You are on page 1of 7

13 Oktober 2011

HAK RAJA ATAS TANAH DI JAWA


Latar Belakang Jawa, dalam tulisan ini mengacu pada provinsi Jawa Tengah dan provinsi Jawa Timur yang secara harafiah tanah orang-orang Jawa. Perdebatan tentang hak-hak atas tanah di Jawa yang berjalan sekitar satu setengah abad telah mengungkapkan sejumlah pendekatan dan pendapat yang berbeda-beda. Mataram, selaku penguasa tanah atas Jawa yang pernah berkuasa sebelum kedatangan bangsa asing memiliki struktur penguasaan tanah yang unik. Pada abad ke-9 sampai 15, tanah mempunyai nilai dan peranan yang penting. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa tanah memberikan penghidupan dan kesejahteraan rakyat. Tanah menghasilkan sumber makanan yang telah menjadi urat nadi perekonomian rakyat dan negara. Melihat pentingnya peranan tanah dalam perekonomian rakyat dan negara, maka pemerintah Majapahit memasukkan ketentuan mengenai pemanfaatan tanah dalam perundang-undangan Majapahit. Dalam undang-undang tersebut diungkapkan, bahwa pengelolaan tanah hendaknya diolah secara intensif, sehingga memberikan keuntungan. Sebaliknya apabila tanah ditelantarkan, maka akan dikenai denda oleh raja. Oleh sebab itu, tanah menjadi hal yang sangat signifikan untuk dibicarakan dalam tulisan ini. Tetapi penulis akan membatasi tulisannya hanya pada penguasaan tanah di jawa masa Mataram Islam dan sesudahnya. Setelah kedatangan VOC ke Nusantara yang telah menggerogoti hak-hak penguasaan tanah maupun ekonomi para raja Mataram II, kedudukan penerus kerajaan Mataram II berubah. Kini mereka menjadi daerah istimewa yang disebut vorstenlanden. Kerajaan-kerajaan itu adalah Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Praja Mangkunegaran, dan Pakualaman. Dalam kaitannya dengan hal ini, maka penulis ingin mengangkat masalah ini dalam tulisan ini. Di sini akan dijelaskan bagaimana struktur pembagian tanah di jawa dan hak-hak yang dimiliki oleh penguasa atas tanah tersebut dan fungsinya. Tujuan penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami sejarah penguasaan tanah di Jawa, dan mampu mempelajari sturktur kepemilikan tanah di Jawa, khususnya pada masa Mataram II dan sesudahnya.

13 Oktober 2011

Hak Penguasaan Tanah di Jawa Pada jaman raja-raja feodal pra-kolonial, sistem kebangsawanan, pembagian wilayah dan birokrasi kerajaan sangat berkaitan erat dengan sistem pertanahan. Hal ini bisa dimengerti karena pada hakekatnya pengertian feodalisme adalah sistem pemerintahan yang dalam pendistribusian kekuasaan berjalan sejajar dengan pembagian tanah kepada para aparat brokrasi dan bangsawan. Dengan demikian tanah merupakan hal sangat penting dalam penyelenggaraan kekuasaan. Terdapat dua kriteria untuk menentukan kedudukan seseorang dalam stratifikasi masyarakat kerajaan Mataram tradisional. Yang pertama bahwa status atau kedudukan bangsawan seseorang ditentukan oleh hubungan darah seseorang dengan pemegang kekuasaan yaitu raja. Yang kedua ditentukan oleh posisi atau kedudukan seseorang dalam hierarki birokrasi kerajaan. Dengan memiliki salah satu dari kriteria itu, maka seseorang dianggap termasuk golongan elit dalam stratifikasi masyarakat tradisional kerajaan mataram. Untuk kriteria yang disebutkan pertama hanya ditempati oleh para bangsawan yaitu yang berdasarkan atas hubungan darah.dengan pemegang atau pemilik kekuasaan yaitu raja. Sementara untuk yang disebutkan kedua bisa berasal dari bangsawan atau nonbangsawan. Artinya bahwa seseorang, meskipun bukan bangsawan, bisa diangkat dan menduduki strata tertentu dalam birokrasi kerajaan. Dalam zaman kerajaan Mataram II, wilayah kerajaan tersebut dapat dibagi menjadi tiga golongan: negara/ kuthanegara (ibukota), negaragung (daerah inti), mancanegara (daerah pesisir) yang termasuk daerah luar, kemudian tanah sabrang (tanah di seberang laut). Di luar wilayah Mancanegara dan yang letaknya paling jauh dari pusat kerajaan terdapat apa yang disebut dengan istilah wilayah Pasisiran (pantai). Wilayah ini juga dibagi menjadi dua bagian yaitu Pasisiran Wetan (Timur), meliputi daerah-daerah pantai dari Demak ke barat, dan Pasisiran Kulon (Barat) yaitu wilayah dari daerah Jepara ke timur. Pada masa pemerintahan Paku Buwana II daerah-daerah Pasisiran barat terdiri dari daerah-daerah: Brebes, Bentar, Labaksiyu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, Demak, dan Kaliwungu. Sementara wilayah Pasisiran timur terdiri dari daerah-daerah: Jepara, Kudus, Cengkal, Pati, Juwana, Rembang, Pajangkungan, Lasem, Tuban, Sedayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruhan, Bangil, Banyuwangi, Blambangan dan Madura. Pada saat kerajaan Mataram II menjadi penguasa terbesar tanah Jawa, sumber penghasilan utama para penguasa Mataram dan pengikutnya berasal dari tanah-tanah yang

13 Oktober 2011

ditanami. Penguasa merupakan pemilik dari semua tanah daerah yang ditaklukan dan dikuasaaiya. Penguasaan tanah ini sangat sesuai dengan konsep Keagungbinatharaan yang mengatakan bahwa Kekuasaan raja-raja Mataram begitu besar di mata rakyat, sehingga rakyat mengakui bahwa raja sebagai pemilik segala sesuatu, baikharta benda maupun manusia. Karena itu terhadap keinginan raja, rakyat hanya dapat menjawab ndherek ngarsa dalem (terserah kepada kehendak raja) kekuasaan yang demikian besar itu dikatakan wenang wisesa ing sanagari (berwenang tertinggidi seluruh negeri). Oleh sebab itu, sebagai penguasa tunggal, mereka berhak mengambil seluruh hasil bumi yang ditanam sekaligus orang yang bekerja di tanah ini. Dalam konsep kekuasaan di Jawa, raja memiliki dua jenis hak atas tanah. Yang pertama, dapat disebut hak politik atau hak publik, sebab hak ini menetapkan luasnya yurisdiksi teritorialnya. Hak ini hanya menetapkan batas-batas derah yang boleh ia atur, daerah tempat ia boleh menjalankan keadilan dan yang dipertahankannya dari serangan musuh. Yang kedua dan hak raja yang lebih langsung berkenaan dengan tanah adalah hak untuk mengatur hasil tanah sesuai dengan adat. dasar dari hak pengaturan ini nampaknya terdapat dalam adat kampung yang telah lama (paron), yaitu hasil tanah menjadi setengah untuk penggarap tanah dan setengah untuk orang yang mempunyai hak memetik hasil, hak yang diterimanya dari desa yang menjadi pemilik tanah yang sebenarnya, siti dusun (tanah dusun). Tanah yang terletak di sekitar istana Mataram (Negaragung) dan penduduk yang ada di atasnya digunakan untuk keperluan mereka sendiri. Pengurus yang mengelola tanah-tanah itu mengatur pengerahan tenaga kerja dan penyerahan hasil bumi dengan desa. Desa kemudian mengadakan perjanjian dengan masing-masing rumah tangga petani. Pemberian hadiah berupa tanah untuk kerabat istana dan para pengikut diadakan di luar kawasan Negaragung yang dikenal dengan wilayah Mancanegara. Hadiah Apanase ini dimaksudkan sebagai penghasilan dan nafkah bagi mereka yang sesungguhnya tinggal di istana tetapi memiliki pelayan yang mengurus semua tanahnya. Biasanya para penguasa tanah melimpahkan tanah yang telah ditanami kepada anggota-anggota keluarga dan pengikut mereka, tetapi kadang-kadang menghadiahkan tanah yang belum digarap disertai perintah untuk segera membudidayakannya. Pemegang tanah apanase wajib menyerahkan hasil bumi dan tenaga kerja kepada penguasa sebagai tanda patuh dan dukungan. Hasil panen dari tanah-tanah yang dikerjakan rakyat di pedesaan, upeti atau

13 Oktober 2011

penyerahan wajib lainya diserahkan oleh para kepala desa (petingi atau bekel) kepada para atasanya yaitu para Demang. Para demang ini kemudian menyerahkan lagi kepada para atasanya yaitu para Panji, yang biasanya bergelar Tumenggung. Kepala dari para panji adalah Wedana yang selanjutnya bertangung jawab secara langsung kepada Patih. Tanah apanase dikembalikan kepada penguasa jika si pemegang meninggal dunia atau si pemilik menelantarkannya, tetapi selama di tangan pemegangnya, tanah dan segala isinya tetap berada di bawah kekuasaanya dan dapat berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. Agar bisa mengontrol tanah-tanahnya yang dikerjakan oleh rakyat di pedesaan, raja mengangkat petugas-petugas khusus, yaitu apa yang disebut dengan istilah bekel, petinggi dan sebagainya, yang sekaligus berfungsi sebagai pemungut pajak. Mereka ini tentu saja juga diberi imbalan jasa atau semacam gajih, yaitu bagian dari hasil tanah desa di wilayah kerja mereka masing-masing. Untuk para bekel ini raja memberikan tanah bebas pajak yang luasnya seperlima dari tanah sawah yang ada di wilayah kerja mereka masing-masing. Kemudian separoh dari sisanya, yaitu sebesar 2/5 bagian menjadi hak para petani penggarap yang mereka nikmati pada setiap panen. Sisanya lagi yang tinggal 2/5 bagian, harus dipotong lagi 1/5 bagian untuk bupati sebagai kepala daerah dan 1/5 lagi menjadi bagian para kepala distrik seperti Demang dan Ngabehi. Dengan demikian raja tinggal memperoleh bagian 2/5 x 100 % - 2/5 x 40 % = 40 % - 16 % = 24 % dari seluruh hasil panen di suatu kabupaten. Sistem tanah bebas pajak atau hak guna tanah yang seluas 1/5 bagian dari seluruh tanah sawah yang ada di wilayah kerja bekel atau petinggi (atau jabatan setingkat) itu dinamakan sistem perlimaan. Dua jenis tanah penguasaan tidak dikenakan jenis pajak yang sama, yaitu narawita (daerah kuasa raja) dan tanah perdikan. Daerah kuasa raja lengsung berada di bawah kepengurusan raja melalui seorang wedana khusus (wedana miji, miji menunjukkan tugas dan kedudukannya yang khusus). Tanah-tanah itu sebenarnya tidak bebas dari pajak, tetapi seluruhnya dicadangkan untuk keperluan raja dan harus menyediakan barangbarang dagangan seperti beras, minyak, bunga dan daun sirih untk pemakaian khusus rumah tangga raja. Demikian pula para kepala daerah luar (bupati), mereka mencadangkan sebagian daerah kekuasaannya untnk pemakaian mereka sendiri. Mengenai hak atas tanah yang diberikan oleh raja atau penguasa setempat kepada para pejabatnya sebagai pembayaran upah dan uga sarana bagi pembiayaan tugas mereka,

13 Oktober 2011

kita harus membedakan antara lungguh (appanage) dan bengkok atau catu (tanah untuk gaji). Lungguh adalah daerah yang telah diserahkan dan yang menerima penyerahan mempunyai hak atas keuntungan dari tanah itu dan dari penduduk, dari sini raja dapat menarik keuntungan-keuntungan, (pajak, jasa-jasa, penghasilan dari daerah milik mereka sendiri), tetapi raja tidak memiliki hak atas tanah itu sendiri. Tanah bengkok atau tanah gaji adalah sebidang tanah garapan dari sebagian tanah raja yang diserahkan kepada seorang pejabat, keluarga atau seorang yang disenangi. Tanah itu dikerjakan dengan kerja rodi (corve/ kerja wajib) untuk kepentingan orang yang diberi hadiah. Dulu, luasnya sebuah lungguh sama dengan hak atas wilayah yang diterima oleh pemegang lungguh karena jabatan dan pangkatnya, tetapi kemudian lungguh itu menjadi lebih sempit dan makin lama makin sama luasnya dengan tanah gaji. Jadi sistem lungguh hanya berlaku di Negaragung, sebab semua pejabat kraton dari yang tertinggi sampai dengan terendah dan juga beberapa kepala daerah dari provinsi lain hidup dari lungguh, sedangkan sistem tanah gaji berlaku di kawasan Mancanegara. Sistem kesatuan tanah di Jawa pada jaman raja-raja Mataram Islam pra kolonial adalah jung yang arti harafiah atau yang sesungguhnya adalah kaki, yang kira-kira sama dengan 50 x 50 cengkal = 2.500 roede persegi. Jumlah satuan untuk menentukan luas bidang tanah yang dikenal sebagai jung berbeda-beda, tergantung tingkat kesuburan dan jarak tanah ini dari kota-kota besar atau desa. Pada umumnya disebutkan, bahwa satu jung di vorstenlanden mengandung empat cacah, dan dua cacah di daerah pesisir. Satu jung masih bisa dibagi lagi menjadi 5 bau (bau = lengan). Pengertian harafiah bau atau lengan adalah lengan pekerja seperti petani atau peladang, yang kemudian juga disebut dengan istilah karya, yang berarti tugas kerja. Satu bahu luasnya kira-kira sama dengan 500 roede persegi. Akan tetapi dalam administrasi pertanahan Jawa yang masih sederhana tanah, tanah bebas pajak dari para bekel tidak pernah diperhitungkan dalam menentukan luas tanah desa. Oleh karena itu dalam daftar pajak yang resmi hanya diperhitungkan 1 jung sama dengan 4 bau atau karya (G.P. Ruffaer, XXXIV, 1931: 72). Artinya untuk ukuran satu jung yang sesungguhnya masih harus ditambah bagian bekel sebesar 1 bau, sehingga menjadi 5 bau. Kesimpulan Dalam konsep kekuasaan Jawa, raja adalah pemilik tanah dengan kekuasaanya yang mutlak. Penguasaan tanah ini sangat sesuai dengan konsep Keagungbinatharaan

13 Oktober 2011

yang mengatakan bahwa Kekuasaan raja-raja Mataram begitu besar di mata rakyat, sehingga rakyat mengakui bahwa raja sebagai pemilik segala sesuatu, baikharta benda maupun manusia. Karena itu terhadap keinginan raja, rakyat hanya dapat menjawab ndherek ngarsa dalem (terserah kepada kehendak raja) kekuasaan yang demikian besar itu dikatakan wenang wisesa ing sanagari (berwenang tertinggidi seluruh negeri). Tanah itu dibagi-bagikan kepada para pejabat birokrasi dan para bangsawan sebagai tanah apanage, dan kemudian diserahkan kepada rakyat untuk dikerjakan. Mengenai hak atas tanah yang diberikan oleh raja atau penguasa setempat kepada para pejabatnya sebagai pembayaran upah dan juga sarana bagi pembiayaan tugas mereka, kita harus membedakan antara lungguh (appanage) dan bengkok atau catu (tanah untuk gaji). Lungguh adalah daerah yang telah diserahkan dan yang menerima penyerahan mempunyai hak atas keuntungan dari tanah itu dan dari penduduk, dari sini raja dapat menarik keuntungan-keuntungan, (pajak, jasa-jasa, penghasilan dari daerah milik mereka sendiri), tetapi raja tidak memiliki hak atas tanah itu sendiri. Tanah bengkok atau tanah gaji adalah sebidang tanah garapan dari sebagian tanah raja yang diserahkan kepada seorang pejabat, keluarga atau seorang yang disenangi. Sistem lungguh hanya berlaku di Negaragung, sebab semua pejabat kraton dari yang tertinggi sampai dengan terendah dan juga beberapa kepala daerah dari provinsi lain hidup dari lungguh, sedangkan sistem tanah gaji berlaku di kawasan Mancanegara.

Daftar Pustaka Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta: 1985. Niel, Robert van. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

13 Oktober 2011

Supriyono, Agust. Sistem Pertanahan Jaman Kerajaan Mataram Islam. Makalah. Diunduh pada 9 April 2011.

You might also like