You are on page 1of 14

Skenario PBL 3 Blok 30 Seorang ibu muda bersama dengan seorang anak perempuannya yang baru berusia 11 tahun

datang ke poliklinik anak di sebuah Rumah Sakit. Setelah berada di dalam ruang periksa Dokter, si ibu menjelaskan bahwa anaknya mengeluh sakit bila ingin kencing sejak dua hari lalu. Dalam wawancara berikutnya dokter tidak memperoleh keterangan lain, maka dokter pun memulai melakukan pemeriksaan fisik pada si anak. Pada pemeriksan fisik dokter menemukan robekan lama selaput dara disertai dengan erosi dan peradangan jaringan vulva sisi kanan. Dokter berkesimpulan bahwa sangat besar kemungkinan telah terjadi persetubuhan beberapa hari sebelumnya. Dokterpun lebih intensif mengorek keterangan dari si anak dan si ibu. Akhirnya terungkaplah fakta bahwa si anak telah disetubuhi oleh seorang laki-laki yang telah lama dikenalnya sebagai pacar si ibu. Si ibu telah bercerai 3 tahun dengan suaminya (ayah dari si anak) dan saat ini sedang menjalin hubungan dengan laki-laki lain sebagai pacarnya. Si ibu meminta kepada dokter agar jangan membawa kasus ini ke polisi karena ia akan malu dibuatnya. Ia berjanji untuk memutuskan hubungan dengan laki-laki tersebut agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Dokter menilai bahwa pasien perlu dikonsultasikan kepada ahlinya. A. Pendahuluan Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Undang undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 184 ayat 1 yang menyebutkan : Alat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi b. keterangan ahli c. surat d. petunjuk e. keterangan terdakwa. Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana
1

perkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Peranan visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan menunjukkan peran yang cukup penting bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan. B. Pengertian Anak, Konsep dan Batasan Anak di Bawah Umur 1) Pengertian Anak Kelahiran anak (bayi) karena perkawinan mempunyai/menimbulkan akibat hukum. Dalam lapangan hukum perdata akibat hukum ini berpokok kepada anak dan kewajiban seperti : kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak dan penyangkalan sahnya anak, perwalian, pendewasaan, dan pengangkatan anak. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1979 pasal 1 ayat 2 dijelaskan tentang pengertian anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum pernah kawin. Batasan 21 tahun ini ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia 21 tahun. Sedangkan pengertian anak menurut pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup umur, dengan belum cukup umur dimaksudkan adalah mereka yang melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun. Dalam Konvensi Hak Anak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, sedangkan dalam KUHP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 17 tahun. 2. Konsep dan Batasan anak dibawah umur Konsep dan batasan anak di bawah umur bertolak pada KUHP dan konvensi Hak-Hak Anak (KHA), dimana KUHP memberikan batasan anak di bawah umur adalah lima belas tahun, sedangkan dalam KHA memberikan batasan anak di bawah umur adalah delapan belas tahun. Secara fakta psikologi anak usia 17 tahun masih labil sehingga batasan umur dalam KHA dirasa lebih tepat. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak disebutkan bahwa anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin masih tergolong anak di bawah umur. sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memberikan batasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau dibawah perwalian sebelum mencapai 18 tahun masih tergolong anak di bawah umur. dalam Undang-Undang pemilu yang dikatakan anak di bawah umur adalah belum mencapai usia 17 tahun, sedangkan dalam konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak memberikan batasan anak di bawah umur adalah di bawah umur 18 tahun. C. Kejahatan Asusila terhadap Anak di bawah Umur
2

Dari hasil penelitian oleh Lembaga Perlindunga Anak (LPA) jenis-jenis kekerasan yang dialami oleh anak-anak dibedakan menjadi tiga, yakni kekerasan mental (mental abuse), kekerasan fisik (physical abuse), dan kekerasan seksual (sexual abuse). Jenis kekerasan fisik atau physical abuse adalah jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak, disusul kemudian dengan kekerasan mental dan kekerasan seksual, tetapi yang menjadi pokok pembahasan penulis adalah kekerasan seksual terhadap anak-anak. Bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang terjadi pada anak-anak dan si pelaku banyak tergantung pada kontek atau setting tempat yang memungkinkan terjadinya tindak kekerasan dan kejahatan terhadap anak-anak di bawah umur. Tindak kekerasan dan kejahatan yang dimaksud adalah setiap perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau tubuh/fisik menjadi tindak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini biasanya berupa kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan. Keadaan fisik tidak nyaman bisa berupa lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya. Setiap jenis kekerasan terdiri dari berbagai macam bentuk kekerasan dan kejahatan, dan bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang pernah dialami oleh para korban berbeda-bedasa seperti perlakuan tidak senonoh, perayuan, pencolekan, pemaksaan onani, oral seks, anal seks dan pemerkosaan adalah bentuk kekerasan dan kejahatan yang sering dialami oleh anak-anak di bawah umur. Tindak kekerasan di sini diartikan sebagai setiap perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau tubuh (fisik) menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini bisa berupa: kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan, sedangkan keadaan fisik tidak nyaman bisa berupa: lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya. D. Pemeriksaan pada Korban Pemeriksaan secara medis pada korban kejahatan seksual, baik pada anak-anak maupun dewasa pada dasarnya sama dengan pada pasien lain, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang : 1) Ambil data-data Polisi, korban dokter dan perawat terkait. 2) Anamnesis : Umur. Status perkawinan. Haid : siklus, terakhir. Waktu kejadian. Penyakit kelamin dan kandungan. Tempat kejadian. Penyakit lain seperti ayan dll. Apakah korban melawan ? Pernah bersetubuh? Waktu Apakah korban pingsan ? persetubuhan terakhir? Apakah terjadi penetrasi Menggunakan kondom ? Apakah terjadi ejakulasi ?

3) Periksa pakaian : Robekan lama / baru / memanjang / melintang ? Kancing putus. Bercak darah, sperma, lumpur dll. Pakaian dalam rapih atau tidak ? Benda-benda yang menempel sebagai trace evidence. 4) Pemeriksaan badan : Rambut / wajah rapi atau kusut. Emosi tenang atau gelisah. Tanda bekas pingsan, alkohol, narkotik. Ambil contoh darah. Tanda kekerasan : Mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha Trace evidence yang menempel pada tubuh. Perkembangan seks sekunder. Tinggi dan berat badan. Pemeriksaan rutin lainnya. Genitalia : Pada pemeriksaan fisik anak, temuan tidak spesifik yaitu temuan yang mungkin sebagai akibat dari seksual abuse, tergantung pada jarak saat pemeriksaan dan saat abuse, tetapi mungkin juga akibat sebab lain atau merupakan varian yang normal Eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar anus(dapat akibat zat iritan, infeksi atau iritan) Adhesi labia ( mungkin akibat iritasi atau rabaan) Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi atau karena traksi labia mayor pada pemeriksaan) Penebalan selaput dara (mungkin akibat estrogen, terlipatnya tepi selaput, bengkak karena infeksi ataun trauma) Kulit genital semu (mungkin jumbai kulit atau kulit bukan genital mungkin Condyloma acuminata yang didapat bukan dari seksual) Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal) Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna) Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal) Kongesti vena atau pooling vena (biasanya akibat posisi anak, juga ditemuka pada konstipasi) Perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain, seperti uretra, atau mungkin akibat infeksi vagina, benda asing atau trauma yang aksidental Dugaan kekerasan seksual (suggestive of sexual abuse) : Temuan pada anak yang telah memiliki riwayat abuse, mungkin ada abuse, tetapi tidak cukup data yang menunjukkan bahwa abuse adalah satu-satunya penyebab. Riwayat sangat krusial dalam menentukan makna keseluruhannya :

Pelebaran anus (notch atau cleft) selaput dara di daerah posterior, mencapai dekat dasar (sering merupakan artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi bila konsisten pada beberapa posisi, maka mungkin akibat kekerasan tumpul atau penetrasi sebelumnya) Lecet akut, laserasi atau memar labia, jaringan sekitar selaput dara atau perineum (mungkin akibat trauma aksidental, keadaan dermatologis seperti lichen sclerosus atau hemangioma) Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau paha bagian dalam Jaringan parut atau laserasi baru daerah posterior fourchette tanpa mengenai selaput dara( dapat akibat trauma aksidental) Jaringan parut perianal (jarang, mungkin akibat keadaan medis lain seperti chrons disease atau akibat tindakan medis sebelumnya) Pemeriksaan ekstra genital Pemeriksaan terhadap pakaian dan benda-benda yang melekat pada tubuh Deskripsikan luka Pemeriksaan rongga mulut pada kasus oral sex Scrapping pada kulit yang memiliki noda sperma Pemeriksaan kuku jari korban untuk mencari material dari tubuh pelaku Pemeriksaan anal 5) Deskripsikan mengenai adanya robekan, iregularitas, keadaan fissura. Apabila terjadi hubungan seksual secara anal, maka dapat terjadi perlukaan pada anus. 6) Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan seperti : Pemeriksaan darah Pemeriksaan cairan mani (semen) Pemeriksaan kehamilan Pemeriksaan VDRL Pemerikaan serologis Hepatitis Pemeriksaan Gonorrhea Pemeriksaan HIV Pemeriksaan rambut, air liur, dan pemeriksaan pria tersangka.

E. Pembuatan Visum et Repertum Sebelum melakukan pemeriksaan, ada hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang dokter 1. Memiliki permintaan tertulis dari penyidik Untuk dapat melakukan pemeriksaan yang berguna untuk peradilan, dokter harus melakukannya berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang berwenang. Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda bukti. Apabila korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan dari polisi, korban jangan diperiksa dahulu tetapi diminta untuk kembali kepada polisi dan datang bersama polisi. Visum et Repertum dibuat hanya berdasarkan atas keadaan yang didapatkan pada tubuh korban pada saat permintaan Visum et Repertum diterima oleh dokter. Jika dokter telah memeriksa korban yang datang di rumah sakit, atau di tempat praktek atas inisiatif korban sendiri tanpa permintaan polisi, lalu beberapa waktu kemudian polisi mengajukan permintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum, maka hasil pemeriksaan sebelumnya tidak boleh

dicantumkan dalam Visum et Repertum karena segala sesuatu yang diketahui dokter tentang diri korban sebelum ada pemintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum merupakan rahasia kedokteran yang wajib disimpannya (KUHP pasal 322). Dalam hal demikian, korban harus dibawa kembali untuk diperiksa dan Visum et Repertum dibuat berdasarkan keadaan yang ditemukan pada waktu permintaan diajukan. Hasil pemeriksaan yang lalu tidak dicantumkan dalam bentuk Visum et Repertum, tetapi dalam bentuk surat keterangan. 2. Informed Consent Sebelum memeriksa, dokter harus mendapatkan surat ijin terlebih dahulu dari pihak korban, karena meskipun sudah ada surat permintaan dari polisi, belum tentu korban menyetujui dilakukannya pemeriksaan atas dirinya. Selain itu, bagian yang akan diperiksa meliputi daerah yang bersifat pribadi. Jika korban sudah dewasa dan tidak ada gangguan jiwa, maka dia berhak memberi persetujuan, saudaranya atau pihak keluarga tidak berhak memberikan persetujuan. Sedangkan jika korban anak kecil dan jiwanya terganggu, maka persetujuan diberikan oleh orang tuanya atau saudara terdekatnya, atau walinya. Dalam melakukan pemeriksaan, tempat yang digunakan sebaiknya tenang dan dapat memberikan rasa nyaman bagi korban. Oleh karena itu, perlu dibatasi jumlah orang yang berada dalam kamar pemeriksaan, hanya dokter, perawat, korban, dan keluarga atau teman korban apabila korban menghendakinya. Pada saat memeriksa, dokter harus didampingi oleh seorang perawat atau bidan. 3. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secepat mungkin Korban sebaiknya tidak dibiarkan menunggu dengan perasaan was-was dan cemas di kamar periksa. Pemeriksa harus menjelaskan terlebih dahulu tindakan-tindakan yang akan dilakukan pada korban dan hasil pemeriksaan akan disampaikan ke pengadilan.Visum et Repertum diselesaikan secepat mungkin agar perkara dapat cepat diselesaikan. Sebagai dokter klinis, pemeriksa bertugas menegakkan diagnosis dan melakukan pengobatan. Adanya kemungkinan terjadinya kehamilan atau penyakit akibat hubungan seksual (PHS) harus diantisipasi dan dicegah dengan pemberian obat-obatan. Pengobatan terhadap luka dan keracunan harus dilakukan seperti biasanya. Pengobatan secara psikiatris untuk penanggulangan trauma pasca perkosaan juga sangat diperlukan untuk mengurangi penderitaan korban. Sebagai dokter forensik pemeriksa bertugas mengumpulkan berbagai. bukti yang berkaitan dengan pemenuhan unsur-unsur delik seperti yang dinyatakan oleh undang-undang, dan menyusun laporan visum et repertum. Secara umum dokter bertugas mengumpulkan bukti adanya kekerasan, keracunan, tanda persetubuhan, penentuan usia korban dan pelacakan benda bukti yang berasal dari pelaku. Pencarian benda-benda bukti yang berasal dari pelaku pada tubuh atau pakaian korban dan tempat kejadian perkara merupakan hal penting yang paling sering dilupakan oleh dokter. Pada kasus perkosaan dan delik susila lainnya perlu dikumpulkan informasi-informasi sebagai berikut : 1. Umur korban Umur korban amat perlu ditentukan pada pemeriksaan medis, karena hal itu menentukan jenis delik (delik aduan atau bukan), jenis pasal yang dilanggar dan jumlah hukuman yang dapat dijatuhkan.

Dalam hal korban mengetahui secara pasti tanggal lahirnya/umurnya, apalagi jika dikuatkan oleh bukti diri (KTP,SIM dsb) , maka umur dapat langsung disimpulkan dari hal tersebut. Akan tetapi jika korban tak mengetahui umurnya secara pasti maka perlu diperiksa erupsi gigi molar II dan molar III. Gigi molar II mengalami erupsi pada usia kurang lebih 12 tahun, sedang gigi molar III pada usia 17 sampai 21 tahun. Untuk wanita yang telah tumbuh molar IInya, perlu dilakukan foto ronsen gigi. Jika setengah sampai seluruh mahkota molar III sudah mengalami mineralisasi (terbentuk) , tapi akarnya belum maka usianya kurang dari 15 tahun. Kriteria sudah tidaknya wanita mengalami haid pertama atau menarche tak dapat dipakai untuk menentukan umur karena usia menarch saat ini tidak lagi pada usia 15 tahun tetapi seringkali jauh lebih muda dari itu. Tanda kekerasan Yang dimaksud dengan kekerasan pada delik susila adalah kekerasan yang menunjukkan adanya unsur pemaksaan, seperti jejas bekapan pada hidung, mulut dan bibir, jejas cekik pada leher, kekerasan pada kepala, luka lecet pada punggung atau bokong akibat penekanan, memar pada lengan atas dan paha akibat pembukaan secara paksa, luka lecet pada pergelangan tangan akibat pencekalan dsb. Adanya luka-luka ini harus dibedakan dengan luka-luka akibat "foreplay" pada persetubuhan yang "biasa" seperti luka isap (cupang) pada leher, daerah payudara atau sekitar kemaluan, cakaran pada punggung (yang sering -terjadi saat orgasme) dsb. Luka-luka yang terakhir ini memang merupakan kekerasan tetapi bukan kekerasan yang dimaksud pada delik perkosaan. Adanya luka-luka jenis ini harus dinyatakan secara jelas dalam kesimpulan visum et repertum untuk menghindari kesalahan interpretasi oleh aparat penegak hukum. Tanpa adanya kejelasan ini suatu kasus persetubuhan biasa bisa disalahtafsirkan sebagai perkosaan yang berakibat hukumannya menjadi lebih berat. Pemeriksaan toksikologi untuk beberapa jenis obat-obatan yang umum digunakan untuk membuat orang mabuk atau pingsan perlu pula dilakukan, karena tindakan membuat orang mabuk atau pingsan secara sengaja dikategorikan juga sebagai kekerasan. Obat-obatan yang perlu diperiksa adalah obat penenang, alkohol, obat tidur, obat perangsang (termasuk ecstasy) dsb. Tanda persetubuhan Tanda persetubuhan secara garis besar dapat dibagi dalam tanda penetrasi dan tanda ejakulasi. Tanda penetrasi biasanya hanya jelas ditemukan pada korban yang masih kecil atau belum pernah melahirkan atau nullipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat menyebabkan terjadinya robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5 sampai 7, luka lecet, memar sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir kemaluan maupun daerah perineum. Adanya penyakit keputihan akibat jamur Candida misalnya dapat menunjukkan adanya erosi yang dapat disalah artikan sebagai luka lecet oleh pemeriksa yang kurang berpengalaman. Tidak ditemukannya luka-luka tersebut pada korban yang bukan nulipara tidak menyingkirkan kemungkinan adanya penetrasi.

Tanda ejakulasi bukanlah tanda yang harus ditemukan pada persetubuhan, meskipun adanya ejakulasi memudahkan kita secara pasti menyatakan bahwa telah terjadi persetubuhan. Ejakulasi dibuktikan dengan pemeriksaan ada tidaknya sperma dan komponen cairan mani. Untuk uji penyaring cairan mani dilakukan pemeriksaan fosfatase asam. Jika uji ini negatif, kemungkinan adanya ejakulasi dapat disingkirkan. Sebaliknya jika uji ini positif, maka perlu dilakukan uji pemastian ada tidak sel sperma dan cairan mani. Usapan lidi kapas diambil dari daerah labia minora, liang vagina dan kulit yang menunjukkan adanya kerak. Adanya rambut kemaluan yang menggumpal harus diambil dengan cara digunting, karena umumnya merupakan akibat ejakulasi di daerah luar vagina. Untuk mendeteksi ada tidaknya sel mani dari bahan swab dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopik secara langsung terhadap ekstrak atau dengan Pembuatan preparat tipis yang diwarnai dengan pewarnaan malachite green atau christmas tree. Jika yang akan diperiksa sampel berupa bercak peda pakaian dapat dilakukan pemeriksaan Baechi, dimana adanya sperma akan tampak berupa sel sperma yang terjebak diantara serat pakaian. Sel sperma positip merupakan tanda pasti adanya ejakulasi. Kendala utama pada pemeriksaan ini adalah jika sel sperma telah hancur bagian ekor dan lehernya sehingga hanya tampak kepalanya saja. Untuk mendeteksi kepala sperma semacam ini harus diyakini bahwa memang kepala tersebut masih memiliki topi (akrosom). Adanya cairan mani dicari dengan pemeriksaan terhadap beberapa komponen sekret kelenjar kelamin pria (khususnya kelenjar prostat) yaitu spermin (dengan uji Florence), cholin (dengan uji Berberio) dan zink (dengan uji PAN) . Suatu temuan berupa sel sperma negatif tapi komponen cairan mani positip menunjukkan kemungkinan ejakulasi oleh pria yang tak memiliki sel sperma (azoospermi) atau telah menjalani sterilisasi atau vasektomi. F. Dampak perkosaan Dampak perkosaan berupa terjadinya gangguan jiwa, kehamilan atau timbulnya penyakit kelamin harus dapat dideteksi secara dini. Khusus untuk dua hal terakhir, pencegahan dengan memberikan pil kontrasepsi serta antibiotic lebih bijaksana dilakukan ketimbang menunggu sampai komplikasi tersebut muncul. 1. Pelaku perkosaan Aspek pelaku perkosaan merupakan merupakan aspek yang paling sering dilupakan oleh dokter. Padahal tanpa adanya pemeriksaan ke arah ini, walaupun telah terbukti adanya kemungkinan perkosaan. amatlah sulit menuduh seseorang sebagai pelaku pemerkosaan. Untuk mendapatkan informasi ini dapat dilakukan pemeriksaan kutikula rambut dan pemeriksaan golongan darah dan pemeriksaan DNA dari sampel yang positip sperma/maninya. 2. Dampak Bagi Korban Dampak secara fisik yang dapat terjadi pada anak korban kekerasan seksual adalah mengalami infeksi di saluran reproduksinya. Misalnya, mengalami keputihan dan memar di bagian kelamin. Selain itu mereka juga sangat beresiko terhadap penyakit menular seksual dan mengalami kehamilan. Padahal, kehamilan di usia dini bisa membahayakan bagi yang mengandung maupun janin yang dikandung. Dengan demikian anak korban yang mengalami kehamilan membutuhkan pengawasan medis secara intensif. Akibat lain dari kasus kekerasan seksual adalah dampak psikologis berupa trauma yang dialami sebagian besar korban. Bentuk trauma berbeda antara satu korban dengan korban

lainnya. Trauma ini tergantung dari usia korban serta bentuk kekerasan yang dialami korban. Trauma dapat berupa ketakutan bertemu dengan orang lain, mimpi buruk atau ketakutan saat sendiri. 3. Dampak pada lingkungan sekitar korban Dampak lebih besar terjadi apabila lingkungan korban tidak mendukung korban. Akibatnya, korban menjadi malu dan rendah diri. Banyak korban yang akhirnya harus pindah dari sekolah karena selalu menjadi bahan perbincangan guru dan teman di sekolahnya. Bahkan ada keluarga korban yang harus pindah tempat tinggal karena dianggap telah membuat cemar lingkungan tempat tinggalnya. Banyak hal yang dapat dilakukan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Pendampingan psikologis dapat dilakukan melalui dukungan kepada korban dan keluarga korban. Dukungan ini akan menjadi kekuatan tersendiri bagi korban dan keluarga ketika menghadapi kasus tersebut. Anak-anak korban ini rentan terhadap infeksi dan harus mendapatkan perawatan agar tidak mengganggu kesehatan reproduksi mereka di masa yang akan datang. Karena itulah, pelayanan medis secara intensif sangat diperlukan bagi korban. Selain dukungan medis dan psikologis, korban juga membutuhkan pendampingan di bidang hukum, mulai dari pendampingan di kepolisian sampai dengan proses di pengadilan. Selama mendampingi proses hukum, pengawalan terhadap proses hukum yang terjadi dalam setiap tahapnya sangatlah penting. Hal yang perlu dikawal antara lain, apakah semua proses sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; apakah dalam penyidikan polisi sudah memperhatikan hak-hak anak; apakah hakim mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih berperspektif pada korban; apakah jaksa yang merupakan wakil korban di pengadilan juga sudah berperspektif pada korban. G. Peranan LSM Untuk menangani kasus kekerasan seksual, diperlukan kerjasama antara beberapa lembaga yang memiliki kepedulian terhadap korban. Dengan berjaringan, kerja yang dilakukan diharapkan akan lebih bersinergi. Jaringan yang bisa dibangun misalnya antara rumah sakit, LSM, kepolisian, pemerintah melalui dinas terkait seperti Dinas Kesejahteraan Rakyat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DKRPP-KB), Dinas Kesehatan, Bappeda dan Masyarakat. Pusat krisis terpadu (PKT) bertujuan untuk memberikan pelayanan menyeluruh bagi parakorban kekerasan terhadap perempuan (KTP) dan anak (KTA), baik dibidang klinik, medikolegal dan psikososial ; dengan tujuan akhir adalah pemberdayaan perempuan, dalam mencapai derajat kesehatan secara optimal. Sasaran : 1. Korban kekerasan seksual pada perempuan dewasa. 2. Korban kekerasan seksual pada anak. 3. Korban kekerasan dalam rumahtangga. 4. Korban penganiayaan dan penelantaran anak. Peran Pekerja Sosial Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban; Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga social yang dibutuhkan korban. Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat Peran Relawan Pendamping : Relawan Pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan. Bentuk pelayanannya adalah: Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping; Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban. H. Aspek Hukum KUHP pasal 291 1. Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 288 dan 290 itu berakibat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. 2. Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam apsal 285, 286, 287, 289 dan 290 itu berakibat matinya orang, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun. KUHP pasal 294 Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya atau anak piaraannya, anak yang di bawah pengawasannya, orang dibawah umur yang diserahkan kepadanya untuk dipelihara, dididiknya atau dijaganya, atau bujangnya atau orang yang dibawah umur, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun. Dengan itu dihukum juga: 1. Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawahnya/ orang yang dipercayakan/ diserahkan kepadanya untuk dijaga. 2. Pengurus, dokter, guru, pejabat, pengurus atau bujang di penjara, di tempat bekerja kepunyaan negeri, tempat pendidikan, rumah piatu, RS gila atau lembaga semua yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan kesitu. Penentuan Jenis Delik Suatu laporan tentang seorang yang disetubuhi atau dilecehkan secara seksual oleh seseorang lainnya tidak selalu berarti kasusnya adalah perkosaan. Untuk kasus-kasus semacam ini kita harus memilah termasuk kategori delik yang manakah kasus tersebut, yang masing masing mempunyai kriteria dan hukuman yang berbeda satu sama lain. Perkosaan

Menurut KUHP pasal 285 perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk dalam kategori kekerasan disini adalah dengan sengaja membuat orang pingsan atau tidak berdaya (pasal 89 KUHP). Hukuman maksimal untuk delik perkosaan ini adalah 12 tahun penjara. Persetubuhan diluar perkawinan Persetubuhan diluar perkawinan antara pria dan wanita yang berusia diatas 15 tahun tidak dapat dihukum kecuali jika perbuatan tersebut dilakukan terhadap wanita yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Untuk perbuatan yang terakhir ini pelakunya dapat dihukum maksimal 9 tahun penjara (pasal 286 KUHP) jika persetubuhan dilakukan terhadap wanita yang diketahui atau sepatutnya dapat diduga berusia dibawah 15 tahun atau belum pantas dikawin maka pelakunya dapat diancam hukuman penjara maksimal 9 tahun. Untuk penuntutan ini harus ada pengaduan dari korban atau keluarganya (pasal 287 KUHP) . Khusus untuk yang usianya dibawah 12 tahun maka untuk penuntutan tidak diperlukan adanya pengaduan. Perzinahan Perzinahan adalah persetubuhan antara pria dan wanita diluar perkawinan, dimana salah satu diantaranya telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. Khusus untuk delik ini penuntutan dilakukan oleh pasangan dari yang telah kawin tadi yang diajukan dalam 3 bulan disertai gugatan cerai/pisah kamar/pisah ranjang. Perzinahan ini diancam dengan hukuman pen]ara selama maksimal 9 bulan. Perbuatan cabul Seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, maka ia diancam dengan hukuman penjara maksimal 9 tahun (pasal 289 KUHP). Hukuman perbuatan cabul lebih ringan, yaitu 7 tahun saja jika perbuatan cabul ini dilakukan terhadap orang yang sedang pingsan, tidak berdaya. berumur dibawah 15 tahun atau belum pantas dikawin dengan atau tanpa bujukan (pasal 290 KUHP). Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap orang yang belum dewasa oleh sesama jenis diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 291 KUHP). Perbuatan cabul yang dilakukan dengan cara pemberian, menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa atau penyesatan terhadap orang yang belum dewasa diancam dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 293 KUHP) . Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap anak, anak tiri, anak angkat, anak yang belum dewasa yang pengawasan, pemeliharaan, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, dengan bujang atau bawahan yang belum dewasa diancam dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun. Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan, menjadi penghubung bagi perbuatan cabul terhadap korban yang belum cukup umur diancam dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 295 KUHP).

I. Diferensial Diagnosa

Infeksi Saluran kemih Infeksi saluran air kemih adalah infeksi yang terjadi pada saluran air kemih, mulai dari uretra, buli-buli, ureter, piala ginjal sampai jaringan ginjal. Infeksi ini dapat berupa : Pielonefritis akut Pielonefritis kronik Infeksi saluran air kemih berulang Bakteriuria bermakna Bakteriuria asimtomatis Etiologi Kuman penyebab infeksi saluran air kemih : Kuman gram negatif : E.Coli (85%), Klebsiela, Enterobakter, Proteus, dan Pseudomonas. Stafilokokus Aureus, Streptokokus fecalis, kuman anaerob, TBC, jamur, virus dan bentuk L bakteri protoplas. Gejala Klinis Gejala klinis infeksi saluran air kemih bagian bawah secara klasik yaitu nyeri bila buang air kecil (dysuria), sering buang air kecil (frequency), dan ngompol. Gejala infeksi saluran kemih bagian bawah biasanya panas tinggi, gejala gejala sistemik, nyeri di daerah pinggang belakang. Namun demikian sulit membedakan infeksi saluran kemih bagian atas dan bagian bawah berdasarkan gejala klinis saja. Gejala infeksi saluran kemih berdasarkan umur penderita adalah sebagai berikut : 0-1 Bulan : Gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah dan diare, kejang, koma, panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, ikterus (sepsis). 1 bln-2 thn : Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah, diare, kejang, koma, kolik (anak menjerit keras), air kemih berbau/berubah warna, kadang-kadang disertai nyeri perut/pinggang. 2-6 thn : Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, tidak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria, enuresis, air kemih berbau dan berubah warna, diare, muntah, gangguan pertumbuhan serta anoreksia. 6-18 thn: Nyeri perut/pinggang, panas tanpa diketahui sebabnya, tak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria, enuresis, air kemih berbau dan berubah warna.
J. Interpretasi Kasus dan Kesimpulan

Pada skenario ditulis bahwa keluhan utama si ibu membawa anak perempuannya yang berusia 11 tahun ke poliklinik anak adalah karena anaknya mengeluh sakit bila ingin kencing sejak 2 hari yang lalu. Setelah dokter memeriksa si anak ternyata ditemukan adanya robekan lama selaput dara disertai dengan adanya erosi dan peradangan jaringan vulva sisi kanan. Dokter berkesimpulan bahwa sangat besar kemungkinan telah terjadi persetubuhan. Robekan lama selaput dara disertai adanya erosi dan peradangan jaringan vulva merupakan tanda-tanda persetubuhan. Sedangkan keluhan sakit bila kencing kemungkinan merupakan sexual transmitted disease. Pada pemeriksaan fisik lain kemungkinan ditemukan tanda kekerasan berupa memar, bekas gigitan, tanda kuku dan lain-lain.

Pada pemeriksaan lab bisa saja ditemukan sisa sperma atau cairan mani pada usap vagina di fornix posterior ataupun pada pakaian dalam korban. Bila terjadi kasus seperti ini, sebagai dokter kita harus mengetahui bahwa persetubuhan di luar perkawinan dengan anak di bawah umur 12 tahun adalah tindak pidana sesuai pasal 287 ayat 1 dan 2 KUHP. Hukum dalam kasus ini menyebutkan bahwa tiap orang dengan umur di bawah 18 tahun yang belum menikah sebagai orang yang belum mampu membuat pertimbangan dan keputusan untuk suatu perbuatan hukum. Dalam kasus ini, bila terjadi persetubuhan, tanpa memandang si anak menyetujui atau tidak persetubuhan itu, maka dianggap persetubuhan tadi terjadi tanpa persetujuan (consent) si anak. Dokter juga harus menjelaskan pada ibu si anak bahwa kasus ini adalah tindak pidana yang harus dilaporkan pada polisi, dan menjelaskan bahwa dengan menyembunyikan suatu tindak pidana dia sendiri bisa dihukum, dan dengan memudahkan terjadinya persetubuhan dan atau percabulan pada anaknya, ia dapat dituntut dengan delik pidana pasal 295 KUHP dengan ancaman penjara 5 tahun. Dokter juga bisa merujuk pada spesialis obgyn dan dokter spesialis forensic atau specialis jiwa ataupun seorang psikolog. Dokter spesialis obgyn akan memeriksa lebih teliti tentang adanya tanda-tanda persetubuhan baik dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dengan memperhatikan perkembangan tanda seks sekunder,pemeriksaan genitalia, serta pemeriksaan lab yang menunjang misalnya swab vagina, dan swab oral. Dokter spesialis forensik akan mengumpulkan semua barang bukti yang mungkin tertinggal (pakaian korban, bite mark, kerokan kuku jika korban mengaku mencakar pelaku) sesuai prosedur, dan memuatnya dalam bentuk Visum et Repertum. Seorang psikolog bisa membantu gangguan yang mungkin timbul pada mental korban dan bisa mengusulkan cara yang terbaik yang dapat ditempuh sebagai penyelesaian tindak pidana. Pengkategorian KDRTA sebagai kejahatan menjadi penting, disamping lebih penting adanya aturan untuk menjamin agar korban memperoleh kepastian dan prosedur hukum, medis, psikologis, rehabilitasi baik selama proses hukum dan sesudahnya serta reintegrasi agar korban diterima sebagai manusia dengan hak-haknya yang harus dipenuhi di masyarakat baik oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah. Disinilah pentingnya UU Perlindungan Anak dan UU KDRT harus diterapkan oleh aparat penegak hukum, jadi bukan menggunakan KUHP saja

Daftar Pustaka
1. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik . Ilmu Kedokteran Forensik. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.Cetakan ke-2.1997.

2. Sulaiman Zuhdi Manik .Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Anak dalam Rumah

3.

Tangga. Diunduh dari www.kabarindonesia.com 2007 Syaiful Saanin. IRD RS Dr. M. Djamil, Padang. Aspek-Aspek Fisik/ Medis serta Peran Pusat Krisis dan Trauma dalam Penanganan Jirban Tindak Kekerasan. 2008. Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya. 2007

4. Infeksi Saluran Kemih diunduh dari www.pediatrik.com Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, 5. Surja Atmadja, Djaja. Pemeriksaan Forensik pada Kasus Perkosaan dan Delik Aduan

Lainnya. Diunduh dari http://reproduksiumj.blogspot.com 2009


6. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga. http://focalpointgender.kejaksaan.go.id

2008
7. Pelecehan Seksual pada Anak. Diunduh dari www.scribd.com, pada tanggal

19 Januari 2010. 8. Psikososial. Di unduh dari www.library.usu.co.id . 8 Januari 2010.

You might also like