You are on page 1of 242

Diskursivitas dan Kontestasi Kepentingan (Publik) dalam Kebijakan Kehutanan Lokal

(studi kasus sengketa pengelolaan sumberdaya hutan Kabupaten Wonosobo pasca desentralisasi)

Tesis
untuk mencapai sebagian dari persyaratan meraih derajat sarjana S-2

oleh: TOTOK DWI DIANTORO 07/259484/PSP/3051

Program Studi Ilmu Politik

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2009

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa berkaitan dengan tesis ini tidak terdapat karyatulisyangserupayangpernahdiajukanolehpihaklainuntukmemperoleh gelarkesarjanaandisuatuPerguruanTinggi.Dan,sepanjangsepengatahuansaya jugatidakterdapatkaryaataupendapatyangpernahditulisatauditerbitkanoleh pihak lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalamdaftarpustaka. Yogyakarta,Agustus2009

TotokDwiDiantoro

DaftarIsi
HalamanJudul.. HalamanPengesahan... HalamanPernyataan............ KataPengantar.. DaftarIsi. DaftarSingkatan/Istilah... DaftarBagan.. DaftarKotak.. DaftarTabel........... Intisari Abstract.. BABI.PENDAHULUAN.... A.LatarBelakang.. B.Permasalahan C.TujuanPenelitian............. 1 1 14 17 i v viii xi xi xii xiii xiv Halaman

D.KerangkaPemikiran Relasikekuasaan,diskursusdankontestasikepentingan........ Diskursivitas publik pada konteks advokasi kebijakan yang demokratis........................................................................................ E.MetodePenelitian Periodisasi(lingkuppenelitian).................................................... Sifatpenelitian................................................................................. Lokasipenelitian............................................................................. Skopeanalisis................................................................................... Teknikpencarian,jenisdansumberdata.................................... Teknikpengolahandananalisisdata........................................... F.SistematikaPenulisan....................................................................... BAB II. SKETSA STRUKTURASI PENGUASAAN HUTAN JAWADAN(DIDALAMNYA)WONOSOBO.............................. A.SettingKekuasaandalamPengelolaanKehutananJawa........... B.BirokrasiKehutananJawayangSuiGeneris................................. C.Wonosobo:DalamProblemaSilangSengketa............................. BAB III. DISKURSIVITAS DALAM RUANG KONTESTASI KEPENTINGAN (PUBLIK) KEHUTANAN LOKAL 75 79 35 38 51 66 30 30 31 31 32 32 33 23 17

................................................................................................................... A.DudukPerkaraPSDHBMVsPHBM............................................. B. Desentralisasi dalam Perspektif Lokal (Wonosobo): Inisiasi

GerakanAmbilAlihHutan................................................................. C. Ruang Kontestasi: Dinamika Inisiasi, Konsekuensi, Ikhtiar RekognisidanTitikBalikPerdaPSDHBM C.1.PerjalananInisiasi......................................................................... C.2.KonsekuensikonsekuensiolehkarenaSubstansiPerda....... C. 3. Ketika Jakarta Berujar: BATALKAN PERDA PSDHBM! (Titik Balik Ikhtiar Rekognisi)

90

99 110

.................................................................................................................. D. Surat Keputusan Bersama Perhutani dan Bupati: Wonosobo KehilanganKepercayaanDiri............................................................. BABIV.PERNAHADAGELAGATDEMOKRASI,TAPIJUGA ADA GELAGAT MANGKIRNYA CIVIL SOCIETY

117

137

.................................................................................................................. A.1.KebijakanolehSiapadanbuatSiapa?...................................... A. 2. Ruang Publik dan Demokrasi yang Bermakna pada Perda PSDHBM ................................................................................................................... B.SenjakalaningCivilSociety............................................................... B. 1. Mengatakan Terus Berjuang Tapi Tak Lagi Lantang: MusimnyaStrategiKolaborasiMultipihak....................................... ARuPA: terlena dalam gagasan strategi kolaborasi multipihak ........................................................................................ Krisismakinmemperpurukeksistensi........................................

143 149

154 158

162

163 175

B. 2. Episode Menghangatkan Bara Harapan pada Sisa Energi (MemulaiLagiPerjuangan)................................................................. BABV.PENUTUP................................................................................ A.Kesimpulan....................................................................................... B.Refleksi............................................................................................... DaftarPustaka....................................................................................... Lampiran I. Perda Kabupaten Wonosobo No. 22/2001 tentang PSDHBM................................................................................................ Lampiran II. SK Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001tentangPHBM................................................... 198 220 190 183 183 188 177

DaftarSingkatan/Istilah
ARuPA Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam, yaitu LSM lokal yang bergerak di bidang sumberdaya alam (hutan) berbasisdiYogyakarta. Singkatan dari Adiministratur, yaitu Kepala Kesatuan PemangkuanHutan(KKPH). Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan, yaitu satuan organisasi pelaksana kehutanan Perhutani di bawah KPH. Kalau disejajarkan dengan struktur birokrasi kepolisian, BKPHsetingkatdenganPolsek. BadanUsahaMilikNegara. CommunityBasedForestManagement. DaerahAliranSungai. DewanPerwakilanRakyatDaerah. Forum Hutan Wonosobo, yaitu forum multipihak (stakeholders)kehutananlokalWonosobo. Forum Koordinasi Penanganan Penjarahan dan Penataan Hutan, dibentuk melalui SK Bupati Wonosobo Nomor: 522/200/2001, beranggotakan multipihak, dan mempunyai fungsi utama mengkoordinasikan kehutanan Wonosobo melaluiJedaLingkungan. Hutan Kemasyarakatan, yaitu skema pengelolaan hutan negara oleh kelompok masyarakat melalui mekanisme pemberian ijin oleh Bupati/Walikota. Untuk sebagian besar hutanJawatidakmemungkinkan,karenasudahadaotoritas pengelola;yaituPerhutani. HakPengusahaanHutan,yaitukonsesipengusahaanhutan yangdiberikankepadapihakswasta/BUMNdiluarJawa. Hak Pemanfaatan Hasil Hutan, yaitu konsesi pemanfaatan hasilhutan,yangpadaprakteknyasamadenganHPH. Praktek kehutanan yang dilakukan oleh masyarakat (community based), biasanya berupa kebun campur antara tanaman kayu kehutanan dan pertanian, serta lebih

Adm BKPH

BUMN CBFM DAS DPRD FHW FKP3H

HKm

HPH HPHH HutanRakyat

berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi subsisten.Secarastatushukum,praktekinibiasanyaterjadi di atas lahan hutan hak, meskipun tidak menutup kemungkinan terjadi di atas lahan hutan bukan hak (hutan negara). HutanHak Adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atastanah. HutanNegara Adalahhutanyang beradapada tanahyang tidakdibebani hakatastanah. JedaLingkungan Yaitu masa jeda (moratorium) kehutanan Wonosobo selama AprilhinggaSeptember2001,yangdisepakatisemuapihak diWonosobo,kecualiPerhutani. JKPM Jaringan Kerja Pesantren Masyarakat, yaitu LSM lokal berbasisdiWonosobo. Koling Konservasi Lingkungan, yaitu LSM lokal yang bergerak di bidang lingkungan dan kepecintaalaman berbasis di Wonosobo. KKPH Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan, atau lazim disebut denganAdm. KPH Kesatuan Pemangkuan Hutan, yaitu satuan organisasi pelaksana kehutanan Perhutani yang membawahi BKPH dan berada di bawah Unit. Luas otoritas dan areal kerja KPH biasanya meliputi beberapa wilayah administrasi kebupaten. Kalau disejajarkan dengan struktur birokrasi kepolisian,KPHsetingkatdenganPolres. NegaraLokal PemdaKabupatenWonosobo NegaraPusat PemerintahPusatJakarta LSM LembagaSwadayaMasyarakat. PAD PendapatanAsliDaerah. Pemda PemerintahDaerah PP PeraturanPemerintah. PHBM PengelolaanHutanBersamaMasyarakat. PSDHBM PengelolaanSumberDayaHutanBerbasisMasyarakat. Perda PeraturanDaerah. Perhutani Perusahaan Kehutanan Negara, yaitu BUMN kehutanan satusatunya di Jawa, dan dikukuhkan melalui PP No.

SK SKB UU UnitI

30/2003tentangPerumPerhutani. SuratKeputusan. Surat Keputusan Bersama, dalam hal ini antara Perhutani UnitIJawaTengahdanBupatiWonosobo. Undangundang. AdalahsatuanorganisasipelaksanakehutananPerhutanidi Jawa Tengah, mempunyai fungsi utama menyusun perencanaan sebagai tindak lanjut kebijakan Direksi Perhutani di Jakarta. Unit I Jawa Tengah mengelola dan membawahi 22 KPH. Kalau disejajarkan dengan struktur birokrasikepolisian,UnitsetingkatdenganPolda.Perhutani terdiri dari 3 Unit, yaitu Unit I Jawa Tengah, Unit II Jawa Timur, dan Unit III Jawa Barat dan Banten. Setiap Unit dipimpinolehseorangKepalaUnit(Kanit).

DaftarBagan
Bagan.1 Bagan.2 Bagan.3 Bagan.4 Bagan.5 Bagan.6 Bagan.7 RelasiDemokrasi,KelembagaandanKontrolPublik StrukturBirokrasiPemeritahandanKehutananpada MasaPenjajahanBelanda StrukturBirokrasiOrganisasiPerumPerhutani StrukturPengelolaanHutandiJawapadaMasa PemerintahanOrdeBaru AlurProsesAdvokasiPerdaSDHBM KonteksPolitikdalamFormulasiKebijakan KebijakansebagaiProdukdanArenaKontestasi Halaman 28 52 58 63 108 151 155

DaftarKotak
Kotak.1 Kotak.2 Kotak.3 Kotak.4 Kotak.5 Kotak.6 NegaraisasiHutandanLahan AntaraNegara,PemerintahdanPerhutani PenjarahanHutandiWonosobo BeritaDinamikaPenjarahanHutandiWonosobo DampakPenjarahanHutandiWonosobo BeberapaMitosyangMengemukakeRuangPublik perihalSistemPengelolaanHutandiKawasanPerhutani PerjalananKebijakan/PeraturanyangMengaturtentang SistemPemerintahanDaerah SikapWonosoboatasPengelolaanSumberdayaHutan AsasasasPenyelenggaraanPSDHBMdidalamPerda (Pasal2) PetikanPasal7dan8PerdaPSDHBM,dalamBabIII tentangPenetapanLokasi PetikanSuratPernyataanSikapPerwakilanRimbawan sertaAdministratur/KKPHseJawadanMadura NotaKesepahamanBersamaWonosobodanPerum PerhutanidiYogyakarta Halaman 41 50 68 70 73

86 Kotak.7 Kotak.8 Kotak.9 Kotak.10 Kotak.11 Kotak.12 92 97 114 115 118 120

10

Kotak.13

PernyataanSikapKoalisiuntukPenyelamatanDevolusi PengelolaanSumberDayaHutan(KUNDERA) 124 SuratSekjenDepdagrimengenaiHimbauanPenghentian PelaksanaandansekaligusPencabutanPerdaPSDHBM 127 AnalisisHukumSuratSekjenDepdagrikepadaBupati Wonosobo AksiPremanismeyangMenyertaiKontestasi KepentingandalamKebijakanPengelolaanSumberdaya HutanWonosobo SuratKeputusanMendagriyangMembatalkanPerda PSDHBMWonosobo

Kotak.14

Kotak.15 Kotak.16

128

134 135

Kotak.17

DaftarTabel
Tabel.1 Tabel.2 Tabel.3 Tabel.4 PergeseranKonseptualmenujuPSDHBM PerbandinganKebijakanPSDHBMWonosobodan PHBMPerhutani KonsekuensidariMunculnyaPerdaPSDHBM SusunanKeanggotaanTimTeknisFHW Halaman 84 89 110 181

11

Intisari
Penyebaran negarayaitu mewujudnya pembilahan pusat dan lokal yang begitu kuat, sebagai konsekuensi dari periode pasca reformasidalam konteks studi ini adalah munculnya fenomena Wonosobo yang sempat mbalelo, tidak taat, dan cenderung menentang pusat (Jakarta) dalam hal pengurusan sumberdaya hutan pada 20012005 silam. Tentu saja Wonosobo dalam pengertian sebagai entitas. Olehsebabitu,keterlibatanmasyarakatdanLSMadalahsangatbesardalamkisah mbalelo tadi. Ranah keterlibatan inilah yang lantas dilihat oleh studi ini, manakala civil society (melalui LSM) memainkan peran mendiseminasikan discoursedalamkontekspertarungan(kontestasi)kepentingan,untukselanjutnya munculkebijakan(PerdaPSDHBM)sebagaimuaraprosessekaligusperistiwa politik. Namun, seiring dengan perjalanan waktudi mana negara pusat cenderung menguat (resentralisasi)melalui pendekatan hirarkhis, kemudian PerdaPSDHBMWonosobodicabutdandibatalkanpadatahun2005.Peristiwaini menjadi momentum, di mana salah satunya adalah munculnya kecenderungan engage antara pemerintah lokal Wonosobo dengan pemerintah pusat (Perhutani), disampingjugalantasmemicukonsekuensibagigerakancivisociety(LSM)untuk ikutikutan nyaman dengan strategi kolaborasi multipihak, bersama Perhutani. Pada ranah inilah, keberadaan dan fungsi LSM kemudian menjadi urgent untuk dievaluasi manakala, dari sisi keagenannya (agency) nyatanya relatif. Terutama berkaitan dengan kuatlemahnya, ketika berhadapan dengan negara, sekaligus swasta/pasar.Ataubahkansebaliknya,bersinergidengannegaradanswasta/pasar untuk selanjutnya meninggalkan agenda masyarakat. Sebagai temuan dari studi ini, hal tersebut belum terjadi.Tetapi, gelagat lepas aspirasi (disenggagement), ada potensi. Studi kasus ini melalui pendekatan kepustakaan dan lapangan (partisipatif dan wawancara tidak terstruktur), dengan melihat konteks peristiwa pada dua episode; yaitu masa advokasi Perda PSDHBM (19992005) dan masa setelah Perda PSDHBM dibatalkan (2005sekarang). Hasil studi menunjukkan bahwa, diskursivitas di dalam proses perubahan kebijakan kehutanan lokal Wonosobo, sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan peran civil society (LSM). Dengan demikian, manakala beradanya dan peran LSM ada potensi melemah, sudahsewajarnyauntukmemunculkankekhawatirantersendiri.

12

Abstract
State dispersionemerged in local dan national strong dichotomy, as a consequence of the post reform peroidin this study is, the rised up of the Wonosobos phenomenon when became revolt, disobedient, and even tend to against the national (Jakarta), on the forest resource management in 20012005. Indeed, Wonosobo as an entity. So, the community and civil society (NGO) involvement were, a significant influence in the story earlier. This involvement thenwasseenbythestudy,atacertainpointintimewhencivilsociety(through theNGO)playedtheirroletodesiminatedthediscoursesandinterestcontestation, henceforth emerged the public policy (Perda PSDHBM, Wonosobos District Regulation) as the political process and circumtance. On the other hand, the national government tended to strengthen (recentralised) and, then through the hierarchy approach, afterwards Perda PSDHBM was pulled out and cancelled in 2005. Suddenly, the incident became as momentum, where there were trend of engagement between the Wonosobo locals government and the national government (Perhutani), nearby also triggered the consequences for the civil society (NGO) movement to slavishly, convinient with the multistakeholders collaborationstrategy,toPerhutani.Furthermore,itisurgenttoevaluatetheNGO existence, mainly from the agency side when we realized it is become relative. Especiallyregardingtotheirstrongandweakness,tobeingfacedwiththestate,or atthesametime,themarket.Orevenwasthecontrary,sinergisedtothestateand market, henceforth left the communitys agenda. The study shows, this matter didnt happen yet. But, the sign of lose from communitys aspiration (disenggagement),itwasthepotential.Thiscasestudythroughthedocumentand fieldresearchapproach(partisipatoryandwithnostructurequitioner),byseeing the context of the circumtance in two episodes; that are the period of Perda PSDHBMs advocacy (during 19992005) and time after Perda PSDHBM were annulled (2005now). The Results of the study show that, discursive processes in the Wonosobos local policy related to forest resource management, really was affectedbytheexistenceandtheroleofcivilsociety(NGO).Therefore,whenthe roleoftheNGOhadapotentialweakened,itisrelevancetoemergingthespecial concern.

13

BABI
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang Hutan, memiliki karakter sebagaimana halnya karakter sumberdaya alam1 yang kitasemuakenal.Darisisipemanfaatan,menurutsifatnyasumberdayaalamdapat dimasukkandalamkategorisebagaiyangbersifatterbarukan(renewable)danyang bersifattidakdapatterbarukan(unrenewble).Padakaraktersumberdayaalamyang

Kiranya perlu untuk dikemukakan, bahwa sumber alam (natural source) adalah cara pandang yang lekat dengan masyarakat asli, masyarakat adat, atau masyarakat subsistenmisalnya masyarakatpetani.Merekamelihatalamsebagaikesatuanspiritualtransendentaldenganmanusia di dalamnya yang melakukan aktivitas budaya, sosial, dan ekonomi. Peradaban pencerahan di Eropa yang membawa semangat penaklukan dalam ideologi kolonialisme memperkosa cara pandangtersebutdanmenggantikannyadengancarapandangsumberdayaalam(naturalresource). Penambahan kata daya menekankan pada kemampuan alam untuk memberikan kepuasan maksimalbagimanusia,dandalamkerangkainilahalammenjadibahanbakuyangterpisahdari manusia, atau dengan kata lain hanya menjadi obyek untuk dikuasai dan dieksploitasi. Pada negara yang baru lepas dari kolonisasi, pandangan ini dipertahankan dengan ideologi yang berbeda, didasari upaya untuk menjawab kesejahteraan masyarakat pasca penjajahan dengan semangat developmentalisme (pembangunanisme). Developmentalisme mempertahankan cara pandang alam sebagai sebuah sumberdaya produksi untuk menghasilkan devisa negara. Pergeseran makna alam ini membuat alam tidak lagi dianggap sebagai rahmat bagi semua manusia, tetapi menjadi obyek yang jumlahnya terbatas dan bisa diperebutkan. Alam menjadi sumbersumber konflik di dalam negara. Kecenderungan ini mendorong negara memproduksi ketentuanketentuan mengenai tata cara ekploitasi, hingga pada akhirnya mendorong pemusatan kekuasaan pada negara yang terutama diembankan kepada pemerintah. Periksa Mickael B. Hoelman,SengketaWajahKerakusanModaldanNegaraatasSumberAlamIndonesia,makalah disampaikan dalam kelas Seminar Politik Indonesia Kontemporer, Program Pasca Sarjana Ilmu PolitikUniversitasGadjahMada,2003.
1

14

bersifatterbarukanmakapadanyamelekatdayarestorasisecaraalamiah,sehingga sustainibilitaspasokannyadapatbertahandanberlanjutuntukjangkawaktuyang lamabahkantakterbatas.Sementarasumberdayaalamyangmempunyaikarakter tidakdapatterbarukan,adalahberlakusebaliknya.Olehkarenanya,dalamrentang waktu tertentu, praktek eksploitasi atas sumberdaya alam yang bersifat tidak terbarukan ini akan membawa konsekuensi pada habisnya ketersediaan sumberdayatersebut. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa terhadap sumberdaya alam yang bersifatterbarukan,pastiakanterjaminselaluketersediaanyasecaraberkelanjutan (sustainable)sehinggatidakakanhabis,musnah.Padakontekspraktekeksploitasi yang serampangan (baca: tidak terkendali) terhadap sumberdaya alam yang mempunyai sifat terbarukan, juga terdapat kecenderungan untuk habis ketersediaannya, oleh karena adanya sifat keterbatasan daya dukung (carrying capacity)sumberdayadimaksud. Apabila mencermati kasus pengurusan sumberdaya hutan nasional, kerusakan deforestasi dan degradasisumberdaya hutan selama ini, adalah fenomena konkrit yang mana menjadikannya cukup relevan guna menjelaskan proposisi tersebut di atas. Lebih kurang 40 persen dari luas hutan pada tahun 1950 telah ditebang dalam waktu 50 tahun berikutnya; tahun 2000. Jika dibulatkan, luas tutupan hutan di Indonesia turun dari 162 juta hektar menjadi 98 juta hektar. Mengutip data Potret Keadaan Hutan di Indonesia (state of forest report) yang diterbitkanolehForestWatchIndonesia(FWI)tahun2001,padatahun1980anlaju

15

kehilanganhutandiIndonesiarataratasekitar1jutahektarpertahun.Kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta hektar per tahun pada tahuntahun pertama 1990an. Dan sejak tahun 1996, laju deforestasi meningkat pada bilangan 2 juta hektar per tahun.2 FAO menyebutnya, laju kerusakan hutan di Indonesia sudah mencapai 1,8 juta ha per tahun dalam kurun waktu tahun 20002005.3 Merujuk padainformasitersebut,kiranyacukupmenjelaskanbahwajaminankeberlanjutan tersedianyasumberdayatersebut,adapotensiketerancaman. Dengandemikian,ceritasecarapartikularmengenaikondisihutanJawa,sayakira juga tidak lah jauh berbeda. Studi Greenomics pada Januari 2006 menunjukkan, selama kurun waktu tahun 20022004, deforestasi di Jawa mencapai 102 ribu hektar. Kondisi ini terjadi pada 40 ribu hektar kawasan konservasi dan 62 ribu hektar hutanlindung.JawaTimur,JawaBarat,danJawaTengahadalahprovinsi penyumbang terbesar deforestasi di Pulau Jawa. Akibat deforestasi itu, terjadi degradasi 330 ribu hektar hutan. Degradasi terjadi pada 76 titik di kawasan konservasi dan hutan lindung di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta,danJawaTimur.Degradasikawasankonservasideperkirakanseluas 133 ribu hektar, sementara hutan lindung mencapai 197 ribu hektar. Kerusakan hutan akibat degradasi dan deforestasi ini menyebabkan terganggunya 10,7 juta hektarlahandi123titikdaerahaliransungai(DAS).Akibatdegradasihutansaja, kerugian diperkirakan Rp 8,37 triliun per tahun. Sedangkan kerugian akibat

ForestWatchIndonesia,PotretKeadaanHutanIndonesia,ForestWatchIndonesia,Bogor,2001 Data FAO menunjukkan, Indonesia menghancurkan kirakira 51 kilometer persegi hutan setiap harinya,setaradenganluas300lapanganbolasetiapjam.
2 3

16

rusaknyasektorperikanandanpertaniansawahmencapaiRp37triliunpertahun.4 Demikian, sesungguhnya tidak saja persoalan ekonomi yang kemudian menjadi poinpentingdarideplesipotensinilaisumberdayahutan,namunjugasayarasa, persoalan keterancaman potensi fungsi ekologidan sosialyang jauh lebih penting.5 Disamping melekat sifat terbarukan dan tidak terbarukan dari segi pemanfaatan, pada sumberdaya alam juga mempunyai karakter persebaran keberadaan dan ketersediaan yang tidak merata. Oleh sebab itu, pada konteks ruang dan waktu tertentu ketersediaan sumberdaya alam kemudian memungkinkannya menjadi terbatas (scarcity). Pada wilayah ketersediaan sumberdaya alam yang terbatas, dengan begitu membawa konsekuensi pada akses terhadap sumberdaya dimaksud menjadi contestable (dalam memperolehnya).6 Namun demikian, sebaliknya tidak pula terjamin bahwa sumberdaya alam akan menjadi contested hanya bilamana dia langka (terbatas). Pada ketersediaan sumberdaya alam yang
KORANTEMPORabu,8Februari2006. Dari seluruh wilayah Jawa seluas 13.410,9 ribu ha, kurang lebih 23,4 % merupakan kawasan hutan,yangterdiridarikawasankonservasi(KawasanSuakaAlam/KSAdanKawasanPelestarian Alam/KPA)seluas454,3ribuhaatau14,5%dariluaskawasanhutan,HutanLinding(HL)seluas 750,8 ribu ha (23,9 %), Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 1.558,9 ribu ha (49,7 %) dan Hutan ProduksiTerbatas(HPT)seluas371,8ribuha(11,8%).Secarakeseluruhanmaupunprosentaseluas kawasanhutanpadamasingmasingpropinsiyangadadiwilayahJawaMadura,masihjauhdari luasminimalsebesar30%,agarsecaraekologisdapatberfungsisebagaipenyanggalingkungandi wilayahini.PeriksaMoech.F.Fahada,PengurusanHutanJawaDitinjaudariPerspektifBencana Lingkungan, makalah dipublikasikan dalam http://rimbawan.org/peh/index.php?option=com_content&task=view&id=70&Itemid=40 diakses padatanggal20Febrari2009. 6Konteksketerbatasan(scarcity)sumberdayaalam/lingkungan,yangkemudianmenjadipenyebab utamakonfliksosialdankekerasanyangberkepanjangan,digambarkandengancukupjelasdalam kasusaksesterhadapsumberdayaalam/lingkungandinegaranegaradidataranAfrikasubSahara olehThomasHommerDixondalamEnvironment,Scarcity,andViolence,1996.
4 5

17

melimpah pun, potensi kontestasi juga memungkinkan menjadi aktual manakala aktor yang mempunyai kepentingan untuk mengakses sumberadaya yang bersangkutancukupbanyakdanberagam.Lebihlebihpadasaatkebijakanformal yang ada dan berlaku, serta watak regulasinya bersifat membatasi akses atas sumberdaya dimaksud secara berbeda (diskriminatif) antara satu aktor dengan aktoryanglain. Kontestasi akses terhadap sumberdaya alam, hemat saya, erat kaitannya dengan paradigma yang melandasi praktek pengurusan sumberdaya alam. Paradigma praktek pengurusan sumberdaya alam yang dominan berjalan dalam dunia kehutanan moderndan sesungguhnya juga terhadap semua eksploitasi sumberdaya alamadalah pengurusan sumberdaya hutan yang berbasis negara (statebasedforestresourcemanagement).Dimana,dalampandanganparadigmaini, hutandiandaikansebagai(hanya)miliknegara,yangdengannyanegarakemudian memiliki otoritas penuh (full authority) untuk menentukan status

kepemilikan/penguasaan (ownership), termasuk bentukbentuk mekanisme relasi (hukum/aturan main) antar aktor terhadap sumberdaya hutan yang boleh berjalan. Sementara belakangan kini,7 ada tendensi yang mengemuka berkaitan dengan paradigma yang (sebelumnya) tidak terlalu populerlebihlebih oleh kaca mata
7

Hal ini merujuk pada rentang waktu satu dekade terakhir pasca reformasi 1998, di mana keleluasaan dalam menyuarakan wacanayaitu paradigma pengelolaan hutandi luar atau bertentangan dengan arus utama (mainstream) wacana yang diproduksi oleh negara memiliki kesempatan mengemuka. Oleh sebab itu, saya melihatnya, sesunguhnya wacana ini bukanlah merupakan paradigma yang baru, karena pada level komunitasdengan strategi moralitas

18

kekuasaan formal negaranamun sekarang mempunyai cukup ruang untuk berkembang menjadi arus utama (setidaknya sebagai perspektif alternatif) yang mengiringidominannyaparadigmapengurusansumberdayahutanyangberbasis negara; yaitu pengurusan sumberdaya hutan berbasis masyarakat (community based forest resource management). Mengemukanya paradigma ini, saya melihatnya tidak lebih oleh karena konsekuensi dari pergeseran pola relasi masyarakat dengan negara. Kemunculanuntuk selebihnya memungkinkan memperoleh posisibisajadisangateratkaitannyaketikanegaramakinmelemahdihadapan masyarakat. Sehingga dengan kata lain, masyarakat semakin kuat posisinya terhadap negara. Reformasi 1998 adalah monumental point, manakala negara mengalami krisis legitimasi di mata masyarakat, sehingga kreativitaskreativitas masyarakatdan kalangan civil societymenjadi lebih mudah terekspos ke permukaan.
subsistensinyapada hakekatnya praktek yang melandaskan pada paradigma ini telah lama berjalan.Padarentangwaktusatudekadeterakhirkinimenjadilebihmenyeruaktidaklebihkarena kegiatan promosi oleh kalangan civil society (LSM dalam hal ini)baik domestik maupun internasionalmelalui strategi kampanyenya guna menyandingi model pengelolaan hutan berbasis negara yang lebih banyak bersifat eksploitatif. Pada konteks itu pulalah, berhasilnya pewacanaan dalam hal ini, sehingga pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PSDHBM) menjadi paradigma yang relatif mendapatkan tempat (existing)dengan negara kemudian juga mengafirmasinyamelaluiakseptasiterhadapkonsepiniadalahceritalain.Meskipunkemudian, sayakira,terlepasdarikontekskonsepsitersebutyangsebenarnyatetapsajamerupakancontested area manakala pada wilayah derivasi, semua pihak memiliki otoritas dalam menafsirkannya. ContohpalingsederhanadimananegaramengklaimsebagaiwujudafirmasiparadigmaPSDHBM, adalah ketika UU No. 5/1967 diganti dengan UU No. 41/1999 yang dalam Penjelasan Umumnya menyatakan: Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaaan hutan. Oleh karena itu praktekpraktek pengelolaaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah menjadi pengelolaanyangberorientasipadaseluruhpotensisumberdayakehutanandanberbasispadapemberdayaan masyarakat.Yangdalamtatarankonkritisasikonseptual,menuruthematsaya,pernyataantersebut masihmenyisakanbiastafsiryangtidakmenjanjikan.Dengannya,sayarasamasihstatebased.

19

Dalam pandangan paradigma pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat, penempatan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengurusan sumberdayahutanmenjadinilaidasaryangmelandasi.Negaratidakditempatkan sebagai pihak yang paling utama berperan dalam menentukan mekanisme relasi baik antara aktor, maupun aktor dengan obyek (sumberdaya hutan yang bersangkutan); bahkan aspek teknis turunannya. Mekanisme ditentukan dan dilakukansecarapartisipatif,sertadalamkontrololehlingkupinternalmasyarakat itusendiri. Pergeseran paradigma pengurusan sumberdaya hutan menjadi berbasis masyarakat, dalam benak saya, sangat mungkin berkaitan dengan kegagalan model paradigma pengurusan sumberdaya hutan berbasis negaramelalui praktek eksploitasinyaditambah dengan melemahnya kewibawaan negara di hadapan masyarakat,8 di mana posisi masyarakat memang lah mulai semakin menguat. Pada titik ini, paradigma pengurusan sumberdaya hutan berbasis masyarakat sebagai tawaran pilihan (alternatif) mengemuka, oleh sebab dalam prakteknya meletakkan watak kearifan masyarakat subsisten (community wisdom)di mana memiliki sensitifitas keberlanjutan fungsi (ekologis)pada posisi yang utama. Tidak ekstraktif, seperti halnya cara pandang yang melihat bahwa hutan tidak lebih merupakan resource bagi ritual industri kayu (timber

Pada konteks ini, masyarakat dihadapkan pada negara oleh karena nilai yang seringkali melandasi; yaitu civic virtue, di mana bentukbentuk kebaikan dari masyarakat (solidaritas, toleransi, kepercayaan, dan jalinan kerjasama) teraktualisasi kembali ketika negara gagal menghadirkanperandanfungsinyaolehkarenalebihbanyakmelayanidirinyasendiri.
8

20

extraction) sebagaimana praktek pengurusan yang diterapkan oleh negara, dan jugaswasta. Dari konteks momentum, kemunculan paradigma ini menjadi semakin mendapatkan ruang manakala negara tidak lagi menjadi aktor tunggaldan otonomdalam dinamika kehidupan politik pasca reformasi 1998. Melemahnya negara membawa konsekuensi pada fragmentasi kekuasaan, sehingga tidak lagi terpusatbaikpadalocusmaupunpadaaktor.Haldemikian,jugaditandaidengan makin menguatnya iklim demokrasi yang disepakati melalui (setidaknya) kemunculan kebijakan liberalisasi politik secara nasional. Hal mana, liberalisasi politik selanjutnya juga membawa konsekuensi untuk menata ulang relasi kekuasaandidalamnegaraitusendiri. Saya melihat, bahwa kebutuhan menata ulang relasi kekuasaan di dalam negara pada ranah hubungan pusat dan daerah, kemudian mewujud sebagai tuntutan desentralisasi melalui pemberian otonomi daerah yang luas dan penuh. Oleh karenanya,selebihnyaberkaitandengantarikmenarikkewenangan,dimanasalah satudiantaranyaadalahsoalpengurusansumberdayaalam.Dalamtarikmenarik kewenangan ini, dicoba dijembatani melalui keluarnya kebijakan mengenai desentralisasi yaitu UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang belakangan kemudian diganti dengan UU No. 32/2004. Pada bidang pengurusan sumberdaya hutan muncul UU No. 41/1999 tentang Kehutanandi mana juga merujuk pada UU No. 22/1999yang menggantikan berlakunya undangundang

21

sebelumnya,yaituUUNo.5/1967yangmengaturtentangKetentuanPokokpokok Kehutanan. Pada derajad tertentu (dari sudut pandang otoritas formal administratif), terobosan kebijakan ini dianggap bisa menyelesaikan masalah tarikmenarik kewenangan antara negara pada tingkat nasional dengan negara pada tingkat lokal.Namunpadalevelyanglain,sayamembacanya,ternyatahalinitidakcukup memberikan solusi atas persoalan, sebabnya karena justru masih sebatas retorika formalitas. Satu diantaranya, adalah adanya asumsi dari sisi lokal yang menyatakan bahwa intervensi pusat masih sangat tinggi oleh sebab daerah sekedarberperanpadawilayahteknispelaksanaanstandar,prosedur,kriteria,dan indikatoryangtelahditentukanolehpusat.Daerahtidakmempunyaikeleluasaan dalam mendisain kebijakan atas jelajah otoritas teritorinyapengurusan sumberdayahutanlokalsendiri.9 Fenomena ini memantul pada kasus Kabupaten Wonosobo pada saat melakukan terobosandalammemaknaijelajahotoritasnyaataspengurusansumberdayahutan dengan mengeluarkan Perda No. 22/2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya HutanBerbasisMasyarakat(PSDHBM).DalamPerdaPSDHBM,sayamenceramati adanya spirit Wonosobo untuk mengambil alih peran negara pada tingkat pusat

Lihat Pasal 5 ayat (3) UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa pemerintah pusatberwenangmenetapkanstatushutan.Statushutantersebutadalahhutannegaradanhutan hak. Kewenangan ini membawa konsekuensi mengenai mekanisme pengurusan kawasan hutan yangbersangkutanterutamahutannegaradimanadaerahtidakpunyasedikitpunkewenangan untuk turut menentukannya meskipun hutan negara yang bersangkutan masuk dalam teritori adiministrasiwilayahnya.
9

22

dalampengurusansumberdayahutanpada kawasanhutan negaradiwilayah administrasi Kabupaten Wonosobo melalui penetapan status dan fungsi hutan, serta konsekuensi mekanisme teknis turunannya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokalitas Wonosobo. Ada nuansa mengingkari beradanya otoritas pusat. Terdapat alur nalar yang melatarbelakangi bangunan argumentasi Wonosobo,yangkuranglebihberkisarpadaupayapenyelamatanfungsiekologis sumberdaya hutan yang terancam pasca peristiwa penjarahan10 hutan pada Mei 1998, serta ikhtiar untuk memberdayakan masyarakat lokal setempat berkaitan denganaksesterhadaplahandikawasanhutannegara,yangsebelumnyaterbatasi oleh regulasi nasional. Lebihlebih manakala ada tanda kegagalan pusat dalam memerankan otoritasnya, di mana tidak kontributif secara signifikanpada dua manfaat:ekologidanekonomiterhadapentitaslokalsetempat.

Istilah penjarahan, pada penggunaannya menjadi problematik. Mengapa? Pada perspektif hukum pidana (hukum positif), secara konvensional istilah penjarahan hutanyang kemudian disamaartikan dengan illegal loggingtidak lebih merupakan permasalahan kriminalitas biasa (motifekonomibiasa),yaitutindakanmenguasaibarang/bendasecarapaksa(tanpahak).Namun sebagai sebuah fenomena sosial, hemat saya, tidaklah sesederhana itu. Pada konteks tertentu, penjarahanlebihbanyakbermaknasebagaisebuahbentukperlawanansosialatassistemproduksi kehutanan yang tidakadil. Bahkan, bila merujuk pada teorinya James Scott, sangat mungkin apa yangdisebutsebagaipenjarahanhutanadalahmanifestasidariperlawananharidemihari(dayto dayresistance)yangdilakukanolehmasyarakatatasstrukturdarisistemsosialyangmenindasdan tidak adil. Dengan demikian, saya kira, dapat juga untuk dibahasakan sebagai bentuk daripada protes. Namun begitu, pada perkembangannya, penjarahan hutan kini tidak lagi (telah bertransformasi)memaknasebagaiprotesatasstruktursistemproduksihutanyangmenindasdan tidak adil, tetapi merupakan bagian dari mesin besar kapitalisme yang serakah, di mana praktek menjarah tidak lagi berbeda dengan praktek kotor mencuri kayu karena tidak lebih merupakan perbanditan kapital yang terorganisir dengan baik (well crime organised). Periksa Rama Astraatmadja, Seputar Hutan Jawa, dipublikasikan dalam http://arupa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=59&Itemid=39 diakses pada tanggal23Februari2009.
10

23

Apalagi, pada konteks regulasi nasional yang juga berlaku pada saat ituyaitu UU No. 22/1999 (saya melihatnya Wonosobo mencandranya pada isu itu) memungkinkan bagi daerah untuk mengurus sumberdaya (alam) nasional yang ada di wilayahnya secara mandiri. Pasal 10 ayat (1) UU No. 22/1999 setidaknya yangmenjadilandaspijakpembenarannya,karenamenyatakansebagaiberikut:
Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di dalam persoalan ini kemudian menjadi lebih menarik, oleh karena dalam mamahami berwenang mengelola oleh Wonosobo, dimaksudkan sebagai pengambilalihan (beban) tanggungjawab atas potensi kerusakan fungsi lingkungandikawasanhutannegarayangdialamiolehWonosobo. Dalam wilayah inilah, yang menjadikan Wonosobo memiliki nilai pembeda dengan daerah lain manakala memaknai kewenangan mengelola sumberdaya nasionalyangadapadawilayahnya.Euforiasemangatdesentralisasidanotonomi daerah oleh daerahdaerah lain, terutama daerah yang kaya akan potensi sumberdaya alamnyadi mana samasama menggunakan Pasal 10 ayat (1) UU No.22/1999sebagaibasispijakpembenarnyamemaknaiberwenangmengelola sebagai otoritas untuk berupaya semaksimal mungkin menarik manfaat sebesar besarnya dari sumberdaya yang tersedia bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmurandaerah.Itulahsebabnya,kemudianyanglebihbanyakterjadiadalah eksploitasi besarbesaranterutama oleh daerah di luar Jawaatas potensi sumberdaya alamnya demi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) tanpa

24

memperhatikan dengan cermat keselamatan fungsi ekologis serta keberlanjutan fungsisumberdayanya11. Namun demikian, bukanlah berarti bahwa pengambilalihan peran dan otoritas pusat oleh Wonosobo terjadi bukan tanpa penentangan (resistensi). Terdapat beberapa momentum yang bisa diketemukan, yang dapat ditengarai sebagai tonggak penentangan oleh pusat pada kasus ini. Tonggaktonggak penentangan tersebut terjadi sebelum dan menjelang, serta setelah keluarnya Perda PSDHBM. Sebelumdanmenjelangkeluarnyaperdaantaralain:munculnyaKeputusanKetua Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan SumberdayaHutanBersamaMasyarakat(PHBM)yangterbitpada29Maret2001 dan Keputusan Gubernur Jateng No. 24/2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat Di Propinsi Jawa Tengah yang keluar pada 26 September2001.12

Yang terjadi di lapangan, sebagai salah satu contoh sederhana adalah eksploitasi sumberdaya hutan,yaitupemberiankonsesiHakPengusahaanHutan(HPH)dalamskalakecil(50ribu100ribu ha)yangdiberikansecaraserentakolehhampirsemuapropinsidankabupatendiKalimantandan Sumatra. Terlebih ketika tindakan itu dibenarkan oleh pusat melalui keluarnya PP No. 6/1999 tentangPengusahaanHutandanPemungutanHasilHutanpadaHutanProduksi;yangkemudian belakanganditarikkembalimelaluiPPNo.34/2002tentangTataHutandanPenyusunanRencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan (Pasal 100); dan yang kemudiansudahdicabutjugamelaluiPPNo.7/2006tentangTataHutandanPenyusunanRencana PengelolaanHutansertaPemanfaatanHutan. 12 Perda PSDHBM Kabupaten Wonosobo No. 22/2001 disahkan pada tanggal 20 Oktober 2001. Nampak sekali agenda tersembunyi (hidden agenda) di balik diterbitkannya Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 24/2001, yaitu untuk mencegah keluarnya Perda PSDHBM mengingat proses inisiasi perda ketika itu telah berjalan cukup lamasejak tahun 1999dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan (multistakehoders) termasuk Perum Perhutani sendiri. Sementara teramat jelas bahwa kepentingan Perum Perhutani dimuatkan dalam keputusan gubernur tersebut mengingat bahwa substansi keputusan gubernur sama sekali persis dengan Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136/2001dan bertujuan memupus kehendak keluarnya perda
11

25

Pada pasca keluarnya perda antara lain: pertama, Bulan April 2002 Perhutani mengajukanpermohonanjudicialreview(PeninjauanKembali/PK)terhadapPerda No. 22/2001 kepada Mahkamah Agung RI.13 Meskipun hingga kini tidak pernah juga diketahui bagaimana hasil keputusan Mahkamah Agung atas permohonan tersebut. Kedua,MelaluisuratNo.1665/Menhut11/2002tanggal11September2002,Menteri KehutananmemintakepadaMenteriDalamNegeriagarmembatalkanPerdaNo. 22 Tahun 2001 dengan alasan bahwa ketentuan dalam Pasal 5 Perda tersebut bertentangandenganketentuanPasal5ayat(3)UUNo.41/1999danpasal2ayat (3) angka 4 huruf c PP No. 25/2000,14 karena yang berwenang menetapkan kawasan hutan negara termasuk hutan hak dan hutan adat berikut dengan perubahanstatusdanfungsinya,adalahPemerintah(pusat).

kabupaten melalui pendekatan hierarkis propinsi sebagai pemerintah daerah yang lebih tinggi serta merupakan perwakilan pemerintah pusat. Namun demikian, hal itu tidaklah menyurutkan niatanWonosobountuktetapmengeluarkanPerdaPSDHBM,lebihlebihkarenadiprovokasioleh wacana yang hangat pada masa itu di mana daerah kabupaten/kota dianggap merupakan titik utamaotonomidaerah.Bukanlahpropinsi. 13Nomorregisterperkara12P/HUM/2002. 14PPNo.25/2000tentangPembagianKewenanganantaraPemerintahPusat,PemerintahPropinsi danPemerintahKabupatenmerupakanaturanpelaksanaansetelahkeluarnyaUUNo.22/1999.PP tersebut mengundang kontroversi oleh sebab prinsip residualnya yang ternyata lebih banyak mengintroduksikewenangan pemerintah pusat dan pemerintahpropinsi, sementarakewenangan pemerintah kabupaten tidak lebih hanya sisanya; yang tidak disebutkan sebagai kewenangan pemerintah pusat dan propinsi. Kini peraturan tersebut juga telah dicabut (tidak berlaku)setelah keluarnya UU No. 32/2004 dan diterbitkannya PP pengganti yaitu PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten.

26

Ketiga,berdasarkanhasilkajiantimdanrekomendasiMenteriKehutanantersebut, tanggal 24 Oktober 2002 Departemen Dalam Negeri melalui Sekretaris Jenderal mengirim surat Nomor 188/342/2434/SJ kepada Bupati Wonosobo yang berisi permintaan agar bupati menghentikan pelaksanaan Perda PSDHBM, dan segera mengusulkan proses pencabutan kepada DPRD yang selambatlambatnya dalam waktu15harisudahharusdilaporkankepadaMendagri. Keempat, pada tanggal 11 Juni 2003 Pemerintah menetapkan PP No. 30/2003 tentang Perubahan PT Perhutani menjadi Perum Perhutanimenggantikan PP No. 14/2001 tentang Perubahan Perum Perhutani menjadi PT Perhutani. Dengan PP ini Pemerintah semakin menegaskan kembali mengenai pelimpahan kewenangannya kepada Perum Perhutani untuk menyelenggarakan pengurusan hutannegarayangterdapatdiProvinsiJawaTengah,JawaTimur,JawaBarat,dan Banten,kecualiuntukkawasanhutankonservasi.Sehinggasecaratidaklangsung inginmemperlihatkankembalikonteksotoritaspusatatashutandiJawaterhadap Wonosobo. Dan terakhir pada tahun 2005, pemerintah pusat yaitu, Mendagri melalui SK No. 9/2005mencabutdanmembatalkanberlakunyaPerdaPSDHBM. B. Permasalahan Pasca reformasi 1998 Indonesia memasuki babakan baru berkaitan dengan relasi kekuasaanpadadinamikadalamkehidupanbernegara.Babakanperubahandari iklim politik yang sebelumnya otoriter represif mengarah ke keadaan yang lebih

27

terbuka (liberal) dan demokratissalah satunyaadalah karakter yang utama. Hanya saja pada konteks peralihan (transisi), memang tidak jelas benar akan kemanabentukanbabakanbaruini(baca:perubahan)akandibawa.Dalambahasa
ODonnell dan Schimitter keadaan ini kurang lebih dilabeli sebagai fase transisi dari otoritarianismeentahmenujukemana.15Padafasetersebuttatananrelasiantaraktor

baik dalam negara maupun di luar negara masih diwarnai oleh tarikmenarik pemaknaanotoritassehinggapenuhdenganketidakpastian.Padakonteksinternal negara,desakandesentralisasiyangkemudiandirealisasikandenganperumusan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerahberbenturan dengan munculnya fenomena gerakan resentralisasi; yaitu PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dan puncaknya adalahmunculnyaUUNo.32/2004tentangPemerintahanDaerahyangmencabut sekaligusmenggantikanUUNo.22/1999. Tarikmenarik kewenangan pengurusan sumberdaya hutan hanyalah salah satu symptom dalam konteks ketidakpastian ini. Hirukpikuk konflik kewenangan, menuruthematsaya,mengemukasebagaikonsekuensidarifenomenafragmentasi kekuasaan dalam internal negara. Pembilahan pusat dan lokal menguat oleh karena tuntutan untuk menata ulang pola relasi yang lebih equal serta tidak bias pusat. Oleh sebab itu, dengannya menjadi relevan untuk memperluas pandang bahwakonflikyangterjaditidaklahsekedarsebataspadapersoalanadministratif kewenangan yangterumuskan olehkebijakanformal. Namunlebih dariitu,oleh karenasubstansipermasalahannyaberanjakpadawilayahpertarungankekuasaan
15

GuillermoODonneldanPhilippeC,TransisiMenujuDemokrasi:RangkaianKemungkinandan KetidakPastian,terj.NurulAgustina,LP3ES,Jakarta,2003.

28

yang sepintas direpresentasikan oleh kelembagaan formal negara: pusat dan daerah. Pertarungan kekuasaan dalam pengurusan sumberdaya hutan, yang dengannya kemudian memungkinkan guna dipahami mengenai sejauhmana kontekskontestasiinimembawamakna. Sementara itu, fenomena pemaknaan yang dilakukan oleh Kabupaten Wonosobo mengenai rentang jelajah otoritas pengurusan sumberdaya hutan melalui perumusan kebijakan lokal Perda PSDHBM adalah dinamika yang juga menarik. Kepekaannegarapadatingkatlokal(pemerintahandaerah)yangkemudiangayut dengan gerakan advokasi perubahan kebijakan publik pada level bawah masyarakat dan organisasi lokal non negara (civil society)saya memandangnya merupakanprototypehukumaspiratifyangtidaksematamatasekedarmerupakan persoalan legislasi formal (formal legislation). Discourse yang melibatkan berbagai stakeholderbaiksebagairepresentasiaktornegaramaupunnonnegarasehingga melahirkan konsep kebijakan pengurusan sumberdaya hutan lokal yang berbasis masyarakat memunculkan kecurigaan kuat mengenai adanya proses advokasi perubahankebijakanpublikyangsetidaknyacenderungdemokratis.Dinamika transaksional atas diskursus pengelolaan sumberdaya hutan dalam ruang publik lokal oleh berbagai elemen masyarakat yang tidak didominasi oleh negara, menurut hemat saya, merupakan gambaran yang terjadi dan berjalan dalam konstruksihukumlokaldisini.Danmanakalaadafenomenanegarapadatingkat lokal yang akomodatifyang bahkan juga terlibat dalam memfasilitasi proses advokasi perubahan kebijakanmaka menjadi pertanda baik bagi modal dasar demokrasi(lokal).

29

Dengan begitu, manakala realita ini diingkari oleh pemerintah nasional (negara pusat)melaluipembatalanPerdaPSDHBM,konteksupayamemahamikontestasi kepentinganpublikdalampengurusansumberdayahutanlokalWonosoboantara pusatdandaerahpascadesentralisasi,hematsayabisamenjadilebihrelevandan bermakna,manakaladicandramelaluirumusanpermasalahansebagaiberikut: 1. Bagaimana relevansi diskursivitas dan kontestasi kepentingan (publik) dalamprosesadvokasiperubahankebijakanlokalpengurusansumberdaya hutanWonosobo? 2. Sejauhmanademokrasitermaknaimelaluikeberadaandanperancivilsociety dalam konteks gerakan pembaruan kebijakan pengurusan sumberdaya hutanWonosobo? C. TujuanPenelitian Penelitianinimempunyaitujuanuntuk: 1. Menjelaskan relevansi pada dinamika diskursivitas dan kontestasi kepentingan (publik) dalam proses advokasi perubahan kebijakan pengurusansumberdayahutanlevellokal,Wonosobo. 2. Mencari tahu tentang sejauhmana gambaran demokrasi dan peran civil society, tampil dalam dinamika gerakan pembaruan kebijakan pengurusan sumberdayahutandiWonosobo. D. KerangkaPemikiran Relasikekuasaan,diskursusdankontestasikepentingan

30

Kekuasaan bisa dikatakan selalu ada (exist) dalam setiap konstruksi sosial. Terlepas apakah fenomena tersebut mewujud dalam bentuk yang paling kasat mata, atau entah ada dalam format yang bahkan sulit untuk dicandra melalui inderabiasa(fisik). Secara sederhana, saya memahami kekuasaan16 dalam rentang makna sebagai bentuk eksploitasi satu pihak terhadap pihak lain oleh karena adanya kekuatan (dengan atau tanpa ancaman) yang memungkinkan situasi tersebut terjadi. Ramlan Surbakti (1992), membahasakan kekuasaan yang diartikannya sebagai kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengankehendakyangmempengaruhi. Akan tetapi, jenis relasi yang bagaimanakah yang disebut relasi kekuasaan? Apakah setiap relasi merupakan kekuasaan? Menurut Johan Galtung (dalam I Marsana Windhu, 1992: 33), relasi yang represiflah yang disebut sebagai relasi kekuasaan. Pengandaian dasarnya adalah bahwa setiap pola relasi sosial merupakan relasi yang seimbang. Dengan demikian, kekuasaan menjadi nyata dalamrelasisosialyangtidakseimbang.Halinimengimplikasikanadayangkuat

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kuasa berarti kemampuan atau kesanggupan untuk berbuatsesuatu;kewenanganatassesuatuatauuntukmenentukansesuatu.Kemudiankekuasaan berartikuasauntukmengurusataumemerintah;kemampuan;kesanggupandankekuatan.Dalam bahasaInggris,istilahpowerbersinonimdenganforce,energy,strengthyangartinyasecaraumum kemampuan untuk mengerahkan segala usaha untuk mencapai tujuan; kemampuan untuk mempengaruhi sesuatu atau seseorang. Periksa I. Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan MenurutJohanGaltung,Kanisius,Yogyakarta,1992,hlm.32
16

31

dan ada yang lemah. Perlu juga ditambahkan bahwa selama belum ada relasi, kekuasaanitubelumlahterjadi.17 Karakter kekuasaan yang tidak melulu berupa eksploitasikekerasan secara fisikmengemuka melalui berbagai bentuk reproduksi wacana (diskursus) dan pengetahuan sedemikia rupa. Muara dari reproduksi tersebut berujung pada wacana yang dominan sehingga lantas dianggap sebagai satusatunya pilihan yang paling sahih dan benar adanya. Oleh karena itu, setiap kekuasaan senantiasa menghasilkan rejim kebenaran tertentu yang disebarkan melalui wacana. Pihak yang berkuasa menganggap sebagai yang paling benar dan yang paling berhak mengendalikan semua perilaku, gerakgerik, pemikiran, bahkan wacanayangberkembang.18Dengandemikian,makapadapengertianiniwacana tidak dapat dibiarkan bebas berkembang, melainkan harus selalu ada institusi yangberperanuntukmengarahkanbahkanmenguasainya.19 Di sisi lain, saya setuju untuk membenarkan bahwa kuasa bekerja melalui normalisasi dan regulasi. Oleh sebab itu, sesungguhnya konteks dominasi ini

I.MarsanaWindhu,Ibid,hlm.33 Dalam berbagai aspek kehidupan manusia, wacanasecaraumum tidak pernah netraldanlahir berdasarkan asumsi alamiah. Wacana pada dasarnya sengaja dibentuk dan dikondisikan oleh institusiinstitusi yang lebih dominan atas aspekaspek yang didominasinya. Menurut Foucault, discourse is political commodity, a phenomenon of exclusion, limitation, prohibition (Gordon, 1980: 25 dalam Moch. Jalal, Praktik Diskursif The Theory of Truth Michel Foucault dalam Konstruksi Simbolisasi Bahasa di Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia Unair, Surabaya, tidak diterbitkan, tanpatahun,hlm.3) 19Moch.Jalal,loccit.
17 18

32

bekerjauntukdanbahkanmenjadibersifathegemonik.20Konsephegemoni,tidak hanya menjelaskan dominasi politik lewat kekuatan (force), akan tetapi dominasi lewat kepemimpinan intelektual dan moral (intellectual and moral leadership) di dalam sebuah relasi yang kompleks di antara sebuah sistem kekuasaan dan berbagaielemensosial.21 Di dalam hegemoni, dapatlah dikatakan bahwa kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilainilai darikelompokyangberkuasa(therulingparty).Bahkandalammenerimanilainilai tersebut,kelompokyangdikuasai(dominated)seolahmenjalaninyasebagaisesuatu yang wajar sehingga ideologi kelompok dominan dapat menyebar dan dipraktekkan.22 Namundemikian,halinibukanlahberartibahwapraktekdominasitersebutakan selalu berjalan dan terjadi tanpa tentangan dalam relasinya. Tentu saja keteganganketegangan antara pihak yang menguasai dan dikuasai akan selalu

Hegemonibisadidefinisikansebagai:dominasiolehsatukelompokterhadapkelompoklainnya, denganatautanpaancamankekerasan,sehinggaideideyangdidiktekanolehkelompokdominan terhadapkelompokyangdidominasiditerimasebagaisesuatuyangwajar(commonsense).Antonio Gramsci, penggagas teori hegemoni (eugemonia), berpendapat bahwa tahapan sebelum terjadi hegemoni adalah dominasi (dominio). Periksa Yasraf A. Piliang, Minimalisme Ruang Publik: Budaya Publik di dalam Abad Informasi, sebagaimana mengutip Antonio Gramsci, dalam SunaryoHadiWibowo,RepublikTanpaRuangPublik,IREPress,Yogyakarta,2005. 21YasrafA.Piliang,Ibid,hlm.5 22 Ide dasarnya adalah, bahwa kelas penguasa memerintah tidak dengan kekerasan (atau dengan kekerasan sematamata) melainkan dengan persuasi. Persuasi ini bersifat tidak langsung: kelas yangdiperintahbelajarmelihatmasyarakatlewatcarapandangpenguasa,berkatpendidikandan juga posisi mereka dalam sistem masyarakat. Periksa Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, YayasanOborIndonesia,Jakarta,2001,hlm.128.
20

33

mewarnai bekerjanya praktek kekuasaan. Pada konteks keteganganketegangan (tentions) tersebut mengemuka, mengakibatkan munculnya pertarungan (kontestasi) sebagai bentuk perebutan pengaruh di antara para aktor dalam memperjuangkan kepentingan. Dengannya, ranah perjuangan dominasi ini menjadisangattergantungpadasituasi,sumberdaya,danstrategiaktor(pelaku).23 Parapihak(pelaku)dalamperjuangannyaakanselaluberusahamengubahaturan main (rule of game). Strategi ini terutama dipakai oleh mereka yang didominasi. Sedangkan pihak yang dominan (berkuasa) tentu saja lebih banyak memilih strategi perjuangan mempertahankan status quo atas kemapanan yang telah diraihnya,untukbilaperlumenguatkannya. Padakontekskehutanan,pembacaansayatentangrelasikekuasaanberkisarpada bekerjanya kekuasaan melalui tradisi pengelolaan sumberdaya hutan yang menyejarahdengannegarasebagaiaktoryangdominan.Konsepsihakmenguasai oleh negara atas seluruh bumi, air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat24 menjadi landas justifikasi (wacana) bagaimana negara ditempatkan pada posisi yang strategis dalam melakukan kontrol atas penggunaan/pemanfaatan sumberdaya alam (hutan),termasuksegalabentukhubunganhukum(baca:aturanmain)yangboleh

Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, Majalah BASIS Tahun ke52, NovemberDesember2003,hlm.11. 24Selaindisebutdidalamkonsitusi(UUD45),jugaditegaskanpertamakalididalamUndang undangPokokAgraria(UUPANo.5/1960).Padamasakolonial,konsepsiinidikenalsebagaiasas domein verklaringdalam Agrarisch Wet 1870dimana negara menyatakan bahwa semua tanah (lahan)yangtidakdapatdibuktikankepemilikannya,makamerupakantanah(milik)negara.
23

34

berjalan. Melalui perjalanan kesejarahan pula kemudian negara memproduksi bentukbentuk normalisasi dan regulasi pengelolaan sumberdaya hutan yang paling benar, termasuk klaim tentang kehutanan akademik yang dianggapnya palingilmiah25dantepatsebagaistrategipengelolaanhutan. Dalam paradigma kehutanan berbasis negara tersebut, pemisahan tegas antara sistem kehutanan dengan entitas sosial merupakan prasyarat utama, di mana kemudiansekaligussesungguhnyakonflikkehutananmenjadibermula.Demikian pertarungan oleh karena penentangan demi penentangan (resitensi) kemudian munculmenyertaipengelolaansumberdayahutan.Kadangkadang,penentangan seharihari kemudian berubah menjadi perlawanan terbuka atau semacam gerakansosial.26 Pada studi ini, konteks pihak (pelaku) dalam pertarungan pengurusan sumberdaya hutan tersebut, saya mencobanya untuk memilah pada wilayah (locus) internal negara sendiri, dan wilayah negara dengan masyarakat. Pada wilayahinternalnegara,keteganganantar pelakuyangterjadimelibatkannegara pada level pusat (pemerintah pusat dan Perhutani27) dengan negara pada level

MenurutHaryatmokosebagaimanamengutipFoucault(MengarahkanOpiniPublik,Kompas 2 Februari 2009)status ilmiah merupakan cara kekuasaan memaksakan pandangannya kepada publiktanpamemberikesanberasaldaripihaktertentu. 26PeterBurke,Ibid,hlm.132. 27 Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara (state enterprise) yang berdiri sejak 1972 yang mewarisimanajemenpengelolaansumberdayahutanJawamelaluinasionalisasibekaspengelolaan oleh pemerintah kolonial (pasca kemerdekaan). Secara kronologis, kebijakan yang melandasinya berturutturutadalahPPNo8/1953tentangPenguasaanTanahtanahNegaraterutamaPasal2dan Pasal10danUUPokokKehutananNo.5/1967Pasal5ayat(1)yangmembenarkanbahwakawasan hutan (di Jawa) telah dikuasakan kepada Perusahaan Jawatan Kehutanan Negara. Kemudian
25

35

lokal(pemerintahandaerah),lebihlebihsetelahdesentralisasi.Sementaraitupada aras wilayah negara dan masyarakat, pertarungan mengemuka antara Perhutani (baik pada pada struktur pusat maupun lokal) dengan masyarakat petani hutan bersamadengansejumlahorganisasinonnegara(LSM)dilainpihak. Diskursivitaspublikpadakonteksadvokasi28kebijakanyangdemokratis Kekuasaan disusun, dimapankan dan diwujudkan melalui wacana dan pengetahuan tertentu. Secara konkrit, pelembagaan lewat normalisasi dan regulasi. Oleh sebab itu, pada konteks ini saya memandang hukum (sebagai

PenyerahankekuasaanatashutankepadaPNPerhutanimelaluipenetapanPPNo.15/1972,yang kemudiandiperbaruidenganPPNo.2/1978berikutPPNo.36/1986yangmelimpahkankekuasaan kepada Perum Perhutani Unit I (Jawa Tengah), II (Jawa Timur) dan III (Jawa Barat). Pada era reformasi,seiringkuatnyatekananatasmodelkelolahutanJawaolehPerumPerhutani,kemudian munculPPNo.53/1999tentangPerusahaanUmumKehutananNegara(PerumPerhutani)dimana makin menekankan bahwa secara manajemen tunduk pada kebijakan tentang badan usaha milik negaranamunsecarateknismerujukpadabirokrasikehutanandibawahdepartemenkehutanan. Pada tahun 2001 muncul PP No. 14/2001 tentang alih status dari Perum Perhutani menjadi PT. (Persero)Perhutani,yangbelakangankemudiankembalilagimenjadiperusahaanumum(perum) melalui keluarnya PP No. 30/2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani). Pembacaan umum atas keberadaan Perum Perhutani ini juga menyiratkan bahwa karakter kolonial juga diwarisi olehnya oleh sebab ciri dalam pendekatan pengurusan yang dilakukannyayangtetapbersifatsentralistik,tertutupdanmonopolistik. 28 Berbeda dengan istilah advokasi yang digunakan dalam bidang hukum, yang secara spesifik memaknakan advokasi sebagai upaya memperjuangkan hak (kepentingan) pihak dalam konteks pertarunganhukum(legalbattle).Baikyangbersifatlitigasi(didalamlembagapengadilan)maupun nonlitigasi (di luar lembaga pengadilan). Terminologi advokasi dalam hal ini, dikenakan pada kontekssebagaiprosesikhtiar(upaya)memperjuangkanperubahankebijakankearahyangsesuai dan dicitacitakan oleh semua pihak. Dengan demikian, tentu saja arah yang sesuai dan dicita citakan oleh semua pihak adalah sejauh mana kepentingan mereka dapat diakomodir oleh kebijakan yang bersangkutan. Oleh karenanya, dapat saja bahwa ikhtiar memperjuangkan kepentingan ini, melalui kebijakan tersebut, menjadi merugikan (menegasikan) satu sama lain di antarapihakyangberkepentingan.Namun,hematsaya,istilahadvokasikebijakanyangdimaksud dalam hal ini, secara tendensius, mengarah pada proses ikhtiar/upaya perubahan kebijakan yang lebihadildandemokratis.

36

aturan main) menjadi sangat penting karena relasi kekuasaan di dalamnya menjadimemungkinkanterbaca,padasejauhmanatercermin. Pada wilayah para aktor memahami hukum (kebijakan) sebagai ranah pelembagaan normalisasi kekuasaan, dengannya menguat pula ketegangan kepentingan dalam rangka saling mempengaruhi dan mewarnai karakter kebijakan yang bersangkutan. Dari sisi pihak yang dominan, maka orientasi kepentingannya mengarah pada upaya memelihara dominasinya dengan mempertahankan status quobahkan bila perlu memodifikasinya agar lebih kuat dominasinya. Sementara itu, di lain pihak (kelompok yang didominasi) dihadapkanpadapilihanberupayamenuntutperubahanataskondisidanrealitas, dengandemikianmelaluigagasandanaturanmainyangbaru. Dalam membaca kebijakan sebagai ranah kontestasi (dengan membawa konsekuensimunculnyaketeganganketegangankepentingan)tersebut,makasaya rasa penting untuk mengemukakan bahwa konteks pergulatan pembentukan kebijakan mengindikasikan ada tidaknya debat publik yang memadai. Jika demikian halnya, maka menjadi relevan untuk mengajukan pertanyaan apakah proses yang berlangsung dan terjadijika dia memang sebuah fair kompetisi melibatkan peran publik, melalui diskursivitas sedemikian rupa, atau sekedar pemaksaan aspirasi sepihak, melalui manipulasi opini dan sebagainya, oleh kelompokyangdominan(berkuasa)?

37

Debat publik, saya kira, hanya memungkinkan manakala ruang publik29 (sebagai media)relatifmencukupi.Ruangpublik(publicsphere)dalampengertiannyayang umum adalah ruang tempat berbagai kepentingan publik bertemu, yang di dalamnya terbentuk otoritas publik (public authority).30 Sementara lain, menurut Mickael B. Hoelman (2005) sebagaimana mengadaptasi Zygmunt Bauman (1999), secaralebihdetailmencobamenguraikankonsepruangpubliksebagaitempatdi mana sumbersumber daya yang memunculkan energi, diefektifkan dengan menghubungkannya kepada upayaupaya untuk membawa kekuasaan kembali, kedalamsesuatuyangdapatterkelolasecarapolitis.Apayangdimaksudsebagai sumbersumber daya yang memunculkan energi di sini, ialah ketika anggota masyarakat memperdebatkan nilainilai mereka serta mendiskusikan hukum hukumyangdiperuntukkangunamenuntunmereka.31

RuangpubikyangdiintroduksiolehHabermas,secarakesejarahanmunculsekitarawalabadke 18 dalam komunitas borjuis. Ruang publik borjuis tersebut digambarkan sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan pribadi dari individuindividu dalam kehidupan keluarga dengan tuntutan serta kepentingan kehidupan sosial dan publik dalam konteks kekuasaan negara. Tujuannya, mengatasi perbedaanperbedaan dalam berbagai kepentingan dan pendapat pribadi itu,danakhirnyamenemukankepentinganumumsertakonsensusbersama.Ruangpublikterdiri dari organorgan penyedia informasi dan perdebatan politis seperti surat kabar dan jurnal; termasuk ruang publik adalah juga lembagalembaga diskusi politis seperti parlemen, klubklub politik, klubklub sastra, perkumpulanperkumpulan publik, rumah minum dan warung kopi, balaikota,dantempattempatpubliklainnyayangmenjadiruangterjadinyadiskusisosialpolitik. Di tempattempat itu, kebebasan berbicara, berkumpul, dan berpartisipsi dalam debat politik dijunjungtinggi.PeriksaB.HariJuliawan,RuangPublikHabermas:SolidaritasTanpaIntimitas, MajalahBASISNo.1112,Tahunke53,NovemberDesember2004,hlm.3233. 30YasrafA.Piliang,hlm.3. 31 Mickael B. Hoelman, Konstruksi Pengetahuan dalam Perlawanan Masyarakat Desa Sekitar Hutan terhadap Perum Perhutani: Studi Kasus Desa Temulus, Randublatung, Blora, tesis S2 ProgramStudiIlmuPolitik,PascaSarjanaUniversitasGadjahMada,Yogyakarta,2005,hlm.17.
29

38

Olehsebabitu,prinsipprinsipbagimemadainyaruangpubliktersebutjugaharus terpenuhi,yaituapabilamelibatkansuatudiskusiterbukatentangsemuaisuyang menjadi keprihatinan umum (publik), di mana argumentasiargumentasi yang diskursif digunakan untuk menentukan kepentingan bersama (kolektif). Ruang publik dengan demikian mengandaikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, serta hak untuk secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan.32 Karenanya, kepublikan (publicity) yang terjadi dalam ruang publik dengan sendirinya menjadi mengandung daya kritis terhadap prosesproses pengambilan keputusan yang tidakbersifatpublik.33 Sementara lain, saya kira, penting juga guna ditegaskan bahwa publik adalah bukan sekadar sekumpulan orang yang didorong sikap atau kepentingan saja. Merekaterciptaberkatwacanayangmenyatukandenganmenyesuaikanopininya. Lalu terbentuklah publik yang mengenali diri sebagai anggota kelompok yang lebih kurang sama. Oleh karena itu, opini yang terbentuk sesungguhnya merupakan proyeksi bagi suatu bentuk perubahan ke depan.34 Menurut Haryatmoko,publikdimengertisebagaibentukkoordinasikolektifyangmemiliki tiga hal. Pertama, identitas yang lebih kurang sama; kedua, setuju atas diagnostik masalah(sebab,tanggungjawab,danpemecahan);ketiga,ikutterlibatuntuksuatu

Konsep ruang publik yang diangkat Habermas adalah ruang bagi diskusi kritis, terbuka bagi semua orang. Pada ruang publik ini, warga privat (private people) berkumpul untuk membentuk sebuahpublik,dimananalarpubliktersebutakanbekerjasebagaipengawasterhadapkekuasaan negara. 33B.HariJuliawan,Ibid,hlm.33. 34Haryatmoko,MengarahkanOpiniPublik,Kompas2Februari2009
32

39

upaya kolektif.35 Atau dengan istilah lain, saya kira, dapat dibahasakan sebagai sekelompokorangyangdihadapkanpadasuatupermasalahan,berbagipendapat mengenai cara pemecahan permasalahan tersebut, dan terlibat dalam diskusi mengenaipersoalanitu. Prosesdiskursif dalam pembentukanopini dankehendakdiruang publik makin terjaminbiladiletakkandiatasbangunanstrukturpolitikdanhukum.Olehkarena itu, ruang publik tidak sekedar mendeteksi persoalan, tetapi juga memperkuat tingkat kemendesakan dari persoalanpersoalan beberapa tersebut dengan solusi, cara

merumuskannya,

menyodorkan

kemungkinan

bahkan

mendramatisasi persoalan supaya ditangkap oleh otoritas politik. Habermas dalam B. Hari Setiawan menyatakan bahwa, Ruang publik lebih tepat digambarkan sebagai suatu jaringan untuk mengkomunikasikan informasi dan berbagai cara pandang ...; arusarus informasi, dalam prosesnya, disaring dan dipadatkan sedemikian sehingga menggumpal menjadi simpulsimpul opini publik yang spesifik menurut topiknya. Harapannya, opini publik akan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam struktur politik dan hukum yang mapan.36 Konteksadvokasi(perubahan)kebijakan,padawilayahinisayakira,menemukan simpul relevansinya ketika opini publik dibaca mempunyai kekuatan dalam mempengaruhi terbentuknya hukum (regulasi/aturan main) yang lebih aspiratif. Dalam teori demokrasi deliberatif, mengusung poin penting bukan pada jumlah
Haryatmoko,Ibid. B.HariJuliawan,Ibid.

35 36

40

kehendak perseorangan maupun bukan juga kehendak umum yang menjadi sumber legitimasi, melainkan pada proses pembentukan keputusan politis yang selalu terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan diskursifargumentatif di mana opini publik memegang peran penting. Oleh karenanya, sekali lagi ingin menegaskan bahwa pengambilan keputusan yang dilakukan manakala terdapat proses deliberasi (pertimbangan/konsultasi) secara fairdi mana alasanalasan untuk keputusan publik harus diuji secara diskursif dan publik lebih dahulu maka sesungguhnya barulah bisa dikatakan mempunyai legitimasi. Dengan kata lain, demokrasi deliberatif adalah suatu proses perolehan legitimitas melalui diskursivitas.37 Demikianlah hakekat demokrasi. Sebagaimana konteks peran dan partisipasi rakyat yang tidak hanya berkutat dan beranjak pada ranah prosedural yang (sepintas) mengasumsikan bahwa terpenuhinya prosedur mekanisme pelibatan rakyat sudahlah mencukupi. Dalam konteks itu maka, kontrol rakyat terhadap keputusan publik dan kesetaraan politik menjadi dua pilar nilai yang lain dalam proses berdemokrasi. David Beetham menggambarkannya sebagai pentingnya equal right of citizen to a voice in public affairs yang dikaitkan secara timbalbalik dengan civil and political rights and liberties serta institution of representative and accountable government.38 Kesetaraan hak politik dalam diri warga akan mendorongnya untuk turut mewarnai proses politik yang menyangkut kepentingan dirinya. Dengan begitu juga, kebebasan dan hak politik serta sipil

F. Budi Hardiman, Demokrasi Delibartif: Model untuk Indonesia PascaSoeharto?, Majalah BASISNo.1112,Tahunke53,NovemberDesember2004,hlm.18 38DavidBeetham,DemocracyandHumanRights,PolityPress,MaldenUSA,2007,hlm.92.
37

41

oleh warga dapat juga mendorong bagi munculnya gugatan publik terhadap malpraktekpenyelenggaraanpemerintahandankekuasaannegara.
Bagan. 1. Relasi Demokrasi, Kelembagaan dan Kontrol Publik
Equal right of citizens to a voice in public affair

Civil and political rights and liberties

Institution of representative and accountable government

Democracy: Rights and Institutions (diadopsi dari Beetham, 2007)

Padastudiini,kontekstualisasidiskursivitaspubliklebihkurangdapatditelusuri dalam proses perumusan Perda Kabupaten Wonosobo No. 22/2001 tentang PSDHBM. Secara spesifik, penting untuk melihat tentang sejauh mana klaim diskursivitaspublikcukupmewarnaidalampengambilankeputusunpolitisketika itu, sehingga menghasilkan kebijakan yang relatif aspiratif merefleksikan opini dan kehendak kelompok petani hutan setempatdengan demikian diskursivitas publik mampu berkontribusi dalam menentukan substansi kebijakan yang berpihaknamundisisilaintidakmemenuhikeinginannegara(padalevelpusat); yaitu Departemen Kehutanan dan Perhutani, di mana masih berhasrat mempertahankanpraktekdominasinyaataspengurusansumberdayahutan. Sebaliknya,sayakirajugapentinguntukmelihattentangseberaparelevanketika pengambilan keputusan politis dilakukan tanpa melalui proses yang melibatkan public discursivities ini kemudian menghasilkan karakter kebijakan yang tidak aspiratif(berkarakterrepresif).DalamkonteksinilahmunculnyaSKMendagriNo.

42

9/2005 tentang Pencabutan Perda PSDHBM saya kira, sedikitnya dapat merefleksikan akan fenomena itu. Pada wilayah ini sekaligus pula akan menampakkan, bahwa keluarnya kebijakan tersebut bukanlah berarti tidak memunculkan kegelisahan baru. Posisi kekosongan hukum pasca pembatalan perdadankemudiandiikutidengankompromiPerhutaniUnitIJawaTengahdan Bupati Wonosobo melalui Surat Keputusan Bersama, menjadi menarik, oleh karenanya konflik (kehutanan) lama seolah menjadi nirkontestasi (pertarungan), di bawah bayangbayang melemahnya energi gerakan di kalangan civil society dalampilihanstrategikolaborasimultipihak. E. MetodePenelitian Periodisasi(lingkuppenelitian) Penelitian ini akan melihat pada dua episodesebagai ruang lingkupdi mana keduanya adalah masa setelah desentralisasi (pasca 1999); yaitu pada masa advokasikebijakanpubliklokalyangmenghasilkanPerdaPSDHBM(tahun2001) danmasapascapencabutanPerdaPSDHBM(tahun2005dansetelahnya). Sifatpenelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif dengan pendekatan emansipatoris.Penelitimerupakanpihakyangpernahterlibatsecaralangsungdi dalam fenomena yang diteliti, sebelum kemudian me(re)konstruksi sedemikian rupa gambaran (deskripsi) realitas sosial yang dihadapinya. Dengan begitu, subjektivitas nilai bisa jadi membawa pengaruh di dalam pembacaan atas fenomena yang bersangkutan. Di tengah ikhtiar untuk tetap objektif di dalam

43

upaya menggambarkan secara akurat, membaca serta menginterpretasikan maknamaknadariberbagaifenomenayangterjadidalamkonteksperistiwasosial yang berasangkutan. Sebagai studi kasus, penelitian ini berupaya melukiskan keutuhan (wholeness) dari target/sasaran yang diteliti. Oleh karenanya, data dan informasiyangdikumpulkandalamrangkastudikasustersebutdipelajarisebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi (dan mendalam) untuk kemudian dinarasikan. Lokasipenelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Wonosobo di mana merupakan locus dari dinamika kontestasi kepentingan dan kewenangan pengurusan sumberdaya hutandalamkonteksini.LokasidifokuskandiWonosobodisampinglebihkarena peneliti berharap bisa merekonstruksi peristiwaperistiwa silam secara lebih jelasmelalui klarifikasi, cross check, dan konfirmasi dengan pihakpihak yang terlibat ketika itujuga guna mengup date data dan informasi dari peristiwa belakangan (masa pasca Perda PSDHBM dibatalkan pada 2005hingga sekarang) dimanapenulistidaklagimengikutisecaraintensifdinamikatersebut. Skopeanalisis Lingkup analisis dalam penelitian ini adalah pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hutankhususnya di Wonosobobaik yang sifatnya individualmaupuninstitusionalyangterlibatketikaitu,dansekarang.Padalevel negara, maka pemangku kepentingan dalam hal ini adalah pertama, pemerintah pusat dalam hal ini Perhutani Unit I Jawa Tengah, khususnya Kesatuan PemangkuHutan(KPH)KeduUtaradanKeduSelatan;kedua,pemerintahdaerah

44

yaitu Dinas Kehutanan Kabupaten Wonosobo, serta Komisi B DPRD Kabupaten Wonosobo.Padalevelcivilsociety,39pemangkukepentingandalamhalinidiwakili oleh Lembaga ARuPA (Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam) Yogyakarta, Koling (Konservasi Lingkungan) Wonosobo, dan Sepkuba (Serikat Petani Kedu danBanyumas). Teknikpencarian,jenisdansumberdata Pencarian dan pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini ditempuh melalui kajian pustaka/dokumen dan wawancara terhadap narasumber yang bersangkutan. Kedua bentuk teknik pengumpulan data dan informasi ini dilakukan guna bisa saling melengkapi satu dengan yang lain manakala dipandang perlu mendalami peristiwa yang terjadi sehingga didapatkan pemahaman yang cukup untuk mengungkapkan bangun logika atas fenomena yangditeliti.Sementarajenisdansumberdatayangdigunakanadalah: 1. Data Primer, merupakan data yang didapat dari sumber dan

informan/narasumber kelembagaan.

pertama

yaitu

individu/perseorangan

2. Datasekunder,merupakandataprimeryangsudahdiolahlebihlanjutdan disajikan oleh pihak lain. Data sekunder ini salah satunya dapat berupa hasilpenelitian.

Civil society, dalam hal ini dibatasi pada pemahamannya dalam konteks asosiasional (organisasi/kelembagaan) yang secara sukarelaanggotaanggotanya secara voluntary terikat dalam nilainilai civility (bond of civility)bekerja untuk mewujudkan visi penguatan sosial, di hadapannegara,sertabersifatnirlaba.
39

45

Teknikpengolahandananalisisdata Keseluruhan data dan informasi yang didapatkan selanjutnya diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif melalui reduksi data, penyajian secara logis dansistematis,sertakemudianmenyimpulkannyasecarainduktif. F. SistematikaPenulisan Dalam penelitian ini, penulisan dimulai dengan pendahuluan (Bab I), yang menguraikan mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan studi, kerangka pemikiran, metode yang digunakan dalam studi ini, serta sistematika penulisan. Selanjutnya pada Bab II, mencoba menguraikan konteks strukturasi penguasaan hutan Jawa, dari sudut pandang kesejarahan, konsekuensi birokrasi kehutanan Jawa,daneksistensiWonosoboberkaitandengantopikyangmengemukasebagai temastudi. PadaBabIII,berceritatentangdinamikadiskursivitasdankontestasikepentingan yangterjadidalamruangpubliklokalWonosobo.Babinidimulaidenganpaparan mengenai duduk perkara PSDHM dan PHBM. Kemudian cerita tentang latar belakang dan konteks bagaiamana Wonosobo memaknai jelajah otoritas atas pengelolaansumberdayahutandiwilayahnya.Selanjutnyaruangkontestasiyang menghasilkan perda, dari mulai proses inisiasi, substansi gagasan dalam perda dan konsekuensinya, dan hingga ketika Jakarta berikrar untuk menganulirnya.

46

Dalam Bab III ini pula, kemudian ditutup dengan uraian mengenai bentuk kompromi antara Wonosobo dan Perhutani, sebagai satu bentuk bertemunya negosiasi kepentingan, yang mana sesungguhnya dalam kaca mata lain saya mencandranyasebagaimanifestasiketidakpercayaandiriWonosobo. Lantas Bab IV, mencoba mengisahkan tentang adanya gelagat demokrasi dalam dinamika perubahan kebijakan kehutanan lokal Wonosobo, di samping mengungkap peran civil society(LSM) pada konteks itu. Dimulai dengan hakekat kebijakan publik semestinya adalah agenda rakyat (publik), untuk kemudian memberikan justifikasi terhadap proses advokasi Perda PSDHBM sebagai fenomena yang telah mengukuhkan makna demokrasi (deliberatif). Lantas dikaitkan dengan pengungkapan peran dan keberadaan civil society (LSM) dalam rangkaian cerita senjakalaning civil society, yang berkisah tentang perjalanan strategi gerakan yang ditempuh oleh LSM (khususnya ARuPA), latar belakang, konsekuensi dan pengaruhnya terhadap upaya perubahan sosial (relasi masyarakat dan negara). Kemudian ditutup dengan upaya tentang bagaimana gerakandankontribusiLSMdiWonosobosekarang,denganmembacanyasebagai masihadaharapanditengahenergiyangsemakinmenipis. Terakhir, Bab V, rangkaian penulisan studi ini ditutup dengan kesimpulan dan refleksi. Dalam Bab Penutup ini, mencoba mengungkap hikmah/makna (lesson learned)yangdapatdipetikkedepan,untukfenomenafenomenaserupa.

47

BABII
SKETSASTRUKTURASIPENGUASAANHUTANJAWADAN(DI DALAMNYA)WONOSOBO
Boleh jadi orang mencemooh kemiskinan kami. Namun, manakala kami memilih lahan hutan sebagai sandaran untuk bertahan, itu-pun otoritatif sikap setia kami. Meski intimitas hutan dan kami, toh sesungguhnya telah dipaksa koyak. Oleh sebab keterlanjuran sejarah yang tidak memihak, di mana kami tidak punya pilihan untuk menolak. (kesah komunitas pinggir hutan Jawa) SepintasmungkinkitaakanmengafirmasipandanganbahwadalamhutandiJawa sudah tidak ada persoalan. Kemiskinan yang mendera petani dan masyarakat sekitar hutan seolah takdir karena alam sebagai media yang mereka huni memanglah tidak banyak memberikan harapan. Namun, benarkah demikian? Apakah fenomena sosial pinggir hutan adalah keadaan normal dan alamiah? Pencermatan sepintas ini dengan sangat rapi diwacanakan dan disuguhkan oleh rejim Orde Baru dalam kurun waktu kuranglebih 3 dekade lamanya. Dan manakala kita dihentakkan oleh fenomena aksi sosialyang diiringi dengan penjarahan dan kekerasanterhadap sumberdaya lahan dan hutan pada medio 1998(bahkansecarasporadismasihterjadihinggakini),barulahkitasadarbetapa sesungguhnyaperistiwaituhanyalahsekedarpuncakdariekskalasikonfliksosial kehutanan.Denganbegitu,sesungguhnyapatutlahkitaberanggapanbahwapada dasarnya kehutanan Jawa menyimpan bara api sengketa (laten) yang berkepanjangan,yangbahkanmungkinabadidantakterselesaikan.40

Bahkan terdapat pendapat sinis yang menyatakan bahwa satusatunya produk yang berhasil dilestarikandalampengelolaanhutanJawaadalahkonfliknya.Adaberbagaimacamkonflik,yang paling sering terjadi adalah akibat pencurian kayu, masalah agraria, dan tindakan represif dari
40

48

Carapandangataskonteksfenomenasosialkemiskinandimanateramatsering dituduh sebagai akar persoalan kerusakan hutan dan konflik kehutananpada dasarnyamembilahpadaduaperspektifbesaryangsalingbertolakbelakang.Satu sisi, cenderung melihat fenomena kemiskinan sebagai persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahankelemahan dan/atau pilihanpilihan individu yang bersangkutan. Sedemikian, maka kelemahankelemahan pribadi menjadi sebab serta alasan utama atas timbulnya fenomena kemiskinan. Malas, pasrah, bodoh dan terbelakang, sehingga menjadi relevan ditempatkannya sebagai tuduhan pertama yang dihadapkan manakala tawaran solusi ingin mencandra sebab persoalanyangbersangkutanterjadi.41 Sementara itu di sisi lain, memandangnya bahwa kemiskinan bukan sebagai persoalan individual, melainkan persoalan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam struktur sosial masyarakat akibat tersumbatnya aksesakses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber sumberkemasyarakatan.42Olehsebabitu,ketimpanganstrukturekonomi,politik

pengelola hutan. Konflik paling mendasar adalah persoalan tenurial. Tepatnya pada pertanyaan pokok, Atas hak apa dan mandat siapa orangorang ini menguasai hutan yang sebetulnya bisa kami kelola demi kesejahteraan kami? Mengapa kami tak pernah diajak bicara soal pengelolaan hutan ini? Dikutip dari Rama Astraatmaja, Seputar Hutan Jawa, makalah diakses pada http://arupa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=59&Itemid=39 pada tanggal 4 Mei2009. 41 Di mana dalam konteks kehutanan Jawa, cara pandang ini yang selalu mendasari setiap pengambilankebijakandalampengelolaanhutanolehnegara(PerumPerhutani),tanpamenyadari bahwamerekalahyangsesungguhnyajugamerupakanbagiandaripersoalanitusendiri. 42 Edi Suharto, Konsep dan Strategi Pengentasan Kemiskinan Menurut Perspektif Pekerjaan Sosial, makalah dipublikasikan pada http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_13.htm, diaksespadatanggal4Mei2009.

49

serta ketidakadilan sosial, sesungguhnya merupakan konteks yang lebih relevan guna diduga sebagai biang keladi utamanya. Pada wilayah ini, maka pada hakekatnya peran negara sebagai institusi pengemban fungsi untuk menyejahterakan rakyat adalah jawabannya. Sehingga manakala fenomena kemiskinan tersebut muncul ke permukaan, menjadi pantas untuk dicuriagi mengenaihaladanyakesalahanpadaperandanfungsinegara. DiJawa,terdapatkuranglebih5.690desayangeksisdanbersinggungan(bahkan bertampalan) dengan kawasan hutan negara. Dalam desa tersebut, kurang lebih dihuniolehsekitar35jutajiwapendudukyangbergantunghidupnyadarihutan. Sekitar 3035 persen dari jumlah penduduk tersebut (10,512,25 juta orang) merupakanpendudukmiskin.43Faktorutamayangmenyebabkantingginyaangka kemiskinan ini, disebabkan karena tidak adanya akses yang memadai dalam pengelolaanlahandanhutan.44 Berangkat atas fakta itu, sedemikian saya memandang konteks struktural yang sesungguhnya lebih tepat merupakan faktor utama. Struktur penguasaan dan pengelolaansumberdayahutandengandemikianmerupakandinamikasosialdan politik, karena pada hakekatnya relasi kekuasaanlah yang banyak berpengaruh danmewarnai.Padawilayahini,konseptualisasihutansebagaisumberdayayang
Data dikutip dari pernyataannya San Afri Awang, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM dan Ketua Pusat Kjian Hutan Rakyat FKt UGM, disampaikan dalam Diskusi Hutan Kemasyarakatan, Jakarta 19 Agustus 2006, diakses dari http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2006/08/19/brk,2006081982218,id.html, tanggal 4 Mei 2009. 44PetanihutanJawarataratahanyamenguasai0,2halahan.Padahalidealnyasetiappetanihutan palingtidakmenguasai0,5halahanuntukmengentaskanmerekadarigarisbataskemiskinan.
43

50

bersifat politiskarena diperebutkan/contestedmelalui penentuan siapa boleh berbuatapa,sertasiapabisamendapatkanapadalaminstrumenkebijakanformal negara, adalah akar persoalannya; yaitu konflik bermula. Meskipun, ironinya kemiskinan yang justru lebih sering ditempatkan sebagai kambing hitam atas perkaramakinterdesakdanrusaknyahutanJawa. Studi terkait dengan konflik kehutanandan juga kemiskinan salah satunya dalam pengelolaan hutan Jawa secara komprehesif bisa kita cermati melalui karyanya Nancy Lee Peluso (1992) dalam Rich Forest, Poor People. Selain itu, ARuPA(2004)45telahpulamelakukanhalserupa,meskipunlebihspesifikmelihat kasusRandublatungdanWonosobomelaluiKonflikHutanJawa.Dalambabini, agartidakterkesansekedarmengulangkajianyangpernahdilakukandalamdua studitersebut,pembahasanmembatasipadaranahsketsastrukturasipenguasaan (dan pengelolaan) kehutanan Jawa melalui latar belakang singkat kronologis kesejarahan, struktur birokrasi kehutanan Jawa yang istimewa, serta kontekstualisasi dilema Wonosobo di dalamnya. Dengan demikian, sejak semula dalam pembahasan pada bab ini akan menghindari detail, khususnya dalam kronologis kesejarahan penguasaan hutan Jawa, dan lebih melihatnya sebagai narasiawalpembahasandinamikalokalitaskehutananuntukbabbabselanjutnya. A. SettingKekuasaandalamPengelolaanKehutananJawa PerkarapengelolaanhutandiJawa,secarakesejarahansudahsangatlamaberjalan. Jauh sebelum berdirinya institusi negara (modern) Indonesia, praktek eksploitasi
StudikolaboratifyangdilakukanbekerjasamadenganICRAFSEAdanFordFoundataion,tidak diterbitkan.
45

51

hutan telah melembaga dalam bentuk ritus menambang kayu guna memenuhi kebutuhan bahan baku industri kapal kayu oleh pengusaha Cina dan Eropa, di sepanjang pantai utara Pulau Jawa pada abad ke17 dan 18 silam. Hingga pada akhir abad ke18yaitu setelah kurang lebih 200 tahun eksploitasiancaman kerusakan hutan (alam) jati, baru memunculkan kesadaran penguasa kolonial di HindiaBelanda untuk secara serius mengagendakan pengurusan hutan. Karena itu, ketika pemerintah kolonial kemudian mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di HindiaBelanda pada awal abad ke19tepatnya pada tanggal 14 Januari 1808salah satu tugas yang dibebankan kepadanya adalah merehabilitasi kawasaan hutan melalui kegiatan reforestasi pada lahan lahan hutan yang mengalami degradasi serius.46 Namun demikian, toh sesungguhnya hal ini terutama tidaklah lebih sekedar untuk mengantisipasi pemenuhan bahan baku industri perusahaanperusahaan kapal kayu yang bersumberasaldarikawasanhutan. Konteks keseriusan menerapkan manajemen kehutanan Jawa ini, membawa konsekuensinegaraisasikawasanhutanmelaluipenerbitankebijakankebijakan formal a la negara sebagai landas justifikasi di dalam relasi penguasaan. Dengan begitu, model pengelolaan melalui pendekatan pengurusan yang sentralistik dan tertutup,dimanapemerintahmemegangperansebagaipenguasatunggal,adalah karakteryangmelekatdalammanajemenkehutanansepertiitu.

46

I Nyoman Nurjaya, Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia, Diskusi Terbatas PelatihanHukumSumberdayaAlam,HuMAdanELSAM,Bogor2000.

52

Melalui model yang dikembangkan di Jerman pada abad ke18 sebagai acuan, pembangunan hutan tanaman secara monokultur47yaitu dengan komoditas utama adalah kayu jati (tectona grandis)membuat sistem manajemen kehutanan di Jawa dianggap telah mapan sejak 1865.48 Model pengelolaan kehutanan masa kolonialtersebutlahyanglantasdiklaimsebagaitonggakdarisistempengelolaan hutan akademis dan modern.49 Di mana sistem pengelolaan hutan akademis ini pula, yang kemudian menjadi cara pandang yang diwarisi oleh kelembagaan negara pasca kolonial, yang berperan bagi upaya melindungi hutan beserta kepentingankepentingan yang diembannya; yaitu atas nama kepentingan nasional/negara. Dengan demikian, melekat di dalamnya filosofi dan caracara penguasaanolehnegara,atausentralisasididalampengurusankehutanan. Kebijakan yang diturunkan dari sistem pengelolaan macam ini pada hakekatnya berangkatatasbasiskebutuhanuntukmemaksimalkaneksploitasikekayaanalam setempat (baca: daerah koloni/jajahan), guna memenuhi kepentingan penguasa. Dengan demikian, melalui ideologi kolonialisme dan imperialisme, hutan
Pembangunanhutantanamansecaramonokultur,dikalangankeilmuankehutananmengundang perdebatan epistemologi yang berkepanjangan. Yaitu mengemuka pandangan bahwa hutan, adalahkontekskomposisitumbuhandanpepohonanyangjugamerupakankesatuanekosistem yang tersusun secara beragam (heterogen). Dengan demikian, manakala populasi tegakannya (vegetasi) bersifat homogen melalui hutan tanaman, maka sebenarnya lebih merupakan pola perkebunan (kayu). Meskipun begitu, karena faktor perjalanan kesejarahan yang panjang, toh orangtetapmengenalnyasebagaihutan. 48Padatahun1865terbitReglemenKehutanan(Boschreglemen1865)dimanadidalamnyaterdapat JawatanKehutanan(DienstvanhetBoschwezen). 49 Diklaim demikian karena kegiatan pengelolaan kehutanan ketika itu telah dilakukan dengan menerapkanteknikilmukehutanandaninstitusimodern,terutamasetelahDaendelsmembentuk Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan) yang diberikan wewenang mengelola hutan di Jawa.(SupardiSupadi,1974dalamINyomanNurjaya,SejarahHukumKehutanandiIndonesia, 2000).
47

53

kemudian menempati posisi mengemban kepentingan ekonomi dan politik, sebagai penyedia bahan baku serta merupakan instrumen penguasaansebagai barang politik/political goodterhadap masyarakat daerah jajahan. Semua kekayaan alam yang terdapat di wilayah teritori (negara) jajahan; hutan, kandungan mineral, bahan tambang, dan juga manusia, ditempatkannya sebagai sumberdaya(resources).
Kotak 1. Negara-isasi Hutan dan Lahan Masa kolonial Dua prinsip utama pengelolaan hutan berbasis negara di Jawa yang dibangun oleh Daendels pada 1808 adalah: (1) kawasan hutan dinyatakan sebagai bagian dari tanah negara (staat landsdomein) dan akan dikelola untuk kepentingan negara; serta (2) diberlakukannya pembatasan-pembatasan bagi masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan untuk mengakses hasil hutan, khususnya kayu. Masyarakat hanya diperbolehkan memungut kayu-kayu patahan atau hasil-hasil hutan non kayu. Gubernur Jenderal menetapkan peraturan tentang penguasaan dan pengelolaan hutan oleh Jawatan Kehutanan (Dienst van het Boschwezen) dan dalam peraturan ini disebutkan bahwa pemungutan hasil hutan harus dilakukan sendiri oleh Boschwezen, dan perdagangan kayu oleh swasta (partikelir) dilarangnya. Tonggak monumental yang juga sangat penting pada masa kolonial ini, adalah terbitnya Agrarische Wet 1870 (Staatsblad 1870 No. 55) dan Agrarische Besluit 1870 (Staatsblad 1870 No. 118), di mana di dalamnya terdapat prinsip domein verklaring yang menyatakan bahwa: (1) memberikan legitimasi kepada negara sebagai penguasa tanah-tanah yang tidak digarap (woeste gronden); (2) memberi dasar kewenangan kepada negara untuk memberikan tanah-tanah tersebut pada pengusaha perkebunan dalam bentuk erfpacht (hak guna usaha) berjangka 75 tahun. Kemudian, Algemene Domeinverklaring (Staatsblad 1875 No. 119A) yang menyatakan bahwa: Tanah-tanah yang tak dapat dibuktikan adanya hak eigendom (eigendomsrecht) adalah di bawah kuasa (domein) negara. Pada awal abad ke-20, terbit Staatsblad 1911 No. 110, Staatsblad 1927 No. 227 dan Staatsblad 1940 No. 430 yang menyatakan bahwa tanah hutan dikuasai oleh instansi kehutanan negara (di Jawa dikuasai oleh Djatibedriff dan Dienst van het Wildhoutboschwezen). Masa Orde Lama/Baru PP No 8/1953, tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara, Pasal 2. Kecuali jika penguasaan atas tanah Negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya Peraturan Pemerintah ini, telah diserahkan kepada sesuatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra, maka penguasaan atas tanah Negara ada pada Menteri Dalam Negeri. UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa: Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai

54

oleh Negara tersebut memberikan wewenang kemudian untuk: (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa [Pasal 2 ayat (2)]. UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan mengkonstruksikan perihal hutan sebagai: suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan. (Pasal 1 Butir 1). Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan: Semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara. Konsekuensi daripada klaim dikuasai oleh negara, memberi wewenang untuk: (a) Menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukkan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan Negara. (b) Mengatur pengurusan hutan dalam arti yang luas. (c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan [Pasal 5 ayat (2)]. Pasca Reformasi Pasca tersungkurnya rejim Orde Baru, sektor kehutanan termasuk wilayah yang juga kencang diterpa tekanan angin perubahan. Penyikapan (respon) atas desakan tersebut melahirkan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang mencabut dan menggantikan UU No. 5/1967. Hanya saja, nuansa perubahan mendasar atas kebijakan kehutanan oleh UU 41/1999 tidaklah seperti yang diharapkan. Pasal 4 ayat (1) menyatakan: Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. konsekuensi dikuasai negara dalam ayat (1) tersebut memberi wewenang kepada pemerintah untuk: (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (c) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan [Pasal 4 ayat (2)]. Yang mengesankan adanya perubahan yang cenderung berpihak pada model kelola subsisten tradisional adalah munculnya Pasal 4 ayat (3) yang berbunyi: Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Oleh sebab itu, dengannya sesungguhnya masih tetap saja setengah hati. Dengan demikian, menjadi nampak benang merah dari terlestarikannya pasal-pasal yang menegaskan kekuasaan negara atas lahan hutan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya semenjak diberlakukannya peraturan yang dibuat oleh Daendels, hingga Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967, serta bahkan, UndangUndang Kehutanan No. 41 Tahun 1999, yang diklaim sebagai buah dari reformasi kehutananan. UU 41/1999, sekedar menyisakan sedikit saja ruang rekognisi bagi model pengelolaan tradisional (berbasis komunal). Sebagai satu contoh, nampak bagaimana UU 41/1999 mengkonstruksikan beradanya Hutan Adatyang ditegaskan konsepsinya sebagai bagian dari Hutan Negara (Pasal 1 Butir 6)di mana diakui ada (recognized) sepanjang masyarakat adat-nya masih memprakekkan pola-pola pengelolaan tradisional yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum/nasional (Pasal 5 ayat (3), (4), dan Pasal 67). Ini pun masih harus dibuktikan melalui standar dan kriteria yang akan dirumuskan kemudian melalui Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah setempat. Diolah dari berbagai sumber.

55

Dalam praksis lapangan, penerapan prinsip dari sistem pengelolaan ini adalah dapatdilihatdenganhadirnyapatokpatokbatasyangmenandai(simbol)dimana wilayah masyarakat berakhir, dan di mana status hutan di mulai (Peluso, 1992). Sedemikian, kemudian hutan ditempatkan sebagai suatu sistem terpisah dari sistem di luarnya, yaitu sistem sosial atau komunitas. Oleh sebab itu, manakala sengketadankonflik(baiklatenmaupunaktual)50yangtertahanhinggakini,bisa jadi adalah konsekuensi yang normal ketika tatanan yang terlebih dulu lama mapan dan ada sebelumnya, dipangkas melalui hadirnya cara pandang baru dengan pendekatan yang berbeda; memisahkan masyarakat (tradisional) dari hutannya. Peluso (1992) menggambarkannya kuranglebih: Tak lama sesudah sisteminiditerapkansecarameluas,praharakehutanandiJawapundimulai.Pada tahun 1918 telah terjadi kejahatan hutan sebanyak 27.218 kasus, 19.000an di antaranyaadalahpencuriankayu.51 Praktek penguasaan kehutanan oleh rejim kolonial bertahan hingga pada tahun 1942, Belanda kalah, dan Jawa diduduki oleh Jepang. Pada masa ini, tidak ada bentuk (sistem) pengelolaan kehutanan yang cukup berarti, kecuali eksploitasi kayu untuk kebutuhan mendukung perang Asia Timur Raya. Agen pengurusan kehutanan peninggalan Belanda diubah, meskipun tidak cukup siginifikan

Adalah kekerasan, baik nampak maupun tidak nampak dalam pengelolaanhutan, di mana tak ubahnyamerupakanapidalamsekamyangsetiapsaatakanmengemukadankitakenalsebagai konflik antara masyarakat di sekitar dan di dalam hutan dengan pihak penguasa kehutanan; PerumPerhutani. 51NancyLeePeluso,RichForestPoorPeople,UniversityofCaliforniaPress.Berkeley,1992.hlm. 148.
50

56

membawa dampak karena hanya berlangsung 3 tahun,52 di mana kemudian nusantaramemasukibabakanbaru;yaitukemerdekaanpadatahun1945. Namundemikian,padaerapascakolonialdimanatelahberdirinegaradengan sistem hukum dan peraturannya sendiribukan lantas berarti, sengketa dan konflikkehutanankemudianmeredadanmenghilang.Bagisebagianmasyarakat desa di tepi hutan dan sekitar perkebunan yang tanahnya dirampas pemerintah kolonial, kemerdekaan merupakan momentum yang tepat untuk mendapatkan kembalihakhaknyaatashutan.Merekaberanggapanbahwadenganberakhirnya pemerintahan kolonial maka segala peraturan yang selama ini membelenggu sudah tidak berlaku. Artinya mereka bisa kembali bebas untuk memanfaatkan hutan dan membuka lahan pertanian baru. Secara berbondongbondong mereka

Pada masa pendudukan tentara Dai Nippon Jepang (19421945) Jawatan Kehutanan Belanda (DientvanhetBoschwezen)digantinamanyamenjadiRingyoTyuooZimusyo.SemuapegawaiJawatan Kehutanandimintauntukterusmelaksanakantugasnyadiposnyamasingmasing,danOrdonansi Hutan Jawa dan Madura 1927 (Staatsblad 1927 No. 221 serta Verordening Kehutanan tahun 1932 (Staatsblad 1932 No. 446) dinyatakan tetap berlaku oleh pemerintah Dai Nippon untuk mengelola hutan di Jawa dan Madura. Sedangkan, urusan pengelolaan hutan di luar Jawa dan Madura ditangani oleh Pemerintah Pusat, tetapi sebagian juga ditangani oleh Pemerintah Swapraja (Zelf besturende Landschappen dan Inheemse Rechtsgemeenschappen). Selama masa pendudukan tentara Jepang pengelolaan hutan jati di Jawa mengalami kegoncangan, dalam arti tidak berjalan seperti pada masa pemerintahan kolonial Belanda, selain karena sedikit dari bekas pegawai Jawatan Kehutanan Belanda yang mau bekerja untuk kepentingan pemerintah Dai Nippon, juga karena keadaan chaos akibat perang gerilya rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan tidak memungkinkanpengelolaanhutanberlangsungsepertiyangdiharapkanpemerintahDaiNippon. Pemeritah Dai Nippon juga secara besarbesaran mengeksploitasi hutan terutama hutan jati di Jawa dan Madura untuk membangun industri kapal kayu di bawah kewenangan Sangyobu (Departemen Ekonomi) dan Zoosen Kyo Ku (Departemen Perkapalan). Kawasan hutan banyak dibuka untuk ladangladang palawija, tanaman jarak, kebun kopi, dan guagua perlindungan maupun untuk membangun gudanggudang penyimpanan logistik serta amunisi mesin perang Jepang. Karena itu, sampai menjelang jatuhnya kekuasaan Jepang, urusan kehutanan yang menjadisumberkeuanganuntukmembiayaiperangtentaraJepangdiAsiadimasukkankedalam urusanGonzyuseizanbu(DepartemenProduksiKebutuhanPerang)[INyomanNurjaya,Ibid].
52

57

menduduki dan menguasai tanahtanah hutan untuk lahan pertanian. Bahkan beberapa diantaranya ada yang membuka hutan untuk dijadikan areal pemukiman. Kondisi tidak menentu tersebut berlangsung cukup lama, dan baru pada tahun 1952, Jawatan Kehutanan diberi wewenang penguasaan atas tanahtanah negara yang ditetapkan sebagai kawasan hutan negara. Peristiwa ini cukup penting karenamerupakanawalbaginegarayangbarumerdekaini,untukmenancapkan kekuasaannya atas tanahtanah hutan setelah lebih dari dua abad dikuasai oleh bangsa asing. Apalagi, pada saat itu, di tingkat pengambil kebijakan terjadi perdebatan yang cukup keras yang membilah pada dua golongan. Golongan pertama, adalah mereka yang mengharapkan adanya swastanisasi pada perkebunan dan perhutanan seperti pada zaman pemerintahan kolonial. Kelompok ini mendukung adanya pengusahaan hutan dan perkebunan yang diserahkan kepada perusahaan negara atau pihak swasta, dengan alasan sebagai negara yang baru merdeka Indonesia tentu membutuhkan banyak dana untuk melaksanakanpembangunandanmengisikemerdekaan.Golongankedua,adalah mereka yang menghendaki dihapusnya sistem swastanisasi dalam perkebunan dan perhutanan. Kelompok ini menghendaki adanya kontrol langsung terhadap sumberdayaalamdanagrariaolehpetani.53

53

Rama Ardana. dkk, 2004, Konflik Hutan Jawa, studi konflik pengelolaan hutan Jawa (Randublatung dan Wonosobo 19982003, kerjasama ARuPA, ICRAFSEA dan Ford Faoundation, tidakditerbitkan.

58

Sebagaiupayauntukkeluardariketegangantersebut,padatahun1960pemeritah mengesahkanUndangUndangNo.5/1960tentangPeraturanDasarPokokPokok Agraria (UUPA), yang diharapkan dapat menjadi landasan hukum bagi pemanfaatan segala sumberdaya alam untuk sebesarbesar kesejahteraan rakyat. Undangundang tersebut juga sebagai upaya untuk mengakhiri berlakunya undangundangagraria buatanpemerintah kolonial yang dianggap bertentangan dengankepentinganrakyatIndonesia. Secaragarisbesar,UUPAmemuatbeberapahalprinsipyaitu:
(1) Sebagai organisasi kekuasaan tertinggi, negara berkuasa atas bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; (2) Dengan hak menguasainya tersebut negara mengatur peruntukan, penggunaan bumi, air dan ruang angkasa untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat; dan (3) Negara juga berwenang untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang atau badan dengan bumi, air dan ruang angkasa. Termasuk dalam prinsip ini adalah, negara berwenang untuk membatasi luas maksimal pemilikan tanah, menerbitkan surat pemilikan atas tanah, dan lain sebagainya.

Meskipun begitu, dengan diundangkannya UUPA bukan berarti permasalahan dan konflik yang terjadi di lapangan dapat segera terselesaikan. Land reform sebagai bentuk implementasi dari UUPA tidak sederhana untuk bisa dilaksanakan.Amatdisayangkanbahwa,sangatsedikitstuditentangpelaksanaan land reform yang berhubungan dengan tanahtanah hutan di Jawa. Timbul kesan bahwa program land reform hanya dilaksanakan pada tanahtanah non perhutanan,sementaradisisilainpadawaktuitujugaterjadikonflikkonfliktanah antarapetanidenganJawatanKehutanan.

59

Pada tahun 1961 muncul PP No. 17/1961 tentang Pendirian Badan Pimpinan Umum Perusahaan Kehutanan Negara (BPU Perhutani), sebagai sebuah dewan yangbertugassebagaicaretakerpengurusankehutananJawaketikaitu.Inilahcikal bakalperusahaannegarayangkemudianmengelolaseluruhhutanproduksi,dan sebagian hutan konservasi di seluruh Jawa.54 Dengan demikian, pembilahan dua golongan yang samasama ingin membangun mimpi atas pengelolaan sumberdaya alam (hutan) ini kemudian, dimenangkan oleh kelompok pertama; yaitu yang menginginkan penyerahan pengelolaan sumberdaya hutan kepada swasta, atau perusahaan negara sebagaimana pengalaman masa kolonial. Bukan menyerahkankepadapetani. Dengan didirikannya Perhutani di daerah tingkat I, maka segala pengurusan kehutanan dengan segala aset dan pegawai kehutanan di daerah tersebut diserahkan kepada BPU Perhutani, dan Jawatan Kehutanan Daerah Tingkat I dihapuskan. Semua tugas yang tadinya dibebankan kepada Jawatan Kehutanan, beralih kepada Perhutani, termasuk semua tugas publiek rechtelijk (tugas yang mengaturhubunganpendudukdengannegaraberdasarkanperaturan/hukum).55 Sayangnya, secara umum hasil kajian yang membicarakan mengenai persoalan kehutanan Jawa, mengarah pada kesimpulan yang senada bahwa, sistem

Padaawalpendiriannyaterdapat13perusahaankehutanannegara(PNPerhutani)dibawahBPU Perhutani, tetapi hanya berjalan 5 buah. Dua diantaranya beroperasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sementara 3 lainnya di Kalimantan. PN Perhutani di Kalimantan kemudian diubah lagi menjadiInhutani. 55 Departemen Kehutanan, 1986, Sejarah Kehutanan Indonesia, Departemen Kehutanan. Jakarta. p. 7778.
54

60

pengelolaan hutan pasca kolonial oleh Perhutani ternyata justru mewarisi paradigma,konsep,danteknikeksplotasi kolonialsekaligus.Bahkan oleh karena sepanjang perjalanan tidak ada perubahan paradigma pengelolaan hutan secara mendasar oleh negara, maka sebagai akibatnya, sikap, karakter, dan kinerja pengelola hutan hari ini masih mencerminkan sistem pengurusan hutan yang diterapkanolehrejimmasakolonial,persissatusetengahabadyanglalu.56 Melalui undangundang dan peraturan pemerintah yang secara penuh melimpahkan kewenangan pengelolaan yang monopolistik pada Perhutani57 sebagailandasanjustifikasi,ditambahdengansikapdankarakterpengelolahutan yang masih terus membawa pandangan tertutup dan sentralistik, maka praktis situasi pengelolaan kehutanan Jawa tidak banyak terjadi perubahan. Lebihlebih manakalamindsetyangmelatarbelakangi,memahaminyabahwaapayangmereka kelola adalah ranah perusahaan (private domain), dan bukan ranah masyarakat secara bersama (common domain). Sebagaimana cara berpikir rimbawan Perhutani yang dikisahkan oleh Peluso (1992: 4), ketika mereka menyikapi persoalan sosial masyarakat di seputar isu ketergantungannya terhadap lahan hutan, dengan menyatakan bahwa, sebagai wakil dari BUMN kehutanan, saya harus mengatakan bahwa kami bukanlah organisasi kesejahteraan sosial. Kami adalah

Hal itu pula yang menyebabkan berulangkalinya kegagalan programprogram yang dilakukan olehPerumPerhutanidalammenyelesaikanpermasalahansosialdisekitarhutan.MenurutSimon (1999) kegagalan ini disebabkan oleh: landasan pengelolaan jati di Jawa masih didasarkan pada normanorma yang berlaku satu abad yang lalu; perencanaan masih dilakukan dengan prosedur konvensional untuk timber management; dan, srtuktur organisasi dan kualifikasi personalia tidak disesuaikan dengan kebutuhan untuk menempatkan peranan kehutanan di dalam sistem pembangunanwilayahyangsemakinkompleks.(DikutipdariBuletinAKAR,EdisiMei2000). 57SecaralengkapmandattersebutdituangkandalamPPNo.30/2003tentangPerumPerhutani.
56

61

bisnis. Dan justru sebaliknya, hal ini merupakan tugas kita semua guna menjaga sumberdayahutan. Sehingga, menjadi wajar ketika kinerja pengelolaan hutan hanya didasarkan dan diukur melalui berapa besar kubikase kayu yang dapat dipanen, serta jumlah nominal (keuntungan) yang dapat dihasilkan perusahaan sebagai devisa. Oleh sebab itu pula, setiap upaya untuk ikut terlibat dalam pengelolaan hutan akan dianggapsebagaiancamanterhadapkepentinganumum/nasionaldannegara.58 Simon(2001)lebihjauhdalamkesimpulannya,59
lomba keuntungan yang berbentuk uang yang diperlihatkan oleh para pimpinan Perhutani dari waktu ke waktu itu justru hidup berdampingan dengan masyarakat di sekitar hutan yang semakin miskin dan semakin terisolir dari kemajuan. Sebelum era reformasi, kemiskinan dan keterisolasian ini juga disertai dengan rasa takut akibat politik represi.

Perhutani sendiri dibentuk pada tahun 1961 untuk mengubah status jawatan kehutanan negara peninggalan Belanda menjadi perusahaan negara (nasional), yang pada gilirannya menjadi bersifat komersial dengan tujuan agar kehutanan dapat menghasilkan keuntungan bagi kas negara.60 Saat ini, Perum Perhutani mengontrol dan menguasai kawasan hutan di Jawa yang kurang lebih sama

Berkaitan dengan statement ini, bahkan semua pegawai Perhutani diwajibkan mendapatkan pendidikankemiliteranataukepolisian,munginsebagaibagiandarimanifestasibelanegara. 59 Hasanu Simon. 2001. Rancangan dan prospek Pengelolaan Sumberdaya Hutan Pulau Jawa dalamHutanJawaMenjemputAjal:AkankahOtonomiMenjadiSolusi?ProsidingSemilokaTemu InisiatifDPRDseJawaMaduraMenujuPengelolaanSumberDayaHutanyangLestari,Adil,dan Demokratis.Wonosobo.1517Maret2001.BiroPenerbitanARuPA.Yogyakarta. 60 Soenarjo Hardjodarsono, et. al. 1986. Sejarah Kehutanan Indonesia buku IIIII, Departemen KehutananRepublikIndonesia.Jakarta.hlm.76.
58

62

dengan wilayah yang pernah dikelola oleh Jawatan Kehutanan Belanda; yaitu lebihdari2,5jutahektare. Pola pengelolaan sumberdaya hutan yang diterapkan oleh Perhutani merupakan manifestasi dari paradigma pengelolaan hutan berbasis negara (statebased forest management). Melalui cara pandang demikian, pemerintah yang melimpahkan kewenangankepadaPerhutanicenderungselalumenempatkanmasyarakatsekitar hutansebagaipihakluar(theothers).Bahkanditegaskanbahwasegalatindakan penggunaan lahan hutan atau penanaman jenisjenis tanaman yang dikehendaki olehmasyarakatdiluarsepengetahuandanrestuPerhutani,sebagaiaktivitasyang ilegal.61 Pula demikian halnya, maka aktivitas keseharian masyarakat dalam memungut dan memanfaatkan hasil hutan sangat mungkin kemudian, menjadi persoalan kriminal pencurian (perspektif penguasa). Fenomena ini telah terjadi bahkan sejak Daendels, ketika kawasan hutan Jawa ditetapkan sebagai milik negara.
Kotak 2. Antara Negara, Pemerintah, dan Perhutani62 Negara merupakan unit politik yang memiliki kedaulatan pada batas-batas juridiksi teritori tertentu dan melaksanakan otoritasnya melalui institusi yang permanen.63 Oleh karena itu, negara bisa juga dilihat sebagai suatu sistem administratif, legal, birokratis, dan koersif yang berkesinambungan dan berusaha mengelola aparat negara, mengatur hubungan antara kekuasaan sipil dan pemerintah, serta mengatur hubungan mendasar dalam masyarakat politik dan masyarakat sipil. Negara adalah wilayah, rakyat, pemerintah dan proses-proses pengaturan hubungan di antara unsurunsur pembentuknya. Pemerintah (government) merupakan agen yang melaksanakan kebijakan negara dalam suatu masyarakat atau tim/individu pengambil keputusan yang memberi

Bachriadi,DiantodanAntonLucas,PolitikSumberdayaAgrariadiWonosobo.hlm.87.dalam AnuLoneladanYandoZakaria.KonflikSumberdayaAgraria(perspektifkampusdankampung),Karsa, Yogyakarta.2002. 62RamaArdana,dkk,2004,KonflikHutanJawa,Ibid. 63 Andrew Heywood, Key Concepts in Politic, Mac Millan Press, Ltd. Hamshire. 2000. dalam RamaArdana.dkk,KonflikHutanJawa,Ibid.
61

63

dampak bagi warga suatu masyarakat. Struktur pemerintah di Indonesia terdiri atas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah terbagi menjadi Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotatermasuk didalamnya Pemerintah Desa. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah adalah representasi negara. Perhutani adalah perusahaan yang dibentuk oleh pemerintah sebagai sebuah Badan Usaha Milik Negara yang bertugas untuk mengelola kawasan hutan di Jawa. Perhutani dibentuk pada tahun 1961 untuk mengubah status jawatan kehutanan menjadi perusahaan negara yang bersifat komersial dengan tujuan agar kehutanan dapat menghasilkan keuntungan bagi kas negara. Saat ini, melalui PP No. 30/2003, wilayah kerja perusahaan (Perum Perhutani) meliputi seluruh Hutan Negara yang terdapat di Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur, Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Banten, kecuali Kawasan Hutan Konservasi. Sebagai badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kehutanan, Perhutani menikmati keistimewaan dari Pemerintah (Pusat) berupa pelimpahan kewenangan guna melakukan kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, dan penggunaan kawasan hutan. Sejarah Indonesia modern tidak dapat dipisahkan dari sejarah penjajahan di masa kolonialisme. Dalam masa kolonial, esensi negara penjajah lebih mengutamakan kepentingannya sendiri daripada ragam kepentingan-kepentingan lain, apalagi kepentingan masyarakat yang dikoloni.64 Untuk itulah negara pusat membentuk pemerintahan kolonial yang melayani kepentingannya dengan cara membentuk aparatus yang sentralistik. Pada konteks pengelolaan hutan saat ini, situasi mendasar tersebut sayangnya tidak mengalami perubahan. Kebijakan pengelolaan hutan di Jawa, masih merupakan refleksi kepentingan-kepentingan pemerintah dengan mengatasnamakan kepentingan nasional dan negara. Akibatnya, pengelolaan hutan tercitrakan sebagai terpisah dari dan tidak tanggap terhadap kepentingan-kepentingan masyarakatnya. Contoh nyata dari pengelolaan hutan yang melayani pemerintah sendiri ini ditunjukkan dengan fakta minimnya partisipasi dan keterwakilan bagi aktor-aktor di luar pemerintah di dalam pengelolaan hutan Jawa.

B. BirokrasiKehutananJawayangSuiGeneris Pengelolaan hutan pada masa kolonial memberikan struktur birokrasi yang istimewa yang terpisah dari struktur birokrasi pemerintahan. Pengelolaan hutan berada di bawah kekuasaan Jawatan Kehutanan Belanda (Dienst van het Boschwezen) yang diberi otoritas penuh atas lahan kawasan hutan. Boschwezen bukan hanya menikmati otonomi yang besar dan terpisah dari struktur pemerintahan, tetapi juga tidak bertanggunggugat kepada masyarakat yang
Disarikan dari Anderson, Benedict. 1983. Old State, New Society: Indonesias New Order in Comparative Historical Perspective. Journal of Asian Studies. vol. XLII; no. 3; May. Dalam Rama Ardana.dkk,KonflikHutanJawa,Ibid.
64

64

notabene memiliki kepentingan terhadap hutan, atau terkena dampak kegiatan pengelolaanhutanyangdilakukan.
Bagan. 2. Struktur Birokrasi Pemerintahan dan Kehutanan pada Masa Penjajahan Belanda65


50 Houtvesterij & Boschdistrict Opperhoutvester/Admini stratur Hoofdopzlener (sinder) Hoofdmantri Mandor mandor Hoofdinspectuur (Kepala Boschwezen)

Binnenlandsche Bestuur Administrasi Kolonial Ratu Belanda

Menteri Urusan Tanah Jajahan Boschwezen (Adimnistrasi Kehutanan)


Inspektur jenderal

Gubernur Jenderal

InheemscheBestuur (Administrasi Tradisional)

Gubernur

Raja

Residen

Patih

5 Inspektorat:: Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, dan Malang

Asisten Residen

Bupati

Kontrolir (Pengawas)

Wedana
Asisten Wedana

Lurah Masyarakat

Hutan Negara

Kebun dan Pertani

DiadaptasidariRohdewohld(1995)dalamAgusDwiyanto,dkk,ReformasiBirokrasiPublikdi Indonesia.PusatStudiKependudukandanKebijakanUniversitasGadjahMada.Yogyakarta.2002, dan Poerwokoesoemo, R. Soepardi, 1974. Struktur Boschwezen berubahubah sepanjang perjalanannya sejak 1897 sampai dengan 1942. Struktur yang ditampilkan adalah struktur pada awal pembentukannya. Dikutip dari Rama Ardana, dkk. Konflik Hutan Jawa, studi konflik pengelolaanhutanJawa(RandublatungdanWonosobo)19982003,kerjasamaARuPA,ICRAFSEA danFordFoundation.2004.Tidakditerbitkan.
65

65

Sejak tahun 1865 sampai dengan 1942,66 terdapat tiga struktur birokrasi; yaitu birokrasi kolonial, birokrasi tradisional, dan birokrasi pengelolaan hutan. Peran birokrasi pemerintahan kolonial dalam pengelolaan hutan ada pada peran mendesak bupati dan lurah dalam menyediakan tenaga kerja, seperti buruh penanaman dan penebangan.67 Dengan struktur demikian ini, birokrasi dalam pemerintahan dan pengelolaan hutan dapat melaksanakan tugasnya dengan sangat efektif; yaitu memenuhi kepentingan pusat koloni sekaligus mengontrol masyarakatnya. Model struktur birokrasi seperti itu menutup semua kemungkinan partisipasi masyarakatdidalampengurusanhutan.Birokrasiyangterpisahjugamenyiratkan upayanegarauntuk mengambilperanmengawasi(controlling)ataswilayahyang dihuni (pemukiman, di desa dan perkotaan) dan wilayah yang belum dihuni, misalnya hutan. Namun pembentukan dua struktur birokrasi ini (pemerintahan dan pengelolaan hutan), lebih tepat mengindikasikan mengenai upaya untuk mencegahberubahnyastatuskawasanhutanmenjadiranahpubliksebagaimana wilayah pemukimankarena jika demikian, maka di wilayah tersebut akan memungkinkan masyarakat memiliki akses partisipasi dan otonomi yang lebih besar.Olehsebabitu,manakalahutandikelolabukansebagairanahpublikdengan

Dienst van het Boschwezen didirikan melalui Boschwezen Reglemen 1865, hingga Berakhirnya penjajahanBelandakarenaterusirolehmasuknyaJepangkenusantara. 67Padakonteksinipulasesungguhnya,wajaheksploitasikolonialtidaksepenuhnyaadalahhitam dan putih yang kemudian melahirkan stereotype baik dan buruk, di mana telah lebih dulu dilekatkan pada kekuasaan kolonial atau bukan kolonial. Menurut Suroyo (2000), jelas bahwa struktur feudal juga turut menyumbang peran yang cukup signifikan dalam keberhasilan penghisapan(eksploitasi)olehpemerintahkolonialmelaluipenguasaantenagakerjaolehpenguasa supradesa.
66

66

demikianproseseksploitasinyamenjadijauhlebihmudah,murahdanefektifbagi usaha penumpukan keuntungan sebagaimana dicitacitakan oleh pemerintah pusat(KerajaanBelanda). Usai kemerdekaan, negara dengan wajah barunya yaitu Indonesia, mengganti struktur pemerintahan kolonial dan menyesuaikannya dengan peraturan dan kebijakan yang dibuat sendiri.68 Struktur birokrasi kolonial dan tradisional lantas menjadi satu struktur birokrasi yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalamkerangkanegaraRepublikIndonesia.Denganbegitu,makasepantasnyalah apabila kemudian struktur birokrasi kehutanan seharusnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari struktur birokrasi pemerintahan. Namun demikian, sehubungan dengan kesiapan kebijakan dan kelembagaan birokrasi yang masih dalam konteks masa transisi, maka semua kelembagaan birokrasi dan peraturan yang ada masih tetap diberlakukan hingga di kemudian hari diganti melalui kebijakanyangbaru. Dalam pertama kalinya, pengurusan kehutanan diselenggarakan oleh jawatan kehutanan yang berada di dalam struktur birokrasi departemen pertanian. Pada tahun 1950pasca peralihan Indonesia menjadi negara kesatuan, setelah sebelumnya menganut sistem kenegaraan federalkedudukan jawatanjawatan kehutanan dari negara bagian disatukan kembali menjadi Jawatan Kehutanan

Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku selama belum diadakan yangbarumenurutUndangUndangDasarini(PasalIIAturanPeralihanUUD45).
68

67

Republik Indonesia.69 Pembagian wilayah diterapkan dalam bentuk kesatuan kesatuan pemangkuan hutan daerah, yang dipimpin oleh Kepala Daerah Hutan. Sedang untuk tingkat Propinsi dipimpin oleh Inspektur Kehutanan Propinsi. Sistem ini berlangsung sampai dengan terjadinya penyerahan sebagian kewenangankepadapropinsipropinsiyangdiaturmelaluiPPNo.64/1957tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan Laut, KehutanandanKaretRakyatkepadaPemerintahDaerahTingkatI.70 Namun demikian, meskipun sektor kehutanan akhirnya menjadi departemen mandiri pada tahun 1964 dan pada tahun 1984,71 bukan lantas berarti birokrasi

Ketika Indonesia merdeka, pengurusan hutan di Pulau Jawa dibagi ke dalam tiga Inspektorat Kehutanan yang masingmasing dipimpin oleh seorang Inspektur Kehutanan, sedang di daerah daerah,dibentukDaerahHutanyangdipimpinolehseorangKepalaDaerahHutan.Ketikanegara federaldibentukolehBelandasetelahAgresiPertama(1948),InspektoratKehutanandiJawaBarat dijadikanJawatanKehutananNegaraPasundan,sebagianhutandiJawaTengah(danJawaTimur seluruhnya) dikelola oleh Jawatan Kehutanan Republik Indonesia. (Sumber: Sejarah Kehutanan Jawa Barat, dikutip dari http://www.dishut.jabarprov.go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=662&idMenu=428, diaksespadatanggal15Mei2009). 70 PP No. 64/1957 dalam hal ini, dengan begitu dapat dibaca sebagai tonggak pertama desentralisasi,karenatelahadamodeltransfersebagiankewenangan/urusandaripusatkedaerah. 71 Kehutanan keluar dari Departemen Pertanian pada tahun 1964 dan menjadi departemen tersendiri.Namuntidakbertahanlama,yaituberkaitandenganstabilisasikeamanandanekonomi pasca peristiwa 1965, pada tahun 1966 kehutanan ditarik kembali menjadi direktorat kehutanan pada Departemen Pertanian. Baru pada tahun 1984 melalui Keppres No. 15/1984 dibentuklah DepartemenKehutanandenganstrukturorganisasisebagaiberikut: (1) Menteri; (2) SekretariatJenderal; (3) InspektoratJenderal; (4) DirektoratJenderalPengusahaanHutan; (5) DirektoratJenderalReboisasidanRehabilitasiLahan; (6) DirektoratJenderalPerlindunganHutandanPelestarianAlam; (7) BadanInventarisasidanTataGunaHutan; (8) BadanPenelitiandanPengembanganKehutanan;
69

68

kehutanan Jawa menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan (menyatu) dalam struktur birokrasi departemen kehutanan. Struktur pengurusan kehutanan Jawa telah terlanjur memiliki nalar birokrasi yang otonom sebagai akibat proses pematangan sejarah penguasaan sejak masa kolonial. Bahkan fenomena tersebut seolah semakin mendapatkan penegasan, manakala pada tahun 1961 pemerintah melalui PP No. 18/1961 tentang Pendirian Perusahaan Kehutanan Negara (PN Perhutani) Jawa Timur dan PP No. 19/1961 tentang Pendirian Perusahaan KehutananNegara(PNPerhutani)JawaTengah,mengukuhkanstrukturbirokrasi kehutanan yang tersendiri, yaitu birokrasi kelembagaan perusahaan kehutanan negara.72
(9) PusatPendidikandanLatihanKehutanan; (10) KantorWilayahDepartemenKehutanandiWilayah. Disampingituterdapat12UPTdilingkuganDepartemenKehutanandan24DinasKehutanandi Daerah Tingkat I. (Sumber dikutip dari profil Departemen Kehutanan, http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/profil.diaksespadatanggal18Mei2009). 72 Pemerintah, pada tahun 1961, mengubah status Dinasdinas Kehutanan yang mengurus hutan jati di proponsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi Perusahaan Kehutanan Negara (PN. Perhutani), masingmasing menjadi Unit I dan Unit II. Kawasan dan fungsi perusahaan tersebut sepenuhnya merupakan penjelmaan dari Dinasdinas Kehutanan sebelumnya. Sehingga hampir semuaurusankehutanandikeduapropinsitersebutdiurusolehPN.Perhutani.DinasKehutanan JawaBaratpadawaktuitutidakdijadikanbagiandariPN.Perhutani,karenadipandangdarisegi keuangan, pengusahaan hutan di Jawa Barat tidak dapat berdiri sendiri. Anggaran belanja Dinas Kehutanan Jawa Barat selalu di subsidi oleh Pemerintah Daerah dan oleh Jawatan Kehutanan. Secarateknis,DinasKehutananJawaBarattetapmengindukkepadaJawatanKehutanandidalam lingkungan Departemen Pertanian yang berpusat di Jakarta, serta secara organisatoris dan operasional, Dinas Kehutanan tersebut berada di bawah pimpinan Pemerintah Daerah Propinsi JawaBaratsesuaidenganketetapanyangterteradalamPP64/1957.KetikaDepartemenKehutanan dibentukpadatahun1964,sebagianbesardariwewenangperusahaanhutanmasihtetapberadadi tangan Gubernur Pemerintah Daerah Propinsi yang bersangkutan, kecuali kawasan yang pengurusannya telah diserahkan kepada perusahaan negara. (Sumber: Sejarah Kehutanan Jawa Barat, dikutip dari http://www.dishut.jabarprov.go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=662&idMenu=428, diaksespadatanggal15Mei2009).

69

Pada 1972, melalui PP No. 15/1972 berdiri Perum (Perusahaan Umum) Perhutani yang menggabungkan PN. Perhutani Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dan kemudian pada 1978, wilayah kelola Perum Perhutani bertambah dengan dimasukkannya wilayah kerja Dinas Kehutanan daerah Tingkat I Jawa Barat menjadibagiandariPerumPerhutanimelaluiPPNo.2/1978.73Dengandemikian, praktis sejak saat itu Perum Perhutani menguasai hampir semua kawasan hutan negaradiJawa,yangmeliputiUnitIJawaTengah,UnitIIJawaTimur,danUnitIII Jawa Barat (dan Banten) sebagai wilayah kerjanya. Perum Perhutani mewarisi wilayahhutanyangdulupernahdikelolaolehJawatanKehutananHindiaBelanda di Jawa, dan mengelola seluruh hutan produksi dan sebagian hutan lindung. Sebuahwilayahkelolaseluaslebihdari2,5jutahektare,atau20%luasPulauJawa.

Berturutturut kemudian muncul landasanlandasan hukum yang baru yang semakin mengukuhkan berdirinya Perhutani; yaitu PP No. 36/1986, PP No. 53/1999, PP No. 14/2001, dan terakhirPPNo.30/2003.Padatahun2001,tanpasuatudasarargumentasiyangjelasstatusperum sempatberubahmenjadiPT.PerhutanimelaluiPPNo.14/2001.Namunhalinitidakbertahanlama, sehinggapadatahun2003berubahkembalimenjadiPerumPerhutanimelaluiPPNo.30/2003.
73

70

Bagan.3. Struktur Birokrasi Organisasi Perum Perhutani74

Di sisi lain, terbitnya kebijakan nasional di bidang kehutanan (misalnya UU No. 5/1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kehutanan) tidak sedikitpun memberikan pengaruh terhadap eksistesi Perhutani. Bahkan, alihalih terjadi penyesuaianataskebijakanbaru,justrukebijakanbarulahyangbelakanganterbit yang harus menyesuaikan dengan peraturan yang telah ada. Di mana, meskipun
Asper (Asisten Perhutani) adalah Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (setingkat kapolsek). Di atasnya, terdapat Administratur yang biasa disebut Adm, yaitu Kepala Kesatuan PemangkuanHutan(KKPH),atausetingkatkapolres.BiasanyasatuKPHmeliputisatukabupaten. Di atasnya lagi, Kepala Unit (setingkat kapolda), yang membawahi beberapa KPH dalam satu provinsidiPulauJawa.PerhutaniterdiriatastigaUnit.UnitImengelolaarealkerjadiJawaTengah membawahi22KPH,UnitIIdiJawaTimurdengan25KPH,danUnitIIImengelolakawasanJawa Barat dan Banten meliputi 14 KPH. Para kepala unit dibantu beberapa Kepala Biro (Karo). Para kepala unit bertanggung jawab langsung kepada direksi meliputi Direktur Utama, Keuangan, Pemasaran,Produksi,danUmum.Direksidibantuolehbeberapakepaladivisi.
74

71

peraturan yang lebih dulu ada tersebut secara hirarkhi lebih rendah dalam tata urutan peraturan perundangundangan. Kondisi ini pulalah yang bisa menjadi penjelasan mengapa ketika desakan kuat arus reformasi di bidang kehutanan terjadi, sehingga melahirkan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, tidak banyak memberikan aroma perubahan manakala praktek pengurusan hutan Jawa yang sentralistik, tertutup dan monopolistik juga sedang digugat dan dipertanyakan. Bahkan,meskipunPerhutanipadasaatyangsamajugamenjanjikanperubahan ke arah yang lebih reformis dalam pelembagaan ulangnya melalui PP 53/1999 tentangPerumPerhutani.75 JikapengurusanhutandimasapenjajahanBelandadipengaruhiolehfaktorpolitik eksploitasiterhadaptanahjajahan,makadimasaOrdeBaruhalitulebihdilandasi oleh faktor politik preventif dari rejim otoriterbirokratik yang berkuasa. Pemerintahan Orde Baru menekankan stabilisasi demi alasan pertumbuhan ekonomi, sehingga konsensus dan harmonisasi kerap dikedepankan, namun terbatas demi keuntungan rejim yang berkuasa. Dan akibatnya, budaya politik partisipatif tidak tumbuh, serta lembagalembaga politik maupun sosial lebih cenderungmengalamikonvergensidaripadadiferensiasi.76

UU 5/1967 menegaskan peran Perhutani sebagai pengelola hutan negara di Jawa. Perum Perhutani adalah sebuah perusahaan otonom. Pendapatan yang dihasilkannya digunakan untuk keberlangsungan perusahaan sendiri dan menyerahkan 55% dari keuntungan perusahaan untuk anggaran pembangunan nasional. Organisasi perusahaan, yang terdiri atas ahliahli teknis perhutanan,polisihutan,danadministraturini,bertujuanmengoptimalisasiproduksijatidanhasil hutan lainnya. Selain bertujuan menghasilkan keuntungan, Perhutani juga dimandatkan untuk melindungitutupanhutandandaerahaliransungai,sertamerangsangperbaikankesejahteraandi pedesaanmelaluiusahausahaekonomiyangberkaitandenganhutan. 76 Pada era itu, juga sering dibahasakan sebagai era korporatisasi negara (state corporatism). Yaitu suatu sistem penyingkiran sektor massa lewat pengawasan, depolitisasi, serta tekanantekanan
75

72

Pada konteks ini, negara mengesankan sebagai aktor yang sangat sentral, dan tampil sebagai kekuatan politik yang tidak hanya relatif mandiri terhadap kekuatankekuatan elit pendukungnyayaitu kelompok borjuasi nasional dan korporasimultinational/asingtetapijugaterhadapmasyarakatsipil(civilsociety). Bahkan, negara telah menjadi kekuatan dominan yang mampu mengatasi keduanya. Sedemikian karakteristik negara otoritarian birokratik sebagaimana dikemukakan oleh ODonnell (dalam AS. Hikam: 1999), muncul terutama untuk melakukan pengawasan yang ketat/kuat terhadap masyarakat sipil, terutama dalamupayamencegahmassarakyatdibawah(grassroot)dariketerlibatanpolitik yang terlampau aktif, agar proses percepatan industrialisasi tidak terganggu. Negara,dengandemikian,tumbuhmenjadisebuahkekuatanpolitikraksasayang terpadu, dinamis, menyebar, represif, birokratis, dan teknokratis. Dan keberadaannya itu, tidak lepas dari tiga pilar aliansi utama penopangnya (selain
yang memungkinkan terciptanya stabilitas jangka pendek dan kemungkinan stabilitas jangka panjangyangbisadiperkirakan,dalamhubunganhubungansosialyangdiperlukanolehpolapola baru untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Di mana, dalam konteks ini kemudian, negara melakukanpenyatuandanlantashanyamengakuientitasentitaskelompok/organisasi,baikitu ekonomi, politik, sosial, etnis, maupun keagamaan, yang direstui oleh negara demi meraih stabilitas dan mengedepankan pembangunan yang terarah. Pada ranah organisasi politik, kita dapatjumpaiadanyakebijakanpenyederhanaanjumlahpartaipolitik;yaituduapartaipolitikdan satugolongankaryayangsesungguhnyajugapartaipolitikyanghanyadiakuidanbolehaktif, oleh negara. Sementara pada ranah organisasi sosial, setiap entitas kelompok/organisasi baik profesi atau kemasyarakatan, hanya ada satu yang diakui dan, itu pun di bawah kooptasi, serta kendali negara. Salah satu contoh, di bidang kejurnalistikan hanya diakui Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dalam pengelolaan hutan di Jawa juga begitu. Hanyalah organisasi Lembaga Mayarakat Desa Hutan (LMDH) yang diakui sebagai organisasi petani hutan resmi yang dapat dilibatkan dalam skema kerjasama, di dalam pengelolaan lahan kawasan hutan negara dengan Perum Perhutani. Bahkan, hingga saat ini. Korporatisasi negara dibedakan dengan korporatisasi masyarakat,dimanakorporatisasimasyarakatlebihbersifatsukarelasehubungandenganproses proses deferensiasi dalam masyarakat karena semakin canggihnya peran dan fungsi di dalam masyarakat.

73

dukunganborjuasinasionaldankapitalinternasional);yaitumiliter,birokrasidan teknokrat. Rejimnegaraotoritarianbirokratik,denganbegitu,munculsebagaikekuatanyang terpadukarenadiamelibatkandirihampirdisegalabidangkegiatan.Tidakhanya dalam politik formal, tetapi merasuk sampai kepada aktivitasaktivitas ekonomi, sosial dan budaya (termasuk ideologi). Oleh karena itu, negara jauh dinamis ketimbang pertumbuhan civil society, dan pengaruhnya menyebar sampai ke ranahranahyangpalingkecildanpalingprivatsekalipun;sepertirumahtangga, bahkanindividuindividu.Kontekssedemikianselanjutnya,berkaitaneratdengan sifatrepresifnegara,karenauntukmencegahketerlibatanmassarakyat,diaperlu melakukan pengawasan yang ketat, termasuk dengan menggunakan caracara kekerasan.Dandengandemikian,perludukungankekuatanmiliter.Padajenjang administratif, negara amat tergantung dengan pada struktur birokratik yang menjamin kemampuan negara untuk menanggulangi akibatakibat yang ditimbulkan oleh proses deferensiasi sebagai salah satu hasil modernisasi. Untuk itu, negara juga tergantung pada kemampuan teknokratik yang diperlukan oleh logika industrialisasi dan modernisasi. Yaitu negara menaruh kepentingan pada perlutumbuhnyasuatukelompokorangyangahliyangsiapmemberikanjasajasa keahlian mereka dalam bidang teknologi dan manajemen yang amat diperlukan yang bukan saja dalam mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dalamrangkapengendaliandanpengawasanprosesprosessosial.

74

Sebagai konsekuensi, maka lemahnya toleransi atas perbedaan pendapat yang munculkemudian,membuatpengurusanhutandijamanOrdeBaru,tidaktampak seperti berada di orde yang baru. Mandulnya budaya politik partisipatif, pada akhirnyasemakinmenguatkanhegemoniideologipenguasaansumberdayahutan pada satu tangan. Untuk kepentingan otoritas dan wibawa, jalan satusatunya yang dianggap tepat dan dipilih adalah memelihara sistem lama yang menampukkanseluruhkekuasaanpadasatupihak;yaitupemerintah,ataudalam haliniPerhutanisemata. Sejalandengankepentinganutamapenguasa,pengurusanhutandiJawaakhirnya hanya menonjolkan konservatisme sistem pengelolaan kehutanan akademis sepertipadamasapenjajahan,ketikapartisipasimasyarakatbetulbetultidakbisa menyentuhbirokrasipengurusanhutanyangdiletakkandipusatpemerintahan. DimasaOrdeBaru(bahkanhinggakini),istilahmemandirikanpengelolaanhutan kepada rakyat umumnya ditanggapi dengan keengganan kultural birokrat kehutanan.Keberadaannegara(aparatbirokrasi)yangjauhdarijangkauanrakyat, mengakibatkan para aparat kehutanan tidak memiliki keharusan untuk mempertanggungjawabkan kebijakannya kepada rakyat secara langsung. Dalam keyakinan ini, fungsi rakyat hanyalah sebatas alat pemenuhan legitimasi (baca: justifikasi). Tingginya budaya sentralistis, mendorong para penguasa untuk menganggapdirinyasebagaipersonifikasikesatuanrakyat.Demikianpuladengan pikiranuntukmemberikanotoritasdankekuasaankepadadaerahadalahhalyang tabu,jikatidakdianggapsebagaiupayauntukmembentuknegaradalamnegara.

75

Pluralisme, desentralisasi, dan katakata sejenisnya dianggap sebagai kekuatan pemecahyangmengancamkeutuhankekuasaanpemerintahpusatataupenguasa. KebijakanyangdibangunselamapemerintahanOrdeBaruini,jugamenunjukkan diutamakannya kepentingan pemerintah daripada membuka peluang bagi masyarakat secara langsung dalam pengelolaan hutan. Kebijakan itu, setidaknya, tertuang dalam UndangUndang Kehutanan, PP tentang Perusahaan Umum Negara Perum Perhutani, sampai Surat Keputusan Direksi Perhutani. Jika semua peraturan tersebut dirangkum dan dijabarkan dalam sebuah skema, maka dapat kitalihatstrukturbirokrasipengelolaanhutandiJawasebagaiberikut:
Bagan. 4. Struktur Pengelolaan Hutan di Jawa pada Masa Pemerintahan Orde Baru
BPK Audit Keuangan Pemerintah Menteri Keuangan Menteri BUMN Menteri Kehutanan Pemegang Saham, Pengawasan Manajemen, dan Teknis

Perumusan Kebijakan

Perhutani (Direksi)

Perencanaan

Unit I

Unit II

Unit III

Pemerintah Propinsi

Pelaksana Teknis

57 KPH

Pemerintah Kabupaten

Administratur Asper (Sinder) Mantri/Kepala Resort Kepolisian Hutan Mandor Tenaga kerja Masyarakat

Bimbingan teknis

Hutan Negara

Hutan Hak (Hutan Rakyat)

Dari gambar tersebut, dapat kita lihat bahwa pemerintah melimpahkan sebagian dari kewenangannya menguasai hutan dengan memberikan hak pengelolaan

76

hutannegarakepadaPerhutani(melaluiPeraturanPemerintah/PP).77Negarajuga melakukan pengawasan teknis, keuangan, dan manajerial melalui Menteri Kehutanan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara BUMN. Sementara audit keuangandilaksanakanolehBadanPemeriksaKeuangan. Perumusan kebijakan mengenai pengelolaan hutan negara di Jawa dilaksanakan oleh Direksi Perhutani, sementara perencanaan pengelolaan hutan negara dilakukanpadatingkatunit,dandilaksanakanolehKesatuanPemangkuanHutan (KPH). Pemerintahkabupatenhanyamemilikikewenanganuntukmelakukanbimbingan teknis di atas lahan hutan rakyat (hutan hak), tetapi tidak punya kewenangan apapundi kawasan hutannegara.Jauhdibawahstruktur penyusunankebijakan

PeraturanPemerintahinisepanjangsejarahdiperbaruimengikutikebijakandanperaturanyang berlaku. Pada masa Orde Baru PP ini tiga kali diperbarui yaitu pada tahun 1972, 1978, dan 1986. Mengikuti perubahan pada masa reformasi dan diundangkannya UndangUndang Kehutanan pada tahun 1999 (UU No. 41/1999), pemerintah menerbitkan PP tentang Perum Perhutani yang baru pada 1999 (PP No. 53/1999). Pada 2001, pemerintah mengubah status perusahaan umum menjadiperseroanterbatasdenganPPNo.14/2001,dimanaPPinikemudiandiajukanujimateriil (judicial review) oleh beberapa kalangan LSM pemerhati kehutanan Jawa ke Mahkamah Agung, dan pada tanggal 7 Maret 2002 Mahkamah Agung R.I telah mengeluarkan Putusan atas perkara No. Reg.07.P/HUM/2001 perihal Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2001 tentang Pengalihan Bentuk Perum Perhutani menjadi Persero (PP No. 14 Tahun 2001). Putusan Mahkamah Agung R.I tersebut menyatakan bahwa PP No. 14 Tahun 2001 tidak sah dan tidak berlaku dan sekaligus pula memerintahkan Pemerintah/Presiden untuk mencabut PP No. 14 Tahun 2001, dengan ketentuan apabila dalam tempo 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan dikirimkan (disampaikan) ternyata tidak dilaksanakan pencabutan, makademihukumPeraturanPemerintahtersebuttidakmempunyaikekuatanhukum.PP14/2001 kemudian dicabut dan digantikan dengan PP No. 30/2003 tentang Perum Perhutani, sehingga bentukperusahaankembalimenjadiperum.
77

77

dan perencanaan terdapat posisi masyarakat sebagai tenaga kerja di bawah supervisiseorangmandor. Struktur pengelolaan hutan yang kita jumpai sampai hari ini adalah struktur tersisayangmiripdenganstrukturpengelolaanhutandizamanpenjajahan,serta terpisah dari struktur birokrasi pemerintahan. Kemerdekaan Indonesia dan, terputusnya struktur birokrasi dengan pusat koloni (Negeri Belanda) membawa konsekuensipenyatuanstrukturbirokrasipemerintahanyaitubirokrasikolonial denganbirokrasitradisional.Namundemikian,padasaatyangsama,pemerintah Indonesia masih mempertahankan keterpisahan struktur birokrasi pengelolaan hutandiJawa.78

Usaha menyatukan birokrasi pengelolaan hutan dengan birokrasi pemerintahansekalipun terbatas dalam lingkup kabupatendicoba dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo dengan terobosan berupa Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat(PerdaPSDHBM;PerdaNo.22/2001).Upayainibarubisadimulaisetelahruntuhnya rejimOrdeBarumelaluiserangkaianperistiwareformasipolitik,sertadenganmeminjamkekuatan darikebijakanbaru;yaitudesentralisasidanotonomidaerah.
78

78

C. Wonosobo:79DalamProblemaSilangSengketa Wonosobodalamstrukturpenguasaankehutanan,merupakansebagiankecilsaja dari peta luasan kawasan hutan negara di Jawa. Hutan Wonosobo dalam struktur
birokrasikehutananJawatermasukdalamwilayahkerjaPerhutaniUnitIJawaTengah,80 tepatnyatermasukdalamwilayahkerjaKesatuanPemangkuanHutan(KPH)KeduUtara

Berdasarkan cerita rakyat, pada sekitar awal abad 17 tersebutlah tiga orang pengelana masing masingbernamaKyaiKolodete,KyaiKarimdanKyaiWalik,mulaimerintissuatupermukimandi daerahWonosobo.SelanjutnyaKyaiKolodeteberadadidatarantinggiDieng,KyaiKarimberada di daerah Kalibeber dan Kyai Walik berada di sekitar kota Wonosobo sekarang ini. Di kemudian hari dikenal beberapa tokoh penguasa daerah Wonosobo seperti Tumenggung KartowasesosebagaipenguasadaerahWonosoboyangpusatkekuasaannyasiSelomanik.Dikenal pula tokoh bernama Tumenggung Wiroduta sebagai penguasa Wonosobo yang pusat kekuasaannya di Pecekelan Kalilusi, yang selanjutnya dipindahkan ke Ledok Wonosobo atau Plobangan sekarang ini. Salah seorang cucu Kyai Karim juga disebut sebagai salah seorang penguasa Wonosobo. Cucu kyai karim tersebut dikenal sebagai Kyaii Singowedono yang telah mendapat hadiah satu tempat di Selomerto dari Keraton Mataram, serta diangkat menjadi penguasadaerahinidannamanyabergantimenjadiTumenggungJogonegoro.Padamasainipusat kekuasaan dipindahkan ke Selomerto. Setelah meninggal dunia Tumenggung Jogonegoro dimakamkan di desa Pakuncen. Selanjutnya pada masa perang Diponegoro ( 1825 1930 ), Wonosobo merupakan salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Diponegoro. Beberapa tokoh penting yang mendukung perjuangan Diponegoro adalah Imam Musbach atau kemudian dikenaldengannamaTumenggungKertosinuwun,MasLurahatauTumenggungMangkunegaran, Gajah Permodo dan Kyai Muhamad Ngarpah. Dalam pertempuan melawan Belanda, Kyai Muhamad Ngarpah berhasil memperoleh kemenangan yang pertama. Atas keberhasilan itu Pangeran Diponegoro memberi nama kepada Kyai Muhamad Ngarpah dengan sebutan TumenggungSeconegoro.SelanjutnyaTumenggungSeconegorodiangkatsebagaipenguasaLedok dengan gelar Tumenggung Seconegoro. Eksistensi kekuasaan Seconegoro di daerah Ledok ini dapatdilihatlebihjauhdariberbagaisumbertermasuklaporanBelandayangdibuatsetelahperang Diponegoro selesai. Disebutkan pula bahwa Seconegoro adalah Bupati yangmemindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke kawasan kota Wonosobo sekarang ini. (dikutip dari http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=Daerah&op=detail_kabupaten&id=192&dt=sejarah& nama_kab=Kab.Wonosobodiasespadatanggal1Juni2009). 80PerumPerhutaniUnitIJawaTengahberwenangdanbertanggungjawabataspengelolaanhutan, danmemilikiwilayahkerja,bekaswilayahkerjaPNPerhutaniJawaTengah.WilayahkerjaUnitI JawaTenganmeliputi22kesatuanpemangkuanhutan(KPH)yangmasingmasingdipimpinoleh seorangadministrator/kepalaKPH.LuaswilayahkelolaPerumPerhutaiUnitIJawaTengahadalah 636.435,11hayangmeliputi426.858,58hahutanproduksi,92.622,11hutanlindung,dan116.324,85 hutansuakaalam/konservasi.
79

79

danKeduSelatan.81 TotalluasanhutandiWonosobosendirikuranglebih38.361ha

yang terdiri dari 18.888 ha kawasan hutan negara, dan 19.473 ha hutan rakyat.82 Dengan luas tersebut, maka menjadi wajar apabila kemudian sektor kehutanan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam kehidupan masyarakat di Wonosobo. Masyarakat petani sekitar hutan di Wonosobo yang sebagian besar merupakan petani miskin dengan lahan garapan yang sempit, hidupnya tergantung dengan sumberdayahutanyangadadisekitarnya.Modelpengelolaanhutannegarayang tertutup, tunggal dan sentralistik yang diterapkan oleh Perhutani telah menyebabkanmasyarakatkehilanganaksesterhadapsumberdayahutanyangada di sekitarnya. Selama berpuluhpuluh tahun Perhutani mengelola hutan di Wonosobo,masyarakatyanghidupdisekitardandidalamkawasanhutannegara, tidak pernah mendapatkan peluang yang memadai untuk turut mengakses sumberdaya hutan. Keterlibatan masyarakat tidak lebih hanya sebatas buruh tenaga kerja; yaitu sebagai pesanggem, penyadap getah dan kuli angkut. Bahkan sebagai buruh tenaga kerja pun, masyarakat tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Dalam setiap pekerjaan, tarif upah telah ditentukan secara sepihak oleh Perhutani, dengan nilai upah yang jauh lebih kecil dibanding dengan tarif normal buruh harian. Terdapat posisi tawar yang tidak seimbang, sehingga
KPH Kedu Selatan sendiri selain melingkupi Kabupaten Wonosobo, juga meliputi Kabupaten Banjarnegara, Banyumas, Kebumen, dan Purworejo. Sedangkan KPH Kedu Utara, di luar Kabupaten Wonosobo meliputi Kabupaten Kendal, Semarang, Magelang dan Kabupaten Semarang. 82Hutanrakyatadalahistilahuntukmenyebutpolapengelolaanlahanperkebunan/ladangdiluar kawasanhutannegara.Dengandemikianbasisstatuslahanhutanrakyatadalahtanahyangtelah dibebanidenganhakatastanah.
81

80

masyarakat selalu dalam kondisi untuk terpaksa menerima ketentuan sepihak Perhutani,tanpamampumenawarnya. Marjinalisasi masyarakat dalam pengelolaan hutan menjadikannya media yang sangatbaik,bagimunculnyabenihbenihsengketadankonflikantaramasyarakat denganPerhutani.Fenomenaaksisosialpenjarahanhutandankekerasan,adalah salah satu menifestasi konflik tersebut manakala pecah pada tahun 19982001 silam.Selainpenjarahanhutansecarabesarbesaran,konflikjugamewujuddalam bentukkekerasanyanglainsepertiperusakansaranaprasarana,penganiayaandan pendudukanlahan.
Kotak. 3. Penjarahan Hutan di Wonosobo (dikutip dari Basis Data ARuPA) Penjarahan di Desa Gunung Tugel Kasus penjarahan hutan mahoni terjadi di kawasan RPH Leksono BKPH Wonosobo KPH Kedu Utara. Aksi ini berlangsung sekitar tahun 1998-1999 selama delapan bulan. Aksi penjarahan yang disertai dengan perusakan kendaraan petugas Perhutani dan tempat penimbunan getah pinus dilakukan oleh ribuan penjarah yang tidak hanya berasal dari masyarakat desa sekitar hutan RPH Leksono tapi juga berasal dari dearah yang cukup jauh seperti Purworejo dan Kebumen. Ketika penjarahan marak terjadi di Wonosobo, desa ini kedatangn tamu yang membabat habis hutan mahoni seluas 191 ha milik Perhutani. Sumber: Buletin AKAR edisi Mei 2000 2.345 ha Hutan Wonosobo Dijarah Dalam setahun terakhir, sedikitnya 2.345 hektare hutan yang ada di Wonosobo, Jawa Tengah, habis dan dijarah massa yang jumlahnya mencapai ratusan orang. Kerusakan terparah terjadi di wilayah BKPH Wonosobo dan BKPH Ngadisono yang dijarah 1.212 hektare dari 5.900 hektare luas hutan yang ada. Sumber: Suara Pembaruan, 5 Januari 2002 Hutan Lindung Dieng Habis Dibabat Hutan lindung di kawasan Dataran Tinggi Dieng di wilayah Kabupaten Wonosobo dan Bajarnegara, Jawa Tengah habis dibabat. Bekas kawasan hutan lindung itu dijarah dan diolah menjadi lahan pertanian tanaman kentang. Lebih dari 1.014 hektare kawasan hutan lindung (164 hektare di banjarnegara dan sekitar 900 hektare di Wonosobo) nyaris tak tersisa. Sumber: Kompas, 26 januari 2002 Hutan Wonosobo Menunggu Kejelasan Status

81

Penjarahan hutan di wilayah PT. Perhutani khususnya KPH Kedu Utara adalah fenomena yang sulit diselesaikan. Penjarahan hutan yang ada sekarang adalah penjarahan yang sudah diorganisir dengan rapi dan dibiayai. Penjarahan itu terjadi di BKPH Kleseman dan Leksono. Apakah itu dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan? Saya kira bukan, tapi dilakukan oleh masyarakat dari luar desa sekitar hutan, kata Bambang. Sumber: Bisnis Indonesia, 29 januari 2002 Akibat Otda, Pengelolaan SDA Jadi Rebutan Hutan Wonosobo rusak karena penjarahan secara terus-menerus. Karena keterbatasan, Perhutani tidak bisa berbuat banyak. Para penjarah bekerjasama dengan oknum Perhutani, masyarakat, dan oknum TNI/Polri, plus para penadah. Sumber: Republika, 28 januari 2002 Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Hutan lindung di perbukitan Stalang, Desa Tambi, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, ini telah gundul. 400 KK yang selama ini tak memiliki lahan menangkap kesempatan menggarap hutan lindung yang dahulu ditumbuhi pinus dan sempat terbakar itu dengan berbagai tanaman pertanian. Untuk tetap mendapat sepetak tanah hutan lindung itu warga dipungut Rp. 20 ribu oleh oknum yang katanya akan dibayarkan kepada PT. Perhutani, kalau tidak, warga diancam dengan sanksi UU Kehutanan No. 41/1999. Pungutan itu masih cukup kecil dibanding desa-desa lainnya, misalnya di Kecamatan Treteb, warga dipungut Rp. 100ribu untuk sepetak tanah hutan. Sumber: Kompas, 16 Agustus 2001

Kawasan hutan negara di Jawa yag dikelola oleh Perhutani terdiri dari dua golongan besar tegakan; yaitu jati dan non jati (rimba). Dari penggolongan tersebut, hutan di Wonosobo sebagian besar merupakan tegakan rimba, dengan kelasperusahaanpinus,mahonidandamar.PenjarahanhutandiWonosoboyang dimulaipadaakhirtahun1998merupakanpenjarahanhutanpertamadanterbesar di Jawa yang terjadi pada kawasan non jati. Pada mulanya penjarahan terjadi di daerahKecamatanLeksono,kemudianmeluashampirdiseluruhkawasanhutan negaradiWonosobo.83

83

Laporan reportase investigasi Buletin AKAR, Penjarahan di Desa Gunung Tugel, Edisi Perdana,Mei2000.

82

Areal penjarahan tidak hanya meliputi kawasan hutan produksi saja, bahkan hinggamerambahkekawasanhutanlindung.Hutanlindungdidaerahkawasan cagaralamdatarantinggiDiengjugatidakluputdaripenjarahan.Ribuanpenjarah yang sebagian besar berasal dari luar Wonosobo dengan leluasa melakukan panen raya tanpa dapat dihentikan oleh siapapun. Bahkan upayaupaya yang dilakukanolehaparatkeamanan,baikolehPerhutanimaupunkepolisian,seperti penangkapan pelaku maupun penahanan kendaraan yang mengangkut kayu jarahanmendapatkanperlawananolehpenjarahdenganpelemparanbatu.
Kotak. 4. Berita Dinamika Penjarahan Hutan di Wonosobo Meski Hutan Telah Habis, Penjarahan Kayu Terus Berlangsung WONOSOBO, Penjarahan hutan di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah nampaknya benar-benar sudah menjadi penyakit. Pasalnya, meskipun ribuan hektar hutan milik Perhutani sudah dibabat habis, kini giliran perkebunan kayu milik rakyat menjadi sasaran penjarahan. Bahkan juga dilakukan secara massal, sementara baik petugas Perhutani maupun pihak kepolisian kewalahan. Asper Perhutani Wonosobo Supriyadi mengatakan, para penjarah dan pencuri kayu di daerah pegunungan ini benar-benar sudah sangat keterlaluan. Sebab para penjarah dan pencuri kayu hutan tadi sekarang tidak lagi hanya menjarah hutan milik Perhutani, melainkan juga berani menjarah hutan milik warga, seperti hutan albasia (sengon) dan Kalbi. ''Para pencuri atau penjarah hutan itu benar-benar sudah sangat keterlaluan, karena hutan milik wargapun dijadikan sasaran,'' katanya. Hal itu, katanya, terjadi di Kaliwiro dan dan Kepil. Bahkan dalam melakukan penjarahan di hutan milik wargapun, mereka lakukan secara massal, sehingga baik aparat keamanan maupun aparat perhutani kewalahan menghadapinya. Ironisnya, tambah Supriyadi, beberapa petugas kepolisian yang mencoba meringkus mereka, justru dibalas dengan lemparan batu. Sementara itu, Ketua Fraksi PDIPerjuangan DPRD setempat C Krustanto mengatakan, berhentinya aksi penjarahan hutan milik Perhutani di Wonosobo akhir-akhir ini, karena memang sudah tidak ada lagi yang bisa dijarah, karena memang sudah habis. Menurut Krustanto, ribuan hektar hutan milik Perhutani di gunung Tugel, Kecamatan Leksono benar-benar sudah habis dijarah dan kondisinya benar-benar sudah gundul, tidak ada satupun tanaman penyangga sebagai penahan erosi. Krustanto menilai, hal itu terjadi karena aparat yang terkait tidak mampu menangani kasus penjarahan hutan yang sejak tiga tahun terakhir ini begitu merebak. Di daerahnya, tambah Krustanto, dalam kurun waktu itu hampir setiap hari selalu terjadi penjarahan hutan. "Kami benar-benar menyesalkan tindakan aparat keamanan yang tidak mampu menangani kasus itu, padahal dalam melakukan penjarahan, mereka dengan cara terang-terangan dan bukan menjadi rahasia umum lagi," katanya. Pihak kepolisian membantah anggapan itu, menurut keterangan Polres Wonosobo, sepanjang tahun 2000 yang lalu, telah berhasil menangkap 26 pelaku tindak penjarahan hutan, dan kasusnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan negeri setempat. Asd.

83

Sumber: Republika , 30 Januari 2001 Lahan Pegunungan Dieng Berubah Jadi Cadas Wonosobo, Kompas - Wajah Pegunungan Dieng di Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah, dalam 10-15 tahun ke depan akan berubah dari lahan pertanian yang sangat subur menjadi perbukitan cadas. Ini akibat penjarahan dan perusakan hutan, tekanan terhadap lingkungan yang tidak terkendali, dan tingkat erosi yang sangat tinggi. "Dua tahun lalu erosi di dari pegunungan ini baru 60 ton per hektar per tahun. Akan tetapi, saat ini sudah mencapai 106 ton per hektar per tahun," ujar C Krustanto, Ketua Komisi B DPRD Wonosobo kepada Kompas, Senin (19/3). Ia didampingi Abud, anggota komisi yang sama, baru saja melihat dampak perusakan hutan di Dieng. Sementara Bupati Wonosobo Trimawan Nugrohadi menggambarkan kerusakan hutan akibat penjarahan dan perusakan hutan yang begitu parah telah menimbulkan banjir di Dataran Tinggi Dieng. "Dieng sekarang ini bisa banjir. Setiap turun hujan lebat di sana hampir selalu terjadi banjir. Padahal, Dieng berada pada ketinggian 1.500 meter sampai 2.500 meter di atas permukaan laut," ujar bupati dalam percakapan dengan Kompas. Menurut Krustanto, luasan lahan dengan kemiringan cukup tajam terdiri dari 20.161 hektar lebih hutan negara yang dikelola Perhutani dan sekitar 19.472 ha hutan rakyat. Data di lapangan menunjukkan bahwa 50-60 persen kawasan hutan di Wonosobo rusak. Namun, Krustanto ragu dengan data kerusakan hutan yang diungkapkan pihak Perhutani yang menyebut kerusakan hutan negara akibat penjarahan hanya 3.348 ha lebih. Dampak dari penjarahan dan perusakan hutan itu saat ini sudah mulai dirasakan penduduk Dieng. Selain banjir yang melanda Dieng pada setiap musim hujan, erosi telah menyebabkan pelumpuran (sedimentasi) ke Waduk Wadaslintang dan Waduk Mrica di Banjarnegara, sangat tinggi. Beberapa telaga, di antaranya Telaga Warna, Pengilon, Telaga Balekambang, yang beberapa tahun sebelumnya menjadi salah satu andalan obyek wisata di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara saat ini nyaris hilang. Menurut Abud, dampak yang paling mengerikan dan mulai dirasakan oleh petani adalah hilangnya lapisan tanah subur akibat pola bercocok tanam petani setempat menggunakan sistem guludan lurus. Padahal, dalam rangka konservasi serta mencegah erosi, pola bercocok tanam yang paling tepat adalah menggunakan guludan melingkar atau terasering yang melingkar bukit. Petani kentang mulai merasakan akibatnya karena dalam dua tahun terakhir produksi kentang mulai menurun. Lebih mengerikan lagi, ungkap Abud, lahan pertanian di Desa Patakbanteng kini benar-benar sudah kehilangan lapisan tanah suburnya, bahkan sudah berubah menjadi batu cadas. "Dengan mengorek lapisan tanah sedalam tiga sampai lima sentimeter sudah kelihatan batu cadasnya," ujar Abud. (nts) Sumber: Kompas, 20 Maret 2001 2.345 Ha Hutan Wonosobo Dijarah WONOSOBO - Dalam setahun terakhir, sedikitnya 2.345 hektare hutan yang ada di Wonosobo, Jawa Tengah, habis dan rusak dijarah massa yang jumlahnya mencapai ratusan orang. "Kerusakan terparah terjadi di wilayah BKPH Wonosobo dan BKPH Ngadisono yang dijarah 1.212 hektare dari 5.900 hektare luas hutan yang ada," demikian diungkapkan Wakil Bupati Wonosobo Drs H Kholiq Arief, selaku Ketua Forum Komunikasi Penanganan Penjarah Hutan (FKPPH) dalam evaluasi tahunan di Wonosobo, Jumat (4/1) lalu.

84

Menurut Kholiq, massa yang melakukan penjarahan itu tampaknya sudah tidak takut lagi kepada petugas Perhutani seperti mandor maupun polisi hutan (Polhut). Lokasi penjarahan ada di BKPH Ngadisono yang meliputi wilayah Kaliwiro, Wadaslintang, Kepil, dan Sapuran yang letaknya hanya 300 meter dari kantor Perhutani Sapuran. Kholiq juga mengatakan, nama-nama gembong penjarah hutan itu sudah di tangan kepolisian setempat. Kepada warga di sekitar hutan diimbau agar tidak segan-segan melapor ke polisi atau FKPPH bila melihat ada sekelompok massa yang melakukan penjarahan. Dalam kesempatan terpisah, Asper Kedu Selatan Supardi mengatakan, maraknya penjarahan hutan di Wonosobo dikarenakan adanya order dari seseorang yang mampu mem-back up, sehingga penjarahan berjalan mulus. (057). Sumber: Suara Pembaruan, 5 Januari 2002 Hutan Cagar Alam Dieng Nyaris Habis Dijarah Wonosobo, Kompas - Pembabatan dan penjarahan kawasan hutan lindung di Dataran tinggi Dieng di wilayah Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah, masih terus berlangsung dan hampir tidak menyisakan sedikit pun hutan lindung di sana. Setelah lebih 1.000 hektar hutan-termasuk kawasan situs candi Hindu di Desa Dieng Kulon Kecamatan Batur, Banjarnegara- dibabat dan lahannya dijarah untuk pertanian tanaman kentang, kini hutan cagar alam Telaga Warna dan Telaga Pengilon dibabat penduduk dan lahannya untuk tanaman kentang. Aksi pembabatan hutan dan lahan di Cagar Alam Dieng itu mengakibatkan hutan lindung yang berfungsi melindungi Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari erosi praktis gundul. "Sedikitnya 35 hektar hutan dari 39 hektar kawasan cagar alam Telaga Warna dan Telaga Pengilon ditebang habis oleh penduduk, dan bekas lokasi kawasan hutan tersebut ditanami kentang," ujar Pudjonggo, pejabat pada Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo, Jateng, Rabu (15/10). Sebenarnya, ungkap dia, pembabatan hutan dan penjarahan lahan yang marak tahun 2000 sampai 2001 dapat dikendalikan. Beberapa bulan terakhir, pembabatan hutan dan penjarahan lahan di Cagar Alam Dieng marak lagi. Menurut Pudjonggo, aksi pembabatan hutan lindung di Cagar Alam Dieng itu bukan karena penduduk mengambil kayu, tapi mereka ingin lahan bekas kawasan hutan itu untuk lahan pertanian. Akibat penjarahan itu, kini kawasan hutan Cagar Alam Telaga Warna dan Telaga Pengilon nyaris tidak tersisa lagi. Kondisi ini membuat degradasi lingkungan di Dataran Tinggi Dieng makin parah. Selain menyebabkan erosi yang makin tinggi, kini air di Telaga Warna tidak berwarna lagi. Malah air di dalam telaga mulai mengering. Pada musim kemarau lalu kedua telaga yang dijadikan salah satu dari 10 obyek wisata unggulan Dieng mengering. Mengeringnya air kedua telaga tidak hanya disebabkan kemarau, tapi karena sisa air di dalam telaga habis disedot untuk mengairi lahan pertanian tanaman kentang. "Kalau sekarang di kedua telaga itu ada airnya, itu karena beberapa hari terakhir mulai turun hujan. Namun, apabila dibandingkan dengan di Wonosobo, curah hujan di Dieng lebih rendah. Mungkin ini dampak degradasi lingkungan di Dieng yang makin parah," ujar Pudjonggo. Perusakan kawasan hutan lindung di Dieng termasuk hutan di Cagar Alam Telaga Warna dan Telaga Pengilon mengecewakan wisatawan yang mengunjungi dataran yang tingginya lebih kurang 2.683 meter di atas permukaan laut itu. Bahkan, tidak sedikit wisatawan mancanegara kecewa melihat kondisi Dieng saat ini. Degradasi lingkungan yang begitu parah menyebabkan beberapa kali banjir lumpur di daerah pegunungan ini. (nts) Sumber: Kompas, 16 Oktober 2003

85

Penjarahan hutan dalam bentuk penebangan pohon secara besarbesaran, kemudiandiikuti denganbentuk penjarahan yanglain; yaitu pendudukan lahan. Lahanlahankosongbekasarealpenjarahanhutandimanfaatkanolehmasyarakat sekitar hutan guna dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Pada awalnya masyarakathanyamenanamjenispalawijasepertijagungdanketela.Selanjutnya dalamwaktuyangrelatiftidakterlalulama,masyarakatsudahmembudidayakan jenisjenis tanaman lain yang lebih berharga, misalnya kayu sengon oleh meraka yangmengolahlahandiWonosobobagianbawah,dankentangsertasayurmayur olehmerekayangmengolahlahandidatarantinggiDieng. Walaupun samasama memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat, akan tetapi perbedaan pola budidaya pertanian tersebut tentu saja memberi dampak yang berbeda pula. Penanaman sengon yang dilakukan oleh masyarakat Wonosobo bagian bawah turut berkontribusi memperbaiki kondisi lahan hutan negara yang kosong (gundul) akibat penjarahan. Sedangkan budidaya kentang dan sayurmayur yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan pada wilayah dataran tinggi Dieng turut memperparah kondisi lingkungan karena memperbesarpotensimusibahbanjirdantanahlongsor.84
Kotak. 5. Dampak Penjarahan Hutan di Wonosobo Kualitas lingkungan merosot. Pada musim hujan banyak daerah menjadi rawan bencana terutama banjir dan tanah longsor. Terlebih pada wilayah dataran tinggi Dieng, potensi bencana telah mengakibatkan rusaknya aset wisata dan benda cagar budaya candi peninggalan kejayaan hindu masa lalu. Kesuburan tanah menurun aibat kandungan hara tanah yang terdapat pada lapisan

84

Pengelolaanlahan dilakukandenganmembuat guludan lurus.Padahaluntuk konservasitanah didaerahpegununganseharusnyadibuatteraseringdenganguludanmelingkar(sabukgunung).

86

topsoil hanyut bersama arus air karena tidak ada lagi tegakan yang berfungsi sebagai aliran permukaan. Hilangnya keseuburan tanah mengancam turunnya produktivitas pertanian. Sedimentasi semakin meluas di waduk Wadaslintang dan sumber-sumber air lainnya. Tingkat sedimentasi (volume erosi) DAS Serayu rata-rata 2,74 juta meter kubik per tahun, dengan laju erosi rata-rata 4,04 mm per tahun, jauh melebih ambang batas maksimal yang diharapkan sebesar 2 mm per tahun. Infrastruktur jalan yang rusak akibat dilalui oleh kendaraan berat pengangkut hasil penjarahan hutan, antara lain terjadi di kecamatan Kaliwiro, Wadaslintang dan Sapuran. Data Kabupaten Wonosobo menyebutkan bahwa penjarahan hutan sejak 1998 hingga pertengahan 2001 mencapai luasan 1.810,3 ha dengan jumlah pohon yang hilang sebanyak 245.859 batang dan kerugian mencapai Rp. 40,8 milliar. Menurut data Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, sampai dengan pertengahan tahun 2000 saja, tanah kosong akibat penjarahan yang ada di wilayah Bagian Hutan Wonosobo KPH Kedua Utara dan Bagian Hutan Ngadisono KPH Kedua Selatan mencapai 3.348,7 ha. Sumber: Basis Data ARuPA

Dampak penjarahan hutan yang dilakukan secara sistematis dan terusmenerus mengakibatkan tidak saja kerusakan sumberdaya hutan, namun kondisi lingkungan yang juga turut menjadi korban. Dengan demikian, menjadi jelas konteks problema yang dihadapi oleh Wonosobo ketika fenomena ini terjadi. Di dalam runyamnya silang sengketa dan konflik kehutanan, Wonosobo terbatasi oleh minimnya otoritas yang tidak memadai dalam perannya ikut mengurus kawasan hutan negara. Akan tetapi, di sisi lain dihadapkan pada kenyataan atas dampak penjarahan yang secara langsung ada di depan mata; yaitu ancaman bencanaekologi.Olehkarenaitu,padasatusisiWonosobomempunyaikebutuhan untukmendisainmodelkelolasehinggapotensibencanaekologisetidaknyadapat dihindari. Namun di sisi lain, seolah dipaksa pasrah oleh sebab terdapat limitasi otoritas sehingga tidak bisa menyentuh kawasan hutan negara. Padahal, sebagai pihak yang potensial menderita akibat degradasi lingkungan; yaitu bencana lingkungan,adalahkemungkinanyangtelahsiapdidepanmata.

87

BABIII
DISKURSIVITASDALAMRUANGKONTESTASI KEPENTINGAN(PUBLIK)KEHUTANANLOKAL
Bila adil merupakan unsur konstitutif hukum, suatu peraturan yang tidak adil bukan hanya hukum yang buruk, akan tetapi semata-mata bukan hukum atau non hukum. Oleh karena itu, orang tidak terikat terhadapnya dan tindakan penghukuman (nya) tidak sah. Hukum yang tidak adil bukan hanya sah untuk ditolak, tetapi juga sah untuk dilawan! (Theo Huibers, dalam Filsafat Hukum) Tahun1998tepatnya21Mei1998sayaturutsetujubilamanadianggapsebagai titikbalikbagipelajarankehidupanpolitikdandemokrasikita.Kemapananpolitik yang terbangun dengan mantapstabilitas yang terwujud melalui pendekatan keamananselama kuranglebih 3 dekade lamanya, akhirnya rubuh oleh kekuatankritisyangtelahterakumulasidalamrentangbangunanwaktuitupula. Syahdan, sang despot pun harus ikhlas lengser keprabon bersama penatnya atmosfir kekuasaannya yang angker, yang juga turut sirna seiring. Kondisi ini membawa konsekuensi pada kekuasaan politik yang secara normatif mulai menyebar (dispersi) melalui proses demokratisasi (baik perwakilan maupun deliberasi), desentralisasi, dan liberalisasi politik. Dengan demikian karakter monolitik yang selama sebelumnya lekat sekali melabeli rejim Orde Baru, jelas mengalamiprosesreduksiyangcukupsignifikan. Karakter kekuasaan rejim Orde Baru secara garis besar dapat dipahami sebagai rejim politik yang otoriter, tertutup dan hanya melayani dirinya sendiri. Oleh sebab itu, logic kiranya apablila pada era ini kran partisipasi dan keterlibatan masyarakat pada ranahranah publikuntuk tidak mengatakan tidak ada

88

praktis relatif sangat kecil. Ruangruang otonom masyarakat mengalami pelemahanenergiyangluarbiasaolehkontrolketatnegaramelaluipenetrasidan campur tangan yang kelewat sangat, yang bahkan hingga wilayah privat warga. Jaminanhakhaksosialpolitikdimanasalahsatunyamelaluigaransikebebasan berkelompok, berserikatyang terpajang dalam konstitusi, terbatas sekedar isapanjempol,mengingatmenifestasinyatelahdidisainsedemikianrupasehingga sesungguhnya jaminan tersebut sebenarnya nyaris tanpa makna. Oleh sebab itu, wajarkiranyajikapadakontekstertentukarakteristikkekuasaanrejimOrdeBaru inidapatdikatakansebagaikarakterrejimyangfasis.85 Dengan melihat latar belakang ini, saya rasa menjadikannya cukup relevan guna membantu menjelaskan bahwa konteks peralihan (masa transisi)perubahan corak kehidupan politik yang terjadibukan berjalan dengan lancar (smooth), tanpa kejutan. Keterkekangan yang berlebihan dalam waktu yang telah berjalan cukuplama,sangatmungkinmembawakonsekuensipadapelampiasanekspresif yang bahkan, hingga pada beberapa kasus muncul sebagai fenomena kekerasan
Fasisme secara definisi dimaknai sebagai sistem yang menolak demokrasi, rasionalisme, dan parlementarisme, serta menjunjung tinggi totaliterisme atau kekuasaan negara tak terbatas. Ciri fasisme Orde Baru sesuai batasan yang dibuat Carl Friedrich dalam Encyclopedia of Social Sciences (Vol5dan6,1957)seperti:(1)Adanyaideologidominan,menyeluruhdantertutup;(2)Satupartai yang menganut ideologi totaliter; (3) Sistem intelijen militer maupun sipil yang mengawasi dan meneror kehidupan masyarakat; (4) Kontrol tunggal semua aktivitas masyarakat sipil; (5) Watak teknokratis dan sistem kapitalisme monopoli yang menghantam kebebasan buruh berserikat, depolitisasi massa; (6) Korporatif, rezim memecah masyarakat menjadi golongan fungsional, menjadinegarakarya(MFadjroelRachman,ManifestoPerjuanganManusiaBaru:KritikEkonomi Politik terhadap Kediktatoran Fasis Orde Baru, Pidato Pembelaan di Depan Pengadilan Negeri BandungterhadapGerakan5Agustus1989diInstitutTeknologiBandung,Vonis3TahunPenjara [19891992] dari SukamiskinNusakambangan, Bandung, Januari 1990), dikutip dari http://www.kompas.com/kompascetak/0310/16/opini/622767.htm, diakses pada tanggal 28 Mei 2009.
85

89

dan anarkhis. Chaos massa (mass chaotic), vandalitas dan aksi penjarahan secara spontanitasterlepasdaribeberapaperistiwatersebutberlatarbelakangbydesign dan sistemikmenjadi dapat terbaca sebagai kontekstualisasi terbebasnya ruang politikwarga. Pada wilayah isu kehutanan, terbukanya ruang politik ini kemudian mendorong masyarakatyangtinggaldidalamdantepihutanseolahmenemukanenergibaru untukmengukurkembalititikpijakotoritasdirinya.Maka,terjadinyapenjarahan hutanJawasecarabesarbesaranpadarentangmedio1998awal2001dimanadi beberapa tempat masih terjadi hingga saat ini dalam skala kecil/pencurianbisa jadi merupakan bentuk pengungkapan masyarakat atas posisinya di hadapan negara.Dengandemikiansamaartinyasebagaipenampakan,bahwanegaratelah mengalamiprosesmelemahsehinggadisisilainposisimasyarakatmenguat. Konteks sedemikian ini, dalam bahasa lain sesungguhnya menunjukkan bahwa ada pola relasi antara masyarakat dan negara yang mulai berubah. Hegemoni terhadapwacanahutanmerupakanmiliknegaramenjaditidaklagisteriluntuk dipertanyakan. Oleh sebab itu, hasrat masyarakat petani hutan guna bisa mendapatkanruanglebihdalampengelolaanhutanyangjauhlamasebelumnya hanya bisa terpendam dalam benakkini menemukan momentumnya untuk teraktualisasi. Saya rasa konteks itu pula, yang juga melatarbelakangi sinergitas antara kekuatan non negara (masyarakat dan kalangan civil society/LSM) dengan negara tingkat lokal (Kabupaten Wonosobo) untuk bersamasama menggugat

90

dominasi negara pusat (direpresentasikan oleh Perum Perhutani) atas urusan kehutanandiWonosobo. Meskipun begitu, sinergitas ini pula ternyata juga fluktuatif berkait dengan konstelasitarikmenarikantarakekuatandesentralisasidanresetralisasiyangjuga begitu dinamik. Dengan demikian, cerita di pertengahan sepuluh tahun pertama tahun2000,dimanakebijakandesentralisasidanotonomidaerahdirevisidengan UUNo.32/2004,adalahtermasukhalpentingmanakalamunculfenomenatentang kecenderunganmeskipun negara tetaplah tidak lagi tunggalbagaimana pusat menjadikuatlagi.Atau,janganjangansesungguhnyahanyalahmentalitasdaerah yangsebenarnyatidak(pernah)siapmembusungkandada. Sedemikian, maka dalam bab ini saya mencoba menguraikan tentang bagaimana dinamika dan kronologis diskursivitasdiskursivitas serta kontestasi atas nama kepentingan publik yang terjadi pada kehutanan lokal Wonosobo berjalan. Elaborasi dimulai dengan cerita mengenai bagaimana duduk persoalan yang membincangkan mengenai discourse pengelolaan sumberdaya hutan. Bagaimana PSDHBM harus berbeda dengan PHBM. Kemudian dirangkai dengan cerita tentang bagaimana Wonosobo membaca dan memaknai desentralisasi sebagai peluang keterlibatan Wonosobosebagai tuan rumahdalam mengelola hutan negaraditeritorinya. Dalam konteks memaknai desentralisasi tersebut, selanjutnya memunculkan konsekuensikonsekuensi di mana Wonosobo kemudian harus mempertahankan

91

pilihansikapdanposisinya,terutamamanakalapilihantersebutharusmendapat tentangan(chalange)olehkekuatankekuatanyangkontra.Olehkarenaitu,upaya rekognisi,vonistelahkebablasandalampilihansikapdanposisiolehperspektif negarapusatdimanaWonosobodipaksauntukmenganulirkeputusannyadan sehingga Wonosobo harus realistis untuk masuk dalam skema resolusi kompromis, adalah bagian dari dinamika diskursivitas, meskipun kemudian berjalan tanpa kontestasi yang menarik lagi. Pada konteks ini, para pihak yang terlibatseakanterjerambabdalamsituasiantiklimaks,fokuspadakepentingannya sendiri. A. DudukPerkaraPSDHBMVsPHBM Realita menunjukkan, bahwa pengelolaan sumberdaya alam (baca: hutan) yang selamainiberjalandandilakukanoleh,baikswastamaupunnegara,lebihbanyak menampilkan konsekuensikonsekuensi negatif yang tidak hanya terjadi pada ranahekologis.Tetapiyanglebihpentingmenuruthematsaya,adalahjugapada konteks sosial. Cara pandang yang mendasari dalam praktek pengelolaan sumberdayahutan,yanghanyasekedarmelihathutansebagaisumberdayatidak lebihdaripadakayuansichadalahakarpersoalanutama.PengalamanJawayang telah berumur berabadabad kini, ditambah dengan empat dekade riwayat ekploitasikayuluarJawa,tidakdapatdikesampingkanbahwakontekssedemikian itusemestinyamenyuguhkanpelajaranyangteramatberhargadalammengambil sikapkemudian.

92

Apabila kita cermat merujuk ke belakang berkait dengan cara pandang yang sempit itu, maka sesungguhnya perbincangan ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana negara memahami pembangunan yang sematamata sebagai ideologi pertumbuhan ekonomi belaka. Konteks kesejarahan ratusan tahun pengalaman Jawa, yang kemudian belakangan ditularkan kepada pulaupulau di luar Jawa sejakawal70ansilam,hakekatnyaadalahfenomenayangserupa.Tidakberbeda! Masa kolonial, baik era VOC maupun era pemerintahan Hindia Belanda, serta masa pemerintahan negara sendiri setelah merdekabaik di Jawa maupun luar Jawasamasama mempraktekkan derivasi kapitalisme; yaitu dengan

memandang hutan sebagai sumberdaya untuk memupuk keuntungan semata mata. Kalaulah Daendels pada awal pemerintahannya (18081811) kemudian mengintroduksi konsep penghutanan kembali (reforestasi) akibat kerusakan sumberdaya hutan yang ditinggalkan oleh VOC, toh sesungguhnya tetap dalam kepentingan menjamin keberlanjutan pasokan bahan baku kayu. Terlebih manakala konsepsi reforestasi tersebut, dimanifestasikannya dalam bentuk hutan tanaman monokultur; yaitu dengan jenis vegetasi yang homogen. Dengan demikian menjadi kian jelas, bahwa spirit utamanya adalah kayu sebagai sumberdaya ekonomi. Tepat, sebagaimana niat utama kolonialisme adalah bertujuanmemindahkan kekayaandaridaerahyang dikolonisasi ke daerah yang

93

mengkolonisasi. Bukan kepentingan ekologis, apalagi kepentingan sosial setempat!86 Begitu pula dengan perilaku republik yang terbentuk pasca kolonialisme. Pelanggengan praktek kehutanan Jawa sebagaimana warisan masa kolonial, di manakemudiandiikutidenganeksploitasikayudarihutanalamdiluarJawa, menjadikannya mempunyai karakteristik yang tidak terlalu jauh berbeda. Lebih lebih ketika rejim Orde Baru berkuasa, maka tonggak kebijakan pada awal masa pemerintahannya cukuplah lugas menegaskan ideologi yang dianutnya. Keluarnya UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, adalah fase monumetal mengenai bagaimananegaramemahamipembangunansebagaipertumbuhanekonomiyang sebesarbesarnya,dengansumberdayaalamsebagaibasistumpuannya. Pada konteks sektoral kehutanan, saya rasa kita semua paham bahwa pada awal tahun 1970yaitu dengan keluarnya PP No. 21/1970 tentang HPH dan HPHH sesungguhnyanasibhutandiluarJawaketikaitumulaidipertaruhkan.HPHdan HPHH menjadi instrumen paling sempurna yang digunakan oleh negara guna mengkonversi kayu menjadi pundipundi keuntungan semata; yaitu devisa. Melalui pendekatan keamanan, seolaholah persoalan sosial di lapangan dapat
Pada konteks sosial, jelas bahwa model pengelolaan sumberdaya hutan kolonial tidaklah memberikankontribusisamasekalibagikesejahteraanmasyarakatyanghidupdidalamataupun di sekitar hutan. Bahkan sebaliknya, karena konsepsi pengelolaan kehutananyang kemudian diklaimsebagaimodelpengelolaanyangilmiahdanmodernjustrumenceraikanrelasiemosional antaraentitassosialdengansistemkehutanan.Negaraisasihutandenganmenegaskantapalbatas (border)yangmembedakanantarakawasanhutandankawasanhuniankomunitas/desaadalah buktikonkritatashalitu.
86

94

terselesaikan. Pengambilan keputusan secara top down dan nir partisipasi sebagaimana corak program pembangunan kala itu, dan bahkan hingga kini dalam menentukan kawasankawasan konsesi HPH/HPHH oleh Jakarta, sama sekali tidak pernah mempertimbangkan potensi konflik sosial di lapangan. Keberadaankomunitasyanghidupdantinggaldikawasanhutanseolahdinafikan begitu saja. Malah celakanya, eksistensi komunitas lokal tempatan tidak jarang menerima konsekuensi dikriminalisasikan sehubungan dengan telah

memanfaatkan dan memungut, serta masuk dalam kawasan hutan tanpa ijin negaradi mana sebenarnya aktivitas mereka itu tidaklah lebih dari sekedar moralitassubsistenkeseharianbelaka. Intinya,gagasanpembangunandenganpendekatanpendekatanyangtopdown,nir partisipasi, sektoral dan sentralistik sedemikian itu, dengan begitu dapat dibaca sebagaikekeliruanmanakalapengurusansumberdayahutandisisilainmenaruh harapanataskebutuhankeberlanjutan(sustainability).Olehkarenapadaranahini, aspek ekologi dan keadilan sosial (equity) tidak menempati porsi yang cukup memadai. Pada konteks pengalaman sedemikian tersebut menjadi pelajaran, maka praktek praktek tradisional yang menonjolkan peranserta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan, menjadi mozaik yang menawarkan warna menarik yang berbeda. Praktek yang mengedepankan karakteristik dan kearifan lokal (local wisdom) jelas lebih sensitif terhadap keberlanjutan fungsi ekologi karena tidak menganut hasrat keserakahan dalam pengurusannya. Dalam ranah sosial, juga

95

menggambarkan corak pembeda manakala praktek kehutanan berbasis masyarakat mempunyai kekhasan (distingsi); yaitu dikembangkan dengan budidaya manusia yang sangat intensif.87 Dengan demikian, ada terbangun konteks interrelasi sosial dengan sistem kehutanan sebagai satukesatuan yang tidakterpisahkan. Dalam ranah ini, beradanya pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat (PSDHBM) selain sebagai bentuk (model) dalam pengurusan hutan, posisi pandangsayajugamengatakannyasebagaiparadigma.Olehsebabitu,manakala kemudian di dalam tataran praksis muncul beragam nomenklatur berkaitan dengan model pengurusan sumberdaya hutan dengan corak tersebut, menurut hemat saya, semua itu berangkat atas landasan tolak yang sama. Sistem Hutan Kerakyatan, Kehutanan Masyarakat, maupun Hutan Kemasyarakatan, adalah sekian istilah yang muncul dalam ragam ini. Hal lain, selebihnya makna yang terkandung adalah lebih mendalam, di mana tidak sekedar mewujudkan penyediaan hasil hutan bagi masyarakat atau melibatkannya dalam pengelolaan hutan, melainkan menempatkan masyarakat sebagai aktor utama. Baik sebagai pengelolahutanyangdiusahakanpadatanahhakmilik(tanahyangtelahdibebani dengan hak atas tanah), maupun pada lahan negara.88 Dengan demikian, status penguasaanataslahanmenjadisangatesensialdalampengembangankelolahutan berbasis masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, tidak saja mekanisme partisipatif

Hasanu Simon, Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa),PustakaPelajar,Yogyakarta.2008.hlm.148 88DudungDarusman,dalamSekapurSirihStudiPengelolaanHutanBerbasisMasyarakat,Studi KolaboratifFKKM,PustakaKehutananMasyarakat,Jakarta.2000.
87

96

masyarakat dalam konteks kelola tersebut, tetapi juga terdapatnya ruang kontrol olehmasyarakatlokal,yangsayarasaadalahlebihpenting. Raharjo dan Pradhan, sebagaimana mengutip Campbell (1997),89 menyatakan bahwa berbasis masyarakat adalah lebih pada proses perubahan sikap dan orientasi,mekanismeinstitusionaldanadministratifsertametodemanajemendari pengelolaan sumberdaya hutan. Dengan demikian, pergeseran yang diperlukan dalam mewujudkan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat, adalah sebagaimanatereksposdalamtabeldibawahini:
Tabel. 1. Pergeseran Kopseptual menuju PSDHBM
No. A 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. B 1. 2. 3. 4. 5. 6. C 1. 2. 3. 4. 5. 6. Menuju Sikap & Orientasi Pengendalian Dukungan/fasilitasi Penerima manfaat Mitra Pengguna Pengelola Pembuatan keputusan unilateral Partisipatif Orientasi penerimaan Orientasi sumberdaya Keuntungan nasional Orientasi keadilan lokal Diarahkan oleh rencana Proses belajar/evolutif Institusional & Administratif Sentralistik Desentralisasi devolusi Manajemen (perencanaan, pelaksanaan, Kemitraan monitoring) oleh Pemerintah Top down Partisipatif/negosiable Orientasi target Oreinetasi proses Anggaran kaku untuk rencana kerja besar Anggaran fleksibel dengan rencana mikro Aturan-aturan untuk menghukum Penyelesaian konflik Metode Manajemen Kaku Fleksibel Tujuan tunggal Tujuan ganda/beragam Keseragaman Keragaman Produk tunggal Produk beragam Menu manajemen yang tetap dengan Beragam pilihan aturan silvikultur aturan silvikultur untuk spesifik lokasi Tanaman Regenerasi alam Dari

Diah Y. Rahardjo dan Ujjwal Pradhan, Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat: Wacana atau Pilihan? makalah tanpa tahun, dikutip dari http://www.damarnet.org/download/makalah%20Seminar%20PSHBMDAMAR.pdf diakses pada tanggal1Juli2009.
89

97

7.

Tenaga kerja/buruh/pengumpul

Manajer/pelaksana/pemroses/pemasar

Meskipun demikian, dalam banyak dimensi, konseptualisasi PSDHBM ini tidak jarang terdistorsi dalam tataran teknis sekedar menjadi sistem kehutanan yang sifatnya agroforestry. Walaupun, memang benar bahwa secara teknis praktek masyarakatdalammengembangkan sistem kehutanan mandiri merekadimana kemudiansecaraaklamasikitaberikanlabeldenganistilahPSDHBMmerupakan sistem kehutanan agroforestry. Hal ini yang kemudian, menurut hemat saya menjadi awal dari persoalan. Bahwa adanya konteks strategi moralitas subsisten masyarakat di kawasan hutan salah satunya bisa jadi dapat terjawab melalui kehutanan agroforestry, namun manakala ruang kontrol dan partisipasi senyatanya tidak pernah muncul menyertai, maka dengan demikian, sesungguhnyatidaklagibisadikatakanberbasismasyarakat. Fenomena ini, terbaca manakala negara melalui Perhutani menginisasi program program kehutanan sosialnya dalam rangka menjawab problematika sosial yang menyertaiindustrikehutananmereka.Problematikasosialinipulayangkemudian menyadarkan pada kita semua, bahwa mendikotomikan entitas sosial dengan sistem kehutananmelalui instrumen regulasi (hukum)yang seolah produktif bagi perspektif industri kehutanan, ternyata menjadikannya memunculkan permasalahanbaru. ProgramprogramkehutanansosialolehPerhutanimengemukaketikapadaawal tahun 1970an, Direksi Perhutani memberlakukan program MALU; yaitu kerjasama antara Mantri Hutan dengan Lurah/Kepala Desa melalui pendekatan

98

kesejahteraan (prosperity approach). Program ini bertolak atas pemahaman bahwa ketergantungan pencaharian masyarakat desa sekitar hutan yang tinggi terhadap kawasan hutan, merupakan akar penyebab timbulnya masalah bagi kelestarian tegakan pohon di lahan kawasan hutan negara. Melalui berbagai bantuan sosial, diharapkan Lurah/Kepala Desa dengan Mantri kehutanan (aparat Perhutani di tingkat desa), secara terpadu dapat mengendalikan kegiatan pencaharian pendudukberupa perencekan (pengambilan ranting kering) dan pengembalaan ternaksehinggajangansampaimengganggutanamankehutananPerhutani. Ataskontekspemahamantersebutjuga,kemudianPerhutanimengembangkannya dalambentukprogramperhutanansosial(socialforestry)padaawal1980an,yang intinya memberikan kesempatan kepada masyarakat desa hutan untuk dapat terlibatdalamkegiatankehutananPerhutanimelaluikontraktanam.
Kotak.6. Beberapa Mitos yang Mengemuka ke Ruang Publik perihal Sistem Pengelolaan Hutan di Kawasan Perhutani:90 a. Bahwa secara legal, pengukuhan kawasan hutan di wilayah Jawa telah selesaidengan demikian persoalan agraria dianggap bukan lagi menjadi prioritas untuk diselesaikan. Tukar menukar kawasan cukup diselesaikan oleh sebuah tim kerja yang biasanya bersifat ad hoc, di bawah otoritas dan kebijakan Departemen Kehutanan. Bahwa secara struktural dan fungsional, Perhutani telah terorganisir dengan baik, khususnya dalam hal pengambilan keputusan, pembagian wewenang, tata kerja, serta jenjang karir. Dalam hal ini, heirarki kekuasaan berlaku sangat kental dan semakin ke atas semakin kuat dalam mengambil keputusan. Bahwa masyarakat sekitar hutan selama ini selalu dicap sebagai pihak yang mengganggu keamanan hutan; misalnya dalam pengambilan rencek (kayu bakar), penggembalaan ternak, kebakaran hutan, pencurian kayu jati, pengambilan daun, dan perusakan terhadap areal tanaman baru. Bahwa masyarakat sekitar hutan yang miskin dan berpendidikan rendah dianggap tidak pernah mampu untuk mengelola hutan, sehinga setiap

b.

c.

d.

90

Faisal H. Fuad, Negosiasi Tanpa Henti, Lembaga ARuPA, Yogyakarta. 2000. Makalah dipublikasikan dalam http://arupa.or.id//index.php?option=com_content&task=view&id=25&Itemid=39 diakses pada tanggal3Juli2009.

99

e.

f.

persoalan kehutanan harus selalu dikendalikan oleh aparat Perhutani maupun pihak-pihak lain di luar masyarakat. Bahwa keterlibatan masyarakat dalam penanaman hutan (misalnya melalui tumpangsari, banjar harian, cemplongan, borongan dan sebagainya) dan pekerjaan-pekerjaan kehutanan lainnya (penjarangan, pemeliharaan, penebangan), sudah cukup memberikan imbalan bagi mereka (misalnya dalam tumpangsari dengan tersedianya lahan garapan dan hasil pertanian yang diperoleh), selama masa kontrak. Bahwa program-program Perhutanan Sosial yang dijalankan oleh Perhutani telah berdampak cukup besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Misalnya sejak masa prosperity approach di tahun 70-an sampai PMDHT (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu) di akhir 90-an; pihak Perhutani selalu mengklaim bahwa sekian milyar rupiah telah dikeluarkan untuk membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.

KonsepsiPerhutananSosialitusendirisesungguhnyaadasejaktahun1978,ketika terjadi Kongres Kehutanan Dunia di Jakarta, di mana muncul inisiatif di pihak Perhutani untuk memperbaikiprogram kemitraan prosperity approachnya dengan temaForestforPeople.DengandifasilitasiolehFordFoundation,programprogram perhutanansosialinikemudiandirealisasikanpadatahun1986.Atasdasarmakin meningkatnya intensitas persoalanpersoalan sosial, seperti tekanan masyarakat terhadap hutan, program perhutanan sosial dimodifikasi sedemikian rupa, sehinggamunculprogramPembinaanMasyarakatDesaHutanTerpadu(PMDHT) tahun 1994. Dan, terakhir kemudian pada tahun 2000 (hingga kini) Perhutani melansirprogramPengelolaanHutanBersamaMasyarakat(PHBM). Oleh sebab konsepsi perhutanan sosial pada hakekatnya merupakan pemikiran yang bertolak dari bentuk industri kehutanan (konvensional) yang sekedar dimodifikasi untuk memungkinkan distribusi sebagian kecil keuntungan kepada masyarakat, maka keterlibatan masyarakat janganlah dibayangkan akan jauh hingga sampai pada peran kontrol dan pengambilan keputusan. Dengan demikian, kalaulah program PHBM di satu sisi dinilai sudah bisa dianggap

100

sebagai sebuah langkah progresif dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang melibatkanmasyarakat,tetapipadakenyataannyahegemoniolehPerhutaniyang sebenarnya lah yang terjadi. Mengapa? Karena menurut hemat saya, pada dasarnya tidak terjadi perubahan yang sifatnya paradigmatik (shifting paradigm) dalampengelolaansumberdayahutan. ProgramPHBM,munculsebagaireaksiPerhutanidalammengantisipasituntutan masyarakatpascareformasi1998.Sebelumnya,Perhutanidengansistemtumpang sari konvensional, di mana masyarakat hanya mendapatkan kesempatan untuk memanfaatkan lahan di selasela tanaman pokok kehutanan yang secara waktu terbatas tidak lebih dari 3 tahunkarena di atas waktu tersebut tajuk tanaman pokok kehutanan telah menutupi tanaman sela sehingga tanaman sela tidak lagi produktiftidak memberikan manfaat yang cukup berarti bagi masyarakat desa hutan. Di samping itu, bertambahnya lahan kosong sebagai akibat penjarahan selamarentangwaktureformasi,jugamenjadisalahsatupertimbanganmanakala Perhutanitidakinginjugakehilanganlahannya.Dalamkonteksmengambilhati tersebut,makakemunculanprogramPHBMdiharapkandapatmenjadijawaban. MelaluisuratkeputusanDireksiNo.1061/Kpts/Dir/2000dankemudiandigantikan dengan surat keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani No.

136/Kpts/Dir/2001, program PHBM diluncurkan dengan membawa perbedaan lebihdibandingdengankebijakankebijakanserupasebelumnya.Perbedaanyang lebih dalam konteks ini adalah munculnya konsep bagi hasil terhadap nilai ekonomis hasil pemanenan tanaman pokok kehutanan dalam porsi 25% untuk

101

masyarakat dan 75% untuk Perhutani. Namun demikian, skema bagi hasil 75% untuk Perhutani dan 25% untuk masyarakat ini dinilai tidak cukup adil. Hal sedemikian oleh karena, kontribusi masyarakat selalu lebih banyak jika dibandingkan dengan kontribusi Perhutani. Masyarakat yang melakukan pekerjaan penanaman, pemeliharaan, keamanan, dan tenaga penebangan dalam pemanenan, tetap saja terbentur dengan kompensasi yang murah oleh karena dihadapkan pada klaim pemilik sah lahan hutan negara adalah perhutani. Perhutaniselalumenegaskandirinyasebagaituantanah(landlord)dalamhalini.
Tabel. 2. Perbandingan Kebijakan PSDHBM Wonosobo dan PHBM Perhutani
Aspek Lokasi Prioritas Pengakuan Organisasi Masyarakat yang mengelola Peran Masyarakat PSDHBM Wonosobo Lahan kosong di kawasan hutan negara yang sudah digarap oleh masyarakat kelompok pengguna hutan yang telah memiliki rencana pengelolaan kelompok masyarakat yang disiapkan dalam leveling blok, dusun, atau desa Sebagai pelaku utama dalam skema pengelolaan sumberdaya hutan PHBM Perhutani Lahan kosong di kawasan hutan negara Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang disetujui oleh Perhutani dan disahkan notaris Sebagai salah satu pihak dalam skema kerjasama tripihak pengelolaan hutan (Perhutani, Masyarakat dan Pihak ke3) Direksi Perhutani (di Jakarta) menetapkan rencana pengusahaan jangka menengah (5-8 tahun) yang berlaku di seluruh Jawa KPH membuat rencana pengelolaan tahunan berdasarkan rencana pengusahaan jangka menengah KPH menetapkan recana teknis dan menyampaikannya kepada masyarakat tentang hal-hl yang berkaitan dengan jenis tanaman pokok, jarak tanam, dan lain-lain Masyarakat (diwakili oleh LMDH) dengan Perhutani

Proses Perencanaan

Masyarakat menyusun rencana pengelolaan Forum Hutan Wonosobo mengkaji rencana pengelolaan dan mengususlkan perbaikan melalui diskusi dengan masyarakat di lapangan Bupati menyetujui rencana pengelolaan berdasarkan rekomendasi dari FHW dan Dishutbun Kabupaten

Penandatanganan Perjanjian

Masyarakat (diwakili oleh kelompok pengguna hutan) dengan pemerintah

102

kabupaten (diwakili oleh Bupati) Durasi Pengelolaan 30 tahun dengan masa percobaan 6 tahun (diatur dengan perjanjian resmi)

Bagi Hasil

Berdasarkan perhitungan kontribusi masing-masing pihak (Masyarakat dengan pemerintah kabupaten)

(diwakili oleh Administratur/KKPH) 2 tahun berdasarkan kesepakatan resmi dan dapat diperpanjang setiap tahun sampai 10 tahun degan perjanjian tak resmi 25% masyarakat, 75% perhutani

Di samping itu, skema PHBM Perhutani tidak mencerminkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan hasil oleh karena masyarakat tidak dapat mengetahui mekanisme penentuan harga dan pengelolaan keuntungan panen kayu. Dengan demikian, menjadi tidak terlalu mengejutkan manakala muncul persepsi apabila PHBM hanya dijadikan oleh Perhutani untuk mengendalikan penguasaan lahan yang selama ini sudah digarap oleh masyarakat, melalui programpengelolaanhutanbiayamurah.Tidaklebih! B. Desentralisasi dalam Perspektif Lokal (Wonosobo): Inisiasi Gerakan

AmbilAlihHutan Konsekuensi dari disepakatinya pembaruan politik (reformasi) 1998selain membawa liberalisasi hingga terdapat kecenderugan demokratisadalah penataanulangpolarelasiantarapusatdandaerah.Sedemikian,polarelasiyang sebelumnya teramat sekali terasa bias pusat (sentralistik), didorong untuk ter desentralisasi.Kebutuhaninilebihjauhkarenadidukungolehsemangateksistensi lokalitas setelah sebelumnya rejim Orde Baru begitu kuat mengkooptasi melalui mekanisme intervensi demi kepentingan pusat kekuasaan; Jakarta. Di mana bila merujuk pada UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, nampak begitu

103

bertentangan jika diperbandingkan dengan kebijakan serupa sebelumnya pada masasentralisasi.Padakonteksitupulakemudian,munculnyajudgementsebagai eradesentralisasidanotonomidaerahadalahkonsekuensilogismanakaladaerah memiliki kelebihan untuk menikmati sifat otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab.91 Meskipun demikian, sesungguhnya pola relasi antara pusat dan daerah bukan berarti baru nampak mendapatkan ruang perbincangan setelah reformasi. Oleh sebabitu,konteksperjalananmencariformulasidemikian,bahkantelahadasejak masa kolonial. Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan

UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, Penjelasan Umum angka 1 huruf h: Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam undangundang ini pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomiluasadalahkeleluasaanDaerahuntukmenyelenggarakanpemerintahanyangmencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yangakanditetapkandenganPeraturanPemerintah.Disampingitukeleluasanotonomimencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalahkeleluasaanDaerahuntukmenyelenggarakankewenanganpemerintahandibidangtertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di Daerah. Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawabansebagaikonsekuensipemberianhakdankewenangankepadaDaerahdalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yangserasiantaraPusatdanDaerahsertaantarDaerahdalamrangkamenjagakeutuhanNegara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi untuk Daerah Propinsi diberikan secara terbatas yang meliputi kewenangan lintas Kabupaten dan Kota, dan kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentulainnya.
91

104

Desentralisatie Wet, yang membawa konsekuensi pemerintahan di Jawa dan Madurayangterbagiataskaresidenan(Gewest),kabupaten(Afdeeling/Regentschap), kotapraja (District/Standgeemente), dan kecamatan (Onderdistrict).92 Pada masa itu konsep penataan pola relasi pusat dan daerah dimaknai sebagai usaha untuk mengatur kekuasaan pemerintah Kerajaan Belanda yang terlalu luas, namun sesungguhnya tetap untuk mengefisiensikan dan mengefektifkan proses eksploitasisumberdayaalamdemikepentingankekuasaandinegeriBelanda.Oleh karenanya, meskipun pemerintah kolonial lokal di HindiaBelanda memperolah keleluasaan kewenangan (otonomi) dari Kerajaan Belanda, namun visi utama tetaplahuntukkepentinganpemerintahkolonial.
Kotak.7. Perjalanan Kebijakan/Peraturan Pemerintahan Daerah: 1. yang Mengatur tentang Sistem

2.

3.

4.

UU No. 1/1945 pemerintah mencoba menghidupkan otonomi daerah, antara lain dengan membentuk Komite Nasional Daerah (KND)kecuali wilayah Yogyakarta dan Surakartauntuk mewujudkan politik desentralisasi, dengan prinsip otonomi berdasarkan kedaulatan rakyat. KND pada gilirannya berubah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD), yang bersama-sama dengan pemimpin daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerah; UU No. 22/1948 tentang Pemerintahan Daerah otonomi daerah diberlakukan dalam dua pemahaman. Pertama, otonomi penuh, yaitu penyerahan penuh hak otonomi, tak terbatas pada kewenangannya, tetapi juga pada pelaksanaannya. Kedua, otonomi tidak penuh, yang dikenal sebagai tugas pembantuan (medebewind); UU No. 1/1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dengan prinsip otonomi yang riil dan seluas-luasnya terutama bagi daerah yang berhak mengurus rumah tangga-nya sendiri, yang disebut juga sebagai Daerah Swatantra dan Daerah Istimewa; PenPres No. 6/1959 tentang Pemerintah Daerah, pengaturan dilatarbelakangi oleh munculnya Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang 5 Juli 1959

Padatanggal23Juli1903undangundangmengenaidesentralisasipemerintahanHindiaBelanda , yang bernama De Wet Houdende Decentralisatie van Het Bestuur in NederlandsIndie, berhasil diterima sidang Twee de Kamer dan diundangkan dalam Staatsblad van Het Koninkriijk Der NederlanderTahun1903No.219yangdikenalsebagaiDecentralisatieWet1903(Wignjosoebroto, 2004dalamKututSuwondo,PenataanDaerah[TeritorialReform]danDinamikanya,rangkuman hasil seminar internasional ke8 Dinamika Politik Lokal di Indoensia, Percik 2 Oktober 2007, diakses dari http://percik.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=23 diakses pada tanggal3Juni2009).
92

105

5.

6.

7.

8.

dan pertimbangan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, serta merintangi pembangunan semesta sehingga dipandang perlu untuk mengatur kembali bidang-nbidang Pemerintah Pusat maupun bidangbidang Pemerintahan Daerah; UU No. 18/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dengan prinsip otonomi yang riil dan seluas-luasnya berkaitan dengan pertimbangan ketentuan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.II/MPRS/1960, sesuai dengan kegotong-royongan Demokrasi Terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, mewujudkan daerah-daerah yang dapat berswadaya dan berswasembada. Dalam era ini pula kemudian dikenal istilah Daerah Tingkat III (kecamatan) sebagai salah satu daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga-nya sendiri; UU No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Melalui Ketetapan Nomor IV/Tap MPR/1973, prinsip otonomi seluas-luasnya sebagaimana tertuang dalam Ketetapan Nomor XXI/MPR/1966 diubah menjadi otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Hal ini kemudian menjadi acuan dalam pembentukan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini bertekad mewujudkan otonomi daerah yang tidak mengancam ketahanan politik dalam rangka mewujudkan ketahanan nasional serta memelihara dan mempertahankan NKRI dan kesinambungan pembangunan nasional. Dalam UU No 5/1974, pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan asas desentralisasi dan dilaksanakan bersamaan dengan dekonsentrasi. Namun, yang nyata dirasakan adalah sentralisasi dalam pelaksanaan administrasi pemerintah Indonesia. Keberagaman di daerah hampir tak terwadahi. Kebijakan yang berkaitan yang menegaskan fenomena penyeragaman tersebut salah satunya adalah UU No. 5/1979 tentang Desa, yang menyeragamkan istilah serta struktur pemerintahan desa di seluruh Indonesia; UU No. 22/1999, dengan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertangungjawab melalui Daerah Kabupaten/Kota sebagai titik tumpunya, sehingga Kabupaten/Kota terhadap Propinsi bukanlah relasi yang hirarkhies. Dalam kebijakan ini juga terdapat perubahan yang cukup signifikan sebagai sinyal terakomodasinya keragaman daerah, dengan munculnya pengaturan tentang desa yang dikembalikan kepada karakteristik lokalitas setempat; UU No. 32/2004, dengan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab, namun mereduksi keleluasaan Daerah Kebupaten/Kota dan memperkuat fungsi monitoring dan supervisi pada Daerah Propinsi terhadap Kabupaten/Kota. Diolah dari berbagai sumber

Padaerapascakolonial,kebijakanyangmembicarakanmengenaipenataanrelasi antara pusat dan daerah cukuplah beragam. Dari saat setelah proklamasi kemerdekaan dengan munculnya UU No. 1/1945, UU No. 22/1948 dan UU No. 1/1957. Kemudian masa Orde Lama dengan keluarnya PenPres93 No. 6/1959 dan UU No. 18/1965. Era Orde Baru melansir UU No. 5/1974 tentang Pokokpokok

PenPres adalah singkatan dari Penetapan Presiden; yaitu produk hukum pada era Demokrasi Terpimpin sebagai manifestasi hak prerogratif presiden (Soekarno) ketika itu, sebagai basis justifikasikebijakankebijakanyangdikeluarkannya.
93

106

PemerintahandiDaerahdanUUNo.5/1979tentangPemerintahanDesa.Danera reformasimelaluiterbitnyaUUNo.22/1999,danyangkemudiandigantikanoleh UU No. 32/2004. Namun dari perjalanan kebijakan penataan relasi pusat dan daerah tersebut, yang paling membekas dan menimbukan trauma adalah kebijakanpadamasaOrdeBaru;yaituUUNo.5/1974.DalamUndangundangNo. 5/1974pelaksanaanotonomidaerahlebihmengedepankanotonomidaerahsebagai kewajiban daripada hak. Selain itu, sesungguhnya UU tersebut juga menganut prinsip yang menekankan pada asas desentralisasi yang dilaksanakan bersama samadenganasasdekonsentrasi. Oleh sebab itu, pada konteks ini lah saya rasa kemudian, meskipun telah mengisyaratkan mengenai adanya asas desentralisasi, tetapi dalam realisasinya mempunyaikecenderungan sentralistik.Pusat,dengankekuasaannya masih kuat mengendalikanpemerintahdidaerah.Sehinggapadaeraitu,daerahterposisikan tidakbisaindependendanlebihbanyaktergantung.Lebihlebihdalampersoalan perimbangankeuangandimanadaerah,wajibmenyerahkanpendapatandaerah nya tanpa ada proporsi pengembalian pembagian hak yang sepadan. Melalui propinsi, pemerintah pusat berhasil menghegemoni daerah bahkan hingga pelosoktingkatdesa. HegemoniolehOrdeBaruhinggapadajelajahteritorialyangbahkansampaipada lapisan sosial yang terendah (Desa/Kelurahan, RW dan RT), terjadi dengan smooth oleh karena rejim yang berkuasa ketika itu berhasil menguasai

107

birokrasibaik sipil dan militeruntuk solid dalam satu suara.94 Ditambah dengankekuatanketiga;yaitugolongankekaryaan(Golkar)yangsesungguhnya lebih merupakan mesin politik ketimbang institusi sosial

kemasyarakatan/kekaryaanmakalengkaplahbetapadisainnegarapadasaatitu adalahtunggal(monolitik),tertutupdanterpusat(sentralistik).95 Desentralisasipadaerapascareformasiselainsebagaikonsekuensi,disisilainjuga membawa konsekuensi pada tidak tunggalnya lagi negara. Penyebaran kekuasaan pada negara sebagai entitas (subyek yang mempunyai perilaku), selanjutnya juga membawa fenomena dikotomi pusat dan daerah yang sangat
Dalam sudut pandang lain sesungguhnya, ada yang melihat biang keladi utama dari watak kekuasaan rejim Orde Baru adalah militer. Oleh sebab itu rejim Orde Baru disebut juga sebagai rejim totalitarianisme militer. Militer yang direpresentasikan oleh Soeharto melakukan kontrol terhadapsemuabidangkehidupansosial,politik,ekonomi,hukumdanbudayamelaluijejaring militer sebagai instrumen utamanya. Ini dapat terlihat dari diterapkannya doktrin dwi fungsi ABRI pada masa itu, di mana kekuatan militer tidak saja mempunyai fungsi pertahanan dan keamanannegaratetapijugaharusmenjalankanperansosialdanpolitik.Sehinggamenjaditidak heran manakala militer tidak taat kittah (cukup berada di barak), dan memilih mengembangkan strukturbirokrasiteritorialkhususnyaTNIADyangmenyandingibirokrasisipildalamrangka mengawasi (kontrol), bahkan mengkooptasi. Struktur birokrasi teritorial tersebut adalah: Kodam (Komando Daerah Militer) untuk birokrasi setingkat propinsi; Kodim (Komando Distrik Militer) setingkatkabupaten/kota;Koramil(KomandoRayonMiliter)setingkatkecamatan;dan,ditingkat desaterdapatBabinsa(BintaraPembinaDesa). 95Dalamtradisiakademik,modelkepemimpinanOrdeBaruinipunyabeberapasebutanlain.Karl J. Jackson menyebutnya dengan istilah Kepolitikan Birokratik (Bureaucratic Polity); Donald K. Emerson, R. William Lidlle, dan Harold Crouch menyebutnya dengan istilah Negara Neopatrimonial (Neopatrimonialism) yang menafsirkan tesis dari ekonom dan sosiolog Jerman, MaxWeber(18641920),tentangkekuasaanpatrimonial;RichardRobisonmenyebutnyasebagai Negara Kapitalis Birokratik (Bureaucratic Capitalist State); Dwight Y. King menggunakan istilah Rezim Otoritarian Birokratik (Bureaucratic Autoritarian Regime); Arif Budiman menyebutnya dengan istilah Rent Capitalism State; dan masih banyak lainnya lagi. Kesemua istilah politik itu (labelisasi) tertuju pada hak kekuasaan presiden yang absolut di atas kedaulatan rakyatnya. (Dikutip dari Syafruddin Azhar, Man t tet den Geist Nacht, makalah lepas, 20 Juni 2008 dipublikasikan dalam http://dinazhar.multiply.com/journal/item/95, diakses pada tanggal 5 Juni 2009).
94

108

nyata. Negara tidak lagi terlihat dalam satu wajah yang tunggaldi mana pada konteks daerahyaitu pemerintahan daerah yang tidak lagi sematamata bisa diklaimmerupakancerminandaripadakepentinganpusat.Sedemikiankemudian, sayamelihatnyabahwahasratdidalamnegaraitupunmenjadibermacammacam dan berbedabeda. Bahkan menjadi sangat mungkin bertentangan antara daerah danpusat,atausebaliknya.Atau,didalaminternalmasingmasiglevelitusendiri. AktualisasifenomenainilantastercerminmanakalaWonosobodalamstudiini memaknaijelajahotoritasnyadalampengelolaansumberdayahutan. Pemaknaan jelajah otoritas tersebut tentu saja bukan hadir tanpa latar belakang. Kondisi kehutanan Wonosobo yang memprihatinkan,96 dan sementara pada saat yang sama Wonosobo (baca: negara tingkat lokal) tidak dapat berbuat banyak lantaran ada limitasilimitasi konvensional yang membatasi97adalah konteks yang menjadi reasoning manakala kemudian Wonosobo menemukan peta baru bagijelajahotoritasnya.

Degradasi hutan telah melewati ambang keprihatinan, bahkan ketika kawasan ini merupakan hulubagiduaDASpentingdiJawaTengah,yakniDASSerayudanDASOpakProgo.Perhutani yang dipercaya negara selama puluhan tahuntelah gagal menahan laju deforestasi ini. Tatkala kondisi ini dipercepat oleh penjarahan hutan yang tidak juga terhentikan, Perhutani pun seperti tutupmatadengantetappulamelakukanpenebanganrutinnya.Layaknyasebuahkekacauanyang selalu menyimpan harapan, bersebelahan dengan kerusakan ini terbentang kawasan hutan milik rakyat buatan tangan masyarakat Wonosobo. Luasannya hampir sepadan dengan hutan negara, selalu hijau dan terjaga dengan jenis tanaman yang sangat bervariasi. Tidak pernah berstatus hutankarena tak pernah berwarna hijau di dalam petanamun kesejukan dan keteduhan melekat di tempat ini. (Anonim, 2001. dikutip dari http://arupa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=56&Itemid=62, diakses pada tanggal8Juni2009). 97 Limitasi konvensional adalah stigma yang selalu mengatakan bahwa hutan di Jawa harus dikuasaidandiurusolehpemerintahpusat,denganrujukanbahwaPerhutaniadalahinstitusiyang palingkompetendanberpengalamandalambidangtersebut.Tidakdenganyanglain.
96

109

Kotak.8. Sikap Wonosobo atas Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bahwa degradasi laju kerusakan hutan negara di Daerah Kabupaten Wonosobo dirasakan sudah mencapai tingkat kekritisan yang memprihatinkan karena penjarahan, salah urus, maupun bencana alam. Sedangkan pada sisi lain muncul fenomena kesuksesan pengelolaan hutan rakyat yang beberapa kali berhasil meraih prestasi juara hutan rakyat tingkat nasional, merupakan potret lain yang memperlihatkan betapa peranserta rakyat adalah hal yang tidak bisa disepelekan dengan begitu saja. Bahwa mencermati kesuksesan pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat setempat Daerah Kabupaten Wonosobo, menunjukkan kesiapan dan kemampuan yang memang layak untuk dilibatkan langsung dalam pengelolaan sumber daya hutan di Kawasan hutan negara. Hal tersebut munculkan kenyataan yang tidak terbantahkan bahwa masyarakat jauh lebih berhasil mengelola sumber daya hutan di Kabupaten Wonosobo, dengan perbandingan besarnya luasan kawasan hutan rakyat dengan kawasan hutan negara, dari semua sisi pemanfaatan fungsinya. Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada masyarakat sekitar hutan merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktek-praktek pengelolaan sumber daya hutan yang hanya beroreintasi kepada keuntungan finansial dari sisi kayu semata menjadi bagian dari sumber pendapatan negara, perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumber daya hutan dan berbasis pada masyarakat. Bahwa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah, khususnya dalam sektor pengelolaan sumber daya hutan, maka sudah saatnya Daerah Kabupaten Wonosobo secara mandiri dan bertanggung jawab memulai mengatur kewenangannya tersebut dalam mekanisme kelembagaan Peraturan Daerah. Oleh karena itu, maka Daerah Kabupaten Wonosobo wajib melaksanakan wewenangnya dalam mengelola sumber daya hutan melalui Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat sebagai media pemberdayaan masyarakat setempat. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, maka perlu segera menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM) Kabupaten Wonosobo. Sumber: dikutip dari Penjelasan Umum Perda Kabupaten Wonosobo No. 22/2001 tentang PSDHBM

Peta baru atas jelajah otoritas tersebut bertolak dari UU No. 22/1999 tentang PemerintahanDaerah.MelaluiPasal10UUNo.22/1999yangmengatakanbahwa daerah (kabupaten) mempunyai kewenangan mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan, Wonosobo menemukan titik pijak untuk mewujudkan

tanggungjawabnya,sekaligus;yaitumencarijalankeluaratasproblematikasosial

110

danekologilokalsetempat.98Bukanpadapertimbanganpragmatisekonomisesaat sebagaimanahalnyafenomenaeuforiadesentralisasiyangdimaknaiolehdaerah daerah di luar Jawa, di mana seolaholah menjadi tidak lebih daripadasemata matapeluanguntukmeningkatkanpendapatanaslidaerah(PAD)yangsebesar besarnya. Pernyataan Ketua Komisi B DPRD Kabupaten Wonosobo C Krustanto (Maret, 2002),ketikaitu,sayarasacukupmembantumenjelaskanatashaltersebut:
Menurut Krustanto, maraknya konflik SDA yang terjadi di Wonosobo dipicu oleh berbagai penyimpangan kebijakan oleh oknum pengelola hutan negara tanpa

KondisidegradasilingkungandandeforestasikawasanhutannegaradiWonosobotentusangat mengkhawatirkan,melihatposisiKabupatenWonosoboyangsangatstrategisdalamkeseimbangan ekosistem pulau Jawa. Wonosobo merupakan satu dari 35 daerah kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang terletak hampir tepat di tengah Pulau Jawa di kaki Gunung Sindoro dan Sumbing. WilayahWonosoboterletakdiantaraketinggian2702.250meterdiataspermukaanlaut(dpl)dan memilikicurahhujanyangtinggi(22704835mm/th).TopografiWonosoboumumnyaberbukitdan bergunung,sertatermasukdidalamnyaadalahkawasanDataranTinggiDieng(2.088mdpl).Lebih dari27% lahan di Wonosobo memiliki kemiringandiatas40% dan lebih dari50% lahan memiliki kemiringan1540%. Kondisifisik wilayahini menggambarkanWonosono sangat rentan terhadap bahayalongsor dan erosi.Kalau kita tidaksegera menyelamatkan kondisi hutan Wonosobo kita tidakbisamembayangkandampakyangakanterjadidikabupatenkabupatendibawahKabupaten Wonosobo, ungkap Wakil Bupati Wonosobo, Drs.Kholiq Arief, pada sebuah pertemuan multipihakkehutanandipendopowakilbupati.KabupatenWonosobomemangmemilikiperanan strategis dalam keseimbangan ekosistem beberapa daerah bawahnya terutama Kabupaten Purworejo, Kebumen, Banjarnegara, Banyumas hingga Cilacap. Hal ini berkaitan dengan posisi Wonosobo yang merupakan hulu dari beberapa sungai besar yaitu: Serayu, OpakOyo, Luk Ulo danBogowonto.DiWonosobojugaterdapatWadukWadaslintangyangmemilikiluaspermukaan air sebesar 1.320 hektar dengan volume air sebesar 443 juta m3 . Waduk ini mengalami pendangkalanyangsangatcepatkarenatingkaterosinyarataratamencapai4,17mm/tahun,jauh melebihiambangbatasmaksimalsebesar2mm/tahun.Padahalwadukinisangatberperandalam memenuhikebutuhanairbagiribuanlahanpertaniandidaerahbawahnya.(Sumber:dikutipdari M. Chehafudin, Sumber Daya Hutan Wonosobo: Pengelolaan Berbasis Masyarakat, artikel programPromotingLeadershipforIntegratedDevelopmentYayasanPembangunanBerkelanjutan, dimuat dalam http://www.forplid.net/index.php?option=com_content&task=view&id=46&Itemid=98, diakses padatanggal9Juni2009).
98

111

disertai upaya pencegahan dari pihak pengelola. Penyebab lainnya adalah faktor sosial ekonomi yang berpotensi menjadi konflik terbuka. Maraknya konflik-konflik tersebut, kata Krustanto, hanya dapat diselesaikan dengan dukungan perlindungan dari kebijakan pemerintah daerah. Inisiasi perda pengelolaan sumberdaya alam berbasiskan masyarakat yang diambil Pemda Wonosobo, lanjut Krustanto, merupakan kebutuhan mendasar bagi kemakmuran masyarakat serta untuk melindungi sumberdaya alam yang masih ada. Apalagi, skenario desentralisasi otonomi daerah, telah memberikan kewengan bagi pemda untuk mengatur sumberdaya alamnya. (Sumber: Buletin Warta FKKM Vol. 5 No. 4. April 2002).

Dengan demikian adalah relevan manakala dalam salah satu landasan pertimbangan pada Perda No. 22/2001 berbunyi bahwa untuk menampung dan mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat guna memperoleh manfaat yangoptimaldarihutandankawasanhutan,makapadaprinsipnyasemuahutandan kawasanhutanharusdapatdimanfaatkandengantetapmemperhatikansifat,karakteristik, dankerentanannya,dengantidakmengubahfungsipokoknya.(cetakmiringdangaris bawah oleh penulis). Sehingga, tidaklah keliru ketika kemudian hutan negara di wilayah administrasi Kabupaten Wonosobo harus diambil alih dan dikelola sendiriolehentitaslokalsetempat;masyarakatdanpemerintahanWonosobo. C. Ruang Kontestasi: Dinamika Inisiasi, Konsekuensi, Ikhtiar Rekognisi

danTitikBalikPerdaPSDHBM C.1.PerjalananInisiasi Munculnya gagasan mengadvokasi perda PSDHBM, sebenarnya lebih dulu mengemuka oleh latar belakang dalam melihat konteks persoalan kehutanan Wonosobo.PerjalananinidimulaiketikapadabulanNovember1999,timARuPA melakukan kunjungan awal ke lokasi penjarahan kayu rimba (nonjati) yang pertamadanterbesardiJawa,yaitudiDesaGunungTugel,KecamatanLeksono, Kabupaten Wonosobo. Sebagai tindak lanjut atas perjalanan tersebut, bulan

112

FebruariMaret 2000, tim liputan Bulletin AKAR99 melakukan investigasi penjarahan hutan di Desa Gunung Tugel untuk mengungkap latar belakang peristiwa penjarahan di desa tersebut. Hasil investigasi ini kemudian menjadi laporan utama Buletin AKAR Edisi I, Mei 2000. Buletin AKAR edisi I ini yang kemudian didiseminasikan kepada Pemda, DPRD Wonosobo dan komponen masyarakatlaindiWonosobo. Pada saat yang bersamaan pada bulan Juni, beberapa LSM lokal di Wonosobo yang dipelopori oleh Koling,100 melakukan aksi dan dengar pendapat dengan DPRD Kabupaten Wonosobo yang mengangkat tema peristiwa banjir dan tanah longsordikawasanPegununganDieng. Cerita kemudian berlanjut, ketika pada Bulan Juli 2000 ARuPA dan Koling mengeluarkan release bersama guna menanggapi pelibatan PamSwakarsa oleh PerumPerhutanidalammenanganimasalahpenjarahandiWonosobo,yangmana justru mengakibatkan konflik horisontal di kalangan masyarakat. Pada bulan itu pula, ARuPA bersama dengan Koling mulai menjalin hubungan dengan DPRD KabupatenWonosobo,yangdimulaidenganrapatterbatasantaraARuPAKoling dengan Pimpinan DPRD, Pimpinan Fraksi, dan Pimpinan Komisi B DPRD Wonosobo. Permasalahan yang menjadi tema utama yang diangkat dalam

Bulletin AKAR adalah media berkala yang didisain oleh ARuPA sebagai media penyebaran informasi berkaitan dengan konflik kehutanan dan sumberdaya alam di Jawa, terutama pasca praharareformasi1998silam. 100KolingadalahsingkatandariKonservasiLingkungan;yaituLSMlokalsetempatyangdidirikan oleh pemuda Wonosobo yang mempunyai perhatian pada masalah lingkungan dan kepecintaalaman,padatahun1987.
99

113

pertemuan yang bersangkutan antara lain adalah kasus penjarahan hutan dan kerusakan lingkungan, yang tengah mengancam Wonosobo. Dalam pertemuan tersebut muncul cerita sukses hutan rakyat Wonosobo, di mana selanjutnya menjadi salah satu acuan tentang model pengelolaan hutan paradigmatis yang akandatangbagiWonosobo. Berangkat dari komunikasi intensif beberapa kali, dicapai kesepakatan untuk bersamasama menggelar dialog antar pihak yang lebih terbuka, dengan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah pada pertengahan Agustus 2000. Dialog ini dihadiri oleh DPRD Wonosobo, Pemerintah Daerah, Perum Perhutani (KPH KeduUtara,KPHKeduSelatan,danSPHYogyakarta),LSMdiWonosobo,wakil wakil kelompok masyarakat sekitar hutan, dan beberapa perwakilan organisasi kemasyarakatan yang ada. Dialog ini diadakan untuk mencoba menemukan format pengelolaan hutan kabupaten Wonosobo yang lebih baik, berkaitan juga dengan momentum otonomi daerah yang akan segera mulai diberlakukan pada tahun2001.101 Melaluidialogantarpihakyangdikemasdalamformatseminar,diskusiinteraktif, dan lokakarya singkat selanjutnya diselenggarakan dengan menghadirkan narasumber dari beberapa bidang ilmu; yaitu ilmu hukum (di mana banyak menyampaikan pemahaman mengenai dasardasar kebijakan); kemudin ilmu
Pada Bab XVI Ketentuan Penutup, UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 132 ayat (2) menyebutkan bahwa, Pelaksanaan undangundang ini dilakukan secara efektif selambatlambatnya dalam waktu dua tahun sejak ditetapkannya undangundang ini. Dengan demikian, tahun 2001 adalah waktu di mana kebijakan otonomi daerah tersebut kemudian akan berlakuefektif,mengingatundangundangyangbersangkutanditetapkanpadatanggal7Mei1999.
101

114

kehutanan (mengenai praksis interaksi sosial dalam pengelolaan hutan); dan praktisi otonomi daerah (yang banyak bercerita tentang pengalaman inisiatif daerah dalam menyikapi Undangundang Otonomi Daerah di berbagai sektor). Dariberbagaiserialdialogantarpihaktersebutkemudianmenghasilkanbeberapa rekomendasi, diantaranya pembentukan embrio forum kehutanan multipihak yang saat itu disepakati akan bernama Forum Hutan Wonosobo.102 Rekomendasi yanglainadalah,tuntutanuntuksegeradiinisiasikannyakebijakandaerahtentang pengelolaansumberdayahutandiWonosobo.Padaranahkepentinganadvokatif, hasilhasil dialog antar pihak tersebut kemudian dimuat dalam Jurnal Studi Kebijakan Sumber Daya Alam edisi II milik ARuPA, yang kemudian didesiminasikan kembali di Wonosobo (di samping juga disebarkan ke tempat lain), guna membangun wacana pembaruan pengelolaan sumberdaya hutan di lokalitassetempat. Prosespunkemudiandengancepatbergulir.Komunikasiintensifyangdibangun antara DPRD, ARuPA dan Koling menyepakati diterapkannya konsep hutan kemasyarakatan di Wonosobo sebagai jalan keluar terhadap permasalahan kehutanan lokal, di mana penerapannya akan dikukuhkan melalui Perda (Peraturan Daerah). ARuPA diberikan kepercayaan untuk merumuskan draft rancangan peraturan (raperda) tersebut. Dalam perjalanannya, tim ARuPA kemudianmenggandengFKKM(ForumKomunikasiKehutananMasyarakat)dan beberapapakardariFakultasKehutananUGMdalammematangkankonsepini.
NomenklaturForumHutanWonosobo(FHW)inimerupakansatusatunyapenginggalanyang masihtersisadandigunakankini,meskipunPerdaPSDHBMtelahdicabutdandibatalkan.
102

115

Momentum yang juga signifikan dalam mewarnai perjalanan inisiasi kebijakan lokal kehutanan Wonosobo, adalah ketika pada tanggal 1517 Maret 2001 di Wonosobo digelar acara akbar Semiloka Temu Inisiatif DPRD seJawa Madura Menuju Pengelolaan Sumberdaya Hutan yang Lestari, Adil dan Demokratis. Dalam pertemuan yang secara formal diselenggarakan oleh FKKM dan DPRD Wonosoboini,terdapatbeberapapokokgagasanyangmenjadibasiswacanayang penting dalam perjalanan advokasi pengelolaan sumberdaya hutan Wonosobo. Pokokpokok gagasan yang ditandatangai oleh 25 perwakilan DPRD seJawa Madura tersebut, yang selanjutnya menjadi siaran pers (press release), dikategorisasikankedalam4aspekbesar.Aspekaspektersebutantaralain:
(1) Aspek pengelolaan sumberdaya hutan (PSDH) yang harus segera diserahkan kepada daerah. (2) Aspek ekonomi PSDH dalam rangka otonomi daerah yang disepakati agar lebih memihak kepada kesejahteraan masyarakat secara luas, disertai dengan kewenangan yang luas bagi daerah untuk mengaturnya. (3) Aspek partisipasi masyarakat dalam PSDH disepakati sebagai basis pengelolaan sumberdaya hutan. (4) Aspek hukum dalam pelimpahan wewenang dan pelaksanaan otonomi PSDH dalam bentuk usulan dilakukannya amandemen UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, serta pencabutan PP No. 53/1999 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani).

Setelah mandat dijalankan oleh ARuPA, dalam diskusi dengan Komisi B DPRD Wonosobo, draft raperda ini disepakati dan diberi judul PSDHBM (Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat). Hingga sebelum akhirnya menjadi draftfinal,raperdayangtadinyaberjudulPSDHBMdenganBsebagaibersama, dalam prosesnyadengan pertimbangan ideologis agar berbeda (tidak berkonotasi) dengan produksi wacananya Perum Perhutani; yaitu program PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat)maka kemudian atas ide KetuaKomisiBDPRDWonosoboketikaitu,judulnyadigantidenganpengelolaan

116

sumber daya hutan berbasis masyarakat (PSDHBM). Penegasan ini dianggap sangatpentingkarenadipandangsangatberkaitandenganparadigmapengelolaan sumberdaya hutan, di mana menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama bukan sebagai obyekadalah nilai yang harus diperjuangkan manakala memandangperluperubahanterhadaptatakelolahutanJawa. Di dalamnyaberangkat atas paradigma tersebut kemudiankonsepsi

pengurusan hutan negara di Wonosobo akan dikelola oleh kelompokkelompok masyarakat petani sekitar hutan, dengan difasilitasi oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo. Untuk mendapatkan dukungan terhadap rancanganini,disiasatiuntukdilakukannyaberbagaidialogantaraDPRD,Pemda, masyarakat(petanihutan),kalanganpers,LSMdanakademisi.Serangkaiandialog yangdibungkusformatroundtablediscussioninidifasilitasiolehFKKMFaswilJawa Tengah, di mana ARuPA dan Koling adalah bagian di dalamnya. Tidak ada penolakan forum terhadap rencana penerbitan Perda PSDHBM Wonosobo tersebut. Perdebatan hanya terjadi pada benturan hukum yang akan mungkin terjadi terhadap aturanaturan yang lebih tinggi sifatnya, melihat masih adanya kebijakan pusat yang menempatkan Perhutani sebagai aktor tunggal dan utama dalam penguasaan kehutanan Jawa. Roundtable discussion akhirnya membentuk timperumusyangakanbertugasmenggodokrancanganperaturandaerahdengan menggaliaspirasiyanglebihbanyak. Dalam menjalankan tugasnya, tim perumus menggelar beberapa kali hearing di gedung kantor DPRD Wonosobo dengan pelibatan lebih banyak kalangan,

117

terutama masyarakat desa sekitar hutan. Kasus okupasi lahan oleh masyarakat munculdalamserialhearingyangmenghadirkanmasyarakatdari15desapinggir hutan, DPRD, Pemda, Perhutani, LSM dan kalangan pers. Dalam serial hearing, juga dilakukan pembahasan tentang maraknya penebangan liar dengan segala permasalahan yang melingkupinya termasuk keterlibatan oknum aparat, baik kepolisianmaupunaparatPerhutanisendiri.Daribeberapaserialhearingtersebut disepakati adanya Jeda Lingkungan. Dalam masa jeda ini, semua stakeholder kehutanan tidak diperkenankan melakukan kegiatan apapun di wilayah hutan negara. Penebanganbaik secara legal oleh Perhutani maupun ilegaltidak diperbolehkan. Begitu pula penggarapan dan perluasan penguasaan lahan oleh petanihutan.Selainitu,hearingjugamengamanatkankepadabupatiuntuksegera membentuk forum koordinasi multipihak yang akan bertugas menyelesaikan berbagaipermasalahankehutanan. Satu hal yang disayangkan bahwa, dalam rangkaian hearing ini dari pihak Perhutani tidak menghadirkan pejabat yang berwenang mengambil keputusan. Sehingga dalam setiap rencana untuk mengambil keputusan, pihak dari kelembagaan Perhutani tidak pernah bisa memberikan sikapnya karena tidak adanya subyek/person yang dianggap merepresentasikan secara kelembagaan. Dalam perkembangannya, ketidakhadiran secara langsung pihak pengambil kebijakan Perhutani dalam forum tersebut, mengakibatkan Perhutani secara sepihaktidakbersediamenerimakesepakatanyangdihasilkan.

118

Melalui Surat Keputusan Bupati Wonosobo Nomor 522/200/2001, terbentuklah Forum Koordinasi Penanganan Penjarahan dan Penataan Hutan (FKP3H). Secara kesertaan,forumtersebutterdiriatasstakholderyangberasaldariberbagaiunsur seperti pemerintah daerah (Dishutbun, Bappeda, Kantor Sospol, Bagian LH, Bagian Hukum, Bagian Ketertiban, Bagian Perekonomian dan Bagian Humas), DPRD (Komisi A dan Komisi B), Perhutani (KPH Kedu Utara dan KPH Kedu Selatan),kalanganpers(JawaPos,Wawasan,RadioPurnamaSidi,PolesdanPWI Wonosobo), masyarakat desa hutan (tokoh masyarakat dari Desa Bogoran, JangkrikandanTlogo)danLSM(ARuPA,Koling,danPelitaGaruda),denganjuga melibatkanpengadilannegeridankejaksanaannegerisetempat. Di samping memang sejak semula pihak Perhutani memboikot secara sepihak terhadap forum ini, dalam perjalanannya kesertaan anggota forum yang terlalu banyak,menjadikannyatidakcukupefektifdalamkinerjnya.Kesempataniniyang lantas dioptimalkan oleh ARuPA, Koling, perwakilan masyarakat desa hutan, DPRD,sertaDinasKehutanandanPerkebunandiluaragendamensosialisasikan kebijakanjedalingkunganuntukjugamelakukankonsultasidenganmasyarakat mengenai rencana PSDHBM dalam setiap kali turun ke desadesa sekitar hutan (roadshow). Selama hampir 2 (dua) bulan, lebih dari 30 desa sekitar hutan dilibatkan dalam proses konsultasi ini. Seperti telah diduga sebelumnya, masyarakat desa tersebutterutama petani hutanamat sepaham dengan rencana penerapan PSDHBM di wilayahnya. Terhadap penetapan masa Jeda Lingkungan, sebagian

119

besar petani hutan merasa keberatan. Meskipun demikian, akhirnya para penggaraplahanhutaninidapatmenerimakesepakatanJedaLingkungansetelah diperbolehkan menyelesaikan sekali daur masa tanam, tanaman semusim mereka.103 Enam bulan masa Jeda Lingkungan berlangsung dengan tidak efektif. Perhutani yang memboikot forum dan tidak merasa terikat dengan kesepakatan Jeda Lingkungan, dengan begitu masih tetap melakukan penebangan rutinnya seperti termaktub dalam RTT (Rencana Teknik Tahunan). Sedangkan di sisi lain, ilegal loggingjugamasihmaraktakterhentikan.Menyaksikanpelanggarankesepakatan Jeda Lingkungan tersebut, para petani hutanselain juga disebabkan desakan kebutuhanpun turut menjadi enggan untuk berhenti menggarap lahannya ketika daur masa tanam mereka telah usai. Lahan hutan yang telah terokupasi dan menjadi media bercocok tanam/budidaya oleh masyarakat petani hutan pun semakinmeluas. Pada ranah yang lain, proses dukungan pengalihan pengelolaan hutandari PerhutanikepadamasyarakatmelaluiskemaPSDHBMterusbergulir.Dukungan masyarakat terhadap para anggota dewan pun datang silih berganti. Berkalikali gedungDPRDWonosobodidatangiwargamasyarakatyanginginmenyampaikan aspirasi, baik dengan cara berdialog maupun aksi demonstrasi. Ada pula yang hanya sekedar melayangkan surat pernyataan sebagai tanda dukungan. Dan ketikaprosesdiranahdewan/parlementerasaberlarut,dukunganpunsekonyong
Tanaman semusim yang di tanam oleh masyarakat petani desa sekitar hutan adalah tanaman palawijadansayursayurandiataslahanbekaspenjarahanhutan,disekitarmereka.
103

120

berubah menjadi desakan yang datang kian bertubi. Beberapa kali kelompok kelompokmasyarakatdaridesadesadiberbagaikecamatan,sepertiDesaGunung Tugel(KecamatanLeksono),Bogoran(KecamatanSapuran),Tlogojati(Kecamatan Wonosobo),Jangkrikan(KecamatanKepil),Kreo,Tlogo,Tieng,Tambi(Kecamatan Kejajar), Ngadisono (Kecamatan Kaliwiro), Ngaliyan (Kecamatan Wadaslintang) danberbagaidesasekitarhutanlainnyakembalimendatangiparaanggotadewan. Desakandarikalangan LSMpunsemakin bertambah dengan masuknyaJaringan MitraDieng(Jamidi),SerikatPetaniKedudanBanyumas(Sepkuba)danJaringan KerjaPesantrenMasyarakat(JKPM)dalamprosesadvokasiraperdaPSDHBM. Tanggal20Oktober2001,PerdaPSDHBMpadaakhirnyadisahkan.
Bagan.5. Alur Proses Advokasi Perda PSDHBM
Pengembangan wacana Otoda dan PSDH Feb 00 s/d Jul 00 Dialog Antar Pihak menyikapi Otoda dalam PSDH Agustus '00

Dialog intensif antara DPRD dengan Ornop


Ags s/d Okt '00

Nov '00 s/d Jan 01

Inisiasi Kebijakan: Perumusan draf Raperda

Hearing pengatasan penjarahan

Feb '01

Hearing penyelesaian sengketa lahan hutan

Jan '01

Konsultasi Publik I (akademisi, Ornop, wakil masyarakat, DPRD, Pemda, Pers)

Forum Konsultasi penanganan penjarahan dan penataan hutan (Pemda, DPRD, Pers, ARuPA, Koling, Perhutani)

Feb '01

Jan '01

Tim perumus, berisi wakil masing-masing stakeholder : bertugas melanjutkan konsultasi publik dan merumuskan draf final

Penyelesaian penjarahan hutan dengan metoda ADR (dialog lintas pelaku) Mar s/d Sept '01 JEDA LINGKUNGAN Tambi, Serang, Kreo, Tieng (Kejajar) Lamuk, Bowongso, Butuh (Kalikajar) Candiyasan, Kapencar, Reco (Kertek)

Resolusi konflik lahan dan perencanaan rehabilitasi SDH yang akomodatif dg prioritas 12 desa (150 dusun)

Studi kesiapan Pemda dalam desentralisasi PSDH

Bogoran (Sapuran)

Jangkrikan (Kepil)

Sept s/d Okt '01 Studi hutan rakyat dan penyiapan masyarakat dalam PSDH

Pembahasan Raperda oleh DPRD


Konsultasi Publik tentang kebijakan PSDH oleh masyarakat April s/d Sept '01

Pengesahan Perda No. 22 Th 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat
20 Oktober 2001

Penyiapan masyarakat dalam PSDH

Sumber: Basis Data ARuPA

121

Di dalam senyapnya kelegaan atas buah proses advokasi tersebut, kegelisahan segera menghinggapi para penggiat LSM di sepanjang keberpihakan mereka, berkaitan dengan berbagai kelemahandisamping peluangPerda PSDHBM. Penting untuk mengakui bahwa, meskipun perda tersebut adalah yang terbaik pada saat itu karena memberikan ruang kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan, namun konteks keberadaan Perhutani senyatanya tidak juga dapat dinafikan begitu saja. Beberapa pandangan yang mengemuka, menginginkan untuk segera dilakukan langkah pengalihan kewenangan dari Perhutani kepada Pemerintah Daerah. Namun demikian, ada jugapihakyanglebihmenginginkanlangkahkompromisyanglebihlunak;yaitu menempatkan logika transisi di mana tetap memposisikan Perhutani sebagai pihakyangjugaharusdiakuiperansignifikansinya.Terlebihmanakalamenengok tentangfaktapersoalanlemahnyaposisiperdaviaavisperaturanperaturanterkait yanglebihtinggiderajadnya. Catatanutamalainnyayangmenjadiperhatianadalah,perdatersebutjugamasih jauh dari aplikatif. Masih banyak agenda teknis turunan yang harus segera diselesaikan. Tata cara pengajuan perijinan hak kelola sumberdaya hutan oleh masyarakat, belum jelasnya konsep bagihasil antara masyarakat dengan pemda, dan lain sebagainya. Dan celaknya, kondisi ini ditambah dengan sikap inferior Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang justru tidak cukup confidence karena membayangkantidakmemadainyaaparatteknis,sertadanayangakandiperlukan kelak.Lantas?

122

C.2.KonsekuensikonsekuensiolehkarenaSubstansiPerda AdalahpilihanyangsaratdengankonsekuensikonsekuensimanakalaWonosobo menentukansikapmengambilalihkontroldankuasaatastatakelolahutannegara di wilayahnya, di tengah garis limitasilimitasi konvensional mengenai otoritas pengurusanhutannegara.Sehinggamenjadilogickiranya,padasaatpilihansikap ini kemudian diterjemahkan dalam bentuk peraturan daerah (perda) sebagai kerangka hukumdi mana diekspektasikan menjadi jaminan legalitas/kepastian hukum dalam tataran operasionalisasinya baik bagi pemerintah daerah maupun masyarakattanihutankemudianmenuaibadaitentangan.
Tabel. 3. Konsekuensi dari munculnya Perda PSDHBM
No 1 Poin Perubahan Pengelola hutan Keterlibatan masyarakat Semula Pengelolaan hutan dilakukan oleh Perhutani Hanya terbatas pada waktu penanaman dan itu pun tanpa disertai hak menentukan pola dan jenis tanaman kehutanan Dibagi dalam hutan lindung dan hutan produksi Konsekuensi dari Substansi Perda Pengelolaan hutan dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mendapatkan ijin kelola dari pemerintah daerah (pasal 5 ) Masyarakat berhak mendapatkan hak kelola hutan semenjak penanaman sampai dengan pemanenan. Masyarakat dapat menentukan pola dan jenis tanaman dengan melakukan perencanaan bersama. Dibagi dalam zona perlindungan dan zona pemanfaatan. (pasal 20). pembagian ini dilakukan melalui penataan areal kerja secara partisipatif yang melibatkan seluruh anggota kelompok pemegang ijin dengan fasilitasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) dan atau LSM pendamping. (pasal 22) Jenis dan pola tanaman dapat berbedabeda, sesuai hasil perencanaan bersama.

Kawasan hutan

Jenis dan pola tanaman

Jenis pemanfaatan

Pada suatu kawasan biasanya sama, sesuai dengan kelas perusahan; pinus, damar dan mahoni Hanya terbatas pada kayu dan getah

Terbuka kemungkinan munculnya banyak alternatif budidaya selain kayu, seperti tumbuhan obat, tanaman hias, tanaman langka, jamur, sutera alam, perlebahan, tanaman pangan, tanaman keras penghasil hasil hutan non-kayu, sarang burung, wisata alam, olahraga tantangan, usaha pemanfaatan air dan usaha lain sejenisnya.

123

(pasal 30-31) 6 Rencana pengelolaan Berdasarkan RKPH (Rencana Pengaturan kelestarian hutan) 10 tahunan, yang kemudian diimplementasikan dalam rencana Teknik Tahunan (RTT). Kesemua rencana tersebut disusun oleh SPH (seksi perencanaan Hutan) Perhutani sebagai pengelola hutan mengambil seluruh hasil hutan. Dilakukan secara internal oleh Perhutani Rencana pengelolaan hutan disusun oleh pemegang ijin secara partisipatif dengan melibatkan seluruh anggota kelompok dengan difasilitasi oleh Dishutbun atau LSM pendamping. (pasal 24). Rencana pengelolaan terdiri dari rencana umum (6 tahun) dan rencana operasional ( 1 tahun). Rencana umum disetujui oleh Pemda melalui Kepala Dishutbun, sedangkan operasional diketahui oleh Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD) kemudian dilaporkan ke Dishutbun. (pasal 25-29) Pada dasarnya, hasil hutan adalah hak dari kelompok masyarakat pemegan ijin. Namun demikian, jika ada kontribusi modal dari pihak ketiga (misal Pemda), maka akan terdapat bagi hasil. Pengendalian pelaksanaan pengelolaan hutan dilakukan melalui monitoring dan evaluasi oleh Pemerintah Daerah, pengendalian internal secara partisipatif oleh kelompok pemegang ijin, sementara pengendalian internal secara partisipatif dilakukan oleh masyarakat luas Forum hutan Wonosobo (FHW). Mekanisme pengendalian ini memungkinkan pembatalan ijin pengelolaan oleh Bupati. (pasal 40-45)

Hasil hutan

pengendalian

Apabila dicermati dengan cukup serius, substansi Perda PSDHBM jelas menampakkan nuansa keberpihakkannya kepada kepentingan petani hutan setempat. Betapa tidak? Karena justru pada konteks orientasi ini, tegas bahwa melaluiperdasemangatuntukmendesakdanmenyadarkantentangbebanmoral dan tanggungjawab negaramelalui pemerintah lokalguna memberdayakan kapasitas rakyatnya, diformulasikan. Simak dasar Menimbang nomor 2 Perda KabupatenWonosoboNo.22/2001tentangPSDHBM:
bahwa dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka semua pihak termasuk Pemerintah Daerah wajib berupaya untuk memberdayakan masyarakat (cetak miring dan garis bawah oleh penulis) dengan cara memberikan peluang usaha yang lebih besar kepada masyarakat setempat.

124

Lebih jauh pada konteks kehutanan Wonosobo, bahkan melalui cerita sukses modelkelolahutanberbasismasyarakatdalamhutanrakyatyangterpraktekkan di atas lahan/tanah hak milikpenajaman untuk mendorong tanggungjawab negara dikorelasikan dengan kenyataan empiris yang tidak dapat dielakkan lagi. SebagaimanadasarMenimbangnomor3PerdaKabupatenWonosoboNo.22/2001 tentangPSDHBMyangmenyatakan:
bahwa meningkatnya keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat dari usaha pemanfaatan hutan harus menjadi salah satu sasaran utama dalam mengupayakan tercapainya pengelolaan hutan yang lebih berhasil, dengan melihat contoh nyata keberhasilan hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo(cetak miring dan garis bawah oleh penulis), maka upaya pemberdayaan masyarakat setempat melalui pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat dalam kesatuan pengelolaan terkecil sehingga dapat dikelola secara efisien dan lestari sesuai dengan fungsi hutan, merupakan suatu keniscayaan.

Namun demikian, bukan berarti pada ranah keberpihakan ini lantas tidak menciptakan keteganganketegangan. Justru pada konteks demi kepentingan rakyat (baca: publik) ini kemudian beriring kontestasi (pertarungan) untuk memperebutkan peran yang paling besar/dominan dalam menterjemahkannya; yaitu atas nama kesejahteraan petani hutan. Oleh sebab itu, melalui perda ini lantasmenjadinampaksekalipihakmanayangmerasaterlanggarotoritasnya,di manakemudiankarenanyamenjadigusar. Skema dalam sistem pengelolaan yang dibangun oleh Perda PSDHBM, sesungguhnyamengadopsiskemadarisistempengelolaanhutankemasyarakatan (HKm), yang mana secara formal dilembagakan melalui kebijakan Menteri Kehutanan dan Perkebunan dalam Surat Keputusan No. 31/KptsII/2001. Secara sederhana, gagasan hutan kemasyarakatan adalah menempatkan masyarakat

125

sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan. Kemudian secara teknis formalisasi, negara mengafirmasinya melalui pemberian ijin hak kelola kepada kelompokkelompok petani hutan sehingga dengan demikian secara legalitas terjamin eksistensinya. Dalam skema hutan kemasyarakatan, semangat desentraliasidikonfirmasikanmelaluiperanBupati/Walikotasebagairepresentasi kehadirannegara. Dengan ditetapkannya Bupati/Walikota sebagai pihak pemberi ijin hutan kemasyarakatan dan menempatkan pemerintah kabupaten untuk mengambil posisi sebagai pihak yang proaktif untuk memfasilitasi masyarakat, diharapkan kelembagaan masyarakat memungkinkan melakukan pengelolaan hutan secara lestariolehsebabadanyamekanismerentangkendaliyanglebihrealistis;yaitudi daerah. Bukan di Jakarta, di mana sesungguhnya justru jauh dari realitas lapangan. Bertolak atas ide tersebut, maka menjadi relevan kiranya manakala Wonosobo kemudian menarik implementasi gagasannya, secara khusus terhadap status hutan negara yang terdapat di dalam jelajah teritorial adiministrasinya. Pasal 5 perdatersebutdengansangateksplisitmendemontrasikannya,sebagaiberikut:
Kawasan hutan negara yang ditetapkan sebagai lokasi penyelenggaraan PSDHBM adalah seluruh kawasan hutan negara di wilayah administratif Kabupaten Wonosobo.

Kontan saja, Perum Perhutani adalah pihak yang utama dan pertama yang keberatandangusaratasklaimsepihakpemerintahanlokalWonosobo.Fenomena sedemikian karena, sesungguhnya dapat juga dipahami sebagai aksi reclaimming

126

yang(pernah)dilakukanolehentitasformal;yaitunegaralokalterhadapwilayah otoritas, yang terhadapnya juga terdapat klaim resmi sebagai teritori kewenangannya oleh pihak lain; yakni Perhutani (representasi negara pusat). LebihlebihketikakontekspenetapanlokasitegasmenunjukmukaPerhutanidi manaditempatkansebagaitheformerofthestateforestguardian,untukselanjutnya direbut,dandibahasakansebagaiotoritasWonosobo.SimakpenjelasanPasal5 PerdaPSDHBM:
Kawasan hutan negara meliputi kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang ada di wilayah administratif Kabupaten Wonosobo yang semula dikelola oleh Badan Otorita yang sebelumnya mendapatkan otoritas dari Pemerintah Pusat untuk mengelola sumber daya hutan tersebut sesuai dengan fungsi maupun peruntukannya. (cetak miring dan garis bawah oleh penulis)

Di samping itu, kontekstualisasi idieologis juga menjadi landasan pembeda yang ingin ditunjukkan oleh Wonosobo sebagaiwajah baru representasi negara (lokal) yang lebih merakyat; yaitu dalam pemahaman tidak sekedar merebut otoritas pemerintah pusat. Hal ini nampak dari asas yang melandasi penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat di dalam perda yang bersangkutan. Kotak.9. Asas-Asas Penyelenggaraan PSDHBM di dalam Perda (Pasal 2):
a. b. c. Asas kelestarian fungsi hutan, yaitu dimaksudkan agar setiap langkah PSDHBM benar-benar memperhatikan daya dukung lahan, memulihkan, serta mempertahankan fungsi sumber daya hutan. Asas kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, yaitu dimaksudkan agar PSDHBM dapat turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara terus-menerus. Asas pengelolaan sumber daya alam yang demokratis, yaitu dimaksudkan agar masyarakat setempat diposisikan sebagai pelaku utama dalam PSDHBM, Pemerintah Daerah sebagai fasilitator, dan proses pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah mufakat. Asas keadilan sosial, yaitu dimaksudkan agar PSDHBM mengutamakan masyarakat setempat yang mata pencahariannya tergantung kepada kawasan hutan, dan setiap kelompok dalam masyarakat setempat mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh manfaat dari PSDHBM, serta didukung oleh sistem insentif dan disinsentif yang yang jelas dan disepakati bersama.

d.

127

e.

f.

Asas akuntabilitas publik, yaitu dimaksudkan agar PSDHBM dilaksanakan dengan mempertimbangkan kepentingan umum dengan timbal balik berupa adanya hak dari kelompok masyarakat setempat pemegang ijin PSDHBM untuk memperoleh kompensasi atas jasa-jasa lingkungan yang dinikmati oleh masyarakat luas. Asas kepastian hukum, yaitu dimaksudkan agar PSDHBM dilakukan dalam kerangka hukum dan kebijaksanaan yang melindungi hak-hak masyarakat setempat, kelembagaan PSDHBM yang diakui dan diberdayakan, serta tersedia fasilitasi yang mampu mengembangkan PSDHBM. (Cetak miring dan garis bawah oleh penulis)

Konseptualisasi asas pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis dan berkeadilansosialjelastidakterdapatdalampraktikpengurusankehutananyang dilakukanolehPerhutani,sekalipun.Dalamlogikapengelolaansumberdayahutan yangberbasispadastandarstandarteknisperusahaan,makakonseptualisasinilai nilai demokratis dan keadilan sosial adalah barang mewah yang pasti akan sangatsulitditemukan. Padapilihannilainilaitersebutsebagailandasankeberpihakan,penerjemahannya di dalam perda dilakukan melalui pendekatan kontrol dan partisipasi oleh masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan kelola sumberdaya hutan yang bersangkutan. Konteks pembumian nilai demokratis terbaca manakala masyarakat mempunyai ruang kontrol dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.Misalnya:
Kotak.10. Petikan Pasal 7 dan 8 Perda PSDHBM, dalam Bab III tentang Penetapan Lokasi: Pasal 7 Penetapan lokasi PSDHBM dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo dengan kegiatan inventarisasi dan identifikasi di seluruh wilayah hutan negara yang melibatkan masyarakat desa setempat dan "Forum Hutan Wonosobo". Pasal 8 (1) Setelah kegiatan inventarisasi dan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, selanjutnya masyarakat desa setempat berhak untuk memberikan tanggapan atas inventarisasi dan identifikasi partisipatif tersebut.

128

(2) Tanggapan masyarakat desa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa tanggapan atas inventarisasi dan identifikasi partisipatif yang dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Desa dengan diketahui oleh Badan Perwakilan Desa yang ditujukan kepada Pemerintahan Daerah. (3) Tanggapan masyarakat desa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekaligus memuat permohonan fasilitasi kepada Pemerintah Daerah melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan guna mengikuti tahapan-tahapan yang ada dalam pengajuan ijin PSDHBM

Demikian pula dengan konkritisasi nilai keadilan sosial. Penerapannya terumus ketika di dalam penyiapan kelompok masyarakat tani hutan yang akan memperoleh ijin kelola hutan, secara partisipatif dalam internal mereka, mampu mengukur kapasitas sebagai dasar untuk selanjutnya berbagi petakpetak lahan yangakanmenjadikonsesikerjamereka.
...kegiatan pemetaan partisipatif bersama dengan kelompok masyarakat setempat, dengan memperhatikan kemampuan kelompok yang bersangkutan serta potensi lahan dan hutan. (Pasal 13 ayat (1) Perda PSDHBM)

Selanjutnya,
...kelompok masyarakat setempat juga melaksanakan pemetaan secara partisipatif di dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan guna menetapkan pembagian petak-petak kerja. (Pasal 13 ayat (2) Perda PSDHBM)

Denganstandingposition,sikapsertatindakanyangdemikianitu,makatidakada pilihanlainkecuali,Wonosoboharussiapmenghadapiresistensidanpenentangan oleh Perhutani sebagai konsekuensi. Berbagai cara dan pendekatan diupayakan olehPerhutani,mulaidariyangbersifatekstralegalhinggamenchalangemelalui pertarungan hukum. Melalui menghembuskan wacana di tingkat desa bahwa perda illegal dan Perhutani tetap sebagai pihak yang sah sebagai penguasa tunggal,hinggamengajukanhakujimateriil(judicialreview)perdakeMahkamah Agung (MA). Bahkan caracara kekerasan intimidatif juga tidak kurang untuk digunakan.

129

C.3. Ketika Jakarta Berujar, BATALKAN PERDA PSDHBM! (Titik Balik IkhtiarRekognisi) Meskipun Perda PSDHBM Kabupaten Wonosobo yang proses penyusunannya memakanwaktuhampir2tahunlamanyamelaluiproseskonsultasipublikyang mengundang banyak debat dan menguras energitoh realita ini tidaklah cukup juga menjadi modal untuk menggaransi supaya perda segera implementatif. Hambatanterbesarbagipenerapanperdainiadalahtidaksegeramunculrekognisi (pengakuan) dari Pemerintah Pusat. Bahkan tidak kurang, para pihak di Kabupaten Wonosobo pun sudah terus berupaya agar perda ini dapat diimplementasikanmelaluidukungandarisemuapihak.

Konteksmengupayakanrekognisi,pertamakaliterjadipadatanggal5Maret2002, di mana diselenggarakan Dialog Kebijakan PSDHBM antara Tim Multipihak Wonosobo104 dengan Pemerintah Pusat, di Jakarta.105 Dalam momentum tersebut, semua pihak yang hadir pada dasarnya memberikan dukunganmeskipun sesungguhnyasebataskonteksnormatif,tidakkonkritagarPerdaPSDHBMbisa segeradioperasionalisasikandilapangan.Kesepakatanforumyangbersangkutan,
Tim Multipihak Wonosobo bukanlah lembaga baku seperti yang dibayangkan (yang dibentuk melalui surat keputusan formal), tetapi lebih sebagai kesepakatan bersama di sisi elemenelemen perwakilan masyarakat dan negara di Wonosobo yang mendukung konsepsi pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat (PSDHBM). Dalam setiap kesempatan, Tim Multipihak selalu digawangi oleh Komisi B DPRD Wonosobo, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Lembaga ARuPA, Koling, dan perwakilan kelompok petani hutan; termasuk diantaranya adalah Serikat PetaniKeduBanyumas(SEPKUBA). 105DialogdiselenggarakandiWismaPKBI,Jakarta.Padaperistiwaituhadirantaralainwakildari Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri, anggota DPR RI dari Komisi 8 (Ibu Tumbu Saraswati, S.H), Akademisi, LSM, dan perwakilan masyarakat petani hutan. (sumber: Basis Data ARuPA).
104

130

adalah menyarankan kepada Tim Multipihak Wonosoboguna memperkuat posisi legalformalyaitu untuk melakukan agendaagenda tertentu. Agenda agendayangdirekomendasikantersebut,antaralainadalah:
a. Merumuskan pedoman pelaksanaan di tingkat Pemerintah Daerah Wonosobo secara fleksibel (pedoman juklak dan juknis); b. Mempercepat proses rekognisi legal formal melalui Tim Keppres 157/2000 yang difasilitasi oleh Departemen Dalam Negeri; c. Mendiskusikan proses perubahan PP 14/2001 yang memberikan kewenangan kepada Perhutani untuk melakukan pengelolaan hutan di Jawa. d. Dialog multipihak bersama Departemen Kehutanan, Kementerian Negara BUMN, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri dan DPRD-Pemda Wonosobo untuk melakukan klarifikasi menyangkut praktek-praktek pengelolaan hutan, administrasi dan keuangan oleh Perhutani di Wonosobo.

Pada waktu yang hampir bersamaan, tanggal 6 Maret 2002, perwakilan para sarjana kehutanan serta Administratur/KKPH seJawa dan Madura menyatakan sikap keberatan atas terbitnya Perda PSDHBM. Pernyataan sikap keberatan tersebutditujukankepadaBupatiWonosobo,dimanaintinyamemintaagarPerda PSDHBMditinjaukembali.
Kotak.11. Petikan Surat Pernyataan Administratur/KKPH se-Jawa dan Madura Sikap Perwakilan Rimbawan serta

Semarang, tgl. 6 Maret 2002 Perihal: Keberatan Atas Terbitnya Perda No. 22 Tahun 2001 tentang PSDHBM Kepada Yth. Bp. Bupati Wonosobo Di Wonosobo Berkenaan dengan Peraturan Daerah No. 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daaya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM), kami selaku Wakil para Rimbawan Sarjana Kehutanan, Administratur/Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan se-Jawa dan Madura menyatakan keberatan atas terbitnya Peraturan Daerah No. 22 Tahun 2001 Kabupaten Wonosobo yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo No. 36 Tahun 2001 dengan alasan sebagai berikut: 1. 2. 3. Perda tersebut kami anggap tidak merujuk pada peraturan perundangan yang lebih tinggi/atasnya. Bertentangan dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam konsideran menimbang, mengingat Perda tersebut rujukan hukum UndangUndang No. 22 Tahun 1999 mengambil pasal yang mana tidak jelas.

131

4. 5. 6. 7. 8. 9.

Peraturan Daerah No. 22 Tahun 2001 Kabupaten Wonosobo masih bersifat sepihak. Lemah dalam yuris prudensi. Jaminan kepastian hukum lemah. Dalam penyusunan Perda No. 22 Tahun 2001 Kabupaten Wonosobo tentang PSDHBM, pihak Perhutani tidak dilibatkan. Perda No. 22 Tahun 2001 Kabupaten Wonosobo akan merugikan masyarakat yang berada di wilayah hilir. Tumpang tindih dengan kewenangan Pusat.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut, mohon Peraturan Daerah No. 22 Tahun 2001 Kabupaten Wonosobo tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM) ditinjau kembali. Demikian untuk menjadikan maklum. Administratur/KKPH Banyumas Timur, Administratur/KKPH Kedu Utara, Administratur/KKPH Kedu Selatan,

Ir. Djoko Suprijanto

Ir. Suhargo

Ir. Waloejo Budi Santoso Sumber: Basis Data AruPA

Dengan tidak terlalu terpengaruh oleh sikap perwakilan rimbawan dan KKPH/AdiministraturPerhutaniseJawaMaduraberkaitandengantindaklanjut Dialog Kebijakan PSDHBMkemudian pada tanggal 3 Juli 2002 Tim Multipihak Wonosobo yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPRD (K.H. Supomo Ibnu Said), mengadakanaudensikeMenteriKehutananRIdiJakarta.Dalamaudensitersebut, MenteriKehutananmenunjukIr.Triyono106gunamenuntaskanpersoalantersebut. Dalam kurun waktukurang lebih sebulan; yaitu dari 6 Juli hingga awal Agustus 2002, kemudian Tim Multipihak Wonosobo atas mandat dari Bupati berupaya menyusun Pedoman Pelaksanaan Perda PSDHBM. Dalam durasi tersebut, tim telah berhasil memformulasikannya. Konteks keberadaan Perhutani selanjutnya,

Ir. Triyono adalah Kasubbid Penyajian Data dan Informasi Kehutanan Badan Planologi Kehutanan,DepartemenKehutanan.
106

132

padaskemapedomantersebutditempatkansebagaimitra(ivestor)bagikelompok masyarakatpetanihutan,didalamsistemPSDHBM. Berkaitan dengan konflik kepentingan dalam skema Perda PSDHBMdi mana Perhutanikeberatandengansubstansisertadimanapemdajugatidakbisasegera mengoperasionalisasikan perda karena dihambat oleh Perhutanimaka pada tanggal21Agustus2002diadakanpertemuanTimMultipihakWonosobodengan Perhutani di Yogyakarta.107 Pertemuan yang dipimpin oleh Wakil Bupati Wonosobo, Drs. Kholiq Arief, ini menghasilkan beberapa butir kesepakatan, diantaranya skema PSDHBM sebagaimana tertuang di dalam perda akan dilaksanakan di wilayah 30 (tiga puluh) desa hutan di Kabupaten Wonosobo. Sedangkan untuk skema PHBMnya Perhutani, akan diimpelentasikan di desa desalainnya.Perludiketahuibahwa,jumlahdesadiseluruhwilayahadministrasi KabupatenWonosoboberjumlah154desa.
Kotak.12. Nota Kesepahaman Bersama Wonosobo dan Perum Perhutani di Yogyakarta KESEPAKATAN BERSAMA TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DI KABUPATEN WONOSOBO ANTARA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN WONOSOBO DAN PERHUTANI 1. 2. 3. Membangun saling menghargai antara Pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Perhutani tentang pelaksanaan pengelolaan sumber daya hutan. Pihak Pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Perhutani membuka diri untuk saling belajar mengelola hutan secara lestari yang mengedepankan manfaat sosial, ekonomi dan ekologi secara seimbang. Dalam proses pelaksanaan PSDHBM, Perhutani berperan dalam hal pendanaan, perencanaan kehutanan kabupaten, bantuan teknis dan berperan sebagai mitra di 30 (tiga puluh) desa uji coba PSDHBM, sebagaimana tersebut dalam lampiran yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kesepakatan bersama ini, selama daur dan dapat diperpanjang. Memfungsikan Forum Hutan Wonosobo tingkat Desa, Daerah, dan Kabupaten

4.

107

ForumdiselenggarakandiHotelRadissonYogyakarta.

133

5.

yang berperan sebagai forum komunikasi dan koordinasi antar pihak agar tercapai sinkronisasi dan sinergisme dalam implementasi pengelolaan sumber daya hutan. Pengelolaan hutan selain di 30 (tiga puluh) desa uji coba dilaksanakan dengan model PHBM atau dengan model lain yang didukung oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Yogyakarta, 21 Agustus 2002

Yang Menyepakati, 1. Kholiq Arif (Wakil Bupati Wonosobo) 2. Ratno Sukamto (Ketua Komisi A DPRD Wonosobo) 3. C Krustanto (Ketua Komisi B DPRD Wonosobo) 4. Triyono (Departemen Kehutanan RI) 5. Bambang Adji S (Kepala Divisi Perencanaan Perhutani) 6. Irfan Bakhtiar (Lembaga Arupa) 7. Sumaeri (SEPKUBA) 8. Felly Arga N (LSM KOLING) 9. Yazied (LSM YTI Wonosobo) Sumber: Basis Data AruPA

Pada tanggal 27 Agustus 2002 kemudian, pertemuan Tim Multipihak Wonosobo dengan Perhutani dilakukan kembali di Jakarta; yaitu di Ruang Rapat Menteri KehutananRI.Pertemuanini,sedianya,merupakanmomentumpenandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) antara Bupati Wonosobo dengan Dirut Perhutani sebagai legitimasi untuk memperkokoh butirbutir kesepakatan Yogyakarta21Agustus2002.BeberapapejabatterasKabupatenWonosobohadir. Pemerintah Daerah Wonosobo telah menyiapkan draft MoU berdasar poinpoin kesepakatan Radisson, Yogyakarta. Namun, sebaliknya Perhutani ternyata juga membuat draft tandingan dengan muatan yang jauh berbeda. Melihat tidak adanya kesinkronan draft kesepakatan tersebut, kemudian Menteri Kehutanan memutuskan untuk menunda penandatanganan MoU, dan mengusulkan agar diagendakanlagipertemuandiWonosobopadatanggal2September2002.

134

Pada tanggal 1 September 2002, dalam pertemuan informal di Wonosobo menjelang agenda penandatanganan MoU tanggal 2 Septembersebagaimana telahdijanjikanolehMenteriKehutananPemerintahPropinsiJawaTengahyang diwakili oleh sekda propinsi turut intervensi dengan menyatakan tidak sepakat terhadappoinpoinkesepakatanYogakarta.Pertemuanselapunkemudiandigelar denganinisiatifIr.TriyonodariDepartemenKehutanan.Dengansepahamuntuk mengambil sikap menyerahkannya semuanya kepada pihakpihak yang paling berkaitanyaitu Wonosobo dan Perhutanikemudian, sementara permasalahan dianggap selesai. Namun, pada pukul 23.00 WIB, datang berita lisan yang mengejutkandariIr.TriyonodanIr.BambangAdji,bahwaDirekturUtama(Dirut) Perhutani dan Menteri Kehutanan RI membatalkan kesepakatan dengan Bupati Wonosobo. Sehingga dengan begitu, rencana tanggal 2 September 2002 tentang rencana Penandatanganan Kesepakatan Bersama antara Bupati Wonosobo dan Dirut Perhutani gagal. Di lain pihak, di hadapan Tim Multipihak di Wonosobo, Bupati Wonosobo Trimawan Nugrohadi, kemudian berjanji akan tetap mengimplementasikanperdaPSDHBM. Guliran dinamika proses selanjutnya adalah pada tanggal 16 September 2002, di mana sejumlah petani hutan dan LSM mendatangi DPRD Wonosobo untuk menanyakan perkembangan PSDHBM. Pada tanggal 18 September 2002, Ketua DPRD Wonosobo mengeluarkan Surat Rekomendasi yang ditujukan kepada Bupati Wonosobo untuk segera menandatangani SK (Surat Keputusan) Pedoman PelaksanaanPerdaPSDHBM.19 September2002,Ratusanpetani danMahasiswa

135

mendesak Bupati Wonosobo untuk menandatangani SK Pelaksanaan Perda PSDHBM,dipendopoKabupatenWonosobo. Dilainpihak,padatanggal23September2002,tanpadiduga,munculkuranglebih seribu massa yang menggunakan atribut kaos bertuliskan Mitra Perhutani mendatangi Gedung DPRD Wonosobo, meminta peninjauan kembali Perda PSDHBM. Kontan, di pihak petani dan LSM di Wonosobo, pada tanggal 26 September 2002, juga mengerahkan tiga ribu massa petani, mahasiswa dan LSM yang tergabung dalam Aliansi Petani Wonosobo (APW) dan Komite Aksi untuk Kedaulatan Petani (KAKP), yang menyatakan dukungan terhadap pelaksanaan Perda PSDHBM. Pada kesempatan yang lain, Ketua DPRD Wonosobo, Idham Cholied, mengatakan bahwa baru saja menerima tembusan Surat Menteri Kehutanan Nomor 1665/MenhutII/2002, tertanggal 24 September 2002, yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri untuk melakukan pencabutan Perda Nomor22KabupatenWonosobo. Berita mengenai SK Menteri Kehutanan Nomor 1665/MenhutII/2002, segera saja mengundang reaksi kalangan pendukung Perda PSDHBM. Pada tanggal 1 Oktober 2002, lebih dari tujuh puluh LSM, baik nasional maupun internasional, yangtergabungdalamKoalisiuntukPenyelamatanDevolusiPengelolaanSumber Daya Alam (KUNDERA) bereaksi keras terhadap sikap Menteri Kehutanan RI. Mereka menganggap Menteri Kehutanan membunuh inisiatif daerah. Lantas berdatangan surat dukungan kepada Bupati Wonosobo untuk tetap mempertahankanPerdaPSDHBM,terutamadarikalanganLSM.

136

Kotak.13. Pernyataan Sikap Koalisi untuk Penyelamatan Devolusi Pengelolaan Sumber Daya Hutan (KUNDERA) MENTERI KEHUTANAN MEMBUNUH INISIATIF DAERAH Ketika Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo menelurkan Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakatsebagai upaya menyelamatkan hutan dengan memperbesar peran masyarakatMenteri Kehutanan justru meminta Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan perda tersebut. Tindakan ini adalah pengkhianatan terhadap aspirasi rakyat pada saat semangat otonomi disambut oleh inisiatif masyarakat dan pemerintah daerah. Perda Kabupaten Wonosobo no. 22/2001 disusun atas inisiatif DPRD setelah mendengar berbagai aspirasi masyarakat dari berbagai desa. Penyusunan Perda itu sendiri telah dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat dan diikuti dengan konsultasi publik yang melibatkan ribuan pengguna hutan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Dengan disahkannya perda tersebut terbukalah peluang kepada masyarakat sekitar hutan, khususnya petani, untuk berperan sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan, sekaligus menjadi pihak yang akan mendapatkan manfaat dan keuntungan terbesar dari keberadaan sumber daya alam disekitarnya. Ini adalah sebuah terobosan yang dapat menjadi alternatif untuk menyelesaikan permasalahan kehutanan yang terus mendera Indonesia. Pada 24 September 2002, Departemen Kehutanan-yang selama ini gagal mengelola hutan Indonesia-meminta kepada Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah tersebut. Permintaan ini disampaikan melalui surat Menteri Kehutanan nomor 1665/Menhut - II/2002. Tindakan ini menunjukkan nafsu kekuasaan Menteri Kehutanan yang bertentangan dengan semangat desentralisasi dan devolusi pemerintahan. Oleh karena itu, kami sangat menyesalkan langkah Menteri Kehutanan, dan mengharapkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk tidak mengindahkan surat tersebut. (cetak miring, tebal, dan garis bawah oleh penulis) Kami juga berharap kepada pihak-pihak terkait seperti Mahkamah Agung untuk tidak melakukan tindakantindakan yang akan menghambat pelaksanaan Perda Kabupaten Wonosobo No. 22/2001. Pembatalan atas peraturan daerah yang sangat aspiratif, partisipatif, dan membela kepentingan masyarakat itu akan menjadi preseden yang amat buruk dengan berbagai dampak seperti: Runtuhnya semangat dan kepekaan para wakil rakyat di DPRD di seluruh Indonesia dalam menghadapi permasalahan-permasalahan riil daerah yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam. Keberlanjutan pengingkaran hak-hak rakyat untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam serta menikmati kemakmuran atas kekayaan alamnya. Lebih lanjut, pembatalan Perda Kab Wonosobo No. 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat akan menjadi awal dari pembunuhan partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan dan sekaligus akan mengakibatkan matinya otonomi daerah. Yogyakarta, 1 Oktober 2002 KUNDERA Koalisi untuk Penyelamatan Devolusi Pengelolaan Sumber Daya Alam (KUNDERA): 1. Longgena Ginting (Direktur Eknas Walhi) 2. J. Widijantoro (YLKI Jakarta)

137

3. 5. 7. 9. 11. 13. 15. 17. 19. 21. 23. 25. 27. 29. 31. 33. 35. 37. 39. 41. 43. 45. 47. 49. 51. 53. 55. 57. 59. 61.

Ronald Ferdaus (Drektur Lembaga ARuPA) San Afri Awang (Fakultas Kehutanan UGM) Sumaeri (Koordinator SEPKUBA) Sandra Moniaga (Ketua Perkumpulan HuMA) Fajri Nailus Subchi (Koordinator JKPM Wonosobo) Togu Manurung (Drektur Forest Watch Indonesia/FWI) Dony Hendro (INSIST Yogyakarta) Paulus R. Mahulette (LBH Jakarta) Felly Arga (Yayasan Koling Wonosobo) Totok Dwi Diantoro (Lembaga ARuPA) Beka Hapsara (FPPI Jakarta) Ahmad Dimyati Adi Nugroho (WALHI Jateng) Sofyan (WALHI DIY) Otto Syamsudin Ishak (Yappika) Usman Hamid (KONTRAS) La Ode Ridaya Ngkowe (IDEA) Bonnie Setiawan (Institute for Global Justice/IGJ) Nur (IGJ) Ahmad Erwin (KoAK Lampung) JARI Indonesia INFID F. Panggih Purwoko (INFID) Afandy (INFID) Bestari Raden (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN) Nita Ryarti (CUSO) Seri Rahayu (Flower Aceh) Teten Masduki (ICW) Harry Wibowo (PBHI) Bambang H. Lukito (PBHI)

4. 6.

Abidin B (Interfidei) Nila Ardhianie (INFOG)

8. Maimul Fidar (PB-HAM Aceh) 10. R. Y. Agung Setijono (Perdikan Semarang) 12. Andik Hardiyanto (LBH Semarang) 14. Geni Achnas 16. Wardah Hafidz (UPC) 18. S. Lery Mboeik 20. Wilaksa 22. Magdalena Sitorus (SIKAP) 24. 26. 28. 30. 32. 34. 36. 38. 40. 42. 44. 46. 48. 50. 52. 54. 56. 58. 60. 62. Olvi Prihutami (JK-LPK) Tasuku Iizuka (JANNI) Zairin Salampessy (Tapak Ambon) Syamsul Bahri Aleksus Jemada Anton Pasaribu (UADS) Martinus Ujianto (KPA) Richard Daniel (YIS) Panca (Rumpun Tjoet Nyak Dien) Yusmastifiyah (PKBI DIY) Retno (Kalyanamitra Jakarta) Darwati (YBMI) Irwan Nasution (LBH Bandung) Riza Primahendra (Bina Swadaya) Peter van Tujl

63. Fabby Tumiwa (Geni Nastiti Salatiga) 65. Hira Jhamtani 67. Rizal Malik 69. 71. 73. 75. Mufid (Laskpesdam NU) Nadia Hadad Soekirman (WIM Sumut) Rama Astraatmadja (FWI Simpul Jawa)

Natalia Soebagjo Didin (Lappera Indonesia) Wiwiek (Bina Desa) Dede Aliah Dwi Andri Ani (Solidaritas Perempuan) 64. Francis Wahono (Cindelaras) 66. Arimbi HP (DebtWAtch) 68. Mediansyah (Yayasan Duta Awam Solo) 70. Hengky Christian (YBKS Solo) 72. Esaol Agustriawan (YBKS Solo) 74. Teddy Alfonso (SEDI Padang) 76. Fachrudin Rijadi (Jaringan Mitra Dieng)

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/message/13982 diakses pada tanggal 23 Juni 2009. Lihat juga Down to Earth No. 55, November 2002 Wonosobo Community Forestry to Cancelled, akses melalui http://dte.gn.apc.org/55for.htm

138

Selanjutnya pada 3 Oktober 2002, Pihak Perhutani mengundang Tim Multipihak Wonosobo untuk membicarakan kembali rencana kesepahaman mengenai pengelolaan hutan di Kabupaten Wonosobo. Pertemuan berlangsung di Hotel Indonesia (HI) Jakarta. Setelah merasa mendapatkan dukungan yang memadai melalui surat Menhut 1665, Perhutani seolah berada di pihak yang lebih kuat sehingga mengambil sikap menawarkan butirbutir kesepahaman baru di luar nota kesepahaman Radisson Yogyakarta. Kesepakatan yang dicapai merupakan kesepahaman Radisson yang telah direvisi. Tidak ada lagi kata PSDHBM dan PHBM, termasuk tidak lagi ada uji coba PSDHBM pada tiga puluh desa, dalam KesepakatanHItersebut. 17 Oktober 2002, Pertemuan antara pihak Wonosobo dan Perhutani kembali berlangsung. Acara yang difasilitasi Pemerintah Propinsi Jawa Tengah tersebut berlangsung malam hari di Hotel Rawa Pening, Bandungan, Semarang. Pihak WonosobodikoordinasiolehSekda(Drs.Suwondo)danKadishut(Ir.Hardono),di luar keterlibatan Komisi B DPRD Wonosobo dan LSM. Kedua pihak tersebut berhasilmerumuskankesepakatanpengelolaanhutandiWonosobo.Padatanggal 30 Oktober 2002, Penandatanganan Kesepakatan Bersama (MoU) antara PT Perhutani(Persero)UnitIJawaTengahdenganPemerintahKabupatenWonosobo tentangPengelolaanSumberDayaHutandiKabupatenWonosobodilangsungkan diPendopoKabupatenWonosobo. PeristiwainidiluarkoordinsidankesepakataninternalbersamaTimMultipihak Wonosobo. Dan pada tanggal 26 November 2002, dilaksanakan pertemuan yang

139

melibatkan Tim Multipihak dan Perhutani di Baturaden, Purwokerto, sebagai tindak lanjut MoU yang berakhir tanpa adanya kesepakatan. Isu krusial dalam pembahasan tersebut adalah persoalan kewenangan pengelolaan hutan dan jenis tanamankehutanan.28November2002,Perhutanimengadakankegiatansepihak di luar kerangka Mou kerjasama pengelolaan hutan di Kabupaten Wonosobo, denganmelaksanakanpenandatanganankesepakatanantaraLembagaMasyarakat Desa Hutan (LMDH) di sembilan desa untuk melaksanakan program PHBM. Inisiatif penandatanganan ini jauh hari telah muncul bahkan sebelum pertemuan Baturaden. Pada ranah yang lain, rupanya pihak Pemerintah Pusat melalui Sekjen Depdagri cukup serius menindaklanjuti surat Menteri Kehutanan berkaitan dengan rekomendasi pembatalan Perda PSDHBM. Sehingga kemudian, pada tanggal 24 Oktober 2002, Sekjen Depdagri mengirim surat kepada Bupati Wonosobo untuk menghentikan pelaksanaan perda, dan mengusulkan proses pencabutan kepada DPRD.
Kotak.14. Surat Sekjen Depdagri mengenai Himbauan Penghentian Pelaksanaan dan sekaligus Pencabutan Perda PSDHBM DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA Nomor : 188/342/2434/SJ Perihal : Peraturan Daerah Wonosobo Sifat : Segera Lamp : Jakarta, 24 Oktober 2002 Kepada: Yth. Sdr. Bupati Wonosobo di, Wonosobo Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat, bersama ini disampaikan hal- hal sebagai berikut:

140

1.

2.

Berdasarkan hasi kajian tim dan rekomendasi Menteri Kehutanan Nomor 1665/Menhut-11/2002 tanggal 11 September 2002 bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 22 Tahun 2001 bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 dan pasal 2 ayat (3) angka 4 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, karena yang berwenang menetapkan kawasan hutan negara termasuk hutan hak dan hutan adat berikut dengan perubahan status dan fungsinya adalah Pemerintah. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, diminta kepada Saudara agar menghentikan pelaksanaan Peraturan daerah dimaksud dan selanjutnya segera mengusulkan proses pencabutan kepada DPRD. Pelaksanaan penghentian dan proses pencabutan Peraturan daerah tersebut dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri selambat-lambatnya 15 (limabelas) hari sejak diterimanya surat ini. a.n. Menteri Dalam Negeri Sekretaris Jenderal,

Demikian untuk diindahkan dan harap menjadi maklum.

Dr. Ir. S. Nurbaya, M.Sc. Tembusan disampaikan kepada: 1. Yth. Sdr. Gubernur Jawa Tengah di Semarang 2. Yth. Sdr. Ketua DPRD Kabupaten Wonosobo di Wonosobo Sumber: Basis Data ARuPA

Pasca surat Sekjen Depdagri tentang rekomendasi pencabutan Perda PSDHBM, kalangan LSM kemudian segera saja menyikapinya melalui menyusun analisis mendalam atasmakna surat yangbersangkutan.Kebutuhan penyusunan analisis terhadapsuratSekjenDepdagrididasarikepentinganuntukmenyiapkanamunisi bagipihakpengambilkeputusandiWonosobo,agarsecaramentalmaupunmateri argumentasi cukup memadai dalam mengawal proses advokasi kebijakan PSDHBMWonosoboyangsedangberjalanketikaitu.
Kotak.15. Analisis Hukum Surat Sekjen Depdagri kepada Bupati Wonosobo Komentar Hukum terhadap Surat Depdagri (a.n. Sekjen: DR. Ir. S. Nurbaya, MSc.) No. 188.342/2434/SJ, tertanggal 24 Oktober 2002, Perihal Peraturan Daerah Status, Kekuatan dan Proses Kemunculan Surat 1. Surat ini merupakan kategori surat internal dan bersifat permulaan. Surat ini semestinya diposisikan sebagai alat komunikasi formal antara Depdagri dengan pihak Pemda Wonosobo dalam rangka memproses permohonan pembatalan Perda Kab. Wonosobo No. 22/2001 tentang PSDHBM, dari Menteri Kehutanan. Dalam posisi yang demikian, substansi yang ada dalam surat ini memang menjadi tidak tepat. Semestinya, surat ini berisikan permintaan klarifikasi dari Depdagri kepada Pemda Wonosobo sehubungan dengan surat Menhut tersebut. Pemikiran ini makin mendekati kebenaran apabila yang dimintakan oleh Depdagri dari

141

2.

3.

4.

Pemda Wonosobo adalah surat balasan yang isinya memberikan bantahan terhadap isi surat tersebut. Dengan demikian, surat ini sama sekali tidak membawa akibat hukum, yakni membatalkan Perda Kab. Wonosobo No.22/2001. Sekali lagi, surat ini masih bersifat permulaan dan akan dilanjutkan dengan proses dan surat berikutnya. Sesuai dengan PP No. 21/2001 maka hanya Mendagri yang diberikan kewenangan untuk mengeluarkan surat pembatalan Perda. Pembatalan terhadap Perda No. 22/2001 hanya bisa dilakukan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa kemunculan surat iniberikut isinya menggambarkan ketidakprofesionalan dan betapa tidak taatnya Depdagri dengan aturan perundangan yang dia usulkan sendiri. Pertama, dalam pertemuan tanggal 17 Oktober 2002, bertempat di kantor Depdagri, Kepala Kajian Hukum Depdagri, Manggala Sihite, mengatakan bahwa pihak Pemda Wonosobo belum menyampaikan Perda No. 22/2001 kepada Depdagri. Padahal, menurut ketentuannya, paling lambat 15 hari, Pemda sudah harus melaporkan pengundangan Perda kepada Depdagri. Bagaimana mungkin Depdagri mengkaji dan meminta pemberlakuan dan pembatalan terhadap Perda yang secara formal belum disampaikan ke dia? Manggala menyalahkan Pemda Wonosobo karena tidak menyampaikan perda itu kepada Depdagri, tapi dalam waktu sekejap malah mengeluarkan surat yang meminta permohonan penghentian pemberlakuan dan pembatalan terhadap perda tersebut. Kedua, Depdagri mengeluarkan surat tersebut tanpa sama sekali memberi kesempatan kepada Pemda Wonosobo untuk memberikan informasi dan argumen balik/pembelaan. Secara arbitrer, Depdagri menyimpulkan bahwa perda tersebut memang bertentangan dengan UU No. 41/1999 dan PP No. 25/2000, seperti yang dituduhkan Menhut. Bukankah dengan demikian Depdari menyetujui begitu saja tuduhan Menhut, tanpa mengklarifikasinya terlebih dahulu dengan Pemda Wonosobo? Sekali lagi, dengan cara begini, Depdagri melanggar ketentuan mengenai tata cara pembatalan perda, yang notabene dia rancang sendiri. Dalam surat juga disebutkan Berdasarkan hasil kajian Tim... akan tetapi, hasil kajian tersebut tidak disampaikan kepada Pemda Wonosobo, sehingga Pemda Wonosobo tidak mengetahui bagaimana sebenarnya hasil dari kajian tersebut.

Substansi Surat 1. Kualitas hasil kajian Bagian Kajian Hukum Depdagri perlu dipertanyakan. Janganjangan Bagian Kajian tidak membaca, kalaupun membaca tidak mendalami, pasal-pasal yang disebutkan dalam Surat Menhut. Benar bahwa pasal 5 (3) UU No. 41/1999 dan pasal 2 ayat (3) huruf C PP No. 25/2000, menyatakan dengan tegas bahwa kewenangan penetapan kawasan hutan, perubahan fungsi dan statusnya berada di tangan pemerintah pusat. Dan tak satu pasal pun dalam perda No. 22/2001 menentang ketentuan tersebut. Pasal 5 Perda No. 22/2001 dengan sangat jelas menegaskan bahwa seluruh kawasan hutan di Kab. Wonosobo masih merupakan hutan negara. Pun tak sejengkalpun yang dirubah statusnya menjadi kawasan non hutan (dialihfungsikan). Demikian juga pasal 6 nya menyatakan bahwa penentuan lokasi PSDHBM disesuaikan dengan fungsi hutan (berdasarkan kondisi fisik lahan). Jadi jelas, bila membaca pasal 5 dan 6 perda ini, tidak ada penambahan maupun pengurangan luas kawasan hutan (alih fungsi), perubahan status (karena seluruh lokasi PSDHBM) masih dinyatakan sebagai kawasan hutan negara dan tidak ada perubahan atas fungsi (produksi, lindung). Kalau begitu, apa yang dimaksud melanggar oleh Depdagri dalam hal ini? Sekali lagi, kualitas hasil kajian oleh Bagian Kajian Hukum Depdagri sangat tidak berkualitas. 2. Bila hanya ketentuan itu yang dipermasalahkan dalam perda tersebut, artinya ketentuan-ketentuan lain dari perda tersebut diakui kebenarannya oleh Depdagri, dalam arti tidak bertentangan dengan peraturan diatasnya. Taruhlah

142

pasal tersebut memang bertentangan dengan peraturan diatasnya, tapi bukankah permintaan yang paling masuk akal adalah dengan perintah untuk merevisi? Kalau pasal-pasal lain diakui kebenarannyaapalagi mengakui latar belakang dan tujuan dari perda tersebutmasuk akalkah permintaan pembatalan perda tersebut hanya karena ketentuan penetapan kawasan, fungsi dan status hutan bertentangan dengan peraturan diatasnya? Mengapa Depdagri harus membunuh tujuan mulia dari perda ini hanya karena keliru dan silaf dalam merumuskan ketentuan tentang penetapan kawasan, fungsi dan status hutan? Sekali lagi, petanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa cara berfikir yang digunakan oleh Depdagri itu adalah cara berfikir dogmatif-formalistik. Depdagri mengambil keputusan hanya dengan cara membaca teks peraturan perundang-undangan (yang sayangnya juga salah dalam menganalisa dan mengambil kesimpulan) tanpa sama sekali berusaha mencari informasi empirik mengenai objek yang diatur dalam perda No. 22/2001. Nasib dan problematika pengelolaan hutan di Wonosobo dan nasib petani hutan dengan gampang saja ditentukan dengan hanya membaca teks-teks/bunyi/isi peraturan perundangan. Sumber: Basis Data AruPA (substansi komentar disusun dan dirumuskan oleh Rikardo Simarmata, penggiat Perkumpulan HuMA)

PolemiksuratSekjenDepadgrikemudianmembawadinamikabaru.Padatanggal 7Januari2003,atasundanganKepalaPusatKajianHukumDepdagridilaksanakan audiensi antaraTimMultipihakWonosobodenganDepdagri.Depdagri meminta penjelasan perkembangan surat Sekjen Depdagri Nomor 188.342/2434/SJ, sedangkan di pihak Wonosobo meminta klarifikasi soal isi surat tersebut. PertemuankemudianberujungpadakemungkinanbahwaDPRDWonosoboakan merevisiperdaPSDHBM. Padatanggal10Januari2003,DPRDKabupatenWonosobomelakukanrapatpleno yang menyepakati untuk melaksanakan revisi terhadap Perda PSDHBM. Kemudian berlanjut pada 17 Januari 2003, dilaksanakan pertemuan di Hotel Ambarrukmo Yogyakarta atas inisiatif Tim HI untuk membahas perkembangan MoU Perhutani dengan Kabupaten Wonosobo. Diperoleh kesepakatan bahwa proses yang akan didorong adalah revisi perda. Tim HI yang seyogyanya akan

143

mengemban tugas merumuskan format pengelolaan kolaboratif Wonosobo denganPerhutanidengandemikianuntuksementaradibekukan. Pada saat yang hampirbersamaan, yaitu tanggal1819Januari 2003,ditingkatan petanihutanjugaberjalanstrategikonsolidasi.Pertemuanpetaniantardesayang digalang di Desa Ngadisono, Kecamatan Kaliwiro tersebut menyepakati bahwa petani hutan bersamasama dengan LSM menyatakan dukungannya terhadap pelaksanaanPerdaPSDHBM.SikapinikemudiandiafirmasiolehTimMultipihak Wonosobo pada tanggal 10 Februari 2003, di Kantor Wakil Bupati Wonosobo. Afirmasi tersebut memutuskan untuk mempertahankan Perda PSDHBM apa adanya, dan menambah penjelasan lebih rinci dalam rancangan pedoman pelaksanaan sebagai penyelaras pasalpasal dalam perda yang dianggap masih mengandung kelemahan. Di tingkatan petani, dengan difasilitasi oleh kalangan LSM juga tidak berhenti dalam konsolidasi. Pada tanggal 78 Mei 2003 terjadi pertemuan petani antar desa di Gedung SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) Wonosobo,yangsekalilagi,bersepakatbahwapelaksanaanPerdaPSDHBMharus disegerakandandisebarluaskankelebihbanyakdesa. Pada tanggal 9 Mei 2003, kembali Tim Multipihak Wonosobo berinisiatif mendatangiDepdagridiJakarta.KepentingankeDepdagritersebutadalahuntuk melakukan upaya memperoleh kejelasan mengenai keberatan Depdagri terhadap Perda PSDHBM, namun tidak berhasil. Begitu sebaliknya, di sisi lain maka pilihannya adalah Tim Multipihak Wonosobo semakin menegaskan untuk tetap mempertahankan Perda PSDHBM tanpa perubahan. Implementasi sikap ini dipertegas ketika pada tanggal 25 Juni 2003, Tim Multipihak di Kantor DPRD

144

Wonosobo sepakat untuk membentuk Rumah Pengaduan guna menanggapi semua halpertanyaan, keluhan dan laporan masyarakat desa hutanberkaitan denganpelaksanaanPSDHBM. Seiring oleh waktu, serta dengan keterbatasan energi dan sumberdaya yang juga semakin menipis, konteks pijakan posisi (standing position) dan pilihan sikap Wonosobo juga mengalami moderasi. Pada tanggal 23 Agustus 2003, Tim MultipihakdiKantorDPRDWonosobomendapatkunjunganpihakPerhutani,di mana dalam forum tersebut disepakati untuk membentuk tim inti guna memfasilitasi pengembangan konsep PSDH (Pengelolaan Sumber Daya Hutan) Wonosobo.KonsepPSDHadalahtindaklanjutperistiwa20Oktober2002,dimana terjadi kesepahaman antara Pemerintah Daerah Wonosoboyaitu Bupati denganPerhutaniuntuksamasamameninggalkanpolemikPerdaPSDHBM,dan menggantinyadengankonsepbaruyangakandirumuskanbersamaantarakedua belah pihak. Pada tanggal 23 Agustus 2003 itu puladisepakati untuk menggagas dan membentuk Forum Hutan Wonosobo (FHW). Secara teknis kemudian ditindaklanjuti pada tanggal 6 September 2003 oleh Perhutani dengan mengunjungi Tim Multipihak Wonosobo di Kantor Dinas Kehutanan dan Perkebunan Wonosobo, yang mana kemudian tim inti ini menyusun tata waktu penyusunankonsepPSDHWonosobo. Pada saat nasib Perda PSDHBM berada dalam posisi yang makin tidak jelas Dinas Kehutanan dan Perkebunan Wonosobo masih enggan

mengimplementasikan, Bupati tidak juga segera menandatangani Pedoman

145

Pelaksanaan Perda, dan DPRD tetap berpendirian untuk tidak akan mencabut perda,disampingupayauntukmerevisitidakjugakunjungdimulaipadalevel petani dan LSM tetap menjalankan aktivitas kesehariannya atas pengelolaan sumberdayahutan.Tanpaterlalumenghiraukanhirukpikukpolitikyangterjadi, ARuPAdanKolingtetapberjalanmemfasilitasipenyiapankelompokmasyarakat dengan merumuskan community planning, di mana masyarakat memulainya pemetaaanpartisipatifataslahandikawasanhutannegarayangtelahdanakan menjadi petakpetak garapannya. Proses ini sebenarnya juga telah seiring sejalan manakala di tingkatan negosiasi kebijakan sedang berproses, yaitu sejak akhir tahun 2002. Bahkan, pada awal tahun 2003Januarimasyarakat petani Desa Bogoran dan Desa Gunung Tugel sudah siap dengan hasil perencanaan masyarakatnya (community planning), di mana lantas diikuti oleh dua puluh desa lainyangmenyatakankeinginanuntukmenjalankanhalserupa. Ketenangan dalam ketidakpastian ini kemudian terinterupsi, manakala sekonyongkonyong sekelompk massa melakukan aksi premanisme dan membabati tanaman kayu masyarakat Desa Bogoran pada tanggal 26 Oktober 2004.Padasaatyangsama,aksipremanismeinijugamengintimidasimasyarakat agar segera mengosongkan hutan milik Perhutani. Kalau tidak, mereka juga mengancam akan membabati tanaman tersebut. Kuat dugaan, massa yang melakukanaksipremanismeinimerupakansekelompokorangyangdisuruholeh pihak Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Selatan. Petani Desa Bogoran terpaksa membabat sengon dan berbagai tanaman lain yang mereka tanamsejak1999dilahanhutannegara.

146

Kotak.16. Aksi Premanisme yang Menyertai Kontestasi Kepentingan dalam Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Wonosobo Petani Desa Bogoran Kecamatan Sapuran, Kabupaten Wonosobo terpaksa membabati tanaman albasia yang mereka tanam di lahan milik Perhutani. Mereka terpaksa membabati tanaman yang ditanam tahun 1999 karena diancam sekelompok massa yang mengaku suruhan petugas Perhutani Kedu Selatan. Menurut sejumlah warga Sapuran, Selasa (26/10), pekan lalu dengan menggunakan truk dan beberapa kendaraan, serta mengaku suruhan Perhutani Kedu Selatan di wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Ngadisono. Kalau tidak mau mengosongkan hutan milik Perhutani itu, mereka mengancam akan membabati tanaman tanaman itu. Ancaman tersebut bukan main-main karena massa itu juga membawa senjata tajam. Kepala BKPH Ngadisono, Khaerudin, membantah sekelompok orang yang mengintimidasi penduduk Bogoran itu merupakan suruhan Perhutani Kedu Selatan. Itu fitnah untuk mendiskreditkan Perhutani, ungkapnya. Mengenai ancaman kelompok massa tidak dikenal, yang meminta warga mengosongkan lahan Perhutani, menurut sejumlah penduduk sudah dapat diselesaikan. Ini setelah penduduk dengan Perhutani, Komisi B DPRD Wonosobo, serta sejumlah pejabat Pemkab Wonosobo bermusyawarah. Tetapi, kelompok massa tidak dikenal itu tetap mengancam dan meminta warga segera mengosongkan lahan Perhutani yang ditanami albasia. Dari catatan Kompas, warga Bogoran dan ribuan warga lain di berbagai desa, termasuk di dataran tinggi Dieng mulai menanami lahan di wilayah BKPH Ngadisono dengan albasia. Mereka merujuk peraturan daerah (perda) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat. Dengan penghutanan kembali oleh masyarakat hutan Perhutani yang gundul akibat penjarahan kini sudah hijau kembali. Abdul Arif, anggota Komisi B DPRD Wonosobo dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) mengatakan, setelah dilakukan perundingan Sabtu lalu sebenarnya warga Bogoran bersedia membabat sendiri ribuan pohon albasia yang ditanam di petak 31 seluas sekitar tujuh hektar. Tetapi, penduduk merasa trauma dan takut dengan ancaman kelompok massa tidak dikenal itu. Dengan persoalan ini, Abdul Arif berharap agar setiap permasalahan yang melibatkan banyak orang dapat diselesaikan dengan dialog, bukan kekerasan. Ia mengajak petani di daerahnya untuk menahan diri dan tidak melakukan kekerasan. (NTS). Sumber: Kompas 27 Oktober 2004

Konteks premanisme ini semakin menyurutkan energi di kalangan Wonosobo. Dalamrentangwaktuyangtidakmenentuataskebijakanpengelolaansumberdaya hutan di Wonosobo ketika itu, tibatiba Jakartamelalui Depdagri mengeluarkan jurus pamungkasnya dengan mengeluarkan Surat Keputusan

147

MenteriDalamNegeriNomor9Tahun2005tentangPembatalanPeraturanDaerah KabupatenWonosoboNomor22Tahun2001,padatanggal3Maret2005.
Kotak.17. Surat Keputusan Mendagri yang Membatalkan Perda PSDHBM Wonosobo KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PEMBATALAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN WONOSOBO MENTERI DALAM NEGERI, bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Wonosoho Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat Kabupaten Wonosobo, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a diatas, pcrlu ditetapkan pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pcngelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat Kabupaten Wonosobo, dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomnor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437); Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888); Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Pemerintah Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); Peraturan Pemerintali Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan Dan Pengawasan Atas Penyelengggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090); Peraturan. Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Lembaran Negara Tahim 2002 Nomor 66, Tambahan embaran Negara Nomor 4206). Surat Menteri Kehutanan,Nomor I 665/Menhut-I1/2002 tanggal 11 September 2002 MEMUTUSKAN Menetapkan: PERTAMA Membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 22 Tahun 2001 tentang Penge1olaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat Kabupaten Wonosobo, dengan

Menimbang:

a.

b.

Mengingat:

1. 2. 3.

4.

5.

Memperhatikan:

148

alasan bertentangan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 dan Pasal 2 ayat (3) angka 4 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000, karena yang berwenang menetapkan kawasan hutan negara termasuk hutan hak dan hutan adat berikut dengan perubahan status dan fungsinya adalah Pemerintah KEDUA Agar Bupati Wonosobo menghentikan pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat Kabupaten Wonosobo, paling lambat 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan Keputusan ini. KETIGA Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal, 3 Maret 2005

Tembusan disampaiikan kepada Yth. 1. Presiden Republik indonesia; 2. Wakil Presiden Republik Indonesia; 3. Menteni Keuangan RI; 4. Gubemur Jawa Tengah; 5. Ketua DPRD Propinsi Wonosobo.

Perda PSDHBM akhirnya menemui ajalnya di genggaman Jakarta; yaitu oleh Mendagri yang notabene jauh tidak memahami kondisi faktual di lapangan. Kebijakanyangdirumuskansecararasionaluntukmenjawabkebutuhanlokalitas setempatdengan demikian pengambilan keputusan dilakukan pada level yang paling relevan/dekat dengan obyek kebijakan yang bersangkutan dan akan dilaksanakantidak lah cukup menjadi alasan yang dipertimbangkan oleh Jakarta. Padahal, dapat dikatakan bahwa perda ini merupakan aspirasi rakyat, khususnya kaum tani yang berada di sekitar hutan di wilayah Kabupaten Wonosobountukmelestarikanhutandanlingkungan.

149

D.

Surat Keputusan Bersama Perhutani dan Bupati: Wonosobo Kehilangan

KepercayaanDiri Konstelasi nasional berkaitan dengan relasi pusat dan daerah pada medio dasawarsa tahun 2000an, sedikitbanyak membawa pengaruh pada persoalan peta politik di level lokal; yaitu kabupaten. Revisi kebijakan nasional mengenai pemerintahandaerah,sehinggamemunculkanUUNo.32/2004yangmembongkar dan menggantikan UU No. 22/1999, dalam konteks ini saya melihatnya sebagai tonggakmenguatnya lagipusat,sekaligusmelemahnyakembalidaerah.Terlepas dari sanggahan yang mungkin menyatakan bahwa, toh tetap desentralisasi dan daerah tidak merasa keberatan, namun saya tetap mencandranya sebagai bagian dariskenariobesartentangbagaimanasesungguhnyapusattelahlagipowerfuldan berhasilmenghegemonidaerah. Mengapa? Apabila kita sedikit mundur dan merunut ke belakang, lahirnya UU No. 22/1999 sehingga memunculkan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah yangrelatifideal(baca:menempatkandaerahkabupaten/kotasebagaititiktumpu desentralisasi/otonomi daerah), sesungguhya dari sudut pandang pusat merupakankecelakaansejarah.Kontekspembidanandankelahirannya,tidaklebih oleh karena suasana kritisketidakberdayaan pemerintah pusatyang

berhadapandengankemarahandaerahketikaitu,manakalabarusajalepasdari belenggu Orde Baru. Oleh sebab itu, ada harapan bahwa UU No. 22/1999 bisa menjadi bagian penting dari agenda reformasi bidang pemerintahan; yaitu mendemokratisasikan birokrasi. Birokrasi dituntut untuk melakukan perubahan agar demokrasi bisa tumbuh subur di negeri ini. Dengan menetapkan bahwa

150

gubernurbukanlahatasanbupati/walikota,makaharapannyabirokrasiakanlebih mementingkansubstansipersoalan,bukanhanyaberadadibalikformalismedan kepatuhan buta pada hierarkis. Di sisi lain juga, pusat diharapkan sekedar mengurusihalhalstrategisdanmengerangkaikiprahdaerahdaerahotonomsaja. Akantetapi,justrusebaliknyalahyangterjadi.108 Sedemikian maka, manakala situasi telah relatif kondusifpada medio dekade tahun 2000an, melalui berbagai pengkondisian wacana pentingnya

mengevaluasi desentralisasikemudian pusat menemukan energinya untuk menarik kewenangannya kembali. Ada nuansa yang membisikkan bahwa pemerintahandaerahmerupakanurusanpemerintahan,yangpadadasarnyamilik pemerintah pusat. Semua urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, sekiranyadiperlukan,bisadiselenggarakanolehpemerintahpusat.Adacarapikir birokratis yang tidak lebih melihat daerah adalah instrumen penyelenggara kewenangan birokrasi pusat, bukan entitas yang berdemokrasi, dan harus difasilitasiolehpemerintahpusat.109 Celakanya juga, mentalitas birokrasi daerah tidaklah jarang malah mengamini. Kontekspragmatismebagiaparatbirokrasipemda,yangnyatanyakemudianlebih mengemukadengantidakmauterlalurepot,sehinggalebihmemilihpenuhisaja semua kebijakan pusatketimbang suntuk berkreasi merumuskan dan

PurwoSantoso,TitikBalikDesentralisasi,artikeldimuatdiSuratKabarHarianJawaPos,26 Desember2005. 109PurwoSantoso,Ibid.


108

151

memfasilitasi ruangruang pemberdayaan masyarakat setempat. Bekerja selayaknyatidaklebihsekedarmemenuhiwaktujamkerja. Secara khusus, potret ini juga terjadi dengan Wonosobo. Keengganan Bupati dalam menindaklanjuti Perda PSDHBMdengan tidak segera menandatangani pedoman pelaksanaan perdaadalah refleksi tentang bagaimana birokrasi di daerah cenderung pragmatis mencari jalan selamatnya sendiri; yaitu taqlid pada pemerintah pusat. Demikian halnya dengan Wakil Bupati, yang ketika itu seolah mensupport advokasi Perda PSDHBMmeskipun hanya dalam tataran normatifternyatatidaklah cukupmempunyaikontribusiyang berartimanakala kemudian yang bersangkutan naik karir menjadi bupati setelah menang pilkada pada2005silam.110

DipilkadaWonosoboyangdigelarpadahariMinggu(4/9/2005),pasangancalonbupati(cabup) dan calon wakil bupati (cawabup), H. Abdul Kholiq Arif dan H. Munthohar yang diusung PKB, PAN dan PKS justru menang mutlak atas dua rivalnya yakni pasangan Trimawan NugrohadiH. Muchotob yang diusung PDIP dan PPP serta pasangan Heru IriantoSapto Yuwono dari Partai Golkar, Demokrat dan delapan parpol kecil. Kholiq yang sebelumnya adalah wakil bupati Wonosoboperiode20002005,mampumengalahkanTrimawanyangsebelumnyamenjabatsebagai bupati. Berdasarkan hasil penghitungan oleh KPUD Wonosobo, pasangan KholiqMuntohar memperoleh 173.113 suara atau sekitar 52 persen. Pasangan TrimawanMuchotob memperoleh 106.609suaraatau30persen.SedangkanpasanganHeruIriantoSaptoYuwonohanyamemperoleh 54.338suaraatau16persendari573.760pemilihyangterdaftarsebagaidaftarpemilihtetap(DPT). Dari15kecamatan,Kholiqmampumenangdi14kecamatandiWonosobo.SedangkanTrimawan hanya menang di tempat kelahirannya, Kecamatan Selomerto. Kholiq juga unggul di basisbasis massa PDIP seperti wilayah Kecamatan Leksono, Kepil, Sapuran, Kaliwiro, Kertek, Sukoharjo, Wadaslintang dan Watumalang. Dalam penghitungan sementara, Kholiq menang mutlak di 14 kecamatan, antara lain Kecamatan Kalikajar 6.865 suara, Kepil 6.773 suara, Kertek 10.210. suara, Sukoharjo 8.628 suara, Garung 17.138 suara, Sapuran 14.368 suara, Kalibawang 7.067 suara, Kaliwiro11.437suara,Wadaslintang13.007suara,Leksono10.008suara,Watumalang18.503suara, Mojotengah18.017suara,Wonosobo12.317suaradanKecamatanKejajar15.004suara.Trimawan hanyaungguldiKecamatanSelomertodenganmemperoleh4.322suara,Kholiqmemperoleh3.581 suara dan Heru hanya memperoleh 1.199 suara. (Sumber: detikNews, dikutip dari
110

152

Kemenangan Kholiq Arief menjadi Bupati Wonosobo pada pilkada 4 September 2005 yang mengalahkan bupati incumbent (Trimawan Nugrohadi), tidak serta merta menjaminkan harapan PSDHBM bagi kalangan petani hutan dan LSM, bakal segera terwujud. Bukan langkah kreatif dengan menata ulang strategi advokasipascapencabutanPerdaPSDHBMolehMendagripadatanggal5Maret 2005 silam, namun justru sebaliknya diam seribu bahasa di mana seakanakan lega, karena merasa persoalan silangsengkarut kehutanan lokal dengan pihak pemerintahpusat(Perhutani)telahselesaidantidakakanlagimenjadibebanbagi pemerintahannya. Dinamika kehutanan lokal Wonosobo mengalami stagnasi dalam proses perubahannya. Sekali lagi, harapan untuk mendorong kejumudan hanya bisa diandalkan dari kalangan masyarakat dan civil society sendiri. Menyikapi fenomenaini,ARuPA,KolingdanSepkubakemudianmendesakKomisiBDPRD Wonosobo untuk segera bersikap. Dengan terlebih dahulu Komisi B memanggil pihak Perhutani KPH Kedu Utara dan KPH Kedu Selatan, akhirnya pada tahun 2006disepakatiforumpertemuanmultipihakyangdifasilitasiolehpemkab;yaitu Bupati Wonosobo. Forum multipihak ini dalam perjalanannya menyepakati bentuk kolaborasi pengelolaan sumberdaya hutan di Wonosobo oleh Pemda Wonosobo, Perhutani KPH Kedu Utara dan Kedu Selatan, Masyarakat dan LSM lokalsetempat.DalamkonteksterlibatnyaLSMlokalsetempat,Perhutanimelalui

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/09/tgl/05/time/181441/idnews/4 35501/idkanal/10,diaksespadatanggal10Juli2009).

153

Kepala KPH Kedu Selatan menolak peranserta dan keterlibatan ARuPA karena dianggapbukansebagaiLSMlokalWonosobo.111 Bentuk kolaborasi pengelolaan sumberdaya hutan multipihak ini, secara legal formal tercetus manakala kemudian Bupati Wonosobo dan Kepala Unit I Perhutani Jawa Tengah menandatangani nota kesepakatan, berupa Surat Keputusan Bersama Kepala Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Bupati Wonosobo Nomor. 2871/044.3/Hukamas/INomor. 661/13/2006 tentang Pengelolaan

Sumberdaya Hutan Lestari (PSDHL) di Kabupaten Wonosobo, pada tanggal 13 Oktober2006.

Bibit perseteruan Perhutani dengan ARuPA sesungguhnya sudah berjalan lama. ARuPA pada masamasa awal pendiriannya cukup lantang menyuarakan pembubaran Perum Perhutani, sehingga di kalangan LSM di Jawa dikenal sebagai LSM yang cukup mempunyai integritas dan konsistensi yang tinggi menentang sepak terjang Perhutani. Kepala KPH yang menolak keterlibatan ARuPA di dalam skema kolaborasi pengelolaan sumberdaya hutan lestari (PSDHL) WonosoboadalahDwiWitjahjono,ataukerapdipanggilYoyok;yaituaparatPerhutaniyangselalu konsistenmencermatidanmengikutigeliatkegiatanARuPA.Denganslogannyayangterkenaldari dia tentang ARuPA adalah di mana ada ARuPA, di situ ada konflik, dengan kalimat lain dia ingin mengatakan bahwa, ARuPA adalah biang konflik (provokator) pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa. Pada tahun 2006 konteks ketika muncul kesepakatan kolaborasi pengelolaan sumberdayahutanlestari(PSDHL)Wonosobosecaramultipihak,sebenarnyawajahARuPAsudah banyakberubah.Padaerapascatahun2003hinggasetelahPerdaPSDHBMdicabutolehMendagri padatahun2005,kerjakerjaARuPAdiWonosoborelatiftelahbanyakmengalamimoderasiakibat perseteruan internal lembaga dalam menentukan garis ideologi gerakan yang ingin dibawa. Konteks friksi internal lembaga, terdapat paradigma kolaboratif dan multipihak lebih mendominasi, hingga bahkan tidak sungkan muncul gagasan untuk merangkul Perhutani. Dalam situasi ini, penulis merupakan pihak minoritas yang ingin tetap mempertahankan garis ideologi gerakan kembalikan sepenuhnya kontrol dan akses kelola rakyat terhadap sumberdaya alam, sehingga tidak mendapatkan porsi peran yang cukup memadai. Disorientasi dan konflik internalARuPA,lebihlanjutakandilaborasidalamsubbabMengatakanTerusBerjuangTapiTak LagiLantang,dalamBabIV.
111

154

Pada konteks peristiwa ini dipandang sebagai buah dari kontestasi, saya melihatnya tidak lebih dari sekedar kekalahan entitas Wonosobo dalam menghadapi kekuasaan Perhutani yang masih cukup kuat sebagai sebuah kenyataan.ApalagijikadihadapkandengankemungkinanDireksiPerhutaniyang sewaktuwaktu dapat membatalkan Keputusan Bersama tersebut secara sepihak, mengingat UnitI jawaTengahsecarahierarkistundukpada kebijakan Direksi di pusat;Jakarta. Dengan digantungnya konsepsi pengelolaan sumberdaya hutan di Wonosobo yangbukanlagioleh/berbasismasyarakat,namundisisilainsesungguhnyalebih banyak bernuansa mengakomodasi Perhutani dari aspek kepentingan legitimasi, maka pada dasarnya rakyat Wonosobo sedang dibenturkan pada realita untuk merumuskan ulang strategi gerakan advokasi pengelolaan sumberdaya hutan ke depan. Tentu tidak lagi mengandalkan harapan keberpihakan negara lokal (pemerintah daerah dan DPRD), namun belum tentu juga optimis dengan kalanganLSM.KarenaWonosobosedangkehilangankepercayaandiri.

155

BABIV
PERNAHADAGELAGATDEMOKRASI,TAPIJUGAADA GELAGATMANGKIRNYACIVILSOCIETY
Jelas, bahwa kittah civil society itu adalah memihak pada ikhtiar perubahan sosial ke arah yang madani. Dan pada suatu waktu strategi gerakan civil society memang tidak menafikan untuk involved dalam pusaran kekuasaan, baik ke negara maupun ke pasar. Tetapi involved yang bagaimana? Tentu bukan involved yang naif. Karena suka tidak suka, civil society telah ter-baiat menjadi agency-nya masyarakat kecil dan demokrasi. Oleh sebab itu jangan sampai kehilangan konsistensi, agar tidak lebih jauh kemudian kehilangan elan vital dan harga diri! Konsepsi demokrasi sepintas sederhana bila sekedar dimaknai (pada konteks) sebagai manifestasi beradanya rakyat sebagai basis legitimasidari, oleh dan untukyang sekiranya menjadi cukup signifikan eksis di dalam proses pemerintahan.112 Namun begitu, adalah menjadi tidak sederhana manakala konsepsi tersebut kemudian mendapati tantangan, mengenai bagaimana beradanya rakyat ini digunakan dalam kepentingan untuk justifikasi dari setiap proses pemerintahan yang sedang bergulir. Dengan demikian, bagaimanapun karakter pemerintahan yang sedang berjalan akan ada dalam posisi yang selalu
Terminologi pemerintahan dalam hal ini, saya cenderung menempatkannya dalam konsepsi maknayangluas(maksimal).Yaituproses(baca:mekanisme)pengorganisasiankepentinganyang dapat dilakukan oleh siapa saja (di luar negara), dalam konteks ikhtiar mewujudkan tujuan bersamayangtelahdisepakati,daningindiraih.Sehinggadengandemikian,tidakterbatashanya pada prosesi memerintah dan mengelola oleh kelembagaan (institusi) resmi negara (pemerintah). PemahamansedemikianinisebagaimanamerujukpadadefinisigovernanceolehTokyoInstituteof Technology, yang menegaskan bahwa [t]he concept of governance refers to the set of values, norm, processes and institutions by which society manage its development and resolves conflict, formally and infromally.Dalamdefinisitersebut,governanceditekankanpadaperilakudankapasitasmasyarakat untuk mengelola kepentingan bersama, termasuk kapasitas dalam memanfaatkan pemerintah dalam penyelesaian permasalahanpermasalahan publik (Pratikno, Good Governance dan Governability,dalamJurnalIlmuSosialdanIlmuPolitik,Volume8,Nomor3,Maret2005,Fisipol UGM).
112

156

mengatakan telah mewakili dan sematamata untuk kepentingan rakyat. Oleh sebabitu,klaimdemokratisbahkanmendefinisikanmenurutversinyasendiri adalahfenomenayangselanjutnyamenjaditidakterelakkan. Sebaliknya, jauh melampaui polemik klaim telah demokratis (atau tidak), dapat dikemukakan bahwa, telah mewakili dan sematamata untuk kepentingan rakyat membawa konsekuensi untuk merujuk pada pertanyaan apakah demokrasiadalahsebuahprosesatausebagaitujuan?Sebagaiprosedurataunilai? Sedemikian kemudian menjadikannya poin perdebatan yang berkepanjangan, meskipuntidakkurangakaluntukmendekatinyasecaraeklektik;yaitupilihannya adalahpadaduaduanyasekaligus. Demokrasi dalam pemahaman sebagai goverment ruled by the people, tidak dapat disangkaltelahdidominasiolehpendekatanfilsafatliberalyangmelatarbelakangi. Tradisi filsafat liberal pertama kali lahir ketika gerakan oposisi secara massif menggalang pembangkangan terhadap institusi politik abad pertengahan yang sangat hierarkis di bawah kekuasaan rajaraja yang despotik.113 Pada konteks itu,

Gerakan oposisi ini mendobrak sistem monarki feodal dari dua sisi. Pertama, tuntutan pengunduran diri negara dan penciptaan masyarakat sipil, yang memberikan jaminan lebih luas bagi setiap warga negara untuk berekspresi tanpa campur tangan kekuasaan politik. Secara bertahap,tuntutaniniberkembangmenjadisalahsatudoktrinpentingdemokrasiliberal.Doktrin adalah hak bagi setiap individu untuk memperjuangkan kepentingan pribadi di bidang politik, ekonomi,sosialatauapasajayangberhubungandengankehidupankesehariannya.Kedua,gerakan oposisi abad pertengahan secara berani menolak hakhak natural ataupun supranatural sebagai sumber legitimasi kekuasaan raja. Sebaliknya, otoritas dan wewenang pemerintah atau negara bergantung pada kehendak masyarakat. Secara populer kemudian dikenal sebagai kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat. Semangat kedaulatan ini kemudian mendorong lahirnya gagasan representasi, untuk menjamin setiap pemimpin politik yang terpilih mendapat dukungan
113

157

kelahirandemokrasiliberalmenekankanpentingnyamemperjuangkankebebasan hakhak individu warga dari belenggu kekuasaan rejim yang otoriter. Oleh karenanya, kebebasan setiap anggota masyarakat untuk mengejar preferensinya mendapattempatutama.Jikademikian,makaintervensidanpenetrasinegarake dalamruangsosialpolitikwargamenjadipendekatanyangdipandangtidakbijak, oleh sebab dalam asumsi ini peran negara haruslah mengambil jarak terhadap kehidupanwarganya. Situasi sedemikian, tercermin pada saat rejim Orde Baru berkuasa yang dengan sangatketatmengawasikehidupanwarganyamelaluikekuatanjaringanbirokrasi, baik sipil dan militernya. Dalam waktu yang sama pula, kita juga bisa saksikan bagaimana kekuatan gerakan civil society (baca: LSM/Ornop) memainkan peran yangcukupberartidalammenyuarakanperlunyamelawanotoritarianismenegara sembari bersandar pada harapan demokrasi.114 (Dan pada saat yang sama pula, sebaliknyakitajugabisalihatbetaparuanggerakdanaktivitascivilsoceitybegitu dibatasiolehrejimyangsedangberkuasa).Sebabnya,menjadikorelatifmanakala OrdeBarutumbang,kemudianreformasiditandaimelaluiliberalisasipolitikserta mengecilnya sentralisasi kekuasaan negara untuksalah satunyasampai pada pilihandesentralisasi.
masyarakat luas. (Held, 1987 dalam Eric Hiariej,Politik Transisi Pasca Soeharto, Fisipol UGM, 2004.hlm.15) 114JumlahLSMyangtercatatdanterdaftardiDepdagrisampaitahun1996mencapai8.000lembaga. (Kompas, 2 November 1996). Jumlah ini meningkat pada periode transisi pasca Orde Baru ini hingga mencapai 13.500 lembaga pada tahun 2002. (Kompas, 26 April 2007). Bilangan tersebut belumtermasukLSMyangtidakmendaftardantercatatdiDepdagri.CatatanSMERU(2000)dalam Suharko(2005)menyebutkansetidaknyaterdapat20.000LSMdiseluruhIndonesiayangbergerak dibidangpembangunandanpemberdayaanmasyarakat,advokasi,danlitigasi(JurnalIlmuSosial danIlmuPolitikVolume8,Nomor3,Maret2005hlm.277).

158

Sebagaimana pengaruh pendekatan liberal, maka kontekstualisasi menuju demokrasi kemudian pertamatama dimaknai dengan partisipasi politik warga secaraproseduralmelaluikelembagaanpemilu,dimanapraktisrelatifdemokratis dibandingsejakpengalamansebelumnyadimasaOrdeBaru.Setidaknya,tingkat partisipasi/keterlibatan rakyat secara sukarela tanpa paksaan (voluntary) dalam menentukan pilihannya pada proses pemilu115sebagai instrumen demokrasi dapat dipandang telah cukup menjadi ukuran. Sedemikian maka, pada situasi seperti ini pun membawa konsekuensi pada beradanya civil society; sehubungan padaperandanposisinyakemudian.Padatataranlebihterbukanyaruangpolitik (liberalisasi), menjamurnya LSM juga menjadi tanda manakala keberadaannya jugaberkaiteratdenganconcernkalanganmasyarakatsipiltersebutdengan/dalam proyek besar memaknai hakekat demokrasi. Bahwa pada ranah rangkaian prosesional itu penting (melalui pemilu untuk menentukan kelembagaan perwakilanrakyat),tetapimenurunkansubstansidemokrasipadaderajadempirik melalui partisipasi dan kontrol rakyat dalam kondisi lapangan, juga jauh lebih penting. Pada konteks konsekuensi peran dan posisi ini selanjutnya, suguhan berkaitan dengan bagaimana LSM ketika menjalin relasi dengan representasi (elemen) negara dalam beberapa kasus dan situasi, adalah gejala perubahan yang sedang

Pada pemilu 1999 silampemilu pertama setelah Orde Baru tumbangdiikuti oleh 48 partai politik kontestan peserta pemilu. Meningkat luar biasa jumlahnya, dibanding ketika masa Orde Baruyanghanyadibatasi3partaipolitikkontestanpesertapemilu.
115

159

terjadi.116 Utamanya, manakala perjuangan membumikantransformasimakna demokrasisebagai tataranyang lebih riil ke dalam ranah praksis, kemudian. Hal sedemikianininampaksangatmungkinterjaditerlebihpadaawalawaltransisidi mananegarasedangdalamkondisikrisiskepercayaandiri,sehinggaseolahlebih akomodatif, terbuka bagi peluang keterlibatan civil society untuk turut campur dalamkinerjakeseharianpelayananpubliknegara. Kisah Wonosobo, dengan proses advokasi Perda PSDHBM pada rentang masa awalawal desentralisasi 19992001 silam, saya membacanya sebagai kontribusi civilsocietydalammentransformasikandemokrasi,denganmemanfaatkanpeluang krisis percaya diri negarabaik pusat maupun lokalpada masa golden period ketikaitu.Padakonteksitu,makaadvokasiperubahankebijakanlokalkehutanan Wonosobo yang didorong melalui proses partisipasi dan deliberasi publik (stakeholder terkait) oleh kalangan civil society, telah membawa kecurigaan pada pernah adanya gelagat demokrasi, yang mungkin bahkan deliberatif. Namun demikian, adalah sebaliknya manakala performansi negara (pusat) telah agak pulihpadapertengahanparuhdekade2000an(nampakdalamfenomenagerakan resentraliasasi dengan mencabut UU 22/1999 dan menggantinya dengan UU No. 32/2004), di mana kemudian civil society justru tak lagi lantang, setidaknya
Fenomenamenjamurnyakelembagaanstateauxiliaryagency(lembagabantunegara)padamasa transisiini,jugadapatdibacatentangbagaimananegaratelahmenjalinpersebadanan(engagement) dengan civil society. Bahkan timing keterlibatan civil society telah dimulai sejak pembidanan kelembagaanstateauxiliaryagencyyangbersangkutan.Untukkemudiandalambanyakkasusstate auxilairyagency,sumberdayamanusiayangmenempatijabatanstrukturalsebagaikomisionerdi dalamnya juga berasal dari kalangan civil society. Bukan oleh sumberdaya manusia yang berasal darilingkunganinternalnegarasendiri,yangbiasanyamelaluijenjangkarir(pejabatkarir).Dalam fenomena sedemikian ini, maka kemudian kita kenali juga state auxiliary agency tersebut sebagai lembagaquasinegara(quasistate),atausebaliknyalembagaquasimasyarakat(quasisociety).
116

160

mengesankan buat saya untuk mengatakan ada gelagat mangkirnya civil society dari badai yang timbul sebagai akibat angin yang telah mereka tabur sendiri sebelumnya.Bahkanironinya,adanuansamendorongsemuapihakuntuksecara mesra berkolaborasi dengan elemen (representasi) negara (pusat), tanpa lagi ekspressifmeneriakkanposisikepentinganrakyat. Untuk itu, dalam bab ini saya mencoba mengurai cerita dengan terlebih dulu mencari jawab, sesungguhnya kebijakan itu bagaimana. Apabila publik diklaim sebagai target dari kebijakan, sejauhmana kemashlahatan itu dari dan untuk rakyatseharusnya.Dengandemikiandugaannya,adalahadapadakorelasiantara ruang publik dan demokrasi yang hakiki. Oleh sebab itu, kuatnya prasangka bahwa Perda PSDHBM Wonosobo merupakan peristiwa yang penting yang membawa pada klaim mengenai peneguhan demokrasi; baik proses maupun substansi,menurutsaya,menjadikannyacukupberalasan. Namun demikian, sayangnya, belakangan peran peran civil soceity rasanya ada kesan yang tak lagi garang, meskipun mengatakan masih terus berjuang untuk perubahan kehutanan di Wonosobo. Karena itu penting, untuk mencari tahu mengenaisesungguhnyaapadanbagaiamanacivilsocietyitu.Terlebihpadakasus Wonosobo, manakala terdapat indikasi surut dalam energinya, namun gerakan civil society sebenarnya masih menyisakan bara harapan untuk mendorong perubahanyangdidambakan.Makademikian,plotkisahini,sayamemandangnya sebagaisenjakalaningcivilsociety.

161

A. 1.KebijakanolehSiapadanbuatSiapa? Rakyat, atau publik, akan selalu menjadi pusat perhatian yang tidak mungkin terhindarkan manakala gagasan perubahan sosial terlanjur menjadi isu yang hendakdicapaidandilakukan.Olehkarenanya,makaidealnyapubliksendirilah yang seharusnya menduduki peran utama dalam proses menggagas sekaligus merealisasikannya.Namunbegitu,dalamrealitanya,klaimtelahbertindakuntuk danatasnamapublikselamainidalampraksisempiriktidakubahnya,tidaklebih manipulasi belaka, ketika negaramelalui pemerintahmerasa

bertanggungjawab menyelenggarakanproses perubahansosial; yaitudenganapa yangkitakenalsebagaipembangunan. Maka demikian, menjadi tidak mengherankan, ketika programprogram pembangunanyangharusdapatsegeraterealiasikandenganpolapendekatantop downtanpa pernah mencermati secara mendalam tentang sejauhmana program yang bersangkutan mampu menjawab persoalan sosial di lapanganhakekatnya adalah hukum besi yang sedang berjalan. Pada ranah ini, bahasa pembangunan sebagai program dalam ikhtiar perubahan sosial tereduksi maknanya menjadi tidak lebih daripada sekedar proyek (pembangunan). Sehingga adalah jamak, bilamana kemudian familiar di telinga kita pada masa Orde Baru silam, kerap terdengar stigma menghambat pembangunanbahkan dalam cara pandang sebagai perbuatan kriminalbagi siapa saja yang mencoba kritis menyikapi proyekproyekpemerintahyangsedangberjalan.Sebabitu,padakonteksinisaya memandangnya, proses pengambilan keputusan adalah panggung arena (stage) yang paling pentingterlepas dari, dan tanpa harus tergantug pada wording

162

pembangunandi dalam mencandra tentang sesungguhnya disain perubahan sosialituhendakkemanadibawa. Pengambilan keputusan, dalam siklus kebijakan, sebagai proses politik adalah sebuahkeniscayaanyangtakterbantahkandanharusdipahami.GaryBrewerdan Peter DeLeon menggambarkan tahap pengambilan keputusan dalam kebijakan publiksebagai:
Pilihan berbagai alternatif kebijakan yang selama ini dimunculkan dan dampak yang mungkin muncul dalam masalah yang diestimasiTahap ini adalah tahap yang paling bersifat politis ketika berbagai solusi potensial bagi suatu masalah tertentu harus dimenangkan dan hanya satu atau beberapa solusi yang dipilih dan dipakai. Jelasnya, pilihan-pilihan yang paling mungkin tidak akan direalisasikan dan memutuskan untuk tidak memasukan alur tindakan tertentu adalah suatu bagian dari seleksi ketika akhirnya sampai pada keputusan tentang yang paling baik.117

Definisi ini memberikan beberapa poin penting berkaitan dengan tahap pengambilan keputusan dalam pembuatan kebijakan. Pertama, pengambilan keputusanbukanlahsebuahtahapyangberdirisendiri,atausebuahsinonimbagi keseluruhanprosespembuatankebijakanpublik,tetapisebuahtahapspesifikyang berakar pada tahaptahap sebelumnya dalam siklus kebijakan. Ini melibatkan tindakan memilih dari sejumlah kecil pilihan kebijakan alternatif, sebagaimana diidentifikasikan dalam proses formulasi kebijakan, dalam rangka memecahkan

GarryBrewer&PeterDeleon,TheFoundationsofPolicyAnalysis.Homewood:Dorsey,(1983:179) dalamMichaelHowlettdanM.Ramesh,(1995),StudyingPublicPolicy:PolicyCyclesandPolicy Subsystem, Oxford University Press, chap. 7, Public Policy DecisionMaking Beyond Rationalism, Incrementalism and Irrationalism sebagaimana diterjemahkan oleh Joash Tapiheru, Pengambilan KeputusanKebijakanPublik:MenembusBatasRasionalisme,Inkrementalisme,danIrasionalisme, sumber http://elisa.ugm.ac.id/files/PSantoso_Isipol/51EOAjxr/PENGAMBILAN%20KEPUTUSAN%20KEBIJ AKAN%20PUBLIK.rtfdiaksespadatanggal16Juli2009.
117

163

sebuah masalah publik. Kedua, definisi ini menggarisbawahi poin bahwa pengambilankeputusandalamkebijakanpublikbukanlahsebuahhalteknis,tetapi secara inheren adalah sebuah proses politik. Di sini diakui bahwa keputusan kebijakan publik menciptakan pemenang dan pecundang, bahkan jika keputusan yang diambil adalah keputusan untuk tidak melakukan apapun atau mempertahankanstatusquo.
Bagan.6. Konteks Politik dalam Formulasi Kebijakan
Serangkaian peristiwa/proses politik

Masalah Publik
Tidak sematamata teknis, tetapi proses politik

Proses Formulasi Kebijakan

Proses Pengambilan Keputusan

Kontestasi Berbagai Kepentingan

Pecundang

Memilih Pilihan Kebijakan Alternatif

Pemenang

Sebagaisebuahprosespolitik,makaprosespengambilankeputusandalamrangka formulasikebijakanmenggiringkonsekuensipadakontestasikepentingan.Namun demikian, kepentingan publik sebagai target kebijakan lah yang paling relevan yang mustinya menjadi representasi dari konteks kontestasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, pantas untuk muncul pertanyaan, bilamana publik dalam kepentingannya ini kemudian akan terakomodasi dalam debat formulasi

164

kebijakan? Dengan demikian, maka idealnya publik itu sendiri lah yang sepantasnya terlibat secara langsung dalam dinamika proses formulasi kebijakan terkait. Dalam perjalanan perkembangan demokrasi liberal, dengan pendekatannya melaluimetodeperwakilanyangterinstitusionalisasi118yangdipandangmenjadi ekspresi kepentingan masyarakat secara luasbelakangan menjadi persoalan manakala,padakonteksketerwakilantersebutterjadiprosesmoderasi,ataumalah (bahkan) reduksi. Bahkan, menjadi lebih kompleks pada saat beradanya wakil di dalam kelembagaan demokrasi itu kemudian bukan sematamataatau malah mungkin sebaliknya, tidakmenjadi juru bicara publik konstituennya, tetapi jugasebagaiwakildaripartaipolitiknyamasingmasing;lebihlebihketikapartai politikmempunyaiorientasipolitikyangsendiridanterpisah.Apabilademikian, menjadi perlu untuk menanyakan kembali mengenai sejauhmana kebijakan yang terumuskan,akankahmerupakanagendapublik,ataukahsebenarnyamerupakan agendaelit(yangseolaholahmengatasnamakanuntukkepentinganpublik)? Pada konteks fenomena tersebut potensial terjadi, saya melihatnya, kehadiran pihakketigaadalahurgenuntukmenjadipintusolusi,yangdengannyakontributif gunamenyelamatkandemokrasi.Pihakketigadalamhaliniadalahkalangancivil society,yangmanadirinyamenjalankanperanpenekandanintermediari,sehingga peluangkepentinganpublikmenjadipraktisrelatifdapatterakomodasi.Desakan desakan publik melalui fasilitasi oleh civil society akan lebih terasa (bermakna),

118

Dalamhaliniparlemendanpartaipolitik.

165

dibanding ketika oleh publik itu sendiri; lebihlebih publik tanpa wadah pengorganisasian yang solid dan memadai. Jika demikian, saya memandangnya, akan menjadi semakin efektif manakala locus pengambilan keputusan haruslah beradapadatingkat(levelling)yangpalingrelevandengan/dimanakebijakanyang bersangkutanakandigagasdandiimplementasikan. Prasyarat/kondisi ini mengasumsikan bahwa, proses kontestasi kepentingan di dalam formulasi kebijakandan pengambilan keputusanakan lebih mudah termonitorolehpublik,karenaakses(baca:partisipasidankontrol)merekasecara rasional memungkinkan untuk dapat menjangkau. Di samping itu, kedekatan publik terhadap proses perubahan kebijakan, dengannya akan mengkondisikan bagi besarnya peluang deliberasi (konsultasi) atas isuisu yang menjadi topik dalambahasanrancangankebijakan.Bagaimanaketerlibatanpublikdalamsetiap tahapankebijakanbisamenjadiukurantentangtingkatkepatuhannegarakepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya. Dapatkah publik mengetahui apa yang menjadi agenda kebijakan, yakni serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan dan prioritasnya, dapatkah publik memberi masukan (baca: revisi) yang berpengaruhterhadapisikebijakanpublikyangakandilahirkan. Konseptualisasi sedemikian ini, secara tidak langsung sebenarnya telah mencoba mendudukkan kembali hakekat fungsi dari beradanya kebijakan publik. Oleh sebabitu,pesanpentingnyaadalah,menjadibukansematamatapadahasilyang hendak dicapai dalam bentuk kebijakan terkait, melainkan pada proses diskursivitas yang dinamik dan melibatkan peran publik yang sesungguhnya.

166

Selain daripada itu, juga penting untuk menyatakan bahwa ujung formulasi kebijakanadalahbukan pada wadah darisubstansikebijakanyang secara formal diakui oleh negara melalui bentukbentuk regulasi yang ada. Melainkan, lebih kepada konsensuskonsensus pada lingkup internal kesepakatan publik belaka, manakalajawabanatasfungsikebijakanadalaholehpublikdanuntukpublikitu sendiri. Dus, menjadi semakin relevan kiranya untuk menakar mengenai bagaimana Perda PSDHBM Wonosobo dalam koridor mengejawantahkan ruang publik, yang dengannya muncul keberanian untuk menyatakan bahwa telah mencerminkanpraktikdemokrasiyanghakiki,didalamprosesnya,padabahasan selanjutnya. A. 2.RuangPublikdanDemokrasiyangBermaknapadaPerdaPSDHBM Yang monumental dalam sejarah munculnya ruang publik adalah, bahwa dia menandai bangkitnya suatu masa ketika individuindividu dan kelompok kelompok dalam masyarakat dapat membentuk opini publik, memberikan tanggapan langsung terhadap apa pun yang menyangkut kepentingan mereka sambil berusaha mempengaruhi praktikpraktik politik.119 Oleh sebab itu, ranah terbentuknya opini publik tentu saja ketika, saluran/mekanisme komunikasi berada pada konteks telah berfungsi dengan baik dan memadai. Dalam tataran sebagai upaya untuk mempengaruhi praktikpraktik politik maka, dengan demikian ruang publik politik, mekanisme komunikasi yang efektif adalah manakala jaringan civil society (masyarakat sipil) dapat memainkan perannya melalui media, pers, dan LSMyang seakanakan mengepung sistem politik

119

Ibid.B.HariJuliawan.

167

sehingga terpaksa menjadi responsif terhadap diskursusdiskursus masyarakat sipil. Proses sedemikian ini, secara substansi adalah gayut dengan hakikat demokrasi. Demokrasiyanghakiki,sayamembayangkannya,kirakiramerupakandemokrasi yangbersifatdeliberatifsebagaimanadigemakanolehHabermas.Katadeliberasi berasal dari bahasa Latin deliberatio yang artinya konsultasi, menimbang nimbang, atau musyawarah. Demokrasi bersifat deliberatif dengan demikian adalah, jika proses pemberian alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji terlebih dahulu melalui konsultasi publik, atau lewatdalam bahasa teoritis Habermasdikursus publik. Demokrasi deliberatif ingin meningkatkan intensitas partisipasi warga dalam proses pembentukan aspirasi dan opini, agar kebijakankebijakandanperaturanperaturanhukumyangdihasilkan(pihakyang memerintah)semakinmendekatiharapan(yangdiperintah).
Bagan.7. Kebijakan sebagai Produk dan Arena Kontestasi

Kebijakan/regulasi

Demokratis/aspiratif

Ada
Pihak/pela ku/aktor Ruang publik Discourse Opini (publik)

Diskursivitas publik

Kontestasi Kept (publik)

Tidak ada

Kebijakan/regulasi

Tertutup/monopolistik

168

Intensifikasi proses deliberasi melalui dikursus itu lah yang menjadi jalan untuk merealisasikan konsep demokrasi itu sendiri, yaitu pemerintahan oleh yang diperintah (governance by which governed). Hal sedemikian ini yang membedakannya dengan cara pandang demokrasi klasik, yang mengasumsikan bahwa kehendak umum (volonte generale) sudah terakomodasi manakala sebuah kebijakan telah dihasilkan oleh lembaga representasi/perwakilan rakyat, terlepas melaluicaraapa,dianggaptelahlegitimate.Demokrasideliberatifdengandemikian berarti bukan jumlah kehendak perseorangan dan juga bukan kehendak umum yangmenjadisumberlegitimasi,melainkanprosespembentukankeputusanpolitis (kebijakan publik) yangselaluterbuka terhadap revisi oleh publik secara deliberatifargumentatif. Sehingga, yang penting adalah prosedur atau cara, tentang bagaimana opini mayoritas dalam proses pengambilan (perumusan) keputusan/kebijakan publik itu diperoleh. Menurut Habermas, demikian Budi Hardiman menyitir, hanya produk hukum yang diraih secara fair lah yang memilikialasanyangkuatuntukdipatuhiolehwarga.Danagarprosesdeliberasi (pertimbangan) itu fair, alasanalasan untuk keputusan publik harus diuji secara diskursif dan (oleh) publik terlebih dahulu. Dengan kata lain, demokrasi deliberatifadalahsuatuprosesperolehanlegitimitasmelaluidikursivitas.120 Dengan demikian, kontrol rakyat terhadap proses pengambilan

keputusan/kebijakan publik dan kesetaraan politik, menjadi dua pilar nilai yang penting kemudian dalam proses berdemokrasi. Beetham menggambarkan pentingnyaequalrightofcitizentoavoiceinpublicaffairs.Halinipundipertautkan

120

Ibid,F.BudiHardiman.

169

secara triangular timbalbalik dengan civil and political rights and liberties serta institution of representative and accountable government.121 Kesetaraan hak politik dalamdiriwargaakanmendorongnyauntukturutmewarnaiprosespolitikyang menyangkut kepentingan dirinya. Hal ini akan mendorong pula pemerintah dalam menjalankan akuntabilitas dan public representativenessnya, sehingga para aparat sebagai wujud dari kepanjangan kepentingan publik (generale), tidak bekerja menurut kemauan dan kepentingan dirinya, terlebih lagi karena diawasi untuk bekerja demi kepentingan warga yang diwakili dan diperjuangkan. Bila mereka tidak bekerja demi kepentingan warga (representative) dan dengan bertanggungjawab (accountable), maka mereka akan dipertanyakan dan bahkan digugatolehwargayangmemilikihakuntukbersuaradalampersoalanpublikitu. Berjalannya proses perumusan Perda PSDHBM hingga menempuh waktu dua tahun, patut diapresiasi manakala konteks dikursivitas oleh publikterutama masyarakat petani pengguna lahan hutan negarasejak semula telah diyakini (meskipun tanpa ada pretensi untuk mengamalkan teori demokrasi deliberatif ketika itu),122 sebagai sumber legitimasi. Hingga diputuskan dan ditetapkan menjadi Perda PSDHBM pada tanggal 20 Oktober 2001, gagasan kebijakan tersebut tercatat telah mengalami empat kali revisi naskah rancangan seiring
121 122

Beetham,ibid.,page92. Fenomena ini terjadidi mana lantas belakangan kita candra sebagai gelagat demokrasi deliberatiflebih karena pendekatanpendekatan yang selama ini dilakukan LSM dalam melakukan pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat secara partisipatif. Salah satunya adalah metode participatory rural appraisal (PRA) yang digunakan oleh ARuPA bersama kalangan LSM lokal Wonosobo, manakala memfasilitasi perencanaan masyarakat (community planning). Koktekssedemikianinipula,yangkemudiandijalankan,danditarikkelevelyanglebihluasketika berupaya mengadvokasikan perubahan kebijakan pengurusan sumberdaya hutan di tingkat kabupaten;yaituPerdaPSDHBMWonosobo.

170

dengan konsultasi publik yang dipelopori oleh kalangan civil society (LSM). Dari mulamula rancangan kebijakannya berupa raperda Perusahaan Kehutanan Daerah, kemudian Hutan Kemasyarakatan (HKm), lantas raperda Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), sehingga yang paling akhir raperda Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM). Media yang jugapentingmenjadiruangpublikpadarentangituadalah,dialogdialogterbuka baik di tingkat desa maupun di level kabupaten (roadshow yang dilakukan oleh LSMdanDPRD),perslokal,mediamediaterbitanARuPAyangmemangsengaja dirancang untuk mengkondisikan terbentuknya opini publik, Warta Forum KomunikasiKehutananMasyarakat(FKKM),danradiolokal. Tentu saja muara akhir dari serangkaian proses ketika menghasilkan Perda PSDHBMyang lebih memihakkepadamasyarakat(pemenang), tetapi di sisi lain tidakmenguntungkanPerhutani(pecundang),adalahdalamkoridorprosedurdan carayangfairdalammembuahkanopinikolektif.Dengandemikian,padakonteks Perda PSDHBM sebagai produk dari proses demokrasi deliberatif, maka sudah pada tempatnya manakala fenomena ini dianggap bisa menjadi salah satu prototypedariprodukhukum(sekaliguspolitik)yanglegitimate. B. SenjakalaningCivilSociety Bahasan mengenai civil society sesungguhnya sudah ada sejak lama, seumur dengan bahasan mengenai konsep negara itu sendiri, sebelum akhirnya muncul konsepsinegaramodern(nationstate).Manakalamembahasmengenaicivilsociety (dan relasinya dengan negara), maka hal sedemikian membawa konsekuensi

171

mengenai beragamnya perbedaan konsep, pengertian, kepentingan bahkan motivasi dan minat sesuai dengan ketertarikan dalam pendekatannya.123 Civil societyyang dalam istilah bahasa keseharian sering kita terjemahkan sebagai masyarakat sipilpada dasarnya selalu diartikan sebagai konsep yang berkaitan dan dilawankan dengan negara.124 Konsepsi ini, pertamatama muncul ketika masa pencerahan (enligtment) di Eropa pada abad ke18 silam, dalam konteks fenomena resistensi terhadap kekuasaan absolut negara (rejim monarki). Oleh sebab itu, dalam perkembangannya maka konsep civil society pernah dipahami secara radikal dengan menekankan pada aspek kemandirian dan
Bahkan(mengutipMansourFakihdalampengantarnyapadaJurnalWacanaEdisi1,Volume1, 1999), yang paling ekstreem ketika pada jelang dan sepanjang kejatuhan Orde Baru silam, civil societymemilikikonotasiyangsamasekaliberbedadengankonsepdankonotasicivilsocietyyang diperdebatkandidalamilmusosial.Perbincanganmengenaimasyarakatsipil(civilsociety)dalam era reformasi dimunculkan dalam rangka menciptakan suatu masyarakat alternatif terhadap militerisme;yangsecaraoperasionaldianggapdilaksanakandandireproduksimelaluimekanisme Dwi Fungsi ABRI pada masanya. Dengan demikian, civil society dalam perdebatan tersebut mempunyai arti sebagai lawan dari masyarakat militer. Hal mana juga bisa terbaca manakala muncul berbagai gagasan dan pemikiran ketika itu, bahwa Indonesia mencitacitakandan sedangmenujusuatumasyarakatsipildalampengertiansuatumasyarakattanpapengaruhdan dominasimiliterdidalamkehidupansosialdanpolitiknya. 124DalamtradisiEropasampaidenganabadke18,pengertiancivilsocietydianggapsamadengan pengertiannegara(thestate),yaitusuatukelompok/kekuatanyangmendominasiseluruhkelompok lain. Sehingga istilahistilah seperti koinonia politike, societas civilis, societe civile, buergerliche gesellscahaft,civilsociety,dansocietaciviledipakaisecarabergantiandenganpolis,civitas,etat,staat, state, dan stato. Maka tidak heran ketika JJ Rousseau menggunakan istilah societes civile, ia memahaminya sebagai negara yang mana salah satu fungsinya adalah menjamin hak milik, kehidupan,dankebebasanparaanggotanya.Barulahpadaparuhkeduaabadke18,terminologiini mengalami pergeseran makna. Negara dan civil society kemudian dimengerti sebagai dua buah entitasyangberbeda,sejalandenganprosespembentukansosial(socialformation)danperubahan perubahanstrukturpolitikdiEropasebagaiakibatenlightmentdanmodernisasidalammenghadapi persoalan duniawi, di mana keduanya turut mendorong tergusurnya rejimrejim absolut. (MuhammadASHikam,DemokrasidanCivilSociety,LP3ES,Jakarta,1999.hlm.12).
123

172

perbedaan posisi yang sedemikian rupa sehingga menjadi antitesis dari state (AS Hikam:1999).Atau,bahkandalamistilahlaindipahamisebagaikawasanprivat yang dilawankan dengan konsep negara yang sering disebut sebagai kawasan publik. Terhadappandangantersebut,munculreaksiyangmengatakanbahwacivilsociety tidak bisa dibiarkan tanpa terkontrol. Civil society justru memerlukan berbagai macamaturandanpembatasanpembatasansertapenyatuandengannegaralewat kontrol hukum, administrasi dan politik. Dalam pandangan ini meyakini bahwa negara harus mengatasi civil society, oleh sebab posisi negara dianggap sebagai ukuran terakhir dan pemilik ide universal. Hanya pada ranah negaralah politik bisaberlangsungsecaramurnidanutuh,sehinggaposisidominannegaramenjadi bermaknapositif.125 Pandangan yang menempatkan negara pada posisi yang superior ini, kemudian dikritik oleh pemikirpemikir modern (terutama Alexis de Tocqueville) dengan bantahannyabahwacivilsocietyjustruharusberadapadaposisikemandirianyang memadai, di dalam berhadapan dengan negara. Melalui terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik civil society, maka warga negara akan mampu mengimbangidanmengontrolkekuatannegara.126

Ibid.KonsepdemikianmunculdandikenalsebagaikonsepHegelian,sebagaimanadikutipoleh ASHikam. 126Ibid.


125

173

Pada kontekstualisasi berhadapan dengan negara tersebut, maka pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik oleh entitas ini, mengarah pada batasan civil societysebagaiberikut:
yaitu wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (selfsupporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. (AS Hikam: 1999)

Sebagai sebuah ruang politik, civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringanjaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (free public sphere), tempat di mana transaksi komunikasi yang bebas bisadilakukanolehwargamasyarakat.127 Dari pengertian tersebut di atas, maka civil society menjadi lebih nyata ketika mewujuddalamberbagaiorganisasi(asosiasional)yangdibuatolehmasyarakatdi luarpengaruhnegara.Lembagaswadayamasyarakat(LSM),organisasisosialdan keagamaan, perhimpunan, dan juga kelompokkelompok kepentingan (interest groups)adalahmanifestasi(kelembagaan)daricivilsociety.Tentusajatidaksemua kelompok tersebut mempunyai kemadirian yang tinggi manakala berhadapan dengannegara,ataumengambiljarakdarikepentinganekonomi.Olehkarenaitu, kondisi civil society harus dimengerti sebagai suatu proses yang bisa mengalami pasang surut, kemajuan dan kemunduran, kekuatan dan kelemahan dalam perjalanansejarahnya.
127

Ibid.hlm.3

174

Jika demikian, maka relevansi beradanya civil society (baca: LSM) dalam konteks dinamika lokal Wonosobo musti ditelisik peran dan kiprahnya. Sejauh mana pasangsurut,kemajuandankemundurandalammewarnaidinamikasosialpolitik ditingkatlokal,terutamaketikakinisemuaseolahmengumandangkannadayang sama; yaitu mendekat dan menjalin kolaborasi melalui apa yang belakangan kita kenal sebagai strategi kolaborasi multipihak. Terlepas dari hal itu, di luar kemesraan yang memaksa memunculkan kecurigaan tentang mulai

melempemnya semangat gerakan LSM sebagai agen perubahan sosial, sesungguhnyamasihadabaraharapanuntukWonosobo,walaupunitukecil. B.1. Mengatakan Terus Berjuang Tapi Tak Lagi Lantang: Musimnya Strategi KolaborasiMultipihak Wacana utama dalam perbincangan mengenai civil society tentunya adalah, isu penguatan posisinyaterutama ketika berhadapan dengan negara dan proses politik yang mengikutinyadan pemberdayaan perannya dalam kegiatan kegiatan kemasyarakatan. Meminjam instrumen analisis Arfani (2005),128 bahwasanyaadadualevelyangbisadiajukangunamembahasnya.Pertama,pada level individual sebagai bahan dasar pembentuk masyarakat sipil. Kedua, level kelompok atau keagenan (agency) yang dibentuk untuk mengagregasikan kepentingan individu. Keduanya menentukan kuat tidaknya posisi dan, berdaya tidaknyaperancivilsociety.

128

RizaNurArfani,GovernancesebagaiPengelolaanKonflik,JurnalIlmuSosialdanIlmuPolitik, Volume8,Nomor3,Maret2005,FisipolUGM

175

Pada level individual, keterlibatan atau keikutsertaan individu dalam dinamika aktivitaskemasyarakatanmenjadikanindikasiawaluntukmenentukanposisidan perancivilsociety.Kesadaranindividualuntukterlibatdanikutsertadalamproses politik yang lebih dalam, merupakan indikator berikutnya. Pada level keagenan, persoalanpersoalan kemandirian, keberdayaan dan aktivisme agen penyalur aspirasi merupakan isu sentral untuk mengukur seberapa kuat dan berdaya kelembagaancivilsocietytersebut. Dalam rentang panjangnya dinamika proses advokasi perubahan kebijakan kehutanan lokal di Wonosobo, tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan civil society melaluiLSM(sebagaiaktualisasikelembagaan).LembagaARuPA, adalah pelaku (aktor/pihak) utamadan yang pertamatamayang memulai inisiasi gerakan advokasiperubahankebijakankehutananWonosobo.Namunmengapakemudian seolah gema teriakan perubahan kebijakan kehutanan tidak lagi selantang yang disuarakan pada masamasa awal berdirinya dulu? Pada pertanyaan ini, maka pentinguntukmengemukakanprofildandinamikapasangsurut(sejarahsingkat) kelembagaan ARuPA, dengan membatasi pada sekedar melihat aspek keagenannyaterutamadalamaktivismesebagaipenyaluraspirasisosial. ARuPA:terlenadalamgagasanstrategikolaborasimultipihak ARuPA, adalah singkatan dari Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam. Organisasi ini dibentuk oleh sebagian besar kalangan mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM, dan dirikan pada tanggal 16 Mei 1998, menjelang kejatuhan rejim Orde Baru. Dalam rentang tahun pertama sejak berdirinya, ARuPA lebih

176

banyak menjadi media pengayaan wacana, melalui diskusi rutin harian yang diselenggarakandisekretariatrumahsederhanayangdisewadariuanganggota yangdikumpulkandiDesaPogungLor,MlatiSleman. Substansiyangmenjaditopikdalamritualdiskusilebihbanyakberkaitandengan kondisi sosial kehutanan, terutama pada konteks masa reformasi. Pengurusan sumberdaya hutan, dipandangnya merupakan basis utama permasalahan, manakala konflik kehutanan eksis dan menjadi aktual melalui manifestasi kekerasan dan penjarahan hutan, terutama ketika reformasi menapaki panggung euforia. Adalah telah menjadi kegelisahan bagi (anggota) ARuPA bahwa, persoalan kehutanan bukan lah sematamata masalah teknik silvikultur (aspek produksi dan kelestarian sumberdaya) sebagaimana menjadi mainstream dalam kurikulum bangku kuliah. Namun, jauh melampaui itu adalah, persoalan politik lahyangsesungguhnyamelatarbelakangi.Sehingga,bukantanpasengajaapabila jargon peduli lingkungan, sadar politik melekat menjadi identitas yang membedakan ARuPA dari organisasi lain, terutama organisasi lingkungan pada umumnya. DalambenakARuPA,alambukanlahkonsepyangmunculdalamruangsterildi mana pendekatan konservasi menjadi solutif dalam memberikan kontribusi bagi upaya gerakan penyelamatan alam. Oleh sebab itu, cara pandang ini yang seringkali membingungkan bagi orang lain, manakala mereka terlebih dulu berangkat atas pemahaman pelestarian lingkungan dalam perspektif

konvensional. Dengan begitu sebaliknya, cara pandang kovensional tentang

177

konservasi ini pula yang kemudian tidak jarang menjadi target kritikan ARuPA, oleh karena tidak lebih dari sekedar (nuansa) kepentingan politik penguasa melaluireproduksiwacana,yangdengansecaraserampanganmengatasnamakan kepentingan pelestarian alam. Justifikasi atas nama kepentingan pelestarian alam ini lah, yang hakekatnya merupakan karakteristik gerakan ekologi yang fasis (facism ecology movement), di mana menutup mata atas dimensi sosial lain, yang jauhlebihkrusialdalampembicaraanmengenaimasalahlingkungan. Pada saat yang sama, ketika sebagian besar organisasi lingkungan lain (di Bogor dan Jakarta)129 sibuk mencurahkan perhatian terhadap kondisi kehutanan luar Jawasehingga seolaholah mereka lupa bahwa di Jawa juga masih ada persoalanARuPA lantang menyuarakan bahwa kondisi sosial kehutanan Jawa tidak kalah dan bukan tanpa (ber)masalah. Bahkan lebih kronis, karena konflik kehutanan yangterciptasejakmasakolonialjauh sebelumpersoalan kehutanan luar Jawa munculmasih terpelihara hingga kini, dan secara ironis tanpa ada upayaseriusdalammenyelesaikannya.

EntahmengapahampirsebagianbesarLSMlingkungan(besar,baikyangmenasionalmaupun internasional), banyak memilih sekretariat kerja mereka di bilangan kota Bogor dan Jakarta. Terutama,kotaBogor.Dugaansaya,disampingbackgrounddomisilimereka(baca:parapenggiat) di kota yag bersangkutandalam hal ini IPB (Institut Pertanian Bogor) sebagai basis perguruan tinggi lingkungan dan SDA, di mana merupakan almamater bagi sebagian besar penggiat LSM tersebutjuga oleh karena kemudahan akses terhadap sumberdaya finansial dari lembaga lembaga donor asing, serta jaringan internasional yang lebih mendukung. Sehingga dengan demikian, sebenarnya bisa dikatakan jarang dari mereka yang secara langsung mempunyai/melakukanadvokasi(pendampingan/pemberdayaan)kalanganmasyarakat(grassroot), kecuali dengan jaringan LSM lokal yang mereka fasilitasi, baik kapasitas finansial maupun kapasitaskelembagaansecaraumum.
129

178

Melembaganya kesejarahan pengurusan hutan oleh negara sejak masa kolonial, hingga saat kini melalui Perhutani (BUMN kehutanan satusatunya di Jawa), adalahbiangkeladikonflikkehutananJawayangtidakpernahselesai.Olehsebab itu, ranah persoalannya bukan pada persoalan teknis keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutansebagaimana yang selama ini dikampanyekan oleh Perhutani sehingga belakangan muncul konsep PHBM, dan yang kini telah berumur 1 dekadetetapi lebih bersifat paradigmatik; yaitu membongkar perspektif yang dominan yang menempatkan negara (dan swasta) seolaholahsebagaisatusatunyakelembagaanyangmampumengurushutan. Padapilihanposisisedemikianini,makavisavisdenganPerhutani,bagiARuPA adalah ruang seteru yang di kemudian hari, nantinya tidak bisa dihindari. Gerakanpadaranahwacana(discourse)olehARuPA,selanjutnyasemakinkonkrit ketika secara kelembagaan mengambil strategi gerakan untuk melakukan advokasi (baca: pendampingan) terhadap masyarakat petani hutan di Desa Temulus,RandublatungBlorapascaperistiwapenjarahanhutan1998;yaitutahun 1999 hingga tahun 2002 silam.130 Keberanian menjatuhkan pilihan advokasi terhadapmasyarakatsecaralangsungini,munculsetelahterlebihdahulumerintis studi investigasi tentang konflik dan penjarahan hutan Jawa (di daerah

Meskipun dari sisi masyarakat telah mendapatkan afirmasi atas kehadirannya, pada mulanya bagi ARuPA adalah lebih strategis apabila keberadaannya di lapangan diketahui dan diijinkan oleh Perhutani. Namun agar tetap dapat memegang dan memelihara kemandiriannya, ARuPA tidakmaumenerimahonorbulananyangdisediakanolehpihakPerhutani,sebagaimanaPerhutani memperlakukan tenagatenaga pendamping/penyuluh kelompok tani hutan yang mereka praktekkansebelumnya.
130

179

Randublatung Blora), dengan titelnya Penjarahan Hutan, Fenomena Gunung Es diTengahLautanReformasiKehutananIndonesia. Setelah satu semester melakukan pendampingan terhadap masyarakat petani hutan di RandublatungBlora, ARuPA kemudian mendapatkan dukungan finansial dari lembaga donor asing; yaitu Ford Foundation, guna memperkuat ruang gerak aktivitasnya. Hal ini menarik, karena Perhutani sesungguhnya juga merupakan granteenya Ford Foundation sejak lama, terutama ketika pemerintah melansirprogramsocialforestrydihutanJawasejakpertengahan1980ansilam.131 Denganhibahinipuladimanasebagianlantasdisisihkansebagaibentuksaving lembagakemudian menjadikan ARuPA semakin lincah dalam mengkreasikan programprogrammandirinya. Mobilitas anggota ARuPA yang tinggi dari mulai di lapangan mendampingi masyarakat,memperkuatjaringanLSMditingkatnasionalmaupuninternasional, jaringanperguruantinggi,menyisirkalanganpengambilkebijakanbaiklevellokal maupunnasional,semakinmemperkuatkapasitaspolitikdanbahkankemandirian ARuPA, di mana di sisi lain dirasa semakin mengancam eksistensi Perhutani.132

Namun demikian, sesungguhnya penjelasan atas fenomena ini bisa dirujuk manakala arus utama wacana good governance mulai merasuk ke negara dunia ketiga. Pentingnya menguatkan entitasdiluarnegara(civilsocietydanbisnis/pasar)demimewujudkansinergitigapilar,membawa konsekuensi pada ranah praksis oleh lembagalembaga donor asing yang tidak saja memberikan bantuanfinansialkepadanegara(pemerintah),tetapijugakepadacivilsociety(LSM). 132 Pada konteks itu, Perhutani juga semakin terdiskreditkan manakala petani hutan mulai mengetahui besaran upah yang seharusnya mereka terima dalam skema perjanjian kerja borong kerja penanaman, yang selama sebelumnya tidak pernah transaparan diungkapkan oleh pihak Perhutaniterutamaaparatdilapangan;mandor,asperberkatinformasiyangdisampaikanoleh ARuPA. Diseminasi informasiinformasi yang berkaitan dengan hakhak petani hutan penggarap
131

180

TerlebihmanakalaARuPAberhasilmerebuthatipetanihutansekaligusberhasil mempengaruhibahkan memfasilitasi masyarakat petani hutan di tingkat desa untuk menggagas bentuk pengelolaan lahan hutan negara yang lebih berpihak pada kepentingan petani. Melalui legitimasi dari perspektif akademis (dengan menghadirkangurubesarmanajemenhutanFakultasKehutananUGM),desakan masyarakat untuk mengelola lahan hutan dengan model MR (Management Regime)133 pada lahan hutan bekas penjarahan berhasil disetujui oleh Perhutani, untuk selanjutnya diterapkan di satu petak kerja (pilot project) untuk beberapa kelompoktanidiDesaTemulus. Kontan saja, peristiwa tersebut mengakibatkan masyarakat petani hutan di desa desa yang lain di seputar Kecamatan Randublatung, iri. Mereka juga ingin mendapatkanpendampinganserupa,sepertiyangtelahdilakukanolehARuPAdi Desa Temulus. Dengan keterbatasan sumberdaya manusia (community organizer), akhirnya proses pendampingan menjalani ekstensifikasi wilayah; yaitu di Desa Mendenrejo,Gembyungan,PilangdanBodeh.

lahan hutan negara disebarluaskan oleh ARuPA melalui media dalam bahasa Jawa yang diterbitkan secara berkala. Berkaitan dengan informasi tentang hak petani dalam besaran upah yangseharusnyamerekaterima,dimuatdidalammajalahWasisedisiperdana,Juni2000. 133ManagementRegime(MR)adalahsalahsatumodeldidalampengelolaanhutan;yaitupenerapan polaplongplonganyangmembagikawasanhutanmenjadijalurpertaniandankehutanan.Model pengelolaandiciptakanpadatingkatKPHuntukpengelolalahanhutanpadabasispetak,yaituunit pengelolaan hutan terkecil, agar dapat diperhitungkan setiap variasi kondisi lokasi, baik kondisi fisikmaupunsosialekonomimasyarakat,sehinggadapatdiperolehhasilyangmaksimal.Modelini diciptakanolehHasanuSimon,seoranggurubesardariFakultasKehutananUGMYogyakarta,dan pertamakaliditerapkandiKPHMadiunpadatahun1991.

181

Dengan adanya keterlibatan lima desa sekaligus dalam aktivitas pendampingan oleh ARuPA, seterusnya memunculkan gagasan untuk mempertemukan secara serentak perwakilan kelompok petani hutan dalam loka desa, dengan memfasilitasi mereka melakukan mediasi, dalam konteks menegosiasikan hak haknya dengan Perhutani. Mengingat kelembagaan kelompokkelompok petani hutan yang kuat dan solid merupakan prasyarat bagi proses negosiasi yang seimbang, maka terlebih dulu yang menjadi agenda utama oleh ARuPA atas kelompokkelompoktanitersebutadalah,melaluiprosespenyiapanorganisasinya. Padawaktuyanghampirbersamaan,ARuPAjugasedangmenggagasprogramdi tempatlainyaituWonosobomelaluipendekatanyangberbeda.Advokasiyang dilakukan di Wonosobo memilih pada pendekatan pada level perubahan kebijakan,sehinggadengandemikianpilihanstrateginyalebihbanyakberkutat mempengaruhidiseputarelit(negara)lokalsebagaipihakpengambilkebijakan. Melaluiadvokasiperubahankebijakandenganpilihanpendekatanpadalevelelit lokalkabupaten,makapendampinganpadalevelmasyarakatpetanihutanhanya dilakukan di satu desa; yaitu Desa Bogoran, Kecamatan SapuranWonosobo, di samping karena keterbatasan sumberdaya manusia di ARuPA. Sementara pengorganisasian petani hutan di sebagian besar di desadesa yang lain, ARuPA berharap banyak dari peran LSM lokal setempat dan serikat petani hutan; yaitu JKPM,Koling,danSepkuba. Dua pilihan pendekatan yang berbeda, di dalam mengadvokasikan hakhak dan aksesmasyarakatpetanihutandiduatempatyangberbedapula,namundalam

182

waktu yang hampir samaselanjutnya membawa konsekuensi (yang sekaligus kemudianjugamenjadimomentum),bagiposisidanarahstrategigerakanARuPA di kemudian hari. Di satu sisi, di RandublatungBlora pilihan pendekatannya melalui gerakan pendampingan masyarakat petani hutan di level desa, dengan bersikap persuasif terhadap keberadaan Perhutani. Sementara di sisi lain, di Wonosobo,pilihanpendekatannyamelaluistrategiagitatifdenganmempengaruhi pemdadanDPRDuntuksecarafrontalmenyerangkeberadaanPerhutani,lebih lebihkarenaadadukunganwacanadesentralisasidanotonomidaerahketikaitu. Benturan dua pilihan ini kemudian, sontak menjadi kejutan bagi ARuPA sendiri manakalaforummediasipadatanggal21Juni2001,yangsedianyamenjadiajang bagi masyarakat petani hutan lima desa di Randublatung untuk menegosiasikan haknya terhadap Perhutani, justru berbalik menjadi panggungnya Perhutani untuk menghantam dan mencacimaki ARuPA, serta mengusir ARuPA dari desadesadampingantersebut.Konteksperistiwatersebutmenjadipelajaranyang berharga dalam memetakan strategi gerakan, bahkan posisi ARuPA sebagai kelembagaan swadaya dalam rentang relasi, dengan representasirepresentasi negara(pusat)dikemudianhari. Hal sedemikian, lantas membawa konsekuensi pada pembilahan golongan di dalam internal kelembagaan ARuPA, yaitu antara yang mempertahankan sikap kritis dan frontal terhadap Perhutani, dan yang mengutarakan gagasan strategi yang baru, strategi multipihak dan kolaborasi dengan Perhutani. Tentu saja membalik strategi dan sikap bukan hal yang dapat terjadi secara cepat dan

183

sederhana.Olehkarenaitu,didalamforumMusyawarahBesarAnggotaARuPA pada tahun 2002, golongan yang menghendaki perubahan strategi ke arah kolaborasimendesakkangagasanagarARuPAmendirikanorganisasibarusebagai sisterorganisation. Desakan ini membuahkan hasil, di mana di dalam rentang perjalanan kemudian berdirilah Javlec (Java Learning Center) dan Infojawa pada Juni 2005 silam, yang manjadi wadah bagi sebagian anggotaanggota ARuPA yang memang menginginkan segera mendapatkan energi baru (dugaan saya adalah sumber dukungan finansial), melalui prospek organisasi yang baru pula, yang lebih moderat. Namun demikian, sebelum berdiri secara formalyang mana di dua lembagabarutersebutsebagianbesardimotoriolehorangorangARuPAdalam sepakterjangnyakemudian,menjadikankontraproduktifbagiARuPAitusendiri. Karena dengan mengatasnamakan Javlec dan Infojawa, orangorang yang notabene juga mengklaim sebagai anggota ARuPA,134 menjalankan aktivitas

Tidak mau melepaskan status keanggotaannya sebagai anggota ARuPA. Ini yang dari dulu hingga kini membuat saya tidak kunjung mengerti. Apa motivasi dan latar belakang dari orang orangyangsesungguhnyasudahjauhlebihmapandenganlembagabarunya(JavlecdanInfojawa), namun masih tetap ingin mempertahankan status keanggotaan ARuPA. Pernah juga muncul gagasan untuk membubarkan ARuPA oleh sebagian golongan yang sudah tidak mempunyai harapan dengan gerakan ARuPA ke depan karena memandang ARuPA telah kehilangan jatidiri gerakannyatermasuk sayapada Musyawarah Luar Biasa pada Bulan Desember 2003, dengan demikiansesuaidenganAnggaranDasarLembagakonsekuensinyaadalahharusdisetujuioleh4/5 dari semua jumlah anggota ARuPA, dan harus memenuhi kuorum. Di samping itu, maka konsekuensi lanjutannyasebagaimana Pasal 21 Anggaran Dasar Lembagaadalah semua harta/aset kekayaan lembaga harus dihibahkan kepada organisasi yang mempunyai visimisi serupa yang akan ditentukan kemudian oleh caretaker dari kepengurusan demisioner. Hidden agendadariparapengusulpembubaranlembagaketikaituadalah,inginmenghibahkanharta/aset kekayaanARuPAuntukorganisasitanidiRandublatungBlora;yaituLidahTani.Namungagasan ini pun tidak pernah populer, baik di kubu nonkolaborasi maupun kubu kolaborasi. Perlu
134

184

program,denganmuatandanmateriprogramyangbertentangan;yaitumenerima kebijakanPHBMnyaPerhutani,meskipundenganmodifikasi. Oleh karena itu, menjadi dapat dipahami manakala kemudian Wonosobo dalam perjalannya, sepakat untuk melebur dengan Perhutani melalui Surat Keputusan Bersama Bupati dan Kepala Unit I Perum Perhutani Jawa Tengah pada tahun 2006hingga sekarangsesungguhnya, ada kontribusi yang sangat kuat dari communityorganizerARuPA(diWonosobo),yangnotabenejugamerupakanorang Javlec dan Infojawa. Sikap kolaboratif sedemikian ini juga makin mendapatkan legitimasi, manakala di Wonosobotepatnya di Desa Bogoranterjadi aksi kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh sekelompok preman yang mengatasnamakan suruhan Perhutani pada 26 Oktober 2004 silam, agar masyarakatpetanihutankeluardarilahanhutannegarayangtelahmerekakelola. Fenomena ini dijadikan dasar bagi pembenaran pilihan sikap kolaborasi, dengan asumsiakanlebihbesarpotensikorbandipihakmasyarakatpetanihutanapabila tetap secara lantang memposisikan diri berhadaphadapan dengan Perhutani. Sehingga, untuk sebagian di Desa Bogoran kemudian, masyarakat petani hutan bersama dengan community organizer (pendamping) ARuPA ketika itu, mau menerimaskemaPHBMPerhutaniolehKPHKeduSelatan.

diketahui, bahwa hingga saat ini harta/aset kekayaan ARuPA ditaksir kurang lebih Rp. 250 juta, yang terdiri atas: benda tetap berupa tanah dan bangunan senilai Rp. 200 juta, dan bendabenda bergerakperalatanlembagaberupabeberapaunitkomputer,meubeler,alatelektronikdankoleksi perpustakaanyangkuranglebihmencapaiRp.50juta.

185

Namun demikian, menurut hemat saya, pilihan ini tidak lebih sebagai langkah untuk menjawab kebutuhan bagi peluang pendanaan oleh lembaga donor, yang memangsedanggandrungdenganpendekatankemitraan(kolaborasi)multipihak, hingga kini. Pendekatan, atau strategi kolaborasi multipihak yang diusung oleh lembagalembaga donor asing, terutama pada satu dasawarsa terakhir, pada dasarnyaeratkaitannyadenganmasukdanmerebaknyagelombangwacanagood governancedinegaranegaraduniaketiga. Secaragenealogis,wacanagoodgovernancepertamatamamunculdankemudian dominan hingga kiniketika Bank Dunia pada tahun 1989 dalam laporannya SubSaharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth, mendefinisikan governance sebagai the exercise of political power to manage nation. Laporan tersebut menekankan bahwa legitimasi politik dan konsensus merupakan prasyarat bagi pembangunan berkelanjutan. Aktor negara (pemerintah), bisnis dan civil society harus bersinergi membangun konsensus, dan sementara, peran negara tidak lagi bersifat regulatif tetapi, sebatas berfungsi fasilitatif. Oleh karena itu, legitimasi politik dankonsensusyang menjadipilarutamabagigood governance(versi Bank Dunia) hanya bisa dibangun dengan melibatkan aktor nonnegara yang seluas luasnya dan, melimitasi keterlibatan negara (pemerintah) (Abrahamsen: 2000, dalamPratikno:2005).135 Sedemikian maka, kemudian makna baik mengkristal manakala, pemerintahan yang perannya semakin kurang (less governance) adalah pemerintahan yang ideal

135

Pratikno,Ibid.

186

bagi suksesnya pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini, berangkat dari cerita pengalaman (laporan) Africa tersebut, yang secara tidak langsung mengatakan bahwa pemerintah (yang terlalu dominan) adalah sumber kegagalan pembangunan.Dengandemikianpemerintahanyangbesar(biggovernance)akan menjadi sumber dari pemerintahan yang buruk (bad governance). Oleh sebab itu, membatasi dan mengurangi peran negara (pemerintah), dan selanjutnya memperkuat civil society dan bisnis menjadi agenda utama yang harus direalisasikanketikapemerintahanyangbaikingindiwujudkan. Gelombang berikutnya kemudian adalah, giliran lembagalembaga donor (bantuan) asing memainkan peran melalui skema bantuan dengan memberikan hibah (bantuan) kepada sektor civilsociety, agar peluang sektor bisnis lebih besar kemungkinannya untuk sukses, sehubungan dukungan komitmen negara (pemerintah) dan civil society yang telah terikat. Yang kemudian rentan menjadi persoalan adalah, manakala pergeseran pendulum dari negara ini lantas tidak lebihdaripadasekedarpindahnyadominasikesisibisnis,lebihlebihdengannalar bisnissebagaimanayangkitabisapahami. Pada konteks Wonosobo, fenomena negara (pemerintah pusat) yang kemudian marjinal di hadapan bisnis belum lah terjadi. Namun demikian, problemanya adalah ketika fenomena negara (pusat), pada saat yang sama, nalarnya sesungguhnya nalar bisnis (baca: keberadaan Perhutani). Dengan demikian kegelisahannyamenjadi,sejauhmanajaminancivilsoceitysebagaipenyalurasirasi (keagenan) kepentingan masyarakat dapat secara konsisten mewujudkannya,

187

sementara di sisi lain dia telah terkooptasi oleh negara dan bisnis dalam strategi kolaborasi multipihak? LSM mengalami dilema yang problematik. Namun, menurut hemat saya, yang paling penting adalah garansi komitmen terhadap masyarakat. Sepanjang konsisten sejalan dengan apa yang pernah secara partisipatoris telah dirumuskan secara bersama (LSM dan masyarakat), maka konteksgerakanperubahansosialakantetapdalamkoridorkepentinganpublik. Krisismakinmemperpurukeksistensi Sepanjang tahun 20032006, adalah masamasa krisis bagi kelembagaan ARuPA. Baik dalam perannya pada kancah advokasi perubahan pengurusan sumberdaya hutanJawapadalingkupeksternal,maupunkedalamkarenamengidappatologi internal kelembagaan yang cukup kompleks. Namun sesungguhnya, saya melihatnya, persoalan internal lembaga lah yang pada dasarnya kemudian mempengaruhiperanperannyapadalingkupeksternalsecaracukupsignifikan. ARuPA, praktis hanya mendapatkan support hibah pendanaan yang cukup besar hanyasekalidalamrentangsejarahberdirinya.YaitudariFordFoundationuntuk rentang program Pengelolaan Hutan Partisipatif Terintegrasi di Randublatung dalam durasi 19992000, yaitu kurang lebih Rp. 800 juta. Namun dengan dana tersebut,ARuPAmampumengeloladengancukupbaik,sehinggainisiasiinisiasi programdiluarprogramRandublatung,jugamemungkinkanuntukmunculdan direalisasikan.Namunkondisiinitidakbertahanlama,manakalatidakkunjung bahkanhinggasekarangadasatupunblockgrant(hibah,dalambentukbantuan dana yang cukup besar untuk durasi program yang panjang) selepas Ford

188

Foudation, kecuali danadana dukungan yang sifatnya facility trust fund untuk proyekproyekkegiatanjangkapendek. Kondisi demikian semakin parah, ketika di dalam tubuh kepengurusan periode 20022003 muncul fenomena moral hazard (baca: korupsi) oleh (mantan) direktur eksekutif,yangnotabenesebenarnyajugamerupakansalahsatupendirilembaga. Pada kasus ini, lembaga mengambil kebijakan untuk menghentikan status keanggotaannya sebagai anggota ARuPA secara permanen, melalui forum MusyawarahLuarBiasaAnggota.Padarentangtahunitupula,beberapapersonel lembaga sudah memulai memikirkan exit strategy untuk meninggalkan ARuPA, meskipun tanpa mau melepaskan status keanggotaan sebagai anggota ARuPA. Salahsatubentukexitstrategyolehsalahsatuanggotayangketikaitudidukung oleh ARuPA secara kelembagaanadalah Irfan Bakhtiar (salah seorang pendiri lembaga), manakala memilih meninggalkan ARuPA untuk masuk dan melamar menjadi manajer program (fasilitator wilayah) lembaga donor DFID (Department forInternationalDevelopmentUnitedKingdom). Konteks restu lembaga pada saat itu adalah, untuk mengagendakan skema bantuan finansial atas proposalproposal program yang diajukan oleh ARuPA, sehinggapeluanguntukmendapatkanbantuandanauntukARuPAdarilembaga donor yang bersangkutan, juga semakin besar. Namun demikian, dalam rentang perjalanannya,alihalihagendadariskemainiakanmemberikanbeneficiariesbagi ARuPA,malahsebaliknyaIrfanBakhtiarlahorangyangpertamatamamenggagas dan merealisasikan organisasitandingan ARuPA; yaitu JavlecdanInfojawa yang

189

terwujud pada tahun 2005. Dalam persoalan finansial ini, untuk selanjutnya ARuPAmakintenggelamsecaraperlahanlahan. Kemunculan Javlec dan Infojawa, makin menguatkan friksi internal di kelembagaan ARuPA. Pada titik yang paling kronis adalah, ketika hampir sebagian besar anggota ARuPA, baik golongan yang nonkolaborasi maupun tentu sajagolongan yang kolaborasi (karena telah mempunyai lembaga baru; yaitu Javlec dan Infojawa), satupersatu memilih untuk tidak aktif di dalam aktivitas keseharian kelembagaan ARuPA, pada rentang 2004 hingga 2007. Pada rentang tersebut hanya 1 orang pendiri lembaga, yang masih setia dan konsisten mempertahankan denyut nadi kehidupan lembaga; yaitu Ronald M Firduas. Di bawah kepengurusan Ronald M Firdaus, ARuPA pernah berjaya ketika menjadi barometerbaik nasional maupun internasionalgerakan advokasi perubahan sistem pengurusan hutan Jawa pada 19992001 silam. Di bawah kepengurusan darurat oleh Ronald M Firdaus juga pada 20062007, kemudian ARuPA berada pada titik terendah (surut melipat bendera) karena tak lagi lantang, serta cenderung hanya menjalankan programprogram advokasi yang kecil gaungnya, sebagaiakibatdigerogotiolehfriksiinternalkelembagaannyasendiri. B.2. Episode Menghangatkan Bara Harapan pada Sisa Energi (Memulai lagi Perjuangan) Dalam pengalaman perjalanan strategi kolaborasi multipihak yang melibatkan Perhutani(negarapusat),selalusajaberakhirdenganpengingkaran.Permasalahan utama yang terjadi, dari waktu ke waktu pada hakekatnya tidak lebih pada

190

persoalan komitmen Perhutani, yang sesungguhnya sejak semula patut dipertanyakan.Pengalamanmembangunkesepakatandalamrangkamencarititik temukisah ikhtiar meraih rekognisi keberadaan Perda PSDHBM pada rentang 20022003 silam (Bab III)adalah pelajaran berharga, manakala sesungguhnya pusattidakpernahseriusdanmenghargaiupaya(sertaeksistensi)yangdilakukan Wonosobo.Bahkan,dalamkesempatantertentu,tidakseganuntukmemotongdan membubarkankonstruksikompromiyangtelahsusahpayahdirintissebelumnya. Departemen Kehutanan melalui surat yang Nomor 1665/MenhutII/2002, tertanggal 24 September 2002, yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri untuk melakukan pencabutan Perda PSDHBM Kabupaten Wonosobo, di tengah tengahprosesmenemukankatasepakat,adalahsalahsatubentukarogansinegara (pusat), di mana sama sekali tidak menampakkan penghargaan pada proses manajemen konflik yang sedang berlangsung. Begitu juga dengan sikap Sekjen Depdagri yang afirmatif menanggapi surat Departemen Kehutanan, sehingga mengeluarkan surat Nomor: 188/342/2434/SJ pada 24 Oktober 2002 yang memerintahkan Wonosobo untuk mencabut Perda PSDHBM. Serta, Depdagri yang tiga tahun kemudian secara resmi membatalkan Perda PSDHBM pada 3 Maret2005,melaluiSKMendagriNomor:9Tahun2005. Dalamkisahlogikamanajemenkonflik,tindakanyangdilakukanolehpemerintah pusat (Perhutani, Dephut dan Depdagri), jelas merupakan fenomena sikap tidak fair yang sama sekali tidak mencerminkan sikap kepemerintahan (governance attitude) yang baik/demokratis. Terlebih manakala dalam konteks cerita manajemen/resolusikonflik(polemikWonosobo),telahberanjakpadapandangan

191

mengenai perlunya usaha untuk memindahkan locus negosiasi dari isuisu posisionalyang cenderung tidak tertawarkanke isuisu berbasis kepentingan yang tertawarkan.136 Dengan demikian, semestinya bukan tidak lagi saling menegasikan. Namun, cerita pengingkaran dalam strategi kolaborasi multipihak yang melibatkan Perhutanidalam kasus Wonosoboternyata tidak hanya terjadi pada saat proses negosiasi (kepentingan) sedang berjalan. Pada saat kesepakatan pun telah diperoleh, pengingkaran juga terjadi melalui ketidaktaatan terhadap hasil kata sepakat yang telah dihasilkan bersama (pada tataran realisasi kesepakatan).FenomenainiterjadiketikalagilagiPerhutanitidakmengindahkan Surat Keputusan Bersama Kepala Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Bupati Wonosobo Nomor. 2871/044.3/Hukamas/I Nomor. 661/13/2006 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Lestari (PSDHL) di Kabupaten Wonosobo, yang disepakati pada tanggal 13 Oktober 2006 silam. Kesepakatan utama dalam SKB tersebut adalah terikatnya semua pihak dalam proses pengelolaan sumberdaya hutan di Wonosobo, untuk selalu bersamasama dalam merumuskan dari mulai tahap perencanaan hingga operasionalisasi melalui wadah kelembagaan Forum HutanWonosobo(FHW).Sekalilagi,inidicampakkanolehPerhutani. Dari pihak Perhutani yang terikat secara langsung (KPH Kedu Utara dan Kedu Selatan, di mana sebagian areal kerjanya masuk dalam wilayah administrasi

Riza Nur Arfani, Ibid. Menegaskan bahwa resolusi konflik menekankan pentingnya untuk memasukkandimensiprosesdalamsetiappenyelesaiankonflik.Interestbasednegotiationmisalnya, merupakansebuahpendekatanyangmenekankanpadaproses.
136

192

Wonosobo),KPHKeduSelatanmelaluiKepalaKPHnyaIr.DwiWitjahjono(kerap dipanggil dengan sebutan Yoyok), pada ranah implementasi lapangan dengan lantang menolak gagasan kerjasama dalam wadah kelembagaan FHW. Bahkan, hingga saat ini tidak ada satu pun skema PSDHL yang berjalan di wilayah KPH KeduSelatan.AlihalihmerealisasikankesepakatandenganmerumuskanPSDHL bersamakelompokpetanihutan,justrusebaliknya,KPHKeduSelatanmenggagas model skema investasidalam mengelola lahan hutan negaradengan keterlibatanpihakswasta.
Kedu Selatan sama sekali tidak mengindahkan kesepakatan PSDHL. Malah sebaliknya, bikin kerjasama investasi dengan PT. Bumi Alam Lestari untuk pengadaan bibit sengon. Ini bagaimana? Saya dengar malah ada keterlibatan kawan-kawan Javlec dalam skema kerjasama tersebut. Dalam hal ini, saya dengar kawan-kawan Javlec terlibat sebagai konsultan proyek kerjasama tersebut melalui perusahaan konsultan, PT. Hasta, kalau tidak salah. (Keterangan Felysianus Arga, Pengurus Yayasan Koling Wonosobo, tanggal 16 Maret 2009).

BerbedadenganKPHKeduSelatan,KPHKeduUtaradalamhalinilebihsantun. MelaluiKepalaKPHnyaIr.AgusRuhiyana,meskipunsecarasepihakmelakukan implementasi program PHBM, namun di beberapa desa merealisasikan skema PSDHL melalui fasilitasi kerjasama dengan wadah FHW. Hingga penulisan ini dirumuskan, tercatat ada 7 desa yang telah merealisasikan skema PSDHl di wilayah kerja KPH Kedu Utara. Sementara selebihnya, yaitu 57 desa, masih menerapkanskemaPHBMPerhutani. Belajar atas preseden tersebut, kini ARuPA, Koling dan Sepkuba lebih banyak mengandalkan strategi gerilya kedesadesauntuk mengorganisasikankekuatan daya tawar petani hutan melalui FHW, sebagai kendaraan. Forum Hutan Wonosobo (FHW) merupakan forum multipihak yang dibentuk oleh Bupati

193

Wonosobo, melalui Surat Keputusan Nomor: 661/538/2007, dan dimaksudkan sebagaikelembagaanyangakanmengawalpelaksanaanPSDHL,kemudian.


Tabel.4. Susunan Keanggotaan Tim Teknis FHW
No. 1. Jabatan dalam Dinas/Institusi Ka. Sub Din Perlindungan dan Rehabilitasi Lahan Dinas Hutbun Wonosobo Ka Sie Rehabilitasi Hutan Dinas Hutbun Wonosobo Asper KBKPH Ngadisono Asper KBKPH Wonosobo Ketua LSM Sepkuba Ketua LSm Koling Ketua LSM Kembang Mas Ketua LMDH Sukma Jaya Desa Sikunang Ketua LMDH Rimba Lestari Desa Burat Jabatan dalam Tim Ketua Keterangan Ketua sekaligus pelaksana harian FHW Sekretaris harian FHW

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Sekretaris Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota

Dengan membaca ketidakefektifan Tim Teknis secara keseluruhan sebagai peluang,Sepkuba,Koling,danARuPAmemanfaatkankapasitasFHWmelaluiKa. Sub Din Perlindungan dan Rehabilitasi Lahan Dinas Hutbun, untuk melakukan penguatan kelembagaan kelompokkelompok tani di berbagai Desa. Hingga saat ini,telahtercatatsebanyak22desayangdidampingiolehSepkuba,yangtelahsiap dengan kapasitas kelembagaan, untuk setiap saat berhadapan dengan Perhutani manakalaakanmenggagaspengelolaanlahanhutandilapangan.Disampingitu, kesiapan desadesa tersebut juga sebagai bagian dari upaya untuk merintis kekuatan yang nanti berpengaruh, apabila kelembagaan FHW sebagai pengawal PSDHLjugadibentukditingkatdesa. Namun begitu, sesungguhnya yang lebih menarik di lapangan adalah, ketika masyarakat petani hutan di desa telah mempunyai standar perlawanan sendiri terhadap dominasi Perhutani. Manakala kontrol atas lahan dan hutan secara langsung, dan seharihari hanya dimiliki oleh petani, maka dalam kesempatan

194

tersebut petani mempunyai ruang untuk melakukan tafsir atas pengelolaan sumberdayahutandiluarstandarstandarresmi,baikPSDHLmaupunPHBMnya Perhutani dalam hal ini. Dengan demikian, ketika Perhutani tidak pernah akuntabel dan transparan dalam kewajibannyamisalnya dalam rumusan bagi hasilpetani juga melakukan hal serupa, dengan melakukan manipulasi hasil budidayamereka,baikdarisisikuantitasmaupunkualitas. Oleh sebab itu, sebenarnya beban kalangn civil society sesungguhnya tidaklah terlalu berat, mengingat sekedar mengukuhkan keberdayaan posisi masyarakat terhadap negara (dan bisnis). Sehinga, sebaliknya jangan justru memperlemah kreatifitas mereka dalam melakukan perlawanan dalam menghadapi negara, melaluistrategistrategikolaborasimultipihakdimanadalambanyakkasusjustru meninggalkan agenda kepentingan petani hutan. Pada konteks pemahaman tersebuttelahdiendapkan,sesungguhnyabaraperjuangandapatdimulaikembali ditengahsisaenergiyangtidakbesarlagi.

195

BABV
PENUTUP
A. Kesimpulan Relasi negara dan masyarakat diyakini akan selalu tunduk pada logika hukum dinamika perubahan. Ada kalanya negara begitu powerful, sebagaimana pengalaman era Orde Baru silam. Dan, ada juga saatnya masyarakat mulai menguat untuk, setidaknya mampu mengungkapkan daya tawarnya (bargaining power)gunaditangkapdandipenuhi(agendanya)olehnegarasebagaimanaawal awal episode transisi pada pasca reformasi. Namun demikian, bukan pula lantas berarti bahwa, manakala masyarakat telah menguatdalam konteks masa transisikemudian negara akan statis berada pada posisi untuk selalu mengafirmasiagendaagendamasyarakat.Nalartransisiinipulalah,yangdalam hal ini memberikan penjelasan, oleh sebab periode ini merupakan stage di mana negarapadakontekstertentu,sesungguhnyajugamelakukan(proses)konsolidasi untukdalambeberapadimensikemudianmemungkinkanmenguatkembali. Namun demikian, oleh karena pemusatan kekuasaan yang nampaknya tidak terlalu kental lagi di dalam diri negara pada pasca reformasi, maka penampilan wajah negara menjadikannya tidak lagi dapat dilihat secara tunggal (monolitik). Otonomi daerah adalah faktor penting yang melatarbelakanginya dalam hal ini. Sehingga,dengandemikianpembilahanentitasnegarapadaarasnegarapusatdan

196

negara lokal,137 juga mengalami dinamika relasional manakala masingmasing mempunyai kepentingan untuk memaknai jelajah otoritasnya. Perjalanan dari sentralisasi, kemudian desentralisasi, dan lantas (kecenderungan) resentralisasi adalah fenomena tentang bagaimana logika hukum dinamika perubahan dalam relasionalitujugaberlaku. Ceritapolemiksengketa(kebijakan)pengurusansumberdayahutandiWonosobo di dalam studi ini, rasanya terjadi dalam bingkai alur logika tersebut. Babakan tentang bagaimana masyarakat (bersama kalangan civil society) di level lokal Wonosobo mampu mendesakkan agendaagendanya, untuk selanjutnya diakomodasi oleh negara lokal (pemerintah kabupaten) melalui kebijakan yang secara konkrit bernilai pada keberpihakan terhadap nasib petani hutan, adalah gambaran tentang cukup kuatnya daya tawarnya di hadapan negara (lokal). Bahkan ketika sinergitas masyarakat, civil society, dan negara lokal terbangun dengan cukup solid sehingga berhasil menggoyang ketenangan Jakarta, dapat pula dibaca sebagai cerita tentang dispersidi mana ada keberpihakan wajah negara lokal yang bisa direbutyang dapat dimanfaatkan dalam kerangka memperjuangkanagendamasyarakatuntukdirekognisiolehlevelpusat. Sedemikian hal nya, pada saat perfomansi negara (pusat) membaik sebagai konsekuensi dari proses konsolidasidengannya kemudian mampu menggertak inisiasi lokal melalui menganulir Perda PSDHBMadalah konteks tentang fenomena penegasan kembali jelajah otoritas pusat, oleh karenanya

137

Negaradalampengertiansebagaiseperangkatjaringanorganisasibirokrasiformal.

197

berkecenderungan

resentralisasi.

Bahkan,

selebihnya

ketika

mampu

mengkooptasi negara lokal dan kalangan civil societymelalui panggung yang ironinya difasilitasi oleh kalangan civil society sendiri melalui strategi kolaborasi multipihak nya (baca: kesepakatan bersama Perhutani dan Bupati Wonosobo, sebagaisalahsatucontoh)dengannyamenjadipenandabahwa,padaeratransisi negara pusat bukan lantas lemah. Lebihlebih manakala di level internal negara lokal juga mengalami dispersi, sehingga sulit untuk ditebak arah komitmennya olehkarenatidakterkonsolidasidalamsatusuara.138 Namundemikiansebagaifokusdaripadakajianmakaprosesdiskursivitasdan kontestasi kepentingan (publik), dalam kesempatan ini adalah perhatian utama manakala situasisituasi dalam uraian kisah tersebut di atas terbentuk sebagai akibat dari pengaruh, melalui relevansinya, meskipun tidak secara langsung. Konteks pengaruhnya secara langsung adalah, lebih pada bagaimana studi ini kemudian menjawab bahwa; pertama, proses advokasi perubahan kebijakan kehutanan lokal Wonosoboyang melibatkan negara pusat, negara lokal, civil society dan masyarakatsarat diwarnai oleh discoursediscourse yang menyertai pertarungan(kontestasi)kepentingan,secaracukupdinamik. Kedua,konteksdiskurisivitasyangterjadiberjalanmenyusuriruangpubliksebagai media bagi bertemunya opini kolektif. Untuk selebihnya memasuki ranah politik dan hukum merupakan sebuah keniscayaan yang harus dipahami, manakala muarakontestasimenaruhharapanpadakebijakandalamkontekstheruleofgame
138

Pada kasus Wonosobo adalah tidak satunya Bupati selaku representasi kekuasaan eksekutif denganDPRDsebagairepresentasikekuasaanlegislatif.

198

in town. Pada derajad ini, maka kemunculan pemenang dan pecundang menjadi tidak dapat dihindari, oleh sebab proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan bukan saja sekedar ritual teknis, tetapi, inheren sebagai proses(danperistiwa)politik,dimanadiskursivitasdankontestasisesungguhnya adalah konteks yang melatari. Dengan demikian, saat telah terjadi prosesi deliberasi secara fairyaitu alasanalasan telah diuji secara dikursifargumentatif dan publikmaka produk hukum (Perda PSDHBM dalam hal ini) harus dibaca telah legitimate. Dengan kata lain, telah memperoleh legitimitas melalui diskursivitas. Oleh sebab itu, si pecundang pun semestinya harus menghargai untuk menempatkannya juga sebagai the rule of game in town. Dan, selanjutnya jugamentaatinya. Namun demikian, tentu saja tidak semudah itu. Di dalam studi ini terungkap bahwa, pecundang tidak begitu saja ikhlas menerima the rule of game in town (baca: Perda PSDHBM) sebagaimana telah menempuh proses fairly deliberated. Perhutani sebagai representasi negara pusatyang kemudian didukung oleh Departemen Kehutanan dan Depdagriberjalan dalam nalar dan norma sendiri, yanglantasmenegasikannya,atasdasarstandarnormasepihaknya. Ketiga, dalam dinamika gerakan pembaruan kebijakanpengurusan sumberdaya hutanuntuk sampai pada the rule of game in town, peran dan beradanya civil society (baca: LSM) adalah signifikan, manakala demokrasi deliberatif menjadi agendadansebuahkebutuhan.Akantetapi,keempat,dimanacivilsocietyberkaitan dengan relasionalnya di antara negara dan swasta/pasar, maka juga menjadi

199

penting untuk memahaminya sebagai sebuah proses yang dapat mengalami pasangsurut, kemajuan dan kemunduran, kekuatan dan kelemahan di dalam sejarah perjalanannya. Pada konteks studi ini, maka ARuPA, dalam sejarah perjalanannya merefleksikan proses sedemikian itu. Pertamatama berkaitan dengan posisi dan kekuatannya yang mandiri, kemudian mengalami konflik internal kelembagaan, hingga lantas berkubang dalam problematika pendekatan kolaborasi multipihak dalam strategi gerakannya. Meski tentu saja tetap sah untukmenyalahkannya,namunjugaharusdisampaikanbahwakontekstigapilar good governanceyang kemudian merembet pada perkara peluang pendanaan (financing)melaluiperanlembagadonorasingnyatanyaadalahrealita,dimana menjadikannyadilemabagipilihanposisidankekuatannyakemudian. Kelima, masih gayut dengan uraian paragraf di atas, maka urusan kekuatan dan kemandiriancivilsociety(LSM)inikemudian,jugamempunyairelevansipadasisi keagenannya (agency) sebagai penyalur aspirasi masyarakat, di dalam agenda besar ikhtiar perubahan sosial. Oleh sebab itu, manakala daya keagenannya kemudianrendah,sesungguhnyapentinguntukdipertanyakankembaliperandan keberadaannya. Janganjangan tidak lagi memberikan kontribusi, karena sebaliknya justru malah menjadi benalu bagi kreasikreasi perlawanan masyarakat (baca: siasat masyarakat) ketika mereka harus menghadapi kekuatan negaradanswasta/pasar.

200

B. Refleksi Belajar atas lessons learned sedemikian, dengannya maka menjadi penting untuk mengendapkan bahwa, sekali lagi, pembumian makna demokrasi sesungguhnya tidaklahringandansederhana,apalagiketikaenergidankomitmentidakpernah disadari adalah modal utama kalangan civil society, di dalam menentukan titik pijakotoritasdirinya(baca:posisidankekuatannya).Dengandemikian,manakala gerakan perjuangan untuk perubahan sosial menuju pengurusan sumberdaya hutanyangadil,demokratisdanlestari,sejakawaltelahdipilihsebagainilaiyang harus ditunaikan, maka menjadi penting untuk selalu merujuk kembali pada fungsikeagenannya,setidaknyadenganmelihatkembalimandatdansejauhmana telahmerealisasikanmandat(masyarakat)tersebut. Berkaitan dengan hukum dinamika perubahandi mana pada negara, sebagai common determination tidak lagi nampak dalam visual yang sederhana (sebagai rejim otoriter yang harus dilawan)maka reposisi gerakan civil society sebagai keniscayaan,beradapadasituasiyangkompleksdantidakmudah.Dengantidak hanya menghadapi negara, tetapi pada saat yang sama juga harus menghadapi kekuatan swasta/pasarbahkan jalinan keduaduanya sekaligusmaka tawaran perlawanannya kemudian adalah melalui kekuatan komunikatif melalui jaringanjaringan komunikasi publik masyarakat sipil. Sebagaimana Magnis Suseno (dalam 75 tahun Jurgen Habermas, Majalah Basis No. 1213, Tahun ke 53,NovemberDesember2004),yangmeminjamkonsepsiHannahArendttentang kekuasaan komunikatif, maka seyogyanya masyarakat sipil dapat

mengembangkan kekuatan komunikatifnya, oleh karena di dalam negara hukum

201

yang demokratis kebebasan menyatakan pendapatanya, mustinya terlindungi. Kekuatan komunikatif masyarakat sipil tidak untuk menguasai sistem politik, namun dapat mengarahkan keputusankeputusannya untuk agenda dan kepentinganpublik. Atau, jika bukan malah sebaliknya. Sudah terlibat dalam entitas sistem dan kekuasaan politik, tetapi sayang tidak dapat berpengaruh dan mengarahkan keputusankeputusannya sama sekali. Oleh karena secara tidak sadar sesungguhnyatelahtundukdalambayanganhegemoni!

202

DaftarPustaka
Adam, Sugayo Jawana dan Imam Fuji Raharjo. 2007, Dialog Hutan Jawa (menguraimaknafilosofisPHBM),PustakaPelajar,Yogyakarta Ardana,Rama.Dkk,2004,KonflikHutanJawa,studikonflikpengelolaanhutan Jawa(RandublatungdanWonosobo19982003,kerjasamaARuPA,ICRAF SEAdanFordFaoundation,tidakditerbitkan Arfani, Riza Nur. Governance sebagai Pengelolaan Konflik, Jurnal Ilmu Sosial danIlmuPolitik,Volume8,Nomor3,Maret2005,FisipolUGM Astraatmadja, Rama. tanpa tahun, Seputar Hutan Jawa, dipublikasikan dalam http://arupa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=59&Itemi d=39diaksespadatanggal23Februari2009 AS.Hikam,Muhammad.1999,DemokrasidanCivilSociety,LP3ES,Jakarta Azhar, Syafruddin. Man t tet den Geist Nacht, makalah lepas, 20 Juni 2008 dipublikasikandalamhttp://dinazhar.multiply.com/journal/item/95,diakses padatanggal5Juni2009 Bakhtiar, Irfan dan Andy Ari (ed.). 2001, Hutan Jawa Menjemput Ajal (akankah otonomimenjadisolusi),ProdidingSemilokaTemuInisiatifDPRDseJawa Madura Menuju Pengelolaan Suberdaya Hutan yang Lestari, Adil dan Demokratis,Wonosobo1517Mert2001,BP.ARuPA,Yogyakarta Beetham, David. 2007, Democracy and Human Rights, Polity Press, Malden, USA Burke,Peter.2001,SejarahdanTeoriSosial,YayasanObor,Jakarta Chehafudin, M. Sumber Daya Hutan Wonosobo: Pengelolaan Berbasis Masyarakat, artikel program Promoting Leadership for Integrated

203

Development Yayasan Pembangunan Berkelanjutan, dimuat dalam http://www.forplid.net/index.php?option=com_content&task=view&id=46& Itemid=98,diaksespadatanggal9Juni2009 Culla, Adi Suryadi. 2006, Rekonstruksi Civil Society (wacana dan aksi ornop di Indonesai),LP3ES,Jakarta Diantoro,TotokDwi.tanpatahun,HutanJawayang(State)EnterpriseBasedForest Management,ArtikelLepas,tidakditerbitkan Djuliati Suroyo, A.M. 2000, Eksploitasi Kolonial Abad XIX (kerja wajib di karesidenanKedu18001890),YayaanUntukIndonesia,Yogyakarta Fahada,Moech.F.tanpatahun,PengurusanHutanJawaDitinjaudariPerspektif Bencana Lingkungan, makalah dipublikasikan dalam http://rimbawan.org/peh/index.php?option=com_content&task=view&id=70 &Itemid=40diaksespadatanggal20Febrari2009 FKKM, 2000. Studi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, studi kolaboratif FKKM,PustakaKehutananMasyarakat,Jakarta. Forest Watch Indonesia. 2001, Potret Keadaan Hutan Indonesia, Forest Watch Indonesia,Bogor Fuad, Faisal H. dkk. 2005, Hutan Wonosobo: Keberpihakan yang Tersendat, ARuPA,AFNdanKoling,Yogyakarta Fuad, Faisal H. Negosiasi Tanpa Henti, Lembaga ARuPA, Yogyakarta. 2000. Makalah dipublikasikan dalam http://arupa.or.id//index.php?option=com_content&task=view&id=25&Item id=39diaksespadatanggal3Juli2009 Hardiman, F. Budi. 2000, Menuju Masyarakat Komunikatif, Kanisius, Cetakan ke6,Yogyakarta

204

, Demokrasi Delibartif: Model untuk Indonesia PascaSoeharto?, MajalahBASISNo.1112,Tahunke53,NovemberDesember 2004 Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, Majalah BASIS Tahun ke52,NovemberDesember2003 ,MengarahkanOpiniPublik,Kompas,2Februai2009 Held, David. 2007, Model of Democracy, terj. Abdul Haris, The Akbar Tandjung Institute,Jakarta Hiariej,Erick.Dkk(ed.)2004,PolitikTransisiPascaSoeharto,SeriKajianSosial PolitikKontemporer,FisipolUGM Habermas,Jurgen.1996,BetweenFactsandNorms(contributionstoaDiscourse Theory of Law and Democracy), trans. William Rehg, Massachusetts InstituteofTechnology,USA Haris, Syamsuddin. (ed.) 2007, Desentralisasi dan Otonomi Daerah (desentralisasi,demokratisasidanakuntabilitaspemerintahandaerah,LIPI Press,Jakarta Hoelman, Mickael B. 2003, Sengketa Wajah Kerakusan Modal dan Negara atas Sumber Alam Indonesia, makalah disampaikan dalam kelas Seminar Politik Indonesia Kontemporer, Program Pasca Sarjana Ilmu Politik UniversitasGadjahMada,Yogyakarta . 2005, Konstruksi Pengetahuan dalam Perlawanan Masyarakat Desa Sekitar Hutan terhadap Perum Perhutani: Studi Kasus DesaTemulus,Randublatung,Blora,tesisS2ProgramPascaSarjanaIlmu Politik,UniversitasGadjahMada,Yogyakarta Jalal, Moch. tanpa tahun, Praktik Diskursif The Theory of Truth Michel Foucault dalamKonstruksiSimbolisasiBahasadiIndonesia,ArtikelLepas,Jurusan SastraIndonesiaUniversitasAirlangga,Surabaya

205

Juliawan,B.Heri.RuangPublikHabermas:SolidaritasTanpaIntimitas,Majalah BASISNo.1112,Tahunke53,NovemberDesember2004 Masoed, Mohtar. 2003, Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken (ed.). 2007, Politik Lokal di Indonesia,YayasanObordanKITLV,Jakarta Nurjaya, I Nyoman, Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia, Diskusi Terbatas Pelatihan Hukum Sumberdaya Alam, HuMA dan ELSAM, Bogor 2000 ODonnel, Guillermo, dan Philippe C. 1993, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidak Pastian, terj. Nurul Agustina, LP3ES,Jakarta Peluso, Nancy Lee. 1992, Rich Forest Poor People (resource control and resistance in Java),UniversityofCaliforniaPress,Berkeley.USA Pratikno, Good Governance dan Governability, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan IlmuPolitik,Volume8,Nomor3,Maret2005,FisipolUGM Rahardjo, Diah. Y dan Ujjwal Pradhan, Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat: Wacana atau Pilihan? makalah tanpa tahun, dikutip dari http://www.damarnet.org/download/makalah%20Seminar%20PSHBM DAMAR.pdfdiaksespadatanggal1Juli2009. Santoso,Purwo.TitikBalikDesentralisasi,artikeldimuatdiSuratKabarHarian JawaPos,26Desember2005 Simon,Hasanu.2004,AspekSosioTeknisPengelolanHutanJatidiJawa,Pustaka Pelajar,Yogyakarta ..... 2006, Hutan Jati dan Kemakmuran (problema dan strategi pemecahannya),PustakaPelajar,Yogyakarta.

206

. 2008, Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (teori dan aplikasi padahutanjatidiJawa),PustakaPelajar,Yogyakarta Sudibyo,Agus.dkk.2005,RepublikTanpaRuangPublik,IREPress,Yogyakarta Suharto, Edi, Konsep dan Strategi Pengentasan Kemiskinan Menurut Perspektif Pekerjaan Sosial, makalah dipublikasikan pada http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_13.htm, diakses pada tanggal4Mei2009. Surbakti,Ramlan.1992,MemahamiIlmuPolitik,Grasindo,Jakarta Suseno, Franz Magnis. 75 tahun Jurgen Habermas, Majalah Basis No. 1213, Tahunke53,NovemberDesember2004,hlm.12 Tapiheru, Joash. Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik: Menembus Batas Rasionalisme, Inkrementalisme, dan Irasionalisme, terjemahan dari Michael Howlett dan M. Ramesh, 1995, Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystem, Oxford University Press, chap. 7, Public Policy DecisionMakingBeyond Rationalism, Incrementalism and Irrationalism, sumber:http://elisa.ugm.ac.id/files/PSantoso_Isipol/51EOAjxr/PENGAMBIL AN%20KEPUTUSAN%20KEBIJAKAN%20PUBLIK.rtfdiaksespadatanggal 16Juli2009 Windhu, I. Marsana. 1992, Kekuasaan & Kekerasan Menurut Johan Galtung, Kanisius,Yogyakarta Jurnal: MajalahBASISNo.1112,Tahunke53,NovemberDesember2004 Wacana,Edisi1.Volume1,19999 JurnalIlmuSosialdanIlmuPolitik.Volume8,Nomor3,Maret2005(231352)

207

Buletin/Koran/Internet: BuletinAKAR,EdisiPerdana,Mei2000 KoranTempoRabu,8Februari2006 http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2006/08/19/brk,2006081982218,id.html, tanggal4Mei2009 http://www.dishut.jabarprov.go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=66 2&idMenu=428,diaksespadatanggal15Mei2009 http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/profil.diaksespadatanggal18Mei2009 http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=Daerah&op=detail_kabupaten&id= 192&dt=sejarah&nama_kab=Kab.Wonosobodiasespadatanggal1Juni2009 http://www.kompas.com/kompascetak/0310/16/opini/622767.htm, diakses pada tanggal28Mei2009 http://percik.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=23 diakses pada tanggal3Juni2009 http://arupa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=56&Itemid=62 diaksespadatanggal8Juni2009 http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/09/tgl/05/time/ 181441/idnews/435501/idkanal/10,diaksespadatanggal10Juli2009 Peraturan: UUNo.5/1960tentangPokokpokokAgraria UUNo.5/1967tentangKetentuanPokokKehutanan UUNo.41/1999tentangKehutanan

208

PPNo.53/1999tentangPerumPerhutani PPNo.14/2001tentangPT.(persero)Perhutani PPNo.30/2003tentangPerumPerhutani PP No. 6/1999 tentang Hak Pengusahaan dan Pemungutan Hasil Hutan pada HutanProduksi PP No. 25/2000 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah Pusat, PemerintahPropinsidanPemerintahKabupaten PPNo.34/2002tentangTataHutandanPenyusunanRencanaPengelolaanHutan, PemanfaatanHutandanPenggunaanKawasanHutan PP No. 7/2006 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan sertaPemanfaatanHutan PerdaKabupatenWonosoboNo.22/2001tentangPengelolaanSumberDayaHutan BerbasisMasyarakat(PSDHBM) SK Mendagri No. 9/2005 tentang Pencabutan Perda Kabupaten Wonosobo No. 22/2001tentangPSDHBM SK Gubernur Jawa Tengah No. 24/2001 tentang Pengelolaan Hutan Bersama MasyarakatBersamaMasyarakat(PHBM) SKB Kepala Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Bupati Wonosobo Nomor. 2871/044.3/Hukamas/INomor.661/13/2006tentangPengelolaan Sumberdaya HutanLestari(PSDHL)diKabupatenWonosobo SK Bupati Wonosobo No. 522/200/2001 tentang Forum Koordinasi Penanganan PenjarahandanPenataanHutan(FKP3H)

209

SK Bupati Wonosobo No. 661/538/2007 tentang Pembentukan Forum Hutan Wonosobo(FHW) SK Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136/2001 tentang Pengelolaan SumberdayaHutanBersamaMasyarakat(PSDHBM)

210

Lampiran
I.PerdaKabupatenWonosoboNo.22/2001tentangPSDHBM:
PERATURANDAERAHKABUPATENWONOSOBO NOMOR22TAHUN2001 TENTANG PENGELOLAANSUMBERDAYAHUTANBERBASISMASYARAKAT KABUPATENWONOSOBO DENGANRAHMATTUHANYANGMAHAESA BUPATIWONOSOBO Menimbang: a. bahwa untuk menampung dan mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat guna memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan, maka pada prinsipnya semuahutandankawasanhutanharusdapatdimanfaatkandengantetapmemperhatikansifat, karakteristik,dankerentanannya,dengantidakmengubahfungsipokoknya; b. bahwa dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka semua pihak termasuk Pemerintah Daerah wajib berupaya untukmemberdayakanmasyarakatdengancaramemberikanpeluangusahayanglebihbesar kepadamasyarakatsetempat; c. bahwa meningkatnya keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat dari usaha pemanfaatan hutanharusmenjadisalahsatusasaranutamadalammengupayakantercapainyapengelolaan hutan yang lebih berhasil, dengan melihat contoh nyata keberhasilan hutan rakyat di KabupatenWonosobo,makaupayapemberdayaanmasyarakatsetempatmelaluipengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat dalam kesatuan pengelolaan terkecil sehingga dapat dikelolasecaraefisiendanlestarisesuaidenganfungsihutan,merupakansuatukeniscayaan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d perlu membentukPeraturan Daerah tentangPengelolaanSumber Daya Hutan BerbasisMasyarakat diKabupatenWonosobo. Mengingat: 1. Undangundang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan DaerahDaerah Kabupaten DalamLingkunganPropinsiJawaTengah(BeritaNegaraRITahun1950Nomor42); 2. Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam (Lembaran NegaraRItahun1990Nomor49,TambahanLembaranNegaraNomor3419); 3. Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup (Lembaran Negara RI Tahun1997Nomor68,TambahanLembaranNegaraRINomor3699);

211

4. 5.

6. 7.

8.

9.

Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI tahun1999Nomor60,TambahanLembaranNegaraRINomor3839); Undangundang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan PemerintahDaerah(LembaranNegaraRITahun1999Nomor72,TambahanLembaranNegara RINomor3848); Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor167,TambahanLembaranNegaraRINomor3952); Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Pemerintah Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor54,TambahanLembaranRINegaraNomor3952); KeputusanPresidenNomor44Tahun1999tentangTeknikPenyusunanPeraturanPerundang Undangan dan Bentuk Rancangan UndangUndang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan RancanganKeputusanPresiden(LembaranNegaraRITahun1999Nomor70); Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 02 Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan DinasDinas Kabupaten Wonosobo (Lembaran Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun2001Nomor7). DenganPersetujuan DEWANPERWAKILANRAKYATDAERAHKABUPATENWONOSOBO MEMUTUSKAN:

Menetapkan:PERATURANDAERAHKABUPATENWONOSOBOTENTANGPENGELOLAAN SUMBERDAYAHUTANBERBASISMASYARAKATKABUPATENWONOSOBO BABI KETENTUANUMUM Pasal1 DalamPeraturanDaerahiniyangdimaksuddengan: a. DaerahadalahKabupatenWonosobo. b. PemerintahDaerahadalahPemerintahKabupatenWonosobo. c. BupatiadalahBupatiKabupatenWonosobo. d. DewanadalahDewanPerwakilanRakyatDaerahKabupatenWonosobo. e. Dinas Kehutanan dan Perkebunan adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo. f. PengelolaanSumberDayaHutanBerbasisMasyarakatadalahsistempengelolaansumberdaya hutanyangdilakukanolehmasyarakatsetempatdikawasanhutannegaraberdasarkanfungsi danperuntukkannyayangselanjutnyadisingkatdenganPSDHBM. g. HutanNegaraadalahhutanyangberadapadatanahyangtidakdibebanihakatastanah. h. Hasil Hutan adalah bendabenda hayati, nonhayati, dan turunannya serta jasa yang berasal darihutan. i. Pemanfaatan Hutan adalah bentuk kegiatan untuk memperoleh manfaat optimal dari hutan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat dalam pemanfatan kawasan, pemanfaatan jasa

212

lingkungan,pemanfaatanhasilhutankayu,pemanfaatanhasilhutanbukankayu,pemungutan hasilhutankayu,danpemungutanhasilhutanbukankayu. j. Ijin PSDHBM adalah ijin yang diberikan oleh Bupati untuk melakukan pengelolaan hutan negarakepadakelompokmasyarakatsetempatsecaraberkelanjutan. k. Pemegang ijin PSDHBM adalah kelompok masyarakat setempat yang diberi ijin oleh Bupati untuk melakukan pengelolaan sumber daya hutan di kawasan hutan negara secara berkelanjutan. l. ForumHutanWonosoboadalahlembagaindependenyangmerupakanwadahkomunikasidan koordinasi multi pihak di bidang kehutanan di Kabupaten Wonosobo yang berdirinya dikukuhkandenganKeputusanBupati. m. LSM pendamping adalah lembaga swadaya masyarakat yang berbadan hukum yang peduli pada bidang gerak pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan yang lestari, adil dan demokratis dengan menyediakan diri untuk melakukan kegiatan pendampinganmasyarakatsekitarhutandiwilayahadministratifKabupatenWonosobo. n. Masyarakat Setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam atau sekitar hutan, yang membentuk komunitas yang didasarkan pada kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejarahan, keterikatantempattinggal,sertapengaturantatatertibkehidupanbersama. o. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan menguruskepentinganmasyarakatsetempatberdasarkanasalusuldanadatistiadatsetempat yangdiakuidalamsistemPemerintahanNasionaldanberadadidaerahkabupaten. p. BadanPerwakilanDesaatauyangdisingkatdenganBPDadalahorganyangmerupakansalah satu unsur pemerintahan desa sebagaimana yang dimaksud di dalam Undangundang PemerintahanDaerah. q. Zonaadalahsuatukesatuantempatyangmemilikikarakteristiktertentu. r. Inventarisasi adalah pencatatan dan pengumpulan data kehutanan di wilayah administratif KabupatenWonosobo. s. Identifikasi adalah penentuan dan penetapan status di kawasan hutan negara dalam wilayah administratifKabupatenWonosoboberdasarkankarakteristikdankondisibiofisik. BABII PENYELENGGARAANPENGELOLAANSUMBERDAYAHUTANBERBASISMASYARAKAT BagianKesatu Asas Pasal2 Penyelenggaraan pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat (PSDHBM) didasarkan padaasasasassebagaiberikut: a. Asas kelestarian fungsi hutan, yaitu dimaksudkan agar setiap langkah PSDHBM benarbenar memperhatikan daya dukung lahan, memulihkan, serta mempertahankan fungsi sumber daya hutan. b. Asaskesejahteraanmasyarakatyangberkelanjutan,yaitudimaksudkanagarPSDHBMdapatturut meningkatkankesejahteraanmasyarakatsetempatsecaraterusmenerus.

213

Asas pengelolaan sumber daya alam yang demokratis, yaitu dimaksudkan agar masyarakat setempat diposisikan sebagai pelaku utama dalam PSDHBM, Pemerintah Daerah sebagai fasilitator,danprosespengambilankeputusandilakukanmelaluimusyawarahmufakat. d. Asaskeadilansosial,yaitudimaksudkanagarPSDHBMmengutamakanmasyarakatsetempatyang matapencahariannyatergantungkepadakawasanhutan,dansetiapkelompokdalammasyarakat setempat mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh manfaat dari PSDHBM, serta didukungolehsisteminsentifdandisinsentifyangyangjelasdandisepakatibersama. e. Asas akuntabilitas publik, yaitu dimaksudkan agar PSDHBM dilaksanakan dengan mempertimbangkan kepentingan umum dengan timbal balik berupa adanya hak dari kelompok masyarakat setempat pemegang ijin PSDHBM untuk memperoleh kompensasi atas jasajasa lingkunganyangdinikmatiolehmasyarakatluas. f. Asaskepastianhukum,yaitudimaksudkanagarPSDHBMdilakukandalamkerangkahukumdan kebijaksanaanyangmelindungihakhakmasyarakatsetempat,kelembagaanPSDHBMyangdiakui dandiberdayakan,sertatersediafasilitasiyangmampumengembangkanPSDHBM. BagianKedua RuangLingkup Pasal3 Ruanglingkuppenyelenggaraanpengelolaansumberdayahutanberbasismasyarakat(PSDHBM) meliputi: 1. Penetapanlokasi; 2. Penyiapanmasyarakat; 3. Perijinan; 4. Pengelolaan;dan 5. Pengendalian. Pasal4 Ruang lingkup penyelenggaraan PSDHBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan sebagaisatukesatuanmulaidaripenetapanlokasi,penyiapanmasyarakat,perijinan,pengelolaan, sampaidenganpengendalian. BABIII PENETAPANLOKASI Pasal5 KawasanhutannegarayangditetapkansebagailokasipenyelenggaraanPSDHBMadalahseluruh kawasanhutannegaradiwilayahadministratifKabupatenWonosobo. Pasal6 (1). Penentuan lokasi dilakukan untuk menentukan status kawasan hutan berdasarkan fungsi hutanyangdisesuiakandengankondisifisiklahan. (2). PenetapanlokasidisahkanmelaluiKeputusanBupati

c.

214

Pasal7 Penetapan lokasi PSDHBM dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo dengan kegiatan inventarisasi dan identifikasi di seluruh wilayah hutan negara yang melibatkan masyarakatdesasetempatdanForumHutanWonosobo. Pasal8 (1). Setelah kegiatan inventarisasi dan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, selanjutnyamasyarakatdesasetempatberhakuntukmemberikantanggapanatasinventarisasi danidentifikasipartisipatiftersebut. (2). Tanggapan masyarakat desa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa tanggapan atas inventarisasi dan identifikasi partisipatif yang dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Desa dengandiketahuiolehBadanPerwakilanDesayangditujukankepadaPemerintahanDaerah. (3). Tanggapan masyarakat desa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekaligus memuat permohonan fasilitasi kepada Pemerintah Daerah melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan gunamengikutitahapantahapanyangadadalampengajuanijinPSDHBM. BABIV PENYIAPANMASYARAKAT Pasal9 Penyiapan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 butir 2 merupakan upaya pemberdayaanmasyarakatdalamPSDHBM. Pasal10 Penyiapan masyarakat dimulai dengan fasilitasi pembentukan kelompok masyarakat yang memiliki mekanisme aturan internal kelompok yang mengikat dalam pengambilan keputusan, penyelesaiankonflik,danaturanpengelolaanlainnyadalamberorganisasi. Pasal11 (1). Pemerintah Daerah secara terbuka dan transparan merumuskan kriteria dan standar kemampuan masyarakat setempat dengan memperhatikan masukan dari masyarakat dan pihakpihakterkaitlainnyamelaluiForumHutanWonosobo. (2). Masyarakat melalui Forum Hutan Wonosobo dapat memberikan kritik, saran, dan masukan kepadaPemerintahDaerahmenyangkutkriteriadanstandarkemampuanmasyarakat. Pasal12 (1). Kegiatan penyiapan masyarakat dilaksanakan dengan cara pendampingan, pelayanan, dan pemberiandukungankepadakelompokmasyarakatcalonpemegangijinPSDHBM. (2). Kegiatan penyiapan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh DinasKehutanandanPerkebunanKabupatenWonosoboatauLSMpendamping.

215

Pasal13 (1). Dalam penyiapan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dilaksanakan kegiatan pemetaan partisipatif bersama dengan kelompok masyarakat setempat dengan memperhatikankemampuankelompokyangbersangkutansertapotensilahandanhutan. (2). Setelah kegiatan pemetaan partisipatif bersama dalam rangka penyiapan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), kelompok masyarakat setempat juga melaksanakanpemetaansecarapartisipatifdidalamkelompokmasyarakatyangbersangkutan gunamenetapkanpembagianpetakpetakkerja. BABV PERIJINAN Pasal14 Perijinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 butir 3 merupakan bentuk pengesahan PSDHBM yangdiberikanolehBupatisebagaijaminankepastianhukumpemeganghakPSDHBM. Pasal15 (1). Kelompok masyarakat hasil penyiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 mengajukan permohonanijinPSDHBMkepadaBupatimelaluiDinasKehutanandanPerkebunan,dengan sepengetahuanKepalaDesadanBadanPerwakilanDesa. (2). Permohonanijinsebagaimanadimaksuddalamayat(1)harusmemuat: a. Petalokasi; b. LuasarealPengelolaansumberdayahutanberbasismasyarakatyangdimohonkan; c. Dataanggotakelompokmasyarakatyangbersangkutan;dan d. Aturaninternalkelompokyangtelahdisepakatiolehseluruhanggotakelompok. e. RencanaUmumpengelolaan. Pasal16 (1). IjinPSDHBMdiberikanolehBupatiataspertimbanganteknisDinasKehutanandan Perkebunan. (2). IjinPSDHBMditerbitkansetelahdibuatkesepakatantertulisantaraPemerintahDaerahcq. KepalaDinasKehutanandanPerkebunandengankelompokmasyarakatsetempatselaku PemohonIjindengandisaksikanolehKepalaDesadanBadanPerwakilanDesa. (3). Kesepakatantertulissebagiamanadimaksuddalamayat(2)memuathakdankewajibankedua belahpihak. Pasal17 (1). Guna menampung keberatan atas pengeluaran ijin PSDHBM oleh kelompok masyarakat lainnya,makapemberianijinPSDHBMdiumumkanmelaluimediamassalokalsetempatyang memuat; peta lokasi, luas areal pengelolaan sumber daya hutan yang diijinkan serta data anggotakelompokyangdiberiijin. (2). Jika dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diumumkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak ada pengajuan keberatan atas pemberian ijin PSDHBM tersebut, maka selanjutnyaijinPSDHBMmempunyaikekuatanhukumuntukberlaku.

216

(3). Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan kepada Bupati selaku pemberiijinmelaluiKepalaDinasKehutanandanPerkebunan. (4). Pengajuankeberatandiluarjangkawaktusebagaiamanadimaksuddalamayat(2)tidakakan ditanggapi, kecuali terdapat indikasi kuat terjadinya kolusi, korupsi dan nepotisme yang selanjutnyaakandibuktikanmelaluikeputusanPengadilan. (5). Ijin PSDHBM diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dengan masa percobaan 6 (enam) tahun terhitung sejak mempunyai kekuatan hukum untuk berlaku dan dapatdiperpanjangkembali. Pasal18 (1). IjinPSDHBMtidakdapatdiagunkanataudipindahtangankan. (2). Dalam hal anggota kelompok pemegang ijin PSDHBM meninggal dunia maka keanggotaan pewaris selanjutnya secara serta merta beralih kepada ahli waris anggota kelompok tersebut sampaiijinPSDHBMtersebuthabismasaberlakunya. (3). IjinPSDHBMbukanmerupakanpemilikanatastanahdankawasanhutan. BABVI PENGELOLAAN BagianKesatu Umum Pasal19 Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 butir 4 adalah pengelolaan dalam PSDHBM yangmeliputikegiatan: a. Penataanarealkerja; b. Penyusunanrencanapengelolaan; c. Pemanfaatan; d. Rehabilitasi;dan e. Perlindungan. Pasal20 (1). DalammelaksanakanpengelolaansebagaimanadimaksuddalamPasal19,pemegangijindapat meminta fasilitasi kepada Pemerintah Daerah atau LSM pendamping dalam rangka pengembangan kelembagaan, permodalan, sumber daya manusia, jaringan mitra kerja, dan ataupengembanganpemasarandanusaha. (2). Fasilitasi kepada pemegang ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa pendampingan,pelatihan,penyuluhan,bantuanteknik,danataubantuaninformasi. Pasal21 Pemegangijindapatmemperolehbantuandanayangtidakmengikatdaripihaklain. BagianKedua PenataanArealKerja Pasal22

217

(1). Penataan areal kerja meliputi kegiatan pembagian areal ke dalam zonazona tertentu berdasarkanrencanapengelolaansesuaidengankarakteristiklahan. (2). Zonasebagaimanadimaksuddalamayat(1)meliputi: a. Zonaperlindungan; b. Zonapemanfaatan. (3). Zona perlidungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a adalah bagian areal kerja yang harus dilindungi berdasarkan pertimbangan konservasi hidroorologis antara lain pada lahanlahan500(limaratus)meterdaritepiwadukataudanau,200(duaratus)meterdaritepi mataairdankirikanansungaididaerahrawa,100(seratus)meterdarikirikanantepisungai, 50(limapuluh)meterdarikirikanantepianaksungai,2(dua)kalikedalamanjurangdaritepi jurang, atau lahan berlereng lebih dari 40 derajat, atau pertimbangan konservasi keanekaragamanhayati. (4). Zonapemanfaatansebagaimanadimaksuddalamayat(2)hurufbadalahbagianarealkerjadi luarzonaperlindungansebagaimanadimaksuddalamayat(3). (5). Penataanarealkerjadilakukansecarapartisipatifyangmelibatkanseluruhanggotakelompok pemegangijin. (6). Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan atau LSM pendamping memfasilitasi dalam kegiatan penataanarealkerja. BagianKetiga PenyusunanRencanaPengelolaan Pasal23 RencanapengelolaandimaksudkansebagaipedomanpelaksanaanPSDHBM. Pasal24 Rencana pengelolaan disusun oleh pemegang ijin secara partisipatif dengan melibatkan seluruh anggotakelompokdandifasilitasiolehDinasKehutanandanPerkebunanatauLSMpendamping. Pasal25 RencanapengelolaansebagaimanadimaksuddalamPasal23terdiriatas: a. RencanaUmum; b. RencanaOperasional. Pasal26 (1). Rencana Umum memuat tata guna lahan, bentuk pengelolaan, pengembangan sumber daya manusia, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, dan sistem monitoring dan evaluasi yang disusununtukjangkawaktupengelolaan. (2). RencanaUmumdisusunberdasarkanfungsihutandanpenataanarealkerja. Pasal27 (1). Rencana Umum disetujui oleh Pemerintah Daerah melalui Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan. (2). RencanaUmumdievaluasiuntukjangkawaktupalinglama6(enam)tahun.

218

(3). Pemegang ijin dapat melaksanakan kegiatan pemanfaatan, rehabilitasi dan perlindungan setelahrencanaumumdisetujui. Pasal28 (1). Rencana Operasional memuat jenisjenis kegiatan, tata waktu, lokasi, volume kegiatan, pengorganisasian,dankebutuhanbiaya. (2). RencanaOperasionaldisusunberdasarkanRencanaUmum. (3). RencanaOperasionaldisusunsetiap1(satu)tahunsekali. Pasal29 RencanaOperasionaldiketahuiolehKepalaDesadanBadanPerwakianDesakemudiandilaporkan kepadaDinasKehutanandanPerkebunan. BagianKeempat Pemanfaatan Pasal30 (1). Kegiatan Pemanfaatan di kawasan hutan lindung dapat dilakukan pada zona perlindungan danzonapemanfaatan. (2). Dalam kegiatan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan penebangan pohon dan atau kegiatan lain yang dapat menyebabkan terbukanya tajuk hutan danlahan. (3). Jenispemanfaatanpadazonaperlindungansebagaimanadimaksuddalamayat(1)meliputi: a. Budidayatumbuhanobat,tanamanhias,tanamanlangka,jamur,suteraalam,perlebahan, tanamanpangan,budidayasarangburungdanlainlainsejenisnya; b. Budidayatanamankerasdenganjenispohonpenghasilhasilhutanbukankayu. (4). Jenispemanfaatanpadazonapemanfaatansebagaimanadimaksuddalamayat(1)meliputi: a. Budidayatumbuhanobat,tanamanhias,tanamanlangka,jamur,perlebahan,suteraalam, tanamanpangan,budidayasarangburung,danlainlainsejenisnya; b. Usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan yang meliputi usaha wisata alam, usahapemanfaatanair,atauusahalainsejenisnya; c. Budidayatanamankerasdenganjenispohonpenghasilhasilhutanbukankayu. Pasal31 (1). Kegiatanpemanfaatankawasanhutanproduksidapatdilakukanpadazonaperlindungandan zonapemanfaatan,dengantetapmemperhatikanfungsilindungkawasantersebut. (2). Dalamkegiatanpemanfaatanpadazonaperlindungansebagaimanadimaksuddalamayat(1), penutupantajukhutanharusselaludipertahankan. (3). Jenispemanfaatanpadazonaperlindungansebagaimanadimaksuddalamayat(1)meliputi: a. Budidayatumbuhanobat,tanamanhias,tanamanlangka,jamur,perlebahan,suteraalam, tanamanpangandanbudidayalainsejenisnya; b. Pengusahaan tanaman kayu secara terbatas, yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaantanamandanpemanenansecaraterbatasdengansistemtebangpilih; c. Pengayaantanamankerasdenganjenistanamanpenghasilkayudanbukankayu.

219

(4). Jenispemanfaatanpadazonapemanfaatansebagaimanadimaksuddalamayat(1)meliputi: a. Budidayatumbuhanobat,tanamanhias,tanamanlangka,jamur,perlebahan,suteraalam, tanamanpangan,danbudidayalainsejenisnya; b. Usaha memanfaatkan potensi jasa lingkungan yang meliputi wisata alam, olah raga tantangan,pemanfaatanair,ataulainlainsejenisnya; c. Pengusahaan tanaman kayu yang kegiatannya meliputi penanaman, pemeliharaan, pengamanan,danpemanenanhasilhutan; d. Pengusahaantanamankerasbukanpenghasilkayuyangkegiatannyameliputipenanaman, pemeliharaan,pengamanan,danpemanenanhasil. Pasal32 (1). Dalampelaksanaanpengelolaanhutan,pemegangijindapatbekerjasamadenganpihaklain. (2). Kerjasamasebagaimanadimaksuddalamayat(1)tidakbolehmengurangiperanpemegangijin sebagaipelakuutamapengelolaandanharussesuaidenganrencanapengelolaan. (3). Pemegang ijin dapat meminta fasilitasi kepada Pemerintah Daerah untuk mendapatkan bantuandaripihaklain. Pasal33 (1). Terhadap hasil hutan kayu yang diperdagangkan yang diperoleh dari PSDHBM, dikenakan provisisumberdayahutansesuaidenganperaturanperundangundanganyangberlaku. (2). Sebagian dari besarnya provisi sumber daya hutan selanjutnya merupakan pendapatan asli daerah. BagianKelima RehabilitasiHutan Pasal34 (1). Rehabilitasi hutan dimaksudkan sebagai usaha untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkanfungsihutandanlahansehinggadayadukung,produktivitas,danperanannya dalammendukungsistempenyanggakehidupantetapterjaga. (2). Rehabilitasi hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan penanaman,pengayaantanaman,pemeliharaan,danpenerapanteknikkonservasitanah. Pasal35 Pemegangijinwajibmelaksanakanrehabilitasihutandiwilayahkerjanyasesuaidenganperaturan perundangundanganyangberlaku. BagianKeenam PerlidunganHutan Pasal36 Penyelanggaraan perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga dan memelihara hutan, kawasan hutandanlingkungannyaagarberfungsisecaraoptimaldanlestari.

220

Pasal37 Perlindunganhutandilaksanakanmelaluiupayamencegahdanmenanggulangikerusakanhutan, kawasanhutandanhasilhutanyangdisebabkanolehperbuatanmanusia,kebakaranhutan,hama danpenyakit,sertabencanaalamlainnya. Pasal38 PemegangijinPSDHBMwajib: a. Menjagahutandankawasanhutandalamarealkerjanyaagarfungsihutandapatoptimaldan lestari. b. Turut memelihara dan menjaga kawasan hutan di luar areal kerjanya dari gangguan dan perusakan. c. Berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan dalam pelaksanaan perlindungan hutan. Pasal39 Pemegang ijin PSDHBM bertanggung jawab atas terjadinya kerusakan dan kebakaran hutan di dalamarealkerjanya. BABVII PENGENDALIAN BagianKesatu MonitoringdanEvaluasiolehPemerintahDaerah Pasal40 (1). Pengendalian PSDHBM dimaksudkan untuk menjamin pengelolaan sumber daya hutan agar terlaksanasesuaidengantujuan. (2). PemerintahDaerahmelakukanpengendalianataspelaksanaanpenyelengaraanPSDHBMoleh pemegangijin. Pasal41 (1). Pengendalian PSDHBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dilaksanakan melalui pemantauandanevaluasiterhadapPSDHBM. (2). Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah mencermati, menelusuri dan menilai pelaksanaan PSDHBM sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal. Pasal42 (1). Dalam rangka pengendalian PSDHBM perlu diselenggarakan pelaporan pengelolaan sumber dayahutanberbasismasyarakatsecaraberkalasetiaptahun. (2). Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan evaluasi pelaksanaan rencana operasionalsebelumnya. (3). Pemegang ijin PSDHBM menyusun dan menyampaikan laporan pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat kepada Pemerintah Daerah lewat Dinas Kehutanan dan Perkebunan.

221

BagianKedua PengendalianInternalolehPemegangIjin Pasal43 (1). PengendalianinternaldimaksudkanuntukmenjaminagarPSDHBMdapatdilaksanakansesuai denganrencana. (2). Pengendalian internal dilakukan secara evaluasi partisipatif dengan melibatkan seluruh anggota kelompok masyarakat setempat pemegang ijin yang bersangkutan terhadap pelaksanaanrencanapengelolaan. (3). Kegiatan evaluasi partisipatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) difasilitasi oleh PemerintahDaerahatauLSMpendamping. Pasal44 Pengendalian internal dilaksanakan secara berkala oleh setiap kelompok masyarakat setempat pemegangijin,minimal3(tiga)kalidalam1(satu)tahun. BagianKetiga PengendalianolehMasyarakatLuas Pasal45 (1). Masyarakat luas melaluipribadipribadi, kelompok, badan hukum, BPD ataumelalui Forum Hutan Wonosobo melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan dan pelaksanaan PSDHBM. (2). ApabilapenyelenggaraandanpelaksanaanPSDHBMmenimbulkankerugianbagikepentingan umumdarisegilingkunganhidup,masyarakatdapatmelakukangugatanperwakilankepada PemerintahDaerahdanPemegangijin. BABVIII PENCABUTANIJIN Pasal46 PencabutanijinPSDHBMdiambilsetelahditempuhprosessebagaiberikut: a. Apabilapemegangijintidakmampumelaksanakanpengelolaansumberdayahutanberbasis masyarakat sesuai dengan rencana yang telah disetujui, maka Bupati melalui Kepala Dinas KehutanandanPerkebunanmemberikanperingatansecaratertulis. b. Apabiladalamjangkawaktu3(tiga)bulanterhitungsejakdikeluarkannyaperingatantertulis tersebut pemegang ijin tidak mengindahkan, maka Bupati melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan memanggil pemegang ijin guna bermusyawarah melalui dialog secara transparanyangdifasilitasiolehForumHutanWonosobo. c. Apabiladenganprosesmusyawarahtidaktercapaikesepakatan,selanjutnyaBupatimelalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan membentuk tim untuk melakukan penyelidikan dan memberimasukandalampengambilankeputusan. d. Sebelum dilakukan pengambilan keputusan tentang pembatalan ijin penyelenggraan PSDHBM oleh Bupati, pemegang ijin berhak melakukan pembelaan dengan meminta fasilitasidariForumHutanWonosobo.

222

Apabila pembelaan yang dimaksud dalam butir d tersebut tidak cukup bukti untuk dapat diterima,makaBupatimemutuskanpembatalanijinPSDHBM. f. KeputusanBupatibersifatmengikatsemuapihak. g. Areal PSDHBM yang telah dibatalkan ijinnya dapat dimohonkan ijin oleh kelompok masyarakatsetempatyanglain. BABIX KETENTUANPENUTUP Pasal47 Halhal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang pelaksanaannya akan diatur lebihlanjutdenganKeputusanBupati. Pasal48 PeraturanDaerahinimulaiberlakupadatanggaldiundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini denganpenempatannyadalamLembaranDaerahKabupatenWonosobo. DisahkandiWonosobo Padatanggal20Oktober2001 BUPATIWONOSOBO Drs.TRIMAWANNUGROHADI Diundangkanpadatanggal15Desember2001 SekretarisDaerahKabupatenWonosobo Drs.H.Tawabul,MM. LembaranDaerahKabupatenWonosoboTahun2001Nomor36

e.

223

PENJELASAN PERATURANDAERAHKABUPATENWONOSOBO NOMOR:22TAHUN2001 I. PENJELASANUMUM Bahwa degradasi laju kerusakan hutan negara di Daerah Kabupaten Wonosobo dirasakan sudah mencapaitingkatkekritisanyangmemprihatinkankarenapenjarahan,salahurus,maupunbencana alam. Sedangkan pada sisi lain muncul fenomena kesuksesan pengelolaan hutan rakyat yang beberapakaliberhasilmeraihprestasijuarahutanrakyattingkatnasional,merupakanpotretlain yang memperlihatkan betapa peranserta rakyat adalah hal yang tidak bisa disepelekan dengan begitusaja. Bahwa mencermati kesuksesan pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat setempat Daerah Kabupaten Wonosobo, menunjukkan kesiapan dan kemampuan yang memang layak untuk dilibatkanlangsungdalampengelolaansumberdayahutandiKawasanhutannegara.Haltersebut munculkan kenyataan yang tidak terbantahkan bahwa masyarakat jauh lebih berhasil mengelola sumber daya hutan di Kabupaten Wonosobo, dengan perbandingan besarnya luasan kawasan hutan rakyat dengan kawasan hutan negara, darisemua sisi pemanfaatan fungsinya. Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada masyarakat sekitar hutan merupakan kunci keberhasilanpengelolaanhutan.Olehkarenaitupraktekpraktekpengelolaansumberdayahutan yang hanya beroreintasi kepada keuntungan finansial dari sisi kayu semata menjadi bagian dari sumber pendapatan negara, perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensisumberdayahutandanberbasispadamasyarakat. BahwadalamrangkapelaksanaanOtonomiDaerah,khususnyadalamsektorpengelolaansumber daya hutan, maka sudah saatnya Daerah Kabupaten Wonosobo secara mandiri dan bertanggung jawab memulai mengatur kewenangannya tersebut dalam mekanisme kelembagaan Peraturan Daerah. Oleh karena itu, maka Daerah KabupatenWonosobo wajib melaksanakan wewenangnya dalam mengelola sumber daya hutan melalui Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakatsebagaimediapemberdayaanmasyarakatsetempat. Berdasarkanhalhaltersebutdiatas,sesuaidenganUndangundangNomor22Tahun1999tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, maka perlu segera menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan BerbasisMasyarakat(PSDHBM)KabupatenWonosobo. II. PENJELASANPASALDEMIPASAL Pasal1 CukupJelas Pasal2 CukupJelas

224

Pasal3 CukupJelas Pasal4 CukupJelas Pasal5 Kawasanhutannegarameliputikawasanhutanlindungdanhutanproduksiyangadadieilayah administratif Kabupaten Wonosobo yang semula dikelola oleh Badan Otorita yang sebelumnya mendapatkanotoritasdariPemerintahPusatuntukmengelolasumberdayahutantersebutsesuai denganfungsimaupunperuntukannya. Pasal6 Ayat(1) Penentukanstatuskawasanhutanberdasarkanfungsihutan,yaitudarisisikawasanhutanlindung dan hutan produksi dengan masingmasing tetap mengandung sisisisi pemanfaatan baik dalam zonalindungmaupundalamzonapemanfaatan. Ayat(2) Melalui Keputusan Bupati dikukuhkan penetapan lokasi penyelenggaraan PSDHBM berdasarkan penetapanRencanaTataRuangdanWilayahKabupatenWonosobo. Pasal7 Cukupjelas Pasal8 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) SurattanggapantertulisyangditujukankepadaKepalaDinasKehutanandanPerkebunan. Ayat(3) Cukupjelas Pasal9 Cukupjelas Pasal10 Penyiapan masyarakat difasilitasi oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan atau LSM pendamping. Pasal11

225

Ayat(1) Dinas Kehutanan dan Perkebunan menentukan standar dan kriteria penilaian kemampuan, kegiatandanteknikpenyiapankelompokmasyarakatsetempat. Ayat(2) Forum Hutan Wonosobo sebagai wadah komunikasi dan koordinasi multi pihak kehutanan Wonosobodalamkapasitasnyamengakomodirfungsitersebutgunamenciptakaniklimyanglebih demokartisdantransparan. Pasal12 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Pasal13 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Pasal14 Cukupjelas Pasal15 Ayat(1) KepalaDesadanBadanPerwakilanDesasebagaiorganPemerintahanDesamemberikanpengantar bagikelompokmasyarakatsetempatyangakanmengajukanpermohonanijinPSDHBM.Dalamhal pemohon ijin merupakan kelompok masyarakat yang bersifat lintas desa, maka surat pengantar harusdarimasingmasingPemerintahanDesayangbersangkutan. Ayat(2) Cukupjelas Pasal16 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2)

226

Kesepakatan tertulis berupa perjanjian untuk menyelenggarakan PSDHBM sebagai bukti tertulis bagikeduabelahpihak(kelompokmasyarakatdanPemerintahDaerahyangdiwakiliKepalaDinas KehutanandanPerkebunan)dalambersamasamamelaksanakanPSDHBM. Ayat(3) Cukupjelas Pasal17 Ayat(1) Hal ini dimaksudkan guna memberikan kesempatan bagi kelompok masyarakat lainnya yang merasakeberatandanmerasadirugikandenganditerbitkannyaijintersebut. Ayat(2) Cukupjelas Ayat(3) Keberatan diajukan secara tertulis dengan memuat alasanalasan keberatan menyangkut penerbitan ijin PSDHBM yang ditandatangani oleh ketua kelompok masyarakat yang bersangkutan. Ayat(4) Pengajuan keberatan yang dimaksud dalam ayat ini dapat meminta fasilitasi Forum Hutan Wonosobo sebagai lembaga monitoring penyelenggaraan PSDHBM dengan tidak menutup kemungkinandiselesaikanmelaluimekanismepembuktiandiPengadilan. Ayat(5) 30 (tiga puluh) tahun diasumsikan sebagai konsesi yang cukup layak sesuai dengan umur/daur tegakan tanaman di hutan rakyat selama ini. Masa percobaan 6 (enam) tahun dianggap sebagai waktu yang cukup layak untuk memberikan penilaian mengenai tingkat keberhasilan penyelenggaraanPSDHBM. Pasal18 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Hak waris tersebut merupakan hak untuk mengelola petak kerja anggota kelompok yang meninggaldunia. Ayat(3) Cukupjelas Pasal19

227

Cukupjelas Pasal20 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Pasal21 Cukupjelas Pasal22 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Ayat(3) Cukupjelas Ayat(4) Cukupjelas Ayat(5) Cukupjelas Ayat(6) Cukupjelas Pasal23 Cukupjelas Pasal24 Cukupjelas Pasal25 Cukupjelas Pasal26 Ayat(1) Cukupjelas

228

Ayat(2) Cukupjelas Pasal27 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Ayat(3) Cukupjelas Pasal28 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Ayat(3) Cukupjelas Pasal29 Diketahui oleh Kepala Desa dan BPD setempat untuk mengantisipasi sehubungan dengan kebijakandesayangbersangkutan. Dilaporkan kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan dimaksudkan untuk tetap menjaga fungsi koordinasi antara kelompok masyarakat pemegang ijin PSDHBM dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Pasal30 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Ayat(3) Cukupjelas Ayat(4) Cukupjelas

229

Pasal31 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Ayat(3) Cukupjelas Ayat(4) Cukupjelas Pasal32 Ayat(1) KerjasamayangdimaksudadalahkerjasamaoperasionalpelaksanaanPSDHBMdenganpihaklain. Kerjasama dengan pihak lain dapat berupa penyertaan modal guna pengembangan usaha PSDHBM. Ayat(2) Penyertaan modal oleh pihak lain tidak boleh mengintervensi peran kelompok masyarakat yang bersangkutandalampenyelenggaraanPSDBM. Ayat(3) Cukupjelas Pasal33 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Sebagian dari hasil provisi sumber daya hutan yang mejadi pendapatan asli daerah ditetapkan denganKeputusanBupati. Pasal34 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Pasal35

230

Cukupjelas Pasal36 Cukupjelas Pasal37 Cukupjelas Pasal38 Cukupjelas Pasal39 Cukupjelas Pasal40 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Pengendalian oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan dengan melakukan fungsi pengawasan, sebagai pemegang otoritas serta penanggung jawab, atas penyelenggaraan pengelolaan sumber dayahutanberbasismasyarakatdiKabupatenWonosobo. Pasal41 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Pasal42 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Ayat(3) Cukupjelas Pasal43 Ayat(1) Cukupjelas

231

Ayat(2) Cukupjelas Ayat(3) Cukupjelas Pasal44 Cukupjelas Pasal45 Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas Pasal46 Cukupjelas Pasal47 Cukupjelas Pasal48 Cukupjelas TambahanLembaranDaerahKabupatenWonosoboNomor36Tahun2001

232

Lampiran II. SK Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 tentangPHBM


KEPUTUSANDEWANPENGAWASPERUMPERHUTANI (SelakuPengurusPerusahaan) NOMOR:136/KPTS/DIR/2001 PENGELOLAANSUMBERDAYAHUTAN BERSAMAMASYARAKAT KETUADEWANPENGAWASPERUMPERHUTANI (SelakuPengurusPerusahaan) Menimbang a. bahwavisiPerumPerhutaniadalahpengelolaansumberdayahutansebagaiekosistem dipulauJawasecaraadil,demokratis,efisiendanprofesionalgunamenjamin keberhasilanfungsidanmanfaatnyauntukkesejahteraanmasyarakat. b. bahwadalamMISInyaPerumPerhutaniberupayamelaksanakanamanahpengelolaan sumberdaya hutan di Pulau Jawa untuk dapat memenuhi maksud dan tujuan pendirianperusahaan. c. bahwa untuk mencapai VISI dan MISI tersebut, sesuai dengan paradigms baru pengelolaansumberdayahutanberbasismasyarakat,pemberdayaandanpeningkatan peran masyarakat dan atau pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hutan menjadi penting dan strategis, sehingga perlu lebih dimaknal, diwadaidandifasilitasi. d. bahwa pemberdayaan dan peningkatan peran masyarakat dan atau hak yang berkepentingan dilakukan dalam suatu sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan BersamaMasyarakat. e. bahwa pengaturan dan mekanisme Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama MasyarakatperluditetapkandengankeputusanDireksiPerumPerhutani. Mengingat 1. UndangundangNomor22Tahun1999tentangPemerintahanDaerah; 2. Undangundang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara PemerintahPusatdanDaerah; 3. UndangundangNomor41Tahun1999tentangKehutanan; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1999 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara(PerumPerhutani); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan KewenanganPropinsisebagaiDaerahOtonomi;

233

6. Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani Nomor 02/Kpts/DWAS/2001 tentang PemberhentianSementaraDireksiPerumPerhutani; 7. Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor 1837/Kpts/Dir/1996 tentang Penerapan PembinaanMasyarakatDesaHutandalamPengelolaanHutan; 8. Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor: 849/Kpts/Dir/1999 tentang Pedoman PengkajianDesaSecaraPartisipatif. MEMUTUSKAN: Menetapkan PERTAMA KEDUA BABI KETENTUANUMUM PasalI Dalamkeputusaniniyangdimaksuddengan: Mencabut Keputusan Direksi Nomor : 1061/Kpts/Dir/2000 tentang PengelolaanHutanBersamaMasyarakat(PHBM) Keputusan Direksi Perum Perhutani tentang Pengelolaan Sumberdaya HutanBersamaMasyarakatsebagaimanatercamtumdalamKeputusanini.

234

1.

2.

3. 4.

5.

6. 7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

Pengelolaan sumberdaya hutan adalah kegiatan yang meliputi penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan, pemanfatan sumberdaya hutan dan kawasan hutan, serta perlindungansumberdayahutandankonservasialam. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat adalah sustu sistem pengelolaan sumberdayayangdilakukanbersamaolehPerumPerhutanidanmasyarakatdesahutanatau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutanfungsidanmanfaatsumberdayahutandapatdiwujudkansecaraoptimaldan proporsional. DesaHutanadalahwilayahdesayangsecarageografisdanadministratifberbatasandengan kawasanhutanataudisekitarkawasanhutan. MasyarakatDesaHutanadalahkelompokorangyangbertempattinggaldidesahutandan melakukan kegiatan yang beribnteraksi dengan sumberdaya hutan untuk mendukung kehidupannya. Pihak yang berkepentingan (stakeholder) adalah plhakpihak di luar Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan yang mempunyai perhatian dan berperan mendorong proses optimalisasi serta berkembangnya Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat, yaitu Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Ekonomi Masyarakat, LembagaSosialMasyarakat,UsahaSwasta,LembagaPendidikan,danLembagaDonor. PerusahaanadalahPerusahaanUmumKehutananNegara(PerumPerhutani),sebagaimana ditetapkandalamPeraturanPemerintahNomor53Tahun1999. Pengkajian Desa partisipatif adalah metode kajian terhadap kondisi desa dan masyarakat melalui proses pembelajaran. bersama, guna memberdayakan masyarakat desa yang bersangkutan, agar memahami kondisi desa dan kehidupannya, sehingga mereka dapat berperanlangsungdalampembuatanrencanadantindakansecarapartisipatif. Perencanaan partisipatif adalah kegiatan merencanakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat oleh Perusahaan dan masyarakat desa hutan atau Perusahaan dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan, berdasarkan hasil pengkajian desapartisipatifdankondisisumberdayahutandanlingkungan. Berbagi adalah pembagian peran antara Perusahaan dengan masyarakat desa hutan atau Perusahaan dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan lahan (tanah dan atau ruang), dalam pemanfaatan waktu dan pengelolaan kegiatan. KegiatanBerbasisLahanadalahrangkaiankegiatanyangsecaralangsungberkaitandengan pengolahan tanah dan atau ruang sesuai karakteristik wilayah, yang menghasilkan produk budayadanlanjutannyasertaprodukkonservasidanestetika. Kegiatan Berbasis Bukan Lahan adalah rangkaian kegiatan yang tidak berkaitan dengan pengolahan tanah dan atau ruang yang menghasilkan produk industri, jasa dan perdagangan. Faktor produksi adalah semua unsur masukan produksi berupa lahan, tenaga kerja, teknologi dan atau modal, yang dapat mendukung terjadinya proses produksi sampai menghasilkankeluaranproduksidalampengetolaansumberdayahutan. Pola tanam adalah kegiatan reboisasi hutan yang dapat dikembangkan untuk penganekaragaman jenis, pengaturan jarak tanam, penyesuaian waktu dengan memperhatikanaspeksilvikulturdengantetapmengoptimalkanfungsidanmanfaathutan. BABII JIWADANPRINSIPDASAR

235

Pasal2 (1). Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat merupakan kebijakan Perusahaan yang menjiwai strategi, struktur dan budaya perusahaan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. (2). Jiwa yang terkandung dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat adalah kesediaan Perusahaan , Masyarakat desa hutan, dan Pihak yang berkepentingan untuk berbagi dalam PSDH sesuai kaidahkaidah keseimbangan, keberlanjutan, kesesuian dan keselarasan. Pasal3 PrinsipDasarPSDHadalah: 1. Prinsipkeadilandandemokratis 2. Prinsipketerbukaandankebersamaan 3. Prinsippembelajaranbersamadansalingmemahami 4. Prinsipkejelasanhaldankewajiban 5. Prinsippembedayaanekonomikerakyatan 6. Prinsipkerjasamakelembagaan 7. Prinsipperencanaanpartisipatif 8. Prinsipkeserdahanaansistemdanprosedur 9. PrinsipPerusahaansebagaifasilitator 10. Prinsipkesesuaianpengelolaandengankarakteristikwilayah BABIII MAKSUDDANTUJUAN Pasal4 (1). PSDHdimaksudkanuntukmemberikanarahpengelolaanhutandenganmemadukanaspek aspekekonomidansosialsecaraproposionalgunamencapaiVisidanMisiPerusahaan. (2). PengelolaanSumberdayaHutanBersamaMasyarakatbertujuanuntuk: a. MeningkatkantanggungjawabPerusahaan,MasyarakatdesahutandanPihakyang berkepentinganterhadapkeberianjutanfungsidanmanfaatsumberdayahutan. b. meningkatkan peran Perusahaan, Masyarakat desa hutan dan Pihak yang berkepentinganterhadappengqlolaansumberdayahutan. c. Menselaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunanwilayahsesuaidengankondisidandinamikasosialmasyarakatdesa hutan. d. Meningkatkanmutusumberdayahutansesualdengankarakteristikwilayah. e. Meningkatkan pendapatan Perusahaan, masyarakat desa hutan serta Pihak yang berkepentingansecarasimultan. BABIV RUANGLINGKUPDANSTATUSKAWASANHUTAN Pasal5

236

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat dilakukan di wilayah kerja Perusahaan denganmempertimbangkanskalaprioritasberdasarkanhasilperencanaan.partisipatif Pasal6 PengelolaanSumberdayaHutanBersamaMasyarakatdilakukandengantidakmengubahstatus kawasanhutandanstatustanahperusahaan. BABV PENYUSUNANRENCANA Pasal7 (1). PenyusunanrencanaPengetolaanSumberdayaHutanBersamaMasyarakatditakukansecara terintegrasidanterpadumulaidariinventarisasisumberdayahutanpadapenataanpertama danataupenataanulang,ataupadasaatdilakukanpenyusunanrencanatahunan,sesuai denganketentuanPerusahaanyangberlaku. (2). Penyusunan rencana Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat dilakukan bersamaantaraPerusahaandanmasyarakatdesahutanmelaluiperencanaanpaertisipatif (3). Penyusunan rencana Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat pada saat kegiatan penataan hutan dikoordinasikan oleh Kepala Seksi Perencanaan Hutan (KSPH) dalam bentuk Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RKPH) atau nama lain yang akan ditetapkankemudian. (4). Penyusunan rencana Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat paa saat penyusunan Rencana Tahunan dikoordinasikan oleh Administratur/Kepala Kesatuan PemangkuanHutan(Adm/KKPH)dalambentukRencanaUsahaTahunan(RUT)ataunama lainyangakanditetapkankemudian. (5). Rencana Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat diintegrasikan dengan pembangunanwilayah. (6). Dalam kondisi mendesak atau forcemajeur, penyusunan rencana Pengelolaan Sumberdaya HutanBersamaMasyarakatdisesuaikandengankebutuhan. BABVI KEGIATANPENGELOLAAN BagianPertama Umum Pasal8 Kegiatan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat dilakukan dengan Jiwa berbagi yang meliputi berbagi dalam pemanfaatan lahan dan atau ruang, berbagi dalam pemanfaatan waktu, berbagi pemanfaatan hasil dalam pengelolaan sumberdaya hutan kegiatan dengan prinsipsalingmenguntungkan,salingmemperkuatdansalingmendukung. BagianKedua KegiatanBerbasisLahan

237

Pasal9 Kegiatan berbasis lahan dilakukan dalam kawasan hutan dan dapat dikembangkan di luar kawasanhutan. Pasal10 Kegiatan berbasis lahan dilakukan dengan memanfaatkan lahan dan atau ruang melalui pengaturanpolatanamyangsesuaidengankarakteristikwilayah. Pasal11 Pola tanam yang sesuai dengan karaktefistik wilayah adalah pola tanam yang dapat dikembangkanuntukpenganekaragamanjenisdankomoditikehutanan,pertanian,perkebunan, petemakan,dengantetapmengoptimalkanfungsidanmanfaatsumberdayahutan. Pasal12 Kegiatan berbasis lahan dapat dikembangkan menjadi pengembangan unit usaha perusahaan dankegiatanperekonomfanmasyarakatdesahutan. BagianKetiga KegiatanBerbasisBukanLahan Pasal13 Kegiatanberbasisbukanlahandilakukandidalamkawasanhutandandapatdikembangkandi luarkawasanhutan. Pasal14 Kegiatan berbasis bukan lahan dilakukan dengan mengembangkan produk industri, jasa dan perdagangan untuk menumbuhkankembangkan keswadayaan dan pengembangan ekonomi masyarakatdesahutan. Pasal15 Kegiatan berbasis bukan lahan dapat dikembangkan menjadi pengembangan unit usaha Perusahaandankegiatanperekonomianmasyarakatdesahutan. BagianKeempat PerananPihakYangBerkepentingan Pasal16 Pihak yang berkepentingan berperan sebagai motivator, stimulator, fasilitator, mediator, negosiator untuk meningkatkan kualitas hubungan perusahaan dan masyarakat desa hutan dalamPengelolaanSumberdayaHutanBersanaMasyarakat. Pasal17 Peranan Pihak yang berkepentingan dapat ditingkatkan menjadi suatu bentuk kemitraan lanjutan dengan Perusahaan dan masyarakat desa hutan untuk mengoptimalkan fungsi dan manfaatsumberdayahutan. BABVII

238

KELEMBAGAAN Pasal18 (1). Perusahaan memberikan wewenang dan tanggung jawab kepada Kepala Unit untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di tingkat Unit dan Administratur/Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (Adm/KKPH)untukpelaksanaannyaditingkatKesatuanPemangkuanHutan(KPH). (2). Kewenangandantanggungjawabsebagaimanatersebutpadaayat1meliputi: a. Bersama masyarakat desa hutan dan atau pihak berkepentingan menetapkan nilai dan proporsi berbagi dari hasil kegiatan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. b. Menandatanganikesepakatankerjasamadenganmasyarakatdesahutandanataupihak yang berkepentingan dalam rangka perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan BersamaMasyarakat. c. Mengambil langkah yang diperiukan untuk pengembangan dan pencapaian tujuan PengelolaanSumberdayaHutanBersamaMasyarakat. Pasal19 Guna mendorong proses optimatisasi dan berkembangnya Pengelolaan Hutan Bersama MasyarakatdenganmenselaraskankepentinganPerusahaan,MasyarakatDesaHutandanpihak yang berkepentingan dibentuk Forum Komunikasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama MasyarakatditingkatunitdanditingkatKesatuanPemangkuanHutan. Pasal20 Masyarakat desa hutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat berbentuk kelompok ekonomi, kelompok sosial maupun kelompok budaya yang tumbuh dari keswadayaan. BABVIII KETENTUANBERBAGI Pasal21 (1). Kegiatan berbagi dalam Pengelolaan sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat ditujukan untukmeningkatkannilaidankeberlanjutanfungsisertamanfaatsumberdayahutan. (2). Nilai dan proporsi berbagi dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat ditetapkansesuaidengannilaidanproporsimasukanfaktorproduksiyangdikontribusikan oleh masingmasing pihak (Perusahaan, Masyarakat desa hutan, Pihak yang berkepentingan). (3). Nilaidanproporsiberbagisepertidimaksudpadaayat2diatas,ditetapkanolehPerusahaan danMasyarakatdesahutanatauPerusahaandanMasyarakatdesahutandenganPihakyang berkepentinganpadasaatpenyusunanrencana. (4). Penetapan mengenai nilai dan proporsi berbagi seperti dimaksud pada ayat 3 di atas, dituangkan dalam pedanjian Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat antara PerusahaandanMasyarakatdesahutanatauPerusahaandanmasyarakatdesahutandengan Pihakyangberkepentingan. BABIX

239

HAKDANKEWAJIBAN Pasal22 (1). MasyarakatdesahutandanPengelolaanSumberdayaHutanBersamaMasyarakatberhak: a. Bersamaperusahaanmenyusunrencana,melakukanmonitoringdanevaluasi. b. Memperolehmanfaatdaiihasilkegiatansesuaidengannilaldanproporsifaktor produksiyangdikontribusikan. c. MemperolehfasilitasidariPerusahaandanatauPihakyangberkepentinganuntuk mencapaikesejahteraandankemandirian. (2). MasyarakatdesahutandalamPengelolaanSumberdayaHutanBersamaMasyarakat berkewajiban: a. BersamaPerusahaanmenjagadanmelindungisumberdayahutanuntuk keberlanjutanfungsidanmanfaatnya. b. Memberikankontribusifaktorproduksisesuaidengankemampuaonya. c. Mempersiapkan kelompok untuk mengoptimalkan fasilitasi yang diberikan oleh PerusahaandanatauPihakyangberkepentingan. Pasal23 (1). PerusahaandalamPengelolaanSumberdayaHutanBersamaMasyarakatberhak a. Bersama masyarakat desa hutan menyusun rencana, melakukan monitoring dan evaluasi. b. Memperoleh manfaat dan hasil kegiatan sesuai dengan nilal dan proporsi faktor produksiyangdikontribusikannya. c. MemperolehdukunganMasyarakatdesahutandalamperlindungansumberdayahutan untukkeberlanjutanfungsidanmanfaatnya. (2). PerusahaandalamPengetolaanSumberdayaHutanBersamaMasyarakatberkewajiban: a. Memfasilitasi Masyarakat desa hutan dalam proses penyusunan rencana, monitoring danevaluasi. b. Memberikankontribusifaktorproduksisesuaidenganrencanaperusahaan. c. Mempersiapkansistem,strukturdanbudayaperusahaanyangkondusif. d. Bekerjasama dengan Pihak yang berkepentingan dalam rangka mendorong proses optimalisasidanberkembangnyakegiatan Pasal24 Hak dan kewajiban untuk pihakpihak yang berkepentingan akan diatur dalam peraturan tersendiri. BABX MONITORINGDANEVALUASI Pasal25 (1). Kegiatan monitoring proses pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama MasyarakatdilakukansecaraberkalaolehPerusahaandanMasyarakatdesahutan. (2). Kegiatan evaluasi pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat dilakukansetiapberakhirnyapelaksanaanRencanaUsahaTahunan(RUT)Perusahaanoleh Perusahaan dan Masyarakat desa hutan dan atau Perusahaan dan masyarakat desa hutan denganpihakyangberkepentingan.

240

(3). Ketentuan mengenai mekanisme dan tolok ukur untuk monitoring dan evaluasi secara bersama seperti dimaksudkan pada ayat 1 dan 2 di atas, ditetapkan lebih lanjut dalam PedomanMonitoringdanEvaluasiPengelolaanSumberdayaHutanBersamaMasyarakat. BABXI KETENTUANPERALIHAN Pasal26 Pada saat ditetapkannya Keputusan Direksi ini, semua ketentuan mengenai pengelolaan sumberdaya hutan yang ditetapkan dan diberlakukan di lingkungan Perusahaan disesuaikan dengan jiwa dan semangat Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat seperti dimaksuddalamkeputusanini. BABXII KETENTUANPENUTUP Pasal27 (1). Ketentuanketentuan dari Keputusan Direksi ini diatur dan dijabarkan lebih lanjut dalam Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Msyarakatyangdisesuaikandengankarakteristikwilayah. (2). Keputusan Dereksi ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan ketentuan apabila dikemudianhariterdapatkekeliruanakandiadakanperbaikansebagaimanamestinya. Ditetapkandi:JAKARTA Tanggal :29Maret2001 KetuaDewanPengawasSelakuPengurus Perusahaan SURIPTO,SH SALINANKeputusaninidisampaikankepadaYth 1. BapakMenteriKehutananRepublikIndonesia; 2. KetuaDewanPengawasPerumPerhutani; 3. SegenapAnggotaDireksiPerumPerhutani; 4. Sdr.KepalaDevisiPerencanaandanPengembanganPerusahaanPerumPerhutani; 5. Sdr.KepalaSatuanPengawasIntemPerumPerhutani; 6. Sdr.KepalaUnitIPerumPerhutaniJawaTengah; 7. Sdr.KepalaUnitIIPerumPerhutaniJawaTimur; 8. Sdr.KepalaUnitIIIPerumPerhutaniJawaBarat; 9. Arsip.

241

242

You might also like