You are on page 1of 25

BAB I PENDAHULUAN

Menurut WHO diabetes melitus adalah penyakit kronis dimana terdapat defisiensi terhadap produksi insulin yang disebabkan oleh faktor turunan atau yang didapat. Defisiensi tersebut mengakibatkan konsentrasi dari glukosa dalam darah untuk meningkat yang bisa merusak sistem organ dalam tubuh kita, terutama pembuluh darah dan saraf.1 Di anatara penyakit degeneratif, diabetes adalah satu penyakit di antara penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di masa mendatang. Menurut The World Health Report 1997 yang dipublikasikan oleh WHO, diprediksi akan terjadi peningkatan kasus diabetes melitus di dunia terutama pada daerah asia tenggara termasuk Indonesia. 2Diabetes yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi ini termasuk ketoasidosis diabetikum, penyakit kardivaskuler, penyakit ginjal kronis dan berbagai penyakit lainnya. Oleh karena ini pengobatan adekuat dari diabetes diperlukan dari segi farmaka maupun nonfarmaka.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


II.1 DEFINISI Menurut WHO diabetes dan tipenya dapat definisikan sebagai Diabetes : Penyakit kronis dimana terdapat defisiensi terhadap produksi insulin yang disebabkan oleh faktor turunan atau yang didapat. Defisiensi tersebut mengakibatkan konsentrasi dari glukosa dalam darah untuk meningkat yang bisa merusak sistem organ dalam tubuh kita, terutama pembuluh darah dan saraf. Diabetes melitus tipe 1: Diabetes tipe 1 (sebelumnya dikenal sebagai insulin-dependent) di mana pankreas gagal dalam memproduksi insulin, yang penting untuk kelangsungan hidup. Tipe 1 berkembang paling sering pada anak-anak dan remaja. Diabetes melitus tipe 2: Diabetes tipe 2 (dahulu disebut non-insulin-dependent) yang dihasilkan dari ketidakmampuan tubuh untuk merespon dengan baik terhadap aksi insulin yang dihasilkan oleh pankreas. Tipe 2 diabetes jauh lebih umum dan mewakili sekitar 90% dari semua kasus diabetes di seluruh dunia. Tipe 2 sering terjadi pada orang dewasa.1

II.2 KLASIFIKASI 1. Diabetes melitus tipe 1 Terjadi destruksi sel , umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut. Terjadi melalui proses imunologik atau idiopatik. Kekerapan di negara barat 10%, di negara tropik jauh lebih sedikit lagi. Gambaran klinis biasanya timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa akil balig. Tetapi ada juga yang timbul pada masa dewasa. 2. Diabetes melitus tipe 2 Jenis yang paling banyak ditemukan (lebih dari 90%). Timbul makin sering setelah umur 40 tahun.

3. Diabetes melitus tipe lain Defek genetik fungsi sel , defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati; karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang dan sindroma genetik lain yang berkaitan dengan DM (Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, chorea Hungtinton, porfiria, dan lain-lain). 4. Diabetes melitus gestasional Diabetes yang mulai timbul atau mulai diketahui selama kehamilan. 3

II.2 PATOGENESIS Patogenesis Diabetes melitus tipe 1 DM tipe 1 merupakan hasil interaksi antara faktor genetik, lingkungan, dan imunologi, yang ujungnya menyebabkan kerusakan sel beta pankreas dan defisiensi insulin. Diabetes melitus Tipe 1 adalah hasil dari kehancuran sel beta secara autoimun dan pada sebagian besar, tapi tidak semua, individu memiliki bukti adanya reaksi autoimun. Individu dengan kerentanan genetik memiliki massa sel beta yang normal pada waktu lahir namun mulai kehilangan sel beta secara sekunder karena kerusakan autoimun yang terjadi selama bulan-bulan hingga tahun. Proses autoimun diduga dipicu oleh stimulus infeksi atau lingkungan dan didukung oleh molekul spesifik sel-beta. Pada mayoritas kasus, penanda imunologi muncul setelah terjadi peristiwa yang memicu, tetapi sebelum diabetes terlihat secara klinis. Massa sel beta kemudian mulai menurun, dan sekresi insulin mengalami gangguan, meskipun toleransi glukosa normal masih dipertahankan. Fitur fitur diabetes tidak terlihat dengan jelas sampai sebagian besar sel beta rusak (~ 80%).

Patogenesis Diabetes melitus tipe 2 Diabetes tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, produksi glukosa hati yang berlebihan, dan metabolisme lemak yang abnormal. Obesitas, khususnya visceral atau pusat, sangat umum pada diabetes melitus tipe 2. Pada tahap awal kelainan, toleransi glukosa masih dalam batas normal, meskipun ada resistensi insulin, karena sel-sel beta pankreas mengimbanginya dengan mengeluarkan insulin lebih banyak. Seiring dengan peningkatan resistensi insulin dan kompensasi lewat hiperinsulinemia, pankreas pada individu tertentu tidak dapat mempertahankan keadaan hyperinsulinemic. Toleransi Glukosa terganggu(TGT), ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial, dan kemudian memburuk. Penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hepatik menyebabkan diabetes dengan gambaran hiperglikemia pada saat puasa.4

II.3 DIAGNOSIS DIABETES MELITUS Perkumpulan Endokrinologi Indonesia(PERKENI) membagi alur diagnosis DM menjadi 2 bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas dari DM terdir dari Polidipsia Poliuria Polifagia Berat badan turun tanpa sebab yang jelas

Gejala tidak khas DM diantaranya Lemas Kesemutan

Luka yang sulit sembuh Gatal Mata kabur Disfungsi ereksi(pria) Prruritus vulva(wanita)

Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal 1 kali aja cukup untuk menegakan diagnosis Apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan 2 kali pemeriksaan glukosa darah abnormal

Kriteria diagnosis DM 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl atau 2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa 126 mg/dl (puasa sedikitnya 8 jam) atau 3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dl (mengunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa yang dilarutkan didalam air.

Cara pemeriksaan TTGO* Tiga hari sebelumnya makan seperti biasa. Kegiatan jasmani cukup, tidak terlalu banyak. Puasa semalam, selama 10-12 jam. Glukosa darah puasa diperiksa. Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum selama / dalam waktu 5 menit. Diperiksa glukosa darah 1(satu) jam dan 2 (dua) jam sesudah beban glukosa. Selama pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.3

Interpretasi dari pemeriksaan glukosa darah menurut American Diabetes Association: Glukosa plasma puasa(mg/dl) Glukosa plasma 2 jam TTGO(mg/dl)

Normal Glukosa darah puasa terganggu(GDPT) Toleransi glukosa terganggu(TGT)

<100 100-125

<140

140-199

Diabetes

126

200

Bagan alur diagnosis untuk diabetes melitus

II.4 NILAI DIAGNOSTIK LAIN C-peptida

Sebuah byproduct dari produksi insulin, biasanya oleh pankreas. Tingkat/kadar C-peptida merupakan ukuran dari banyaknya insulin yang diproduksi oleh tubuh. C-peptida terdiri dari senyawa kimia yang disebut asam amino. Bila pankreas memproduksi insulin, ia melepaskan Cpeptida ke dalam aliran darah. Jumlah yang rendah dari C-peptida dalam darah menunjukan produksi insulin terlalu rendah (atau tidak terjadi) karena tipe I diabetes, juga dikenal sebagai diabetes anak-anak atau insulin-dependent. Jumlah tinggi yang abnormal dari C-peptida biasanya menunjukan adanya tumor e.g. insulinoma yang mensekresi insulin. Kadar normal dari C-peptida biasanya menandakan bahwa pasien berada dalam keadaan sehat. Namun, pada orang dengan diabetes, kadar normal dari C-peptida menunjukkan tubuh memproduksi banyak insulin, tetapi tubuh tidak bisa merespon dengan baik terhadapnya. Ini adalah ciri khas diabetes tipe 2. Oleh karena itu, C-peptida, mempunyai peran penting dalam diagnostik. Nilai C-peptida yang normal adalah (0,5-2 ng / ml). 5

Glycosilated hemoglobin

Pada usia 120 hari yaitu kehidupan normal sel darah merah, molekul glukosa bereaksi dengan hemoglobin, membentuk hemoglobin terglikasi. Pada individu dengan diabetes kurang terkontrol, kuantitas hemoglobin terglikasi jauh lebih tinggi daripada orang sehat. Setelah terglikasi molekul hemoglobin, tetap seperti itu. Penumpukan hemoglobin yang terglikasi dalam sel darah merah, mencerminkan bahwa sel-sel telah terpapar selama siklus hidup mereka. Hemoglobin terglikasi diukur untuk menilai efektivitas dari terapi dengan memantau regulasi jangka panjang dari glukosa serum. Tingkat/kadar HbA1c sebanding dengan konsentrasi glukosa darah rata-rata, selama empat minggu sebelumnya sampai tiga bulan. Menurut standar pelayanan medis American Diabetes Association 2010, kadar HbA1c 6,5% digunakan sebagai salah satu kriteria untuk diagnosis diabetes. Nilai normal HbA1c <6%.6

II. 5 KOMPLIKASI DIABETES MELITUS Diabetes mellitus atau DM jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki dan syaraf. Sejak ditemukanya insulin gambaran komplikasi DM bergeser dari komplikasi akut seperti koma ketoasidosis dan infeksi ke arah komplikasi kronik. Penyakit jantung koroner (PJK) dan penyakit pembuluh darah otak 2 x lebih besar, 50x lebih mudah menderita ulkus atau gangren , 7x lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal dan 25x lebih cenderung mengalami kebutaan akibat kerusakan retina daripada pasien non DM. Komplikasi DM pada dasarnya terjadi Pada semua pembuluh darah di seluruh bagian tubuh (Angiopati diabetik). A. Akut Ketoasidosis diabetik Hiperosmolar non ketotik Hipoglikemia

B. Kronik Makroangiopati : 1. 2. 3. Pembuluh koroner Vaskular perifer Vaskular otak

Mikroangiopati : 1. 2. Kapiler retina Kapiler renal

Neuropati Gabungan : Kardiopati :PJK,Kardiomiopati Rentan infeksi Kaki diabetic, disfungsi ereksi

II.6 PENATALAKSANAAN DIABETES MELITUS Kriteria pengendalian Diabetes Melitus:7

BAIK Glukosa darah(mg/dl) -puasa -2 jam posrandial HbA1.c(%) Kol. Total(mg/dl) Kol.LDL(mg/dl) Kol.HDL(mg/d;) Triglserida(mg/dl) Tekanan Darah 80-100 80-144 <6.5 <200 <100 >45 <150 130/80

SEDANG 126 180 8 240 130 200

BURUK

100-125 145-179 6.5-8 200-239 100-129

150-199 130-140/80-90

>140/90

Tujuan terapi untuk tipe 1 atau 2 tipe DM adalah untuk: (1) Menghilangkan gejala yang berhubungan dengan hiperglikemia (2) Mengurangi atau menghilangkan komplikasi mikrovaskuler dan makrovascular diabetes mellitus jangka panjang (3) Memungkinkan pasien untuk mencapai gaya hidup sewajar mungkin. Untuk mencapai tujuan tersebut, dokter harus mengidentifikasi tingkat target kontrol glikemik untuk setiap pasien, menyediakan pasien dengan sumber daya pendidikan dan farmakologi yang diperlukan untuk mencapai tingkat ini, dan memantau / mengobati komplikasi diabetes-terkait.

Penatalaksanaaan Diabetes Melitus mencangkup: A. Edukasi B. Terapi Gizi Medis C. Latihan jasmani D. Intervensi farmakologis

A. Edukasi: Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang : Perjalanan penyakit DM Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM Penyulit DM dan risikonya Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan. Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia). Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau

hipoglikemia.Pentingnya latihan jasmani yang teratur. Pentingnya perawatan diri. Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

B. Terapi Gizi Medis: Medical Nutritional Therapy(MNT) atau Terapi Gizi Medis adalah istilah yang digunakan oleh ADA untuk menggambarkan koordinasi optimal asupan kalori dengan aspek lain dari terapi diabetes (insulin, olahraga, penurunan berat badan). Untuk masyarakat umum, diet yang meliputi buah-buahan, sayuran, serat makanan yang mengandung, dan susu rendah lemak dianjurkan. Sebagaimana dengan aspek-aspek lain dari terapi diabetes, MNT harus disesuaikan untuk memenuhi tujuan masing-masing pasien. Selanjutnya, pendidikan MNT merupakan komponen penting dari perawatan diabetes yang komprehensif dan pendidikan harus diperkuat dengan edukasi pasien secara reguler. Secara umum, komponen MNT sama bagi individu dengan DM tipe 1 atau tipe 2.8

Tujuan MNT pada individu dengan DM tipe 1 adalah mengkoordinasikan asupan kalori yang sesuai, dengan jumlah yang insulin yang sesuai. MNT pada DM tipe 1 memerlukan pemantauan glukosa darah penderita yang terintegrasi untuk menentukan regimen insulin yang optimal. American Diabetes Association mendorong pasien dan penyedia layanan kesehatan

untuk mengambil keuntungan dari menghitung karbohidrat untuk memperkirakan kandungan gizi dari suatu makanan. Berdasarkan perkiraan kandungan karbohidrat pada makanan, rasio insulin-karbohidrat, dapat digunakan untuk menentukan dosis bolus insulin sesuai dengan makanan. MNT harus cukup fleksibel untuk memungkinkan kegiatan latihan/olahraga. Salah satu komponen penting dari MNT dalam DM tipe 1 adalah untuk meminimalkan kenaikan berat badan yang sering dikaitkan dengan manajemen diabetes intensif. Tujuan MNT pada DM Tipe 2 sedikit berbeda dan mengarah terhadap faktor risiko kardiovaskular (hipertensi, dislipidemia, obesitas) dan penyakit pada populasi ini. Kebanyakan orang mengalami obesitas, dan penurunan berat badan sangat dianjurkan dan harus tetap menjadi tujuan penting. MNT pada DM tipe 2 harus menekankan pengurangan kalori, mengurangi asupan lemak, meningkatkan aktivitas fisik, dan mengkontrol hiperlipidemia dan hipertensi. Peningkatan konsumsi serat dapat memperbaiki kontrol glikemik pada orang dengan diabetes tipe 2. Menurunkan berat badan dan olahraga meningkatkan resistensi insulin. 4

Perhitungan jumlah kalori: Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada tidaknya faktor stres akut, dan kegiatan jasmani. Penentuan status gizi dapat diapakai indeks mass tubuh(IMT) atau rumus Brocca

Penentuan status gizi berdasarkan Rumus Brocca Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus : berat badan idaman (BBI kg) = (TBcm - 100) -10%

Untuk laki-laki <160 cm, wanita<150 cm, perhitungan BB idaman tidak dikurangi 10%. Penentuan status gizi statuz gizi dihitung dari : (BB aktual : BB idaman) x 100% Berat badan kurang Berat badan normal Berat badab lebih Gemuk BB <90% BBI BB 90-110% BBI BB 110-120% BBI BB >120% BBI

Untuk kepentingan praktis dalam praktek di lapangan digunakan rumus Brocca.

Penetuan kebutuhan kalori per hari 1. Kebutuhan basal : Laki laki Wanita : BB idaman(kg) x 30 kalori : BB idaman(kg) x 25 kalori

2. Koreksi atau penyesuaian Umur diatas 40 tahun Aktivitas ringan (duduk-duduk,nonton televisi dll) Aktivitas sedang : +20% : -5% : +10%

(kerja kantoran, ibu rumah tangga, perawat, dokter) Aktivitas berat (olahragawan,tuakng becak dll) Berat badan gemuk Berat bdana lebih Berat badan kurang 3. Stres metabolik (infeksi, operasi,stroke dll) 4. Kehamilan trimester I dan II : +300 kalori : -20% : -10% : +20% : +10-30% : +30%

5. Kehamilan trimester III, menyusui : +500 kalori

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara makan besar.Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal, kecuali dalam pengaturan jadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk merubah pola makan ini secara bertahap sesuai dengan kondisi kebiasaan penderita.

C. Latihan jasmani Prinsip latihan jasmani bagi diabetisi, persis sama dengan prinsip latihan jasmani secara umum, yaitu memenuhi beberapa hal, seperti : frekuensi, intensitas, durasi dan jenis. Frekuensi: jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5 kali per minggu Intensitas: ringan dan sedang (60-70% Maximum heart rate) Durasi: durasi 30-60 menit Jenis: latihan jasmani endurans(aerobik) untuk meningkatkan kemampuan kardirespirasi seperti walking, jogging, berenang dan bersepeda Untuk menentukan intensitas latihan, dapat digunakan Maximum heart rate(MHR) yaitu 220 umur. Setelah MHR didaptkan, dapat ditentukan Target heart rate (THR). 8

D. Intervensi Farmakologis

Obat Antihiperglikemik oral atau OAD(oral anti diabetics) Golongan Sulfonilurea

Obat golongan ini sudah digunakan sejak tahun 1957. Golongan ini mempunyai sifat farmakologis yang serupa demikian juga efek klinis dan mekanisme kerjanya. Mekanismenya yaitu: 1. Menstimulasi pengelepasan insulin yang disimpan 2. Menurunkan ambang sekresi insulin 3. Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Obat ini hanya dapat bermanfaat untuk pasien yang masih mempunyai kemampuan mensekresi insulin (DM type II). Semua obat ini dapat menyebabkan hipoglikemia yang mungkin bersifat fatal, untuk mengurangi kemungkinanya, pada orang tua dipilih yang masa kerjanya pendek.

Golongan Biguanid

Saat ini golongan yang masih dipakai adalah metformin. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal dari reseptor insulin serta efeknya menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa

oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan dan juga disangka menghambat absorpsi glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan. Metformin menurunkan glokusa darah tapi tidak menyebabkan penurunan sampai dibawah normal, karena itu metformin tidak disebut sebagai obat hipoglikemik tapi sebagai obat anti hiperlipidemik.

Alfaglukosidase Inhibitor

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfaglukosidase didalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia posprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada keadaan insulin.

Insulin Sensitizing Agent

Thiazolidinediones adalah golongan obat baru yang mempunyai efek farmakologis yang meningkatkan sensitivitas insulin. Dapat diberikan secara oral. Golongan obat ini bekerja meningkatkan glukosa disposal pada sel dan mengurangi produksi glukosa di hati. Golongan obat ini baru mulai di pasarkan diluar negeri ( salah satu diantaranya adalah troglitazone) dan belum beredar di pasaran kita. Diharapkan obat ini dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin dan dapat pula di pakai untuk mengatasi berbagai manifestasi resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel beta pankreas. 7

Insulin

Saat ini tersedia berbagai jenis insulin, mulai dari human insulin sampai insulin analog. Memahami farmakokinetik berbagai jenis insulin menjadi landasan dalam penggunaan insulin sehingga pemakaiannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan tubuh. Sebagai contoh untuk kebutuhan insulin basal dan prandial, terdapat perbedaan antara jenis insulin yang digunakan. Dengan demikian, pada akhirnya, akan tercapai kadar glukosa darah sesuai sasaran terapi. Seperti telah diketahui, untuk memenuhi kebutuhan insulin basal dapat digunakan : o insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) atau o kerja panjang. (long - acting insulin ) Sementara untuk memenuhi kebutuhan insulin prandial (setelah makan) digunakan : o insulin kerja cepat (sering disebut insulin reguler/short-acting insulin) atau o insulin kerja sangat cepat (rapid- atau ultra-rapid acting insulin).

Di pasaran, selain tersedia insulin dengan komposisi tersendiri, juga ada sediaan yang sudah dalam bentuk campuran antara insulin kerja cepat atau sangat cepat dengan insulin kerja menengah (disebut juga premixed insulin)

Pada pasien DM Tipe 1,terapi insulin dapat diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan. Keputusan yang lebih sulit adalah menentukan waktu memulai terapi insulin pada pasien DM Tipe 2. Ada beberapa cara untuk memulai dan menyesuaikan dosis terapi insulin untuk pasien DM Tipe 2. Salah satu cara yang paling mutakhir dan dapat dipakai sebagai acuan adalah hasil Konsensus PERKENI 2006 dan Konsensus ADA-EASD tahun 2006. Sebagai pegangan, jika kadar glukosa darah tidak terkontrol dengan baik (A1C > 6.5%) dalam jangka waktu 3 bulan dengan 2 obat oral, maka sudah ada indikasi untuk memulai terapi kombinasi obat antidiabetik oral dan insulin. Pada keadaan tertentu di mana kendali glikemik amat buruk dan disertai kondisi katabolisme, seperti kadar glukosa darah puasa >250 m g /dL , kadar glukosa darah acak menetap >300 mg/dL, A1C >10%, atau ditemukan ketonuria, maka terapi insulin dapat mulai diberikan bersamaan dengan intervensi pola hidup.

Selain itu terapi insulin juga dapat langsung diberikan pada pasein DM yang memiliki gejala nyata (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan). Kondisi-kondisi tersebut sering ditemukan pada pasien DM Tipe1 atau DM Tipe 2 dengan defisiensi insulin yang berat. Apabila gejala hilang, obat antidiabetik oral dapat ditambahkan dan penggunaan insulin dapat dihentikan. Seperti telah diketahui, pada pasien DM terjadi gangguan sekresi insulin basal dan prandial untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal baik pada keadaan puasa maupun setelah makan. Dengan mengetahui mekanisme tersebut, maka telah dipahami bahwa hak ikat pengobatan DM adalah menurunkan kadar glukosa darah baik puasa maupun setelah makan. Dalam rangka mencapai sasaran pengobatan yang baik, maka diperlukan insulin dengan karakteristik menyerupai orang sehat, yaitu kadar insulin yang seusai dengan kebutuhan basal dan prandial. Pemberian insulin basal, selain insulin prandial, merupakan salah satu strategi pengobatan untuk memperbaiki kadar glukosa darah puasa atau sebelum makan. Oleh karena glukosa darah setelah makan merupakan keadaan yang dipengaruhi oleh kadar glukosa darah puasa, maka diharapkan dengan menurunkan kadar glukosa darah basal, kadar glukosa darah setelah makan juga ikut turun. 9

BAB III KESIMPULAN


Diabetes adalah sebuah penyakit yang sangat luas disebabkan oleh factor genetic maupun lingkungan yang saling berinteraksi. Sehingga penatalaksanaanya mesti dihimbau dari berbagai segi, seperti gaya hidup dan pengobatan farmaka maupun non farmaka. Oleh karena penyakit ini tergolong kronis maka mesti selalu diingat untuk memberi dukungan supportif kepada pasien melalui edukasi dan target dari terapi yang mereka ikuti.

BAB IV DAFTAR PUSTAKA


1. WHO.Programmes and projects. Diabetes Action Online. Defining diabetes. Dikutip 3 December 2010. Dapat di akses di : http://www.who.int/diabetesactiononline/diabetes/en/ 2. Suyono S. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2009 3. Purnawasari D. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2009 4. Alvin C. Powers. Diabetes Mellitus. Dalam Dennis L. Kasper, MD, Eugene Braunwald, MD, Anthony S. Fauci, MD, Stephen L. Hauser, MD, Dan L. Longo, MD, J. Larry Jameson, MD, PhD. HARRISONS PRINCIPLES of Internal Medicine 16th edition; 2005 5. Ari S. Eckman, MD, Division of Endocrinology and Metabolism, Johns Hopkins School of Medicine, Baltimore, MD.Insulin C-peptide. Medline plus. Dikutip 3 December 2010. Dapat di akses di : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003701.htm 6. Executive Summary: Standards of Medical Care in Diabetes - 2010. American Diabetes Association. Dikutip 3 December 2010. Dapat di akses di : http://care.diabetesjournals.org/content/33/Supplement_1/S4.extract 7. Soegondo S. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus tipe 2. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2009 8. Yunir E., Soebardi S.Terapi non farmakologis pada diabetes melitus. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2009 9. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, Prof. dr. Djoko Wahono Soeatmadji, SpPDKEMD, Prof H.A.H Asdie.Terapi Insulin pada pasien diabetes melitus. Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Melitus. Dipublikasi 2008.

You might also like