You are on page 1of 58

PENDUGAAN MARAK ALGE MENGGUNAKAN CITRA SATELIT DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

ENDA

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

PENDUGAAN MARAK ALGE MENGGUNAKAN CITRA SATELIT DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

ENDA

C54061741

RINGKASAN
ENDA. Pendugaan Marak Alge Menggunakan Citra Satelit Di Perairan Teluk Jakarta. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan SAM WOUTHUYZEN. Teluk Jakarta merupakan tempat bermuaranya sungai-sungai besar, seperti Sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane serta sepuluh sungai-sungai kecil yang membawa berbagai macam muatan dari daratan. Salah satu implikasi dari hal tersebut adalah terjadinya pengkayaan zat hara (eutrofikasi) yang berpotensi menyebabkan ledakan populasi alga (blooming) yang dapat berbahaya bagi organisme laut. Klorofil-a merupakan pigmen penting yang terdapat dalam sel fitoplankton untuk melakukan proses fotosintesis, sehingga untuk mengestimasi fenomena marak alge menggunakan penginderaan jauh dapat dilakukan dengan pengukuran terhadap konsentrasi klorofil-a. Selain itu fitoplankton juga memiliki respon fisiologi terhadap beberapa parameter tertentu misalnya suhu dan arus. Oleh karena itu, pola sebaran suhu dan arus dapat dijadikan sebagai data pendukung. Tujuan penelitian ini adalah menduga terjadinya fenomena marak alge berdasarkan parameter klorofil-a dan SPL yang dianalisis dari citra satelit Terra dan Aqua-MODIS. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai September 2010 bertempat di Perairan Teluk Jakarta, DKI Jakarta. Metode yang digunakan adalah pengembangan algoritma empiris dari parameter fisik perairan yaitu SPL. Algoritma empiris yang telah ada digunakan untuk memetakan konsentrasi klorofil-a dengan citra MODIS (Terra dan Aqua). Algoritma empiris yang digunakan untuk memetakan SPL merupakan persamaan regresi linear berganda, yaitu: y=1.3615*x1-0.0287*x2-2057.4033. Algoritma empiris tersebut diperoleh dari regresi nilai SPL in situ dan nilai radians dari kanal 30 dan 31 citra MODIS. Selain itu digunakan algorima estimasi klorofila untuk Teluk Jakarta yang telah dikembangkan oleh Wouthuyzen (2006) y= 250.09x3 106.92x2 + 11.781x + 0.0776 (di mana: y = konsentrasi klorofil-a; sedangkan x = kromatisiti radiansi kanal merah) digunakan untuk memetakan konsentrasi klorofil-a. SPL Teluk Jakarta pada saat pengambilan data berkisar antara 29.3 oC 31.9 oC dengan SPL dominan berkisar antara 30.5oC -30.75oC, dan klorofil-a dominan berkisar antara 2,5-5,0 mg/m3. Citra sebaran konsentrasi klorofil-a menunjukan pada bulan Juni dan Juli terdapat konsentrasi klorofil-a yang memiliki sebaran yang luas dan dikategorikan berbahaya sehubungan sistem peringatan dini marak alge. Selain itu, citra sebaran konsentrasi klorofil-a menunjukan bahwa di muara sungai umumnya memiliki konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan input nutrien dari daratan melalui sistem sungai yang kemudian menyebabkan pengkayaan unsur hara di muara sungai, sehingga mempercepat pertumbuhan fitoplankton. Fenomena marak alge di Teluk Jakarta merupakan permasalahan yang kompleks yang melibatkan berbagai parameter, sehingga diperlukan pemantauan secara menyeluruh dan berkesinambungan mengenai fenomena ini.

Hak cipta milik Enda, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

PENDUGAAN MARAK ALGE MENGGUNAKAN CITRA SATELIT DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh : ENDA C54061741

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

SKRIPSI
MARAK ALGEMENGCUNAI(AN Judul: PENDUGAAN OITRA,SATELIT Dl PERAIMN TELUKJAKARTA N a ma :E n d a NRP : C54061741

Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing ll

fr2244

\
NlP.19560512 198103 008 1

P. Dr.lr.Vincentius Siteoar. DEA NlP.19561103 198503003 1

Mengetahui, KetuaDepartemen dan Teknologi llmu Kelautan

198303 003 1

Tanggal Lulus: 4 Januari2All

KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena dengan rahmat dan karunia-Nya, Penulis mampu menyelesaikan skripsi. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Maret sampai September 2010 di Perairan Teluk Jakarta. Pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua dan seluruh keluarga atas dukungannya baik secara moril maupun materil. 2. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc selaku dosen pembimbing. 3. Dr. Ir. Jonson L. Gaol, M.Si selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T sebagai Ketua Komisi Pendidikan Departemen ITK, FPIK, IPB. 4. Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc selaku pembimbing akademik. 5. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2OLIPI) yang telah memberikan kesempatan mengikuti pengambilan data lapangan. 6. NASA Goddart Space and Flight Center yang memberikan citra MODIS. 7. Silfiani yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam penulisan skripsi ini. 8. Teman-teman ITK 43 yang selalu memberikan informasi akademik dan memotivasi penulis demi kelancaran penulisan skripsi. 9. Pihak-pihak lain yang turut membantu dalam penulisan skripsi. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Januari 2011

Enda i

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................ DAFTAR ISI ......................................................................................... DAFTAR TABEL .................................................................................. DAFTAR GAMBAR ............................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... 1. PENDAHULUAN .......................................................................... 1.1. Latar belakang ....................................................................... 1.2. Tujuan .................................................................................... 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ................................................. 2.2. Harmful Algal Blooms (HABs) ..................................................... 2.3. Klorofil-a ..................................................................................... 2.4. Suhu Perairan ......................................................................... 2.5. Citra MODIS ........................................................................... 3. METODE ........................................................................................... 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 3.2. Alat dan Bahan Penelitian ....................................................... 3.3. Metode Perolehan Data Lapangan.............................................. 3.4. Metode Pengolahan Citra Satelit ................................................. 3.4.1 Koreksi Citra ..................................................................... 3.4.2 Pembuatan Algoritma Empiris .......................................... 3.4.2 Validasi Data .................................................................... 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 4.1. Sebaran Klorofi-a ........................................................................ 4.2. Pembuatan Algoritma Empiris SPL .......................................... 4.3. Sebaran SPL Teluk Jakarta ........................................................ 4.4. Hubungan konsentrasi Klorofi-a dan SPL ................................ 4.5. Marak Alge ............................................................................. 5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 5.1. Kesimpulan ................................................................................. 5.2. Saran .......................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ LAMPIRAN.............................................................................................. DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................... i ii iii iv v 1 1 3 4 4 6 9 13 14 17 17 18 19 19 21 22 22 24 24 27 30 31 32 37 37 37 38 41 46

ii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Kriteria konsentrasi klorofil-a ................................................................ 12 2. Spesifikasi teknis satelit MODIS .......................................................... 15 3. Spesifikasi kanal-kanal citra MODIS .................................................... 16 4. Spesifikasi perolehan citra ................................................................... 18 5. Koefisien konversi nilai digital ke radiansi ............................................ 21 6. Contoh-contoh bentuk persamaan regresi ........................................... 22 7. Konsentrasi klorofil-a Teluk Jakarta ..................................................... 27 8 Algoritma pendugaan SPL. .................................................................. 28 9. Marak alge di Teluk Jakarta tahun 2004-2007 ..................................... 36

iii

DAFTAR GAMBAR
Halaman Jumlah penduduk DKI Jakarta ............................................................ 5 Lokasi terjadinya HABs ....................................................................... 8 Kurva karakteristik absorbasi klorofil-a ................................................ 10 Nilai spektral air laut jernih dan ketika marak alge .............................. 11 Peta lokasi penelitian .......................................................................... 17 Diagram alir pengolahan data klorofil-a dan suhu .............................. 20 Sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Jakarta dari bulan Juni 2009 sampai Mei 2010................................................................. 25 Perbandingan SPL in situ dan SPL hasil dugaan ................................ 29 Sebaran SPL di perairan Teluk Jakarta ............................................. 30 Plot antara konsentrasi klorofil-a dan SPL ........................................... 31 Konsentrasi klorofil-a perairan Teluk Jakarta tanggal 12, 14, dan 18 September 2010.................................................................................. 33 Pola arus permukaan di Teluk Jakarta saat pengambilan data............ 35

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

iv

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.Tabel nilai koefisien determinasi (R ) pada tiap kanal (perbandingan kanal) dan persamaan regresi ....................................... 2.Uji-t antara SPL in situ dan SPL hasil dugaan ....................................... 3.Tabel annova regresi linear berganda................................................... 4.Data lapangan SPL dan arus permukaan pada saat survei .................. 5.Foto-foto kegiatan .................................................................................
2

41 42 43 44 45

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang Teluk Jakarta merupakan tempat bermuaranya sungai-sungai besar, seperti Sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane serta sepuluh sungai kecil lainnya yang melalui kota-kota berpenduduk padat ( 20 juta orang), seperti : Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (wilayah Jabodetabek). Sungaisungai ini membawa berbagai macam muatan dari daratan dan memuntahkannya ke Teluk Jakarta. Sebagian besar bahan muatan ini adalah bahan pencemar yang dihasilkan dari berbagai macam aktifitas manusia, seperti buangan limbah rumah tangga, industri, pertanian, dan sebagainya (Sidabutar, 2008). Perez et al. (2003) in Wouthuyzen (2006) menyatakan bahan material apa pun yang masuk ke sungai dan diteruskan ke laut, tidak dapat dihindari lagi akan berpotensi mengubah lingkungan. Perubahan lingkungan ini dapat besar atau kecil, berpengaruh sementara atau selama-lamanya, menyebar luas atau sangat terlokalisasi. Jika perubahan itu dapat terdeteksi dan mengarah ke hal yang merusak, maka lingkungan tersebut telah menjadi tercemar. Salah satu implikasi dari hal tersebut adalah terjadinya pengkayaan zat hara (eutrofikasi) yang berpotesi menyebabkan ledakan populasi mikro alga (blooming) yang dapat berbahaya bagi organisme laut lainnya dan manusia. Marak alge/algal blooms adalah suatu fenomena lendakan populasi fitoplankton di suatu perairan yang dapat menyebabkan kematian biota lain (ikan dan invertebrata air lainnya). Kematian masal ikan ini terjadi akibat tingginya zat hara (eutrofikasi) yang dapat memicu pertumbuhan fitoplankton dalam jumlah besar. Peningkatan populasi fitoplankton yang sangat tinggi dan cepat akan

mengakibatkan penurunan kadar oksigen ke level yang sangat rendah (<2ml/l) yang berdampak terhadap kematian massal ikan-ikan di laut, karena alasan inilah fenomena marak alge perlu untuk dikaji agar dampak negatif yang ditimbulkannya dapat diminimalisir. Organisme yang menyebabkan terjadinya fenomena ini adalah mikro-alga yang dikenal sebagai fitoplankton, yaitu tumbuhan renik (mikroskopik) sel tunggal, hidup secara mengambang bebas di lapisan perairan cukup cahaya (euphotic) dan menjadi parameter penting dalam studi ocean color. Fitoplankton menempati urutan pertama dalam rantai makanan di perairan/laut yang mengubah energi matahari, Karbon dioksida dan nitrogen terlarut menjadi biomassa bahan organik yang selanjutnya siap digunakan oleh organisma pada tingkat trofik yang lebih tinggi. Fitoplankton memiliki pigmen (zat warna), yaitu klorofil-a yang terdapat dalam sel organisme ini, disamping klorofil-b dan c, namun klorofil-a merupakan komponen terbesar. Klorofil-a merupakan pigmen penting karena dapat mengindikasikan kelimpahan fitoplankton atau kesuburan perairan. Sifat spectral dari pigmen fitoplankton (klorofil-a) memiliki kisaran penyerapan (absorption) dan pemantulan (reflectance ) yang terbatas pada panjang gelombang sinar tampak. Berdasarkan sifat optik tersebut, maka kelimpahan fitoplankton (konsentrasi klorofill-a) dapat diukur menggunakan sebuah sensor, sehingga teknologi penginderaan jauh dapat digunakan untuk mempelajari marak alge atau melakukan pengukuran terhadap konsentrasi klorofil-a (Prasasti, et al., 2005). Selain itu, fitoplankton juga memiliki respon fisiologi terhadap beberapa parameter tertentu misalnya, suhu dan arus. Oleh karena itu, pola sebaran suhu dan arus dapat dijadikan sebagai data pendukung dalam menduga marak alge.

Penginderaan jauh merupakan teknik yang efektif dan efisien untuk mendapatkan data yang banyak (meliputi wilayah yang luas), serta dalam kurun waktu relatif singkat karena lintasannya yang berulang (efektif secara spatial dan temporal), dibandingkan dengan metoda konvensional, seperti sampling air dan analisa di laboratrium. Karena alasan inilah, maka metode ini banyak digunakan untuk menganalisis berbagai macam fenomena yang terjadi di alam, namun tidak semua parameter dapat dideteksi dengan metode ini, sehingga diperlukan beberapa pendekatan tertentu dalam mendeteksi besaran-besaran yang tidak dapat dideteksi secara langsung oleh penginderaan jauh. Data penginderaan jauh mampu menghasilkan informasi objektif dan berguna untuk memantau wilayah pesisir dan laut yang luas. Saat ini banyak jenis satelit dan sensornya yang beroperasi dan berguna untuk mendeteksi sebaran klorofil-a dan SPL, seperti SeaWiFS, NOAA-AVHRR, dan MODIS. Masing - masing citra memiliki resolusi spasial dan temporal yang berbeda beda. Citra satelit Terra-MODIS dan Aqua-MODIS pada penelitian ini digunakan untuk memetakan sebaran konsentrasi klorofil-a dan SPL menggunakan algoritma empiris yang bersifat lokal (untuk konsentrasi klorofil-a) dan dikembangkan sendiri (untuk SPL).

1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: Mengetahui terjadinya fenomena marak alge di Perairan Teluk Jakarta berdasarkan konsentrasi klorofil-a yang diduga menggunakan citra satelit Terra-MODIS dan Aqua-MODIS, dengan mengaplikasikan algoritma lokal yang telah ada. Mengembangkan algoritma/model pendugaan SPL berdasarkan citra MODIS. Melihat hubungan/korelasi antara konsentrasi klorofil-a dan SPL.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Teluk Jakarta yang terletak pada posisi bujur 106o4300 BT-106o5930 BT dan lintang 5o5615 LS-6o5530 LS merupakan perairan yang mempunyai kedalaman rata-rata 18 meter. Profil dasar perairan teluk Jakarta melandai ke arah utara menuju Laut Jawa (Muchtar, 2008). Teluk Jakarta merupakan kawasan perairan yang sangat penting, baik dipandang dari segi ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis perairan ini merupakan penopang sistem ekologi dari biota laut di Laut Jawa dan secara ekonomis merupakan lahan kehidupan ribuan masyarakat yang menggantungkan hidupnya melalui berbagai aktivitas yang dilakukan di Teluk Jakarta dan sekitarnya (Sidabutar, 2008). Implikasi dari berbagai aktivitas di perairan ini antara lain adanya limbah yang terus masuk dari daratan dengan tingkat pencemaran yang tinggi dan mengakibatkan kualitas perairan Teluk Jakarta terus menurun. Hal ini akan menyebabkan fenomena, seperti eutrofikasi (input zat hara yang sangat tinggi), meledaknya populasi fitoplankton beracun, defisiensi oksigen di dasar perairan, kematian masal ikan dan biota lainnya, pencemaran logam berat, sedimentasi, sampah, tumpahan minyak dan lainnya akan sering terjadi (Wouthuyzen, 2004 in Sidabutar, 2008). Berdasarkan hasil penelitan Hadikusumah (2008), perairan Teluk Jakarta kurang lebih 10 15 tahun yang lalu telah menunjukkan terjadinya peningkatan kadar bahan tercemar dan semakin menurunnya kualitas perairan. Berdasarkan penelitian akhir-akhir ini (Hadikusumah, 2008; Muchtar, 2008; Sidabutar, 2008), terlihat indikasi adanya tekanan ekologis yang semakin besar terhadap perairan Teluk Jakarta. Hal ini terlihat dengan semakin tingginya tingkat pencemaran

logam berat di perairan ini. Kematian berbagai jenis ikan secara mendadak akibat blooming plankton yang hampir berlangsung setiap tahun, semakin membuktikan adanya peningkatan pencemaran di Teluk Jakarta dari aspek biologi. Kondisi tersebut tidak terlepas dari parameter arus, suhu, salinitas, zat hara, produktivitas primer, plankton, polutan logam berat, limbah organik, sedimen, dan lain sebagainya. Menurut Muchtar (2008), dilihat dari senyawa kimianya, kandungan zat hara fosfat, nitrat, dan silikat di perairan Teluk Jakarta meningkat dari tahun ke tahun sejak tahun 1975. Hal tersebut seirama dengan dengan meningkatnya jumlah penduduk (Gambar 1) dan aktivitas ibu kota Jakarta berikut kota penyangganya, seperti: Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Kesuburan perairan Teluk Jakarta termasuk ke dalam kategori perairan yang subur bahkan pada beberapa area termasuk ke dalam perairan yang sangat subur (eutrofikasi), sehingga fenomena marak alge menyebabkan jumlah jenis biota di perairan ini semakin berkurang karena tingginya zat pencemar (Muchtar, 2008).

Gambar 1. Jumlah Penduduk DKI Jakarta (http://www.indonesia.go.id, 2007)

Suhu di perairan Teluk Jakarta mengalami kenaikan sejak tahun 1964 di sebelah barat dan bagian tengah sedangkan di bagian timur dan utara Teluk Jakarta mengalami penurunan (Hadikusumah, 2008). Peningkatan suhu di

sebelah barat Teluk Jakarta diakibatkan oleh dua faktor, yaitu adanya input massa air dari Sungai Kamal dan PLTU Muara Karang. Peningkatan suhu di bagian tengah Teluk Jakarta diakibatkan limbah air panas dari PLTU Priok yang menyebar ke arah barat laut dan utara. 2.2 Harmful Algal Blooms (HABs) Harmful Algal Blooms (HABs) adalah suatu fenomena blooming fitoplankton yang menghasilkan racun. Fenomena ini dapat membahayakan baik secara langsung (ikan dan kerang) maupun secara tidak langsung (manusia dan burung) karena efek racun yang dihasilkan alga tersebut (NOAA, 2010). Hasilhasil penelitian menyebutkan bahwa ledakan alga ini disebabkan karena buangan domestik yang dibawa oleh aliran air sungai yang masuk ke perairan laut yang mengakibatkan tingginya konsentrasi nutrien di suatu badan air (seperti nitrogen, fosfor dan silikat). Unsur hara yang cukup tinggi ini dapat terkonsentrasi di suatu kawasan laut yang relatif tenang misalnya teluk. Tingginya konsentrasi nutrien ini dapat memicu peningkatan populasi fitoplankton (Makmur, 2009). Peningkatan populasi fitoplankton yang sangat tinggi dan cepat akan berakibat pada beberapa hal, antara lain : (1). Kematian massal ikan-ikan di laut (akibat DO yang sangat rendah), (2). Terjadinya kontaminasi terhadap komoditas perikanan, (3). Masalah kesehatan masyarakat (keracunan), dan (4) perubahan struktur komintas ekosistem, contohnya akibat seringnya blooming fitoplankton permukaan air tertutup oleh organisme ini, sehingga penetrasi cahaya tidak sampai ke dasar yang pada akhirnya akan mengganggu ekosistem dasar (misalnya: ekosistem terumbuh karang) . Fenomena peningkatan populasi fitoplankton adalah fenomena alami, dan tidak selalu menimbulkan efek yang berbahaya. Namun, bila yang terjadi adalah peningkatan populasi fitoplankton berbahaya (seperti Pyrodinium bahamense), maka perlu diantisipasi

kemungkinan terjadinya salah satu kombinasi dari keempat hal tersebut. Menurut Pasaribu (2004) in Makmur (2009), keberadaan marak alge secara umum sebenarnya dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok penyebab, antara lain (1) organisme fitoplankton yang dapat mengeluarkan zat racun spesifik (NSP, DPS, ASP, CSP, dan PSP) sehingga mengakibatkan kematian ikan, meskipun densitas fitoplanktonnya rendah dan (2) organisme yang tidak mengeluarkan zat beracun, namun karena jumlahnya (densitas) yang sangat tinggi dapat mengakibatkan penurunan kandungan oksigen terlarut karena proses pembusukan, penyumbatan insang oleh sel-sel fitoplankton dan pengeluaran gas/uap yang mematikan (aerosol). Di Indonesia sendiri telah ada laporan mengenai terjadinya fenomena HABs di beberapa tempat (Gambar 2), walaupun kasus yang sebenarnya terjadi mungkin lebih banyak namun luput dari perhatian karena tidak dilaporkan. Salah satu jenis biota HABs yang sempat menyerang beberapa tempat di Indonesia adalah jenis Pyrodinium bahamense var. Compressum. Jenis ini bahkan sempat menimbulkan kematian manusia seperti yang terjadi di Lewotobi, NTT tahun 1983. Serangan yang mematikan dari jenis ini juga pernah terjadi di Teluk Ambon pada tahun 1994 yang mengakibatkan beberapa orang meninggal dan masuk rumah sakit setelah orang tersebut memakan kerang yang berasal dari teluk tersebut. Jenis ini juga di ketahui beberapa kali menyerang Teluk Kau di Halmahera. Jenis ini terdapat pula di Teluk Hurun, Lampung (Nontji, 2008). Menurut Nontji (2008), selain ledakan fitoplankton yang menghasilkan racun, terdapat pula ledakan fitoplankton nontoksik, misalnya Trichodesmium erythraeum yang pernah terjadi di Teluk Jakarta dan perairan Lampung. Ledakan populasi jenis ini dapat sangat hebat sehingga membuat air laut pekat berwarna kehijauan atau kecoklatan. Kematian fitoplankton ini kemudian menguras oksigen di perairan hingga mengakibatkan kematian pada berbagai biota

perairan. Kejadian semacam ini pernah menimbulkan kerugian besar pada usaha budidaya udang di Lampung tahun 1991 dengan kerugian diperkirakan sekitar US$ 1,75 juta. Selain itu, Noctiluca scintillans yang sering ditemukan blooming di perairan pantai, jenis plankton ini akan mengeluarkan amonia pada saat vakuola yang terdapat dalam sel tubuhnya pecah. Kasus kematian massal ikan, terutama ikan demersal di Teluk Jakarta untuk pertama kalinya dilaporkan oleh nelayan pada tanggal 31 Juli 1986. Beberapa sumber menduga penyebab kematian ikan tersebut adalah akibat pembuangan bahan kimia, sedangkan sumber lain menduga penyebabnya adalah marak alge atau HABs (Sutomo, 1993). Sutomo (1993) juga menambahkan, dalam periode Agustus 1992 sampai Januari 1993 telah tiga kali terjadi blooming fitoplankton. Pertama terjadi pada tanggal 19 Agustus 1992 tetapi tidak disertai warna merah (redtide) dan kematian massal udang, ke dua terjadi pada tanggal 24 Oktober sampai 8 November 1992 dan ketiga terjadi pada tanggal 5 sampai 6 Januari 1993. Kejadian ke dua dan ke tiga tersebut diikuti dengan warna merah pada perairan dan kematian massal udang.

Keterangan :

Lokasi fenomena HABs

Gambar 2. Lokasi terjadinya HABs yang telah dilaporkan kejadiannya di Indonesia (Nontji, 2008)

Ratusan kilogram ikan ditemukan mati secara mendadak di sepanjang perairan Marina sampai Pantai Karnival, Ancol pada tanggal 16 sampai 17 September 2010 (Tempo, 2010). Tercatat 10 spesies ikan yang mati secara mendadak, yaitu sembilang, barakuda, kerapu, cumi, selar, baronang, petek, serinding, belanak, dan ikan kacang-kacang (Media Indonesia, 2010). Harian Kompas tanggal 18 September 2010 memberitakan bahwa, ikan-ikan tersebut mati akibat tingginya debit air sungai yang masuk ke laut. Air sungai yang membawa banyak zat hara tersebut membuat pertumbuhan plankton meningkat, sehingga persediaan oksigen di laut sangat kritis yang menyebabkan ikan-ikan itu mati kekurangan oksigen.

2.3 Klorofil-a Pigmen fotosintesis yang selalu ada pada fitoplankton laut adalah klorofila, yang untuk proses fotosintesanya menurut Valiela, 1984 in Nuchsin, 2007 menggunakan panjang gelombang antara 400 dan 700 nm. Klorofil-a menyerap cahaya matahari sebagai sumber energi untuk fotosintesis. Dikenal ada tiga macam klorofil yaitu: klorofil-a, b dan c. Diantara ketiga macam klorofil tersebut, klorofil-a merupakan bagian terpenting dalam proses fotosintesis dan dikandung oleh semua dari jenis fitoplankton yang masih hidup di laut (Strickland, 1960 in Prasasti et al., 2005). Menurut Parson et al. (1984) in Prasasti et al. (2005), dilihat dari segi fisiologis tumbuhan (fitoplankton), spektrum cahaya terpenting untuk tumbuhan laut terdapat pada kisaran panjang gelombang 400-720 nm atau yang dikenal sebagai PAR ( Photosyntetically Available Radiation). Spektrum ini hampir sama dengan spektrum sinar tampak yakni 360-780 nm, untuk lebih jelasnya di bawah ini tampak kurva karakteristik absorbansi klorofil-a (Gambar 3). Teluk Jakarta merupakan tempat bermuaranya banyak sungai, sehingga Teluk Jakarta

10

digolongkan ke dalam tipe perairan kasus-2. Sifat optik perairan ini tidak didominasi oleh fitoplankton tetapi juga oleh zat-zat organik maupun anorganik lain yang melayang (sedimen yang melayang) di badan air (Yayla, 2004) sehingga untuk mendeteksi klorofil-a diperlukan algoritma yang kompleks dan tidak sesederhana seperti pada perairan kasus-1 (laut lepas).

Gambar 3. Kurva karakteristik absorbansi klorofil-a (Maul, 1985 in Prasasti et al., 2005)

Penyerapan maksimum klorofil-a pada kisaran panjang gelombang biru (400500 nm) dengan puncak di sekitar 440-450 nm dan pada kisaran panjang gelombang merah (600-700 nm) dengan puncak di sekitar 660-675 nm, sedangkan pemantulan maksimum oleh klorofil-a berada pada panjang gelombang hijau (500-600 nm) dengan puncak di sekitar 560-565 nm (Maul, 1985 in Prasasti et al,. 2005; Curran, 1985 in Prasasti et al., 2005). Berdasarkan sifat optik tersebut maka kelimpahan fitoplankton (konsentrasi klorofill-a) dapat diukur menggunakan sebuah sensor. Meskipun demikian, sifat optik suatu

11

lingkungan perairan sering berubah, sehingga menyebabkan pengukuran menjadi sulit. Hal ini disebabkan adanya ribuan spesies fitoplankton dengan ukuran, bentuk, dan sifat fisiologi yang dapat berubah dalam waktu dan ruang, ditambah adanya organisma mikroskopik seperti zooplankton, hetrotrofik bakteria, virus dan detritus yang dihasilkan dari degradasi organisme tersebut yang memiliki sifat spektral yang berbeda dan saling tumpang tindih dengan sifat spektral fitoplankton itu sendiri (Sathyendranath et al., 2000). Sehubungan dengan marak alge, pada Gambar 4 ditampilkan nilai spektral beberapa kelas fitoplankton pada saat blooming.

Gambar 4. Nilai spektral air laut jernih dan ketika marak alge pada SeaWiFS dan MERIS. (a). Air laut jernih; (b). Trichodesmium; (c). Diatom; (d). Cochlodinium; (e). Ceratium dan Pyrodinium bahamense; (f). Dinoflagellata (terutama Dinophysis caudata); (g). Rhizolenia sp.; (h). Skeletonema; (i). Protoperidinium dan Ceratium (Liew, 2000).

Pantulan maksimum pada sembilan gambar tersebut terjadi pada panjang gelombang hijau (500-600 nm). Hal ini menunjukan klorofil merupakan pigmen

12

dominan yang terdeteksi oleh sensor satelit. Sehingga untuk mendeteksi marak alge menggunakan citra satelit, dapat digunakan pendekatan terhadap klorofil-a. Teluk Jakarta yang merupakan tempat bermuaranya banyak sungai (misalnya: Ciliwung, Cisadane, dan Citarum dan 10 sungai kecil lainnya), sehingga perairan ini dapat digolongkan ke dalam tipe perairan kasus-2 (Case-2 waters). Tipe perairan ini tidak hanya di dominasi oleh fitoplankton tetapi juga zat-zat organik maupun anorganik lain yang melayang di badan air (Yayla, 2004), sehingga membuat perairan menjadi kompleks, dibandingkan dengan perairan kasus-1 (case-1 waters) yang sifat optiknya hanya didominasi oleh fitoplankton dan produk turunan lainnya (Sathyendranath et al., 2000). Oleh sebab itu, perlu mengembangkan algoritma lokal untuk melihat sebaran kosentrasi klorofil-a untuk perairan Teluk Jakarta. Kanal pada citra MODIS yang sesuai digunakan untuk mendeteksi parameter kualitas air seperti klorofil-a dan turbiditas antara lain kanal satu dan dua (untuk resolusi spasial 250 m). Resolusi 500 m menggunakan dua kanal, yaitu : kanal tiga dan empat, dan kanal delapan sampai kanal enam belas dapat digunakan untuk resolusi spasial 1000 m (visible inframerah dekat) (OReilly et al., 1998 in Prasasti et al., 2005). Sehubungan fenomena HABs, Wouthuyzen (2006) mengelompokkan konsentrasi klorofil-a menjadi tiga kriteria sebagai sistem peringatan dini, yaitu: kondisi aman, hati-hati, dan berbahaya (Tabel 1).

Tabel 1. Kriteria konsentrasi klorofil-a sebagai sistem peringatan dini marak alge Kriteria Konsentrasi Klorofil-a Aman < 5,0 mg/m3 Hati-hati 5,0 dan < 10 mg/m3 Berbahaya 10 mg/m3 Sumber: Wouthuyzen (2006) Prasasti et al. (2005) melakukan penelitian untuk menggali potensi dan sensivitas kanal-kanal data MODIS serta sensitivitas beberapa algoritma

13

penduga konsentrasi klorofil-a. Penelitian ini menggunakan citra MODIS kanal 8 14 tanggal 2 September 2004 dengan menerapkan beberapa algoritma pendugaan klorofil-a, seperti Algoritma OReilly et al. (1998), Morel 4, dan OCVV2. Hasil ekstraksi pada masing-masing algoritma dan perbandingan kanal citra MODIS tersebut, dibandingkan dengan citra SeaWiFS pada tanggal yang sama. Hasil penelitian menunjukan bahwa algoritma OReilly et al. (1998) dengan rasio kanal 9 dan 12, Morel 4 dengan rasio kanal 9 dan 12, serta OCV-V2 dengan rasio kanal 10 dan 11 adalah yang paling mendekati pola sebaran klorofil data SeaWiFS. Selain itu diperoleh hasil bahwa Morel 4 lebih sensitif untuk menggambarkan pola sebaran klorofil-a dibandingkan dengan algoritma OReilly et al. (1998) dan OCV-V2.

2.4 Suhu Perairan Suhu air merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam kajian-kajian kelautan. Data suhu air dapat dimanfaatkan bukan saja untuk mempelajari gejala fisika dalam laut, tetapi juga dalam kaitannya dengan kehidupan hewan atau tumbuhan. Bahkan dapat juga dimanfaatkan untuk pengkajian meteorologi (Nontji, 2007). Menurut Sediadi (1993), faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap terjadinya HABs, akan tetapi hal ini sangat tergantung dari jenis fitoplankton penyebab HABs tersebut. Hasil penelitian laboratorium dapat memberikan gambaran akan adanya pengaruh faktor lingkungan sebagai pemicu. Sebaliknya, kondisi laboratorium akan sangat berbeda dengan kondisi lapangan, salah satu contohnya yaitu kejadian HABs di Teluk Brunei pada tahun 1976. Saat itu suhu perairan tercatat relatif dingin (24,5
o

C). Akan tetapi pengamatan di laboratorium memperlihatkan hasil yang

berbeda, berdasarkan pengamatan laboratorium tercatat suhu lebih panas (2829oC).

14

SPL merupakan parameter oseanografi yang dapat diukur secara langsung oleh sensor satelit yang bekerja pada spektrum infra merah termal. Pengukuran suhu dari data penginderaan jauh didasarkan pada prinsip bahwa tiap benda memancarkan energi elektromagnetik sesuai dengan suhu, panjang gelombang dan emisivitas. Suhu yang dideteksi oleh sensor termal adalah suhu kecerahan (brightness temperature). Pada benda hitam sempurna (black body), nilai suhu kecerahan sama dengan suhu benda tersebut (Hartuti, 2008). Pancaran radian spektral antara 8 m hingga 14 m merupakan kisaran panjang gelombang yang perlu diperhatikan, karena tidak saja meliputi jendela atmosfer, tetapi juga mengandung puncak tenaga pancaran bagi sebagian besar kenampakan permukaan. Artinya, suhu kenampakan permukaan bumi terjadi pada umumnya mendekati 300oK. Pancaran suhu puncak akan terjadi kira-kira pada 9,7 m. Itulah sebabnya penginderaan jauh termal banyak dilakukan pada spektrum panjang gelombang antara 8-14 m (Lillesand dan Kiefer, 1990). Suwargana et al. (2002) melakukan penelitian untuk menentukan distribusi SPL dengan menggunakan data MODIS guna mendeteksi adanya up welling dan front. Penelitian ini menggunakan algoritma Minnet (2001) untuk mengkonversi nilai radiansi kanal 31 dan 32 pada citra MODIS menjadi SPL. Hasil penelitian menunjukan sebaran spasial SPL citra MODIS secara umum mendekati hasil SPL satelit NOAA-AVHRR.

2.6 Citra MODIS Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer merupakan instrumen kunci dari satelit Terra (EOS AM-1) yang diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan Aqua (EOS PM-1) yang diluncurkan pada 4 Mei 2002. (Prasasti et al., 2005). MODIS merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA), program ini merupakan program

15

jangka panjang untuk mengamati, meneliti, dan menganalisa lahan, lautan, atmosfir bumi, dan interaksi antar faktor-faktor ini. Spesifikasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3 (NASA, 2010).

Tabel 2. Spesifikasi teknis Citra MODIS 705 km, 10:30 pagi. descending node (Terra) atau 1:30 Orbit siang. ascending node (Aqua), sun-synchronous. Kecepatan Sapuan Dimensi Liputan 20.3 rpm, jalur lintasan 2330 km (jalur lintasan) dengan 10 km (panjang lintasan pada nadir) Berat 228.7 kg Tenaga 162.5 W (rata-rata orbit tunggal) Kecepatan Transfer 10.6 Mbps (puncak siang hari); 6.1 Mbps (rata-rata orbital) Resolusi Radiometri 12 bits 250 m (Kanal 1-2) Resolusi Spasial 500 m (Kanal 3-7) 1000 m (Kanal 8-36) Umur Desain 6 tahun Sumber : NASA Goddart Space Flight Center (2010)

Sensor MODIS dari satelit Terra memiliki sensitivitas radiometrik tinggi (12 bit), artinya objek dapat dideteksi dan dibedakan sampai 212 (setara dengan 4.096) derajat keabuan (grey levels) (Mustafa, 2004). Cira MODIS terdiri atas 36 band dengan kisaran panjang gelombang 0,4-14,4 um. Dua band pertama (band1 dan 2) memiliki resolusi 250 m, 5 band berikutnya memiliki resolusi 500 m, sedangkan 29 band sisanya memiliki resolusi 1000 m dan bentangan pengamatan seluas 2330 x 2030 km (Tarigan, 2008). MODIS mempunyai orbit polar sun-synchronus, yang artinya satelit akan melewati tempat-tempat pada waktu lokal yang sama. Satelit ini melintasi equator pada siang hari sekitar pukul 10.30 WIB untuk Terra dan sekitar pukul 13.30 WIB untuk Aqua. Pada Terra-MODIS satelit akan mengelilingi bumi setiap satu sampai 2 hari sekali dengan arah lintasan dari kutub utara menuju kutub selatan (descending node). Sedangkan, pada satelit Aqua-MODIS arah lintasan satelit berlawanan dengan satelit Terra-MODIS, yaitu dari kutub selatan menuju kutub

16

utara (ascending node) pada ketinggian 705 km. Spesifikasi kanal MODIS dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3. Spesifikasi Kanal-kanal Citra MODIS


Panjang Radiansi 1 2 Gelombang Spektral Batas Darat/Awan/ 1 620 - 670 21.8 Aerosols 2 841 - 876 24.7 Sifat Daratan/Awan/ 3 459 - 479 35.3 Aerosol 4 545 - 565 29 5 1230 - 1250 5.4 6 1628 - 1652 7.3 7 2105 - 2155 1 Warna Air Laut/ 8 405 - 420 44.9 Fitoplankton/ 9 438 - 448 41.9 Biogeokimia 10 483 - 493 32.1 11 526 - 536 27.9 12 546 - 556 21 13 662 - 672 9.5 14 673 - 683 8.7 15 743 - 753 10.2 16 862 - 877 6.2 Atmosfer 17 890 - 920 10 Uap Air 18 931 - 941 3.6 19 915 - 965 15 Panjang Radiansi Kegunaan Utama Kanal 1 2 Gelombang Spektral Suhu Permukaan/ 20 3.660 - 3.840 0.45(300K) Awan 21 3.929 - 3.989 2.38(335K) 22 3.929 - 3.989 0.67(300K) 23 4.020 - 4.080 0.79(300K) Suhu 24 4.433 - 4.498 0.17(250K) Atmosfer 25 4.482 - 4.549 0.59(275K) Awan Cirrus 26 1.360 - 1.390 6 Uap Air 27 6.535 - 6.895 1.16(240K) 28 7.175 - 7.475 2.18(250K) Sifat Awan 29 8.400 - 8.700 9.58(300K) Ozon 30 9.580 - 9.880 3.69(250K) Suhu Permukaan/ 31 10.780 - 11.280 9.55(300K) Awan 32 11.770 - 12.270 8.94(300K) Ketinggian Awan 33 13.185 - 13.485 4.52(260K) 34 13.485 - 13.785 3.76(250K) 35 13.785 - 14.085 3.11(240K) 36 14.085 - 14.385 2.08(220K) 1 Kanal 1 sampai 19 dalam nm; Kanal 20 sampai 36 dalam m 2 2 Nilai radiansi spektral dalam (W/m -m-sr) Kegunaan Utama Kanal SNR 128 201 243 228 74 275 110 880 838 802 754 750 910 1087 586 516 167 57 250 NE[delta]T(K) 0.05 2 0.07 0.07 0.25 0.25 150(SNR) 0.25 0.25 0.05 0.25 0.05 0.05 0.25 0.25 0.25 0.35

Sumber : NASA Goddart Space Flight Center (2010)

3. BAHAN DAN METODE

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai September 2010 bertempat di perairan Teluk Jakarta, DKI Jakarta. Penelitian ini dibagi dalam beberapa kegiatan antara lain survei lapang (20-27 Maret 2010), perolehan dan pengumpulan citra (April-Mei 2010), dan pengolahan data (Juni-September 2010). Lokasi yang menjadi kajian penelitian terlihat pada Gambar 4. Survei lapang dilakukan dengan mengikuti proyek penelitian kajian fenomena algal blooms (HAB) dalam kaitannya dengan sistem peringatan dini (early warning system) di perairan Teluk Jakarta, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI), yang dilakukan mulai dari tanggal 20 sampai 27 Maret 2010. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Komputer Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Bagian Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI), Ancol, Jakarta Utara

. Gambar 5. Peta lokasi penelitian

17

18

3.2. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan pada saat pengambilan data lapang, yaitu : hand GPS (Garmin GPSmap 76S), water checker, current meter tipe G-M-2X, dan data sheet (Lampiran 5). Alat yang digunakan dalam pengolahan data, antara lain: seperangkat komputer yang dilengkapi dengan Software Idrisi Andes (Clark Labs, Clark University 950 Main Street, Worcester MA 01610-1477 USA), HEG WIN 2.9 (HDF-EOS), dan Software untuk layout peta, serta Microsoft Office 2007. Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain 23 citra MODIS level 1B dari bulan Juni 2009 sampai bulan September 2010 (22 citra dengan resolusi spasial 500m, dan 1 citra dengan resolusi spasial 1 km). Akuisisi dan perolehan citra MODIS terlihat pada Tabel 4. Citra tersebut diperoleh dari P2O-LIPI dan hasil unduhan dari situs http://modis.gsfc.nasa.gov.

Tabel 4. Spesifikasi Perolehan Citra Perolehan Citra No Tanggal Akuisisi P2O-LIPI Keterangan Unduhan * 1 7 Juni 2009 T (500 m) 2 19 Juni 2009 T (500 m) 3 23 Juni 2009 T (500 m) 4 26 Juni 2009 T (500 m) 5 1 Juli 2009 A (500 m) 6 12 Juli 2009 A (500 m) 7 1 Agustus 2009 T (500 m) 8 11 September 2009 T (500 m) 9 12 September 2009 T (500 m) 10 1 Oktober 2009 11 2 November 2009 12 4 Desember 2009 13 4 Januari2010 14 7 Februari 2010 15 22 Maret 2010 T (500 m) 16 7 April 2010 T (500 m) 17 12 April 2010 T (500 m) 18 19 April 2010 A (500 m) 19 1 Mei 2010 20 12 September 2010 21 14 September 2010 22 18 September 2010 Keterangan : A = Aqua dan T = Terra *) Diperoleh dari website: http://modis.gsfc.nasa.gov

Keterangan A (500 m) A (500 m) A (500 m) A (500 m) A (500 m) A (1 km) A (500 m) T (500 m) T (500 m) A (500 m)

19

3.3. Metode Perolehan Data Lapangan Pengambilan data lapang dilakukan dengan cara menurunkan current meter dan water checker pada tiap titik stasiun pengambilan data, kemudian mencatat data kecepatan dan arah arus yang ditampilkan oleh display dari current meter. Selain mencatat data yang diperoleh dari current meter, diambil pula data suhu dan salinitas yang diperoleh dari water checker (hanya data suhu yang dilakukan pengolahan lebih lanjut). Penentuan lokasi pengambilan data ditentukan sebelum ke lapangan, kemudian setelah di lapangan digunakan hand GPS untuk menuju koordinat pengambilan data. Selain data lapang, data juga diperoleh dengan mengunduh dari internet (Citra).

3.4. Metode Pengolahan Citra Pengolahan citra pada penelitian kali ini selain menggunakan algoritma yang telah ada (Wouthuyzen et al., 2006) Y = 250.09x3 106.92x2 + 11.781x + 0.0776; x = ((ND kanal merah)/ (ND kanal merah + ND kanal hijau + ND kanal biru)) dan Y = Klorofil-a, pada penelitian ini dibangun algoritma SPL secara empiris dari data lapangan yang telah diperoleh sebelumnya. Pembuatan algoritma empiris dilakukan dengan cara meregresikan nilai radians kanal citra MODIS terhadap data yang telah diperoleh di lapangan (in situ), kemudian dipilih persamaan regresi yang memiliki R2 terbesar dan RMS error terkecil. Proses pengolahan citra dilakukan melalui beberapa tahap, yakni: pengolahan awal data yang meliputi: konversi data MODIS dari format *.hdf ke format *.tif (multi band), selanjutnya dilakukan cropping lokasi pengamatan (untuk melihat kondisi spesifik wilayah Teluk Jakarta) pada tahap ini menggunakan Software HEG WIN 2.9. Kemudian dilakukan proses pengolahan data lanjutan, yang meliputi: koreksi citra, konversi nilai digital (DN) ke nilai radiansi, penentuan konsentrasi klorofil dan suhu (menggunakan algoritma), dan reklasifikasi nilai

20

konsentrasi klorofil wilayah Teluk Jakarta agar tampak jelas gradasi konsentrasi klorofil-a dan SPL pada lokasi tersebut. Proses akhir adalah proses layout hasil pengolahan citra wilayah Teluk Jakarta. Seluruh proses pengolahan lanjutan ini menggunakan software Idrisi Andes (Gambar 5). Pengolahan data arus dilakukan dengan membuat sebaran kecepatan dan arah arus pada tiap stasiun pengambilan data dengan menggunakan software Surfer 8. Konversi dan Cropping Citra Citra MODIS

Koreksi Citra

Konversi DN-Radians Rads = DN*Scale + offset

Algoritma Klorofil-a

Algorima SPL

Citra konsentrasi klorofil-a

Citra Sebaran SPL

Reklasifikasi

Reklasifikasi

Peta Sebaran Klorofil-a

Peta Sebaran SPL

Hubungan Klorofil-a dan SPL Gambar 6. Diagram alir pengolahan data klorofil-a dan suhu

21

3.4.1. Koreksi Citra Citra MODIS yang telah di-cropping dan ekstensinya telah diubah menjadi *. tif (multi band geotif), selanjutnya dilakukan koreksi atmosferik. Citra yang diperoleh tidak perlu lagi dikoreksi geometri, karena ketika dilakukan cropping dan konversi di sofware HEG WIN 2.9 citra tersebut otomatis telah terkoreksi secara geometrik. Koreksi atmosferik dilakukan untuk mengurangi kesalahan akibat efek atmosferik yang disebabkan perbedaan sudut elevasi matahari dan jarak matahari-bumi saat penerimaan data yang berbeda waktu. Koreksi atmosferik juga dilakukan untuk menghilangkan path radiance (noise angkasa). Koreksi atmosferik dapat dilakukan salah satunya dengan metode histogram adjustment. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: DNij (setelah dikoreksi) = DNij (sebelum dikoreksi) - DN biasij ............ (pers. 1) Keterangan: DN I J = digital number = citra tanggal ke-i = citra kanal ke-j

Nilai digital citra yang telah terkoreksi atmosferik selanjutnya dikonversi ke nilai radians, dengan menggunakan rumus: Radians = DN*Scale + offset .....................................................................(pers. 2) Dengan nilai scale dan offset sebagai berikut (Tabel 5) :

Tabel 5. Koefisien konversi nilai digital ke radiansi


Kanal -1 Satelit Scale Terra Aqua 0.0262678 0.0286548 offset 0 0 Scale 0.02168 0.02199 offset 0 0 Scale 0.0189215 0.0188667 offset 0 0 Scale 0.000406 0.000406 offset 1560.333 1560.333 Scale 0.000840 0.000651 offset 1577.340 2035.933 Kanal - 3 Kanal - 4 Kanal - 30 Kanal-31

Sumber : NASA Goddart Space Flight Center (2010)

22

3.4.2. Pembuatan Algoritma Empiris Pembuatan algoritma menggunakan pendekatan empiris, yaitu mengkorelasikan data in situ (SPL) dengan nilai yang terdapat pada citra yang hendak dibuat algoritma empirisnya (dalam hal ini nilai radiansi citra) pada koordinat titik stasiun pengambilan data dan tanggal yang sama. Persamaan regresi yang dicobakan pada penelitian kali ini yaitu regresi linear, eksponensial, power, polinomial (orde 2), polinomial (orde 3), dan logaritmik (Contoh-contoh bentuk persamaan regresi dapat dilihat pada Tabel 6). Di mana sumbu x merupakan nilai radiansi citra setiap kanal atau rasio kanal, sedangkan y adalah nilai konsentrasi klorofil-a atau nilai SPL in situ pada koordinat dan waktu pengambilan data yang sama dengan waktu lewatnya satelit. Algoritma yang digunakan dalam menduga konsentrasi klorofil adalah algoritma yang mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) yang paling tinggi. Tabel. 6. Contoh-contoh bentuk persamaan regresi. No. Model Hubungan Bentuk Model 1 Regresi linear y = a + bx 2 Regresi linear berganda y= ax 1+ bx2 + c 3 Eksponensial y = a*exp(bx) 4 Polynomial (orde 2) y = a + b*x2 + b1*x 5 Polynomial (orde 3) y = a + b*x3 + b1*x2 + b2*x 6 Logaritmik y = a*ln(x) + b 7 Power y = a*xb

3.4.3 Validasi Data Algoritma empiris yang digunakan pada penelitian kali ini selanjutnya diaplikasikan pada citra untuk digunakan dalam pembuatan sebaran konsentrasi klorofil-a dan SPL. Hasil estimasi sebaran konsentrasi klorofil-a dan SPL tersebut kemudian divalidasi dengan data in situ yang diperoleh dari lapang. Perhitungan validasi tersebut menggunakan dua pendekatan, yaitu: 1. Perhitungan Root Mean Square (RMS) error (Anonymus, 2010)

23

Nilai RMS error menyatakan seberapa jauh suatu titik di atas atau di bawah garis regresi. Semakin kecil nilai RMS error, maka semakin baik model hubungan tersebut. RMS error dari suatu model hubungan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : .............................(pers. 3) Keterangan : bias = nilai in situ nilai estimasi n = jumlah data 2. Uji Beda Nilai Tengah (Uji-t) Sehubungan untuk mengetahui perbedaan pendugaan nilai klorofil-a dan SPL dari model hubungan yang digunakan dalam penelitian ini dengan nilai in situ-nya, maka dilakukan uji beda nilai tengah (uji-t). Dalam uji-t, jika nilai tstatistik (t-hitung) berada dalam selang nilai kritis, maka kedua nilai tengah yang diuji tidak berbeda nyata sedangkan apabila nilai t-statistik (t-hitung) berada di luar selang nilai kritis, maka kedua nilai tengah yang diuji berbeda nyata. Hipotesis yang digunakan dalam uji-t ini dirumuskan sebagai berikut (Walpole, 1995): H0: 1 = 2 H1: 1 2 Dimana: H0 adalah apabila nilai tengah konsentrasi klorofil-a dan SPL in situ sama dengan nilai tengah pendugaan konsentrasi klorofil-a dan SPL. H1 adalah apabila nilai tengah konsentrasi klorofil-a dan SPL in situ tidak sama dengan nilai tengah pendugaan konsentrasi klorofil-a dan SPL.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sebaran Klorofil-a Citra MODIS yang telah diunduh selanjutnya dilakukan pengolahan menggunakan algoritma Wouthuyzen (2006), y = 250.09x3 106.92x2 + 11.781x + 0.0776 (di mana: y = Konsentrasi klorofil-a; sedangkan x = kromatisiti radians kanal merah, x = Radians kanal merah/radians kanal merah+hijau+biru), sehingga dihasilkan peta multi-temporal sebaran konsentrasi klorofil-a selama periode 1 tahun, yaitu dari bulan Juni 2009 hingga Mei 2010 (Gambar 7). Berdasarkan Gambar 7 terlihat pada bulan-bulan tertentu konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Jakarta menjadi sangat tinggi dengan konsentrasi klorofil-a >10 mg/m3 (ditandai dengan warna merah tua) yang dikategorikan sebagai meledaknya populasi fitoplankton (algal blooms) atau dikenal dengan istilah marak alge dan dapat berbahaya bagi suatu perairan, karena dapat berpotensi menimbulkan kematian masal ikan (Wouthuyzen, 2006). Konsentrasi klorofil-a yang tinggi terlihat pada citra bulan Juni dan terutama pada bulan Juli, di mana konsentrasi klorofil-a yang tinggi (>10 mg/m3) menutupi hampir separuh Teluk Jakarta. Konsentrasi klorofil-a pada bulan Juni (Gambar 7.a) yang merupakan hasil rata-rata citra tanggal 7, 19, 23, dan 26 umumnya berada pada kisaran 2,5 5,0 mg/m3 (warna krem) dan >5mg/m3 (warna merah) dan semakin berkurang ke arah laut. Konsentrasi klorofil yang tinggi ini dimungkinkan karena adanya masukan dari Sungai Cisadane yang banyak membawa zat hara (nutrien) ke Teluk Jakarta sehingga fitoplankton berkembang dengan sangat baik. Konsentrasi klorofil-a yang sangat tinggi pada bulan Juli (Gambar 7.b) yang merupakan citra rata-rata tanggal 1 dan 12 dipengaruhi oleh pasokan nutrient dari beberapa cabang anak Sungai Citarum .

24

25

(g)

(h)

(i)

(j)

10 m g/ m3

(k)

(l)

Gambar 7. Sebaran konsentrasi rata-rata klorofil-a di perairan Teluk Jakarta. (a): Jun.2009 (rata-rata tgl 7,19. 23 dan 26); (b). Jul. 2009 (rata-rata tgl 1 dan12); (c). 1. Ags.2009; (d). Sep.2009 (rata-rata tgl 1 dan 12); (e). 1. Okt. 2009; (f). 2 Nov. 2009; (g). 4 Des. 2009); (h). 4 Jan. 2010; (i). 7 Feb. 2010, (j). 22 Mar. 2009; (k.) Apr. 2010 (rata-rata tgl. 7, 12 dan 19), dan (l). 1 Mei 2010.

26

Konsentrasi klorofil-a mulai terlihat menurun pada bulan Agustus (1.5-7.5 mg/m3; Gambar 7.c) dan terus turun hingga ke September 2009 (1.5-5.0 mg/m3; Gambar 7.d) dan mencpapai konsentrasi terendah di bulan Oktober (0.75-1.5 mg/m3; Gambar 7.e), namun kembali meningkat di bulan November 2009 (1-10 mg/m3, Gambar 7.f), terutama di sepanjang garis pantai dekat muara-muara sungai sisi barat citra dan di bagian tengah sisi timur, yaitu di depan Sungai Ciliwung. Jika dikaitkan dengan sistem pendeteksian dini fenomena marak alge perairan Teluk Jakarta yang dikembangkan oleh Wouthuyzen (2006), maka kondisi perairan masih dikategorikan dalam kondisi aman (Wouthuyzen, 2006). Pada citra tanggal 4 Desember 2009 (Gambar 7.g) tampak secara visual bahwa konsentrasi klorofil-a setara dengan citra bulan Oktober 2009 (Gambar 7.e) yang berada pada kisaran 0,75-1,5 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a terendah dari seluruh bulan terjadi pada citra bulan Januari 2010 (Gambar 7.h) dengan kisaran konsentrasi klorofil-a yang terendah (0,1 - 0,25 mg/m3) dan mencakup area yang luas di Teluk Jakarta. Peningkatan konsentrasi klorofil-a berulang kembali di sepanjang pesisir pantai, terutama di depan muara sungai seperti terlihat pada citra tanggal 7 Februari 2010 (Gambar 7.i), di mana terdapat beberapa titik yang memiliki konsentrasi korofil-a yang relatif tinggi (>7,5 mg/m3). Sebaliknya, pada bulan Maret 2010 (Gambar 7.j) terlihat sebaran konsentrasi klorofil-a sedang (2,5-5.0 mg/m3) yang melebar dan cukup tinggi di sebelah timur Teluk Jakarta (dekat muara sungai). Sebaran konsentrasi klorofil-a bulan April 2010 yang merupakan rata-rata dari citra tanggal 7, 12, dan 19 April 2010 (Gambar 7.k) memperlihatkan konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Jakarta berada pada kisaran 2,5-5,0 mg/m3. Pada citra tanggal 1 Mei 2010 (Gambar 7.l), konsentrasi klorofil-a yang tinggi menyebar terutama di sepanjang garis pantai dekat muara-muara sungai sisi barat citra dan di bagian tengah sisi timur, yaitu di depan Sungai Ciliwung sama seperti pada

27

citra bulan November 2009 (Gambar 7.f). Berdasarkan gambar seluruh citra (Gambar 7.a-7.l), maka kisaran nilai konsentrasi (minimum, maksimum dan ratarata) klorofil-a di Teluk Jakarta disarikan dalam Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Konsentrasi Klorofil-a Teluk Jakarta No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan Juni 2009 Juli 2009 Agustus 2009 September 2009 Oktober 2009 November 2009 Desember 2009 Januari 2010 Februari 2010 Maret 2010 April 2010 Mei 2010 Konsentrasi Klorofil-a Minimum Maksimum Rata-rata 0.1665 12.3154 2.7619 0.2009 75.4717 9.8093 0.1943 7.7090 1.7879 0.1595 6.1330 1.4352 0.2328 6.4362 1.0834 0.1542 14.7446 1.7791 0.2932 2.5956 0.8825 0.1528 3.2726 0.3728 0.1535 21.7274 1.4977 0.1541 7.9412 1.5154 0.4843 5.5206 1.5917 0.1530 7.8268 1.2267

4.2 Pembuatan Algoritma Empiris SPL Pembuatan algoritma empiris dari suhu permukaan laut (SPL) di perairan Teluk Jakarta menggunakan tujuh persamaan regresi, yaitu : linear, linear berganda, logaritmik, eksponensial, polinomial orde dua, polinomial orde tiga, dan power. Persamaan regresi dibentuk dengan memplotkan nilai radiansi kanal pada citra MODIS dengan SPL in situ yang di ukur di lapangan. Penelitian ini menggunakan 2 kanal inframerah termal (TIR), yaitu kanal 30 dan 31, maka pertama-tama dilakukan pengujian terlebih dahulu kanal mana yang memberikan hasil terbaik. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kanal 30 yang berada pada kisaran panjang gelombang 9.580 - 9.880 m (Lampiran 1) memberikan hasil terbaik. Selanjutnya kanal 30 digunakan dalam pengembangan model empiris pendugaan SPL, akan tetapi kanal 31 masih digunakan dalam pembuatan model yang menggunakan persamaan regresi linear berganda.

28

Tabel 8 memperlihatkan hasil pengembangan model empiris pendugaan SPL dengan menggunakan berbagai macam persamaan regresi. Setelah semua persamaan regresi tersebut dicoba pada nilai radiansi citra MODIS, ternyata pada persamaan polinomial (baik orde dua maupun orde tiga) tidak dapat digunakan dalam menduga SPL karena model dugaan SPL yang diperoleh menggunakan kedua algoritma tersebut tidak menunjukkan kisaran suhu yang terdapat di permukaan laut. Sehingga hanya lima persamaan regresi yang dijadikan dasar untuk menduga SPL.

Tabel 8. Algoritma Pendugaan SPL No. Model Hubungan Persamaan R2 RMS error 1 Linear y=1.333*x - 2058.3 0.7933 0.1510 0.0436x 2 Eksponensial y=6E-29*e 0.7942 2.3576 3 Logaritmik y = 2088.7*Ln(x) - 15336 0.7932 0.1945 68.322 4 Power y = 2E-217*x 0.7941 8.7932 5 Berganda y=1.3615*x1-0.0287*x2-2057.4033 0.7934 0.1508 Keterangan : x = radiansi kanal 30; x1 = radiansi kanal 30; x2 = radiansi kanal 31 y = SPL model

Tabel 8 menunjukkan bahwa model empiris hubungan regresi linear berganda (y=1.3615*x1-0.0287*x2-2057.4033) memiliki R2 = 0.7934 dan RMS error = 0.1508, kemudian pada model regresi linear (y=1.333*x - 2058.3) memiliki R2 = 0.7933 dan RMS error = 0.1510. Nilai R2 dari model hubungan eksponensial dan power memiliki nilai yang cukup tinggi, namun RMS error pada kedua model hubungan regresi tersebut terlampau besar. Oleh karena itu, model persamaan regresi linear berganda dipilih sebagai model empiris dalam menduga SPL di perairan Teluk Jakarta. Berdasarkan persamaan tersebut (regresi linear berganda), terlihat bahwa kanal 30 (x1) lebih berperan dibandingkan kanal 31 (x2) dalam menduga SPL. Hal ini sesuai dengan Lillesand dan Kiefer (1990), yang menyatakan bahwa suhu kenampakan permukaan bumi umumnya terjadi mendekati 300oK, dengan pancaran suhu puncak kira-kira pada 9,7 m yang

29

terletak pada kanal 30 (9.580 - 9.880 m) di sensor MODIS dibandingkan kanal 31 (10.780 - 11.280 m). Setelah dipilih persamaan yang paling baik digunakan untuk menduga SPL pada penelitian ini, maka selanjutnya dilakukan uji beda nilai tengah (uji-t) terhadap persamaan tersebut. Pengujian beda nilai tengah terhadap data yang digunakan dalam penelitian ini menghasilkan nilai t hitung/t-statistik sebesar 0.0149 dan t-tabel sebesar 2.0555 (Lampiran 2), ini berarti nilai t-hitung berada dalam selang nilai kritis. Sehingga dapat disimpulkan pada selang kepercayaan 95% nilai tengah SPL dugaan tidak berbeda nyata dengan nilai tengah SPL in situ, atau dengan kata lain persamaan tersebut tervalidasi secara statistik. Perbandingan nilai SPL in situ dan SPL dugaan berdasarkan persamaan regresi y=1.3615*x1-0.0287*x2-2057.4033 dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Perbandingan SPL in situ dan SPL hasil dugaan citra Terra-MODIS

Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa SPL dugaan/model relatif sama atau tidak terlalu berbeda dengan SPL in situ kecuali pada stasiun tertentu. Penyebab perbedaan pada beberapa stasiun tersebut antara lain waktu pengambilan data in situ yang tidak bertepatan dengan pengambilan data oleh satelit. Pengambilan data in situ SPL dilaksanakan pada pukul 07.00 13.00

30

WIB, sedangkan perekaman data oleh satelit Terra-MODIS pada pukul 10.30 WIB. Selain itu terdapat pula kemungkinan adanya gangguan atmosferik seperti awan yang sangat tipis (haze), gas-gas, butiran air atau debu di kolom atmosferik antara sensor dan permukaan air yang tidak dapat terdeteksi dengan mata dimana ganguan tersebut merupakan hal paling peka dalam penginderaan jauh kualitas perairan termasuk SPL.

4.3 Sebaran SPL Teluk Jakarta Sebaran SPL secara spasial di perairan Teluk Jakarta pada tanggal 22 Maret 2010 ditampilkan dalam Gambar 9. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa semakin ke arah daratan SPL relatif semakin meningkat. SPL relatif homogen dengan kisaran SPL antara 30,5 - 30,75 oC, dan di daerah pantai SPL >30,75 oC. Kisaran SPL yang relatif tinggi diduga akibat sebaran limbah termal yang bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Muara Karang, sedangkan pada bagian timur suhu relatif lebih rendah dibandingkan di pesisir barat (30.5oC -30.75oC).

Gambar 9. Sebaran SPL di perairan Teluk Jakarta tanggal 22 Maret 2010

31

4.5 Hubungan Konsentrasi Klorofil-a dan SPL Citra yang digunakan untuk melihat hubungan antara SPL dan konsentrasi klorofil-a adalah citra tanggal 22 Maret 2010. Gambar 10 memperlihatkan hubungan antara SPL dan klorofil-a.

R2 = 0.487 n = 409007

Gambar 10. Plot antara SPL terhadap konsentrasi klorofil-a.

Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa hubungan klorofil-a dan SPL tidak memiliki hubungan yang erat, di mana koefisien determinasi (R2) antara kedua parameter tersebut hanya 0.487. Ini berarti bahwa konsentrasi klorofil-a tidak memiliki hubungan yang erat dengan SPL. Dari sebaran konsentrasi klorofil-a antara tahun 2009-2010 (Gambar 7) menunjukkan bahwa pada umumnya konsentrasi klorofil-a yang tinggi berada di muara-muara sungai. Hal ini dikarenakan pasokan zat hara/nutrient (fosfat, nitrat, dan silikat) dari daratan yang tinggi, sehingga dapat dikatakan zat hara lebih berpengaruh dari suhu (Muchtar, 2008). Oleh karena itu, pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan kajian terhadap parameter tersebut (zat hara).

32

4.6 Marak Alge Marak alge (Algal Blooms) merupakan fenomena meledaknya populasi fitoplankton yang dapat merugikan dan memiliki efek negatif, yaitu menurunnya kualitas perairan. Pada jenis fitoplankton tertentu dari kelompok dinoflagelata, ledakan populasinya akan berdampak sangat besar baik bagi kesehatan manusia dan organisme lainnya, karena kelompok ini pada saat marak (blooming) mengeluarkan racun (tosik) yang dapat menyebabkan sakit dan bahkan kematian jika kita memakan produk hasil laut (kerang-kerangan, ikan, dan biota laut lainnya) pada keadaan tersebut. Sehingga perlu dilakukan pengkajian terhadap fenomena ini. Berdasarkan data yang telah diolah diketahui bahwa pada saat pengambilan data (Maret 2010), konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Jakarta relatif rendah dan tidak mengindikasikan akan terjadi marak alge. Peta sebaran klorofil-a bulan Juli 2009 (Gambar 9.b) memperlihatkan hampir separuh perairan Teluk Jakarta (174.9531 km2 ) memiliki konsentrasi klorofil-a yang sangat tinggi (>10mg/m3) dan dapat dikategorikan sebagai kejadian marak alge, yang biasanya disusul dengan menurunnya kadar oksigen ketingkat rendah (kondisi hypoksid <2ml/l), dan bahkan ke tingkat tidak ada oksigen sama-sekali ( kondisi anoksik; 0 ml/l) sehingga dapat memicu terjadinya kematian masal ikan di Teluk Jakarta. Sehubungan dengan dampak negatif dari fenomena marak alge, telah terjadi kematian massal ikan di perairan Teluk Jakarta tepatnya pada tanggal 1617 September 2010 sepanjang perairan Marina sampai Pantai Karnaval, Ancol yang yang diduga akibat kondisi perairan yang anoksik (Media Indonesia, 2010). Berdasarkan informasi tersebut, telah diolah tiga buah citra yaitu tanggal 12,14, dan 18 September 2010, seperti tampak pada Gambar 12.

33

Gambar 11. Konsentrasi Klorofil-a Perairan Teluk Jakarta Tanggal 12 (a), 14 (b), dan 18 (c) September 2010. Berdasarkan ketiga gambar tersebut dapat kita lihat pada tanggal 12 September 2010 terdapat konsentrasi klorofil-a yang dapat dikategorikan berbahaya sehubungan dengan sistem peringatan dini marak alge (>10 mg/m3) yang memiliki luasan sebesar 74.9617 km2. Konsentrasi klorofil-a yang sangat tinggi ini, kemudian semakin meningkat secara spasial menjadi 108.4877 km2 pada tanggal 14 September 2010. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi ini diduga karena curah hujan yang sangat tinggi akibat fenomena La-Nina yang terjadi pada tahun 2010 (Tempo, 2010). Curah hujan yang sangat tinggi menyebabkan meningkatnya masukan nutrien melalui sistem sungai, selain itu dapat pula disebabkan oleh turbulensi di dasar perairan sehingga serasa yang banyak mengandung bahan-bahan organik maupun anorganik terangkat (resuspension). Beberapa hari setelah kejadian marak alge (tanggal 12 dan 14 september 2010) terjadi kematian masal ikan pada tanggal 16-17 September 2010 yang menyebabkan ratusan kilogram ikan mati di Teluk Jakarta (Tempo, 2010).

34

Kejadian kematian masal ikan akibat kadar oksigen yang rendah dan ditunjang dengan pola arus yang lemah di sekitar pantai Marina-Karnaval, Ancol (Gambar 12). Pada area dengan arus yang kuat tidak akan terjadi kematian masal ikan, karena massa air dengan kadar oksigen rendah akan digantikan oleh masa air yang bergerak cepat yang membawa kadar oksigen tinggi, sehingga pasokan oksigen (>2 ml/l) dapat menyelamatkan semua organisme dasar (ikan dan biota dasar lainnya) dari kematian. Citra tanggal 18 September 2010 tidak terlihat konsentrasi klorofil-a yang dapat dikategorikan berbahaya di Teluk Jakarta, karena marak alge telah selesai. Hal ini dapat dilihat dari konsentrasi klorofil-a tertinggi pada tanggal 18 September 2010 hanya berkisar antara 2,55,0 mg/m3 dan dapat dikategorikan aman (Wouthuyzen, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa fenomena marak alge dapat terjadi begitu cepat dan mengakibatkan kerugian yang cukup besar, khususnya di sektor perikanan. Pola arus pada saat pengamatan tanggal 20 sampai 27 Maret 2010 ditampilkan dalam Gambar 12. Berdasarkan gambar tersebut terlihat tidak ada indikasi marak alge di Teluk Jakarta. Hal ini dikarenakan pola arus yang terbentuk relatif menyebar sehingga sangat kecil kemungkinan untuk terjadi fenomena marak alge. Pola arus yang menyebar menyebabkan aktifitas pencucian (penggantian) massa air di daerah teluk cukup aktif sehingga residence time massa air dan berbagai organisme serta partikel di dalamnya juga menjadi singkat.

35

Gambar 12. Pola arus permukaan di Teluk Jakarta Tanggal 20, 22, 24, dan 26 Maret 2010 (musim peralihan 1)

Selain itu, Gambar 12 menunjukkan kecepatan arus yang terdapat di daerah pantai relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan kecepatan arus di laut lepas. Sebagaimana kita ketahui bahwa marak alge umumnya terjadi di daerah pantai. Hal ini dapat menjelaskan bahwa fenomena marak alge dapat terjadi pada daerah yang memiliki kecepatan arus yang relatif kecil. Tabel 9 menunjukkan kejadian marak alge di Teluk Jakarta memiliki frekuensi yang tinggi pada musim-musim peralihan. Kejadian marak alge yang terjadi pada musim peralihan sebanyak 62.5% pada tahun 2004, 100% pada tahun 2005, 80% pada tahun 2006, dan 83.3% pada tahun 2007. Hal ini dikarenakan pada musim peralihan I Teluk Jakarta mendapatkan pasokan zat hara yang tinggi dari daratan yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi pada musim barat. Saat musim peralihan II pasokan zat hara dari daratan rendah karena curah hujan pada musim timur yang rendah, namun pada musim ini angin

36

timur yang kuat menyebabkan terjadinya turbulensi yang menaikan zat hara dekat dasar ke permukaan (Wouthuyzen, 2007 in Sidabutar, 2008).

Tabel 9. Kejadian marak alge di Teluk Jakarta tahun 2004-2007 Tahun 2004 2005 2006 Bulan Januari Februari Maret X April X X Mei X X X Juni X Juli X X Agustus X September X X X Oktober X X X November X Desember Persentase Kejadian (Musim Peralihan) 62.5% 100% 80% Sumber : Wouthuyzen (2007) in Sidabutar (2008).

2007

X X

X X X X

83.3%

Ditinjau dari parameter arus, pada musim peralihan arus menjadi lebih rendah dibandingkan musim barat dan timur (Nontji, 2007). Arus yang lemah ini memberikan kesempatan fitoplankton untuk berkembang secara pesat pada suatu lokasi. Berdasarkan Tabel 9 juga terlihat bahwa marak alge tidak terjadi pada musim barat, sebagaimana menurut Nontji (2007) arus tertinggi terjadi pada musim barat. Hal ini semakin menjelaskan bahwa, kekuatan arus memberikan pengaruh terhadap fenomena marak alge.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Kejadian marak alge di Teluk Jakarta dapat dipetakan dan dipantau dengan baik oleh citra satelit Terra-MODIS and Aqua MODIS. Berdasarkan konsentrasi klorofil-a, SPL, dan data arus pada saat survei lapang (20-26 Maret 2010 ) tidak ditemukan marak alge di Teluk Jakarta. Hasil analisis citra MODIS pada bulan Juni dan Juli 2009 ditemukan konsentrasi klorofil-a >10 mg/m3 yang menunjukkan kejadian marak alge. Selain itu, pada tanggal 16-17 September 2010 juga ditemukan marak alge yang diikuti kematian massal ikan di Teluk Jakarta. Algoritma empiris yang sesuai untuk menduga SPL pada penelitia ini adalah persamaan regresi linear berganda. Model tersebut terbentuk dari hubungan antara nilai radiansi kanal inframerah termal citra MODIS dengan data in situ SPL. Berdasarkan plot hubungan antara SPL dan klorofil-a, tidak terlihat hubungan yang erat antara SPL dan klorofil-a pada saat penelitian.

5.2 Saran Pada penelitian berikutnya disarankan menggunakan data meteorologi seperti curah hujan, sehingga fenomena marak alge dapat dikorelasikan dengan parameter tersebut.

37

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2010. Chapter 11: r.m.s. error for regresstion. http://stat.ethz.ch/~maathuis/teaching/stat220/handouts/Chapter11.pdf. [ 5 Juli 2010]. Anurohim, D. Saptarini, dan D. Yanthi. 2008. Fitoplankton Penyebab Harmful Algae Blooms (HABs) Di Perairan Sidoarjo. Biologi FMIPA Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya. Hadikusumah. 2008. Perubahan Massa Air Di Teluk Jakarta Sebagai Indikasi Perubahan Iklim. In Kajian Perubahan Ekologis Perairan Teluk Jakarta. Ed. Ruyitno.LIPI Press. Jakarta. Hal.: 75-100. Hartuti, M. 2008. Penentuan Suhu Permukaan Laut Dari Data NOAA-AVHRR, h. 153-168. Pelatihan Penentuan Zona Potensi Penangkapan Ikan, 31 Maret-11 April 2008, Jakarta. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Jakarta. Kompas. 2010. Kurang Oksigen, Ribuan Ikan Mati Di Pantai Ancol. http://cetak.kompas.com/read/2010/09/18/0344444/kurang.oksigen.ribuan .ikan.mati.di.pantai.ancol. [18 September 2010]. Liew, S.C, L.K. Kwoh, dan H. Lim. 2000. Classification of Algal Bloom Types from Romote Sensing Reflectance, h. 794-799. In Proceedings of the 21th Asian Conference on Remote Sensing, 4-8 December 2000 Taipe, Taiwan. Center for Remote Imaging, Sensing, and Processing Nasional University of Singapore. Singapore. Lillesand, T.M. dan R. W. Kiefer.1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Diterjemahkan oleh Dulbahri, Prapto Suharsono, Hartono, Suharyadi dan Sutanto (Ed). Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Makmur, M. 2009. Pengaruh Upwelling Terhadap Ledakan Alga (Blooming Algae) Di Lingkungan Perairan Laut. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengolahan Limbah VI. Hal.: 240-245. Media Indonesia. 2010. 10 Jenis Ikan Mati Di Teluk Jakarta. http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/17/169223/37/5/10-JenisIkan-Mati-di-Teluk-Jakarta [17 September 2010]. Muchtar, M. 2008. Fluktuasi Kandungan Zat Hara Fosfat, Nitrat, dan Silikat Di Teluk Jakarta. In Kajian Perubahan Ekologis Perairan Teluk Jakarta. Ed. Ruyitno. LIPI Press. Jakarta. Hal.: 101-111. Mustafa, A.J. 2004. MODIS, Mengamati Lingkungan Global dari Angkasa. http://www.kamusilmiah.com/elektronik/modis-mengamati-lingkunganglobal-dari-angkasa/ [4 Juli 2010].

38

39

NASA. MODIS Specifications. http://modis.gsfc.nasa.gov/about/spesification.php. [13 Februari 2010]. NOAA. Harmful Algal Blooms. Oceanservise.noaa.gov. [13 Februari 2010]. Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Nontji, A. 2008. Plankton Laut. LIPI Press. Jakarta. Nuchsin, R. 2007. Distribusi Vertikal Bakteri Dan Kaitannya Dengan Konsentrasi Klorofil-A Di Perairan Kalimantan Timur. Makara, Sains. 11(1): 10-16. Portal Nasional Republik Indonesia. 2007. Perkembangan Penduduk. http://www. indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=4075&It emid=1510 [19 Agustus 2010]. Prasasti, I, B. Trisakti, dan U. Mardiana. 2005. Sensivitas Beberapa Algoritma Dan Kanal-Kanal Data Modis Untuk Deteksi Sebaran Klorofil, h. 113-122. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa, 14-14 September 2005, Surabaya. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Jakarta. Sathyendranath, S. 2000. Remote Sensing of Ocean Colour in Coastal, and Other Optically-Complex, Waters. Sathyendranath, S. (ed.), Reports of the International Ocean-Colour Coordinating Group, No. 3, IOCCG, Dartmouth, Canada. Hal.: 12-15. Sediadi, A. 1993. Ledakan Algae Berbahaya. Lonawarta, LIPI. XVI (1): 52-60. Sidabutar, T. 2008. Kondisi Plankton Di Teluk Jakarta: Kajian Perubahan Ekosistem Perairan Teluk Jakarta. In Kajian Perubahan Ekologis Perairan Teluk Jakarta. Ed. Ruyitno. LIPI Press. Jakarta. Hal.: 113-133. Sutomo. 1993. Kejadian RED TIDE dan Kematian Massal Udang Jerbung (Penaeus merguiensis) dan Udang Windu (Panaeus monodon) dalam Budidaya Jaring Apung Di Muara Sungai Kramat Kebo, Teluk Naga, Tangerang. Balitbang Lingkungan Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta. Suwargana, N, M. Arief, dan H. Sidik. 2002. Penentuan Suhu Permukaan Laut dan Konsentrasi Klorofil untuk Pengembangan Model Prediksi SST/Fishing Ground dengan Menggunakan Data Modis. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Jakarta. Hal.: 1-16. Tarigan,S. 2008. Pemantauan Kualitas Perairan (Konsentrasi Klorofil-a) Di Teluk Jakarta Dengan Menggunakan Data Multi-Temporal Citra Satelit Terra Modis. Lingkungan Tropis. Hal.: 9-17. Tempo. 2010. Ratusan Kilogram Ikan Mati Di Teluk Jakarta. http://www.tempointeraktif.com/hg/kriminal/2010/09/17/brk,20100917278753,id.html [17 September 2010].

40

Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistik. Edisi ke-3 in Bambang Sumantri (Ed). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wouthuyzen, S. 2006. Pemantauan kualitas perairan Teluk Jakarta untuk memprediksi Marak Alge dengan Satelit Terra dan Aqua MODIS. Laporan Penelitian Kompetitif Jabopunjur-LIPI. Jakarta. Yayla, M, N. ONeill, dan S. izmeli. 2004. Remote Sensing Of The Chlorophyll Concentration In The Saint-Lawrence Estuary Of Canada: Pre-Algorithmic Investigations Into The Optical Coherency Of Surface And In-Situ Measurements, h. 325-328. In Geo-Imagery Bridging Continents XXth ISPRS Congress, 12-23 July 2004 Istanbul, Turkey. International Society for Photogrammetry and Remote Sensing (ISPRS). Austria.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Tabel Nilai Koefisien Determinasi (R2) pada Tiap Kanal ( Perbandingan Kanal) dan Persamaan Regresi

Kanal 30 31 30/31 31/30 30/(30+31) 31/(30+31)

Linear 0.7933 0.5965 0.0017 0.0017 0.0017 0.0017

Eksp. 0.7942 0.597 0.0017 0.0017 0.0017 0.0017

Poly. (orde 2) 0.818 0.616 0.1065 0.1066 0.1066 0.1066

Poly. (orde 3) 0.8181 0.6502 0.3457 0.3457 0.3457 0.3457

Log. 0.7932 0.5965 0.0017 0.0017 0.0017 0.0017

Power 0.794

Berganda

0.793388 0.597 0.002 0.001666 0.002 0.002 0.001667 0.002

42

Lampiran 2. Uji-t antara SPL in-situ dan SPL Hasil Dugaan t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances Di mana: 1 = nilai tengah transparansi in situ 2 = nilai tengah transparansi dugaan y = 1.3615*x1-0.0287*x2-2057.4033 x = x1 = radians kanal 30; x2 = radians kanal 31 Variable 1 Mean Variance Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail Variable 2

30.5 30.501835 0.11846154 14 0.10622376 0 26 0.0149 0.49411379 1.70561634 0.98822759 2.05553079 0.093986 14

43

Lampiran 3. Tabel Annova Regresi Linear Berganda (Kanal 30 dan Kanal 31). SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 0.890723429 0.793388227 0.75582245 0.170075419 14

ANOVA Regression Residual Total

df

SS

MS

Significance F

2 1.221817869 0.61091 21.1199739 0.000171141 11 0.318182131 0.02893 13 1.54

Coefficients Intercept X Variable 1 X Variable 2 -2057.40334 1.361548949 -0.02874947

Standard Error 321.5920789 0.420548889 0.369370255

t Stat -6.3976 3.23755 -0.0778

P-value 5.0978E-05 0.00790831 0.93935807

Lower 95% -2765.22273 0.435927086 -0.84172791

Upper 95% -1349.58 2.28717 0.78423

44

Lampiran 4. Data Lapangan SPL dan Arus Permukaan pada Saat Survei Arus Kecepatan (cm/s) 10.5 28.2 20.1 55.1 59.7 53.9 36 16.1 29.6 12.8 13.3 18.2 39.4 24.3 18.1 18.8 51.1 40 19.9 10.8 12.1 23.1 12.4 12.2 6.1 29.9 28.3 15.5 11.6 38.8 33.4 11.4 13.8 19 27.5 34.1 44.1 Arah () 95 149 261 210 188 261 213 168 140 188 146 188 258 255 191 104 253 233 208 233 210 233 123 123 149 233 235 213 236 216 258 165 143 253 253 236 194

Stasiun 1 2 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38

Tanggal 26 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 22 Maret 2010 22 Maret 2010 22 Maret 2010 22 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 22 Maret 2010 22 Maret 2010 22 Maret 2010 22 Maret 2010 24 Maret 2010 24 Maret 2010 24 Maret 2010 24 Maret 2010 24 Maret 2010 20 Maret 2010 20 Maret 2010 24 Maret 2010 24 Maret 2010 24 Maret 2010 22 Maret 2010 22 Maret 2010 20 Maret 2010 20 Maret 2010 20 Maret 2010 20 Maret 2010 20 Maret 2010 20 Maret 2010

Jam 11:43 11:20 10:13 9:50 9.27 9.02 10.13 9:50 10:40 10:58 12:07 12:33 12:50 9:22 8:45 10:40 8:37 8:10 11:08 8:42 9:00 10:06 10:22 10:37 10:00 10.17 9:40 9:20 8:15 11:35 7:40 10:50 11:15 11:40 11:57 12:20 12:45

Suhu (C) 31.3 30.7 30.3 30.4 29.3 30 30.2 30.4 30.9 31.2 31.9 31.3 31.2 30 30.3 30 29.9 29.8 30.1 30.1 30.2 30.5 30.8 31.3 30.8 30.7 30.4 30.2 29.9 30.1 29.8 30.6 30.6 30.8 30.5 30.4 30.2

Catatan: Pada saat pengambilan data lapangan, diambil pula sampel untuk analisis konsentrasi klorofil-a. Namun, sampel tersebut mengalami kerusakan. Sehingga data klorofil-a in situ tidak di gunakan pada penelitian ini.

45

Lampiran 5. Foto-foto Kegiatan

Persiapan Sebelum Pengambilan Data

Persiapan Di Kapal/Pengaturan Posisi dan Setting Alat

Hand GPS

Water Checker

Current meter

Alat-Alat yang Digunakan Di Lapangan

46

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan (SUMSEL) pada tanggal 7 April 1988 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Kasmin dan Ibu Eny. Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan menengahnya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Kayuagung, OKISUMSEL. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006, dan tercatat resmi sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa di IPB penulis aktif berorganisasi, antara lain: sebagai staf Departemen Sosial dan Lingkungan (Sosling) di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (BEM-FPIK) periode 20072008 dan staf Departemen Penelitian dan Kebijakan (Litjak) Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (Himiteka) periode 2008-2009. Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten pada mata kuliah Dasar-dasar Instrumentasi Kelautan (2008-2009) dan Instrumentasi Kelautan (2009-2010) Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, penulis melaksanakan penelitian dengan judul Pendugaan Marak Alge Menggunakan Citra Satelit Di Perairan Teluk Jakarta.

You might also like