You are on page 1of 9

RISALAH QURBAN

Menjual Kulit Binatang Kurban ?


Ustadz Muslim Al-Atsari Menyembelih binatang kurban merupakan ibadah agung yang dilakukan umat Islam setiap tahun pada hari raya kurban. Orang yang menyembelih binatang kurban, boleh memanfaatkannya untuk memakan sebagian daging darinya, menshadaqahkan sebagian darinya kepada orang-orang miskin, menyimpan sebagian dagingnya, dan memanfaatkan yang dapat dimanfaatkan, misalnya ; kulitnya untuk qirbah (wadah air) dan sebagainya. Dalil hal-hal di atas adalah hadits-hadits dibawah ini. Artinya : Dari Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu anhu, dia berkata : Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa di antara kamu menyembelih kurban, maka janganlah ada daging kurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga. Tatkala pada tahun berikutnya, para sahabat bertanya : Wahai, Rasulullah! Apakah kita akan melakukan sebagaimana yang telah kita lakukan pada tahun lalu? Beliau menjawab : Makanlah, berilah makan, dan simpanlah,. Karena sesungguhnya tahun yang lalu, menusia tertimpa kesusahan (paceklik), maka aku menghendaki agar kamu menolong (mereka) padanya (kesusahan itu). [HR Bukhari no. 569, Muslim, no, 1974] Perintah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : Makanlah, berilah makan, dan simpanlah, bukan menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukkan kebolehan. Karena perintah ini datangnya setelah larangan, sehingga hukumnya kembali kepada sebelumnya. [Lihat juga Fathul Bari, penjelasan hadits no. 5.569] Dari hadits ini kita mengetahui, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah melarang memakan daging kurban lebih dari tiga hari. Hal itu agar umat Islam pada waktu itu menshadaqahkan kelebihan daging kurban yang ada. Namun larangan itu kemudian dihapuskan. Dalam hadits lain. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan tegas menghapuskan larangan tersebut dan menyebutkan sebabnya. Beliau bersabda. Artinya ; Dahulu aku melarang kamu dari daging kurban lebih dari tiga hari, agar orang yang memiliki kecukupan memberikan keleluasan kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun (sekarang), makanlah semau kamu, berilah makan, dan simpanlah [HR Tirmidzi no. 1510, dishahihkan oleh Syaikh AlAlbani] Setelah meriwayatkan hadits ini, Imam Tirmidzi rahimahullah berkata. : Pengamalan hadits ini dilakukan oleh ulama dari kalangan para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan selain mereka. Dalam hadits lain disebutkan. Artinya : Dari Abdullah bin Waqid, dia berkata : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang memakan daging kurban setelah tiga hari. Abdullah bin Abu Bakar berkata : Kemudian aku sebutkan hal itu kepda Amrah. Dia berkata, dia (Abdullah bin Waqid) benar. Aku telah mendengar Aisyah Radhiyallahu anha mengatakan, orang-orang Badui datang waktu Idul Adh-ha pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda, Simpanlah (sembelihan kurban) selama tiga hari, kemudian shadaqahkanlah sisanya. Setelah itu (yaitu pada tahun berikutnya, -pent) para sahabat mengatakan : Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang membuat qirbah-qirbah [1] dari binatang-binatang kurban mereka, dan mereka melelehkan (membuang) lemak darinya. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Memangnya kenapa? Mereka menjawab, Anda telah melarang memakan daging kurban setelah tiga hari. Maka beliau bersabda : Sesungguhnya aku melarang kamu hanyalah karena sekelompok orang yang datang (yang membutuhkan shadaqah daging, -pent). Namun (sekarang) makanlah, simpanlah, dan bershadaqahlah [HR Muslim no. 1971] Banyak ulama menyatakan, orang yang menyembelih kurban disunnahkan bershadaqah dengan sepertiganya, memberi makan dengan sepertiganya, dan dia bersama keluarganya memakan sepertiganya.

Namun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ini lemah. Sehingga hal ini diserahkan kepada orang yang berkurban. Seandainya dishadaqahkan seluruhnya, hal itu dibolehkan. Wallahu alam [2]

MENJUAL SESUATU DARI HEWAN SEMBELIHAN KURBAN Dalam masalah ini terdapat beberapa hadits, sebagaimana tersebut dibawah ini. [1]. Hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Artinya : Dari Ali Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkannya agar dia mengurusi budn (onta-onta hadyu) Beliau [3], membagi semuanya, dan jilalnya [4] (pada orang-orang miskin). Dan dia tidak boleh memberikan sesuatupun (dari kurban itu) kepada penjagalnya. [HR Bukhari no. 1717, tambahan dalam kurung riwayat Muslim no. 439/1317] Pada riwayat lain disebutkan, Ali Radhiyallahu anhu berkata. Artinya : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkanku agar aku mengurusi onta-onta kurban Beliau, menshadaqahkan dagingnya, kulitnya dan jilalnya. Dan agar aku tidak memberikan sesuatupun (dari kurban itu) kepada tukang jagalnya. Dan Beliau bersabda : Kami akan memberikan (upah) kepada tukang jagalnya dari kami [HR Muslim no. 348, 1317] Hadits ini secara jelas menunjukkan, bahwa Ali diperintahkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk menshadaqahkan daging hadyu, kulitnya, bahkan jilalnya. Dan tidak boleh mengambil sebagian dari binatang kurban itu untuk diberikan kepada tukang jagalnya sebagai upah, karena hal ini termasuk jaul beli. Dari hadits ini banyak ulama mengambil dalil tentang terlarangnya menjual sesuatu dari binatang kurban, termasuk menjual kulitnya. [2]. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :Barangsiapa menjual kulit binatang kurbannya, maka tidak ada kurban baginya. Syaikh Abul Hasan As-Sulaimani menjelaskan, hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim (2/389-390) dan AlBaihaqi (99/294) dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jamiush Shagir, no. 6118. Namun di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abdullah bin Ayyasy, dan dia seorang yang jujur namun berbuat keliru, perawi yang tidak dijadikan hujjah. [5] [3]. Hadits Abi Said Al-khudri Radhiyallahu anhu. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda. Artinya : Janganlah kamu menjual daging hadyu dan kurban. Tetapi makanlah, bershadaqahlah, dan gunakanlah kesenangan dengan kulitnya, namun janganlah kamu menjualnya [Hadits dhaif, riwayat Ahmad 4/15] [6] PERKATAAN PARA ULAMA [1]. Imama Asy-Syafii rahimahullah berkata : Jika seseorang telah menetapkan binatang kurban, wolnya tidak dicukur. Adapun binatang yang seseorang tidak menetapkannya sebagai kurban, dia boleh mencukur wolnya. Binatang kurban termasuk nusuk (binatang yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah), dibolehkan memakannya, memberikan makan (kepada orang lain) dan menyimpannya. Ini semua boleh terhadap seluruh (bagian) binatang kurban, kulitnya dan dagingnya. Aku membenci menjual sesuatu darinya. Menukarkannya merupakan jual beli. Beliau juga mengatakan : Aku tidak mengetahui perselisihan di antara manusia tentang ini, yaitu : Barangsiapa telah menjual sesuatu dari binatang kurbannya, baik kulit atau lainnya, dia (harus) mengembalikan harganya atau nilai apa yang telah dia jual, jika nilainya labih banyak dari harganya- untuk apa yang binatang kurban dibolehkan untuknya. Sedangkan jika dia menshadaqahkannya, (maka) lebih aku sukai, sebagaimana bershadaqah dengan daging binatang kurban lebih aku sukai [7]

[2]. Imam Nawawi rahimahullah berkata : Dan madzhab (pendapat) kami (Syafiiyah), tidak boleh menjual kulit hadyu atau kurban, dan tidak boleh pula (menjual) sesuatu dari bagian-bagiannya. Inilah madzhab kami. Dan ini pula pendapat Atho, An-Nakhai, Malik, Ahmad dan Ishaq. Namun Ibnul Mundzir menghikayatkan dari Ibnu Umar, Ahmad dan Ishaq, bahwa tidak mengapa menjual kulit hadyu dan menshadaqahkan harga (uang)nya. Abu Tsaur memberi keringanan di dalam menjualnya. An-Nakhai dan Al-Auzai berkata : Tidak mengapa membeli ; ayakan, saringan, kapak, timbangan dan semacamnya dengannya (uang penjualan kulitnya, -pent), Al-Hasan Al-Bashri mengatakan ; Kulitnya boleh diberikan kepada tukang jagalnya. Tetapi (perkataannya) ini membuang sunnah, wallahu alam. [Lihat Syarah Muslim 5/74-75, Penerbit Darul Hadits Cairo] [3]. Imam Ash-Shanani rahimahullah berkata : Ini (hadits Ali di atas) menunjukkan bahwa dia (Ali) bershadaqah dengan kulit dan jilal (pakaian onta) sebagaimana dia bershadaqah dengan daging. Dan Ali tidak sedikitpun mengambil dari hewan sembelihan itu sebagai upah kepada tukang jagal, karena hal itu termasuk hukum jual-beli, karena dia (tukang jagal) berhak mendapatkan upah. Sedangkan hukum kurban sama dengan hukum hadyu, yaitu tidak boleh diberikan kepada tukang jagalnya sesuatupun dari binatang sembelihan itu (sebagai upah). Penulis Nihayatul Mujtahid berkata : Yang aku ketahui, para ulama sepakat tidak boleh menjual dagingnya. Tetapi mereka berselisih tentang kulit dan bulunya yang dapat dimanfaatkan. Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan tidak boleh. Abu Hanifah mengatakan boleh menjualnya dengan selain dinar dan dirham. Yakni (ditukar) dengan barang-barang. Atha berkata, boleh dengan semuanya, dirham atau lainnya [8] Abu Hanifah membedakan antara uang dengan lainnya, hanya karena beliau memandang bahwa menukar dengan barang-barang termasuk kategori memanfaatkan (binatang sembelihan), karena ulama sepakat tentang bolehnya memanfaatkan dengannya. [Lihat Subulus Salam 4/95, Syarah Hadits Ali] [4]. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan : Di antara faidah hadits ini menunjukkan, bahwa kulit binatang kurban tidak dijual. Bahkan penggunaan kulitnya adalah seperti dagingnya. Pemilik boleh memanfaatkannya, menghadiahkannya atau menshadaqahkannya kepada orang-orang fakir dan miskin. [Lihat Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram 6/70] Beliau juga berkata : Para ulama sepakat tidak boleh menjual daging kurban atau hadyu (hewan yang disembelih oleh orang yang haji). Jumhur (mayoritas) ulama juga berpendapat tidak boleh menjual kulit binatang kurban, wolnya (bulu kambing), wabar (rambut onta) dan rambut binatangnya. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan menjual kulitnya, rambutnya dan semacamnya dengan (ditukar) barang-barang, bukan dengan uang, karena menukar dengan uang merupakan penjualan yang nyata [Lihat Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram 6/71] KESIMPULAN Dari perkataan para ulama di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. [1]. Orang yang berkurban boleh memanfaatkan kurbannya dengan memakan sebagiannya, menshadaqahkan sebagiannya, memberi makan orang lain dan memanfaatkan apa yang dapat dimanfaatkan. [2]. Para ulama sepakat, orang yang berkurban dilarang menjual dagingnya. [3]. Tentang menjual kulit kurban, para ulama berbeda pendapat. a). Tidak boleh. Ini pendapat mayoritas ulama. Dan ini yang paling selamat, insya Allah b). Boleh asal dengan barang, bukan dengan uang. Ini pendapat Abu Hanifah, Tetapi Asy-Syafii menyatakan, bahwa menukar dengan barang juga merupakan jual-beli. c). Boleh. Ini pendapat Abu Tsaur. Tetapi pendapat ini menyelisihi hadits-hadits diatas. [4]. Jika kulit dijual, maka yang paling selamat- uangnya (hasil penjualan) dishadaqahkan. Wallahu alam bish shawab. Pengelola penyembelihan binatang kurban tidak boleh gegabah dan serampangan mengambil kesimpulan hukum tentang kulit. Misalnya mengambil inisiatif menjual kulit yang hasilnya untuk kepentingan masjid atau diluar lingkup ketentuan yang diperbolehkan. Wallahu alam [Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M, Penulis Ustadz Muslim Al-Atsari. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km 8 Gondangrejo Solo 57183]

Selokaton __________ Foote Note [1]. Qirbah : wadah air yang terbuat dari kulit [2]. Shahih Fiqhis Sunnah 2/378, karya Abu Malik Kamal bin As-Syyid Salim [3]. Hadyu : Binatang ternak yang mudah didapatkan, berupa onta, sapi, atau kambing, yang disembelih oleh orang yang berhaji dan dihadiahkan kepada orang-orang miskin di Mekkah. Hadyu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pada waktu itu 100 ekor onta. Hadyu ada yang hukumnya wajib, ada yang sunnah. Lihat Minhajus Salik hal.396, 405 karya Syaikh Muhammad Al-Bayyumi, Tahqiq Dr Shalih bin Ghanim AsSadlan. [4]. Jilal : kain yang ditaruh pada punggung onta untuk menjaga diri dari dingin dan semacamnya, seperti pakaian pada manusia. [5]. Diringkas dari Tanwirul Ainain hal. 376-377 [6]. Lihat Shahih Fiqhis Sunnah 2/379, karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim [7]. Al-Umm 2/351, dinukil dari Tanwirul Ainain Bi Ahkamil Adhahi wal Idain hal.373-374 karya Syaikh Abul Hasan Musthofa bin Ismail As-Sulaimani [8]. Penukilan pendapat Atha di sini berbeda dengan penukilan An-Nawawi sebagaimana di atas- yang menyatakan bahwa Atha termasuk ulama yang melarang penjualan kulit kurban. Wallahu alam Sumber : di sini Pemanfaatan Hasil Sembelihan Qurban yang Dibolehkan Allah Taala berfirman,


Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orangorang yang sengsara lagi fakir. (QS. Al Hajj: 28) Dalam hadits dari Salamah bin Al Akwa radhiyallahu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

.
Barangsiapa di antara kalian berqurban, maka janganlah ada daging qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga. Ketika datang tahun berikutnya, para sahabat mengatakan, Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu? Maka beliau menjawab, (Adapun sekarang), makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.[1] Jika kita melihat dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan pada shohibul qurban untuk memakan daging qurban, memberi makan pada orang lain dan menyimpan daging qurban yang ada. Namun apakah perintah di sini wajib? Jawabnya, perintah di sini tidak wajib. Alasannya, perintah ini datang setelah adanya larangan. Dan berdasarkan kaedah Ushul Fiqih, Perintah setelah adanya larangan adalah kembali ke hukum sebelum dilarang.[2] Hukum makan dan menyimpan daging qurban sebelum adanya larangan tersebut adalah mubah. Sehingga hukum shohibul qurban memakan daging qurban, memberi makan pada orang lain dan menyimpannya adalah mubah. Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari mengatakan,

" "

Sebagian orang yang berpendapat bahwa shohibul qurban wajib memakan sebagian daging qurbannya beralasan dengan perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam- makanlah dan berilah makan dalam hadits di atas. Namun sebenarnya mereka tidak memiliki dalil yang jelas. Karena perintah tersebut datang setelah adanya larangan, maka dihukumi mubah (boleh). Dalam hadits ini kita juga mengetahui bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah melarang menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari. Hal itu agar umat Islam pada saat itu menshodaqohkan kelebihan daging qurban yang ada. Namun larangan tersebut kemudian dihapus. Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tegas menghapus larangan tersebut dan menyebutkan alasannya. Beliau bersabda,

. . .
Dulu aku melarang kalian dari menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari agar orang yang memiliki kecukupan memberi keluasan kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun sekarang, makanlah semau kalian, berilah makan, dan simpanlah.[3] Setelah menyebutkan hadits ini, At Tirmidzi mengatakan,

. - -
Hadits ini telah diamalkan oleh para ulama dari sahabat Nabi dan selain mereka. Apakah Mesti Ada Pembagian 1/3 - 1/3? Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah memberikan keterangan, Kebanyakan ulama menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan bersedekah dengan sepertiga hewan qurban, memberi makan dengan sepertiganya dan sepertiganya lagi dimakan oleh dirinya dan keluarga. Namun riwayat-riwayat tersebut sebenarnya adalah riwayat yang lemah. Sehingga yang lebih tepat hal ini dikembalikan pada keputusan orang yang berqurban (shohibul qurban). Seandainya ia ingin sedekahkan seluruh hasil qurbannya, hal itu diperbolehkan. Dalilnya, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu,

- - [ ]
Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan dia untuk mengurusi unta-unta hadyu. Beliau memerintah untuk membagi semua daging qurbannya, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan beliau tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun dari qurban itu kepada tukang jagal (sebagai upah).[4][5] Dalam hadits ini terlihat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam sampai menyedekahkan seluruh hasil sembelihan qurbannya kepada orang miskin. Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) mengatakan, Hasil sembelihan qurban dianjurkan dimakan oleh shohibul qurban. Sebagian lainnya diberikan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu. Sebagian lagi diberikan kepada kerabat agar lebih mempererat tali silaturahmi. Sebagian lagi diberikan pada tetangga dalam rangka berbuat baik. Juga sebagian lagi diberikan pada saudara muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.[6] Dalam fatwa lainnya, Al Lajnah Ad Da-imah menjelaskan bolehnya pembagian hasil sembelihan qurban tadi lebih atau kurang dari 1/3. Mereka menjelaskan, Adapun daging hasil sembelihan qurban, maka lebih utama sepertiganya dimakan oleh shohibul qurban; sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga, dan sahabat dekat; serta sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin. Namun jika lebih/ kurang dari sepertiga atau diserahkan pada sebagian orang tanpa lainnya (misalnya hanya diberikan pada orang miskin saja tanpa yang lainnya, pen), maka itu juga tetap diperbolehkan. Dalam masalah ini ada kelonggaran.[7] Intinya, pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang dibolehkan adalah: 1. Dimakan oleh shohibul qurban. 2. Disedekahkan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka.

3. Dihadiahkan pada kerabat untuk mengikat tali silaturahmi, pada tetangga dalam rangka berbuat baik dan pada saudara muslim lainnya agar memperkuat ukhuwah. Bolehkah Memberikah Hasil Sembelihan Qurban pada Orang Kafir? Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah diajukan pertanyaan: Bolehkah daging qurban hasil sembelihan atau sesuatu yang termasuk sedekah diserahkan pada orang kafir? Jawaban ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Da-imah: Orang kafir boleh diberi hewan hasil sembelihan qurban, asalkan ia bukan kafir harbi (yaitu bukan kafir yang diajak perang) .... Dalil hal ini adalah firman Allah Taala,


Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al Mumtahanah: 8). Alasan lainnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah memerintahkan pada Asma binti Abi Bakr agar menyambung hubungan baik dengan ibunya padahal ibunya adalah seorang musyrik sebagaimana diriwayatkan oleh Al Bukhari[8].[9] Kesimpulan: Memberikan hasil hewan qurban kepada orang kafir (asalkan bukan kafir harbi) dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah. Dan kita diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada siapa saja termasuk orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil. Pemanfaatan Hasil Sembelihan Qurban yang Terlarang Ada dua bentuk pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang terlarang, yaitu [1] Menjual sebagian dari hasil sembelihan qurban dan [2] Memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban. Berikut penjelasannya. Larangan pertama: Menjual sebagian dari hasil sembelihan qurban baik berupa kulit, wol, rambut, daging, tulang dan bagian lainnya. Dalil terlarangnya hal ini adalah hadits Abu Said, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Janganlah menjual hewan hasil sembelihan hadyu[10] dan sembelian udh-hiyah (qurban).Tetapi makanlah, bershodaqohlah, dan gunakanlah kulitnya untuk bersenang-senang, namun jangan kamu menjualnya. Hadits ini adalah hadits yang dhoif (lemah).[11] Walaupun hadits di atas dhoif, menjual hasil sembelihan qurban tetap terlarang. Alasannya, qurban disembahkan sebagai bentuk taqorrub pada Allah yaitu mendekatkan diri pada-Nya sehingga tidak boleh diperjualbelikan. Sama halnya dengan zakat. Jika harta zakat kita telah mencapai nishob (ukuran minimal dikeluarkan zakat) dan telah memenuhi haul (masa satu tahun), maka kita harus serahkan kepada orang yang berhak menerima tanpa harus menjual padanya. Jika zakat tidak boleh demikian, maka begitu pula dengan qurban karena sama-sama bentuk taqorrub pada Allah. Alasan lainnya lagi adalah kita tidak diperkenankan memberikan upah kepada jagal dari hasil sembelihan qurban sebagaimana nanti akan kami jelaskan.[12] Dari sini, tidak tepatlah praktek sebagian kaum muslimin ketika melakukan ibadah yang satu ini dengan menjual hasil qurban termasuk yang sering terjadi adalah menjual kulit. Bahkan untuk menjual kulit terdapat hadits khusus yang melarangnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Barangsiapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya.[13] Maksudnya, ibadah qurbannya tidak ada nilainya.

Larangan menjual hasil sembelihan qurban adalah pendapat para Imam Asy Syafii dan Imam Ahmad. Imam Asy Syafii mengatakan, Binatang qurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri pada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan qurban (seperti daging atau kulitnya, pen). Barter antara hasil sembelihan qurban dengan barang lainnya termasuk jual beli.[14] Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil penjualannya disedekahkan.[15] Akan tetapi, yang lebih selamat dan lebih tepat, hal ini tidak diperbolehkan berdasarkan larangan dalam hadits di atas dan alasan yang telah disampaikan. Wallahu alam. Catatan penting yang perlu diperhatikan: Pembolehan menjual hasil sembelihan qurban oleh Abu Hanifah adalah ditukar dengan barang karena seperti ini masuk kategori pemanfaatan hewan qurban menurut beliau. Jadi beliau tidak memaksudkan jual beli di sini adalah menukar dengan uang. Karena menukar dengan uang secara jelas merupakan penjualan yang nyata. Inilah keterangan dari Syaikh Abdullah Ali Bassam dalam Tawdhihul Ahkam[16] dan Ash Shonani dalam Subulus Salam[17]. Sehingga tidak tepat menjual kulit atau bagian lainnya, lalu mendapatkan uang sebagaimana yang dipraktekan sebagian panitia qurban saat ini. Mereka sengaja menjual kulit agar dapat menutupi biaya operasional atau untuk makan-makan panitia. Mengenai penjualan hasil sembelihan qurban dapat kami rinci:
1. Terlarang menjual daging qurban (udh-hiyah atau pun hadyu) berdasarkan kesepakatan (ijma) para

ulama.[18] 2. Tentang menjual kulit qurban, para ulama berbeda pendapat: Pertama: Tetap terlarang. Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits di atas. Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan zhahir hadits (tekstual hadits) yang melarang menjual kulit sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al Hakim. Berpegang pada pendapat ini lebih selamat, yaitu terlarangnya jual beli kulit secara mutlak. Kedua: Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan uang). Ini pendapat Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar juga termasuk jual beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy Syafii dalam Al Umm (2/351). Imam Asy Syafii mengatakan, Aku tidak suka menjual daging atau kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga termasuk jual beli. [19] Ketiga: Boleh secara mutlak. Ini pendapat Abu Tsaur sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi[20]. Pendapat ini jelas lemah karena bertentangan dengan zhahir hadits yang melarang menjual kulit. Sebagai nasehat bagi yang menjalani ibadah qurban: Hendaklah kulit tersebut diserahkan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkan, bisa kepada fakir miskin atau yayasan sosial. Setelah diserahkan kepada mereka, terserah mereka mau manfaatkan untuk apa. Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya kembali, maka itu dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh orang yang menerima kulit qurban tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul qurban atau panitia qurban (wakil shohibul qurban). Larangan kedua: Memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban. Dalil dari hal ini adalah riwayat yang disebutkan oleh Ali bin Abi Tholib,

- - .
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri.[21] Dari hadits ini, An Nawawi rahimahullah mengatakan, Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafiiyah, juga menjadi pendapat Atho, An Nakhoi, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.[22]

Namun sebagian ulama ada yang membolehkan memberikan upah kepada tukang jagal dengan kulit semacam Al Hasan Al Bashri. Beliau mengatakan, Boleh memberi jagal upah dengan kulit. An Nawawi lantas menyanggah pernyataan tersebut, Perkataan beliau ini telah membuang sunnah.[23] Sehingga yang tepat, upah jagal bukan diambil dari hasil sembelihan qurban. Namun shohibul qurban hendaknya menyediakan upah khusus dari kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut. Demikian pembahasan kami seputar pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang terlarang dan yang dibolehkan. Semoga Allah memudahkan kita beramal sholih dan menjauhkan dari apa yang Dia larang. Semoga Allah memberikan kita petunjuk, sikap takwa, keselamatan dan kecukupan. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan siapa saja yang mengikuti petunjuk mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel http://rumaysho.com Pangukan, Sleman, 29 Dzulqodah 1430 H

[1] HR. Bukhari no. 5569 dan Muslim no. 1974. [2] Inilah yang menjadi pendapat para ulama salaf. Lihat Maalim Ushul Fiqh, Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jizaniy, hal. 408-409, Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1422 H. [3] HR. Tirmidzi no. 1510, dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. [4] HR. Bukhari no. 1717 dan Muslim no. 1317. [5] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/378, Al Maktabah At Taufiqiyah. [6] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, soal kesembilan dari Fatwa no. 5612, 11/423-424, Mawqi Al Ifta. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagai ketua, Syaikh Abdur Rozaq Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh Abdullah bin Quud dan Syaikh Abdullah bin Ghodyan sebagai Anggota. [7] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, soal ketiga dari Fatwa no. 1997, 11/424425, Mawqi Al Ifta. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagai ketua, Syaikh Abdur Rozaq Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh Abdullah bin Quud sebagai Anggota. [8] Hadits selengkapnya lihat Shahih Al Bukhari no. 2620. [9] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, soal kedua dari Fatwa no. 2752, 11/425426, Mawqi Al Ifta. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagai ketua, Syaikh Abdur Rozaq Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh Abdullah bin Quud dan Syaikh Abdullah bin Ghodyan sebagai Anggota. [10] Hadyu adalah binatang ternak (unta, sapi atau kambing) yang disembelih oleh orang yang berhaji dan dihadiahkan kepada orang-orang miskin di Mekkah. [11] HR. Ahmad no. 16256, 4/15. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dhoif (lemah). Ibnu Juraij yaitu Abdul Malik bin Abdul Aziz adalah seorang mudallis. Zubaid yaitu Ibnul Harits Al Yamiy sering meriwayatkan dengan muanan. Zubaid pun tidak pernah bertemu dengan salah seorang sahabat. Sehingga hadits ini dihukumi munqothi (sanadnya terputus).

[12] Lihat keterangan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/379. [13] HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa hadits ini shahih. Adz Dzahabi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Ibnu Ayas yang didhoifkan oleh Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1088. [14] Lihat Tanwirul Ainain bi Ahkamil Adhohi wal Idain, hal. 373, Syaikh Abul Hasan Musthofa bin Ismail As Sulaimani, terbitan Maktabah Al Furqon, cetakan pertama, tahun 1421 H. [15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/379. [16] Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Abdullah Ali Bassam, 4/465, Darul Atsar, cetakan pertama, tahun 1425 H. [17] Lihat Subulus Salam Syarh Bulughul Marom, Muhammad bin Ismail Ash Shonani, 4/177, Darul Fikr, cetakan tahun 1411 H. [18] Lihat Tawdhihul Ahkam, 4/465. [19] Lihat pendapat Imam Asy Syafii ini dalam Tanwirul Ainain bi Ahkamil Adhohi wal Idain, hal. 373. [20] Syarh Muslim, An Nawawi, 4/453, Mawqi Al Islam. [21] HR. Muslim no. 1317. [22] Syarh Muslim, An Nawawi, 4/453. [23] Idem

You might also like