You are on page 1of 4

WANITA SEBAGAI KEPALA NEGARA

A. Pendahuluan Setiap kali membicarakan kedudukan wanita, mau tidak mau mesti membicarakan juga kedudukan laki-laki. Jadi sama saja dengan membicarakan masalah manusia dalam keseluruhan. Membicarakan kedudukan wanita sebenarnya bukan semata-mata

membicarakan hak-hak, tetapi kewajiban-kewajiban. Bukan semata-mata berupa tuntunan juga pengorbanan wanita lainya. Kedudukan wanita dihadapan alloh SWT adalah sama saja dengan kaun laki-laki. Demikian juga sebagi warga masyarakat. Namun demikian bagaimanakah jika seorang wanita memimpin sebagai kepala negara?

B. Pembahasan Kata kepemimpinan (riasah) menenuntut adanya dua hal; masyarakat dan tuan atau pemimpin yang ditaati. Dan jika angota masyarakat ada kemampuan, kapasitas dan keahliannya dan ini mustahil maka tidak ada pemimpin diantara mereka. Dan jika masayrakat tidak ada pemimpin , dan sebaliknya tidak benar. Pemimpin tidak dianggap sebagai pemimpin kecuali ada masyarakt yang terdiri dari kumpulan keluarga-keluarga dan individu-individu. Pemimpin ini haraus memiliki kelebihan atas individu-individu masyarakat, bila ia hendak menjadi pemimpin. Untuk memimpin Negara beberapa criteria yang wajib dipenuhi. Diantaranya, kesabaran, keberanian, kepercayaan, kebaikan moral, kemanusian, keadilan, kecerdasan dan kepandaian. Karena Negara mambutuhkan pemimpin yang dapat mempertahankan Negara bila terjadi peperangan, ia memiliki dedikasi tinggi, pemikiran yang mendalam, agar dapat menjalankan roda-roda pemerintahan. Perbandingan dalam hal seperti ini adalah satu banding seribu. Wanita yang memiliki sifat-sifat seperti ini masih jarang kita temui. Atas dasar inilah , maka jarang sekali wanita yang mejadi ratu atau pemimpin pad setiap zaman. Sedangkan islam mewajibkan pengangkatan pemimpin dari laki-laki. Tidak boleh wanita. Meskipun wanita ini memiliki kepandaian, kecerdasan, dan mukminat yang taat sekalipun. Dalam islam sendiri disebutkan bahwa larangan pengangkatan wanita untuk mengurusi masalah-masalah kaum laki-laki, apalagi urusan masyarakat seluruhnya. Rasulullah SAW telah bersabda sesuatu kaum tidak akan memdapat keberuntungan jika mereka meyerahkan kepemimpinan urusan kepada wanita Pemisahan antara kaum laki-laki dan wanita untuk persoalan ini sangat penting karena tidak bisa disamakan dengan laki-laki. Susunan organ tubuhnya sangat berbeda dengan laki-laki. Begitu pula susunan otaknya dan jiwanya. Oleh karena itu, wanita tidak cocok untuk memimpin negara. Ilmu modern telah membuktikan bahwa fisik wanita sangat berbeda dengan fisik

laki-laki. Perbedaan ini dikaitkan dengan emosi wanita yang sangat berlebihan. Tidak betul dan tidak masuk akal bila kita memilih wanita untuk komandan tentara atau pemimpin kaum muslimin melakukan sholat, sholat jumat, atau membaca khotbah. Namun sejajar dengan itu, sebagai warga masyarakat yang penuh, kaum wanita memiliki hak sepenuhnya untuk memikirkan masalah masyarakat, memcarikan penyelesaian atas soal-soal yang dihadapi masyarakat, serta berusaha dan membangun masyarakat itu sesuai dengan keinginan dan keyakinannya dalam bidang social, ekonomi maupun politik dalam arti yang seluas-luasnya. Pada masa Rosulullah SAW, memang tidak nama-nama yang yang menunjukan bahwa diantara kaum wanita yang ada menduduki tempat sebagai misalnya, mentri dalam pengertian sekarang. Walaupun demikian, nama Siti Khotijah cukup menggambarkan peran wanita dalam dunia perdagangan. Siti Aisyah yang memimpin peperangan. Contoh ini menunjukan keaktifan kaum wanita mengambil bagian dalam politik. Masih banyak lagi nama-nama wanita islam yang termashr didalam iklmu pengetahuan. Seperti Ummu Habib sehinga memdapat julukan Fakhrunisa (kejayaan wanita) Masalahnya sekarang adalah kalau untuk jabatab-jabatan umum seperti adminitrasi pemerintahan, wanita berhak mendudukinya, mengapa masalah ini berbeda pendapat, mengingat sangat umumnya hak-hak wanita itu menurut ajaran islam, maka wanita pun berhak sepenuhnya menduduki jabatab sebagai jabatab kepala Negara. Sebagian lagi berpendapat, kalau untuk semua jabatan umum wanita berhak mendudukinya, maka terhadap jabatab kepala Negara, wanita tidak berhak mendudukinya. Seperti alasan-alasan yang telah dikenukakan dan dengan hadist Rosulullah SAW, yang meyatakan bahwa tidak bahagia sesuatu kaum yang meyerahkan kekuasaan Negara kepada wanita ( H.R. Bukhori hakim, tirmizi dan Nasai)

C. Kesimpulan

Daftar pustaka Anwar Harjono, 1995 Indonesia kita pemikiran berwawasan iman-islam, gema insani press, Jakarta. Didin Hanifudin, & Hendri Tanjung, 2003 manajemen Syariat dalam praktek, gema insani Press, Jakarta,

You might also like