx, apakah kesadaran kita palsu atas keberadaan modernitas?
Jangan-jangan kita sudah tanpa sadar mempraktekkan nilai-nilai post-modern (postmo)!!!

Dalam novelku, ada konsep the new international community. Konsep ini bukan multikulturalisme,
bukan pula kosmopolitanisme, bukan realisme, idealisme atau liberalisme atau marxisme;
international society dipahami Halliday didominasi oleh negara, sehingga dunia ini homogen. Konsep
ini mungkin dekat dengan postmo, tapi tetap berbeda. Postmo-nya ada pada proses becoming-nya
manusia utuh dalam meyakini nilai-nilai yang diyakini selama ini untuk mencapai tujuan hakekat
hidup yang dia yakini selama hidupnya. Bukan being-nya manusia yang meniru sifat batu -sesuatu
yang statis, kolot, beku, dangkal, banal, dan bias.

Konsep yang disodorkan dalam semi-novel ini mengarah pada pertemuan banyak suku bangsa
(pluralization among nations), tetapi tetap dalam kerangka nilai keyakinan mereka masing-masing –
nilai-nilai prinsip mereka. Dalam pertemuan ini tidak ada represi (psikologis/metal/fisik), infiltrasi,
pakewuh, minder, inferior-superior dalam bersikap untuk menampilkan nilai diri masing-masing.
Ketika bertemu yang berbeda, seseorang justru tambah yakin akan nilai-nilainya. Hal itulah yang akan
terjadi, kecuali jika nilai yang diyakininya palsu, maka sikap yang muncul ialah yang relativis, bukan
pluralis. Nilai palsu bukan berarti nilai yang ada dalam agama atau dalam filsafat keyakinan tertentu
pudar, tapi seseorang tersebutlah yang justru dangkal dalam menghayati nilainya atau terjadi paksaan
dari realitas terhadap dirinya untuk mengikuti nilai tertentu, padahal belum tentu batin dan
keutuhannya sebagai manusia menerimanya.

Novelku mengilustrasikan pertemuan mahasiswa Asia yang otentik dan unik (baca novelku), bukan
relativisme nilai. Saya berikan suatu contoh relativisme nilai: mahasiswa HI atau para negarawan
bertemu dalam sebuah pesta perpisahan pertemuan mahasiswa internasional atau pesta kenegaraan.
Dalam berinteraksi, yang berjilbab berpelukan dengan yang bukan muhrimnya; yang beridentitas
melayu juga pelukan, cipika-cipiki, yang Islam makan sambil berdiri, yang Eropa berjas, yang
Indonesia berjas, yang Batak, Minang, Sunda, dan Jawa pun ikut berpelukan, berjas, dan berdansa.
Kita coba lihat dengan seksama, mana yang Islam otentik, Kristen otentik, nasionalis otentik, dll, yang
benar-benar menyakini nilai-nilainya yang prinsip? Yang saya tahu, orang Melayu, Thailand, dan
Indonesia hanya menunjukkan tanda sungkem kecil saja tanpa memegang tangan orang yang
dihormati; hal itu justru suatu penghormatan dalam representasi metafisiknya. Lalu, perlukah bagi si
Muslim, Si Minang, si Jawa ikut berdansa? Adakah paksaan realitas di situ, sehingga mau tidak mau,
ya…ikut!!! Perlukah makan babi bagi yang muslim? Makan kerbau dan sapi jika yang hindu? Dll.

Jangan dulu atau pelan-pelanlah bicara postmo di HI yang berat-berat seperti membaca pikiran Der
Derian tentang simulasi-nya Baudrillard, Walker tentang dekonstruksi kedaulatan, Cynthi Weber
tentang metafor dan mitos, Ashley tentang meta-teori. Postmo yang saya sodorkan kepada kalian
adalah postmo yang mudah, ringan, tapi bisa juga buat skripsi (jika mau tantangan, he3x). Hanya
bercerita tentang nilai yang diyakini oleh warga dunia sekarang.

Lalu bagaimanakah nilai Anda? Nilai Jepang yang sudah masuk dan bertemu dengan nilai Jawa,
Sunda, dll. Pertemuan nilai di dunia adalah konsep yang unik dan belum dikaji secara mendalam bagi
sarjana HI. Yang ada hanya membahas nilai Barat, atau Eropa, bukan? Mungkin pencucian otak akan
terus berlangsung jika kurikulum HI itu-itu saja, kepala dosennya itu-itu saja, yang itu-itu saja. Wah…
dimana ya Indonesia? Ya kalau perlu saja, pakai nama itu. Dimana ya pemerintah? Ya jika akan buat
KTP atau mau ke luar negeri. Jika tidak, gak ada yang namanya pemerintah Indonesia, ‘kan? Di TV?
Ah, itu ‘kan kotak yang ada gambar bergerak-gerak? Tidak ada pengaruhnya bukan dalam keseharian
hidup kita? TV adalah tontonan, bukan pengetahuan, bukan kebenaran, tapi kok ya pada
menganggapnya benar ya? Media berarti menentukan nilai keyakinan kita dalam hidup. Wah, hidup
kok jadi susah banget seperti ini ya?!?!!?

——————————————————————————————

*Penulis adalah editor Jurnal Global.

Related Posts

“Weepublican”and “Demoquat”

Resensi Novel: Desing Kalbu

Popularity: 2% [?]

Tags: non-konvensional

6 responses so far ↓

1 verdinand // Sep 16, 2007 at 4:49 am

Wah tulisan ini cukup menggoda saya untuk menuliskan opini saya.

Tulisan ini cukup menggelitik, nyentrik dan dengan metode penulisan yang tidak membosankan. Ini
baru segar!
Ada 3 hal yang ingin saya komentari.
Pertama, mengenai topik keyakinan dalam tulisan ini. Saya kira perlu juga untuk ditekankan bahwa
tidak selamanya manusia melakukan sesuatu yang diyakini. Saya tidak akan membunuh seseorang
meskipun saya yakin ia layak untuk dibunuh. Faktor eksternal juga dapat menghambat apa yang
diyakini. Apa dan bagaimana keyakinan yang “benar “itu? Apakah ada parameter kebenaran untuk
sebuah keyakinan?
Kedua, menyangkut kesahihan kajian HI. Kembali lagi pertanyaan klasik, bagaimana postmodernisme
yang berdasar keyakinan ini masuk dalam kajian HI. Bagi saya, ini perlu penekanan dan pemberian
contoh.
Terakhir, saya setuju dengan hipotesa penulis:”Ketika bertemu yang berbeda, seseorang justru tambah
yakin akan nilai-nilainya”. Rasa ke-Batak-an saya makin tebal setelah masuk UI. HaHaHa..

2 Ade Agustian // Sep 16, 2007 at 4:50 am


haha,akhirnya topik yang sedikit “gue” banget muncul di sini..walaupun aroma promosinya sangat
kencang!

karena alam berpikir saya senada dengan penulis, jadi komentarnya ditujukan buat yang kasih
komentar sebelum ini:

hai Ver, bukankah ketika anda memutuskan tidak akan membunuh orang walaupun anda yakin orang
itu pantas dibunuh, anda sedang digerakkan oleh KEYAKINAN bahwa nyawa manusia berada di atas
sentimen apapun yang mendasari penilaian anda tentang orang itu?

kajian seperti ini sebenarnya membantu mengkritik gerakan ekstrimis yang pergerakannya
dilandaskan perbedaan, namun pada akhirnya justru menghancurkan perbedaan

3 verdinand // Sep 16, 2007 at 4:51 am

Bukan begitu Ade,

Kita harus mencoba berpikir luas. Keyakinan bahwa manusia berada diatas sentimen apapun mungkin
bisa menjadi salah satu penilaian keyakinan gw.
Tapi, bagaimana kalau alasan kenapa saya tidak membunuh orang tersebut karena saya takut
dipenjara? Berarti hukum memaksa saya membatalkan keyakinan saya, bukan?
Ini yang saya katakan faktor eksternal menghambat apa yang diyakini.
Intinya, tidak semua keyakinan akan dilakukan. Nah, keyakinan seperti apa yang dapat dilakukan? Itu
yang perlu dibahas.

4 Musa Maliki // Sep 16, 2007 at 5:07 am

KOMEN KEPADA SIAHAAN:

Pertama, nilai tidak ada yang standar, jika nilai yang distandarkan & diparameterkan, baca “perpectual
peace”-nya Kant yang akan terjebak pada nilai Idealism (nilai universal). nilai bergerak terus dalam
dialog yang tak berkeentahan, plus dengan pertarungan politik nilai.
Kedua, selama ini di HI kita tanpa ngerti apa itu nilai ya sudah mengkajianya. lah dari idealism,
realism, marxism, dll. Jadi gak perlu lagi contoh, lah sudah banyak kok? Perdebatan antara para
pengkajai, ilmuwan HI bahwa HI itu studi atu ilmu pun sudah membawa nilai-nilai tertentu!!!
Ketiga, saya kira ke-batak-kan itu harus dikembangkan dengan memaksukkan nilai-nilainya ke
penulisan HI si pelaku!!! jadi gak cuma ngemeng saja khan…

Untuk Ade:

dalam politik nilai semuanya terjadi benturan. saya sepakat dengan benturan kreatif yang destruktif!!!
Untuk dua komentar di atas:

Keyakinan adalah nilai yang kita yakini, tapi ada nilai keyakinan itu pun akan berbenturan dengan
nilai keyakinan dari luar. semua nilai berperang dan berusaha mencapai nilai standar atau universal
yang tak akan pernah tercipta atau terwujud.

5 Acil // Sep 16, 2007 at 5:17 am

Jadi gimana pak biar hidup ngga keliatan susah? kalo aku sih maunya yg sederhana aja, ngga njlimet2,
bos!

6 Asrudin (Dosen Hi Univ. Jayabaya) // Oct 10, 2007 at 2:53 am

Berbicara tentang nilai, maka kita semua pasti sepakat dengan adanya sistem kepercayaan yang
terdapat dalam pikiran manusia. Ketika sistem ini bekerja dalam pikiran disitulah konstruksi dibangun
dalam otak bekerja. Berkaitan dengan nilai-nilai HI, gw jelas tidak sepakat dengan penulis yang
mengedepankan aspek posmo. Konstruktivisme mungkin jawaban yang tepat untuk mengomentari
esai di atas. Ketika orang menganut nilai-nilai liberalisme Kant, jelas saja orang tersebut akan
berbicara tentang perpetual peace (perdamaian antar negara-negara liberal-democratic peace);
begitupula dengan realisme, orang akan membangun pikirannya berdasarkan asumsi-asumsi dasar
realisme seperti anarki, dilema keamanan dsb. System belief yang didasari pada nilai jelas akan
mempengaruhi pola pikir seseorang ketika ingin mencoba memahami dunia. Inget tidak ada ilmu yang
bebas nilai bung.

You might also like