You are on page 1of 4

Anak Gaul Harapan Bangsa

Ketika membaca 100 Tokoh yang Mewarnai Jakarta versi Benny & Mice, saya menemukan dua potret kontras tentang orang muda. Potret pertama berjudul Pemuda Harapan Bangsa dan yang kedua Anak Gaul. Pertanyaan spontan muncul. Masih adakah sosok pemuda harapan bangsa? Mungkinkan dua karakter itu bercampur sehingga muncul tokoh anak gaul harapan bangsa?

Mungkin tak perlu terjebak dalam pertanyaan itu. Saya mengamati kartun lain: Oom Pasikom. Yang saya amati kartun peristiwa khusus, yakni perayaan Sumpah Pemuda. Ada saat ketika pemuda diolok-olok; kali lain, orang tua mendapat giliran. Apa yang menarik? Apa yang ganjil? Dalam wacana terkini tentang pemuda, setidaknya dalam Harian Kompas bulan Oktober 2009, saya sempat gundah. Setidaknya, ada 3 artikel yang mengesankan aura negatif. Masihkah mereka punya hati untuk negara? Mereka kan bisanya minta dan menghabiskan uang orangtua, kata Suparji ketika menyaksikan peringatan Sumpah Pemuda di Tugu Lilin Rembang seperti dilaporkan Kompas, 29 Oktober 2009. Ungkapan itu mengingatkan saya pada peringatan Sumpah Pemuda & Hari Pahlawan satu tahun yang lebih lampau. Sudah tidak jaman tuh patriotisme Indonesia, tulis salah seorang responden dalam jajak pendapat yang digelar Mrican Pos, Majalah yang saya kelola bersama teman-teman dalam lingkup Kampus FISIP Atma Jaya. Jajak pendapat itu juga menunjukkan bahwa 7 dari 10 orang tidak (lagi) memanfaatkan momen hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan untuk bercermin atau berefleksi dengan semacam perayaan atau sejenisnya. Dari fakta itu, Pak Suparji seolah benar. Dalam terbitan yang sama, dalam rubrik Forum untuk Kompas Yogyakarta, Gugun El-Guyanie memproposisikan bahwa generasi kita merupakan generasi yang ahistoris, tidak visioner, dan tidak memiliki kesadaran realistik. Inilah artikel kedua yang menggelisahkan saya; juga memunculkan kejengkelan karena merasa tidak terima dengan tuduhan itu. Ada sebentuk protes diam-diam dalam batin saya. Di sisi lain, selalu ada hal yang meneguhkan Pak Suparji dan Gugunlah yang benar. Sekali lagi dari hasil jajak pendapat Kompas. Tanggalnya, 26 Oktober 2009. Dikatakan bahwa 28,8 persen dan 12,2 persen responden orang muda rentang usia 16-30 tahun bercitacita untuk menjadi kaya dan terkenal. Anung Wendyartaka menafsirkannya sebagai kecenderungan bersikap pragmatis dan

tentunya ini tambahan dari saya Gugun benar bahwa generasi ini tidak visioner. Label lain yang diberikan ialah apolitis. Deret yang buruk itu akan semakin lengkap dengan faktum bahwa 11,3 persen responden menganggap bahwa generasi ini HANCUR ini tidak bermaksud merangkum. Dalam setiap angkatan nampaknya selalu ada kecenderungan untuk membanggakan diri dan merendahkan yang lain. Minimal itu saya alami ketika bersekolah. Dalam kepengurusan OSIS, katakanlah, angkatan 2004 menilai angkatan 2005 kurang aktif. Pula angkatan 2005 menganggap bahwa angkatan 2006 kurang inisiatif dan seterusnya dan seterusnya. Saya curiga hal itu juga terjadi dalam skala yang luas. Potret buram generasi saya ada yang menyebut sebagai Generasi MTV sebenarnya lumrah juga bila mengingat siapa penyusun diskursus itu. Mereka generasi tua atau yang mengambil posisi/sikap orang tua dan mungkin sedang gagap dengan perubahan zaman. Muncullah narasi tentang generasi yang ada di bawah yang bercorak muram. Wacana pragmatisme generasi ini bukan tak dapat disangkal. Satu hari yang lalu, 3 Februari 2010, saya menghadiri kuliah umum F. Budi Hardiman tentang kritik ideologi bukan tema yang remeh dan pragmatis, tentunya. Di ruang kuliah itu, Taman Komunikasi atau Ruang Kepodan Percetakan Kanisius, tak sedikit orang muda yang hadir. Mungkin 70 persen dari yang hadir. Dalam kuliah publik yang lain, yang membahas tentang Heidegger dan Being and Time, Budi Hardiman memberi kesaksian, Ternyata, ruang kuliah itu penuh dengan orang-orang muda yang cukup serius mendengarkan kuliah penulis dari awal hingga akhir. Bila ingin ditafsir miring, orang dapat berkata bahwa orang-orang muda itu hanya sok-sokan saja atau katakanlah mengikutinya supaya dianggap keren. Pak Hardiman ini menafsirkannya secara lurus. Seharusnya kita tidak salah menilai bahwa generasi muda cenderung menghindari kesulitan, karena sebaliknya yang tampaknya terjadi: mereka mendekati kerumitan berpikir dengan mengikuti kuliah publik itu, katanya dalam prakata buku Heidegger dan Mistik Keseharian

yang saya temukan secara tidak sengaja di Pameran Buku Kompas Gramedia Fair JEC. Tentang pemuda harapan bangsa, sejarah mengajari kita bahwa mereka bukan gerombolan yang besar. Para pemuda yang mengawali pergerakan nasional hanya segelintir saja; mereka merupakan minoritas dari zaman mereka juga. Pada sisi inilah, saya akhirnya mengambil posisi: tidak percaya pada wacana tentang pemuda yang cenderung muram.

You might also like