You are on page 1of 3

H A SI L PEN ELI T I A N

ACT sebagai Obat Pilihan Malaria Ringan di indonesia


P.N. Harijanto
SMF Ilmu Penyakit Dalam, RSU Bethesda Tomohon, Sulawesi Utara

PENDAHULUAN Berkembangnya resistensi pengobatan malaria baik di luar negeri dan di dalam negeri, menjadikan penanganan malaria menjadi sulit karena potensi malaria berat yang dapat mengakibatkan kematian maupun meluasnya/ meningkatnya kasus-kasus malaria. Laporan resistensi pengobatan malaria terhadap obat lama (klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin dan kina) dalam 10 tahun terakhir memang mengkhawatirkan, terjadi di lebih dari 25% propinsi di Indonesia. Keadaan ini menyebabkan Departemen Kesehatan melalui pertemuan-pertemuan komisi ahli malaria (KOMLI) memutuskan mengubah strategi pengobatan malaria yakni dengan penggunaan obat ACT (artemisinin combination treatment). Hal ini seirama dengan pedoman WHO yang secara global menganjurkan pengobatan malaria berubah dengan menggunakan obat ACT. Seperti pada pengobatan penyakit infeksi umumnya, kecenderungan penggunaan obat kombinasi semakin kuat untuk mengatasi dan mencegah timbulnya resistensi. Pengobatan malaria nasional diatur melalui rekomendasi KOMLI dan penetapan pedoman pengobatan nasional. Walaupun demikian di era otonomi daerah perlu diketahui bahwa pengobatan terbaik ialah tergantung situasi malaria di daerah tersebut; pengobatan untuk propinsi Papua mungkin berbeda dengan di daerah lain. ARTEMISININ SEBAGAI KOMPONEN OBAT KOMBINASI Artemisinin merupakan obat antimalaria kelompok seskuiterpen lakton yang bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum dan P. vivax. Obat ini berkembang dari obat tradisional Cina untuk penderita demam yang dibuat dari ekstrak tumbuhan Artemesia annua L (qinghao) yang sudah dipakai sejak ribuan tahun lalu dan ditemukan peneliti Cina tahun 1971. WHO (2006) memberikan rekomendasi untuk penggunaan derivat artemisinin (ART) sbb : 1. Untuk pengobatan malaria berat 2. Untuk pengobatan malaria ringan/tanpa komplikasi 3. Untuk meningkatkan efikasi dan menghambat resistensi terhadap derivat artemisinin harus

dipakai kombinasi dengan obat malaria lain. Perkecualian bila tidak bisa memakai obat lain/ kombinasi, artemisinin diberikan dalam waktu 7 hari. ACT merupakan kombinasi pengobatan yang unik, karena artemisinin memiliki kemampuan : 1. Menurunkan biomass parasite dengan cepat 2. Menghilangkan simptom dengan cepat 3. Efektif terhadap parasit resisten multi-drug, semua bentuk/ stadium parasit dari bentuk muda sampai tua yang berkuestrasi pada pembuluh kapiler. 4. Menurunkan pembawa gamet, menghambat transmisi 5. Belum ada resistensi terhadap artemisinin 6. Efek samping minimal Derivat artemisinin dalam bentuk oral: artemisinin, artesunate, artemether dan dihydroartemisinin; dalam bentuk injeksi : artemether i.m, arthe-ether im, artesunate i.v,/i.m; dalam bentuk suppository: artemeter, artemisinin, artesunate, dihydro-artemisinin. Pada kehamilan, belum ada data klinis mutagenik ataupun teratogenik. Artemisinin dapat digunakan pada kehamilan trimester II & III; belum dianjurkan dipakai pada trimester I, walaupun belum ada bukti teratogenik/ efek buruk pada kehamilan. Kombinasi ideal jika artemisinin digabung dengan obat lain dengan half-life panjang dan belum timbul resistensi. Obat yang dikemas sebagai fixed dose combination (FDC) lebih dianjurkan untuk menghindari non compliance. WHO merekomendasikan ACT yaitu :

PENGOBATAN MALARIA RINGAN / TANPA KOMPLIKASI Pengobatan radikal malaria falciparum/vivax : (dengan pemeriksaan mikroskopis) Pilihan ACT , yaitu : 1. Pilihan I : Obat pilihan ke 1 yaitu dihydroartemisinin + piperakuin (DHP) . Kombinasi ini dipilih untuk mengatasi kegagalan kombinasi sebelumnya yaitu artesunate + amodiakuin. (tabel 1). 2. Pilihan II : Obat pilihan ke-2 ialah kombinasi Artemeter-lumefantrine (CoartemR). Merupakan kombinasi tetap ( fixed dose combination ), dapat dipakai untuk malaria falsiparum dan malaria vivaks. Di Papua respon terhadap vivaks lebih rendah dibanding kombinasi lainnya. (tabel 2). Kecuali sebagai obat lini II, AL juga dapat dipakai sebagai obat pilihan pertama pada kasus-kasus kegagalan artesunate + amodiakuin sudah cukup tinggi seperti di Papua, Lampung dan Sulawesi Utara; atau di daerah dengan kegagalan klorokuin cukup tinggi. Daerah yang resisten terhadap klorokuin, mungkin juga resisten terhadap amodiakuin (cross resistance). 3. Pilihan III : Sebagai pilihan ke-3 dipakai ACT : Artesunate + Amodiakuin ( 1 tablet artesunate 50 mg dan 1 tablet amodiakuin 200 mg (~ 153 mg basa). Dosis artesunate ialah 4 mg/kgbb. /hari selama 3 hari dan dosis amodiakuin ialah 10 mg/kgbb./hari selama 3 hari. (tabel 3) Apabila ACT gagal, WHO menganjurkan memakai ACT lain yang diketahui mempunyai ektivitas tinggi (ada 3 pilihan ACT), atau kombinasi Kina + Doksisiklin+ Primakuin atau Kina +Tetrasiklin + Primakuin. Doksisiklin 1 tablet =100 mg, dosis 3 5 mg/kgbb. satu kali sehari selama 7 hari, dan tetrasiklin 250 mg atau 500 mg, dosis 4 mg/kgbb. 4 x sehari. Untuk wanita hamil dan anak-anak dibawah usia 11 tahun, TIDAK boleh memakai doksisiklin/ tetrasiklin dan diganti dengan clindamycin 10 mg/ kgbb. 2 x sehari selama 7 hari (tabel 4).
CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011

Artesunate + Amodiquine (Artesdiaquine R, Arsuamoon R) Artesunate + Sulfadoksin-pirimetamin Artesunate + Mefloquine Artemether - Lumefantrine (Coartem R)

Di Indonesia saat ini telah dipergunakan 3 jenis obat ACT yaitu :

Kombinasi Dihydroartemisinin- Piperaquine Kombinasi Artemether Lumefantrine Kombinasi Artesunate + Amodiakuin

112

H A SIL PEN ELI T I A N


Tabel 1. Dosis pengobatan DHP pada malaria falsiparum
Jenis obat
Jumlah tablet menurut kelompok umur
0 - 1 bulan > 1 - 11 bulan 1 - 4 tahun 5 - 9 tahun 10 - 14 tahun > 15 tahun

Hari
Dosis tunggal

H1-3 Falc: H1 Vivaks: H1-14

DHP Primakuin Primakuin

1 1

2 2

3-4 2-3 1

Sebaiknya penggunaan kina dibatasi karena efek samping yang cukup banyak dan serius, seperti demam kencing hitam, hipotensi, hipoglikemia dan aritmia jantung. Selain itu juga bermanfaat mengurangi resistensi terhadap kina sehingga masih ada obat yang bisa dipakai untuk pengobatan malaria. Kombinasi ACT lain yang sedang dalam penelitian adalah : artesunat - pironaridin artesunat - klorproguanil-dapson (Lapdapplus) dihidroartemisinin - piperakuin - trimetoprim (Artecom) dihidroartemisinin - piperakuin - trimetoprim - primakuin (CV8) dihidroartemisinin + naftokuin Di masa mendatang dikembangkan ACT dengan formula pediatri, ACT supositoria, dan ACT fixed dose combination. Pemantauan (Follow up) pengobatan malaria : Penderita perlu diperiksa sediaan darah untuk malaria pada hari ke 2, 3 dan hari 7, 14, 21 dan 28. Bila penderita rawat jalan dan tidak mungkin kembali hari ke-2 (48 jam setelah mulai pengobatan), boleh datang hari ke-3. Penderita yang termasuk gagal pengobatan dini ataupun kasep harus diberi pengobatan lain. Dikatakan gagal pengobatan, bila terdapat salah satu/lebih kriteria berikut (WHO, 2003) : a. Gagal pengobatan dini (early treatment failure) : didefinisikan sebagai berkembangnya menjadi 1 atau lebih kondisi berikut ini pada 3 hari pertama : - Parasitemia dengan komplikasi klinis malaria berat pada hari 1, 2, 3. - Parasitemia pada hari ke 2 > hari 0. - Parasitemia pada hari ke 3 (>25 % dari hari 0) - Parasitemia pada hari ke 3 masih positif + suhu aksila > 37,5 o C. b. Gagal pengobatan kasep (late treatment failure) : didefinisikan sebagai berkembangnya menjadi 1 atau lebih kondisi berikut ini antara hari ke 4 s/d ke 28, dan dibagi dalam 2 sub grup : Late Clinical (and Parasitological) Failure (LCF) : - Parasitemia (spesies sama dengan hari ke 0) dengan komplikasi malaria berat setelah hari ke 3. - Suhu aksila > 37,5 o C disertai parasitemia antara hari ke 4 s/d ke 28.

Dihydroartemisinin : 2-4 mg/kg BB, Piperakuin : 16-32 mg/kg BB, Primakuin : 0.75 mg/kgBB

Tabel 2. Dosis penggunaan artemeter-lume- fantrine (A-L)


Jenis obat Umur
Jam

< 3 tahun
5 - 14 Kg

> 3 - 8 tahun
15 - 24 Kg

> 9 - 14 tahun
25 - 34 Kg

> 14 tahun
>34 Kg

Hari
Berat Badan (Kg)

1 2

A-L A-L Falc: Primakuin A-L A-L A-L A-L Vivaks : Primakuin

0 jam 8 jam 12 jam 24 jam 36 jam 48 jam 60 jam

1 1

1 1 1 1

2 2 1 2 2 2 2

3 3 2 3 3 3 3

4 4 2-3 4 4 4 4 1

3 H 1 - 14

Tabel 3. Pengobatan Lini III (Artesunate + Amodiakuin)


Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok umur
0 - 1 bulan 2 - 11 bulan 1 - 4 tahun 5 - 9 tahun 10 - 14 tahun > 15 tahun

Hari
Dosis Tunggal

Artesunate 1 Amodiakuin Fal: Primakuin 2 Artesunate Amodiakuin 3 Artesunate Amodiakuin Vivaks: Primakuin

1 1

2 2

3 3 2 3 3 3 3

4 4 2-3 4 4 4 4 1

1 1 1 1

2 2 2 2

1 - 14

Tabel 4. Kombinasi Kina + Doksisiklin/ Tetra- siklin/ Clindamycin (bila gagal pengobatan ACT) :
Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok umur
0 - 11 bulan 1 - 4 tahun 5 - 9 tahun 10 - 14 tahun > 15 tahun

Hari
Dosis Tunggal

Kina 1 Doksisiklin Fal: Primakuin 2-7 Kina Doksisiklin Dosis Tetrasiklin Dosis Clindamycin 1 - 14 Vivaks: Primakuin

*)

-*)

3x - 3x ---

3x1

-1 3x1

3 x 1 2 x 50 mg 2 3 x 1 2 x 50 mg 4x4 mg/kg BB 2x10 mg/kg BB

3 x (2-3) 2 x 100 mg 2-3 3x2 4 x 100 mg 4 x 250 mg 2x10 mg/kg BB 1

-----

---

Keterangan : Primakuin tidak boleh diberikan pada bayi, ibu hamil dan penderita dengan defisiensi enzim G-6-PD. Dosis: 0,75 mg/kgbb. dosis tunggal untuk Plasmodium falciparum. Untuk Plasmodium vivax dosis 0,25 mg/ kgbb. atau 1 tab pada orang dewasa pada hari 1 14. Doksisiklin, Tetrasiklin atau Klindamisin diberikan pada hari 1 7 tergantung kesediaan obat dan indikasinya

CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011

113

H A SI L PEN ELI T I A N
Late Parasitological Failure (LPF) : Ditemukan parasitemia (spesies sama dengan hari ke 0) pada hari ke 7 sampai hari 28 tanpa disertai peningkatan suhu aksila < 37,5 oC. Catatan : Bila sediaan darah negatif tetapi masih ada gejala, diberi pengobatan simptomatik dan tidak termasuk gagal pengobatan. PERMASALAHAN PENGGUNAAN ACT DI INDONESIA Sesuai perkembangan resistensi malaria secara global dan nasional, maka pertemuan komisi ahli malaria 2008 telah mengambil langkah baru dalam pengobatan malaria di Indonesia. Keputusan ini yaitu dengan merekomendasikan 2 pengobatan baru untuk malaria yaitu kombinasi Artemeter-Lumefantrine untuk sektor pengobatan swasta dan DihydroartemisininPiperakuin untuk pengobatan program departemen kesehatan. Kedua obat ini merupakan FDC (fixed dose combination), sehingga pemberian lebih mudah dan pasien lebih patuh. Masalahnya ialah perluasan informasi tentang perubahan pengobatan malaria dengan ACT dan penyediaan obat ACT untuk dapat diakses oleh semua institusi pelayanan kesehatan di Indonesia. Ada 3 ACT yang beredar di Indonesia yaitu Artesunate + Amodiaquin yang dipakai dalam program malaria Dep.Kes melalui puskesmas; nama dagangnya Artesdiaquin; dan dihidroartemisinin-piperakuin (DHP) dengan nama dagang Artekin atau Duo-cotexin untuk daerah resistensi tinggi terhadap klorokuin dan amodiakuin. Untuk daerah yang tidak tercapai/tersedia program Depkes dan institusi kesehatan swasta tersedia di apotik dengan nama Arsuamoon, 1 kemasan 3 strip masing- masing terdiri dari 4 tablet artesunate 50 mg/ tablet (putih) dan 4 tablet amodiaquine 150 mg/tablet (kuning) dan Co-arteem yaitu kombinasi 20 mg artemeter 120mg lumefantrine/ tablet. Satu kotak Co-arteem terdiri 4 strip, dan ada 6 tablet/ strip warna kuning muda. Walaupun demikian distribusi obat masih merupakan masalah sering sulitnya akses terhadap obat-obat diatas. Beberapa hal yang perlu diketahui untuk penggunaan ACT ialah : 1. Hanya diberikan pada penderita dengan hasil laboratorium positif malaria ( minimal rapid test positif ), TIDAK dipakai untuk pengobatan malaria klinis (tanpa hasil laboratorik) 2. Dapat dipakai pada malaria falsiparum maupun vivax sebagai obat pilihan pertama. 3. Tetap diberi terapi radikal terhadap bentuk gamet dengan primakuin 45 mg dosis tunggal untuk falsiparum dan 15 mg/hari selama 14 hari pada malaria vivax. 4. Dilakukan pemantauan respon obat selama 28 hari, bila mungkin 42 hari.

DAFTAR PUSTAKA
1. ACCESS. ACT NOW. To get malaria treatment that works in Afrika.Medicine Sans Frontieres, 2003 2. Gasem MH et al. Therapeutic efficacy of combination Artesunate plus Amodiaquine for uncomplicated malaria in Banjarnegara district, Central Java. Proceeding Symposium of Malaria Control in Indonesia. TDRC Airlangga University Surabaya, Novemver 29 30, 2004 3. Greenwood BM, Fidock DA, Kyle DE et al Malaria : progress, perils, and prospects for eradication. J. Clin. Invest, 2008 ; 118 : 1266 1276. 4. Hasugian AR, Purba HL, Kenangalem E et al. Didydroartemisinin-piperaquine versus Artesunate-amodiaquine : superior efficacy and posttreatment prophylaktis against multidrug-resistant Plasmodium falciparum and plasmodium vivax malaria. Clin Infect Dis. 2007; 44(8): 1075-7. 5. Inge Sutanto. Penggunaan artesnate-amodiaquine sebagai obat pilihan malaria di Indonesia. Proc. Symposium of Malaria Control in Indonesia. TDRC Airlangga University Surabaya, November 29 30, 2004 6. Ratcliff A, Siswantoro H, Kenangalem E, et al. Two fixed-dose artemisinin combinations for drug-resistant falciparum and vivax malaria in Papua Indonesia : an open-label randomized comparison. Lancet 2007; 369(9563): 757-65, 7. RBM : ACT : the way forward for treating Malaria. http://www.rbm.who.int/cmc_upload/0/000/015/364/RBInfosheet_9.htm 8. White NJ : Qinghaosu (Artemisinin): The Price of Success. Science 2008 ; 320 : 330 - 334 9. WHO; Guidelines for the treatment Malaria. WHO Geneve 2006. 10. WHO : The Use of Artemisinin & its derivates as Anti-Malarial Drugs. Report of a joint CTD/DMP/TDR Informal Consultation, Geneve, 10 -12 June 1998 11. WHO : Antimalarial Drug Combination Therapy. Report of a WHO Technical Consultation. Geneve 4-5 April 2001.

114

CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011

You might also like