You are on page 1of 10

Judul

: Mungkin Bukan Sekarang

Tema

: Percintaan Remaja

Kerangka karangan : Waktu lulus SD ayahku pindah tugas ke Tarakan Saat pelajaran komputer guruku memberi tugas untuk membuat akun di Facebook Aku berkenalan dengan seorang yang seumuran denganku di Facebook namun beda sekolah Kami sering bertemu dan lebih mengenal satu sama lain Aku mulai jatuh cinta padanya, hanya saja itu terlarang Dia menyatakan cintanya padaku dan akupun menjelaskan yang sebenarnya Dia pergi ke Singapura Saat aku berulang tahun ke-17, dia kembali dan sebenarnya dialah yang ku nanti :

Tujuan

Menceritakan tentang masalah percintaan remaja masa kini, dengan tujuan untuk menghibur pembaca dan untuk di ambil manfaatnya. Amanat :

Lebih baik dari awal kita jujur, walaupun itu menyakitkan. Dari pada kita terus memendamnya dan akan lebih menyakitkan lagi.

Mungkin Bukan Sekarang

Usia baru, sekolah baru, baju baru, dan teman baru. Semuanya terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Saat aku lulus SD, ayahku pindah tugas ke Tarakan. Ayahku bekerja sebagai TNI-AL. Sehingga pindah-pindah rumah merupakan suatu hal yang wajar bagi kami. Sebelumnya kami juga pernah tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Di sini aku meneruskan sekolahku di salah satu SMP yang cukup terkemuka di Tarakan, SMPN 1. Kuakui sekolahan negeri di sini beda jauh dengan yang berada di Surabaya. Rata-rata sekolah negeri di sini bangunannya bertingkat. Tidak seperti di Surabaya, di sana bangunan sekolah negeri rata-rata hampir mau runtuh dan tidak terawat. Beberapa bulan kemudian, saat pelajaran komputer kami diberi tugas untuk membuat akun, di salah satu jejaring sosial, yaitu Facebook. Sepulang dari sekolah, aku langsung menuju warnet, karena saat itu aku masih belum punya modem dan kebetulan aku juga tidak ada PR. Mbak, ada yang kosong? tanyaku kepada perempuan penjaga wanet tersebut. Nomor enam, dek, jawabnya dengan nada yang lembut. Sepertinya dia sedang sakit, wajah dan bibirnya terlihat pucat, dan suaranya melemah. Tidak seperti biasanya. Aku memang sering ke warnet sini untuk mengerjakan tugas, selain karena murah dan tempatnya nyaman, tempat ini merupakan satu-satunya warnet yang bersebelahan dengan rumahku. Lumayan untuk menghemat ongkos transportasi. Setelah itu aku langsung menncari tempat yang di maksud, dan entah kenapa yang kosong adalah yang paling ujung. Tapi ya, sudah lah. Yang penting dapat tempat. Setelah komputer menyala aku langsung membuka Mozilla dan mengetik facebook.com di address bar. Tak lama kemudian muncul sebuah halaman yang di dominasi warna putih dan biru. Owh, ini to yang namanya Facebook, pikirku sambil tertawa sendiri. Setelah melihat sebentar, aku langsung berpikir. E-mail? Apa tuh? Lapisan gigi? Masa pake ditanya lapisan gigi? Gak perlu berlama-lama, aku langsung membuka google, untuk mencari apa maksud dari E-mail. Setelah ketemu, aku hanya tertawa kecil sambil malu-malu. Ternyata ini yang namanya E-mail, hihiihiii, gumamku. Mungkin karena memang dasarnya aku anaknya mudah mengerti, jadi dengan mudah aku mengerjakan tugas tersebut. Embb.... Apa yang kurang ya? Foto udah, Info cukup lengkap, teman tinggal nunggu konfirmasi. Embb... Ya udah L, pulang aja, kataku sambil membereskan buku dan alat-alat tulisku yang tadi sengaja aku keluarkan untuk mencatat alamat E-mail dan dan sandinya.
2

Aku langsung menuju mbak-mbak penjaga warnet yang tadi. Berapa mbak? Tiga ribu aja, dek. Mbak lagi sakit ya? Kok mukanya lemes gitu? tanyaku sok kenal. Karena ini memang kali pertama aku bertemu dengannya. Biasanya yang berjaga adalah seorang cowo putih, tinggi, mancung. Pokoknya cakep lah. Dan itu termasuk salah satu alasan mengapa aku sering ke warnet sini. Iya nih, de. Lagi Flu. Loh, memangnya mas-mas yang biasa di sini kemana, mbak? sambil memberikan selembar uang lima ribuan. Dia lagi ke luar kota, de. Ibunya lagi sakit. Nih de, kembaliannya. Ohg, ya udah mbak. Makasih, kataku sambil menerima uang kembalian. Iya, de. Sama-sama, jawabnya sambil tersenyum ke arah ku. Aku pun jadi tersenyum balik padanya. Akupun bergegas pulang ke rumah. Assalamualaikum, ucapku sambil membuka pintu. Dari warnet, ma. Ada tugas. Ada tugas atau mau liat penjaga warnetnya? Hehehee.... Ngerjain tugas ma, lagi pula mas-masnya juga nggak ada, lagi keluar kota. Mang kenapa, kak? Ibunya lagi sakit katanya, ma. Ohh, ya udah. Sana mandi dah sore. Siph, ma, sambil bergegas menuju kamar, untuk membereskan tas bawaannku. ****** Keesokan harinya, saat pulang sekolah aku ke warnet lagi. Cuman ingin melihat perkembangan Facebookku. Lumayan, sekarang aku sudah punya teman, walaupun nggak banyak. Setidaknya ada. Seminggu kemudian aku merengek kepada kedua orang tuaku untuk di belikan modem, dengan alasan banyak tugas dan untuk menghemat uang untuk ke warnet. Ternyata dewi Fortuna sedang baik padaku. Malamnya aku langsung di belikan Modem. Sejak saat itu aku udah gak pernah lagi ke warnet, untuk nemuin mas-mas ganteng dan lumayan, uang tabunganku jadi semakin membaik.

Sejak adanya tugas dari guru komputerku tersebut, hampir tiap hari aku membuka akun Facebookku. Sampai suatu hari, ada seseorang yang juga sedang online, dan mengajakku chattingan. Hy. Hy juga, maklum karena aku masih polos, jadi bingung mau jawab apalagi selain itu. Boleh kenalan gak? Boleh kok, kami saling berkenalan dan sampai akhirnya kami bertukar nomor Handpone. Dia adalah teman SMS-an cowok pertama bagiku, karena memang biasanya aku nggak pernah sms-an. Apalagi sama cowok. Setelah berkenalan, ternyata namanya Muhammad Syarif Zidan. Biasanya di panggil Zidan, hanya saja, aku lebih senang memanggilnya Arif. Dia bersekolah di SMP 2 dan utungnya di Tarakan juga. Suatu hari dia sms utuk ngajakin aku ketemuan. Penasaran sih memang sama muka cowok satu nih. Habis foto-fotonya di Facebook anime semua, kecuali 1 foto, itu pun fotonya pas lagi bareng ma teman-temannya, jadi gak begitu jelas. Di mana bagusnya? Aku nda tau tempat yang bagus. Maklum aku kan orang baru di Tarakan. Di Panglima Batur aja, aku senang jongging di situ. Hah? Jauhnya. Dari Markoni ke Panglima Batur, gayaku sok tau, padahal aku sendiri nggak begitu tahu Markoni itu dimana. Aku baru beberapa bulan di sini. Hahahahhaa.. kamu nih memang sok tau, ya. Markoni tu dekat aja. Panglima Batur tuh juga termasuk Markoni tau. Ehg? Masa sih? Kok bisa begitu? Kenapa aku baru tau? protesku nggak mau di salahkan Makannya sering jalan donk. Heehehe, iy deh. Udah lah ya, aku dah kena omel mama ku. Dah malam, di suruh tidur. Siph, deh. Jangan lupa besok. Assalamualaikum. Waalaikumsalam, pesan terakhirku sambil mematikan lampu kamar. Karena kalau lampu kamar nggak mati, aku nggak bakal bisa tidur-tidur. ****** Kriinnggg.... Kriinngggg .....
4

Alarm jamku berdering, jam mungil ini aku dapat dari teman-temanku di Surabaya dulu, sebelum aku pindah kesini. Ternyata jam ini sangat bermanfaat bagiku. Aku langsung bergegas wudu dan kemudian sholah Subuh. Setelah itu aku izin mama ku untuk jongging di Panglima Batur. Ma, kakak mau jongging, ya? Di mana, kak? jawab mama ku sambil sedikit membuka kelopak matanya. Di Panglima Batur, ma. Owh, ya udah hati-hati, kata mama ku sambil kembali terlelap tidur. Itu merupakan kebiasaan keluargaku, setiap habis sholat Subuh di hari Minggu, pasti kembali tidur. Dan bangun pada pada pukul 8 untuk jalan-jalan. ****** Setelah bertemu, aku kaget. Ternyata dia tidak seburuk yang aku pikirkan. Ternyata dia lebih tinggi sedikit dariku, putih, dan manis. Mukanya tembem, hal itu membuatnya terlihat begitu imut. Dia pun mengajak ku berlari mengelilingi panglima batur, baru setengah putaran saja aku langsung capek. Akhirnya aku hanya berjalan kaki sampai di lapangan dan kemudian beristirahat. Sedangkan dia terus berlari. Dia memang seorang atlet lari. Jadi pantas saja kalau dia kuat lari. Setelah dua putaran dia menyusulku dan langsung duduk di sampingku sambil membawa dua botol minuman mineral yang entah dia beli dimana. Nih, minum. Baru setengah putaran aja udah kayak mau mati gitu, ledeknya sambil memberikan salah satu minuman mineral tersebut. Aku kan bukan atlet kayak kamu tau, ucapku sebal sambil menerima minuman mineral darinya. Kami pun terus mengobrol sampai jarum menunjukkan pukul 7, diapun mengantarku pulang dengan mengerndarai motornya, hanya saja sebelum kami pulang dia mengajakku berkeliling untuk melihat rumahnya. Dan sejak saat itu aku tahu, dimana sebenarnya Markoni itu. Rumahnya memang tidak terlalu besar, hanya saja itu cukup besar untuk dua orang. Dia di Tarakan hanya bersama pembantunya saja. Kedua orang tuanya bekerja di Makassar. Sesampainya di rumah aku langsung istirahat, walaupun aku sama sekali tidak capek. Sejak saat itu aku jadi lebih sering bertemu dengannya dan mengenal banyak tentangnya. Dia adalah anak tunggal, sebenarnya dia memiliki seorang kakak, hanya saja kakaknya meninggal saat berusia 10 tahun karena kecelakaan. Kak, ayo jalan. Ehg? Baru juga aku istirahat 5 menit. Iya, ma. Bentar. Mau mandi dulu.
5

Cepetan. Lama. Tinggal. Ehg, iya, ma. Tunggu, aku pun langsung bergegas untuk mandi. ****** Dua tahun berlalu. Siang-siang aku termenung di bawah pohon favoritku di Tarakan. Ini adalah tempatku untuk menggalau ria, bermalas-malasan. Bahkan tak jarang aku tertidur di situ. Untung saja tempatnya jauh dari keramaian. Sehingga tak ada yang melihatku. Ku rebahkan tubuhku di atas rumput nan hijau, sambil menatap dedaunan lebat di atas ku. Aku begitu merasa nyaman dengannya. Dia orangnya lucu dan selalu bisa membuatku tersenyum. Dia selalu ada saat ku butuhkan dan aku selalu berusaha ada disaat dia membutuhkanku. Hanya saja ini membuatku tak tenang, aku takut untuk bersamanya. Aku nggak mau ini berlanjut. Aku mau ini di hentikan. Aku nggak mau ada yang tersakiti. Aku nggak mau menyakiti. Tak terasa, air mata menetes di pipi ku. Doorr. Arif mengagetkanku Aku langsung terbangun dan mengusap air mataku. Untung saja dia tidak sempat melihat air mataku. Karena dia sibuk dengan handphonenya yang sedang berdering. Lagi di rumah teman, ma. Ntar aja nelponnya. Zidan lagi kerja kelompok nih, ma. Bye-bye mama. Assalamualaikum. Dasar tukang boong. Aw? Aku bohong apa sayang? Ehg.. Ehg.. Ehg.. Seenaknya aja kamu manggil aku sayang. Nggak boleh tau. Dosa. Dosa gimana? Mang aku bakalan masuk neraka ya? Iya mungkin. Ngapain ke sini. Ganggu orang tidur aja. Hehehe, habis feelingku kamu ada di sini. Ehg, ternyata beneran kamu ada di sini. Halah boong, pasti karena lagi galau kan? Hahahaha, pinter deh kamu, katanya sambil mencubit hidungku. Kami pun terus-terusan mengobrol, bercerita, dan bercanda. Matahari sudah di ujung barat. Hari sudah senja. Tanpa ku sadari, mama ku telah menelponku sampai 5 kali. Drrttt... Drrttt.. Handphoneku kembali bergetar. Halo ma, Assalamualaikum. Maaf, ma tadi kakak ketiduran di tempat biasa. Waalaikumsalam, owh ya udah. Kuncinya ada di sepatu. Hati-hati. Pulang sana. Dah sore. Mama sama ayah lagi jalan. Hati-hati di rumah. Assalamualaikum.
6

Iya, ma. Waalaikumsalam. Hahahaha, kamu juga tukang boong, kan kamu gak tidur. Dasar Rona. Dah lah, yuk. Mau pulang. Dah Maghrib. Kami pun akhirnya pulang. Sampai di rumah aku langsung menyiapkan bathupku. Aku lagi pengen menggalau. Setelah semuanya siap, aku langsung nyemplung gitu aja ke bathup. Tiba-tiba aku air mataku kembali menetes, namun kali ini aku menangis sejadijadinya. Air mataku mengalir dengan begitu derasnya. Aku nggak peduli apabila ada yang mendengarnya. Toh aku di rumah sendirian. Aku kembali memikirkan masalah tadi siang. ****** Beberapa hari kemudian dia mengajakku bertemu kembali, hanya saja kali ini dia mengajakku jalan melalui telepon, biasanya dia hanya mengucapkannya melalui sms. Halo, Rona? Ehg? Iya, Rip? Ada apa? Tumben nelpon? Bisa ketemuan nggak? Lho? Mang ada apa? Tumben banget? Ada sesuatu yang pengen aku kasih tau ke kamu, penting. Mang nda bisa lewat sms atau telepon aja, ya? Nggak bisa. Harus ketemuan pokoknya. Embb.. Iya deh. Kapan? Sekarang. Hah? Secepat itu? Gak bisa besok tau lusa apa? Gak bisa, harus sekarang. Iya, iya. Dimana? Tunggu aja di rumah, ntar aku jemput. Okeh deh. Cepat, aku dah depan rumah! Hah? Cepatnya? Ntar mau ganti baju dulu. Aku pun langsung menutup telepon dan bergegas untuk ganti baju.

Dasar cowo gila. Kenapa gak bilang-bilang kalo mau datang, gumamku sambil mengganti baju. Maa... Kakak jalan sebentar, ijin ku sambil berlari keluar rumah. Ihg, cewek satu nih. Lambat banget ganti bajunya. Ehg,yang salah tuh kamu, sapa suruh datang kecepatan. Mau kemana juga, rip? Ssstt.. Diem aja. Dia langsung bergegas menyalakan motornya, dan membawaku pergi jauh meninggalkan rumah, dengan tujuan yang masih belum ku ketahui. Dia terus memacu motornya melewati sebuah perkampungan yang aku sendiri tak mengetahuinya. Sampai di sebuah tempat, yang menurutku indah. Dari situ kami bisa melihat betapa padatnya Tarakan. Rumah-rumah berjajar. Wow. Kenapa, Ron? Tau dari mana ada tempat kayak gini? Hahahahhaa, kamu nih lucu ya? Kemarin waktu lagi jalan-jalan aku nyasar ke sini. Dan menurut ku tempatnya bagus. Jadi aku ajak kamu ke sini. Memang ada apa kamu ngajak aku kesini, Rip? Aku terdiam sejenak dalam diamku. Aku tak mampu menafsirkan apa maksud dari perkataan yang terlontar dari mulutnya. Sebenarnya.... Sebenarnya apa riph? Aku... Aku apa? Cowok? Ikh.... Bukan gitu, Ron. Jadi apa lah? Lama betul. Jadi laper tau! Sebenarnya, aku sudah dari dulu suka kamu, Ron. Aku hanya bisa terdiam menahan air yang mengalir lembut di pipiku. Rasa takut dan ragu kembali membelenggu dalam hati. Ia sosok lelaki yang aku cintai, kini mengungkapkan cintanya. Aku takut karena aku tak mau persahabatan ini menjadi cinta.

Jika persahabatan ini menjadi cinta, maka aku akan memasuki ruang yang berbeda. Ruang yang mungkin akan membuatku jatuh, luka dan tersakiti. Aku bukannya takut jatuh cinta, namun aku takut terjebak didalamnya. Maaf, aku nggak bisa menerima kamu, Rip. Aku nggak mau menyakiti siapapun. maaf kalau misalnya aku baru mengatakannya sekarang. Kenapa? Ada apa, ron? Maaf soal apa? Aku nggak ngerti. Sebenarnya, aku sudah bertunangan, Rip. Hah? Kapan? Sama siapa, Ron? Aku juga nggak tau, Rip. Aku bahkan belum pernah bertemu orang tersebut hingga sekarang. Maaf, Rip. Maaf aku baru memberitahumu sekarang, air mata terus mengalir tiada hentinya. Kami berdua hanya bisa terdiam. Hening. Hanya suara isak tangisanku yang terdengar. Berjam-jam kami termenung. Akhirnya dia memulai pembicaraan. Dah, sore. Ayo, pulang. Emb, iya. Di perjalanan pun kami hanya terdiam, tak ada sepatah katapun yang terucap. Sampai di depan rumah pun, dia tetap tak mengucapkan sepatah kata pun padaku. Dia langsung pergi maninggalkanku sendiri di depan rumah. ****** Di hari ualng tahunku ke-17, orang tuaku sengaja membuatkanku sebuah pesta di hari spesialku ini. Semua teman-temanku ku undang. Namun tetap saja terasa sepi. Tanpa dirnya semua terasa hampa. Aku ingin dirinya di sini. Di hadapanku. Mengucapkan selamat ulng tahun. Namun itu mustahil. Semenjak kami lulus SMP, dia pindah ke Singapura. Dan setelah itu kami sudah tidak pernah berhubungan lagi. Seperti biasa, sebelum meniup lilin kita harus mengucapkan sebuah harapan. Harapan ku cuman satu, yaitu dirimu. Aku berharap kamu di sini, di hadapanku, menemaniku. Dan jangan pergi lagi, ucapku dalam hati Tak terasa air mataku menetes perlahan. Aku benar-benar rindu padanya. Udah donk, jangan nangis mulu. Lilinnya dah mati kok. Suara itu, sepertinya aku kenal. Aku tak berani membuka mataku. Aku takut ini semua hanya mimpi. Happy Birthday.
9

Apa ini mimpi? Kalau ini mimpi aku tak ingin terbangun. Aku mencoba membuka mataku perlahan. Tampak sesosok lelaki tinggi, dengan pipinya yang tembem. Apa itu dia? Nih, kadonya. Aku pun menerima bungkusan kecil itu darinya. Lalu ku buka. Cincin! Aku hanya bisa terdiam bingung tak mengerti. Owh, iya mama lupa. Kak, ini lo tunangan kamu yang mama ceritain waktu itu. Maaf mama baru kasih tau sekarang. Aku hanya bisa terdiam, masih belum percaya dengan semua yang aku dengar. Apa ini sungguhan? Atau ini hanya tipuan belaka? Atau jangan-jangan dia bukan lelaki yang aku maksud? Maaf ya, Ron. Aku juga baru kasih tau kamu sekarang. Sebenarnya aku sudah tahu tentang semua ini dari awal kita ketemu. Dan maaf karena aku tidak memberitahuku tentang keberangkatanku ke Singapura. Dan kamu malah mengetahuinya dari si Tanti. Kenapa? Aku nggak tega liat kamu nangis kayak gitu. Dan mungkin inilah waktu yang tepat. Bukan. Tapi kenapa baru sekarang? Kenapa nggak ada yang ngasih tau aku tentang hal ini sejak dulu? Kamu jahat, Rip! Kan biar lebih so sweet gimana gitu, sayang. Kami pun saling berpelukan satu sama lain. Matahari kini muncul di batas malam. Setitik cahaya kini hadir begitu nyata di hadapanku. Ku yakinkan hatiku untuk merangkai beberapa bintang menjadi tahtaan yang sempurna di langit.

_SEKIAN_

10

You might also like

  • Mengapa Cinta Itu Buta
    Mengapa Cinta Itu Buta
    Document2 pages
    Mengapa Cinta Itu Buta
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Hukum Avogadro
    Hukum Avogadro
    Document17 pages
    Hukum Avogadro
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Nurul Fikrah
    Nurul Fikrah
    Document4 pages
    Nurul Fikrah
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Reka Tia Andaresta
    Reka Tia Andaresta
    Document4 pages
    Reka Tia Andaresta
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Patricia Chiaulina Kurniawan
    Patricia Chiaulina Kurniawan
    Document5 pages
    Patricia Chiaulina Kurniawan
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Maudy Angelia
    Maudy Angelia
    Document5 pages
    Maudy Angelia
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Yuli Rahmawati
    Yuli Rahmawati
    Document4 pages
    Yuli Rahmawati
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Wahyu Febrianto
    Wahyu Febrianto
    Document4 pages
    Wahyu Febrianto
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Yoga Bagas Gilang P
    Yoga Bagas Gilang P
    Document6 pages
    Yoga Bagas Gilang P
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Nur Hadijah
    Nur Hadijah
    Document4 pages
    Nur Hadijah
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Patrick W
    Patrick W
    Document5 pages
    Patrick W
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Rona Taufiqul
    Rona Taufiqul
    Document4 pages
    Rona Taufiqul
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Lufi Ditia Prabandari
    Lufi Ditia Prabandari
    Document4 pages
    Lufi Ditia Prabandari
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Her Lina
    Her Lina
    Document4 pages
    Her Lina
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Ghina Husna
    Ghina Husna
    Document4 pages
    Ghina Husna
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Florianus Hendrik
    Florianus Hendrik
    Document3 pages
    Florianus Hendrik
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Evin Cintiacerpenwan
    Evin Cintiacerpenwan
    Document4 pages
    Evin Cintiacerpenwan
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Hendry
    Hendry
    Document3 pages
    Hendry
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Endah Dwi S
    Endah Dwi S
    Document3 pages
    Endah Dwi S
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Eko Kuswanto
    Eko Kuswanto
    Document4 pages
    Eko Kuswanto
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Andi Irwanzyah
    Andi Irwanzyah
    Document2 pages
    Andi Irwanzyah
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Diana Euis Andani
    Diana Euis Andani
    Document5 pages
    Diana Euis Andani
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Hukum Membunuh Menurut Islam
    Hukum Membunuh Menurut Islam
    Document13 pages
    Hukum Membunuh Menurut Islam
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Citra Handayani
    Citra Handayani
    Document3 pages
    Citra Handayani
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Ananda Amalia Ahmad
    Ananda Amalia Ahmad
    Document3 pages
    Ananda Amalia Ahmad
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Adab Makan
    Adab Makan
    Document8 pages
    Adab Makan
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Angelia Monica
    Angelia Monica
    Document5 pages
    Angelia Monica
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Mengapa Cinta Itu Buta
    Mengapa Cinta Itu Buta
    Document2 pages
    Mengapa Cinta Itu Buta
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet
  • Makalah Sejarah
    Makalah Sejarah
    Document13 pages
    Makalah Sejarah
    Rona Taufiqul Rachmanita
    No ratings yet