You are on page 1of 17

PENDAHULUAN Antikonvulsi digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure).

Golongan obat ini lebih tepat dinamakan antiepilepsi; sebab obat ini jarang digunakan untuk gejala konvulsi lain. Bromida, obat pertama yang digunakan untuk terapi epilepsi telah ditinggalkan karena ditemukannya berbagai antiepilepsi baru yang lebih efektif. Fenobarbital diketahui mempunyai efek antikonvulsi spesifik, yang berarti efek antikonvulsinya tidak berkaitan langsung dengan efek hipnotiknya. Di Indonesia fenobarbital ternyata masih digunakan, walaupun di luar negeri obat ini mulai banyak ditinggalkan. Fenitoin (difenilhidantoin), sampai saat ini masih tetap merupakan obat utama antiepilepsi. Di samping itu karbamazepin yang relatif baru makin banyak digunakan, karena dibandingkan dengan fenobarbital pengaruhnya terhadap perubahan tingkah laku maupun kemampuan kognitig lebih kecil. (1) Obat antiepilepsi terdiri atas beberapa golongan antara lain: (1) golongan hidantoin, (2) golongan barbiturat, (3) golongan oksazolidindion, (4) golongan suksinimid, (5) karbamazepin, (6) golongan benzodiazepin, (7) asam valproat, (8) antiepilepsi lain seperti: fenasemid dan penghambat karbonik anhidrase. (1) Obat antiepilepsi golongan hidantoin dikenal tiga senyawa antikonvulsi yaitu: fenitoin (difenilhidantion), mefenitoin dan etotoin. Fenitoin merupakan prototipe dari golongan ini. Pada paper ini hanya akan dibahas mengenai mengenai fenitoin. (1) MEKANISME KERJA ANTIEPILEPSI Terdapat 2 mekanisme antikonvulsi yang penting, yaitu: (1) dengan mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam fokus epilepsi, (2) dengan mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi. Bagian terbesar antiepilepsi yang dikenal termasuk dalam golongan terakhir ini. Mekanisme kerja antiepilepsi hanya sedikit yang dimengerti secara baik. Berbagai obat antiepilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologik otak, terutama yang mempengaruhi sistem inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme kerja berbagai antiepilepsi. (1,2) FENITOIN Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali bangkitan lena. Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada atom C5 penting untuk efek pengendalian bangkitan tonik-klonik; sedangkan gugus alkil bertalian dengan efek sedasi, sifat yang terdapat pada mefenition dan barbiturat, tetapi tidak pada fenitoin. Adanya gugus metil pada atom N3 akan mengubah spektrum aktivitas misalnya mefenitoin, dan hasil N demetilasi oleh enzim mikrosom hati menghasilkan metabolit tidak aktif. Fenitoin berefek antikonvulsan tanpa menyebabkan depresi umum susunan saraf pusat. Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal menimbulkan rigiditas deserebrasi. Sifat antikonvulsan fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel sistem konduksi di jantung. Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran sel; dalam hal ini, khususnya dengan menggiatkan pompa Na+ neuron. Bangkitan tonik-klonik dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih

secara sempurna. Gejala aura sensorik dan gejala prodromal lainnya tidak dapat dihilangkan secara sempurna oleh fenitoin. (1,2,3,4)

FARMAKOKINETIK Absorpsi fenitoin yang diberikan per oral berlangsung lambat, sesekali tidak lengkap; 10% dari dosis oral diekskresikan bersama tinja dalam bentuk utuh. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 3 12 jam. Bila dosis muatan (loading dose) perlu diberikan, 600 800 mg, dalam dosis terbagi 8 12 jam, kadar efektif plasma akan tercapai dalam waktu 24 jam. Pemberian fenitoin secara IM, menyebabkan fenitoin mengendap di tempat suntikan kira-kira 5 hari, dan absorpsi berlangsung lambat. Fenitoin didistribusi ke berbagai jaringan tubuh dalam kadar yang berbedabeda. Setelah suntikan IV, kadar yang terdapat dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak lebih rendah daripada kadar di dalam hati, ginjal dan kelenjar ludah. Pengikatan fenitoin oleh protein, terutama oleh albumin plasma kira-kira 90%. Pada orang sehat, termasuk wanita hamil dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral, fraksi bebas kira-kira 10% sedangkan pada pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit hepatorenal dan neonatus fraksi bebas rata-rata di atas 5,8 12,6 %. Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya bertahan lebih lama; tetapi mula kerja lebih lambat daripada fenobarbital. Biotramsformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati. Metabolit utamanaya ialah derivat parahidroksifenil. Biotransformasi oleh enzim mikrosom hati sudah mengalami kejenuhan pada kadar terapi, sehingga peninggian dosis akan sangat meningkatkan kadar fenitoin dalam serum secara tidak proporsional. Oksidasi pada satu gugus fenil sudah menghilangkan efek antikonvulsinya. Sebagian besar metabolit fenitoin diekskresikan bersama empedu, kemudian mengalami reabsorpsi dan biotransformasi lanjutan dan diekskresi melalui ginjal. Di ginjal, metabolit utamanya mengalami sekresi oleh tubuli, sedangkan bentuk utuhnya mengalami reabsorpsi. (1,3,4) INDIKASI Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk serangan tonik-klonik, tonik atonik dan parsial (kompleks dan sederhana) dan juga dapat untuk serangan mioklonik. Obat ini merupakan kontra indikasi untuk serangan umum lena, tetapi kadang-kadang bermanfaat untuk mengobati serangan lena atipik. Obat ini dapat digunakan untuk mengobati epilepsi oleh berbagai etiologi dan pada berbagai umur, tetapi barangkali sebaiknya dihindarkan sebagai obat pilihan pertama pada wanita muda karena alasan efek samping kosmetik dan teratogenisitas. Ada sejumlah bukti yang menarik bahwa obat ini terutama bermanfaat untuk epilepsi simthomatik. Fenitoin merupakan obat yang sulit digunakan karena kadar dosis serum yang non linier dan indeks terapinya yang sempit; pengukuran kadar serum obat perlu dilakukan pada banyak pasien. (1,2,3,4) Banyak ahli penyakit saraf di Indonesia lebih menyukai penggunaan fenobarbital karena fenitoin memiliki batas keamanan yang sempit; efek samping dan efek toksik, sekalipun ringan, sifatnya cukup mengganggu terutama pada anak. Fenitoin juga bermanfaat terhadap bangkitan parsial kompleks. Indikasi lain fenitoin ialah untuk neuralgia trigeminal, dan aritmia jantung. Fenitoin juga digunakan pada terapi renjatan listrik (ECT), untuk menringankan

konvulsinya, dan bermanfaat pula terhadap kelainan ekstrapiramidal iatrogenik. (1,2,3,4) DOSIS DAN DOSIS AWAL Pada sebagian besar pasien dewasa, fenitoin dapat diberikan sekali sehari dan biasanya paling baik pada malam hari. Pada sejumlah pasien terutama pada dosis tinggi, dianjurkan pemberian 2 kali sehari. Untuk anak sebaiknya diberikan 2 kali sehari. Dosis awal obat ini dapat dimulai dengan 200 mg malam hari dan dinaikkan sebanyak 20 100 mg setiap minggu. (2) DOSIS RUMAT Dosis rumat biasanya berkisar antara 200 400 mg sehari untuk pasien dewasa dan antara 5 8 mg/kgBB untuk anak, walaupun dosis yang lebih tinggi dan lebih rendah diperlukan bagi beberapa pasien. Pengukuran kadar fenitoin serum penting untuk memantau dosis, karena adanya variasi intra-individual yang cukup besar, terlebih karena penambahan dosis kecil kadang-kadang menyebabkan perubahan besar pada kadar obat dalam serum yang tak terduga. (2) INTERAKSI OBAT Kadar fenitoin dalam plasma akan meninggi bila diberikan bersama kloramfenikol, disulfiram, INH, simetidin, dikumarol, dan beberapa sulfonamide tertentu , karena obat-obat tersebut menghambat biotransformasi fenitoin. Sedangkan sulfisoksazol, fenilbutazon, salisilat dan asam valproat akan mempengaruhi ikatan protein plasma fenitoin sehingga meninggikan juga kadarnya dalam plasma. Teofilin menurunkan kadar fenitoin bila diberikan bersamaan, diduga karena teofilin meningkatkan biotransformasi fenitoin juga mengurangi absorpsinya. Fenitoin juga dapt merangsang katabolisme warfarin dan kontrasepsi oral estrogen dosis rendah yang menyebabkan gagalnya kontrasepsi. (2,3,4) EFEK SAMPING Fenitoin sebagai obat epilepsi dapat menimbulkan keracunan, sekalipun relatif paling aman dari kelompoknya. Gejala keracunan ringan biasanya mempengaruhi susunan saraf pusat, saluran cerna, gusi dan kulit; sedangkan yang lebih berat mempengaruhi kulit, hati dan sumsum tulang. Hirsutisme jarang terjadi, tetapi bagi wanita mida hal ini dapat sangat mengganggu. (1,2,3,4) Susunan Saraf Pusat Efek samping fenitoin tersering adalah diplopia, ataksia, vertigo, nistagmus, sukar berbicara (slurred speech) disertai gejala lain, misalnya tremor, gugup, kantuk, rasa lelah, gangguan mental yang sifatnya berat, ilusi, halusinasi sampai psikotik. Defisiensi folat yang cukup lama merupakan faktor yang turut berperan dalam terjadinya gangguan mental. Efek samping susunan saraf pusat lebih sering terjadi dengan dosis melebihi 0,5 gram sehari. (1,2,3,4) Saluran Cerna dan Gusi Nyeri ulu hati, anoreksia, mual dan muntah, terjadi karena fenitoin bersifat alkali. Pemberian sesudah makan atau dalam dosis terbag, dapat mencegah atau mengurangi gangguan saluran cerna. Proliferasi epitel dan jaringan ikat gusi dapat terjadi pada penggunaan kronik, dan menyebabkan hiperplsia pada 20 % pasien. Edema gusi mudah terjadi gingivitis, terutama bila kebersihan mulut tidak terjaga.

Pengobatan tidak perlu dihentikan pada gangguan gusi; dapat diringankan bila kebersihan mulut dipelihara. (1,2,3,4) Kulit Efek samping pada kulit terjadi pada 2 5 % pasien, lebih sering pada anak dan remaja yaitu berupa ruam morbiliform. Beberapa kasus diantaranya biasanya disertai hiperpireksia, eosinofilia, dan limfadenopati. Eritema multiform hemoragik sifatnya lebih berat dan dapat fatal, karena itu bila terjadi ruam pada kulit sebaiknya pemberian obat dihentikan, dan diteruskan kembali dengan berhati-hati bila kelainan kulit telah hilang. Pada wanita muda, pengobatan fenitoin secara kronik menyebabkan keratosis dan hirsutisme, karena meningkatkan aktivitas korteks suprarenalis. (1,2,3,4) DAFTAR RUJUKAN Utama H., Gan VHS., Sunaryo. Anti Konvulsan. Dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Penerbit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1995: 163 74. Shorvon SD. Epilepsi. Dalam: Epilepsi Untuk Dokter Umum. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 1 32. Prof. Dr. I. Gusti Ng. Gd. Ngoerah. Epilepsi. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. 1990: 179 86. Http://www.yahoo.id/search/cache?/epilepsi/anti_konvulsan/fenitoin.html.

Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsi (ILAE) dan International Bureau for Epilepsi (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak. Karbamazepin merupakan senyawa trisiklik yang mirip imipramin yang dapat bekerja sebagai antikonvulsif juga berkhasiat antidepresif dan antidiuretik, mungkin berdasarkan peningkatan sekresi di hipofisa atau penghambatan perombakannya. Uraian Penyakit Epilepsi menyatakan suatu serangan berulang secara periodik dengan atau tanpa kejang yang timbul spontan dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang (2). Kejang disebabkan oleh banyak faktor, faktor tersebut meliputi penyakit serebrovaskuler (stroke iskemik atau stroke hemoragi), gangguan neurodegeneratif, tumor, trauma kepala, gangguan metabolik, dan infeksi SSP (sistem saraf pusat). Beberapa faktor lainnya adalah gangguan tidur, stimulasi sensori atau emosi (stres) akan memicu terjadinya kejang. Perubahan hormon, seperti menstruasi, puberitas, atau kehamilan dapat meningkatkan frekuensi terjadinya kejang. Penggunaan obatobat yang menginduksi terjadinya kejang seperti teofilin, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan (terutama maprotilin atau bupropion), dan kebiasaan minum alkohol dapat meningkatkan resiko kejang (1). Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter eksitatori dan inhibitori. Defisiensi neurotransmiter inhibitori seperti Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter eksitatori seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak normal. Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu, glutamat, aspartat, asetil kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida, sitokin dan hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat neuron) yaitu, dopamin dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi ATPase yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidakstabilan membran neuron (1). Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu pembukaan kanal Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca2+, sehingga ion-ion Na+ dan Ca2+ banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi pengurangan perbedaan polaritas pada membran sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam penerusan potensial aksi sepanjang sel syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan glutamat pada pasien epilepsi menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan memicu aktivitas sel-

sel syaraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara memblokade atau menghambat reseptor AMPA (alpha amino 3 Hidroksi 5 Methylosoxazole- 4-propionic acid) dan menghambat reseptor NMDA (N-methil D-aspartat). Interaksi antara glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-ion Na+ dan Ca2+ yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi. Namun felbamat (antagonis NMDA) dan topiramat (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan dengan reseptor glutamat, sehingga glutamat tidak bisa berikatan dengan reseptornya. Efek dari kerja kedua obat ini adalah menghambat penerusan potensial aksi dan menghambat aktivitas sel-sel syaraf yang teraktivasi. Patofisiologi epilepsi meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini yang menyebabkan instabilitas pada sel-sel syaraf tersebut (1). Mekanisme dasar bangkitan parsial meliputi dua fase, yakni (2): Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial aksi frekuensi tinggi yang melibatkan peranan kanal ion Ca++ dan Na+ serata hiperpolarisasi / hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor GABA atau kanal ion K+. Fase propagasi Dalam keadaan normal, penyebaran depolarisasi akan dihambat oleh neuron neuron inhibisi di sekitarnya yang mengadakan hiperpolarisasi. Namun pada fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang mendepolarisasi neuron di sekitarnya), akumulasi Ca++ pada ujung akhir pre sinaps (meningkatkan pelepasan neurotransmitter), serta menginduksi reseptor eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca++ sehingga tidak terjadi inhibisi oleh neuron neuron di sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsi umum / epilepsi sekunder. Klasifikasi bangkitan epilepsi (2): 1. Bangkitan umum primer, terdiri dari : a. Bangkitan umum tonik-klonik (grand mal) Merupakan jenis bangkitan yang paling dramatis, terjadi pada 10 % populasi epilepsi. Terdiri atas 3 fase yaitu fase tonik, fase klonik dan fase pasca kejang. Bila kejang diawali fase tonik adalah kontraksi kuat dan kaku otot lengan dan tungkai. Lalu diikuti fase klonik yaitu kontraksi dan relaksasi ritmik otot, menyebabkan hilangnya kesadaran.kebingungan dan kelelahan. b. Bangkitan lena (petit mal/absence) Bangkitan lena terjadi secara mendadak dan juga hilang secara mendadak (10 45 detik). Manifestasi klinik : berupa kesadaran menurun sementara, namun kendali atas tubuh masih baik (pasien tidak jatuh), biasanya disertai automatisme (gerakangerakan berulang), mata berkedip kedip cepat selama 3 5 detik c. Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences) Manifestasi klinisnya berupa perubahan postural terjadi lebih lambat dan lebih lama, biasanya disertai retardasi mental

Bangkitan tonik Bangkitan atonik

Bangkitan klonik dan mioklonik, berupa kontraksi otot sebagian/ seluruh tubuh yang terjadi secara cepat dan mendadak. Miklonik dapat dilihat dari berbagai jenis bangkitan seperti : bangkitan umum tonik klonik, bangkitan parsial, bangkitan umum tipe absences dan spasme infantil Bangkitan infantile (spasme infantile), terjadi pada usia 4 8 bulan. Manifestasi klinisnya berupa kontraksi leher, batang tubuh. 2. Bangkitan parsial, terdiri dari : a. Bangkitan parsial sederhana. Penyebaran cetusan listrik yang abnormal minimal menyebabkan pasien masih sadar. Dapat menyebabkan gejalagejala motorik, sensorik, otonom dan psikis tergantung korteks serebri yang aktivasi, namun kesadaran tidak terganggu b. Bangkitan parsial kompleks (epilepsi lobus temporalis). Penyebaran cetusan listrik yang abnormal yang lebih banyak menyebabkan pasien kehilangan kesadaran. Biasanya terjadi di lobus temporal karena lobus ini rentan terhadap hipoksia / infeksi c. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum. Biasanya terjadi pada bangkitan parsial sederhana 3. Bangkitan lain (tidak termasuk gol 1 dan 2) Kejang demam neonatus, merupakan kejang demam pada anak usia 6 bulan 5 tahun tanpa disertai kelainan neurologis, bersifat umum dan singkat (< 15 menit), terjadi bersamaan dengan demam, hanya terjadi 1 kali dalam 24 jam. Anak anak dengan infeksi susunan saraf pusat atau kejang tanpa demam sebelumnya tidak dapat disebut kejang demam Status epileptikus, merupakan bangkitan yang terjadi berulang ulang. Ada beberapa jenis status epileptikus, tapi yang paling sering adalah jenis status epileptikus umum, tomik klonik (grand mal). Dapat disebabkan oleh penghentian terapi secara mendadak, terapi yang tidak memadai, penyakit penyakit dalam otak ( ensefalitis, tumor dalam otak, kelainan serebrovaskular), keracunan alcohol, kehamilan. Klasifikasi kerja obat antiepilepsi (2) Pada prinsipnya, obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi dan penyebaran kejang. Namun, umumnya obat antiepilepsi lebih cenderung bersifat membatasi proses penyebaran kejang daripada mencegah proses inisiasi. Dengan demikian secara umum ada dua mekanisme kerja obat antiepilepsi yaitu peningkatan inhibisi ( GABA ergik) dan penurunan eksitasitasi yang kemudian memodifikasi konduksi ion Na+ , Ca2+ , K+ , dan Cl- atau aktivasi neurotransmitter, meliputi :

Inhibisi kanal Na+ pada membran sel akson. Contoh obat : fenitoin dan karbamazepin ( pada dosis terapi ), fenobarbital dan asam valproat ( dosis tinggi), lamotrigin, topiramat, zonisamid Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron thalamus (yang berperan sebagai pace maker untuk membangkitkan cetusan listrik umum di korteks ). Contoh ; etosuksimid, asam valproat dan clonazepam Peningkatan inhibisi GABA. Langsung pada kompleks GABA dan kompleks Cl-, contoh : benzodiazepine, barbiturat. Menghambat degradasi GABA, yaitu dengan menghambat reuptake dan metabolisme GABA. Contoh : tiagabin, vigabatrin, asam valproat, gabapentin Penurunan eksitasi glutamate, yakni melalui : Blok reseptor NMDA, misalnya lamotrigin

Blok reseptor AMPA, misalnya fenobarbital, topiramatTipe SeizureCiri-ciri Obat antiseizure konvensional Obat antiseizure yang baru dikembangkan SEIZURE PARSIAL Parsial sederhana Parsial kompleks Partial yang disertai seizure tonik klonik menyeluruh sekunder

SEIZURE MENYELURUH absence seizure Seizure Myoclonic Seizure tonik klonik Bermacam-macam manifestasi yang ditentukan oleh daerah korteks yang diaktivasi oleh seizure (sebagai contoh, jika korteks motorik mencerminkan ibu jari tangan kiri maka dihasilkan gerakan tiba-tiba klonik ibu jari tangan kiri, jika korteks somato sensori mencerminkan ibu jari tangan kiri maka terjadi paresthesia ibu jari tangan kiri), yang berlangsung sekitar 20-60 detik. Ciri kunci adalah bertahannya kesadaran. Gangguan kesadaran berlangsung, selama 30 detik sampai 2 menit, sering disertai dengan gerakan tanpa arti seperti mengecupkan bibir seperti atau memijitkan tangan Seizure parsial sederhana atau kompleks berkembang menjadi seizure tonik-klonik disertai dengan penghilangan kesadaran dan kontraksi (tonik) otot terus menerus di

seluruh tubuh diikuti dengan periode kontraksi otot bergantian dengan periode relaksasi (klonik), biasanya berlangsung 1-2 menit. Onset gangguan kesadaran muncul tiba-tiba disertai dengan mata membelalak dan aktivitas yang sedang berlangsung terhenti, biasanhya berlangsung kurang dari 30 detik. Kontraksi otot singkat (barangkali 1 detik) yang mirip syok yang dapat terbatas pada bagian dari 1 anggota gerak atau kemungkinan menyeluruh Seperti dijelaskan di atas untuk seizure parsial yang disertai seizure tonic clonic menyeluruh sekunder namun serangan ini tidak didahului dengan seizure parsial Carbamazepin, fenitoin, valproat Carbamazepin, fenitoin, valproat

Carbamazepin, fenobarbital, fenitoin, primidon, valproat Etosuksimid, valproat Valproat Carbamazepin, fenobarbital, fenitoin, primidon, valproat nevetiracetam, tiagabin, topiramat, zonisamid Gabapentin,lamotrigin,

Gabapentin,lamotrigin, nevetiracetam, tiagabin, topiramat, zonisamid Gabapentin,lamotrigin, nevetiracetam, tiagabin, topiramat, zonisamid Lamotrigin Lamotrigin, topiramat Lamotrigin, topiramat

Karbamazepin Karbamazepin (Tegretol, Crabatrol, dan lain-lain), pertama kali diizinkan di Amerika Serikat untuk penggunaan sebagai obat antiseizure pada tahun 1974. Obat ini digunakan sejak tahun 1960-an untuk penanganan neuralgia trigeminal. Sekarang obat ini dianggap sebagai obat utama untuk penanganan seizure parsial dan seizure tonik-klonik (4).

Karbamazepin secara kimia merupakan golongan anti depresan trisiklik. Senyawa ini merupakan turunan Iminostilben dengan gugus karbonil pada posisi 5, bagian struktur ini sangat penting bagi aktivitas antiseizure yang kuat. Efek Farmakologis (4) : Meskipun efek karbamazepin pada hewan dan manusia dalam banyak mirip dengan efek fenitoin, kedua obat ini berbeda dalam sejumlah hal yang kemungkinan penting. Karbamazepin diketahui menghasilkan respons terapeutik pada pasien mania-depresif, termasuk pada beberapa pasien yang tidak sembuh dengan litium karbonat, selain itu, karbamazepin mempunyai efek antidiuretik yang kadang-kadang dikaitkan dengan berkurangnya konsentrasi hormon antidiuretik (ADH) dalam plasma. Mekanisme yang menyebabkan efek karbamazepin ini tidak dipahami dengan jelas. Mekanisme Kerja (4): Seperti fenitoin, karbamazepin membatasi perangsangan berulang potensial aksi yang dipicu oleh depolarisasi terus menerus pada neuronneuron spinalis kordata atau korteks mencit yang dipertahankan secara in vitro (McLean and Macdonald, 1986). Ini tampaknya diperantarai oleh melambatnya laju pemulihan saluran Na+ yang diaktivasi tegangan dari keadaan terinaktivasi. Efek karbamazepin ini tampak jelas pada konsentrasi dalam rentang terapeutik di dalam CSS manusia. Efek karbamazepin bersifat selektif pada konsentrasi ini, karena tidak ada efek pada aktivitas spontan atau pada respons terhadap GABA atau glutamat yang diberikan secara iontoforetik. Metabolit karbamazepin, yaitu 10,11epoksikarbamazepin, juga membatasi perangsangan berulang secara terus menerus pada konsentrasi yang sesuai secara terapeutik, yang menunjukkan bahwa metabolit ini dapat berkontribusi terhadap efikasi karbamazepin sebagai antiseizure. Sifat Farmakokinetik (4) : Sifat farmakokinetik karbamazepin memiliki karakteristik yang kompleks. Sifat-sifat tersebut dipengaruhi oleh kelarutannya dalam air yang terbatas dan oleh kemampuan banyak obat antiseizure, termasuk karbamazepin sendiri, untuk meningkatkan pengubahan karbamazepine menjadi metabolit aktif oleh enzim-enzim oksidatif hati. Karbamazepin diabsorbsi dengan lambat dan tidak teratur setelah pemberian oral. Konsentrasi puncak dalam plasma biasanya teramati 4 sampai 8 jam setelah pemberian oral, tetapi dapat tertunda sampai 24 jam, terutama setelah pemberian dosis besar. Obat ini terdistribusi dengan cepat kedalam semua jaringan. Pengikatan pada protein plasma terjadi sampai sekitar 75%, dan konsentrasi dalam CSS tampaknya berhubungan dengan konsentrasi obat bebas dalam plasma. Jalur metabolisme utama pada manusia melibatkan pengubahan menjadi 10,11epoksida. Metabolit ini seaktif senyawa induknya pada berbagai hewan, dan konsentrasi metabolit ini dalam plasma dan otak dapat mencapai 50% konsentrasi karbamazepin, terutama selama pemberian bersamaan dengan fenitoin atau fenobarbital. 10,11-Epoksida dimetabolisme lebih lanjut menjadi senyawa inaktif, yang diekskresi dalam urin terutama sebagai glukoronid. Karbamazepin juga diinaktivasi melalui konjugasi dan hidroksilasi. Isoform sitokrom P450 hepatik utama yang bertanggung jawab atas biotransformasi karbamazepin adalah CYP3A. Karbamazepin menginduksi CYP2C dan CYP3A dan juga UDP-glukoronosiltransferase, dengan demikian meningkatkan metabolisme obat-obat yang di uraikan oleh enzimenzim ini. Yang sangat penting dalam hal ini adalah kontrasepsi oral yang dimetabolisme oleh CYP3A4.

Dosis (2) : Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 100 mg sehari, anak usia 6-12 tahun, 2 kali 100 mg sehari. Dosis awal 200 mg 2 kali sehari. Dosis dewasa : dosis awal 2 kali 200 mg sehari pertama. Dosis pemeliharaan berkisar antara 800-1200 mg sehari untuk dewasa atau 20-30 mg/kgBB untuk anak. Toksisitas (4) : Intoksitasi akut akibat karbamazepin menyebabkan stupor atau koma, hiperiritabilitas, konvulsi dan depresi pernapasan. Selama terapi jangka panjang, efek obat yang tidak diinginkan yang lebih sering terjadi meliputi rasa kantuk, vertigo, ataksia, diplopia, dan pandangan kabur. Frekuensi seizure dapat meningkat, terutama jika overdosis. Efek merugikan lainnya meliputi mual, muntah, toksisitas hematologis parah (anemia aplastik, agranulositosis), dan reaksi hipersensivitas (dermatitis, eosinofilia, limfadenopati, splenomegali). Komplikasi terapi karbamazepin yang muncul lambat adalah retensi air, disertai dengan penurunan osmolalitas dan konsentrasi Na+ dalam plasma, terutama pada pasien lanjut usia yang menderita penyakit jantung. Toleransi berkembang terhadap efek-efek neurotoksik karbamazepin, dan dapat diminimalkan dengan meningkatkan dosis secara bertahap atau dengan pengaturan dosis pemeliharaan. Berbagai abnormalitas hati atau pankreas telah dilaporkan selama terapi dengan karbamazepin, yang paling sering terjadi adalah peningkatan sementara enzim-enzim hati dalam plasma pada 5% sampai 10% pasien. Leukopenia ringan dan sementara terjadi pada sekitar 10% pasien selama awal-awal terapi dan biasanya menghilang dalam 4 bulan pertama pada penanganan, berkelanjutan, trombositopenia sementara juga telah teramati. Pada sekitar 2% pasien, leukopenia yang menetap dapat berkembang yang mengharuskan dihentikannya pemberian obat ini. Kekhawatiran awal bahwa anemia aplastis dapat merupakan komplikasi yang sering terjadi pada terapi jangka panjang dengan karbamazepin tidak terbukti. Pada kebanyakan kasus, pemberian beberapa obat atau adanya penyakit lain yang mendasari mennyulitkan penetapan suatu hubungan sebab-akibat. Pada umumnya, prevalensi anemia aplastik muncul sekitar 1 dari 200.000 pasien yang ditangani dengan obat ini. Tidak jelas apakah pemantauan fungsi hematologis dapat mencegah berkembangnya anemia aplastis ireversibel. Meskipun karbamazepin bersifat karsinogenik pada tikus, tidak diketahui apakah bersifat karsinogenik pada manusia. Konsentrasi Obat dalam Plasma (4) : Tidak ada hubungan yang sederhana antara dosis karbamazepin dan konsentrasi obat ini dalam plasma. Konsentrasi terapeutik dilaporkan sebesar 6 sampai 12 g/ml, walaupun terjadi keragaman yang cukup besar. Efek samping terhadap SSP sering terjadi pada konsentrasi di atas 9 g/ml. Interaksi Obat : Fenobarbital, fenitoin dan valproat dapat meningkatkan metabolisme karbamazepin dengan menginduksi CYP3A4, karbamazepin dapat meningkatkan biotransformasi fenitoin juga pengubahan pirimidon menjadi fenobarbital. Pemberian karbamazepin dapat menurunkan konsentrasi valproat, lamotrigin, tiagabin, dan topiramat yang diberikan bersamaan. Karbamazepin menurunkan konsentrasi dalam plasma dan efek terapeutik haloperidol. Metabolisme karbamazepin kemungkinan dihambat oleh propoksifen, eritromisin, simetidin, fluoksetin dan isoniazid (4).

Karbamazepin dapat berinteraksi dengan cara mempengaruhi metabolisme beberapa obat (3). Analgetik : dekstropropoksifen menaikkan kadar karbamazepin, khasiat tramadol diturunkan oleh karbamazepin Antibakteri : metabolisme doksisiklin dipercepat (mengurangi efek), kadar plasma karbamazepin ditingkatkan oleh klaritromisin, eritromisin dan isoniazid Antikoagulan : metabolisme nikumalon dan warfarin dipercepat (mengurangi efek antikoagulan) Antipsikosis : antagonisme efek antikonvulsan (ambang kejang menurun), metabolisme haloperidol, olansapin, dan sertidol dipercepat (menurunkan kadar plasma). Antagonis kalsium : diltiazem dan verapamil menaikkan efek karbamazepin Kortikosteroid : metabolisme dipercepat

Penggunaan Terapeutik (4) : Karbamazepin berguna bagi penderita seizure tonikklonik menyeluruh dan seizure parsial sederhana maupun yang kompleks. Ketika obat ini digunakan, fungsi ginjal dan hati serta parameter hematologi harus dipantau. Konseling pasien (3) Jangan menghentikan pengobatan tanpa sepengetahuan dokter, sebaiknya dokter menurunkan dosisnya secara bertahap sebelum dihentikan sama sekali Jika ada dosis yang terlewat diminum segera minum obat terlupa itu. Namun jika sudah mendekati waktu minum dosis berikutnya, cukup meminum 1 dosis obat tersebut sesuai jadwal minum obat yang seharusnya. Jangan digandakan (minum dua dosis sekaligus). Jangan meminum obat ini lebih dari dosis yang telah ditentukan, jangan meminum lebih sering dari frekuensi minum obat yang telah ditentukan, dan jangan diminum untuk jangka waktu yang lebih lama dari yang disarankan oleh dokter. Makanan dapat meningkatkan bioavailabilitas (ketersediaan hayati) obat

Karbamazepin sebaiknya diminum bersamaan dengan makanan untuk menghindari mual atau muntah

Karbamazepin merupakan obat golongan antidepresan trisiklik yang dapat digunakan untuk mengobati epilepsi jenis grand mal dan bentuk parsial dengan mekanisme kerja penghambatan kanal Na+. DAFTAR PUSTAKA Anonim, Epilepsi dan Terapi Antiepilepsi, 2009 http://gooddic.wordpress.com/2009/12/24/epilepsi-dan-terapi-antiepilepsi. Diakses tanggal 23 November 2010. FKUI, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Gaya Baru, Jakarta, 2007. Yulinah, Elin dkk, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta, 2009. Gilman, AG., Dasar Farmakologi Terapi Volume 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2008. Tjay, Tan Hoan dan Kirana R., Obat-Obat Penting Edisi 5, Penerbit PT . Elex Media Komputind

Epilepsi adalah sebuah kondisi otak yang dicirikan dengan kerentanan untuk kejang berulang (peristiwa serangan berat, dihubungkan dengan ketidaknormalan pengeluaran elektrik dari neuron pada otak). Kejang merupakan manifestasi abnormalitas kelistrikan pada otak yang menyebabkan perubahan sensorik, motorik, tingkah laku. Penyebab terjadinya kejang antara lain trauma terutama pada kepala, encephalitis (radang otak), obat, birth trauma (bayi lahir dengan cara vacuum-kena kulit kepala-trauma), penghentian obat depresan secara tiba-tiba, tumor, demam tinggi, hipoglikemia, asidosis, alkalosis, hipokalsemia, idiopatik. Sebagian kecil disebabkan oleh penyakit menurun. Kejang yang disebabkan oleh meningitis disembuhkan dengan obat anti epilepsi, walaupun mereka tidak dianggap epilepsi. Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), kejang dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok utama yaitu kejang parsial (Partial seizures) dan kejang keseluruhan (Generalized seizures). Kejang sebagian dibagi lagi menjadi kejang parsial sederhana dan kejang parsial kompleks. Sedangkan kejang keseluruhan dikelompokkan menjadi petit mal seizures (Absence seizures); atypical absences; myoclonic seizures; tonic clonic (grand mal) seizures; tonic, clonic, atonic seizures. Mekanisme terjadinya serangan epilepsi (kejang) adalah karena adanya sekelompok neuron yang mudah terangsang membentuk suatu satuan epileptik fungsional yang disebut fokus. Adanya muatan yang bersama-sama memasuki neuron-neuron tersebut menyebabkan terjadinya sinkronisasi. Sinkronisasi meupakan syarat terjadinya serangan. Jika banyak terjadi sinkronisasi (hipersinkronisasi) maka akan terjadi penyebaran rangsangan ke daerah-daerah lain di otak, akibatnya terjadi kejang.

SASARAN, TUJUAN DAN STRATEGI TERAPI Sasaran terapi pada epilepsi yaitu menstabilkan membran saraf dan mengurangi aktifitas kejang dengan meningkatkan pengeluaran atau mengurangi pemasukan ion Na+ yang melewati membran sel pada kortek selama pembangkitan impuls saraf. Tujuan terapinya yaitu membuat penderita terbebas dari serangan, khususnya serangan kejang, sedini/seawal mungkin tanpa mengganggu fungsi normal susunan saraf pusat agar penderita dapat menunaikan tugasnya tanpa adanya gangguan. Strategi terapi untuk epilepsi yaitu menggunakan terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologi bisa dengan melakukan diet, pembedahan dan vagal nerve stimulation (VNS), yaitu implantasi dari perangsang saraf vagal, makan makanan yang seimbang (kadar gula darah yang rendah dan konsumsi vitamin yang tidak mencukupi dapat menyebabkan terjadinya serangan epilepsi), istrirahat yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan serangan epilepsi, belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik nafas panjang dan teknik relaksasi lainnya. Sedangkan untuk terapi farmakologis yaitu dengan menggunakan Obat Anti Epilepsi (OAE). Pengobatan dilakukan tergantung dari jenis kejang yang dialami. Pemberian obat anti epilepsi selalu dimulai dengan dosis yang rendah, dosis obat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat dikontrol atau tejadi efek kelebihan dosis. Pada pengobatan kejang parsial atau kejang tonik-klonik rata-rata keberhasilan lebih tinggi menggunakan fenitoin, karbamazepin, dan asam valproat. Pada sebagian besar pasien dengan 1 tipe/jenis kejang, kontrol memuaskan

dapat dicapai dengan 1 obat anti epilepsi. Pengobatan dengan 2 macam obat mungkin ke depannya mengurangi frekuensi kejang, tetapi biasanya toksisitasnya lebih besar. Pengobatan dengan lebih dari 2 macam obat, hampir selalu membantu penuh kecuali kalau pasien mengalami tipe kejang yang berbeda.

OBAT PILIHAN Obat pilihannya yaitu Fenitoin. Nama generik: Phenytoin kapsul 100 mg; 300 mg. Nama dagang: Dilantin, tablet 50 mg; kapsul 100 mg; cairan injeksi 50mg/ml Ikaphen, kapsul 100 mg; injeksi 50 mg/ml. Kutoin-100, kapsul 100 mg; ampul 100 mg/2 ml Movileps, tablet 50 mg; kapsul 100 mg Phenilep , kapsul 100 mg Phenytoin Ikapharmindo, kapsul 100 mg; ampul 200 mg/2 ml Zentropil, kapsul 100 mg

Indikasi: Semua jenis epilepsi, kecuali petit mal; status epileptikus; trigeminal neuralgia jika karbamazepin tidak tepat digunakan. Kontra-indikasi: Gangguan hati, hamil, menyusui, penghentian obat mendadak; hindari pada porfitia.

Dosis:

Status epileptikus: i.v: Bayi dan anak: dosis awal 15-20 mg/kg pada dosis tunggal atau dosis terbagi; dosis pemeliharaan: awal: 5 mg/kg/hari pada 2 dosis terbagi; dosis biasa: 5 bulan-tahun: 8-10 mg/kg/hari 4-6 tahun: 7,5-9 mg/kg/hari 7-9 tahun: 7-8 mg/kg/hari 10-16 tahun: 6-7 mg/kg/hari, beberapa pasien mungkin membutuhkan setiap 8 jam. Dewasa:dosis awal:15-25 mg/kg; dosis pemeliharaan: 300 mg/hari atau 5-6 mg/kg/hari pada 3 dosis terbagi atau 1-2 dosis terbagi untuk pelepasan bertahap. Antikonvulsi: anak-anak dan dewasa: oral Dosis awal: 15-20 mg/kg; tergantung pada konsentrasi serum fenitoin dan riwayat dosis sebelumnya. Pemberian dosis awal oral pada 3 dosis terbagi diberikan setiap 24 jam untuk mengurangi efek yang tidak dinginkan pada saluran pencernaan dan meyakinkan bahwa dosis oral terabsorpsi sepenuhnya.; dosis pemeliharaan sama seperti i.v Pembedahan saraf (profilaksis): 100-200 mg pada kira-kira interval 4 jam selama pembedahan dan selama periode setelah pembedahan. Penyesuaian dosis pada kerusakan ginjal atau penyakit hepar: aman pada dosis biasanya untuk penyakit hepar ringan. Level fenitoin bebas harus dimonitor. Efek samping: Gangguan saluran cerna, pusing, nyeri kepala, tremor, insomnia, neuropati perifer, hipertrofi gingiva, ataksia, bicara tak jelas, nistagmus, penglihatan kabur, ruam, akne, hirsutisme, demam, hepatitis, lupus eritematosus, eritema multiform, efek hematologik (leukopenia,trombositopenia, agranulositosis). Resiko khusus: Hamil dan menyusui. Selama kehamilan, kadar plasma total obat antiepilepsi (terutama fenitoin) menurun, tapi kadar obat bebas dalam plasma tetap sama. Terdapat kenaikan resiko teratogenik pada penggunaan obat antiepilepsi. Karena itu perlu dilakukan pemantauan oleh spesialis terkait. Dianjurkan untuk memberi asam folat 5 mg/hari untuk mengantisipasi terjadinya kelainan neural tube. Untuk mengantisipasi terjadinya pendarahan neonatal, yang berkaitan dengan pemberian fenitoin, dapat diberi vitamin K pada ibunya. Ibu yang menyusui dapat terus mendapat obat antiepilepsi, dengan perhatian khusus.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 153-154, Depkes RI, Jakarta, Anonim, 2006, British National Formulary, edisi 52, 246-247, British Medical Association, Royal Pharmaceutical Society of Great Britain Anonim, 2007, MIMS, Volume 8, 178-181, PT Info Master, Jakarta. Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L., 2006, Drug Information Handbook, 14th Ed., 1260-1264, Lexicomp, Inc., USA Dipiro, J.T., 2005, Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach, 6th ed, 1023-1035, Mc Graw-Hill Companies, New York Tierney, L. M., Stephen J.M., Maxine A. P., 2006, Current Medical Diagnosis & Treatment, 45th ed, 980-986, Mc Graw-Hill Companies, USA

You might also like