You are on page 1of 74

KUMPULAN CERPEN

Karen Angel
Lala Novrinda
Putra Gara
Sara Nindya

http://cafenovel.com/ 1
LAGI
LAGI
UANG
B agi semua pengantin baru, apalagi pasangan muda, aku rasa honeymoon is a must. Sepertinya
kalau bukan karena alasan yang mendesak misalnya jadwal kontrak kerja yang padat, tak sepasang
pun pengantin baru ingin menunda atau bahkan melewatkan bulan madu mereka.
Aku dan Andri, suamiku, pun merasa demikian. Walaupun tidak berbudget besar, kami tetap
mengupayakan terlaksananya bulan madu kami ke Singapura. Segala persiapan mulai dari membuat
paspor, memesan tiket dan penginapan, memilih obyek-obyek wisata yang akan dikunjungi, hingga
menyusun koper kami lakoni dengan penuh semangat sebab begitu lewat hari H, kami langsung
bertolak.
Hmm... sudah kubayangkan pasti seru rasanya melancong ke tempat baru berdua saja dengan orang
yang kita sayangi.
***
Pipi kiri dan kanan ini masih terasa pegal karena kebanyakan cipika cipiki saat menyalami para
tamu yang hadir di perhelatan nikah kami sehari sebelumnya. Namun, girangnya hati membuat tawa
canda dan senyum tak henti-hentinya lepas untuk satu sama lain saat pesawat lepas landas
meninggalkan bandara Soekarno-Hatta.
Lalu, apakah benar honeymoon itu semanis madu? Seheboh persiapannya? Tak terlupakan
sepanjang masa? Ah, itu omong kosong! Lho?
Sungguh, mungkin tak akan ada orang percaya. Di masa honeymoon yang kata orang enak dan
berkesan, aku dan Andri bertengkar! Meski tidak sampai berteriak-teriak, ini yang paling pahit

http://cafenovel.com/ 2
dalam hubungan kami. Andri bahkan mengutarakannya saat kami menanti pesta kembang api di
River Hong Bao, yang sebelumnya kubayangkan bakal romantis sekali.
Kecewa sudah pasti. Banget, malah. Siapa sih yang ingin impiannya dirusak. Dan penyebab dari
semua itu tak lain dan tak bukan adalah uang. Andri merasa 'kaget', bahkan dibuat 'ngeri' dengan
pengeluaranku yang menurutnya boros. Padahal, barang-barang yang kubeli itu kebanyakan titipan
ortu. Aku bahkan tak sempat membelikan oleh-oleh untuk teman-teman dan saudara-saudaraku
yang lainnya.
Dari masalah boros tersebut, dia jadi sangsi mempercayakan pengelolaan uang padaku. Dia juga
takut aku membelanjakan uang bersama untuk hal-hal yang menurutnya sekunder. Menurutnya, aku
harus menyusun prioritas dalam berkeluarga. Menghabiskan 90.000 rupiah untuk eye shadow merek
cukup ternama menurutnya hanya membuang-buang uang, sementara di pasar bisa diperoleh merek
lain dengan harga jauh lebih murah. Hello?
Aku tak menampik jika suamiku memang orang yang sederhana. Dia baru mengganti barang jika
sudah rusak atau menurutnya tidak layak pakai lagi. Tapi wanita mana yang tak butuh aksesoris
penunjang penampilannya? Lagipula, barang-barang bermerek yang kupakai sekarang, sebagian
besar diberi ortu. Aku bukan penggila merek, hanya saja terkadang baju yang jatuhnya lebih bagus
itu kebetulan bermerek.
Toh, ada juga kaos-kaos milikku yang harganya tak lebih dari 20.000 rupiah per potong. Yang
penting bagus dan nyaman dipakai. Kosmetik yang cukup mahal pun, aku beli dengan hasil keringat
sendiri. Kecuali pembersih wajah, kebanyakan habis pakai lebih dari setahun. Sebagai salah seorang
pembicara di perusahaan, aku rasa wajar bila penampilan perlu sedikit dipoles.
Sejak zamannya masih ditunjang ortu, aku telah terbiasa mandiri untuk pos-pos pengeluaran
penunjang penampilan. Aku juga penganut paham yang mengatakan bahwa dengan cinta, semua
bisa teratasi. Asal ada cinta, hidup susah pun jadi senang. Ah, naif sekali rasanya sekarang.
Memang logis kalau dia bilang kebutuhan menabung untuk membeli rumah, biaya pendidikan anak
kelak, dan hal-hal lain menyangkut keluarga harus diprioritaskan. Tanpa disinggung olehnya pun,
aku sudah tahu, mengerti, dan berniat melakukannya. Begitu dini dia memvonisku gila belanja,
padahal belum sepeser pun uangnya kuhabiskan untuk berfoya-foya membeli baju, tas atau
kosmetik pribadi.
Aku dan Andri sangat jarang bertengkar. Jadi wajar jika tak pernah terlintas dalam pikiranku, di
masa honeymoon pun pertengkaran bisa terjadi. Serasa ada benda tajam yang menikam ulu hatiku.
Aku merasa terusik oleh kata-katanya, ketidakpercayaannya. Kok tega-teganya ya, dia merusak
bulan madu kami gara-gara uang. Ironisnya, kami baru saja melewati Fountain of Wealth... di
Suntec City. Bahkan make a wish segala di sana.
***
Mungkin karena kekecewaan yang berlarut, aku jatuh sakit. Mataku bengkak dan perih karena
terlalu banyak menangis. Parahnya lagi, badanku demam tinggi. Andri yang awalnya masih
bersikap dingin jadi panik saat keesokan harinya, aku tak kunjung membaik.
Mataku merah sekali walaupun lensa kontak telah kulepas. Salahku juga tetap memakai lensa
kontak di kala tidur, dan bodohnya aku lupa membawa kacamata cadangan. Di saat aku merasa
sedih, sakit, dan lonely itulah, Andri begitu telaten mengurusku. Merasa berdosa kali, pikirku sinis.
Dia bahkan membawaku ke rumah sakit, khawatir terjadi sesuatu pada mataku. Padahal ongkos
berobat di Singapura kan mahal.
Kami pulang lebih awal dari rencana semula. Repot, sudah pasti. Plus, uang deras mengalir seperti
air keran. Dari membiayai rumah sakit, membeli kacamata, mengganti jadwal tiket, semuanya butuh
dana ekstra. Sekembalinya ke tanah air, aku benci sekali bila ada yang menanyakan honeymoon
kami. Ada yang menyalahkan karena kami terlalu cepat berangkat, bukannya beristirahat dulu
sehabis hari H. Ada juga yang menyayangkan sekaligus menghibur bahwa masih ada kesempatan di

http://cafenovel.com/ 3
lain waktu. Aku sih tidak terlalu berharap.
Namun, tak seorangpun tahu alasan sebenarnya. Bahwa telah pertengkaran dengan uang sebagai
pemicunya. Memalukan. Dan aku jadi agak pesimis dengan bahtera perkawinan kami selanjutnya.
***
Dua tahun berlalu. Terkadang, aku masih sakit hati jika teringat honeymoon perdana kami yang
tidak mengenakkan. Tapi, aku memaafkan suamiku. Andri pun nampaknya sudah melupakan hal
ini. Toh, aku tidak pernah seenaknya membelanjakan uang bersama. Ada skala prioritas dan
penghematan juga sehingga kami selalu dapat menabung. Selain itu, Andri banyak memperbaiki
sikapnya sejak aku melahirkan putri pertama kami. Mungkin trauma juga melihatku bersusah payah
melahirkan dengan banyak darah.
Menurutku, dia sekarang lebih sabar dan penyayang. Walaupun tidak selalu ikut begadang karena
harus bekerja esoknya pagi-pagi sekali, dia cukup perhatian dengan dukungan morilnya di tengah
kelelahan fisik yang aku hadapi di bulan-bulan awal mengasuh bayi kami.
Kejadian itu juga telah mengubah pola pikirku. Wanita perlu bekerja, full-time part-time tidak
masalah. Tidak bisa seratus prosen bergantung pada suami. Kendati suami tetap menafkahi, untuk
kesenangan pribadi, aku lebih suka merogoh kocekku sendiri. Jadi nggak perlu setiap saat bertanya
dan meminta pada suami. Kalau barang yang kita minta dikasih sih tidak masalah, tapi kalau harus
berargumentasi dulu itu yang bikin malas. Biarpun akhirnya diberi juga kan, rasanya sudah tidak
sama lagi.
Aku pun mulai menata kembali perasaanku. Membangun penilaian positif setelah sebelumnya
ternoda oleh kenangan pahit. Mencoba mensyukuri apa yang kumiliki sekarang. Andri suami yang
rajin, bertanggung jawab, dan setia. Meski tergolong ganteng, dia tidak hobi tebar pesona. Keluarga
mertuaku pun welcome sekali. Belum pernah terjadi konflik mertua-menantu pasca pernikahan
seperti yang sempat menghantui pikiranku. Di rumah, aku berusaha menjadi ibu rumah tangga dan
istri yang baik. Di tempat kerja, aku tetap bisa profesional.
Sampai suatu ketika, Andri mempertanyakan sebuah buku anak-anak yang baru kubeli untuk Kezia,
putri kecil kami. Satu buku kecil sebesar telapak tangan orang dewasa bergambar harganya 20.000
rupiah. Menurutnya itu kemahalan. Aduh! Aku jadi geram.
Aku kira wajar harganya segitu. Buku ini bukan buku biasa, melainkan terbuat dari karton tebal
yang antisobek dan tahan air. Yang berukuran lebih besar, harganya lebih mahal lagi. Buntut-
buntutnya, aku beli yang mini. Eh, masih kena omel juga.
"Kalau kemahalan, mbok ya dikliping sendiri saja lalu dilem di karton tebal dipotong, dijadikan
buku, dan disampul!" sahutku kesal.
Bayangkan, sejak Kezia lahir, Andri hanya pernah sekali membelikan mainan murah. Sampai saat
ini, mainan-mainan Kezia semuanya hibah dari sepupu-sepupu dan hadiah dari ortu. Jauh di lubuk
hatiku, aku kecewa karena Andri yang notabene bapaknya tidak pernah memperhatikan hal yang
satu ini.
Di lain pihak, kakek dan neneknya selalu membelikan oleh-oleh baju, mainan, bahkan susu formula
dan pampers. Miris rasanya. Bukankah bapak yang hubungan darahnya lebih dekat dengan anaknya
sendiri seharusnya yang lebih memperhatikan? Lebih berperan dalam tumbuh kembang anak?
Memangnya anak cuma perlu dikasih makan? Dari buku-buku dan mainan-mainannya kan, anak
bisa belajar banyak hal. Mengenal warna, mengenal berbagai jenis binatang. Siapa tahu malah dapat
memacunya untuk lebih cepat berbicara dan bertambah pandai. Kekesalanku pun memuncak ke
ubun-ubun.
"Kamu pikir, suami mencari uang untuk kesenangan pribadi? Apa gunanya aku capek-capek
bekerja dari pagi sampai malam membanting tulang?" katanya berdalih saat aku mempertanyakan
rasa sayangnya pada keluarga.
"Kalau begitu, kan tidak ada salahnya membelikan mainan anak yang berkualitas," sahutku.

http://cafenovel.com/ 4
"Aku bukannya tidak setuju kamu membelikan mobil-mobilan, lego, dan sebagainya. Hanya saja,
anak kita belum cukup umur. Percuma kamu membelikannya sekarang. Nanti malah hilang atau
rusak saja."
"Tapi terbukti kan, Kezia sekarang jadi lebih pintar. Dia bisa mengenali binatang-binatang yang ada
di buku ini."
"Kamu kan bisa mencari yang lebih murah. Nggak harus yang kertasnya tebal anti apa katamu?
Tahan air dan antisobek?"
Aku menghela napas.
"Katanya cinta, kok... gara-gara uang kita bertengkar terus. Katanya sayang, kok... untuk urusan
uang kamu tidak mau mengalah. Padahal aku nggak pernah meminta sesuatu yang aneh-aneh."
kataku meninggi.
Karena gemas, kutinggalkan Andri begitu saja. Belum sempat melangkah keluar pintu, aku
mendengar suara kertas koran yang sedang dibaca Andri robek ditarik-tarik oleh Kezia. Wah,
kebetulan sekali. Rasakan.
***
Malam itu, pikiranku mengembara. Aku merenung sendiri di tengah sunyi dan sepi yang kurasakan.
Pulau-pulau sisa noda tangisan di bantalku mungkin sudah bertambah lagi. Tatkala mencoba
memejamkan mata, aku merasakan kepalaku dibelai. Aih, jujur hati ini rasanya bagai diguyur air
sejuk.
Setelah tiga tahun mengarungi bahtera pernikahan kami, aku pikir kendala yang ada seharusnya
bukan makin memisahkan melainkan menyatukan kami dan membuat masing-masing pihak lebih
mengerti satu sama lain. Memang ada kalanya sifat sulit diubah. Atas nama cinta, saat itulah
pengertian kita dituntut.
Anyway, setiap hubungan cinta punya warna tersendiri. Aku pernah mendengar cerita dari seorang
sobat ibuku, yang suaminya setiap hari pulang larut malam sekitar jam satu-dua dini hari untuk
berkumpul dengan teman-temannya bahkan ada kalanya mabuk. Istrinya sudah kenyang menangis
di tahun-tahun awal pernikahan mereka. Sekarang dia sudah dapat menerima dan easy going saja.
Salut aku, di tengah keadaannya yang seperti itu dia masih tetap mencintai suaminya.
Andri jauh lebih baik dari suaminya itu. Meski ketat soal uang, masih banyak sifat-sifatnya yang
positif. Dia termasuk kepala rumah tangga yang baik. Mungkin, di saat kehidupan kami sudah lebih
mapan, dia bakal perlahan-lahan berubah. Satu hal lagi, aku mencoba mengingatkan diriku sendiri
bahwa dia adalah jodoh terbaik dari Tuhan.
Sudahlah, memang nobody's perfect. Aku pun terlelap di tengah belaian hangat suamiku. Esok pagi,
aku pasti bisa tersenyum kembali. ©

http://cafenovel.com/ 5
Pacarku
Nggak
Romantis
J am istirahat belajar tiba. Setelah memesan es cendol, Winda duduk di bangku pojok kantin.
Diletakkannya setumpuk fotokopian Fisika yang bakal diujikan siang itu. Dahinya sedikit berkerut.
Gawat! Bahan belum selesai dipelajarinya. Pengennya sih pasrah, tapi masa dia nyerah gitu aja
sebelum tes. Sayang sesaat kemudian, Nina mengusik perhatiannya dengan memamerkan sesuatu di
tangannya.
"Astaga, Nin! Bagus banget liontinnya?" seru Winda heboh. Matanya seketika membesar.
"Aduh, jangan histeris gitu dong. Anak-anak jadi pada ngeliatin kita nih," balas Nina risih.
Sedikit tersentak, Winda refleks menutup mulutnya. Dia sampe nggak sadar volume suaranya tadi
sudah melebihi batas.
"Ini dari Alvin," cetus Nina lagi. Dengan santai dia menyendokkan sesuap nasi soto ke mulutnya.
Ada nada bangga dalam suaranya. Apa lagi saat diliriknya Winda yang segera meminta dan
menimang-nimang liontin berinisial A&N itu untuk diteliti.
"Tapi kamu nggak ulang tahun kan? Lagipula beberapa hari yang lalu dia barusan ngasih kamu
boneka beruang yang besar banget," tanya Winda heran.
"Ah, kamu!" Nina tertawa. "Tahu sendiri sifat Alvin itu kan? Dia rajin memberikan sesuatu kapan
pun dia mau."
"Pantes!" Winda balas memandang Nina dengan tatapan iri. "Kamu beruntung banget, Nin."
Alvin dan Nina belum lama jadian. Perfect couple, begitu kata orang kebanyakan. Yang cowok
cakep, sedangkan yang cewek cantik. Dan sepertinya, Alvin juga tahu banget bagaimana

http://cafenovel.com/ 6
memperlakukan seorang cewek bak putri raja, bikin sirik banyak orang yang melihatnya.
Coba kalo Tomi seperti Alvin, sambungnya dalam hati. Udah keren, pinter, murah hati, romantis
pula. Kurang apa lagi coba.
Ugh, Winda menghela napas dalam-dalam. Ada yang mengetuk-ngetuk perasaannya. Entah sudah
yang keberapa kali dalam dua minggu terakhir, dia jadi cenderung membanding-bandingkan Tomi
dengan Alvin.
Pertemuan hati antara Winda dan Tomi sebenernya sudah berlangsung setahun lebih. Awalnya
mereka cuma berteman baik. Karena sering hangout bareng di sekolah, orang-orang di sekitar mulai
meledek mereka pacaran. Dimulai dari temen-temen sekelas, kemudian menyebar hampir tak
terkecuali ke seluruh penghuni sekolah. Bahkan Pak Udin, satpam sekolah pun tahu gosip mereka
pacaran. Buktinya kalo Winda datang terlambat, Pak Udin suka nyeletukin.
Winda sebenernya tengsin diledekin terus, tapi lambat laun rasa sebelnya hilang. Dia bahkan mulai
merasa ada sesuatu yang lain. Sampai-sampai menjelang mau tidur, rasanya sulit banget buat
mejemin mata gara-gara mikirin doi melulu. Padahal Tomi nggak cakep-cakep amat.
Bisa jadi Winda kesengsem sama sikap pemalu cowok itu yang berbeda dengan kebanyakan fans-
fansnya yang lain. Juga kesabarannya ngajarin Winda pelajaran yang nggak dia mengerti, terutama
Fisika yang bikin mati kutu. Sebagai top student, tidak sulit baginya untuk membantu Winda.
Terbukti sejak Tomi ikut mengajari, nilai-nilai Winda yang tadinya amburadul pun terdongkrak
dengan sukses.
Dan rasa suka yang terselip di hatinya itu nggak bertepuk sebelah tangan. Suatu hari Tomi sungguh-
sungguh meminta Winda untuk jadi pacarnya. Bagi Tomi, Winda adalah first love -nya walaupun
bagi Winda, bukan. Mungkin gara-gara itulah, Winda mengganggap Tomi terkadang nggak tahu
gimana caranya memperlakukan cewek. Sikapnya memang baik. Cuma kok nggak ada tuh, berjuta
rasa jatuh cinta yang bikin panas dingin. Yah, wajar kan namanya orang pacaran punya angan-
angan kalo pasangannya romantis. Bukannya datar-datar aja kayak sekarang.
Winda menelan rasa kecewanya. Gimana caranya biar kamu ngerti, Tom?
***
Byur! Kepala Winda serasa diguyur seember air sejuk. Boring dan kantuk yang tadi menyerang
mendadak pupus. Begitu Pak Harris menghilang di balik pintu, Winda langsung melesat keluar
kelas. Bebas merdeka.
Matahari bersinar menyilaukan. Winda berjalan cepat, menyelinap di antara hiruk pikuk orang yang
berbicara sambil berlalu lalang. Setengah tergopoh Tomi menyeret langkahnya di samping Winda.
"Kamu jalannya cepet banget sih, Win. Kayak dikejer setan." Cowok itu menarik napas sambil
terengah. Ranselnya hampir melorot.
"Ada apa sih?" balas Winda galak. Dengan perasaan dongkol, dia menghentikan langkahnya.
"Win, kamu nggak apa-apa?" tanya Tomi lagi. Nggak biasanya Winda ketus begini.
"Aku baik-baik aja. Terima kasih atas perhatiannya." Winda tersenyum sumbang. Tangannya
menyeka dua butir keringat di keningnya, lalu dia mengipasi wajahnya sebentar.
"Tapi kenapa cemberut aja? Feeling-ku mengatakan, kamu sedang menghindari aku."
"Iya, itu karena kamu nggak romantis," suara Winda meninggi.
"Lho, kok bisa?"
Winda terdiam sebentar. Haruskah dia mengutarakannya?
"Kamu nggak pernah ngasih aku bunga," desis Winda akhirnya dengan bibir ditekuk.
Dengan senyum simpul, Tomi menatap wajah Winda. Dia ngerti, cewek ini lagi ngambek rupanya.
"Aku nggak tahu mau beli bunga di mana, Win. Kalau memang suka, kamu kan bisa kasih tahu kalo
papasan dengan penjual bunga saat kita jalan bareng. Nanti aku beliin."
Winda mendelik. Tomi nggak nangkep maksudnya. Dia mengharapkan sekali-sekali cowok itu
bakal kasih kejutan yang romantis, gitu lho.

http://cafenovel.com/ 7
"Kita juga jarang banget gandengan tangan kalo lagi jalan bareng," sambung Winda.
"Kan kamu bisa duluan menggandeng tanganku kalo mau. Ada lagi?"
Ada! batin Winda gondok setengah mati. Tapi dia malu untuk mengutarakannya. Masakan
sudah pacaran setahun begini, dia belum pernah di-kiss. Bukan. Bukan kiss yang sering kamu lihat
di film-film Barat yang sampe disensor gitu. Cium pipi aja gak pernah! Winda jadi ragu, sebenernya
mereka pacaran apa bukan sih?
"Sikapmu aneh! Kalo memang pengen sesuatu, ngomong dong yang jelas. Masa kamu
mengharapkan aku membaca pikiranmu?" balas Tomi melihat Winda diam membisu.
"Apa kamu nggak pernah merasa kurang perhatian? Lihat aja, berapa kali kita pulang sekolah sama-
sama? Berapa kali kamu ngebatalin kencan kita gara-gara...." Tiba-tiba Winda menghentikan
ucapannya.
"Gara-gara apa?"
Gara-gara buku, lanjut Winda dalam hati. Dia jadi cemburu sama buku, nih. Tomi kerjaannya
belajar melulu. Kalo udah ketemu buku bagus aja, bisa buyar deh semua rencana. Dasar cowok
nerd!
"Pokoknya kamu nggak romantis. Aku nggak suka cowok yang nggak romantis!"
***
Senin sore. Jam menunjukkan pukul lima.
Winda lagi duduk-duduk di beranda rumahnya. Cuaca mendung dengan awan gelap yang berarak
mengumpul kian dekat. Sepertinya hujan akan segera turun.
Apa yang sedang dilakukan Tomi sekarang? Sudah seminggu sejak pertengkaran di halte tempo
hari, Winda nyuekin dia. Sengaja bikin jarak. Kalo cowok itu datang, Winda buru-buru cabut dan
pura-pura nggak melihatnya. Bodo amat, males ngeladeninnya!
Toh, sejak tiga hari belakangan, Tomi malah sama sekali tak menghubunginya.
Sebenernya Winda kangen juga dengan Tomi. Sepi rasanya sendirian. Ingin sekali Winda mencubit
lengannya dan mengganggu dia lagi dengan menggambari buku pelajarannya dengan gambar-
gambar hati. Atau menulisi nama mereka berdua di sana sampai Tomi mencak-mencak kesal. Tapi
dia hanya bisa memendam semua itu dalam hati. Tomi pasti lagi asik belajar di rumah, seperti biasa.
Pucuk dicinta ulam tiba.
Sebuah ketukan di pintu pagar membuyarkan semuanya. Berbarengan dengan hal itu, hujan tiba-
tiba turun deras sekali. Cowok dalam lamunannya kini sudah ada di depan. Rambut dan kaos yang
dikenakannya sebagian basah kuyup, keburu tersiram air hujan karena menunggu Winda yang lama
banget buka pintunya karena mencari payung dulu.
"Halo, Win."
"Halo juga."
"Apa kabar?"
"Baik...."
"Lama ya kita nggak ngobrol...."
"Iya..."
"Aku nggak suka dengan keadaan begini. Rasanya tersiksa sekali," kata Tomi pelan.
Winda jadi tertegun mendengarnya. Cowok itu tampak kuyu.
"Apa kamu sudah bosan pacaran dengan aku?"
Winda menggeleng perlahan.
"Aku... aku nggak sanggup rasanya bermusuhan dengan kamu." Tangan Tomi terulur kaku hendak
mengusap rambut Winda.
Deg! Seperti bermimpi rasanya. Betapa Winda sangat merindukan belaian hangat seperti ini. Ada
denting lembut yang seakan menggema. Entah kenapa, kekecewaannya yang menggunung tiba-tiba
jadi menguap.

http://cafenovel.com/ 8
"Mungkin aku nggak romantis seperti dalam angan-anganmu, Win. Aku cuma berpendapat, pacaran
kan nggak cuma dimaknai dengan hal-hal seperti beli bunga, candlelight dinner, atau clubbing
bareng. Kita bisa mengisi kebersamaan kita dalam pacaran dengan hal-hal yang berguna. Tolong
jangan meragukanku. Aku sayang kamu, Win. Sayang banget.... Tentu aku berharap cinta kita bisa
tulus dan awet," katanya lagi.
Winda menatap mata Tomi. Tampak kesungguhan yang sangat di sana. Ah, cowok itu sebetulnya
baik! Dia juga nggak centil, nggak tebar pesona melulu ke cewek lain. Bukankah seharusnya Winda
bersyukur?
"Kamu mau kan memulainya lagi bersamaku? Aku janji mau ngebagi waktu aku lebih dengan
kamu."
Winda tak menjawab. Juga tak menolak ketika Tomi meraih jemarinya dan dibawa ke dalam
genggamannya. Ah, apalah artinya bunga yang bisa layu termakan waktu. Kedatangan cowok itu,
dan ketulusan hatinya jauh lebih berarti. Ada suatu keyakinan menyapa Winda bahwa garis cintanya
mulai terluruskan kini.
"Aku juga sayang kamu, Tom." Air mata Winda merebak. Dipeluknya cowok terkasih itu erat. Di
luar sana, hujan telah reda. Ada pelangi yang besaaar banget nemenin mereka berdua, seakan
menjadi saksi bisu pertautan hati Winda dan Tomi. ©

http://cafenovel.com/ 9
Masih
Ada
Hari
Esok
B utuh satu jam untuk mengenal seseorang, satu hari untuk jatuh cinta, namun untuk
melupakannya bisa jadi butuh seumur hidup.
Pagi belum lagi beranjak siang, namun langit di atas kota Jakarta kelabu tua. Mendung
menyelimutinya. Hujan turun rintik-rintik. Air yang jatuh dari atas langit bagai jutaan jarum lembut.
Membasahi genting, dedaunan, lalu mengalir sepanjang jalan menuju selokan.
Hari ini adalah hari keempat belas Astri berada di rumah sakit. Setelah dioperasi pada hari pertama
dan beristirahat total selama hampir dua minggu, dia akhirnya diperbolehkan pulang. Luka-luka di
kakinya sudah mengering. Semua barang-barang Astri juga sudah dimasukkan ke mobil.
Gadis itu mencoba berdiri meski dengan bantuan tongkat.
"Pagi, Dok!" sapanya begitu melihat dokter yang ikut membantu perawatannya sedang berbicara
dengan seorang suster di pintu kamar.
Dokter muda itu memandangnya sejenak, lalu membalas sapaannya.

http://cafenovel.com/ 10
"Sudah mau pulang?"
"Ya, Dokter. Sekalian saya mau pamit."
"Baiklah, Astri. Satu saja pesan saya, hidup harus berjalan terus. Kamu tetap kuat dan tabah ya?
Selain berusaha menjaga kondisi badan, mulailah berlatih berjalan setahap demi setahap."
Astri mengangguk. "Terima kasih atas bantuannya, Dokter."
Lalu dibantu papa dan mamanya, gadis itu masuk ke dalam mobil. Semenit kemudian, mobil sedan
yang membawanya telah melaju di jalan.
Astri beralih ke tepi jendela. Hujan masih menyisakan rintiknya. Dia teringat kembali tentang
Kevin, cowok yang sangat dicintainya, yang dulu pernah menemaninya merenda hari. Sampai detik
ini, Astri belum mampu melupakannya. Padahal cukup hitungan waktu untuk mengenang
kehangatan dan cinta Kevin padanya. Kecelakaan mobil telah membawa cowok itu tidur lelap
ditemani kedamaian. Sementara Astri terpuruk dalam kesendiriannya kini.
Memang, tak seorang pun dapat menduga kapan musibah itu datang. Semuanya terjadi begitu cepat.
Astri sama sekali tak pernah menyangka, malam itu adalah malam terakhir dia bersama Kevin.
Cowok itu mengajaknya dinner bareng seminggu menjelang keberangkatannya untuk melanjutkan
sekolah ke negeri Paman Sam.
"Jika rentang waktu setahun ada 365 hari, maka berapa kali matahari terbenam yang akan kita
lewatkan hingga kita bertemu lagi?"
"Aku nggak tahu, Vin." Astri menatap kosong. Dia bahkan belum menyentuh potongan steak -nya
yang terhidang di meja.
"Suatu hari nanti, aku ingin kita bisa menikmati matahari terbit bersama-sama. Begitu terus setiap
hari." Kevin menggenggam jemari Astri lembut. Mencoba memberi keyakinan pada gadis itu.
Tapi nyatanya, apa yang terjadi sungguh ironis.
Astri masih ingat betul, dalam perjalanan pulang Kevin membanting setir mobilnya ke kanan guna
menghindari tabrakan dengan mobil depan yang ngerem mendadak. Namun bukannya terhindar dari
maut, tiba-tiba malah muncul mobil dari arah sebaliknya menabrak mereka.
Mobil Kevin yang ringsek berat menjadi saksi bisu betapa kecelakaan itu demikian parah dan tak
menyisakan ampun. Saat keduanya tak sadarkan diri di rumah sakit, cowok itu duluan
menghembuskan napas terakhirnya. Astri beruntung masih selamat. Dia hanya menderita patah kaki
ringan dan beberapa luka gores.
***
Satu tahun lebih berlalu....
Tak mudah memang bagi Astri menjalani hari dengan trauma yang masih membekas. Tak seorang
pun juga begitu ambil pusing dengan sikapnya yang tertutup dan cenderung pendiam. Ya, kecuali
Andhika.
Kring! Begitu bel kampus berbunyi, Astri bergegas meninggalkan ruangan. Rasanya ingin cepat-
cepat pulang karena begitu banyak yang harus dikerjakannya di rumah siang ini.
"Astri, tunggu! Aku mau ngomong."
Astri memperlambat langkahnya sambil menoleh ke arah suara yang memanggil namanya. Tampak
Dhika berlari-lari kecil ke arahnya. Sedikit terengah begitu berhasil menjejeri langkahnya.
"Aku nggak punya banyak waktu," Astri lantas memotong seraya membalikkan tubuhnya.
"Please, aku cuma pengen nanya. Boleh nggak aku ke rumah kamu malam minggu ini?" imbuh
Dhika sambil tersenyum kikuk.
"Kenapa? Beberapa jam aja nggak lihat aku bikin kangen, ya?" tatapan mata Astri melunak.
"Jadi boleh ya aku main ke rumahmu?"
"Siapa yang bilang boleh?" Astri mendelik. "Aku sibuk!"
"Sibuk? Emangnya mulai punya bisnis apaan?"
Astri tertawa kecil. Andhika yang baik selalu mengingatkannya pada Kevin. Tubuhnya yang tinggi

http://cafenovel.com/ 11
menjulang, kulitnya yang putih serta senyum baby face-nya seolah menjelma pada diri Dhika.
Hanya saja....
Astri menarik napas dalam-dalam. "Pokoknya nggak boleh, kecuali...."
"Kecuali apa?"
"Kecuali kamu bisa mempertemukan aku dengan Kevin," tantang gadis itu.
Dhika terperangah. Permintaan itu terasa janggal. Gimana mungkin mempertemukan orang yang
masih hidup dengan orang yang sudah nggak ada di dunia ini? Astri hanya mengada-ada.
Dan itu menjadi beban batinnya. Ternyata, menyadarkan seseorang yang terbelenggu cinta tak
semudah yang dibayangkannya. Sayang dia keburu terbius oleh gadis itu. Sejak perkenalan pertama
beberapa tahun silam, sebelum Astri akhirnya menjadi milik Kevin. Kalaupun saat itu dia
memutuskan untuk mundur, itu semata karena Dhika yakin Kevin dapat membahagiakan gadis yang
sedikit manja itu.
Perkiraannya tidak meleset. Semuanya berlangsung baik-baik saja. Sampai tiba-tiba kabar buruk itu
diterima: Kevin meninggal akibat kecelakaan mobil.
***
Astri menggenggam sebuah boneka beruang kecil di tangannya. Hadiah dari Kevin di hari jadi
mereka pacaran.
"Aku bakal ngasih kamu boneka beruang ini di setiap tahun hari jadi kita. Sampe meja belajar kamu
penuh! Sebab aku ingin kita selalu bersama," kata Kevin suatu saat.
Astri mengenang hal itu dengan pahit. Hari ini seharusnya hari jadi mereka yang kedua, kalo Kevin
masih hidup tentunya. Betapa Astri kangen dengan senyum, tawa, perhatian, bahkan omelan cowok
itu saat dirinya lupa sarapan pagi. Sudah setahun pula Astri terus menyalahkan dirinya atas
kecelakaan yang menimpa Kevin. Andai saat itu dia nggak mengganggu konsentrasi Kevin
menyetir dengan mengajaknya ngobrol. Andai dinner itu tak pernah ada. Ah, andai....
Sebuah ketukan di pintu membangunkan lamunannya.
"Astri, ada temanmu yang datang. Kalo nggak salah namanya Dhika."
"Eh... iya, Ma." Astri buru-buru menyusut airmatanya.
Ngapain lagi Dhika kemari? Bukannya dia sudah bilang nggak usah mampir?
Di ruang tamu, Astri melihat cowok itu sedang duduk terpekur menatap lantai. Wajahnya langsung
sumringah begitu melihat dirinya.
"Hai!" sapa Dhika spontan. Astri Cuma bisa diam mematung di ujung meja. Dhika kelihatan begitu
lembut malam ini, dan dia begitu tampan dengan kemeja putihnya itu.
"Malam minggu nggak keluar?" tanya cowok itu lagi.
Astri menggeleng. "Mana ada yang pengen ngajak cewek kuper lagi berantakan kayak aku kencan
di malam Minggu."
"Kamu serius? Aku mau!"
Astri tersenyum simpul. Cowok di hadapannya ini, tak putus-putusnya menghibur dirinya sejak
kepergian Kevin. Astri tidak buta. Dia sadar perhatian Dhika selama ini.
"Tapi kamu belum mengabulkan permintaanku. Kamu belum mempertemukan aku dengan Kevin,"
Astri mengingatkan.
"Astri... kamu tahu sendiri kan hal itu nggak mungkin," sahut Dhika.
"Terserah."
"Sampe kapan kamu mau terus mengurung diri, As? Aku yakin Kevin juga nggak suka ngeliat
kamu kayak gini," suara Dhika terdengar lembut tapi tegas.
"Kalo nggak suka, kamu boleh kok nggak peduli," jawab Astri dingin.
"Aku peduli, karena aku sayang sama kamu!" jawab Dhika gemas.
"Maafin aku, Dhika. Tapi Kevin tetap hidup di hatiku," jawab Astri setengah terbata. Kevin, kamu
di mana? Berilah aku suatu pertanda kalo kamu juga nggak pernah ngelupain aku, bisiknya.

http://cafenovel.com/ 12
"Jangan berburuk sangka dulu. Aku nggak pernah minta kamu ngelupain Kevin, As. Aku cuma
pengen kamu membuka diri bagi orang-orang di sekitarmu. Kan kamu sendiri yang bilang, kita
harus menghargai waktu yang ada bersama orang-orang yang kita sayangi. Dan aku menghargai
waktu yang aku punya bersama kamu!"
Astri terpana mendengar ucapan Dhika. Ada rasa haru menyeruak di hatinya.
"Aku suka sama kamu sejak dulu, As. Sejak kita pertama kali kenalan. Aku pengen kamu kembali
ceria kayak dulu lagi," pinta Dhika sambil tersenyum manis.
"Thanks, Dhika. Tapi aku...."
Dhika mengeluarkan sesuatu yang disembunyikannya sejak tadi. Astaga! Sebuah boneka beruang
kecil. Antara percaya dan tidak percaya, Astri menatap takjub saat tangan Dhika terulur padanya.
"Tadi sebelum ke sini, aku melihat boneka ini. Lalu aku berpikir untuk membelikannya untukmu
karena setahuku kamu suka pernak-pernik beruang. Sebuah awal yang bagus bukan? Jadi di
kamarmu nggak melulu koleksi barang dari Kevin." Lagi-lagi senyum tulus mengembang di wajah
cowok itu.
Astri menerimanya dengan hati berdebar.
***
Angin malam menerpa ketika Astri membuka jendela kamarnya. Poninya tersibak. Antara suka dan
lara bergayut di hatinya. Astri memandang boneka beruang kecil pemberian Dhika di tangannya,
lalu menatap ke atas, menembus kelamnya langit di malam hari.
Astri tersenyum tipis. Dipejamkannya mata. Alangkah terasa kehadiran Kevin di sisinya. Entah
kenapa kedamaian tiba-tiba menyelimutinya.
"Kevin," gumamnya lirih, "Aku nggak akan pernah melupakanmu meskipun kini sudah menerima
uluran tangan Dhika untuk mengisi kekosongan hati ini, yang akan menemaniku melangkah di
lembaran baru. Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan di tempatmu yang sekarang."
Angin kembali berdesir. Astri membiarkan jendelanya tetap terbuka.
Sementara dari atas sana, betapa seseorang yang berpakaian seputih kapas itu tersenyum dan
tampak melambai hangat kepadanya dari atas sana. Kevin.... ©
When tomorrow starts without me,
And I'm not there to see,
I wish so much you wouldn't cry,
The way you did today,
I know how much you love me,
As much as I love you

When tomorrow starts without me,


Please try to understand,
That my place was ready,
In heaven far above,
But don't think we're far apart,
For every time you think of me,
I'm right here, in your heart

(Poem inspired from When Tomorrow Starts Without Me by David M. Romano, December 1993)

http://cafenovel.com/ 13
Karen Angela | Memulai debutnya sebagai pengarang di tahun 1996 sampai
sekarang, penulis cantik yang bernama asli Josephine Petrina ini lahir dan bertumbuh di Palembang.
Ia merupakan penulis senior dan telah mempublikasikan karyanya di berbagai media cetak nasional
seperti Femina, Anita Cemerlang, Kawanku, Gadis, Hai dan lain-lain. Ia kini menetap di Jakarta
bersama sang Suami tercinta, drg. Adrian, yang mengikuti pendidikan spesialis orto (kawat gigi) di
Universitas Indonesia, dan membuka praktek dokter gigi di Muara Karang. Antologi cerpennya,
Lagi-Lagi Uang pernah dimuat di majalah Femina edisi 49 November 2007, Pacarku Nggak
Romantis di Kawanku edisi Mei 2008, dan Masih Ada Hari Esok di Majalah BIP edisi Agustus
2008.

http://cafenovel.com/ 14
CERITA TIGA
Maret, 2001
Pukul 03.12 WIB
Aku tidak akan pernah mengenal betul siapa dia, sebelum aku tahu betul siapa saja orang yang
sudah disakiti hati olehnya.
Perkenalkan, namanya Jusuf.
Laki-laki yang punya kelebihan di sekitar wajah itu punya daya tarik yang kuat sekali. Saking
kuatnya, sampai-sampai satu sampai dua saudara sepupu perempuannya sendiri ngantri dipacari
sama dia. Benar-benar kuat sekali magnetnya. Dan untungnya dia adalah seorang laki-laki yang
sangat beruntung. Dengan track record-nya, orangtuanya nyaris percaya kalau dia adalah seorang
anak laki-laki yang baik. Bedanya, bagi mereka, dia adalah anak yang baik-baik.
Bukan tampan. Seperti namanya.
Perkenalkan lagi. Namanya Bulan.
Perempuan yang punya banyak sifat baik itu punya banyak peluang untuk berteman dengan siapa
saja dia mau. Apalagi dia punya banyak kebaikan di wajahnya. Belum lagi perangainya yang selalu
tersenyum. Perangainya yang terkenal tidak pernah mau terlihat sedih atau kesal oleh teman-teman
di sekitarnya.
Perangai yang menyenangkan, bukan?
Selain itu dia adalah seorang artist. Ehem... maksud saya seorang artist dengan artian bule. Yaitu
seorang seniman. Dia adalah seorang perempuan yang gigih melakukan apapun dan rajin
melakukan riset kecil-kecilan untuk bahan pamerannya sendiri. Kebetulan dia memang ingin
menjadi seorang seniwati muda yang punya pameran tunggal di kotanya.
Aku akui, dia memang hebat. Iri lebih tepatnya

http://cafenovel.com/ 15
Bagaimana tidak? Dia sama sekali tidak punya latar belakang kesenian apa-apa. Benar-benar
melatih bakatnya lewat media bernama otodidak.
Iya. O-T-O-D-I-D-A-K.
Hehehe... aku ingin menekankan kata itu agar dia terkesan istimewa.
Selain Bulan, aku juga ingin memperkenalkan seseorang bernama Matahari. Nama yang bagus dan
dahsyat bukan? Percaya sajalah. Dia memang seseorang yang dahsyat. Dia adalah seorang
perempuan yang berani menunjukkan pada dunia siapa dirinya. Bagaimana ambisiusnya dia.
Bagaimana cantiknya dia. Dahsyat! Sampai-sampai ketika dia tahu ada seseorang yang
meng-'gali'-nya agar bisa kenal dan lebih dekat dengannya dengan harapan menjadi seorang pacar,
dia berani datang langsung ke rumah si secret admirer tadi untuk menanyakan secara langsung
tentang kebenarannya. Hehehe.... Dahsyat, ya?
***
Suatu kala Jusuf berkata padaku.
"Hei... aku punya cerita bagus tentang seseorang. Namanya Bulan. Mau aku kenalkan?"
"Mau. Anak mana? Kamu mau bawa dia ke hamparanku? Terima kasih... aku akan sangat senang
sekali, Jusuf...," kataku.
"Seseorang yang sudah aku kenal lama. Seseorang yang aku tahu dia akan selalu ada untukku
sampai kapan pun. Seseorang yang.... Sudah, ah! Nanti juga kamu tahu!" jawabnya penuh tanda
tanya. Seolah-olah akan memberiku sebuah kejutan.
"Oke, aku menunggunya!" kataku, lalu kutinggalkan dia dengan wajah senyum.
Aku tahu benar dia sedang jatuh cinta. Aku cukup kenal banyak sikap laki-laki yang sedang jatuh
cinta. Aku tidak mengatakan yang sebenarnya kepadanya. Aku cemburu. Melihat teman laki-lakiku
jatuh cinta tiba-tiba.
Bagaimana tidak? Dia satu-satunya teman dekat yang aku punya saat itu.
"Iya, aku tahu kamu sedang buru-buru, Jusuf. Tapi tidak cukup butakah kamu memperkenalkanku
yang sedang berpakaian compang-camping bau bantal ini ke hadapan permaisurimu, heh?" tanyaku
pada Jusuf, yang pagi-pagi benar mendadak menjemputku tanpa pemberitahuan di hari sebelumnya.
"Sudah kamu, ah... buat apa tanya-tanya begitu kalau kamu sendiri yang pamit sama Mama-Papa
kamu untuk mau pergi sama aku?" jawabnya cepat dan lagi-lagi tersenyum.
Aku diam sebentar. Memikirkan apakah jawabannya cukup masuk akal buatku. Ternyata memang
masuk akal. Tapi tidak kujawab pertanyaannya. Aku hanya manggut-manggut saja. Jujur, semakin
cemburu aku.
"Perkenalkan... wahai kedua dari kalian...." kata Jusuf membuka perkenalan di pagi buta itu.
"Hei, aku teman Jusuf," ujarku, menyodorkan telapak tangan kanan.
"Iya, aku Bulan. Sudah sarapan?" tanyanya aneh, tapi manis untuk seorang yang baru berkenalan.
"Terima kasih sudah menanyakan. Tapi sayang sekali belum. Jusuf memaksaku ikut dengannya saat
aku masih terlelap di tidur. Kamu benar-benar spesial buatnya," ulasku cepat, dan membalas
tersenyum.
Tidak ada jawaban atas pertanyaan yang bermisi tertentu itu padanya. Namun satu hal yang tidak
bisa aku lupakan darinya. Senyum selalu. Ceria selalu.
Beberapa tahun kemudian, aku berangkat ke Jakarta untuk bekerja di sana.
Aku tidak terlalu mengingatnya dengan betul.
Maksudku Jusuf.
Seorang teman dekat yang sedikit banyak, astaga! Kucintai dia diam-diam dan cidaha (cinta dalam
hati).
Oya, aku lupa dan belum cerita. Aku dan dia sebelumnya tidak hanya sekedar menjalani hubungan
pertemanan biasa saja. Tepat saat lima tahun hari jadinya dengan si Bulan, diam-diam dia lupa.
Walaupun sebenarnya aku tahu, aku hanya diam saja. Sengaja untuk tidak mengingatkan.

http://cafenovel.com/ 16
Aku ingat, hari itu dia sedang kesal-kesalnya bercerita tentang seseorang bernama Matahari
kepadaku. Dia bilang hari itu, dia hanya ingin berdua saja denganku, karena dia memergoki dengan
mata kepalanya sendiri: seseorang bernama Matahari, telah menyakiti hatinya! Matahari
menggandeng laki-laki lain di hadapannya. Ternyata diam-diam, Jusuf sudah pernah resmi pacaran
dengan seseorang bernama Matahari yang konon belum aku kenal sebelumnya.
Dasar bego! Dia muntahkan semua cerita itu di hadapanku yang sudah terlalu dekat dengan si Bulan
ini.
Aku langsung tegang. Dan sontak kaget. Padahal aku tahu betul bagaimana Bulan itu. Bulan yang
sudah menyerahkan segala-galanya untuknya itu, adalah benar-benar seseorang yang setia. Bahkan
tetap mengabdi pada seorang laki-laki bernama Jusuf. Seorang laki-laki yang aku tahu betul bahwa
dia tidaklah setampan dan sebaik namanya, Jusuf.
Hari itu aku sedikit marah dan kesal padanya. Tapi aku pendam. Aku biarkan saja. Aku pikir,
selama dia tidak menyakiti hatiku, aku akan biarkan dia menjelajah dan bergerilya menjadi seorang
Cassanova muda.
Though deep down inside... I'm kind a desperately in love... desperately.
"Sudah, ah. Aku bosan sama cerita kamu yang itu-itu saja, Jusuf!" seruku, memotong kalimat tidak
pentingnya tentang seseorang bernama Matahari.
Jujur saja, sekalipun aku sayang dan jatuh cinta padanya, pada saat aku mengenal betul siapa dan
bagaimana Bulan yang sebenarnya... aku juga mulai jatuh cinta. Pada kepribadiannya yang
menawan itu.
Bagaimana tidak? Bulan rela menerima kembali cinta Jusuf ketika banyak perempuan yang
membenci tingkah dan kelakuan Jusuf setelah tiga tahun berturut-turut. Menyaksikan kisah ini,
aku... seperti hamba sahaja yang dimabuk asmara.
Dan memang aku dimabuk asmara oleh Jusuf. Setelah Jusuf memberikan kado terindah untukku di
hari ulangtahun Matahari.
Aku tidak tahu kenapa aku tega melakukannya.
Tapi pada suatu hari, Matahari diperkenalkan padaku oleh Jusuf dalam sebuah acara ulangtahun.
Matahari sebagai seorang mantan kekasih.
Aku melihat mereka berpelukan sambil menangis.
Dan kemudian, aku yang tidak tahu apa-apa itu, digandeng dan kemudian diajak pergi oleh Jusuf
yang usai melepaskan pelukannya dengan Matahari yang terpaksa itu. Aku juga sedikit menangis.
Aku merasakan bagaimana perasaan Jusuf. Dan kemudian, Jusuf memandangku. Menengokkan
wajahku ke hadapannya dengan sepasang tangannya yang kekar. Dan mengatakan padaku tegas.
"Hapus airmatamu yang meleleh itu. Aku tahu perasaan menunggumu. Aku tahu ini, Sayang,"
bisiknya, kemudian mencium bibirku yang bergetar oleh tangis.
Dan kau pasti tahu bagaimana kejadian di hari-hari setelahnya.
Benar sekali.
Sebuah happy ending untukku. Yang sama sekali tidak aku rencanakan.
Tapi saat ini, saat itu semua hanya masa lalu....
***
Aku punya seseorang yang nyata untukku saat ini. Dengan berbekal pengalaman masa lalu, maka
aku tahu siapa yang layak berdampingan dengan kita sampai menutup mata! Hm, kukira kamu pun
mendamba pendamping yang baik dengan segebung cinta sejati, bukan?
Kabarnya saat ini, Jusuf ditinggal LAGI oleh keduanya.
Bulan dan Matahari tentunya. Setelah mereka melalui bermacam kerikil tajam dalam kisah cinta
segitiga mereka.

http://cafenovel.com/ 17
Bulan akhirnya berhasil berhubungan baik denganku, bahkan hingga saat ini. Dia juga sudah
bekerja di sebuah perusahaan ternama di kota kami, dan menikah dengan sahabat masa kecilnya
yang rajin menghiburnya di saat Jusuf meninggalkannya. Sedangkan Matahari menikah dengan
calon pilihan Ibunya. Pengusaha real estate ternama di Bali. Dan kemarin berhasil ngobrol panjang
lebar denganku melalui telepon, sekedar menyapa dan memberitahukan kabar gembira bahwa saat
ini dia sudah dikaruniai dua orang anak yang cantik-cantik.
Aku sadar. Aku bukan siapa-siapa.
Kalau saja aku tahu dengan benar siapa Jusuf yang sebenarnya.
Tapi darinya, aku belajar dengan baik tentang semua ini. Tentang seseorang yang sama sekali tidak
peduli terhadap perasaan seseorang yang tulus mencintai.
Tentang bagaimana seharusnya menghargai seseorang yang tulus.
Adalah sesuatu yang sebenarnya mudah untuk dilakukan, tetapi tidak dilakukannya. Hingga
akhirnya merugikan dirinya sendiri.
Jusuf meninggal di sebuah rumah sakit setelah didiagnosis terjangkit virus HIV.
Dan hari ini adalah tepat seratus hari kematiannya.
Goodbye, Dearest. My Cassanova.... ©

http://cafenovel.com/ 18
Januari, 2002
Pukul 03.33 WIB
Kegagalan cinta dan hati yang patah telah memurukkan aku dalam lembah nista. Aku terjebak di
dalam 'permainan' yang diciptakan oleh rasa sakit dan dendam. Sampai suatu saat aku tersadar oleh
satu hal.
Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, terlebih setelah menyadari dengan sangat
terlambat apa dan bagaimana rasanya gagal. Cerita yang akan Anda baca beberapa saat setelah ini
adalah sebuah pelajaran berharga untuk aku. Well... aku berharap akan menjadi sebuah pelajaran
yang berarti dan berharga pula nantinya.
***
Aku bertemu dengan seorang pemuda yang bekerja di sebuah perusahaan ternama yang letaknya
tidak begitu jauh dari kampus. Dari awal aku sudah sedikit memperhatikan raut wajahnya yang
tidak terawat tetapi kalau diperhatikan lebih lama lagi, sepertinya dia tampan. Kita bertemu saat dia
tidak sengaja (atau sengaja?) menabrakku yang tengah berbicara dengan seorang teman di kampus
depan. Bukannya minta maaf, dia malah mengajakku minum di kedai kopi di mal dekat kampus.
Aneh. Tetapi sebuah keberuntungan agaknya. Buatku.
Dia mulai bercerita panjang lebar tentang siapa dia, apa pekerjaannya, dan kebiasaan apa yang
dilakukannya setiap datang ke kedai kopi itu.
Masa bodoh.
Sepertinya dia tidak terlalu pintar bercerita. Paling tidak, pura-pura menyenangkan saja. Kalau tidak
karena wajah dan wanginya yang maskulin itu, tidak bakal aku sudi menyanggupi ajakannya waktu
itu.
Stuck. That's all I can say!
***
Waktu mulai menunjukkan pukul 00.05 dinihari.
Bukan perkara malam, hanya saja suasana saat itu benar-benar membuatku ingin cepat-cepat
beranjak dari situ. Bagaimana tidak? Dia menyebalkan. Seperti anak kecil yang menggebu-gebu
merengek sesuatu terhadap Sang Bunda. Tetapi kemudian tetap merengek, sekalipun wajah Sang
Bunda sudah memberi tanda untuk jawaban tidak. Aku sengaja membiarkannya. Mengikuti apa

http://cafenovel.com/ 19
yang akan dilakukannya padaku.
Akhirnya beberapa saat setelahnya, setelah kedai kopi tutup, dia menawarkan untuk
mengantarkanku pulang.
Aku langsung mau. Tidak ragu.
Sampai di depan rumahku, aku ragu untuk turun.
"Kenapa?"
"Masih kepagian untuk tidur."
Dia tersenyum. Mungkin memaklumi kalimatku sebagai penolakan untuk pulang meski waktu telah
merangkak dinihari. Pemuda itu mengangguk, dan menawarkanku untuk ikut jalan-jalan
bersamanya. Itu pun jika aku tak keberatan.
Aku jelas mau. Entah kenapa, semakin malam semakin tampan saja wajahnya. Lagi-lagi aku
berubah pikiran. Seperti biasanya.
Dia tidak bisa bohong, dia pun mengatakan betapa senangnya dia ditemani oleh seseorang yang
baru dikenlanya dalam kurun waktu setengah hari.
Jujur. Aku tidak begitu senang karena dia kurang agresif. Dan hal itu berarti membuang-buang
demikian banyak waktu. Seharusnya waktu-waktu yang 'terbuang' itu sudah masuk dalam tahap
'chek-in'.
Tetapi entah kenapa beberapa saat setelahnya, wajah tampannya memaksaku untuk mengatakan,
"Oke, bagaimana kalau kita ke apartemenmu...."
Dia kaget. Joknya sampai berderak.
"Takut? Istrimu...."
"Aku belum menikah...."
Tetapi tidak butuh waktu lama untuk menanggapi pertanyaanku tadi.
Dia menyanggupinya dengan cara... mengelus pipiku.
Jadi aku pikir tidak ada salahnya kemudian jika aku melanjutkan perhatian di antara dua insan asing
yang baru bertemu tidak lebih dari setengah hari, untuk saling mengenal lebih jauh sebelum sampai
ke apartemennya.
Aku cium pipinya, genit. Satu kebiasaan yang telah kukaribi setelah cinta melantakkan aku ke dasar
jurang terdalam. Setelah cinta merenggut segalanya dariku.
Aku lanjutkan dengan melingkarkan tanganku ke pinggangnya sembari menyandarkan kepalaku di
bahunya. Dia seperti apatis, tetap mengemudikan mobilnya dalam laju normal.
Sesekali dia bilang, "Hm... bahagia rasanya bisa bersama gadis secantik kamu."
Aku tetap tak peduli setan dengan kalimat-kalimatnya. Sejauh ini dia masih kelihatan orang baik-
baik. Hei, berbeda dengan beberapa pemuda yang telah kukencani. Dia terlalu pasif seperti kucing
nan malu-malu. Tidak beringas seperti harimau jantan.
Aku lanjutkan aksi pendekatan lagi.
Aku mulai belai rambutnya yang wangi dan teratur rapi semenjak awal kita bertemu.
Dia memandangku tajam, memarkir mobil di bahu jalan, lalu dia balas dengan ciuman maut.
Sebuah french kiss yang lembut. Dan tidak pernah aku rasakan sebelumnya.
Aku makin menjadi.
Aku balas ciumannya dengan ciuman dahsyat andalanku. Penuh hasrat tentunya.
Kali ini berbeda. Dia mengelak.
Kurang ajar! Baru kali ini aku ditolak! Semua orang tahu tidak akan ada yang mampu menolak
pemberianku. Harusnya dia pun tahu itu!
Tetapi aku tetap diam saja. Tidak bereaksi marah atau kesal. Biar. Aku hanya ingin tahu apa
maunya lelaki 'aneh' ini.
"Kamu cantik... tetapi buat apa ini? Aku tidak merasakan perasaan sayang. Buat apa?" tanyanya,
terlihat munafik.
"Hah, buat apa? Ya, buat perkenalan kita berdua, Mas. Buat apa lagi? Apakah Mas mau yang lain

http://cafenovel.com/ 20
selain tadi? Mungkin ini, coba?"
"Ini apa?!" tanyanya sambil melepas tangannya secara paksa dari genggaman di dadaku.
"Ini... yang aku kasih ke Mas. Ini! Apalagi, coba? Munafik sekali kamu, Mas!" rutukku kesal.
"Ka-kamu...! Aku pikir kamu gadis baik.... Eh, kok ternyata begini...."
"Baik? Terus kamu pikir aku gratisan begitu?! Ya, tidaklah! Belum pernah kenal saja kok minta
gratisan? Kamu pikir aku murahan apa?!"
"Aku tidak bilang kamu murahan, tetapi...." jawabnya tak rampung, mulai melunak dan sedikit
menyesal telah melontarkan kalimat 'menyinggung' begitu.
"Aku kecema sama kamu, Mas! Kamu aneh!" Aku naik pitam setelah setelah aksi penolakannya.
"Maksudmu?" Dia kaget lagi.
"Mas maunya apa, sih?" Aku melototkan mata. "Kalau tidak penting, jangan buang-buang waktuku.
Oke, oke. Kita langsung bicara tarif."
"Ta-tarif? Memangnya...."
"Mas jangan sok bego, ya?" Aku mulai tidak sabaran. "Mas cari gadis penghibur, kan?"
Dia sontak kaget. Matanya kini yang melotot. "Tidak semua laki-laki sepicik di otakmu!"
"Ja-jadi... untuk apa...?"
Dia diam, tidak bicara apa-apa. Dan langsung menyalakan kembali mobilnya.
"Aku antar kamu ke rumahmu...."
Aku bingung. Seumur-umur, inilah lelaki yang paling aneh yang pernah kutemui. Dia bukan kucing
jantan yang beringas melihat 'ikan segar' yang diangsurkan di hadapan. Aku mengangguk dengan
hati belah, menyetujui usulannya untuk mengantarkan aku pulang.
Tetapi kemudian, tanpa disangka-sangka ia menciumi pipiku.
"Maaf, aku sudah menyakiti hatimu. Tetapi, aku bukan lelaki hidung belang yang biasa kamu kenal.
Aku harap kita dapat bersahabat secara wajar, dan bukannya dengan cara seperti tadi...."
Mataku berkaca-kaca diruap haru. Sama sekali tidak pernah menyangka dia akan berkata selembut
itu. Tidak munafik seperti sangkaku tadi.
"Maaf, aku bukannya men-justice kamu. Tetapi, kenapa sih kamu melakoni perkerjaan seperti ini?
Padahal, kamu masih demikian muda, dan masa depanmu masih sangat panjang...."
"Ak-aku...." Suaraku tercekat. Tangis yang kutahan seolah menohok dadaku dan memerihkan
tenggorokanku.
"Kalau kita berjodoh, suatu saat kita akan bertemu lagi. Ini kartu namaku, kapan-kapan kalau kamu
butuh teman untuk curhat, kamu boleh kontak aku," ujarnya simpatik sembari menyodorkan
selembar kartu nama dari saku bajunya.
Aku menggigit bibir. Masih adakah cinta sejati di dunia ini? Cinta telah menghancurkan aku.
Merampas sesuatu hal yang paling hakiki dari hidupku. Dan ketika aku demikian mengantipati
cinta, seorang pemuda yang baru saja kukenal memaparkan cinta sesuci melati!
"Aku tidak pernah menganggap kamu 'murahan'! Kamu layak mendapat pendamping yang baik,
yang akan mengawal dan merawatmu kelak sampai di hari tua. Suatu saat, ya suatu saat, kamu akan
mendapat lelaki yang baik sebagai suami kamu."
Ya, Tuhan!
Aku sudah tidak mampu membendung airmata. Aku jatuh cinta pada pemuda yang berada di
sampingku ini. Dia seperti malaikat beraura putih yang diturunkan dari langit untuk menyesali
perbuatan nistaku selama ini!
Tak lama kemudian, dia menghentikan laju mobilnya tepat ketika tiba di muka rumahku.
"Aku yakin kamu sebenarnya gadis yang baik...."
Aku tak memedulikan pemuda itu lagi. Aku tidak ingin dia melihatku bercucuran airmata. Kubuka
pintu mobil, keluar separo berlari. Masuk ke rumah dan mengunci diriku di dalam kamar. Di sana,
aku menumpahkan airmata sepuas-puasnya. Tiba-tiba aku merasa sangat nista.
Tetapi sesungguhnya, aku telah jatuh hati pada pemuda itu! ©

http://cafenovel.com/ 21
Mei, 2003
Pukul 01.02 WITA
"Bukannya aku takut sama dia, tetapi... ehm... aku cuma... aku sudah lama tidak ketemu dia.
Jangan-jangan, kapan hari aku dikasih tahu kabar, kalau aku merupakan perempuan yang pantas
dibawa kemana saja sama sembarang laki-laki. Yah, aku bilang saja tidak, wong aku tidak pernah
dibawa kemana-mana."
"Then what?! Are you really sure about that? I mean.... That are closely like this, you know. You
don't have to be pretending like that. Just tell him what are you wanting from him. Then you can get
along... free as you want it to be...." kata Susan padaku yang tetap menunjukkan jari kelingkingnya,
sekalipun sudah selesai kalimatnya.
"Aku cuma... gemas," ujarku mengakhiri percakapan di sore itu.
Suasana pura dan bau khas setanggi ladan di sepanjang jalan membuatku berada di tempat baru lagi.
Sudah hampir seminggu ini aku di sini. Tetapi sepertinya sudah lama sekali aku kenal kota Bali.
Warung-warung tempat makan membuatku teringat lagi sama yang dulu-dulu. Bukan perkara aku
tidak mau lupa sama yang dulu-dulu. Hanya saja, aku buta sekali sama kenangan 'jadul'. Zaman
waktu masih muda dulu. Dimana kulitku masih sehalus bayi. Dimana sekitar pelipisku belum
dikerubuti kerutan seperti saat ini. Tetapi tidak apa. Toh bukankah uzur ketuaan merupakan hukum
alam yang tak dapat dipungkiri manusia?
Intinya, mungkin aku tidak muda lagi.
Namun, sekarang aku sudah punya kehidupan yang baru.
***
"Bee, if you are promise to keep me to be as your best buddy ever, then you can just show me
anything behind this all, you know. You don't have to. I just... want to know you well. More than
anybody else, Dear...." Lagi-lagi Susan berujar padaku dalam bahasa Inggris yang terdengar legit di
sepanjang Kuta di pagi buta.
"Susan, listen to me! Aku ini perempuan biasa yang hanya kepingin punya kehidupan biasa pula.
Perempuan biasa, normal dan berusaha memberikan yang terbaik bagi orang lain dan diriku sendiri.
Dan, dia juga berupaya meraih yang terbaik untuk apa yang diinginkannya. Sama, bukan? Just
same as you did!" balasku sambil tersengal-sengal.
Kita sedang jogging waktu itu.
"Pokoknya aku tidak mau tahu. Kamu tidak boleh merasa yang paling ini, paling itu. Paling benar,
paling menyedihkan, atau paling apa saja. Susan tidak inginkan itu. Susan peduli sama kamu...."
lontarnya dalam bahasa Indonesia dengan logat kebule-bulean itu.

http://cafenovel.com/ 22
"OK! OK! AKU TIDAK LAGI MAU MENGELUH SAMA KAMU!" balasku sengit, singkat. Aku
sebal diceramahi orang. Apalagi notabene hanya orang baru dalam kehidupanku. Peduli kucinglah
dia!
"Apa? I mean... aku tahu sekali siapa kamu. Jadi jangan pernah meragukan kalimat that I've told
you before. Ok! I am serious... totally care about you. Kamu mengerti?!" tanggapnya, memaksa.
Jujur aku tidak mau tahu tujuan dia sebenarmya. Aku ada di mana sedang apa, benar-benar
urusanku, bukan? Maksudku, siapa yang mau peduli sama bule homo yang baru tinggal di Bali
selama dua tahun dan seorang teman baru ketemuan di hotel? No one, I believe! He's just a gay
anyway!
Maaf, aku belum cerita. Susan adalah seorang teman yang aku temui di lobi hotel pada hari pertama
kedatanganku di Bali. Dia punya tampang yang goodlooking. Karena goodlooking tadi, aku
tawarkan tempat duduk di sebelahku, kala menunggu taxi driver menjemput. Ternyata dia
memberanikan diri untuk ngobrol terlebih dahulu. Kemana tujuanku, sama siapa perginya. Dasar
gay! Sejak pertama kenal saja sudah langsung ketahuan! Tidak bisa bohong... nama aslinya adalah
Donaldson. Tetapi karena kita sudah terlalu dekat, jadilah aku panggil dia Susan. Dan dia sama
sekali tidak keberatan. Itulah yang menyebabkan kedekatan kami selama ini. Si Susan alias
Donaldson ini punya jiwa yang tulus, dan legawa.
Ah, coba dia bukan gay. Well, anyway... aku lupa sampai mana dialognya tadi.
***
"OK, Donaldson! Aku cuma kepingin mencoba kesempatan kedua. Aku sama sekali tidak tahu ada
orang mirip Jusuf di sini. Bukan salahku juga, kan? Pertanda, boleh juga kalau ternyata dia juga
jodohku, kan? Jodohku, mungkin? Orang yang mirip sekali dengan Jusuf? Just... let me do my
way... then if I failed, maybe you can treat me like your own baby again. Bagaimana?" ungkapku,
menawar. Donaldson adalah panggilan 'kesayangan' ku buatnya di kala dia mulai atau sangat
menjengkelkan.
"OK, Darling... I just.... OK, nevermind...." kata Susan sambil berpaling. Wajahnya tiba-tiba
melengos dari pandangannya yang semula lurus ke depan.
Hari kesekian aku di Bali, aku tetap merasakan kesepian yang teramat sangat. Sembari mengerjakan
tugas dari kantor, pertemuanku dengan seseorang yang mirip sekali dengan Jusuf itu kembali
menghantui. Di layar TV di kamar hotel, di kaca kamar mandi, di jalan-jalan. Seperti remaja yang
sedang jatuh cinta. Aku maklum sekali dengan ini. Bali adalah tempat pertemuanku dengan Jusuf
untuk pertama kalinya. Dan walaupun dia sudah tenang di sisi-Nya sekarang, aku yakin sekali Jusuf
memandangku dengan senyum saat ini. Aku harus berani melupakannya. Tetapi aku tetap tidak bisa
bohong. Aku masih begitu mencintainya. Sebagai siapa pun dia, aku sama sekali tidak peduli.
Aku ambil kotak kecil di koper. Aku keluarkan semua isinya. Lalu aku buang semua barang yang
ada di dalamnya. Kotak kecil yang selalu aku bawa kemana-mana itu adalah kotak abadi buat Jusuf.
Dimana ada kotak itu, di situ ada Jusuf di dalamnya. Dan, aku memberanikan diri untuk membuang
'Jusuf' yang ada di dalamnya. Maafkan aku, Jusuf... ini sudah lebih dari dua tahun. Aku hanya
perempuan biasa. Perempuan biasa layaknya perempuan lain. Dimana segala sesuatunya selalu
berlandaskan hati. Dan lagi-lagi karena hati itulah, perempuan bisa bertahan dari segala macam
kehidupannya yang pahit. Sepahit apapun itu, perempuan hanya bisa mengandalkan hati. Aku
bahkan tidak bisa membuka hati untuk seorang pria, siapa pun. Aku tidak bisa seperti Bulan,
Matahari, yang berani menikah dan punya kehidupan yang baru lagi setelah bertemu dengan
seorang Jusuf. Aku hanya kepingin punya Jusuf saja. Tidak ada yang lain. Walaupun tidak bisa.
Atau tidak mau? Aku tidak mau tahu. Walaupun bisa, aku sudah tidak mau mencoba lagi. Kalau
Matahari dan Bulan mau dan berani mencoba, bangkit lagi. Aku tidak mau. Aku hanya mau Jusuf.
Bukankah itu cinta sejati?
"Bee... Kamu bagaimana? Sudah baikan? Hehehe...." tanyanya sambil memelukku.

http://cafenovel.com/ 23
Susan hobi memanggilku Bee. Dengan alasan, sejak bertemu denganku, Susan rajin minum madu.
Bukan karena dia ingin awet muda dengan terus minum madu, tetapi karena aku memang punya
bisnis kecil-kecilan di bidang ternak lebah tersebut. Dan dia adalah pelanggan pertamaku di Bali.
"I'm fine. Bahkan tadi malam, tugas-tugas dari kantor, bisa aku selesaikan semuanya. Oya, nanti
malam ada meeting sama client di lobi hotel. Would you like accompany me after that? We go chat
then have fun after that...." ajakanku buat Susan.
Entah kenapa, belakangan Susan jarang sekali terlihat pergi atau cerita seputar kedekatannya
dengan seorang pria. Atau sedang tidak punya seseorang? Aku tidak pernah tahu.
Susan termasuk orang yang introvert untuk urusan ini. Hehehe... awalnya sih sangat-sangat terbuka.
Cerita panjang lebar tentang siapa dirinya dan dari mana asalnya. To the point bahkan sedetail-
detailnya. Tetapi belakangan, Susan jadi pemurung.
Melihat perubahan sikapnya itu, aku sedikit senang. Paling tidak aku tidak lagi merasa kesepian,
karena ada dia.
Tiba- tiba dia cerita sesuatu.
"Aku harus cerita ini ke kamu. Aku tidak tahu bagaimana pendapat kamu tentang ini. Aku
merasakan perubahan yang extra ordinary than before, Bee! Kamu mau tahu kenapa?" Susan
semangat.
"Eh...? Cepat sekali nyerocosnya? Ada apa?" jawabku kaget.
"Aku... ingin sekali berubah. Berubah menjadi seseorang yang lebih baik...." katanya bikin kaget
lagi.
"Okay... details, please?" tanggapku, singkat.
"Aku ingin jadi Donaldson yang baru. Aku ingin jadi orang itu, Bee... orang yang bisa bikin orang
di dekatnya senang dan whole! Do you know what I mean?" jawabnya lagi dengan kalimat yang
terdengar 'aneh'.
"Aku cuma ingin berubah. Kepingin berubah, normal... dukung aku saja, ya?!" tambah 'Susan' alias
Donaldson yang semakin aneh.
"Sebenarnya, ya... semua orang itu selalu harus bisa berubah. Menjadi orang yang lebih baik lagi.
Menjadi orang yang jauh lebih bijak dari sebelumnya, menjadi orang yang jauh lebih religius dari
sebelumnya. Memang begitu bukan hakikat manusia? Do you need me to say an English to you,
Susan?" tanyaku memastikan.
"OK, then. I love you... see you around what? 9? 10?" ujarnya, balik tanya sambil angkat badan dari
kursi.
"9 sharp, yeah?" jawabku sambil senyum. Mungkin dia dapat kritik dari 'mantan' terdahulunya
tentang bagaimana kebiasaannya sehari-hari. Jadi dia tanya itu ke aku.
Aku kembali ke kamar. Mempersiapkan penampilanku untuk bertemu dengan client nanti malam.
Susan tidak tahu, client yang akan aku temui nanti malam adalah orang yang sama sekali tidak ingin
dilihat olehnya. Ranu, yang tidak lain adalah suami Matahari. Aku bekerja di perusahaan swasta,
sedangkan Ranu adalah seorang wirausahawan yang bergerak di bidang yang sama. Dan Ranu ini
punya wajah yang mirip sekali dengan Jusuf. Tuhan memang punya cara yang lucu dalam
menyampikan pesan buat hambanya. Siapa yang tahu aku akan bertemu suami dari seorang
Matahari yang notabene mirip dengan Jusuf?
Lewat pertemuan ini, aku yakin aku akan bertemu lagi dengan Matahari. Aku yakin, ini adalah apa
yang diharapkan Jusuf kalau dia masih ada.
***
"Ranu... kamu di mana sekarang? Sudah bawa semua perlengkapannya? Kamu sama Matahari
nanti, bukan?" tanyaku pada Ranu di telepon genggam.
Tidak lama berselang, terdengar suara familier di horn ponselku. "Halo, Tri! Akhirnya kita ketemu
juga, ya? Oke, ini aku sudah on the way, kok. Sudah bareng Matahari juga. Tetapi kayaknya sampai

http://cafenovel.com/ 24
larut malam nanti, nih. Soalnya, ada yang mau kangen-kangenan!" jawabnya, lalu tertawa renyah.
"Oke, Bos! Nanti aku kenalkan teman aku yang kapan hari itu kamu kritik habis-habisan. Hehehe...
si Bule...."
"Yah, sama si Bule itu lagi? Ya, sudah. Penasaran nih ingin tahu bagaimana orangnya. Hehehe...
bye!" Klik! Jawabnya tidak sopan. Mungkin karena Ranu juga benci sama 'Susan', jadilah seperti itu
reaksinya. Sebab dia 'gay'!
Aku seperti harus menjelaskan lagi tentang kronologis kejadian kenapa Ranu membenci Susan.
Singkat saja. Dari luar, Susan yang seorang bule ganteng ini tampak seperti seorang Flamboyan.
Tidak ada yang bisa disalahkan, masalahnya itu hanya phsycally saja. Tidak ada yang tahu siapa dia
sebenarnya. Ya, kecuali kalau memang sudah kenal dia.
Ranu adalah satu dari sekian banyak teman laki-laki yang aku punya. Matahari sendiri yang
memperkenalkan suaminya padaku. Dengan harapan yang sama mungkin. Agar Jusuf senang
melihatnya.
Setelah sekian kali bertemu, aku pikir, aku bisa mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana perasaan
Matahari saat itu. Apakah dia juga sama seperti aku, yang masih menggilai Jusuf. Atau tidak?
Entahlah.
Ternyata misi kecil ini rupanya diketahui Susan dari agenda kecil yang ada di tasku. Bule satu ini
juga gila. Dia rajin update soal kegiatanku sehari-hari. Ah, seandainya saja dia bukan....
"Perkenalkan, aku Donaldson. Nice to meet you...." sapa Susan santun, memperkenalkan diri kepada
Ranu dan Matahari.
Ranu mendadak serius wajahnya. Cuek. Lalu duduk.
Matahari tidak. Dia tersenyum tulus. Dan tidak buru-buru duduk seperti Ranu dengan sikap
'antipati'. Malah di antara kita berempat, Matahari yang paling terlambat duduk di kursinya. Seolah-
olah terpana melihat ketampanan Susan.
Aku tak ambil pusing. Aku langsung membicarakan pekerjaan dengan Ranu yang duduk
berhadapan denganku.
Hingga sudah hampir ada sejaman, aku mulai melihat Susan rajin menjawab pertanyaan Matahari.
Tampaknya mereka sudah asyik dengan pembicaraan mereka. Matahari bahkan sesekali memukul
kecil tangan Susan. Sedikit aksi konyol rupanya, yang menandakan bahwa mereka sudah semakin
akrab.
Aku lega.
Paling tidak, dengan melihat itu, Ranu bisa menjadi berkurang perasaan bencinya. Tetapi bisa saja
malah sebaliknya. Semakin benci. Siapa yang tidak? Ranu benci setengah mati melihat Susan
karena menurutnya aku digandeng kemana-mana. Apalagi istrinya.
"Akhirnya selesai juga, ya?" ujarku, mengakhiri perihal pekerjaan dengan Ranu yang masih belum
tersenyum barang sekejap dari awal pembicaraan.
"Iya. Bagaimana kalau sekarang aku dan Matahari langsung pulang saja, Tri?" tanyanya sebal tanpa
melihat wajahku.
"Ranuu...!" jeritku sambil menendang kakinya.
Terus terang, aku tidak suka melihat kecemburuan Ranu terhadap Susan dan istrinya, Matahari.
Mereka sekedar mengobrol saja. Tidak ada apa-apa, kok! Namun, di luar dugaan ia melontarkan
pertanyaan yang dapat membuatku pipiku memerah. Of course, tentu saja juga Si Donaldson.
"Ehm... oke, oke. Langsung saja kita bincang-bincangnya. Sebenarnya kalian ini pacaran, ya? Atau
sudah menikah?" tanya Ranu pada Susan. Dia sama sekali tidak melihat wajahku.
"What? I mean.... Ya, ya, kita berteman baik. You know, like brother and sister. Dan kita seperti
sudah mengenal lama begitu. Is there something wrong about that, Ranu?" jawab Susan lancar,
tidak menunjukkan ketersinggungan.
Hm, untung Si Donaldson ini pintar sekali berperangai. Aku tahu betul kalau Susan adalah seorang
penakut. Paling tidak kalimatnya tidak bisa selancar itu, apabila ditanya soal status dan tetek

http://cafenovel.com/ 25
bengeknya.
"Oh, hehehe... tidak sama sekali. Saya mengenal Tri mungkin setelah kamu, ya? Jadi, ya saya hanya
ingin tahu saja. Sebagai teman. Bukan begitu, Matahari?" Ranu meminta dukungan dari istrinya.
"Oh, iya, Sayang. Ranu ini orangnya concern terhadap siapa saja yang jadi temannya, Donald. Eh,
nama kamu lucu sekali, ya? Bagaimana tak senang Tri punya teman lucu begini. Hehehe...." Ranu
mendapat dukungan lebih rupanya.
Ranu kaget. Susan yang tadinya tegang, jadi ketawa mengakak. Tetapi tetap saja berwibawa.
Aku hanya diam saja, walaupun agak aneh juga melihat sikap Matahari.
Matahari malam itu terlihat sangat cantik. Tidak berubah dari beberapa tahun yang lalu. Di antara
teman perempuan yang aku punya, Matahari adalah salah satu yang tercantik di antaranya. Aku
tidak heran kalau dulu Jusuf rela balik lagi sama dia. Dia punya karakter feminin dan keibuan.
Hanya satu mungkin yang berubah dari dia, malam itu. Matahari tidak pernah sebahagaia itu.
Sejauh yang aku tahu, Matahari selain cantik juga seorang pemalu yang pernah aku kenal. Jadi
kalau ada adegan pukul-pukul tangan dengan Susan tadi, boleh jadi Matahari kagum sama Susan.
Matahari lalu bangkit dari kursinya. Mengajak Susan berdiri juga dan menyalaminya. Ranu kaget
lagi. Dan kemudian menggandeng tangan istrinya itu.
"Baik kalau begitu, aku dan Ranu pergi dulu, Tri." Matahari berujar, memandangku lalu ganti
memandang Susan. "Donald, senang ketemu dengan kamu."
Aku mengangguk.
"Anyway, sampai kapan kamu di Bali, Tri?" tanya Ranu kepadaku, menyembunyikan rasa
cemburunya dengan bersikap seperti tidak ada apa-apa.
Aku angkat bahu. "Kurang pasti. Tetapi, mungkin beberapa hari lagi. Kalau aku sampai ditelepon
kantor dan harus balik, baru aku balik. Matahari tahu bukan, aku masih tinggal di Surabaya?"
jawabku, lalu balik bertanya kepada Matahari.
"OK, then. Keep in touch, yeah?" Matahari pamit, matanya melirik ramah ke arah Susan.
Perlahan Ranu dan Matahari pergi. Sementara itu, aku dan Susan terjebak dalam suasana hening
sambil bergandengan tangan. Tak lama kemudian, setelah Ranu dan Matahari menjauh dari
pandangan, aku dan Susan tertawa berdua. Tertawa sepuas-puasnya.
Ternyata kita berdua menyadari betul, betapa Matahari tergila-gila pada Susan.
Dan malam itu, aku habiskan waktu ngobrol bersama Susan di kamarnya. Membicarakan tentang
bagaimana membuang kotak Jusuf yang masih ada di koper, dan membongkar isi kamar hotel
Susan yang hanya beda satu lantai saja dengan kamarku.
Sampai kita berdua tertidur pulas. Layaknya dua perempuan yang sedang patah hati, menghabiskan
waktu bersama dan curhat, lalu terlelap. ©

http://cafenovel.com/ 26
Maret, 2004
Pukul 03.03 WIB
Ternyata menjaga hubungan persahabatan yang tidak diniati sebelumnya, adalah sebuah tindakan
yang paling tulus yang pernah ada. Buktinya, Susan dan aku masih awet saja berteman sampai
sekarang. Entah apakah karena karakter orang gay itu loyal? Atau memang kita ini sudah layaknya
soulmate? Yang unseperatable?
Susan yang berencana tinggal nomaden di Surabaya, Bali, dan New York itu, sekarang punya
pekerjaan tetap, yaitu sebagai seorang guru bahasa Inggris di sebuah sekolah Internasional. Aku
bangga sama Susan. Dia sama sekali tidak pernah mengeluh soal pekerjaan, tetapi sejak dapat
pekerjaan, Susan seperti orang yang keranjingan kerja. Sama sekali tidak mengalami 'jetlag'.
Maksudku, sebelumnya dia tidak pernah bekerja. Selain menjadi wisatawan dan designer kecil-
kecilan di Bali, tidak ada yang dia lakukan lagi.
***
Aku dan Susan memutuskan untuk tinggal di satu apartemen yang sama di Surabaya. Satu
apartemen, tetapi beda kamar. Untuk alasan budaya, aku sengaja tidak ingin membagi kehidupan
dengan 'Susan' Donaldson. Yah, walaupun kita sudah sedekat suami dan istri sekalipun.
Kamar Susan ada di lantai enam, sedangkan kamarku ada di lantai tiga. Sekalipun lumayan jauh,
jiwa kita tidak pernah jauh. Dia masih gay, namun aku tidak risih dengannya. Dia teman yang
sangat baik. Jauh melebihi kebanyakan teman-temanku yang normal.
"Don, kamu sudah tidak ada acara lagi, kan?"
Sejak 'Susan' alias Donaldson tinggal di Surabaya, aku membiasakan diriku untuk memanggilnya
dengan nama aslinya.
"Nope, Bee! Ayo kita sama-sama makan. Aku yang jemput kamu, ya? Kita makan di tempat
biasa...." ujarnya, lalu mengajak.
"Oke, Donaldson!" jawabku antusias kepada 'Susan' yang mulai kuarahkan untuk menjadi pria yang
normal.
Klik. Komunikasi via ponsel kuakhiri. Dan menunggu dia menjemput kemudian.

http://cafenovel.com/ 27
Sejak punya apartemen di Surabaya, Donaldson sudah tidak mau lagi dipanggil Susan. Entah karena
dia memang ingin membuktikan janjinya waktu di Bali atau bukan—untuk dapat hidup normal, aku
sungguh tidak tahu. Yang jelas, dia memang menepati omongannya. Menjadi Donaldson yang
sesungguhnya. Yang mulai tertarik kepada lawan jenisnya!
Aku hargai perubahan itu. Dia benar-benar tidak pernah bercerita lagi tentang laki-laki lagi, yang
dikencaninya atau apalah. Satu-satunya yang dia rajin cerita tidak lain dan tidak bukan adalah
pekerjaan, pekerjaan, dan pekerjaan.
"Bee... aku tadi sudah ngobrol sama orang kantor. Katanya akan ada libur bersama akhir bulan
nanti. Aku pikir, kenapa tidak kita pergi ke New York, together? Mumpung bisa...." ajak Donaldson
di mobil setelah dia menjemputku.
"New York? Kenapa tidak? Eh, tetapi aku juga masih ada urusan sama client minggu-minggu ini.
Kamu tidak keberatan mengurus semuanya, kan?" tanggapku, antusias.
Hening sejenak. Lima detik setelah itu Donaldson menjawab manja, "Apa sih yang tidak bisa
buatmu, Bee?"
Aku dan Donaldson tertawa mengakak.
Tidak bisa bohong. Kadang-kadang aku memikirkan kehidupan pribadiku apabila terlalu dekat
dengan Donaldson. Suasana menyenangkan ini, membuatku merasa tidak harus pergi kemana-mana
mencari tahu siapa yang akan mengajakku ke pelaminan. Donaldson adalah pilihan yang tepat kalau
boleh aku simpulkan. Dia adalah warga negara asing yang rela mengubah aksen bahasa asalnya
menjadi bahasa Indonesia. Bahasa yang tidak seharusnya dipakainya sehari-hari. Aku bisa saja
membiasakan ngomong bule sama dia. Tetapi dia selalu melarang. Dengan alasan, Donaldson
kepingin bisa jadi orang Indonesia. Walaupun wajahnya tidak bisa bohong, bule sekali.
Selain itu, Donaldson juga rajin melakukan ritual yang aku lakukan. Mengaji setelah sholat. Well...
aku lupa, belum cerita kalau Donaldson ini adalah warga negara asing yang beragama Islam juga.
Orang tuanya punya dua agama. Ayahnya Irlandia-Amerika, Katolik. Ibunya Uzbekistan-Pakistan,
tetap Islam. Aku tidak tahu tentang peraturan menikah beda agama di luar negeri sana. Tetapi yang
aku tahu, aku beruntung sekali bertemu Donaldson.
Pemikiran bodoh yang pernah aku punya selama bersama Donaldson adalah: In Case, kita
menikah... tidak perlu repot!
Siang itu aku dan Donaldson makan di cafe yang lokasinya lumayan jauh dari apartemen.
Sebenarnya tempat itu tempat biasa kita makan, tetapi aku sendiri suka diam-diam menganalisa,
'ada apa' dengan tempat itu, sampai-sampai Donaldson senang makan di situ. Ternyata usut punya
usut, Donaldson tahu betul makanan favoritku, dan hanya ada di situ saja menu Sapo Tahu
kesukaanku.
"Bee... gara-gara Sapo Tahu ini yang bikin aku betah makan sama kamu di sini! Hehehe... in case
you wanna know...." katanya tiba-tiba.
"Oalah... Mas, Mas! Ta' pikir opo..." tanggapku dengan logat Jawa medokku.
"Ehm, aku mau ke belakang dulu, ya. Sebentar, deh," katanya sambil mengedipkan mata.
Tiba-tiba telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja, persis tepat di depan piringku,
berbunyi. Ada SMS rupanya.
Aku biasa saja. Cuma aku sempatkan untuk mengintip sedikit. Dan ternyata bukan sedikit yang aku
dapat. Ada nama MTHR di layar ponselnya. MATAHARI?!
"Don, kamu SMS-an sama Matahari, ya? Heh... ternyata, ya?" tanyaku enteng dengan suara sedikit
cemburu, ketika dia sudah duduk di hadapanku tidak lama kemudian.
"Apa? Oh... ada SMS, ya? Iya, dari Matahari. Tetapi cuma mau tanya-tanya sekolah buat anak-
anaknya saja kok, Bee. Tidak ada apa-apa, kok," jawabnya, berusaha setenang mungkin. Namun
demikian, dia tidak dapat menutupi rasa keterkejutannya.
Aku berusaha menenangkan diriku dengan tersenyum. "Oh, begitu. Iya, nih. Pasti dia ingin
menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang bonafid. Kamu kan guru di sekolah Internasional?"

http://cafenovel.com/ 28
Donaldson mengangguk. Sepasang bola mata kebiruannya menyorot lega.
"Ibu yang baik bagi anak-anaknya seharusnya memang begitu. Iya kan, Bee?"
Kali ini aku yang mengangguk. Masih berusaha meredam ruap cemburu yang memenuhi dadaku.
Padahal kalimatnya hanya sekedar pendapat, aku tahu. Tetapi entah kenapa, aku cemburu.
Donaldson yang sudah bertransformasi menjadi laki-laki yang baru itu benar-benar berhasil bikin
aku percaya kalau dia sudah berubah menjadi Donaldson yang baru.
"Bee... cuma kamu gadis yang bikin aku bahagia selama ini. Can you believe I've just said that?!"
katanya, lalu tersenyum simpatik.
Aku cuma bisa balas senyumnya. Aku sengaja buat dia tahu kalau aku memang cemburu. Malah,
aku tidak begitu yakin tentang perkataannya itu. Tentang Matahari yang ingin menanyakan perihal
sekolah Internasional seperti yang dia bilang. Apa yang Matahari SMS waktu itu membuatku
penasaran dan ingin menyelidikinya lebih jauh.
***
Malamnya aku sengaja main ke kamar Donaldson. Aku temani dia ngobrol panjang lebar, dan
kutunggu dia sampai masuk ke kamar mandi. Aku benar-benar penasaran dengan SMS Matahari.
Donaldson kemudian meninggalkanku dengan cerita lucu seputar muridnya di sekolah. Lalu
kemudian dia bilang mau mandi dulu.
Handphone Donaldson yang sedang kudekap, langsung aku buka folder message-nya.
Ternyata... bukan pertama kali Matahari SMS Donaldson. Ternyata, ini sudah kesekian kalinya.
Herannya, SMS-SMS Matahari hanya berbeda sedikit dengan SMS yang terkirim atas namaku....
AKU HANYA KEPINGIN BILANG KALAU RESIKO ITU ADA DI TANGAN KITA,
DONALD. DON'T LET ME DOWN.
Short Message Service berikutnya:
AKU INGIN KAMU, DONALD!
Berikutnya:
AKU MAU KAMU BILANG KE BEE, BETAPA AKU SAYANG KAMU....
... dan berikut-berikutnya yang serupa, seperti:
AYO, KITA KETEMUAN! KANGEN!
Aku tersentak kaget. Menggigit bibirku dengan hati perih.
Aku pikir, apa sebenarnya yang sedang Matahari lakukan terhadap kehidupannya yang sudah
makmur itu? Suami yang setia dan perhatian, plus dua anak yang lucu-lucu. Kehidupan yang dia
inginkan beberapa tahun lalu itu, sudah dia dapatkan semuanya. Tetapi punya Pria Idaman Lain
yang seorang gay ini...? Apa yang dia lakukan?! Apa tujuannya?! Apa lagi sih yang ingin dia cari?!
©

http://cafenovel.com/ 29
Maret, 2004
Pukul 04.01 WIB
Aku tidak mau banyak ikut campur urusan Donaldson sebelumnya, tetapi kali ini harus. Harus mau.
Kalau saja Matahari tahu, apa saja yang sudah aku lalui setelah kepergian Jusuf.
Pudar kemudian lamunanku setelah mendengar Donaldson membuka pintu kamar mandinya. Itu
tandanya handphone Donaldson sudah harus kukembalikan ke posisi semula. Aku tidak ingin dia
marah duluan gara-gara kelancanganku.
"Don... tadi ada SMS. Nih.... " seruku sembari menyodorkan ponselnya.
"Oh, thanks, Bee," sambutnya, sembari masih mengkibas-kibaskan rambutnya yang basah.
Donaldson lalu membacanya, mengernyitkan dahinya dan segera meletakkan kembali ponselnya ke
meja. Bukan ke aku. Setelah itu dia hanya jalan mondar-mandir dekat meja tadi sambil
mengeringkan rambutnya dengan handuk. Seolah tidak terjadi ada apa-apa.
Aku hanya memandangi gerak-geriknya. Memastikan reaksi lebih lanjut darinya karena SMS dari
'MTHR' tadi.
Ah, aku tidak kuat lagi! Aku harus cepat-cepat menanyakan perihal SMS Matahari padanya, tentang
semuanya.
***
"Donaldson, kenapa kamu tidak mau cerita tentang Matahari?" tanyaku sedikit gugup.
"What? Bee... ngomong apa kamu ini?" tanyanya seolah tidak mengerti.
"Ya, itulah. Soal apa lagi? Soal MTHR-lah? Maaf... aku tidak bisa bohong lagi. Aku baru saja
membaca semua SMS-nya. I mean... SMS sebelum-sebelumnya di inbox kamu!" kataku, sedikit
lebih lega setelah menahan degup jantung yang bertalu lebih cepat dari biasanya.
"Bee... aku sudah pernah bilang kan sama kamu. Urusanku sama Matahari hanya sebatas orangtua
dan calon guru dari anaknya. Sekedar itu. Kalau sampai kamu baca sesuatu yang di luar itu, artinya
dia yang punya urusan, bukan aku. Mengerti?" jawabnya penuh dengan keyakinan.
Aku langsung terdiam. Dia tidak akan pernah tahu bagaimana 'maksud' pertanyaanku: cemburu!
Tetapi tidak sulit untuknya menjawab pertanyaanku. Sebenarnya, Donaldson ini laki-laki tulen atau
memang masih gay? Terus terang aku bingung. Bingung dibuat olehnya.
Donaldson lalu mendatangiku. Duduk di sebelahku. Dan kemudian memelukku. Sambil berkata
sesuatu yang lembut.
"Aku hanya tahu satu perempuan. Dan perempuan itu ada di depan mataku. Jadi ada urusan apa

http://cafenovel.com/ 30
antara masa lalu dan masa datang? Hanya Tuhan yang tahu. Yang jelas aku berusaha
mewujudkannya. Hingga semuanya berjalan seperti yang aku mau. Dan aku yakin. Kamu juga pasti
mau, Bee..."
Aku pasrah. Lunglai di pelukannya. Donaldson adalah seorang sahabat gay yang sudah mengenal
aku luar dan dalam. Tetapi tidak pernah sedalam ini. Aku pasrah dan bingung. Siapa sebenarnya
Donaldson ini? Kenapa dia bisa begitu gentlemen? Apa karena di gay? Aku sangat takut
menanyakan hal sesensitif ini. Aku tidak mau dia kemudian marah hanya gara-gara hal sensitif ini.
Dia kemudian bangkit lagi, melepas pelukannya. Dan mengambil handphone di meja tadi.
Kemudian dia menelepon seseorang.
Aku tidak peduli apa yang dilakukannya sekarang. Aku hanya peduli apa yang ada di pikiranku
sekarang. Siapa sebenarnya Donaldson buatku?
"Matahari... aku cuma mau bilang sama kamu, betapa bodohnya seseorang yang sudah memiliki
segalanya dan melepaskannya begitu saja. Betapa bodohnya seseorang yang tidak segera
melaksanakan tugasnya yang dapat dilakukannya pada saat itu juga. Kamu pasti tahu dengan benar
maksudku. Aku hanya seorang gay, Matahari. Andai saja kamu tahu apa yang kamu lakukan selama
ini...." katanya dengan kalimat berbaur amarah.
Percakapannya dengan Matahari pada waktu itu, menjawab pertanyaanku. Donaldson adalah
seorang 'Susan' Donaldson. Ternyata aku hanya terbawa suasana hati saja.
Aku tertawa kecil. Menyadari kebodohanku, menyangkal siapa sebenarnya Donaldson ini. Gay
bakal tetap menjadi seorang gay saja. Kecuali menjadi orang yang lebih baik tentunya. Selebihnya,
dia tidak akan pernah berubah menjadi seorang yang... mencintaiku. Itu yang sebenarnya aku
harapkan darinya.
"... terima kasih atas usahamu, Matahari. Tetapi aku percaya, kamu sudah mendapatkan kehidupan
yang layak. Jadi jangan rusak kehidupanmu. Thanks atas pengertianmu!" lanjut Donaldson pada
Matahari, yang tampaknya hanya bisa diam saja dan tidak berkata apa-apa pada Donaldson ini,
pikirku.
Klik! Setelah itu Donaldson cepat-cepat menutup teleponnya.
Donaldson melihat padaku dengan wajah yang senang dan puas. Dia kemudian lalu berlari dan
lompat ke arahku. Dan lagi-lagi memelukku erat.
"Apa itu tadi, Donaldson? Kamu bicara apa sama Matahari?" tanyaku, menampik pelukannya.
"Dia hanya iseng saja, Bee. Sudahlah. Lupakan saja dia," jawabnya enteng.
Aku menampik lagi cubitan darinya setelah menyelesaikan kalimat entengnya. Kali ini aku benar-
benar serius dengan pertanyaanku. Dan aku benar-benar ingin tahu. Kalau memang dia baru
sekarang mengaku gay pada Matahari, kenapa setelah sekian banyak SMS? Kenapa tidak langsung
mengatakan pada Matahari saja? Sebelum terlalu jauh?
"OK, Bee... kamu mau marah sekarang? Boleh. Marahlah? Karena aku sama sekali tidak mau
membahas tentang ini semua. Matahari sudah cukup meyakinkanku bahwa aku adalah pria yang
terlalu sabar dalam bertindak. Untuk hal apapun. Jadi aku minta tolong pengertianmu, Bee... please,
jangan membahas soal Matahari lagi. Trust me, dia bukan apa-apaku, kok!" ungkapnya,
memandangku. Kali ini dengan wajah serius setelah menguncupkan senyumnya.
Aku sendiri heran menyaksikan reaksi Donaldson yang berubah-ubah. Tetapi keresahan seperti
memberondong aku dengan eradiksi berjuta pertanyaan di benak. Semestinya memang harus
kutuntaskan kepenasaran ini!
"NO! Maaf, tetapi aku tidak tahu dengan benar bagaimana kamu sebenarnya, Donaldson! Di Bali
aku tahu kamu adalah sosok pria yang kalem dan dewasa, juga sabar. Tetapi setelah ketemu sama
Matahari waktu itu, kamu tiba-tiba punya keinginan untuk berubah. Keinginan yang aku sama
sekali tidak tahu dari mana datangnya. Aku bingung dan tidak tahu siapa sebenarnya kamu. Aku
tidak tahu kalau seorang gay bisa begitu misterius untuk satu hal. Dan yang aku tahu, kamu dulu
tidak begini. Kamu jadi aneh!" paparku berterus terang.

http://cafenovel.com/ 31
Amarahku meruap. Kecemburuan telah membakar hatiku, dan tak dapat terpadamkan dengan
asumsinya yang berubah-ubah. Aku bangkit berdiri dari ranjang, dan membereskan barang-
barangku yang berserakan di atas sofa kamarnya.
"Hei... mau kemana, Bee? Kita kan bisa cerita pelan-pelan, dan menyelesaikan semuanya dengan
kepala dingin. Maafkan aku, aku sudah membuat kamu merasa aneh dengan sosokku yang
sekarang. Tentang Matahari, tentang... anything! Tetapi aku tidak bilang ingin berubah setelah
bertemu Matahari dan suaminya itu! Aku punya alasan sendiri kenapa aku ingin berubah... dan aku
ingin kamu menghargai niatku itu. Aku ingin berubah karena memang aku ingin berubah tanpa
dilandasi oleh keinginan yang lain. No, no! Bukan karena Matahari, bukan karena siapa-siapa.
Just... dari hati aku sendiri! Aku berubah karena aku ingin menjadi lebih baik, hidup normal dan
tidak melanggar norma. Aku muak dicaci dunia, Bee! Tolong dukung aku! Please, believe me. Aku
butuh waktu. Aku butuh sokongan."
Aku bingung diaduk rasa. Lelaki yang kukaribi ini tak ada bedanya dengan manusia asing yang
bertambah asing di benakku.
Aku meninggalkan kamarnya dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Agaknya inilah yang disebut
dengan persahabatan yang sedang diuji. Naik-turun dan naik-turun lagi, seperti gelombang laut.
Aku bisa maklumi kalau ini yang memang harus kami hadapi berdua. Hanya saja, perubahan yang
dia lakukan terhadap kehidupannya yang kemudian mempengaruhi kehidupan orang lain
(Matahari), jelas membuatku bagai pegila yang benar-benar sudah gila dan tidak waras lagi.
Dan satu-satunya cara agar aku dapat lepas dari jerat enigma adalah: menjauhi dirinya.
Paling tidak untuk sementara waktu. ©

http://cafenovel.com/ 32
Maret, 2004
Pukul 05.06 WIB
Sudah sekitar seminggu aku tidak bertandang, bahkan bertemu dengan Donaldson di tempat-tempat
kami biasa bersama. Donaldson tampaknya benar-benar marah kepadaku. Dia mungkin merasa
kecewa padaku yang sama sekali tidak menghargai perubahan yang telah dilakukannya itu.
Mungkin juga aku yang salah. Untuk urusan percintaan, tampaknya merupakan hak mutlak
Matahari sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari salah, sekalipun dia sudah berumah tangga.
Dan mengubah Donaldson sebagai sosok 'asing', yang tampak tak karib dalam akrab hari-hariku.
Sungguh, seharusnya semuanya merupakan pilihan hidup mereka yang tak memerlukan intervensi
diriku!
Toh aku bukan siapa-siapa, dan apa-apa mereka.
***
Namun riak renjana membuatku tidak bertahan lama. Akhirnya aku nekat datang ke kamar
Donaldson di lantai atas. Tanpa menghubunginya terlebih dahulu, aku harap aku bisa
memberikannya kejutan 'perdamaian'. Tetapi aku terkesiap di muka bingkai pintu yang tertutup.
Tanganku mengambang di udara, tak jadi memencet bel kamar apartemennya. Kusimak suara dua
orang yang telah kuakrabi sekian lama. Suara dua orang yang sedang bertengkar.
"AKU TIDAK MAU TAHU, DONALD. AKU SAYANG KAMU... SUDAH DARI PERTAMA
PERTEMUAN KITA WAKTU ITU! KAMU YAKIN TIDAK MAU AKU?! AKU YAKIN
BETUL, KAMU INI BUKAN GAY!! KAMU BOHONG!"
Sementara itu, suara Donaldson menjawab, "AH, IT'S YOUR OWN BUSINESS! I'M ALONE
NOW... ITU GARA-GARA KAMU! DAN JUJUR SAJA, AKU TIDAK PERNAH TEGA
MENYAKITI HATI PEREMPUAN. ESPECIALLY, PEREMPUAN YANG AKU CINTAI!"
Suara perempuan itu menanggapi. "TERUS, KAMU MENUNGGU APA LAGI, DONALD?!
AKU, PEREMPUAN YANG KAMU CINTAI INI, SUDAH ADA DI DEPAN MATA KAN?
KENAPA KAMU PAKAI-PAKAI ALASAN GAY SEGALA? KENAPA? HANYA KARENA
AKU SUDAH BERSUAMI DAN KAMU MENYERAH BEGITU SAJA?! KENAPA KAMU INI,
HAH?! KAMU ADALAH LAKI-LAKI YANG AKU DAMBAKAN SELAMA INI!"
Aku hanya menelan ludah. Aku tidak tahu betapa cintanya Matahari terhadap Donaldson.
Perempuan yang aku bangga-banggakan sebagai seorang Ibu Rumah Tangga yang baik itu, jatuh
cinta terhadap seorang gay? Tetapi kenapa lagi-lagi harus sahabatku?! Kenapa orang-orang

http://cafenovel.com/ 33
terdekatku yang harus berperan juga dalam kehidupan kami, kehidupan antara aku dan Donaldson?!
Salah apa aku ini?!
"AKU TIDAK AKAN PERNAH MENYAKITI PERASAAN PEREMPUAN YANG AKU
CINTAI. IT MEANS, PEREMPUAN ITU BUKAN KAMU, MATAHARI. TOLONG MENGERTI
AKU, YA?" jawab Donaldson dengan tegas, namun bernada menenangkan. Menenangkan
Matahari, dan secara tidak langsung menenangkanku tentunya!
Aku kemudian tahu bagaimana sebenarnya Donaldson. Dari percakapan itu, aku bisa simpulkan
betapa bodohnya aku menuduh Donaldson yang bukan-bukan. Dia sahabatku. Tentu saja aku harus
berada di pihaknya. Apapun yang terjadi.
Aku beranikan diri memencet bel di samping pintu kamar Donaldson. Percakapan keduanya hilang
tak berlanjut, dan aku dengar suara Donaldson menanyakan 'siapa?' di balik pintu.
Aku jawab saja, "Bee...."
Donaldson tampak sedih. Sambil membukakan pintu, wajahnya terlihat berantakan. Pakaiannya
yang biasanya rapi sudah kusut dan tercabik. Sepertinya Matahari sudah beraksi memaksa dan
menarik-narik bajunya, layaknya anak kecil yang menarik baju sang Bunda karena meminta
sesuatu.
"Bee... I'm sorry. I missed you so bad, Bee...." katanya kemudian memelukku dengan erat.
Sementara itu, Matahari yang terlihat kaget melihatku, mendadak menjerit.
"Tri... ak-aku... dibawa Donald ke sini. Dia memaksaku datang ke sini. Dia bilang dia pingin
menikah sama aku. Aku disuruh kabur dari rumah. Untung kamu datang!" ujarnya dengan wajah
pasi.
"Aku tahu, Matahari. Makanya aku maklum, dan mau memaafkan Donald. Tetapi tolong jangan
lupa kalau dia ini sahabatku juga. Aku sudah kenal dia jauh sebelum kamu kenal dia. Jadi, aku bisa
mengerti kok, bagaimana perasaanmu. Aku anggap ini semua sudah berakhir. Dan aku tidak akan
bilang ini ke Ranu, atau siapa pun...." sahutku berusaha bijak sembari memegang kedua pundak
Matahari.
Namun Matahari tidak menanggapi dengan baik kalimatku. Rupanya dia memang tergila-gila
terhadap Donaldson.
"Ah, kamu ini tahu apa, Tri?! Jelas-jelas dia yang paksa aku datang ke sini. Dari Bali ke Surabaya.
Ke apartemen ini! Kenapa kamu masih bisa bisanya membela dia?! Aku hendak diperkosa! Aku
tidak terimaaa! Aku mau telepon Ranu! Kebetulan, dia juga sedang ada di Surabaya! Aku mau
bilang sama Ranu sekarang!" katanya berontak.
"Matahari... kamu ini ngomong apa?!" bentakku dengan kesal.
"Ranu, Sayang! Aku hendak diperkosa! Tri menyelamatkan aku yang hendak diperkosa Donald!
Kamu ternyata benar, Sayang! Donaldson memang bejat! Habis gandeng Tri ke sana kemari, dia
nekat merayu aku! Aku lagi ada di apartemennya sekarang, Sayang... Ini aku kasih tahu
alamatnya...." lapornya di ponselnya, lalu mengirim SMS alamat apartemen Donaldson setelah
mengakhiri pembicaraannya dengan Ranu.
Aku makin kesal dibuat Matahari. "Matahari, apa yang sedang kamu lakukan?! Kamu membual!
Hentikan omong-kosong ini semua! Kamu yang mulai, bukan?! Kamu tahu betul bagaimana Ranu!
Dia bakal menghabisi Donaldson... menghabisi Donaldson untuk seorang istri yang tidak setia!
Kamu gila, Matahari! Kamu sudah memfitnah!"
"BIAR! BIAR SELURUH DUNIA TAHU BAGAIMANA BEJATNYA SEORANG BULE
BERNAMA DONALDSON INI.. KAYA, PINTAR, TETAPI BODOH! HAHAHA... BIAR
HABIS SEKALIAN, BERANI MENOLAK CINTAKU!" katanya seperti orang yang sedang
kesetanan.
Aku tidak percaya, Matahari yang cantik dan ceria itu, kini berubah menjadi seseorang yang egois
dan berhati iblis. Untuk sebuah keinginan dicintai saja, dia harus mengorbankan segalanya. Kulihat
Donaldson terpekur tidak percaya dengan rasa iba. Matanya berkaca-kaca, menahan amarah karena

http://cafenovel.com/ 34
telah difitnah Matahari.
Aku hanya bisa menahan Matahari yang masih saja berusaha mendekati Donaldson. Seolah-olah
ingin memegang wajah Donaldson. Ingin memegang rambutnya. Dan memeluknya. Sementara itu,
Donaldson hanya bisa menggumam sedih dan lirih seolah pasrah dengan peristiwa yang baru saja
terjadi. Dia tersudut, dan entah harus berbuat apa. Dia tidak memiliki alibi untuk membela diri.
Semua akan menyalahkannya dan membenarkan bahwa dialah yang hendak memperkosa Matahari.
Seorang lelaki bule dan seorang perempauan di dalam sebuah apartemen sang Bule. Hah! Tak ada
yang bakal meringankan hukuman bagi Donaldson! Ini fitnah!
Aku menjerit marah, mendamprat Matahari yang pura-pura menangis tadi. "Kamu sudah
memfitnah, Matahari!"
"INGAT, MATAHARI! KAMU SUDAH PUNYA SEGALANYA! KAMU ADALAH ISTRI
DARI SEORANG SUAMI YANG TERHORMAT! KAMU TIDAK PANTAS
MENGORBANKAN SEGALANYA! TIDAK MALU KAMU, HEH?" tambah Donaldson di sela-
sela ketidakberdayaannya.
***
Beberapa saat kemudian, seseorang menelepon handphone Donaldson. Ternyata, Ranu. Dan Ranu
sudah berada di lobi apartemen. Rupanya Ranu memaksa Donaldson untuk turun.
"Baik, aku turun.... Maaf, maaf sebelumnya. Tetapi ada yang mesti kamu tahu, Ranu. Semua ini
tidak benar. Demi Tuhan, Ini fitnah. Ada yang harus aku jelaskan...." jawab Donaldson pada Ranu
lewat ponselnya.
Donaldson kemudian meninggalkan kamarnya, setelah mengatakan, "Matahari, suatu hari kamu
akan sangat menyesal! Ak-aku... sangat mencintai Bee... dan kamu selalu berusaha merusak
hubungan kami. Apapun yang terjadi, Bee adalah perempuan yang tak akan tergantikan oleh siapa
pun meski kamu gunakan cara fitnah seperti tadi!"
Aku kaget dengan kalimat Donaldson. Aku yang dicintainya selama ini?!
Beberapa saat Ranu datang bersama Donaldson. Mereka jalan berjauhan. Lalu saat masuk kamar,
Ranu berlari menuju Matahari yang masih menangis tersungkur di atas ranjang. Matahari
membisikkan sesuatu pada Ranu, entah apa yang dibisikkannya. Setelah itu, tanpa disangka-sangka,
Ranu bangkit berdiri dan memukul wajah Donaldson dengan keras. Donaldson tidak membalas. Dia
pasrah.
"Bangsat kamu, Bule! Kamu tidak tahu diri, merebut istri orang! Kamu juga tidak tahu diri, main
asal bawa perempuan. Kamu boleh bawa Tri, tetapi jangan istriku. Sebab istriku bukan pelacur
seperti Tri?!" makinya, menghina.
Donaldson tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Dia kalap dan balas memukul wajah Ranu.
Ranu tersungkur di atas ranjang dengan mengerang kesakitan. Rahangnya mungkin retak.
"Ini fitnah, Ranu!" teriak Donaldson. "Kamu boleh menghina aku apa saja. Kamu boleh memaki-
maki aku. But, please... tetapi jangan bawa-bawa nama Bee...!"
Aku sudah tidak tahan oleh kelakuan jahat Matahari. "AKU SUDAH MUAK SAMA KAMU,
MATAHARI! AKU TIDAK TAHU KAMU JUGA PINTAR MENGHASUT ORANG LAIN!
PELACUR APA MAKSUDNYA, MATAHARI?! KAMU LANGSUNG NGOMONG SAMA
AKU! TIDAK USAH FITNAH-FITNAH ORANG!" teriakku.
Matahari berdiri dengan sikap pongah. "Siapa juga yang fitnah?! Aku tahu kok, kamu pernah jadi
pelacur di sini! Tidak usah sok suci, deh! Kamu introspeksi diri, deh! Kamu itu siapa? Selain Jusuf,
kekasihmu yang sudah pergi ke alam baka itu, siapa yang selalu membawamu? Tak terhitung, kan?
Kamu juga sering nongkrong di dekat kampus berprofesi menjadi 'ayam kampus', kan?"
Aku terkesiap. Kerongkonganku memerih. Ya, Tuhan! Mengapa Matahari demikian kejamnya
mengungkap masa laluku yang kelam ketika semuanya ingin kukubur dalam-dalam? Rasanya, aku
ingin mati di tempat saat ini juga!

http://cafenovel.com/ 35
Perlahan, kenangan lama terkuak kembali.
Menguakkan kembali luka lama yang sudah mulai mengering.
Aku tersungkur, dan duduk lemas di lantai apartemen Donaldson tanpa dapat bicara apa-apa lagi
selain menangis dan menangis. Donaldson sertamerta memelukku, juga dengan berurai airmata.
Hari ini, tiba-tiba dunia menjadi begitu jahat kepada kami, dua hati yang ingin menjadi arif.
Tak kupedulikan lagi Ranu dan Matahari yang pergi meninggalkan kami dengan perasaan benci.
Tak kupedulikan semua itu. Karena aku dan Donaldson hanya dapat meratapi nasib naas kami.
***
Aku pergi meninggalkan Surabaya setelah hari itu. Selama dalam masa pengasinganku di Bali
bersama Donaldson, aku beberapa kali jatuh sakit. Dan ketika pada suatu saat aku berobat ke
dokter, alangkah terkejutnya aku, dan lebih memilih untuk mati pada saat itu juga!
Aku didiagnosis oleh dokter terjangkit virus HIV.
Hatiku kembali berdarah.
Aku memutuskan untuk menjauhi Donaldson yang tetap menyertaiku dengan setia dan penuh kasih.
Dan mengungkapkan terus terang bahwa aku sudah terjangkit virus HIV entah dari siapa. Namun
aku sadar, pekerjaan nistaku yang dulu merupakan kerentanan yang tak dapat dielakkan. Yang
merupakan satu-satu alasan pandemik penyakit mematikan tersebut terhadap diriku.
Namun Donaldson tetap teguh dengan cintanya. Dan seperti mukjizat, dia tak meninggalkan aku!
Dia menerima aku apa adanya! Dan, mengungkap jatidirinya yang sebenarnya, yang membuatku
hampir pingsan tak percaya!
"AKU SEBENARNYA BUKAN GAY, Bee!"
"Un-untuk apa semuanya ini, Don?! Untuk apa kamu mengaku sebagai seorang gay?!" tanyaku
tergagap.
"Aku mencintaimu, Bee. Aku jatuh hati padamu saat pandangan pertama. Inilah caraku satu-satunya
agar kamu tidak risih berjalan denganku. Agar aku dapat menyelami hatimu selayaknya perempuan.
Maafkan aku, Bee. Tetapi semua itu aku lakukan demi kamu, ya demi kamu!"
Maaf. Aku lupa bercerita tentang siapa diriku sebenarnya. Karena semua ini sebenarnya sama sekali
tidak menyenangkan buatku.
Namaku Tiga Larasati.
Aku adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Kakak-kakakku entah pergi kemana. Mereka lebih
memilih bekerja dan hidup makmur ketimbang merawat aku, adiknya yang masih kecil ini.
Aku adalah seorang yatim piatu sejak berusia tiga tahun. Tetapi aku tidak kemudian menjadi
gelandangan. Beruntunglah aku punya paman yang baik hati. Dia merawatku selayaknya anak
kandungnya sendiri. Wajah dan kepribadiannya mirip sekali dengan Jusuf. Itu sebabnya aku tidak
pernah bisa melupakan seorang Jusuf. Ketika pamanku meninggal, aku melihat Jusuf sebagai
pamanku yang terlahir dalam diri pemuda gagah nan tampan itu. Dan ketika kutahu lelaki itu hanya
mempermainkanku, aku malah membiarkannya. Mengacak-acak kehidupanku hingga terluka dan
menjadi nista.
Lalu, bertemu dengan seorang Donaldson adalah sebuah anugerah di penghujung sisa usiaku.
Bagaimanapun, aku merasa Tuhan telah berlaku demikian adil bagiku. Meski pada akhirnya aku
hanya diberi usia pendek, namun Tuhan memberiku sebuah kenangan yang akan terukir abadi
sepanjang masa lewat cinta sejati seorang Donaldson!
Setelah aku didiagnosis terjangkit HIV beberapa tahun lalu, Donaldson resmi menyuntingku
sebagai istrinya. Dia tidak peduli, bahkan ketika aku menceritakan kelam masa laluku sebagai
seorang perek jalanan di Surabaya. Dia tetap menikahiku secara baik-baik. Mempersembahkanku
sebuah rumah mewah yang sangat artistik, yang berlokasi di New York—kota megapolitan tempat
kelahiran Donaldson. Dia bahkan memberikanku sepasang anak kembar yang lucu. Satu laki-laki
dan satu perempuan.

http://cafenovel.com/ 36
Setiap malam aku pasti berdoa bercucuran airmata, dan bersyukur atas anugerah Ilahi.
Donaldson adalah karunia terindah yang pernah hadir dalam hidupku!
Oya, aku hampir lupa. Beberapa tahun yang lalu, aku pernah jatuh cinta kepada seorang pria yang
bertemu denganku di dekat kampus. Kami belum mengenal satu sama lainnya—heh, tentu saja aku
tidak pernah mau peduli siapa laki-laki yang mengencaniku. Namun, jika aku ceritakan, Anda pasti
akan kaget! Tahukah siapa orangnya?!
Namanya, Donaldson.
Dialah satu-satunya laki-laki yang menolak 'berkencan' denganku meski sudah kurayu habis-
habisan!
Astaga, aku sendiri baru ingat!
Dia bule.
Tampan.
Dan bermata teduh!
Saat itu baru kali pertama menginjak Surabaya setelah iseng-iseng traveling dari Bali.
Hei, mungkin dia juga sudah lupa. Entahlah. Mungkin juga dia masih ingat, tetapi pura-pura lupa.
Hahaha.... ©

TAMAT

http://cafenovel.com/ 37
BIODATA PENULIS

Lala Novrinda, lahir 16 November 1985 di Surabaya. Mahasiswi Ilmu Komunikasi Unair Surabaya
ini sedari dulu menggemari sastra puisi, gemar baca novel dan menulis. Di sela-sela kesibukan kuliahnya, ia senang menuangkan
tema kesehariannya pada buku diarinya, dan sesekali JJS, menyanyi serta musik. Penulis muda ini merupakan salah satu Anggota
Group www.cafenovel.com di facebook.com yang sangat berpotensial menjadi penulis handal.

http://cafenovel.com/ 38
SAAT ULTAH
Sekaranglah kesempatannya, ya sekaranglah kesempatannya, benak saya membatin, menerobos
keraguan yang sudah cukup lama saya pendam.
Maka, segera saya bungkus "Jalan Menuju Cinta"-nya Jalaludin Rumi, dan "Surat-surat Cinta"-nya
Khalil Gibran, dengan kertas kado berwarna merah muda.
Ya, sekaranglah kesempatannya, sekali lagi, benak saya membatin, memantapkan hati saya.
***
"Retnooo...! Retnooo...!" panggil Ratih setengah teriak. Gadis itu tersenyum ke arah saya.
Senyumnya manis, tidak beda dengan senyum Retno, adiknya.
Saya juga tersenyum.
"Masuk aja, Van," katanya. "Sebentar ya saya panggil Retno-nya."
Saya mengangguk sambil tersenyum lagi. Sepatu kets yang saya kenakan saya buka sebelum
melangkah ke dalam rumah. Setelah sampai di dalam, saya menjatuhkan pantat di atas sofa.
Sejak dari rumah, jantung saya yang berdetaknya kelewat rajin semakin menjadi-jadi saja. Bahkan
waktu saya mengendarai motor dari rumah saya ke rumah Retno ini pun, perasaan suara detak
jantung saya lebih cepat ketimbang lari sepeda motor itu. Ada hembusan napas berat dari hidung
saya. Tanpa sadar, saya remas kado di tangan. Gelisah.
Beberapa menit kemudian, sosok dengan gaun coklat muda yang pada lengan tangannya ada dua
garis hitam muncul dari dalam kamar.
***
Ada senyum yang mengembang.
Ada pula senyum balasan.
Untuk beberapa detik, di antara senyuman, mata saya beradu pandang. Tapi kemudian, sosok
bergaun coklat yang punya rambut panjang itu tertunduk malu. Tersipu.
"Hai...." sapa saya, pelan.
Tidak ada sahutan, cuma ada senyum yang kembali mengembang. Perlahan, masih dengan tersipu
malu, sosok dengan gaun coklat berambut panjang, gadis cantik nan manis bernama Retno Ayu
Larasati itu duduk di sofa.
"Main, Van," suara Retno merdu terdengar.
"He-eh," saya menjawab dibarengi anggukan.
Kami saling senyum lagi.
"Kenapa tadi siang nggak masuk sekolah?" tanya saya, hati-hati.

http://cafenovel.com/ 39
"Sengaja," jawab Retno, sudah tidak tersipu lagi.
"Bukankah... bukankah... hari ini kamu ulangtahun?"
Retno tersenyum. "Iya," jawabnya, sambil memandang saya sebentar. "Setiap ulangtahun, dari
mulai kelas dua SMP, saya sengaja mengurung diri di rumah, di dalam kamar," kata Retno. "Saya
kepingin ngoreksi diri saya saat hari kelahiran saya. Makanya saya nggak ke mana-mana."
Hening....
"Sekarang saya sudah kelas dua SMA," ujarnya, cuma sejenak. "Saya kepingin belajar dewasa.
Lewat perenungan, di hari kelahiran saya," tambahnya lagi.
Hening lagi.
Saya memandang Retno.
Retno tertunduk.
"Retno...."
"Hmmm...."
"Tadi, saat kamu menyudahi kata-kata kamu itu, kamu pun sudah dewasa, No," kata saya, pelan.
"Selamat, ya."
Retno mengangguk dengan senyuman.
"Nggak ada yang bisa saya berikan selain ini," saya menyodorkan kado di tangan saya. "Cuma buku
bacaan."
Retno menerima kado pemberikan saya. "Makasih ya, Van," katanya, sambil ingin membuka
bungkus kado itu.
"Eh, bukanya nanti saja, kalau saya sudah pulang. Jangan sekarang. Sebentar saya malu."
Retno kembali tersenyum. Saya juga.
Lalu diam.
Hening pun ada lagi.
Agak lama, hening itu menguasai.
"Silakan diminum airnya, Van." Tiba-tiba Ratih sudah berada di antara kami, sambil meletakkan air
putih di atas meja.
"Waduh, saya sampai lupa ngambilin air minum," Retno tersenyum.
"Nggak apa-apa. Makasih ya, Tih."
Ratih juga tersenyum. Lalu pergi kembali membawa baki.
Saya meminum air yang dibawa Ratih, sedikit. Lalu diam lagi.
Hening lagi.
"Jangan pandang saya seperti itu, Van!" Retno tersipu, ketika mata saya menjajahnya.
"Kenapa?"
"Malu." Retno tersipu lagi.
Saya tersenyum. "Saya ingin melihat hati kamu. Sebenarnya sih, sudah lamaaa banget," kata saya,
sambil menggoda.
"Lho, mana bisa," Retno merunduk. "Hati saya ada di dalam, kok, di sini," ia meraba dadanya
dengan jari manisnya.
Saya tersenyum lagi. "Hati kamu sebenarnya dekat banget dengan saya, No. Cuma... saya takut
mengambilnya, takut kamu marah."
Kali ini Retno yang tersenyum. "Kenapa?" tanyanya sembari mempermainkan ujung rambut
panjangnya. "Apakah selama ini saya pernah marah sama kamu?"
"Nggak, kamu nggak pernah marah sama saya. Kamu baik, kok!"
Kami berdua saling senyum lagi.
Lalu hening lagi.
"Retno...." Kalimat saya digantungkan. "Kami nggak marah kalau saya bicara terus terang sama
kamu?"
"Lho, tadi kan sudah saya bilang, apakah saya pernah marah sama kamu? Dan dari tadi juga, kita

http://cafenovel.com/ 40
sudah saling bicara, kok."
"Tapi yang ini lain, No." Deg, deg, deg! Tiba-tiba detak jantung saya kelewat rajin berdetak lagi,
setelah beberapa menit yang lalu sudah kembali normal.
"Lain apanya? Coba deh, bicara aja."
"Benar, nih? Kamu nggak marah?"
Retno tersenyum.
Detakan jantung saya seperti laju kereta, cepaaaat banget.
"Saya... saya... saya suka kamu, No!"
Plep! Langsung wajah Retno merona merah. Dia merunduk. Tidak tersenyum dan tidak tersipu lagi.
Dia diam.
Dan terlambat sudah bagi saya untuk menyesal.
Apalagi menarik kembali kalimat yang sudah terlontar.
Lama juga kami saling diam.
Retno tetap merunduk.
Dan saya tetap menatap lekat ke gadis yang duduk di depan saya, yang dipangkuannya ada kado
berwarna merah muda.
"Maafkan saya, Retno, kalau saya bersalah ngucapin kata-kata itu." Saya menarik napas panjang.
Sedikit, Retno mengangkat kepala. "Nggak, kamu nggak salah, kok. Itu memang hak kamu kalau
kamu kepingin ngucapin kata-kata itu."
"Jadi kamu nggak marah?"
Retno menggeleng.
"Kamu... kamu juga suka saya, No?"
Retno tidak menjawab. Dia merunduk dalam. Seperti ada ganjalan di napas yang ia keluarkan.
Hening lagi.
Saya menunggu saat-saat selanjutnya.
Retno mengangkat kepala. "Kamu benar-benar suka sama saya, Van?" tanyanya, serius.
Saya tersenyum dan mengangguk pasti.
Retno merunduk lagi. "Kalau kamu benar-benar suka sama saya, saya pinta sama kamu, lupakanlah
saya," ucapan Retno begitu mengagetkan saya.
"Kalau kamu nggak cuma sekadar bilang suka sama saya di mulut kamu, penuhi permintaan saya
itu, Van. Buktikan kalau kamu memang benar-benar suka sama saya...."
"Retno, saya... saya nggak mengerti apa yang kamu bicarakan, No?"
"Berusahalah untuk mengerti walau kamu nggak mengerti, Van," kata Retno, matanya berkaca-
kaca. "Karena... karena saya hidup nggak akan lama lagi! Saya sakit, Van. Saya nggak dapat
menahan nyeri sakit kanker saya." Airmata Retno mengkristal.
Butiran itu jatuh di pipinya yang halus.
Ada isak yang tertahan.
Isak itu terdengar begitu giris menyayat kalbu.
"Retno...." Suara saya bergetar. "Kamu nggak pernah bilang sebelumnya, No!"
Retno merunduk. Gadis di hadapan saya ini tiba-tiba jadi begitu rapuh.
"Saya nggak ingin orang lain tahu selain keluarga saya, Van," kata Retno, setelah diam beberapa
detik. Tangannya sibuk mengusap airmata yang menetes. "Penyakit itu sudah saya rasakan
bertahun-tahun. Sekarang saya memberitahukannya ke kamu. Saya harap kamu mau mengerti
tentang saya. Saya nggak ingin kematian saya meninggalkan beban di hati seseorang. Kalau kamu
benar-benar menyukai saya, lupakan saya, Van. Anggap saya nggak pernah ada."
"Tapi, No... kematian hanya milik Tuhan. Kamu jangan sampai larut dengan penderitaan seperti ini.
Saya... saya menyayangi kamu apa adanya, No."
Retno terdiam.
Airmatanya belum berhenti mengalir.

http://cafenovel.com/ 41
Saya jadi ikut larut dalam kesedihannya.
Ada airmata juga, di mata saya.
"Retno...."
***
Hening dan sepi sekali hati saya. Saya tak kuat dan tak tahan melihat gadis itu melewati hari-
harinya dengan kesedihan dan penderitaan akan penyakitnya. Ingin rasanya saya selalu bersamanya,
melewati hari-harinya yang katanya tidak lama lagi itu—seperti yang ia katakan dua hari yang lalu
saat hari ulangtahunnya. Tapi kecelakaan sepeda motor saat saya pulang dari rumahnya,
menghempaskan saya ke sebuah alam yang begitu jauh dari alam gadis itu.
Retno di alam fana, sedangkan saya sudah di alam nan tak tersentuh.
Ah, maut, memang tidak pernah ada yang menduganya.
Gadis itu menangis. Entah apa yang disedihkannya. Dalam parau suaranya, saya mendengar nama
saya disebut. Meskipun pelan, tapi saya amat jelas mendengarnya. Sudah dua hari ini, dalam
kesendiriannya, nama saya selalu disebut-sebut. Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Karena alam
saya dengan alam Retno sudah berbeda. ©

http://cafenovel.com/ 42
MASIH MILIK
KAMU
Lia....

Apa kabar? Semoga baik-baik saja, ya. Syukur deh, memang itu yang selalu kuharapkan siang dan
malam.
Tak terasa, sudah hampir setahun kita tak bertemu. Aku sangat rindu pada kamu, rindu ingin
bertemu. Tapi, apakah mungkin hari-hari indah yang pernah kita lalui bersama dapat terulang lagi?
Apakah mungkin hari-hari indah seperti dulu dapat tercipta lagi? Apakah mungkin? Menyesal
rasanya aku telah berbuat salah kepada kamu. Aku minta maaf. Aku begitu bodoh, ketika itu,
kenapa aku harus meninggalkan kamu yang sudah kutahu siapa kamu. Kamu adalah gadis sejuta
pesona yang tiada duanya. Dan akhir-akhir ini, aku selalu ingat kamu. Dapatkah kita seperti dulu
lagi, Lia? Mengisi hari-hari yang kita lalui dengan indahnya cinta? Dapatkah?
Sekali lagi kumohon, maafkan aku, Lia. Dan aku percaya, hati kamu yang selembut awan itu
dengan tulus akan memaafkannya. Ssemoga.

Salam,
Leo
***
Aku lipat surat berwarna biru muda yang baru saja kubaca itu. Dudukku jadi tidak tenang. Angin
malam yang lembut menggeraikan rambutku. Aku menengadah, memandang sinar rembulan yang
sedang bulat-bulatnya bersinar.
Di tengah-tengah bulatnya rembulan, tiba-tiba saja wajah Leo tampak dan memberikan senyuman
kepadaku. Aku mendesah pelan. Sudahlah, Leo, lirihku. Aku tak mau kamu ganggu lagi. Sudah
cukup luka yang kau torehkan di hatiku. Aku tak mau luka itu tergores lagi. Aku ingin melupakan
kamu, Leo. Meskipun secara jujur aku akui, hari-hari indah yang pernah kita lalui bersama dulu
telah menjadi kenangan yang sulit untuk kulupakan. Pergilah, Leo. Aku sudah merelakan cinta
kamu untuk Shinta. Bukankah kamu dulu meninggalkanku demi Shinta? Kenapa sekarang kamu
ingin kembali lagi kepadaku? Tak puaskah kamu menyakiti hatiku? Atau kamu ingin membunuhku
secara perlahan-lahan dengan cintamu?

http://cafenovel.com/ 43
Didustai itu sakit, Leo. Apalagi dustanya cinta. Pernahkan kau melihat lilin yang terbakar? Seperti
itulah hatiku ketika kau tinggal pergi tanpa pesan sepuluh bulan yang lalu. Hancur, hancur benar
hatiku ketika itu, hingga aku tak bisa membedakan mana nikmatnya air susu dan obat serangga.
Akibatnya, aku harus 'indekos' di rumah sakit selama seminggu.
Ah... untung aku dapat tertolong, kalau tidak? Entahlah. Yang jelas, aku sangat mengutuk tindakan
bodohku pada waktu itu. Aku menjadi buta, buta karena cintamu. Karena, kamu adalah cinta
pertamaku, Leo. Dan kata orang, cinta pertama itu sulit untuk dilupakan. Sialnya, itu memang
benar. Dan sepuluh bulan aku harus melupakan kamu, yang terkena panah cinta Shinta si Foto
Model itu, merupakan sebuah perjuangan yang sarat dengan rintangan. Hari-hari indah yang sering
kita lalui bersama selalu mengusik hatiku. Aku pikir, ketika itu aku tak bisa melupakanmu selama-
lamanya. Tapi dengan posisiku ketika itu, bahwa aku dan kamu sudah tidak ada apa-apanya,
meskipun kita belum pernah mengucap kata berpisah, membuatku sadar, bahwa kamu adalah lelaki
masa laluku. Aku harus bisa melupakanmu. Sulit memang. Tapi aku mencobanya dengan perlahan-
lahan. Dan sekarang, ketika aku sudah mulai dapat melupakanmu, tiba-tiba saja kau hadir kembali.
Hadir kembali dengan sepucuk surat yang kau berikan melalui Dian, teman sekelasku.
Ah, Leo... apa yang kau ingini dariku sekarang ini? Cinta? Kalau kau memang mengingini cintaku
kembali lagi untukmu, kenapa kau dulu mencampakkannya? Kenapa kau dulu malah memilih cinta
Shinta setelah kau dapatkan cinta dariku yang seutuhnya? Kenapa, Leo?
Aku mendesah pelan. Bayangan wajah Leo di atas sana masih tersenyum seperti tadi. Ah... aku
kembali mendesah. Pandangan Leo seperti sedang menjajahku. Dan senyumannya... senyumannya
itulah yang dahulu telah meluluhkan hatiku, hingga aku sampai bertekuk lutut di singgasana
cintanya. Entah mengapa, akhirnya aku menikmati senyumannya itu. Dan kembali mengingat
kenangan indah hari-hari bahagia dulu.
Di taman ini, kalau malam Minggu, aku selalu duduk berdua dengannya. Cerita, bercanda, dan
tertawa. Dan aku masih ingat ketika purnama seperti sekarang ini, Leo membelai rambutku dengan
penuh cinta kasih sambil membisikkan kata-kata:
"Aku mau mengajakmu ke bulan, Lia. Kamu mau?"
"Kemana pun kau ajak aku, Leo, aku pasti ikut," jawabku, sambil bersandar manja di bahunya. Ah,
kenangan itu teramat sulit kulupakan.
Setiap malam minggu kamu menemaniku. Dan hari-hariku pun menjadi indah karena cinta kamu.
Tapi setelah purnama kedua sehabis kau mengatakan ingin mengajakku ke bulan, kamu tidak hadir
menemaniku. Aku begitu sedih. Tak percaya rasanya kamu tega membiarkanku berteman sepi. Aku
begitu kecewa. Apalagi setelah malam Minggu selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya kamu tak
hadir lagi, aku semakin kecewa. Hancur hatiku! Karena kamu pergi begitu saja tanpa pesan.
Andaikan saja kita satu sekolah, ingin rasanya aku mendatangi kelasmu, lalu akan kukatakan
kepada kamu, bahwa aku begitu kesepian tanpa dirimu. Tapi sekolah kamu berbeda. Kita bertemu
dan bersatu pun, tanpa disengaja.
Kalau bukan karena classmeeting sehabis kenaikan kelas, mungkin kita tak pernah bertemu.
Sekolahmu dan sekolahku mengadakan kompetisi basket, itulah yang mempertemukan kita. Ah,
Leo... kamu telah mendustaiku. Mana janjimu ingin mengajakku ke bulan? Seumpamanya tidak jadi
pun, asalkan kamu menemaniku setiap malam Minggu seperti dulu, aku akan bahagia. Tapi ketika
itu, kamu tidak hadir-hadir lagi di malam Mingguku. Dan lama-lama aku tahu, ternyata kamu
kepincut dengan gadis lain. Shinta. Ya, Shinta, namanya. Dian yang menceritakan semuanya
tentang kamu. Dian tahu tentang kamu dari sahabatnya yang satu sekolah dengan Shinta. Shinta
adalah seorang foto model yang wajahnya sering menghiasi sampul majalah-majalah remaja. Hatiku
semakin hancur. Pantas memang kamu memilih Shinta ketimbang aku. Shinta seorang foto model,
sedangkan aku apa? Tidak ada yang bisa dibanggakan dariku. Tapi Leo, kenapa kita harus bertemu
kalau akhirnya tidak bersatu? Kenapa kamu meninggalkanku kalau pada akhirnya kamu malah
ingin kembali lagi kepadaku? Kenapa, Leo?

http://cafenovel.com/ 44
Aku kembali mendesah. Hembusan angin malam yang dingin, menyelimutiku. Kalau saja bukan
malam, ingin rasanya aku duduk berlama-lama dahulu di taman ini. Dengan kegelisahan di hati, aku
tinggalkan bangku taman yang jadi saksi bisu segala cinta Leo dulu kepadaku. Meninggalkan
bayangan wajah Leo yang masih tersenyum di atas sana....
***
Aku kaget, begitu melihat Leo sedang duduk di samping kijang biru tuanya. Ia tersenyum ke
arahku. Aku cepat-cepat membuang muka. Kikuk juga rasanya. Tapi aku berusaha biasa-biasa saja.
Tak enak kalau Dian sampai tahu kekagetanku demi melihat Leo di seberang sana.
"Lia, aku duluan, ya." Rupanya Dian tidak mengetahui di seberang sana ada Leo.
"Iya, deh. Hati-hati di jalan, Dian. Kalau jatuh bangun sendiri, ya!" selorohku.
Dian cuma tersenyum sambil mengajungkan jari tangan kanan yang tengah.
Aku melirik ke arah Leo, dia masih memandangku. Aku jadi gelisah. Mang Rohman, supir
pribadiku yang mengantar dan menjemput aku sekolah belum kelihatan batang hidungnya. Ini tidak
biasa. Kalau saja bukan bubaran sekolah, mungkin aku begitu kikuk berdiri sendiri seperti ini
sambil dipandangi oleh Leo di seberang sana.
Tet-tet-tet! Ah, itu Mang Rohman! Lonjakku kegirangan.
"Aduh, kenapa terlambat sih, Mang?" gerutuku, sambil membuka pintu mobil.
"Wah, jalanan macet, Non. Apalagi ini hari Senin. Tahu sendiri deh bagaimana keadaan jalan kalau
hari Senin sore," ujar Mang Rohman membela diri.
Aku cuma manyun.
Ketika mobil berjalan, aku menoleh ke arah Leo. Duh, dia melambaikan tangan. Entah mengapa,
aku tersenyum untuknya.
Sesampainya di rumah, hatiku tidak tenang. Pintu kamar aku kunci. Dengan tergesa-gesa, aku buka
laci meja belajarku. Aku keluarkan semua isinnya. Di tumpukan terakhir, aku menemukan barang
yang aku cari. Foto Leo berukuran 5R. Aku pandangi wajah tampan dengan seulas senyum
menawan itu. Ah... aku lempar foto berbingkai indah itu ke atas ranjang. Aku pandangi langit-langit
kamar. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku rindu dengan Leo. Lambaian tangannya tadi di sekolah
membayangiku terus.
"Lia! Lekas mandi dan makan." Suara Mama membuyarkan lamunanku.
"Sebentar, Ma," sahutku
Aku usap wajahku, lalu bergegas ke kamar mandi.
Malamnya, ketika aku sedang melihat acara musik di tv, Mama memanggilku.
"Ada apa, Ma?" Aku menghampiri Mama.
"Di depan ada Leo." Aku kaget mendengar penjelasan Mama yang tiba-tiba itu. "Mama minta,
kamu temui dia. Mama tahu, luka hatimu karena Leo memang masih membekas. Tapi Leo tadi
meminta dengan sangat, ingin bicara dengan kamu. Jadi saran Mama, temui dia dulu, ya," ujar
Mama. Bijaksana sekali Mama ini, gumamku dalam hati. Mama memang tahu semua apa yang
pernah terjadi antara aku dan Leo.
Dengan senyum, aku turuti saran Mama itu. Dan kalau aku mau jujur pun, aku akan menemui Leo
tanpa mesti dipinta oleh Mama.
Di ruang depan, aku lihat Leo sedang duduk di bangku dekat pintu.
"Hai!" sapanya, ramah sambil tersenyum.
Aku tidak menyahut. Langsung duduk di hadapannya.
"Apa kabar, Lia?"
Aku kembali tidak menyahut. Leo tampaknya gugup sekali. Kurundukkan kepalaku. Kupandangi
lantai karpet yang kupijak. Sedangkan jari-jari tanganku memainkan ujung kaos biru mudaku.
"Lia...."
Aku menoleh. Leo memandangku lekat-lekat.

http://cafenovel.com/ 45
"Aku... aku minta maaf."
Aku kembali menunduk.
"Aku akui, aku bersalah sama kamu. Maukah kamu memaafkan aku, Lia?"
Aku tak menjawab.
Leo akhirnya diam.
Hening.
"Bagaimana kabar Shinta?" tanyaku memecah kesunyian.
Leo tampaknya tidak enak mendengar pertanyaanku. Ia merunduk.
"Lia... aku minta maaf," katanya. "Aku salah pilih. Aku bersalah pada kamu. Shinta bukan gadis
idamanku. Dia terlalu glamour, penuh hura-hura dan punya cinta di mana-mana. Aku begitu
menyesal. Kenapa aku dulu meninggalkan kamu. Aku...." Leo tidak meneruskan kata-katanya. "Ah,
sudahlah. Aku tidak ingin membicarakan Shinta," kata Leo akhirnya.
"Kenapa? Bukankah enak pacaran sama foto model? Terkenal, dan selalu jadi sorotan media
massa."
Leo diam saja.
"Lia, aku minta pengertian kamu."
"Pengertian apa? Bukankah sudah cukup kamu menyakitiku. Mendustaiku?" Nada suaraku
meninggi. "Pengertian apa yang kamu maksud?"
Leo tidak menjawab.
Hening lagi.
"Surat yang kuberikan melalui Dian sudah kamu terima?"
Aku pandang Leo. "Kenapa memangnya?"
"Kalau begitu aku mau permisi saja," Leo berdiri. "Aku cuma mau bilang, dapatkah kita seperti
dulu lagi? Tak ada gadis lain di hatiku selain kamu, Lia."
Aku diam.
"Hanya kamu yang ada di hatiku, Lia. Aku jujur."
Aku merunduk.
"Aku permisi. Kalau boleh, malam Minggu nanti aku ke sini lagi, ya?"
Aku masih diam.
Aku pandangi langkah-langkah Leo keluar. Setelah masuk ke dalam kijang biru tuanya, mobil itu
melaju membawa sepotong hati yang kecewa. Membawa dan menyeret perasaanku yang kacau tak
menentu.
Ah, Leo... kalau aku boleh jujur, cintaku masih milik kamu. Tak ada pemudai lain di hatiku selain
kamu. Datanglah di malam Minggu-malam Minggu seperti dulu, Leo.
Karena, cinta ini masih milik kamu. ©

http://cafenovel.com/ 46
BIANGLALA
Rio, nama anak itu. Kata teman-teman, dia naksir saya. Seminggu ini, saya memperhatikan dia.
Anaknya sih tidak begitu tampan. Tapi gayanya yang cueklah yang menarik perhatian. Saya tidak
habis pikir, kenapa Rio bisa sekolah di sekolah favorit yang ketat ini? Karena kalau ke sekolah, dia
suka semaunya. Baju tidak pernah dimasukkan, pakai topi di lingkungan sekolah, dan kalau bawa
buku cuma satu.
Selidik punya selidik, ternyata Rio anak orang berada. Sekolah yang saya sekolahi, separuhnya dana
dari orangtua Rio. Pantas saja, dia bebas semaunya. Tapi seharusnya, Rio tidak boleh begitu. Pihak
sekolah juga sih belum menegurnya. Karena katanya, perbuatan Rio itu masih dalam batas-batas
yang wajar. Tidak merugikan pihak satu dan yang lainnya.
Benar juga, sih.
Kalau saya akhirnya juga menyukai Rio, bukan karena dia anak orang kaya. Saya menyukainya
karena kepribadiannya.
Rio orangnya sederhana, tidak pernah membanggakan kekayaan orangtuanya. Ke sekolah pun, dia
sering naik motor. Padahal kalau dia mau, di garasinya rumahnya berbaris lima mobil keluaran
terbaru.
"Eh, ada Rio, tuh!" Santi menyikut saya, teh botol yang sedang saya pegang menyiprat.
"Apa-apaan sih kamu, San!" Saya memarahi Santi. Sebab cipratan teh botol itu mengotori ujung rok
seragam saya.
"Soi deh, Wulan. Enggak sengaja," Santi mesem-mesem kaya lagi sedang makan gula asem. "Ada
Rio, tuh!"
"Memangnya mau diapakan?" Saya tidak peduli.
"Duh lagunya, pakai pura-pura segala. Nanti kita-kita serobot baru tahu rasa deh!" cerocos Yuyun
yang mengundang tawa Santi dan Juju.
Wajah saya bersemu merah.
"Halo Nona-Nona manis, sedang ngerumpi, ya?" tahu-tahu Rio sudah berada di dekat kami.
"Kok tahu aja?" Juju ternyata bisa genit.
"Sedang ngerumpiin siapa, sih?" Rio duduk di samping Santi.
"Ngerumpiin kamu," sambar si Santi.
"Saya?" Rio melongo dibuat-buat. Kenapa saya dirumpiin?"
"Habis, kamu enggak berani mengatakan cinta secara terus terang ke Wulan!" kata-kata Santi yang
pelan itu mengagetkan saya yang tadi diam saja.
Juju dan Yuyun terpingkal-pingkal.
Rio jadi salah tingkah.
Apalagi saya.

http://cafenovel.com/ 47
Tiga cewek brengsek itu masih tertawa. Saya malu sekali. Tapi untung bel tanda masuk
menyelamatkan semuanya.
***
Bubaran sekolah, saya tidak keluar cepat-cepat dari dalam kelas. Nunggu sepi dulu. Lagi pula, di
luar gerimis meskipun kecil-kecil.
Setelah saya rasa sepi, barulah saya keluar. Gerimis masih ada. Tapi tak lama kemudian reda. Awan
yang tadinya mengurung berlarian entah kemana. Matahari leluasa menyorot lagi. Biasanya, kalau
siang hari hujan ditimpa panas kembali, di langit suka muncul warna-warna indah melengkung.
Itulah pelangi.
Saya berlari kecil ke belakang. Melewati beberapa anak di koridor sekolah. Santi, Juju dan Yuyun
sudah tidak terlihat lagi di lingkungan sekolah. Mereka mungkin sudah pulang.
Di belakang sekolah yang sepi. Saya berdiri sambil memandangi langit. Sebelah timur. Lama, saya
menatapi pelangi itu.
Ada perasaan haru, takjub, dan berdebar-debar takkala saya menikmati warna-warni indah itu.
"Sedang apa kamu, Wulan?" Tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara seseorang. Dan saya lebih kaget
lagi begitu mengetahui siapa orang itu.
Rio tersenyum "Maafkan saya, kalau saya mengagetkan kamu," katanya.
Saya tersipu.
"Sendiri di belakang, sedang apa?"
Saya masih tersipu. "Lihat pelangi," jawab saya pelan.
"Pelangi?" Rio agak kaget. Tapi setelah itu, dia pun memandang langit sebelah timur sana.
"Apa yang kamu lihat di pelangi itu, Wulan? Warna-warni indah, atau putri-putri cantik yang salah
satu dari sang Putri tersebut, dipersunting oleh pemuda kampung yang mengambil selendangnya?"
Rio memandang saya.
"Lebih dari itu, Rio." Saya memberanikan diri bicara. "Saya dapat suasana batin yang lain,
ketenangan, keterpesonaan, dan kegembiraan. Semuanya melebur menjadi satu sewaktu saya
melihat pelangi itu."
"Cuma itu?" Rio bertanya, serius nadanya.
Saya menatap Rio sebentar. "Tentang putri-putri cantik itu memang legenda, Rio. Sedangkan saya
memandang pelangi itu, tak lebih cuma agar saya selalu mengingat kepada yang melukiskan warna-
warna indah itu," jelas saya panjang lebar.
Rio termangu. Lalu kembali memandang pelangi itu, saya melihat mata Rio berkaca-kaca.
"Kenapa, Rio?" Saya tanya dalam nada heran.
"Ah," Rio agak salah tingkah, dan segera mengusap butiran bening di matanya. "Saya hanya ingat
Mama," jujurnya, tiba-tiba.
"Ada apa dengan Mamamu?"
Rio tak langsung menjawab. Dia menatap saya dalam-dalam. Saya jadi risih dan kikuk sekali.
"Mama saya sudah tiada, Wulan," getir terdengarnya, suara yang diucapkan Rio itu.
Saya mengigit bibir. Agak kaget juga mendengar penjelasan Rio. Dan saya tidak menyangka sama
sekali, kalau Mamanya Rio sudah tiada.
"Mama saya sudah tenang di alam sana," kata Rio lagi. "Cuma pas melihat pelangi, dan mendengar
penjelasanmu, tiba-tiba saya ingat Mama. Dulu, Mama selalu mengajak saya menari-nari bermain
di lengkungan warna-warni itu. Bayangan itulah yang membuat saya jadi sedih." Rio kembali
mengusap matanya.
Saya turut larut dalam iba.
Hai, kenapa jadi sentimentil begini?
"Sudahlah, kita pulang sama-sama, yuk?" Kentara sekali ketegaran yang dibuat-buat oleh Rio.
Saya baru tahu, seorang Rio, yang cuek dan sering dieluk-elukan oleh teman-temannya, ternyata

http://cafenovel.com/ 48
bisa juga rapuh dan menangis, di depan saya.
Dan sejak itu, Rio semakin akrab dengan saya. Meskipun kami kelasnya berlainan, tapi kalau pergi
dan pulang sekolah, kami sering bersama-sama.
***
Akrab dengan saya, Rio jadi banyak berubah. Yang tadinya semaunya kalau ke sekolah, sekarang
tidak. Bajunya pun sekarang sudah terbiasa dimasukkan dan rapi. Entah karena apa, Rio mengubah
semua itu. Padahal saya tidak pernah menasehatinya. Dan pihak sekolah pun, sampai sekarang
belum pernah ada yang menegurnya.
Hari-hari saya menjadi indah bila bersama Rio, seindah pelangi yang pernah kami lihat bersama-
sama. Tapi semakin dekatnya saya dengan Rio, saya semakin tidak mengetahui, apakah sebenarnya
Rio mencintai saya? Karena sampai sekarang, Rio belum pernah mengutarakan isi hatinya kepada
saya. Padahal hal itu sangat saya tunggu-tunggu. Tidak mungkin rasanya, untuk saya, wanita
terlebih dahulu mengutarakan isi hatinya.
Memikirkan hal itu, saya jadi pusing sendiri. Tapi akhirnya saya sadar, bahwa kami terlalu muda
untuk mengetahui arti cinta yang sesungguhnya. Cinta bukanlah sekedar kata-kata. Cinta adalah
tunas jiwa, yang tumbuh di dalam hati yang paling dalam. Begitu yang saya tahu lewat buku.
Namun kehidupan di dunia ini saling timbal balik, ada siang, ada malam. Ada sedih, ada senang.
Kalau ada pertemuan sudah pasti ada perpisahan. Saya amat menyesali hal yang ketiga itu. Karena
setelah lulus sekolah ini, Rio akan studi di Australia. Itu kemauan Papanya, memang. Tapi Rio juga
menyetujuinya.
"Saya tidak ingin mengecewakan Papa," alasannya suatu ketika. "Saya adalah harapan Papa.
Apalagi, saya merupakan anak satu-satunya."
Ada gerimis, ketika saya mengantar Rio ke bandara. Gerimis serupa airmata saya yang turun
menderas menjelma tirai hujan.
"Selamat tinggal, Wulan...." Rio menatap saya. "Saya pergi akan kembali, nantikanlah saya."
Saya cuma mengangguk, tak mampu mengucapkan kata-kata. Kerongkongan saya memerih. Hati
saya terasa kosong dan melompong.
Gerimis reda, digantikan panas lagi.
Pesawat mengudara.
Ada pelangi di langit sebelah timur sana. Saya memandang dengan sejuta rasa. Seberkas bianglala
itu teramat banyak menyimpan kenangan buat saya. Kenangan indah bersama Rio yang kini pergi
jauh dari sisi saya. ©

http://cafenovel.com/ 49
CINTA SEMUSIM
Seperti hari-hari yang lalu
Setiap langkah selalu meninggalkan jejaknya
Namun kebersamaan kita
Aku tak ingin seperti angin
Ada, namun seperti tak nyata
Dia memang seperti angin, membelai sukma dengan berbagai rasa. Selalu saja ada pesan yang
disampaikan sehabis melewati pertemuan. Pesan itu dikirimkannya ke ponselku lima menit setelah
aku sampai di rumah. Pesan yang selalu penuh makna. Seperti orangnya.
Aku mengenalnya pertengahan tahun lau, waktu aku tengah syuting sinetron produksi salah satu PH
untuk tv swasta.
Pekerjaan di film memang melelahkan sekaligus mengasyikkan. Satu hari penuh aku diforsir untuk
menyelesaikan adeganku karena sinetron yang aku perankan memang kejar tayang. Begitu istirahat,
aku menepi di bawah pohon sambil mengambil air mineral yang telah disediakan.
Sambil menikmati sejuknya air mineral yang membasuh dahaga, angin turut membelai. Rambutku
yang sedikit panjang dimainkan angin. Sejuk.
Menyendiri sambil istirahat dengan skenario di tangan, dan melihat-lihat beberapa adegan lagi yang
masih tersisa untukku. Namun konsentrasiku sedikit buyar ketika ekor mataku menangkap seorang
pemuda yang tengah asik duduk di ujung jalan dengan kacamata hitamnya.
Rambutnya yang sedikit gondrong menambah ketampanannya.
Dia bukan kru film dan bukan pemain. Aku tahu betul. Karena sudah empat hari syuting berjalan
dan sejak awal pemuda itu tidak terlihat sebelumnya. Tapi kelihatannya ia enjoy saja dengan
lingkungan sekitar. Apa orang iseng yang cuma mau menonton syuting? Ah, aku pikir orang seperti
itu tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk sekedar menyaksikan syuting. Pasti ada
kepentingannya. Atau kekasih dari salah satu pemain? Tapi siapa? Ah, entahlah.
Kehadiran pemuda itu menyita pikiranku. Aku tertarik pada sosoknya. Keingintahuanku timbul.
Iseng, aku melangkah mendekatinya.
"Hai, sedang apa?" sapaku, sok akrab.
pemuda itu menoleh dan sedikit agak heran. Ia melepaskan kacamata hitamnya dan menoleh ke kiri
kanan, mungkin khawatir sapaanku bukan untuknya.
"Anda sedang apa? Sendirian saja?" sapaku lagi.
Ia tidak langsung menjawab, tapi melempar senyumnya.
"Boleh aku duduk?" Nakalku kumat.
pemuda itu belum juga membuka suaranya.
Aku duduk tidak jauh darinya.

http://cafenovel.com/ 50
"Lagi istirahat?" Suaranya sedikit berat.
Aku menoleh dan mengangguk. Sapaannya tanpa basa-basi.
"Kapan selesai syutingnya?"
Sekarang, giliran aku yang tidak langsung buka suara. Karena sepertinya pemuda itu tidak asing
dengan suasana syuting ini.
"Yah, mungkin besok atau lusa," jawabku.
pemuda itu mengambil ranting dan memainkannya di atas tanah.
Aku memperhatikannya saja.
"Anda di sini sedang apa? Apa tengah menunggu seseorang?" tanyaku menggoda.
"Kenapa memangnya?" Pemuda itu balik bertanya, tak menjawabi pertanyaanku.
"Ah, nggak, cuma tanya," jawabku pendek.
Pemuda itu kembali diam.
Aku membolak-balikkan naskah skenario yang aku pegang.
"Memangnya tidak boleh ya, aku di sini?" Pemuda itu menoleh dan matanya menjajahku.
Aku sedikit gugup. Niatku yang ingin mengusilinya jadi salah tingkah. "Ah, nggak. Nggak kok.
Siapa yang bilang nggak boleh?"
Pemuda itu kembali tersenyum.
Ia berdiri. "Aku ke sini cuma main saja," katanya sambil memainkan ranting yang masih di
tangannya.
Benar apa kataku. Ternyata ia cuma lelaki iseng yang ingin menonton orang syuting sambil melihat
artisnya. Tapi... apa ia tidak kenal denganku? Sepuluh lebih sinetron yang sudah aku bintangi, masa
pemuda ini tidak tahu aku.
"Mbak Manda sendiri, sedang apa di sini? Apa lagi break?"
Oh, ternyata ia mengenaliku. "Iya, nih," kataku. "Jangan panggil Mbak, dong. Ketuaan lagi. Panggil
saja nama saya."
Cowok itu tersenyum. "Selesai syuting ini, sinetron apa lagi yang akan Anda mainkan?"
"Anda orang film?"
Ia menoleh dan tersenyum. "Saya wartawan dan penulis cerita, " jawabnya.
"Oh," aku mengangguk-angguk. "Maaf, nama...."
"Praditya." Pemuda itu mengulurkan tangannya memintas kalimatku yang belum rampung.
Aku menyambut uluran tangan Praditya. Tapi... sepertinya aku tidak asing dengan nama itu.
"Anda.... Anda Praditya Anugrah Senja?!" tanyaku tergagap.
Praditya mengangguk.
"Oh, saya sepertinya akrab betul dengan nama Anda. Tapi, di mana saya pernah mendengarkannya,
ya?"
"Mungkin di skenario yang Anda pegang," kata Praditya.
"Ah, ya." Aku terlonjak, memperhatikan skenario yang ada di tanganku. Dan jelas betul nama
penulis cerita itu adalah Praditya Anugrah Senja. "Ya, aku baru ingat. Ternyata Anda yang menulis
cerita ini, ya?"
Praditya tersenyum sembari mengangguk.
Dari perkenalan itu, akhirnya aku jadi akrab dengannya.
***
Praditya ternyata pemuda yang menyenangkan. Suka humor, dan selalu penuh kejutan. Satu hal
yang amat aku sukai dari dirinya ialah, Pra, demikian kuakrabi namanya, pintar. Wawasannya luas.
Ia selalu dapat membawa setiap pertemuan jadi jauh dengan rasa jenuh. Mungkin karena ia
wartawan, atau juga karena ia seorang pengarang. Selalu ada hal baru yang dapat membuat aku kian
terpesona dengan kepribadiannya. Terutama kalau ia tengah memberikan pandangannya tentang
dunia seni yang aku geluti.

http://cafenovel.com/ 51
"Manda, kalau kamu ingin selangkah lebih maju dari apa yang sudah kamu dapatkan dari
kesibukanmu sebagai pemain sinetron saat ini, kamu juga harus bisa menempatkan diri kamu di
tengah-tengah masyarakat atau pencinta akting-aktingmu," ujar Pra, pada suatu pertemuan yang
kesekian denganku di sebuah rumah makan di bilangan Selatan Jakarta.
"Maksud kamu?" Aku belum mengerti arah pembicaraanya.
"Maksudku, kalau kamu memang sudah sering main sinetron, tapi dari segi popularitas belum juga
terangkat, kamu harus ada kiat sendiri bagaimana mengangkat pamor kamu itu," jelasnya.
"Kasih tahu, dong," rajukku, manja.
"Ya, publikasi. Kamu kan kenal saya, saya bisa mengundang teman-teman wartawan untuk menulis
kamu di media mereka masing-masing. Sebab pertimbangan saya begini, kamu memang sering
main sinetron, tapi sinetron yang kamu perankan tersebut katakanlah berdurasi satu jam. Setelah
sietron itu selesai tayang, kamu pun hilang begitu saja dari penglihatan penggemar kamu. Tapi
kalau kamu ditulis dalam sebuah media seperti majalah, koran atau tabloid misalnya, itu bisa kamu
jadikan dokumentasi, dan media cetak itu sifatnya tidak langsung hilang. Seperti majalah misalnya,
usai dibaca orang, masih ada orang-orang lain yang akan membacaanya. Jadi dengan demikian
membuat kamu semakin dikenal banyak orang, " kata Pra, mengusul.
Aku mendengarkan saja.
"Selain itu," lanjutnya. "Lewat berita di media tersebut, kamu juga bisa menyampaikan visi dan
misi kamu dalam menggeluti dunia seni peran. Sehingga penggemar atau pembaca yang membaca
tentang kamu jadi tahu apa alasan kamu mengeluti dunia seni. Apa sekedar iseng, atau memang
sudah menjadi jiwa keseharian, atau ada hal-hal lain yang ingin kamu capai melalui aktivitas kamu
itu."
Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan mendengar penuturan Pra
yang panjang lebar itu. Semua nasehat dan sarannya, memang ada benarnya. Namun jujur saja aku
akui, aku jadi bimbang mendengarkan penjelaskannya itu. Karena aktivitasku di dunia seni peran
ini pun aku tidak dapat mengatakan karena alasan apa. Mencari popularitaskah, nafkahkah, atau
memang tuntutan jiwaku yang menyukai dunia seni peran.
Ah, aku tidak bisa memberikan jawaban itu kepada diriku sendiri, terlebih pada Pra. Lagi pula aku
masih kelas dua SMA. Aku hanya ingin memanfaatkan waktu luangku dengan kegiatan. Kebetulan
aku senang dengan akting, maka seni peranlah jalan untuk penyalurkan bakatku.
Atau dari kegiatanku ini aku mencari popularitas seperti yang Pra katakan? Ah, mungkin juga.
Karena, sudah menjadi sifat manusia bila ingin diperhatikan dan dikenal banyak orang. Tapi... aku
pikir itu pun bukan tujuan utamaku. Apakah arti kepopuleran kalau aku... ah, terus terang saja
memang rutinitasku di dunia seni peran hanya untuk mengisi hari-hari kosongku yang selalu
dihantui oleh penyakit yang sejak kecil sudah aku derita.
Aku mepunyai penyakit turunan dari Mama. Penyakit yang telah merenggut Mama dari keluargaku
itu adalah sesak nafas. Karena penyakit yang aku derita inilah mungkin yang memotivasiku untuk
lebih banyak berkegiatan. Karena kalau aku diam saja, hawa dingin di tubuhku kadang membuat
nafasku jadi sesak. Dengan banyak bergerak dan beraktivitas, otomatis membuat tubuhku hangat.
Dan kehangatan di dalam tubuhku itulah yang membuat hidupku bergairah.
Ya, karena alasan itulah mungkin yang membuat aku menerjuni dunia seni peran ini.
"Manda, kamu melamun," suara Pra mengagetkanku.
"Eh, ng-nggak" Aku tampak gugup.
"Bagaimana dengan saranku tadi, apakah kamu dapat menerimanya?" tanya Pra.
"Apa yang selalu kamu katakan, aku tak pernah bisa menolaknya," jawabku lalu melempar seulas
senyum. "Toh semuanya demi kebaikanku juga. Semuanya masuk nalar."
Pra membalas senyumku.
Selalu ada nuansa indah yang aku rasakan setiap kali bertemu dengan Pra. Meski kami jarang
bertemu karena kesibukan kami masing-masing, tetapi setiap kali bertemu selalu memberikan kesan

http://cafenovel.com/ 52
tersendiri di hatiku. Ah, aku tidak pernah berani mengatakan pada diriku kalau aku menyukai
Praditya. Aku memang simpatik padanya. Tapi untuk mencintainya, aku masih memiliki trauma
yang harus aku enyahkan, dan memupuk keyakinan sebenih kalimat bijak yang mengungkap bahwa
tidak semua laki-laki itu bullshit! Jauh, jauh sebelum mengenal Praditya, aku memang selalu
disakiti oleh laki-laki. Namun, Praditya beda! Ia menjanjikan hari baru dan perlahan melamur
semua kenangan pahitku tentang seorang laki-laki penyelingkuh.
Dan untuk saat ini kami memang dekat. Yang jelas, aku merasa senang dan damai bila dekat
dengannya. Sedangkan Praditya sendiri, setiap kali bertemu denganku belum sekali pun
menyinggung masalah hati dan bentuk hubungan kami. Meski dari gerak dan tindakannya yang
kikuk telah menjelaskan bahwa ia memang ada hati, namun aku tidak berani mengartikannya lebih
jauh. Terlebih mengambil kesimpulan sepihak jika ia meencintaiku. Menurutku, cinta dan kasih
sayang jelas beda makna dan beda tempatnya.
Cinta menurutku pula, penuh dengan tuntutan. Apabila tuntutan yang dilandasi oleh cinta tak
kesampaian, akan membuahkan sakit yang teramat sangat di dalam hati yang paling dalam.
Sedangkan kasih sayang, adalah ketulusan yang dapat diberikan kepada siapa saja selagi kita
simpati dan menyukai orang tersebut. Dan bentuk rasa yang aku rasakan terdapat Praditya saat ini
baru hanya sebatas bentuk kasih sayang. Aku masih takut untuk mencintai Praditya. Karena kalau
sudah bicara cinta, akan ada tuntutan dari cinta itu sendiri. Dan kalau tuntutan itu tidak dapat Pra
penuhi, aku takut Pra dan aku saling menyakiti. Sedangkan aku kepingin hari-hariku bersama
Praditya selalu ditaburi bunga-bunga indah. Yang membuat hari-hariku jadi selalu penuh
kebahagiaan. Bisakah semua itu selamanya kudapatkan bersama Praditya?
***
EPILOG
Tentang Manda
Bulan ini adalah bulan yang bahagia buat Manda, karena pada bulan ini, ada satu hari pada
tujuhbelas tahun silam, ia menangis untuk kali pertama. Tangis pertama yang disambut dengan doa,
tawa dan senyum bahagia.
Itulah hari kelahiran Manda.
Oh, sweet seventeen, Manda.
Karena itulah ia ingin merayakannya dengan penuh meriah. Mengundang teman-teman, dan...
Praditya.
Manda ingin, di hari ulang tahunnya itu ia diliput oleh wartawan hiburan, baik media cetak maupun
elektronik, dan pada saat itulah, ketika kuli disket itu bertanya, siapa pujaan hatinya, Manda akan
memberikan isyarat kepada Praditya.
"Pra akan memberikan kado apa di hari ulang tahun Manda nanti?" ungkap Manda, suatu ketika
saat bertemu Praditya di petang hari.
"Pra akan mendoakan Manda biar menjadi artis yang sukses," kata Praditya.
"Uh, itu sih basi," rajuk Manda, manja. "Manda kepingin hadiah yang istimewa." Praditya
tersenyum. "Ya, nanti Pra beri hadiah yang istimewa. Dan berita mengejutkan buat Manda!"
"Hadiah apa? Berita mengejutkan apa?" kejar Manda, penasaran.
Pra mengulum senyumnya "Ada deh, lihat saja nanti, dan kamu harus sabar menunggunya," kata
Praditya.
Nyatakan Manda tak sabar menunggu hari pesta ulangtahunnya. Ia ingin melihat kejutan apa yang
akan diberikan oleh Praditya, orang yang selama ini selalu mengisi mimpi indahnya.
***

http://cafenovel.com/ 53
Pesta ulang tahun ketujuhbelas Manda itu, meriah. Dirayakan di sebuah hotel berbintang di
bilangan Jakarta. Manda menjadi seperti bidadari, gaun yang dikenakan dan keceriaan paras
wajahnya, membuat para undangan turut bahagia. Tetapi, ada yang membuat Manda gelisah, karena
hingga acara dimulai, Praditya ternyata belum juga datang.
Ketika tiup lilin dan potong kue, Manda bingung untuk memberikannya kepada siapa potongan kue
ulangtahun ketujuhbelasnya itu. Akhirnya, kedua orangtuanya adalah yang diutamakan. Padahal ia
ingin memberikan potongan kue pertama itu kepada Praditya. Tapi, ke mana Praditya, hingga acara
berjalan, ia belum juga kelihatan batang hidungnya.
Wartawan sibuk meliput acara pesta ulangtahun Manda yang begitu meriah. Berbagai pertanyaan
pun dilontarkan. Tetapi Manda tidak semangat menjawabnya. Ia kehilangan arah tanpa Praditya di
sisinya. Menjelang usai acara, Praditya baru datang. Pra langsung mendekati Manda dan
mengucapkan selamat.
"Selamat ya, Manda. Kamu sekarang sudah menjadi artis yang dikejar-kejar wartawan," kata
Praditya.
"Terima kasih," sambut Manda. "Terus kejutannya mana?"
Praditya melempar senyumnya. Lalu ia melangkah ke depan, menghampiri seorang gadis cantik
dengan rambut panjang yang tergerai. Gadis itu digandengnya mendekati Manda. "Ini kejutannya,
saya membawa seseorang yang selama ini selalu mengisi hari-hari sepi saya di hari ulangtahun
kamu. Namanya, Erna Dewi. Mahasiswa Sastra Inggris semester akhir," kata Pra. "Saya terlambat
ke acara ulangtahun kamu karena menunggu Erna yang datang dari Yogya cuma untuk menghadiri
acara tiup lilin kamu."
"Erna," kata Erna sambil menyodorkan tangannya kepada Manda.
Manda menyambutnya dengan serba salah.
"Pra sudah sering cerita tentang Manda, senang bertemu dengan kamu," kata Erna sambut melepas
senyumnya.
Manda balas tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Tetapi sejurus kemudian ia kembali tenang.
Meskipun ada sakit yang ia rasakan, tapi sakit karena apa, ia pun tak mengerti. Apakah karena ia
patah hati karena Praditya? Tetapi Pra tidak pernah mengutarakan cintanya kepada Manda.
Pantaskah kalau ia meratapinya?
Ah, Manda memang terlalu banyak berharap cinta Praditya, tetapi Pra ternyata mungkin,
mengganggap Manda hanya seperti adik saja. Dan Manda berusaha untuk menerimanya. Cinta yang
sempat ia rasakan, seperti cinta semusim yang kini hilang dibawa musim lain. Dan itu terjadi di saat
usia Manda tujuhbelas tahun. Manda tidak mau patah hati di usianya yang masih remaja. Jalan
panjang masih terbentang di depannya, meskipun tanpa Praditya, Manda berusaha akan menjadi
orang yang bisa berdiri di kaki sendiri begitu pun saat mendapatkan cintanya nanti.
"Pra, terima kasih atas segalanya," kata Manda.
Pra tersenyum. "Sukses buat kamu," balasnya.
Manda balas tersenyum, puluhan kamera tertuju ke arahnya. Dan Manda malam itu menjadi bintang
di hari ulangtahunnya. ©

http://cafenovel.com/ 54
SALAHKAH
BILA AKU
MERINDU
Ombak Pantai Sanur mendebur. Angin semilir melambaikan nyiur. Langit mulai temaram. Nila
menyusuri pantai dengan telanjang kaki. Rambut panjangnya tergerai dimainkan angin nakal.
Ombak yang menerpa langkahnya, menghapus setiap jejak yang ditinggalkan di atas pasir putih.
Gadis itu melangkah di antara gemuruh ombak, desir angin, dan langit yang temaram. Tetapi
langkahnya tak meninggalkan jejak di pasir. Ombak menghapusnya. Dan ombak ibarat harapan,
rindu, cinta dan kasih sayang yang Nila rasakan. Ia tak mengerti, kenapa satu hari ini ia berada di
Pantai Sanur. Padahal pantai inilah yang membuatnya luka, yang membuatnya hampa, dan yang
membuatnya hampir terpuruk dalam kerinduan dan penantian akan seseorang yang tak pernah
berani ia temui saat perjanjian yang sudah ditetapkan.
Ra, nama itu, memang tak terucap dari bibirnya, tetapi bergetar di setiap detak jantungnya. Nama
itu yang sempat menghiasi hari-harinya yang penuh rindu. Rindu yang saat ini masih ia simpan,
meskipun tidak ada kepastian. Karena setahun yang lalu, Ra berjanji akan datang kepada Nila, di
Pantai Sanur ini, mengikat janji yang selama ini hanya terjalin melalui ponsel atau e-mail.
Ah, kenangan....
Nila memandang ke laut lepas. Ombak masih bergulung. Deburnya seperti di dada Nila. Karena
hari ini, tepat satu tahun janji berjumpa di Pantai Sanur dengan kekasih jiwanya, Raga Dewa, yang
entah saat ini ada di mana.
***
Nila Sayang, setelah lulus SMA ini, saya akan ke Bali. Saya memang tak punya siapa-siapa di
Jakarta, tetapi sekarang ada kamu, yang akan menjadi tujuan hidupku. Saya ingin kuliah di
Udayana. Saya mau kuliah seni sesuai dengan kemampuan dan bakat saya. Tetapi yang utama
adalah, saya datangnya ke Bali untuk kamu, agar kita bisa selalu bersama. Nantikan saya di

http://cafenovel.com/ 55
Pantai Sanur seperti yang sering kita katakan. Saya akan datang untuk kamu, untuk kamu
Sayangku....
E-mail itu, masih Nila simpan di folder komputernya. E-mail dari Raga, kekasih jiwanya.
Tetapi, kemana kamu, Ra? Di hari yang kamu janjikan itu, saya memang tak berani menemui
kamu, tetapi saya tetap di pantai ini dari pagi hingga sore hari, bahkan sampai malam menjelang.
Saya ragu sekali untuk memutuskan apakah saya siap bertemu kamu atau tidak. Dan saya memilih
untuk tidak bertemu kamu, dengan harapan, besok atau lusa saya akan mendapatkan suara kamu
lagi, dan bertanya kenapa tak menepati janji. Tetapi nyatanya, sejak saat itu, saya tak temukan lagi
keindahan kata di e-mail ataupun di ponsel. Kamu seperti menghilang ditelan ombak Pantai Sanur
ini. Raga, kamulah yang membuat jiwaku lebih berarti. Kamulah yang membuat hidupku jadi
punya arah. Kamulah yang membuat saya memahami hidup, bahwa ketika kehampaan jiwa ada,
seseorang bisa dijadikan pegangan. Dan itu adalah kamu, Ra, gumam Nila. Ia menahan sesak
nafasnya yang tak pernah berhenti setiap kali ingat Raga.
Tetapi, di mana kamu sekarang kekasihku? Belahan jiwaku? Rinduku? Cintaku? Saya memang
bersalah mengambil keputusan ketika itu untuk tidak menemui kamu, tetapi saya belum lelah
menantimu. Maafkan saya kalau saya bersalah, saya pun tak tahu harus bagaimana dan harus
berbuat apa, karena hingga saat ini, saya tak menemukan lagi jejakmu.
Nila terus melangkah, sekali waktu, gundukan pasir kadang ditendangnya. Butiran putih itu
berhamburan terbawa angin. Namun rindu dan cinta Nila terhadap Ra tidak ingin seperti pasir yang
hilang terbawa angin, atau seperti karang yang perlahan akan hilang terkikis oleh debur ombak
lautan.
Raga, saya sudah rela melepaskan apa yang selama ini saya miliki. Untuk kamu, saya rela
meninggalkan apa yang diharapkan oleh orangtua saya. Sehingga pilihan hidup setelah lulus SMA
yang sudah disiapkan oleh orangtua saya, berani saya tinggalkan karena kamu, gumam Nila.
Setiap kalimat tak pernah keluar dari mulutnya. Karena semuanya akan ia katakan ketika akan
bertemu dengan Raga. Pertemuan yang mungkinkah akan terulang? Dan akhirnya, yang ada
hanyalah gumaman dalam hati yang paling dalam, dibalut rindu, cinta dan kasih sayang yang tak
dapat diartikan.
Nila adalah gadis Bali yang sering gelisah oleh keadaan. Ia menentang keras ketika dalam
kulturnya, bahwa perempuan harus manut terhadap adat yang ada. Dan ketika duduk di bangku
kelas dua SMA, orangtuanya mengabarkan kepada Nila, kalau sudah lulus sekolah nanti, ia akan
dijodohkan dengan seorang laki-laki Bali yang berkasta.
Nila berontak, bahwa dalam pribadinya, cinta bukanlah paksaan, cinta adalah tunas jiwa yang
tumbuh di dalam hati yang paling dalam. Ia tidak menerima niat orangtuanya untuk
menjodohkannya. Dan konsekuensinya, Nila keluar dari rumah.
Itu tidak baik memang, tetapi pemberontakan Nila bukannya tidak menghormati kedua
orangtuanya. Apalagi kepada sang Bunda, Nila adalah anak pertama dari dua bersaudara yang amat
disayangi. Karena sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia selalu menduduki ranking di kelasnya.
Bahkan ia selalu masuk dalam kategori siswa teladan. Ia ingin meraih cita-citanya setinggi bintang.
Karena itulah, ketika kedua orangtuanya mengabarkan bahwa setelah lulus SMA Nila akan
dijodohkan, harapan dan cita-cita itu seakan kandas di tengah jalan.
Dalam kehampaan hatinya, hadirlah Raga, lelaki yang ia kenal lewat sms yang nyasar ke ponselnya.
Aku adalah arah mata angin yang selalu berhembus ke setiap lembah di mana ada rumput hijau,
gunung, sungai dan pelangi. Desirku bagaikan dawai yang selalu mendendangkan tentang cinta
dan kerinduan.

http://cafenovel.com/ 56
Nila terhenyak, dan terjaga begitu menerima pesan tersebut yang tak diketahui dari siapa. Tetapi
selanjutnya ada perkenalan. Dari perkenalan itulah akhirnya Nila tahu, ternyata Raga mengirim sms
itu asal saja, tidak pernah tahu akan sampai ke mana. Tetapi katanya, ia punya Tuhan, yang akan
membawa pesan itu kepada seseorang yang akan dapat menentukan arah hidupnya. Ah, pribadi
yang menarik, pikir Nila ketika itu. Dan dari perkenalan lewat ponsel itu, akhirnya pun berlanjut ke
e-mail dan rasa. Rasa yang sulit Nila artikan.
Selama itulah hubungan itu terjalin. Setiap kata adalah keindahan, setiap waktu adalah kerinduan,
dan cinta terpupuk dari rentang waktu yang berjalan, serta rindu yang berceceran.
Nila memilih semangat hidup dengan menjadi kekasih jiwanya Raga, meskipun ia belum pernah
bertemu dengan pujaan hatinya. Makanya ia amat senang begitu Raga mengabarkan, ketika lulus
SMA nanti, ia akan kuliah di Udayana, dan akan bertemu Nila di Pantai Sanur ini.
Kekasihku, ketika malam menjelang dalam penantian akan pertemuan kita di Pantai Sanur nanti,
kumpulkanlah rindu yang selama ini kita punya. Lalu kita jadikan semangat hidup untuk berkarya.
Bantu saya untuk meraih cita-cita dan saya akan mendukung kamu menjadi wanita yang mandiri,
maju dan berprestasi. Kita akan menjadi sepasang kekasih yang saling mendukung untuk sebuah
cita-cita. Dan kalau dalam hidup orang ingin meraih bahagia, bahagia itu adalah milik kita, bahagia
itu adalah kita berdua
Nantikan saya dengan penuh cinta.
Cintamu,
Raga Dewa
E-mail itu pun, masih Nila simpan di komputernya.
Ra, di manakah kamu, Sayang? Jangan salahkah kekasihmu ketika harus mengambil keputusan
untuk melupakanmu. Satu tahun adalah waktu yang panjang untukku memendam rindu. Tak adakah
maaf atas keputusan yang pernah salah saya lakukan?
Di mana kamu Ragaku?
Na terus melangkah, tetapi langkahnya bukan menyusuri pantai, karena malam sudah datang. Dan
gelap mulai merangkul setiap sisi pojok Bali.
Kesunyian malam memang membawa kerinduan.
Tetapi Nila tak tahu, rindu untuk apa dan untuk siapa yang kini ia rasakan. Karena Raga ternyata
tak pernah hadir lagi di setiap langkahnya. Ra hanya menjadi kekasih dalam jiwa Nila.
Andai saja waktu boleh kembali, saya akan menemui kamu setahun yang lalu di Pantau Sanur ini
sesuai dengan janji kita, Ra. Tapi waktu memang tak pernah bisa kembali.
Ra, di mana kamu? Pelan, kalimat itu Nila katakan, dan gadis itu mulai pergi meninggalkan debur
ombak Pantai Sanur. Tetapi jejaknya tetap meninggalkan rindu, cinta dan harapan kepada Ra, yang
kini entah berada di mana.
Ra, aku rindu kamu. Salahkah bila aku masih merindu....©

http://cafenovel.com/ 57
KATAKANLAH
Bandara Soekarno Hatta
Pukul 13.00 WIB

Saya duduk gelisah menunggu mendaratnya pesawat dari Australia. Kamu akan pulang jam dua
nanti pada hari ini, begitu yang saya tahu lewat surat kamu dua hari yang lalu.
Jam setengah duabelas saya sudah sampai di sini. Khawatir kamu datangnya lebih cepat dari jadwal
semula. Tapi ternyata itu hanya kekhawatiran saya saja yang sudah tidak sabaran lagi ingin cepat-
cepat bertemu dengan kamu. Terpaksalah saya menunggu. Meskipun saya tahu, menunggu adalah
pekerjaan yang sangat menyebalkan, tetapi menunggu datangnya kamu adalah pekerjaan yang
menyenangkan. Mendebarkan. Karena saat menunggu datangnya kamu, ada perasaan lain di hati
saya. Perasaan yang tak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Ah, saya jadi ingat awalnya kita
bertemu dua tahun lalu.
Waktu itu, saya suka latihan menari di Gelanggang Remaja Bulungan. Sedangkan kamu pemain
teater di sana. Saya tahu, kalau saya sedang menari, kamu suka memperhatikan saya. Begitu pun
dengan saya. Kalau kamu sedang latihan teater, saya suka curi-curi pandang ke arah kamu. Lewat
seorang teman dekat, kamu menitipkan salam buat saya. Dan lewat sanalah akhirnya kita
berkenalan.
"Pra, Prahara Senja nama saya," begitu kata kamu, mengenalkan nama lengkap kamu waktu kita
berkenalan ketika itu.
"Lembayung Sutra," saya pun turut memperkenalkan nama.
Setelah kita saling kenal, kita pun jadi akrab. Kamu kelas tiga SMA ketika itu. Sedangkan saya
duduk di kelas dua. Kita sering bercerita setelah menjadi akrab. Bercerita apa saja. Dari mulai
perang yang tak pernah ada habisnya. Tentang remaja-remaja kota yang terecoki oleh narkoba,
sehingga penyakit ajaib yang belum ditemukan obatnya: AIDS!
Ah, begitu asyiknya kalau sudah bercerita sama kamu. Kamu punya banyak wawasan tentang
berbagai hal. Saya masih ingat, waktu kamu mengajak saya nonton pameran lukisan di Pusat
Kebudayaan Jepang. Saya sempat bertanya kepada kamu, tentang sebuah karya salah satu pelukis
yang dipamerkan. Yang mana lukisan itu hanya terdapat beberapa garis dan lingkaran, tapi diberi
judul 'Hutan'.
Kamu menjelaskan, bahwa ada beberapa pelukis yang melukis tidak terfokus pada apa yang dapat
menghidupkan sebuah karya. Meskipun pada dasarnya, untuk melahirkan karya perlu perenungan

http://cafenovel.com/ 58
dan imajinasi. Dan kata kamu, sebuah karya lukis yang berhasil adalah bila mana dilihat orang lain
terasa ada jiwa yang hinggap di sana. Ada kalbu di dalam karya itu. Dan juga dapat menggetarkan
perasaan riang atau duka, serta berhasil merangsang kita untuk menciptakan imajinasi sendiri.
Seni, kata kamu lagi, bukanlah sekadar pil penenang yang bikin kita jadi santai, acuh tak acuh dan
berleha-leha. Seni harus menggelinjang, harus menggelegak dalam mencari upaya diri untuk
menyuguhkan makna serta rahasia kehidupan.
Saya tersenyum mendengar kata-kata kamu. Ada rasa bangga yang tak terkira bersahabat dengan
kamu. Saya benar-benar tak percaya, kalau analis sebuah karya, diucapkan oleh seorang remaja
yang masih duduk di kelas tiga SMA seperti kamu. Kamu begitu hebat, Pra. Begitu hebat di mata
saya.
***
Mulai dari situlah saya mulai ada rasa sayang sama kamu. Rasa ingin memiliki kamu seutuhnya.
Memberikan perhatian, rasa cinta, dan segalanya buat kamu. Tapi kamu begitu dingin. Acuh tak
acuh saja dengan segala perhatian saya. Seakan semua yang saya berikan buat kamu adalah hal
yang biasa dalam sebuah pertemanan. Sampai saya berpikir, jangan-jangan kamu sudah memiliki
seorang teman yang istimewa. Tapi sejauh saya kenal kamu, tak ada seorang cewek pun yang
menjadi teman akrab kamu selain saya. Saya benar-benar tidak mengerti dengan kamu. Semakin
saya kenal kamu, semakin saya tak tahu bagaimana kamu yang sebenarnya.
Dulu pun, ketika saya baru kenal kamu, saya pikir kamu anak orang biasa-biasa saja. Kendaraan
kamu cuma sepeda motor trail yang kamu modifikasi sehingga jadi sedemikian rupa. Tapi begitu
saya kamu ajak ke rumah kamu, betapa kagetnya saya. Rumah kamu di Pondok Indah. Besar dan
punya halaman luas. Kendaraan roda empat mewah kamu pun, meskipun itu milik orangtua kamu,
berbaris empat di halaman rumah. Tapi kamu tak sombong karenanya. Kamu tetap bersahaja. Ke
mana-mana tetap sederhana. Ke mana-mana tetap mengendarai sepeda motor kamu itu. Padahal
kalau kamu mau, bisa saja kamu menggunakan salah satu mobil orangtua kamu itu.
Pribadi kamu benar-benar membanggakan, Pra. Saya semakin menyukai kamu. Bukan karena kamu
orang berada rasa suka saya ke kamu semakin besar saja. Bukan, bukan karena itu. Saya rela
dicabut nyawa saya terlebih dahulu kalau saya menyukai kamu karena kamu orang berada. Tidak,
saya tidak sematerialistis seperti itu. Keserdehanaan kamu, kecuekan kamu, dan segala keunikan
pada diri kamu yang menciptakan rasa suka di hati saya buat kamu. Seumpamanya kamu benar-
benar diciptakan untuk saya, saya rela tak diberi apa-apa oleh kamu. Asal kamu tetap bersama saya,
memperhatikan saya, dan mengasihi saya dengan segala kebersahajaan kamu. Sebab seperti yang
kamu katakan kepada saya, bahwa kebahagiaan itu harus diperjuangkan. Bukan dengan cara
mengemis minta belas kasih, rendah diri dan pasrah nasib. Hidup adalah perjuangan.
Prahara Senja, nama kamu akhirnya sering saya sebutkan saat malam datang dan ketika mata saya
akan terpejam. Dengan harapan, semoga dalam tidur saya, saya dapat bertemu dengan kamu.
Bercerita tentang langit biru, kicau burung nan merdu, atau debur ombak di lautan.
Setahun saya kenal kamu, kamu tetap Prahara Senja yang dulu. Cuek, acuh tak acuh, dan tak pernah
menyadari akan perhatian saya yang melebihi perhatian seorang teman ke kamu. Saya benar-benar
serba salah. Haruskah saya yang mengungkapkan terlebih dahulu kalau kamu adalah harapan dan
impian saya? Pantaskah seorang cewek mengutarakan isi hatinya kepada seorang cowok yang
dicintai? Ah, Pra. Betapa nelangsanya hati saya menunggu ucapan kata kasihmu ke saya. Saya
begitu kecewa akan kecuekan dan keacuhtakacuhan kamu. Dan kecewa saya mencapai puncaknya
begitu kamu lulus SMA, dan mengatakan akan melanjutkan studi di Australia.
Tak ada harapan lagi, untuk memiliki kamu. Saya menangis saat kamu tinggalkan. Karena saya
yakin, kamu akan melupakan saya. Dekat saja kamu cuek dan acuh tak acuh kepada saya,
bagaimana kalau kamu jauh. Tapi ternyata semua itu tidak benar adanya. Seminggu setelah
kepergian kamu, saya menerima surat dari kamu. Betapa bahagianya saya ketika itu. Berulang-

http://cafenovel.com/ 59
ulang, saya baca surat kamu. Dan foto kamu yang kamu kirimkan bersama surat itu, saya jadikan
pelepas rindu jika saya lagi ingat kamu.
Persahabatan kita tetap berjalan meskipun hanya lewat surat. Sebulan bisa dua atau tiga kali kamu
mengirimi saya surat. Begitu pun dengan saya. Dan lewat surat-surat kamu, saya merasa kamu tetap
dekat dengan saya. Hampir setahun sudah, kamu meninggalkan saya. Dan dua hari yang lalu, kamu
mengirimi saya surat yang isinya mengabarkan bahwa kamu akan pulang liburan. Saya begitu
bahagia, apalagi kamu meminta saya untuk menjemput kamu di Bandara Soekarno Hatta.
Prahara Senja, saya benar-benar rindu dengan kamu.
Jam dua kurang beberapa detik. Saya dengar pengumuman dari pengeras suara, bahwa pesawat dari
Australia akan mendarat.
Dada saya berdegup kencang. Tak sabar menunggu kamu. Suara pesawat yang mendarat membuat
rindu saya semakin meletup-letup. Saya benar-benar gelisah. Tak bisa saya bayangkan, seperti apa
kamu sekarang ini?
Beberapa menit kemudian, saya melihat beberapa orang melangkah dari pintu keluar. Beberapa
turis, dan... kamukah itu, Pra?! Mengenakan kemeja lengan panjang, kacamata hitam, dan tas ransel
tanggung yang kamu serongkan di punggung dengan santai? Kamukah itu, Pra?
Saya beranjak dari tempat duduk. Ingin menyambut kamu dengan kerinduan yang dalam. Tapi baru
beberapa tindak, langkah saya terhenti, demi melihat beberapa orang yang sudah lebih dulu
menyambut kamu. Mungkin itu kerabat atau sanak famili kamu. Tapi... siapakah gadis berambut
panjang dengan oblong hitam yang merangkul kamu dengan begitu mesranya, Pra?! Famili
kamukah? Adik kamu? Atau... ah, saya tidak sanggup membayangkan kalau gadis itu adalah
seseorang yang begitu istimewa buat kamu. Saya jadi tak kuat menyambutmu.
Prahara Senja, katakanlah, kalau pulangnya kamu untuk saya. ©

http://cafenovel.com/ 60
CINTA YANG
SEMPAT
TERBAGI
Ucapan salam yang disusul oleh ketukan pintu itu membangunkan Ale dari tidurnya. Ia lalu
melangkah, karena suara itu amat dikenalnya.
Pintu terkuak. Seorang gadis manis dengan bola mata indah berdiri di hadapan Ale.
Ada senyum. "Kata Mbak Ratih, kamu tadi ke rumah?"
Ale mengangguk sambil membalas senyum gadis itu.
"Maaf ya, Le. Ada eskul tadi di sekolah, jadinya pulang agak terlambat."
"Sudahlah. Kamu masuk dulu, No. Ceritanya nanti saja di dalam." Ale melebarkan daun pintu.
Retno melangkah masuk tanpa kata.
"Pulang sekolah, kamu langsung kemari?" tanya Ale, setelah mereka duduk.
Retno mengangguk. Ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan. Tampak lelah,
raut wajahnya. Ale memandang gadisnya itu. Saya sayang kamu, No, gumam hatinya.
Ale tersenyum dan menggeleng pelan.
"Selesai eskul tadi, saya disuruh mengawasi anak kelas satu dan kelas dua yang lagi pada latihan
paskibra. Awalnya sih saya menolak, karena saya ada janji dengan kamu. Tapi, Pak Indra mendesak
saya agar mengawasi sekaligus memberi pengarahan kepada anak-anak tersebut. Beliau bilang,
sayalah yang lebih mengerti tentang paskibra. Ya, sudah. Akhirnya saya nggak bisa menolak."
"Saya mengerti, No," kata Ale. "Saya malah bangga kamu banyak kegiatan. Ke toko buku dan
nonton, itu kan masih banyak waktu."
Retno tersenyum. "Makasih, Le, kamu mau ngertiin saya."
Ale balas tersenyum. Cinta memang butuh pengertian, No! batinnya. Tapi, kenapa kamu harus
berduspa kepada saya? Tadi saya ke sekolah kamu, No. Hendak menjemput kamu. Nggak ada

http://cafenovel.com/ 61
eskul, dan nggak ada latihan paskibra di sana. Kenapa kamu harus berbohong pada saya, No?
Ayolah, cerita kepada saya, ada apa dengan kamu? Karena saya amat mencintai kamu.
"Kapan naik gunung lagi, Le?" Pertanyaan Retno membuyarkan lamunan Ale.
Ale menoleh. "Mungkin liburan semester. Kuliah dan kegiatan amat menyita waktu saya,"
jawabnya.
"Nanti saya ikut lagi ya, Le," pinta Retno. "Saya sangat suka dengan suasana pegunungan. Alam
hijau, sungai, dan ternak-ternak tani. Jakarta sumpek ya, Le. Polusinya sangat berbahaya."
Ale tersenyum mendengar kata-kata Retno yang agak puitis itu. Ia jadi teringat kembali awal
pertemuan dengan Retno.
Waktu itu, Ale sedang melihat pesta seni pelajar se-DKI Jakarta di Bulungan. Ia yang sebagai
wartawan lepas di sebuah majalah remaja, tertarik dengan seorang gadis yang telah memenangkan
lomba baca puisi. Retno nama gadis itu.
Lewat situlah akhirnya mereka jadi akrab. Ale suka main ke rumah Retno, sementara Retno sering
main ke kosnya Ale. Mereka sering bertemu, sering jalan sama-sma. Akhirnya, timbul rasa suka di
hati mereka masing-masing. Mereka berpacaran.
"Kamu masih menulis cerpen, Le?" tanya Retno.
"Masih." Ale tersenyum.
"Tapi kok sekarang saya jarang lihat. Setiap saya baca tulisan kamu, paling wawancara profil, atau
liputan remaja. Kenapa, Le?"
Ale kembali tersenyum. Ia amat suka dengan pertanyaan Retno itu. "Saya menulis cerpen kalau lagi
ada ide. Kalau lagi suntuk, mumet, atau pusing, saja jarang bisa nulis cerpen," kata Ale.
"Berarti, saat ini kamu lagi suntuk, Le? Suntuk karena apa?"
Ale agak gugup ditanya seperti itu. "Saya rasa, setiap penulis pasti pernah merasakan kesuntukan,
No. Itu biasa. Begitu pun yang terjadi dengan saya," jawabnya, setelah diam beberapa detik.
Retno memandang Ale dalam, seperti minta kebenaran dalam perkataannya.
Ale cuma mengembuskan napasnya. Sebenarnya, saya suntuk karena memikirkan kamu, No.
Sekarang, sepertinya kamu berubah. Kita jarang ketemu lagi. Kamu terlalu banyak alasan untuk
menghindar dari saya. Bahkan tadi, kamu sudah berani berbohong kepada saya. Kenapa ini, No?!
Apakah kamu sudah nggak menyukai saya lagi?! Atau kamu sudah bosan pacaran dengan saya?!
***
Diam-diam, Retno menyalahkan dirinya atas perbuatannya selama ini. Maafkan saya, Le. Akhir-
akhir ini, saya sering mendustai kamu. Seharusnya, hal itu nggak pantas saya lakukan. Karena kamu
begitu baik sama saya, kamu begitu mencintai dan menyayangi saya. Dan itu saya rasakan selama
ini. Tapi... pantaskah saya untuk kamu cintai lagi, Le? Saya telah mendustai kamu, batin Retno.
Tadi, sebenarnya Retno pergi dengan Roni. Padahal sebelumnya, ia sudah janjian dengan Ale mau
nonton dan ke toko buku. Tapi pesona Roni telah membuat Retno lebih baik mengingkari janjinya
dengan Ale. Apalagi Roni, sang Ketua OSIS itu begitu banyak dikagumi oleh cewek-cewek di
sekolahnya.
Kebanggaan?! Dapat menjadi pacar Roni memang suatu kebanggan. Tapi mendustai cinta tulus Ale,
apakah suatu kebanggaan? Oh, ada sesak di dada Retno.
"No...," suara Ale memecah kebisuan.
Retno menoleh.
"Kamu agak kurusan."
"Benarkah?" Mata Retno begitu indah.
Ale mengangguk.
"Mama juga bilang begitu. Saya sekarang agak kurusan. Mungkin karena saya terlalu memforsir
diri dengan kegiatan sekolah ya, Le? Entahlah. Saya hanya mengikuti saran kamu, bahwa jadi
remaja tuh harus kreatif. Harus dapat menggunakan waktu luang dengan berkegiatan, jangan hanya

http://cafenovel.com/ 62
berpangku tangan."
"Kamu tambah dewasa, No." Ale tersenyum. "Tapi kamu juga harus ingat, harus membatasi
kegiatan kamu itu. Jangan terlalu diforsir. Nanti kamu malah jadi sakit."
Retno tersenyum. "Makasih, Le. Akan saya usahakan," katanya. "O, iya, Le. Sudah sore. Saya
pamit dulu, ya?" Retno bangkit.
Ale melihat jam di dinding ruangan itu. "Oke, deh," balasnya.
"Nonton dan ke toko bukunya nanti saja ya, Le. Kamu nggak marah, kan?"
"Dengan datangnya kamu kemari, itu pun kamu sudah membayar janji kamu, No. Saya bahagia,
karena kamu begitu memperhatikan saya."
Retno tersenyum mendengar kata-kata Ale. Senyum yang menutupi sesak dadanya. Karena ia ke
kosnya Ale juga hanya untuk menutupi kebohongan janjinya kepada Ale.
***
"Retno-nya pergi, Le!" Kata-kata Ratih berkelebat lagi, waktu Ale main ke rumahnya, tadi.
Ale sempat tidak percaya. Karena setiap ia ingin bertemu dengan Retno, dibilangnya selalu tak ada,
pergi. Apakah kebetulan, setiap kali Ale ingin bertemu dengan gadisnya itu, ditanya selalu pergi?
"Suer, saya nggak bohong. Cuma saya nggak tahu, ditanya pergi ke mana," Ratih menyakinkan,
waktu melihat wajah Ale yang tak percaya.
"Serius, Tih?" Ale tersenyum kecut.
Tak menjawab, tapi Ratih mengangguk, pasti.
Ada kecewa, dan tak mengerti, Ale pulang kembali.
"Le...," suara Ratih menghentikan langkah Ale.
Ale menoleh.
"Saya lihat, akhir-akhir ini kamu jarang bersama Retno. Kenapa? Marahan, ya?"
Ale tersenyum. "Nggak, Tih. Kebetulan saja, saya banyak kegiatan. Retno juga."
Ratih cuma turut tersenyum, dan kembali memandang Ale yang pergi bersama motor trailnya.
Saya rindu kamu, No. Saya kangen kamu. Adakah di hati kamu merasakan perasaan yang sama
dengan saya? Ale memarkir sepeda motornya di samping swalayan.
Hari Minggu yang cerah itu toko buku Gramedia Blok M begitu ramai. Ale naik eskalator ke lantai
dua. Ia memang ingin mencari buku Pengantar Ilmu Komunikasi.
Ale menuju rak majalah dan koran. Melihat beberapa majalah remaja. Setelah itu, ia mencari buku
yang dicarinya. Tapi tiba-tiba, mata Ale milhat sosok gadis di rak buku, novel-novel remaja. Ada
senyum, begitu Ale mengetahui siapa gadis itu. Ia lalu melangkah mendekati gadis itu.
"Retno," sapa Ale.
Gadis yang disapa menoleh. "Eh, A-Ale...!"
Retno tampaknya gugup begitu mengetahui yang menyapanya ternyata Ale.
"Saya tadi dari rumah mencari kamu. Kata Ratih, kamu pergi. Ya, sudah. Akhirnya saya kembali.
Eh, nggak tahunya bakal ketemu di sini." Ale tersenyum.
Retno semakin gugup, dan agak kikuk.
Ale merasakan itu. "Kenapa, No?" tanyanya, heran.
Retno berusaha untuk menenangkan dirinya. Ia gelisah karena di sampingnya ada Roni.
"Eh, i-ini. Kenalkan, teman sekolah saya." Retno memaksakan senyumnya.
Roni mengulurkan tangan, dan menyebutkan namanya.
Ale membalasnya.
"Kita, pulang, No," ajak Roni. Ada sorot mata tak suka di matanya kepada Ale.
Retno semakin bingung saja mendengar ajakan Roni.
Ale terpaku. Pikirannya langsung sadar dengan kegugupan Retno, sorot mata tak sukanya Roni.
Inikah sebabnya kenapa kamu akhir-akhir ini selalu menghindar dari saya, No? Cowok inikah yang
membuat kamu selalu mendustai saya?

http://cafenovel.com/ 63
"Le...." Retno menjadi sangat serba salah.
"Pulanglah, No. Kamu pergi sama dia, pulangnya pun harus sama dia." Ale berusaha mengerti
sambil memaksakan senyumnya. Meskipun hatinya saat itu terluka.
Dengan rasa tak enak hati, Retno berjalan mengekor langkah Roni. Matanya tak sanggup lagi
menatap atau menoleh ke arah Ale.
***
Pulang sekolah, Retno tampaknya kusut sekali.
"Ada apa, No?" tanya Mama.
Retno memaksakan senyum. "Pusing, Ma. Habis ulangan," urainya sambil masuk kamar.
Di dalam, Retno merebahkan tubuhnya. Kekesalannya yang dibawa dari sekolah langsung
ditumpahkannya. Matanya memerah dan berkaca-kaca. Dadanya jadi sesak.
Kamu hancurkan harapan dan hidup saya, Roni! Retno menangis. Ia kesal dengan Roni.
Di sekolah tadi, waktu Retno ingin ke kantin, ia melihat Roni sedang bersama Elisa, bidadari kelas
dua, adik kelasnya. Roni terlihat begitu akrab dan mesra dengan Elisa. Retno dibakar cemburu
melihat itu semua. Tapi Roni tampaknya malah sengaja. Dia mencubit manja dan tertawa bersama
Elisa sambil bercanda. Pulang sekolah, Retno mempertanyakan tentang itu semua.
"Saya nggak menyukai kamu, No. Kamu membohongi saya. Waktu kamu saya dekati, katanya
kamu mengaku belum punya pacar. Seminggu yang lalu, waktu kita ke toko buku, kita bertemu
dengan seseorang yang tampaknya begitu akrab dengan kamu. Saya tahu, itu pacar kamu. Teganya
kamu mendustai dia. Saya berpikir, bahwa kamu nggak pantas jadi pacar saya, karena kamu amat
pandai berdusta tentang cinta. Asal kamu tahu saja, No. Saya tak mau mengobral cinta saya. Saya
merasa bersalah sekali dengan pacar kamu yang bertemu di toko buku itu, karena seakan merebut
kamu dari sisinya. Sekarang, lupakanlah tentang kita," kata-kata Roni yang panjang itu amat
menyayat di hati Retno. Sampai sekarang pun masih tersisa.
Retno bangkit dari tidurnya. Memandang sebingkai foto yang ada di atas meja belajarnya. Foto
berukuran kartu pos itu adalah foto Ale sewaktu di Rinjani. Retno mengusap permukaan foto itu.
Maafkan saya, Le. Saya baru tahu, bahwa kamu begitu berarti dalam hidup saya. Saya ngaku salah.
Sekarang, saya amat merindukan kamu. Maafkan saya, Le. Retno mengusap butiran bening di
wajahnya.
"Retno...! No! Ada Ale," panggilan Mama mengagetkan Retno.
Ale? Dada Retno berdegup kencang. Oh, kamu selalu datang saat saya rindu dan membutuhkan
kamu, Le. Retno cepat-cepat membersihkan airmatanya. Ia keluar.
Di ruang tamu, Retno mendapati Ale tersenyum ke arahnya.
"Apa kabar, No?" sapa Ale.
Retno tersipu. Lalu memandang Ale dengan kerut di dahi. Pakaian yang Ale kenakan tidak seperti
biasanya. "Mau ke mana kamu, Le?" tanyanya dengan gelora di dada.
Ale kembali tersenyum. "Bukankah kamu pernah bilang, kalau saya naik gunung lagi, kamu akan
ikut? Tadi pagi anak-anak pencinta alam di kampus saya ngajakin naik Gunung Salak di Bogor.
Kamu mau ikut, No? Sekarang hari Sabtu. Naik Gunung Salak paling cuma satu hari. Hari Minggu
sore kita sudah pulang. Tapi sebelumnya, kita ke perkampungan setempat dulu, karena anak-anak
ada rencana bakti sosial di sana. Kalau kamu mau ikut, bawalah beberapa potong pakaian kamu
yang agak lama, kemungkinan bisa dibagi-bagikan di sana. Pakaian kamu itu bisa berguna," jelas
Ale.
Retno tersenyum lebar. Kegembiraan di wajahnya tidak dapat ia sembunyikan. "Saya akan ikut, Le.
Saya akan minta izin sama Mama. Mama pasti mengizinkan, karena ini juga masalah bakti sosial.
Sebentar ya, Le. Saya salin dulu," kata Retno bersemangat.
Ale memandang Retno yang masuk ke kamar dengan sejuta kebahagiaan, karena ia melihat Retno
begitu ceria, tidak seperti sebulan yang lalu, yang kalau bertemu Ale tampaknya kikuk dan diam

http://cafenovel.com/ 64
selalu. Apakah keceriaan kamu adalah kembalinya kamu untuk saya, No? Ale bertanya dalam
hatinya.
Beberapa saat kemudian, setelah Retno salin, mengepak ransel dan pamit kepada Mama, mereka
pergi dengan motor trail Ale.
"Kita taruh motor dulu, No. Teman-teman menunggu di kampus." Ale melajukan sepeda motornya.
"Naik kereta, dong?" Retno mengencangkan pegangannya di perut Ale.
"He-eh." Ale mengangguk, lalu tersenyum.
Motor terus melaju.
"Le, maafkan saya, ya? Saya telah...."
"Sudahlah," potong Ale. "Dengan maunya kamu ikut saya pun suatu bukti, bahwa kamu memang
tetap milik saya. Setiap orang pasti pernah berbuat salah, No. Saya telah memaafkan kekhilafan
kamu. Asal jangan berbuat salah kedua kalinya saja. Karena kamu pun tahu, saya amat mencintai
kamu," kata Ale.
Retno menggigit bibirnya. Ale begitu bijaksana, pikirnya. Ia amat menyesal, kenapa sempat
membagi cintanya kepada cowok lain. Apa yang kurang pada Ale? Mandiri, berprestasi, sederhana,
dan... ah, semua yang ada pada diri Ale adalah tipe cowok yang Retno suka, meskipun Ale tidak
begitu tampan. Toh ketampanan belum tentu menjanjikan kebahagiaan. Sebab yang Retno tahu
lewat baca, kebahagiaan itu ada karena diciptakan. Dan Retno ingin menciptakan segala
kebahagiaannya bersama Ale.
Mulai sekarang. ©

http://cafenovel.com/ 65
BIODATA PENULIS

Putra Gara , lahir di Jakarta 2 Februari 1976. Pria berkacamata minus ini getol menulis puisi, juga menulis
cerpen. Karyanya sudah banyak dipublikasikan di berbagai media cetak daerah dan ibukota. Aktif menulis sejak di bangku SMP.
Ketika duduk di bangku SMA dan bangku kuliah, ia sudah menjadi wartawan di majalah-majalah remaja dan koran mingguan
ibukota. Pernah menerbitkan beberapa novel remaja. Sekarang, mendirikan GR. Production, yang bergerak dibidang recording,
cinema dan publishing. Ia pernah menjabat sebagai redaktur pelaksana di majalah Planet Pop (1999-2000).

http://cafenovel.com/ 66
30 Years, It's Just
Too Early • Sara Nindya

"Diperkirakan 30 tahun dari sekarang, bumi dikhawatirkan akan mengalami kehancuran."


Begitulah kutipan kalimat dalam sebuah artikel suratkabar yang dibaca Kania. Ditutupnya koran
yang ia pegang kemudian ia mengkalkulasikan umurnya saat ini dengan perkiraan waktu bumi akan
hancur.
"Berarti waktu aku umur 47 tahun dong! Haaaaaaaaahhh?!" jerit Kania histeris, membuat Bunda
yang melintas di depannya terkejut melihat putrinya menjerit heboh.
"Ada apa, Ka?" tanya Bunda bingung.
Kania teringat langkah pencegahan global warming dari artikel yang baru dibacanya. "Mulai besok
aku mau ke sekolah naik sepeda aja, Bun," kata Kania.
"Kan sepedanya dibawa Mas Bima ke Bandung," timpal Bunda.
"Bukan sepeda motor, Bun. Tapi sepeda pancal yang udah lama nggak pernah dipake itu," terang
Kania.
"Hah?" Bunda terkejut dengan penjelasan Kania yang terdengar agak nyeleneh itu. "Sekolahmu kan
lumayan jauh, Ka. Apa nanti kamu nggak terlambat datangnya?" tanya Bunda, masih tidak mengerti
maksud di balik rencana putrinya itu.
"Aku kan bisa berangkat lebih pagi, sekalian olahraga, Bun. Lagipula, aku pernah baca di koran,
Pemkot aja udah mencanangkan Bike to Work. Kenapa aku nggak Bike to School? Demi
kelangsungan bumi kita tercinta, Bunda." Kania mengakhiri perkataannya sambil tersenyum, Bunda
pun dibuat amazed akan jawaban Kania. Beliau kagum putrinya concern juga masalah kondisi bumi
yang semakin gawat ini.
***
Esoknya di sekolah.
Kania sudah menjadi pusat perhatian sejak ia mulai mengayuh sepedanya melewati pintu gerbang
sekolahnya, bahkan satpam penjaga gerbang saja sampai tercengang.

http://cafenovel.com/ 67
"Kania?" sebuah suara menyapa Kania yang sedang mengunci sepeda pancalnya di tempat parkir
motor.
"Hai, Lintang," sapa Kania, degup jantungnya mendadak semakin cepat. Diam-diam ia naksir sang
Ketua Kelas di hadapannya ini.
"Kamu naik sepeda ke sekolah?" tanya Lintang sambil melirik sepeda yang masih tampak mulus di
samping Kania.
Kania mengangguk. "Aku nggak mau mati muda soalnya," jawab Kania sambil berlalu,
meninggalkan Lintang yang masih belum menangkap maksud jawaban Kania.
Lintang pun mengejar Kania yang melenggang masuk ke dalam sekolah. "Maksud kamu? Kamu
nggak sedang mengidap penyakit parah, kan?" tanya Lintang setengah khawatir.
"Nggak kok, Lintang. Ini cuma supaya bumi kita nggak cepat hancur, aku baca di koran prediksinya
30 tahun dari sekarang. Masih banyak yang mau aku lakukan, masih pengen keliling dunia. Duh,
pokoknya mati umur 47 masih terlalu muda!" Kania berseru histeris.
Lintang pun dibuat terdiam akan jawaban Kania yang polos itu. Selama ini ia tidak pernah notice
hal-hal tentang global warming meski media juga tengah gencar menyiarkan. Tapi, penjelesan
sederhana dari cewek yang selama ini ia kagumi ini ternyata mampu menyadarkannya tentang
seberapa gawat keadaan bumi sekarang.
30 tahun? Gue juga masih pengen hidup di umur 47, batin Lintang.
"Ka, kamu kan Ketua Osis. Kenapa nggak bikin program aja buat menyelamatkan bumi? Kalau
nggak salah kan Pemkot bikin Bike to Work, kita bikin aja Bike to School." Lintang mengusulkan.
Gosh, Lintang. Kenapa kita bisa berpikiran sama sih? batin Kania.
"Boleh. I've been thinking about that actually. Makasih ya usulnya," kata Kania sambil tersenyum
manis. Membuat jantung Lintang berdebar kencang saat melihatnya.
"Ka, aku denger kamu naik sepeda ke sekolah," todong Bonie, salah satu sahabat Kania.
Bel istirahat berdering, para siswa SMA Perwira Nasional berhamburan menuju kantin sekolah
yang mungil tapi punya tempat makan favorit siswa yang nyaman karena outdoor di area taman.
Tidak terkecuali Kania dan ketiga sahabatnya.
"Iya, emang kenapa?" tanya Kania sambil menyeruput es jeruk nipis kesukaannya kala matahari
sedang terik-teriknya seperti sekarang.
"Apa kata anak-anak entar, Ka. Masa Ketua Osis naik sepeda? Emang bokap udah nggak mau
nganter lagi?" tanya Prita yang selalu mementingkan image di depan orang lain.
"Kalo gue sih cuek aja, Ka. Bodo amat apa kata orang! Di Jakarta, orang yang nekat kayak elo
jarang banget. Terusin aja, Ka. Besok gue juga naik sepeda deh ke sekolah." Berbeda dengan
pendapat kedua temannya yang lain, Hera yang asli Jakarta malah mendukung Kania.
Kania pun menceritakan tentang artikel yang dibacanya kemarin. "Kalian nggak harus ngikutin
caraku kok, kalian boleh ke sekolah naik apa aja sesuka kalian. Tapi usahain jangan bikin polusi
semakin meningkat," lanjut Kania.
"Oh gitu ya, Ka. Kemarin aku juga baca artikel kayak gitu juga sih. Ngeri emang ngebayangin kalo
bumi kita hancur dalam waktu dekat," sahut Bonie.
"Berarti kita mati muda dong?! NO...!" seru Prita heboh. "Aku kan masih pengen jadi bintang film
di Hollywood. Kalo 30 tahun lagi bumi udah hancur, aku nggak bisa ke Hollywood dong!"
"Ya udah, besok lu berangkat ke sekolah naik bemo aja, Prit," kata Hera asal, membuahkan tawa
yang mendengarnya. Naik angkutan umum adalah hal yang paling nggak mungkin Prita lakukan.
Pikiran-pikiran parno mengenai bemo pun langsung menyergapnya. Prita pun memandang Kania,
minta pertolongan.
"Kalo nggak mau naik bemo ya naik sepeda aja, Prit," usul Kania yang malah membuahkan tawa
yang semakin keras dari teman-temannya. Membayangkan Prita mengayuh sepeda bakal sama
seperti membayangkan betapa lucunya seorang putri manja yang naik sepeda pancal ke sekolah.
"Atau kamu bisa bareng sama aku ke sekolah, Prit. Emang sih mobilku nggak senyaman Mercedez-

http://cafenovel.com/ 68
mu. Apalagi aku barengan sama dua adikku yang masih SD, tapi masih ada tempat kosong kalau
kamu mau nebeng. Gimana?" Bonie memberi usul yang kali ini masih agak masuk akal.
"Iya, Prit. Rumah kalian kan sekomplek, barengan aja kan lebih efisien," timpal Kania.
Prita pun mengiyakan. "Ini semua demi mimpiku ke Hollywood," kata Prita menerawang. Kania,
Bonie dan Hera pun tertawa terbahak melihat tingkah temannya ini.
***
Esok paginya di sekolah.
Ketika sedang antri untuk memarkirkan sepedanya, Kania dibarengi seorang cowok yang juga naik
sepeda pancal ke sekolah. Saat menoleh ke samping, ternyata cowok itu adalah Lintang.
"Lintang? Kamu...." tanya Kania takjub, tak menyangka Lintang yang tampak berwibawa ini akan
mengikuti jejaknya.
"Aku juga nggak mau mati muda. Still have lots of things to do," jawab Lintang sembari tersenyum.
Kania dan Lintang pun memarkirkan sepedanya bersebelahan, hal itu tanpa mereka sadari menarik
perhatian Hera yang tengah melintas usai memarkirkan sepedanya tepat di depan mereka.
"Duh, romatis bener! Sepedanya sampe diparkir sebelahan gitu," goda Hera sambil melenggang
pergi.
Kania pun jadi blushing mendengarnya, ia lihat Lintang juga tampak bingung menyembunyikan
wajahnya yang merona.
30 years is just too early for God's sake! ©

http://cafenovel.com/ 69
Love for Mother
Earth • Sara Nindya

Sudah seminggu ini SMA Perwira Nasional mengadakan aksi hijau di lingkungan sekolah. Banyak
juga yang mendukung, namun yang tampak cuek dan ogah-ogahan juga tidak kalah jumlahnya.
"Kurang kerjaan." Iitulah pendapat yang keluar dari mulut Wira, ia termasuk ke kelompok yang
terkesan tidak peduli dengan aksi go green di sekolahnya.
Ketika jam istirahat dimulai, Litha memilih berkeliling mengingatkan teman-temannya untuk
membuang bungkus makanan mereka ke tempat sampah yang sudah disediakan. Ia bahkan
menjelaskan untuk membuang sampah ke tong sesuai jenis sampahnya.
Wira sedang asyik mengunyah kripik kentangnya ketika melihat Litha sibuk wira-wiri
mengingatkan orang-orang.
"Kenapa sih dia? Sok peduli banget!" cibir Wira di hadapan teman-teman segengnya.
"Tau tuh! Katanya, dia yang ngusulin aksi hijau di sekolah kita," sahut Nando, teman Wira yang
juga apatis akan aksi cinta bumi di SMA Perwira Nasional ini.
"Oh ya?" tanya Wira sambil memandang sosok di seberangnya dengan sinis.
"Gue denger dia jomblo lho, Wir. Aneh ya? Padahal Litha cantik banget, kan?" sahut Nando, yang
kedengaran nggak nyambung.
"Maksud lo apa nih, Nan?" tanya Wira kesal. Ia merasa tersindir, karena sudah hampir lulus SMA
masih belum juga mendapatkan seseorang yang spesial di hatinya. Seseorang yang nggak cuma
cantik fisiknya tapi juga cantik hatinya. Padahal dia sudah dikenal sebagai cowok yang paling
banyak fansnya, sayangnya dari fans yang berjibun itu dia belum juga menemukan yang dicarinya.
Cewek-cewek yang mengejarnya kebanyakan hanya tertarik dengan harta dan tampilan fisiknya
saja. Ia ingin seseorang yang tidak melihat itu semua dari dirinya, ia ingin seseorang yang bisa
membuatnya lebih baik.
Wira nggak pernah mengutarakan kriteria cewek idamannya ini ke siapapun, termasuk Nando
sahabatnya sejak kelas satu. Somehow, ia merasa sulit mendapatkan cewek dengan kriteria itu
dengan reputasinya sekarang—tukang bikin onar, sering skip pelajaran, hobi nongkrong di kantin,

http://cafenovel.com/ 70
dan selalu skeptis terhadap semua kegiatan sekolah. Sehingga ia memutuskan untuk menyimpan
impiannya itu rapat-rapat, entah kapan harus dibuka. Mungkin bila sudah menemukan yang tepat.
Tanpa terasa bel masuk berbunyi. Wira dan teman-temannya memutuskan untuk kembali ke kelas.
"Yuk ah, balik. Pelajarannya Pak Rahmat nih. Gue nggak mau kena skorsing lagi," ajak Wira pada
Nando sambil meninggalkan bungkusan bekas kripik kentang dan kaleng Cola-nya di atas meja
kantin.
Ketika berbalik, ada yang menepuk bahunya dari belakang. Refleks ia berbalik kembali dan
menemukan sosok yang membuat mood-nya nggak enak akhir-akhir ini.
"Kalo udah selesai makan dan minum, bungkus plastik sama kalengnya tolong dibuang ke tong
sampah ya," ujar Litha ramah sembari menyodorkan bungkus kripik kentang dan kaleng Cola yang
tadi ditinggalkan begitu saja oleh Wira.
Merasa disulut amarahnya, Wira mengambil bungkus plastik dan kaleng di tangan Litha dengan
kasar lalu membuangnya ke tong sampah di dekat kantin.
"Puas?" kata Wira jutek sambil menatap Litha penuh amarah. Berikutnya ia pergi menyusul teman-
teman segengnya yang sudah lebih dulu masuk ke kelas.
Litha memiringkan kepalanya tidak mengerti. She's wondering, apa yang sudah diperbuatnya
sampai membuat Wira sedemikian marah kepadanya. Seingatnya, Wira memang terkenal sebagai
tukang pembuat onar meski anehnya teman-teman ceweknya banyak yang ngefans gara-gara
tampang Wira yang good looking. Namun, dia dan Wira tidak pernah bermasalah sebelumnya.
Sang mentari perlahan beranjak ke sisi lain bumi, membuat pemandangan menjadi bersemu jingga
dan meninggalkan kesan hangat. Usai main squash bersama ayahnya, Wira yang sedang menikmati
segarnya jus jeruk dingin dari kulkas menyambar majalah Bunda yang tergeletak di ruang tengah,
majalah yang memuat tentang pola hidup sehat, penyakit populer, info-info kesehatan sampai
kondisi bumi saat ini. Entah kenapa Wira tertarik untuk membaca sebuah artikel mengenai Global
Warming. Judul artikel itu "Bumi sedang Koma", Wira penasaran mengenai isinya. Menurutnya,
mana ada benda mati yang bisa mengalami koma. Jadi ia memutuskan untuk mencari tahu sendiri
apa yang dimaksud penulis dengan mencantumkan judul yang tidak rasional menurutnya itu.
***
Sementara itu, sore-sore begini sudah menjadi hobi Litha untuk menyirami tanaman-tanaman
kesayangannya di belakang rumahnya. Kebetulan ibunya juga hobi merawat tanaman, terutama
bunga Anggrek. Sehingga terkadang Litha pun berkebun berdua bersama ibunya, seperti sore hari
ini.
Sambil menyirami pot-pot euphorbia, Litha bercerita tentang kejadian di sekolah hari ini. Mengenai
temannya yang diperingatkan untuk membuang sampah malah marah-marah dan membuatnya
sedikit ketakutan karena tatapan matanya yang tajam.
"Apa kamu yakin nggak pernah membuat temen kamu itu marah sebelumnya?" tanya Ibu sambil
menyemprot air ke koleksi Anggreknya yang digantung-gantung di bawah net khusus green house.
"Duh, Ibu. Aku selalu berusaha menghindari konflik dari dia. Dia itu terkenal bad boy di sekolah,
Ibu kan tahu aku paling benci bikin masalah. Sebisa mungkin aku menghidari masalah," terang
Litha.
"Iya, Ibu ngerti. Tapi usul kamu tentang program go green itu, apa semua setuju? Kamu yakin tidak
ada yang merasa kontra dengan usul kamu itu, Lit? Biasanya, setelah sebuah pendapat muncul, pro
dan kontra pasti akan mengikuti berikutnya."
Litha pun seperti tersadarkan, selama ini ia mengira usulnya untuk mencanangkan program go
green di sekolah bakal mulus-mulus saja. Apalagi ia mendapat persetujuan langsung dari Kepala
Sekolah, tanpa mengajukan proposal lewat OSIS terlebih dahulu. Ia menganggap, ini kan program
untuk kebaikan, bukan program hura-hura yang cuma menghabiskan duit, pasti banyak yang
mendukungnya. Ibu seolah baru saja menunjukkan bahwa beberapa pihak, sekecil apapun

http://cafenovel.com/ 71
jumlahnya, pasti ada yang kontra.
"Tapi... Wira kan paling cuek sama kegiatan sekolah," gumam Litha sambil menerawang.
"Namanya Wira? Cowok ya, Lit?" tanya Ibu dengan raut excited. Litha mengangguk menjawab
pertanyaan ibu.
"Mungkin dia naksir kamu, Lit. Cowok kan suka usil kalo lagi naksir cewek," goda Ibu yang
langsung membuat pipi Litha bersemu kemerahan.
***
Esoknya di sekolah, Sang Ketua OSIS, Fahri, tengah sibuk menata pot tanaman yang kini
menghiasi teras depan ruang OSIS. Litha yang sedang melintas pun tertarik untuk menikmati
pemandangan baru di sekolahnya ini.
"Wah, pemandangan di sini jadi segar nih!" ujar Litha sambil membantu memindahkan pot-pot
kecil berisi bunga.
"Iya, saya juga meletakkannya hampir di teras semua ruangan. Masih baru sebagian sih, sisanya
datang nanti siang. Kamu mau membantu?" Fahri membetulkan letak kacamatanya yang agak
melorot usai membungkuk menata pot-pot tadi.
"Ya, tentu saja!" ujar Litha bersemangat. Ini kesempatan bisa memandang sang Ketua OSIS dari
dekat, diam-diam dia naksir teman sekelasnya ini.
Wira yang baru saja datang, melintas di depan ruang OSIS, di mana Fahri dan Litha sibuk
membawa pot-pot tanaman ke depan ruang guru yang ada di sebelah ruang OSIS.
Tak sengaja lengan Wira menyenggol bahu Litha sampai pot bunga yang ada di tangannya terjatuh
dan pecah.
"Oops... sori." Spontan Wira minta maaf.
Begitu mendapati Wira yang berdiri di sebelahnya, raut wajahnya langsung berubah menjadi keras.
"Mau kamu sebenarnya apa sih? Saya tau kamu nggak mendukung aksi go green di sekolah ini, tapi
nggak perlu bikin kacau dong!" semprot Litha.
Wira bingung harus menjawab apa, karena ia benar-benar tidak sengaja melakukannya. "Gue nggak
sengaja tau! Lo jangan asal tuduh ya!" seru Wira akhirnya dan menghambur pergi meninggalkan
Litha yang masih kesal akan perbuatannya barusan.
"Udah ngejatuhin, nggak bantuin pula!" Litha ngomel-ngomel sambil membersihkan pecahan pot.
"Sudah, nggak apa-apa, Litha,." kata Fahri sembari membantu Litha.
"Maaf ya, Fahri," balas Litha dengan nada tidak enak hati.
Fahri tersenyum memaklumi.
"Saya dengar pot-pot ini dananya dari kamu pribadi ya?" tanya Litha ketika pot yang pecah selesai
dibersihkan. Fahri agak terkejut mendengar pertanyaan Litha.
"Kamu dengar dari mana, Lit?" tanya Fahri tanpa menatap lawan bicaranya. Ia pura-pura merapikan
pot di samping kakinya.
"Ya... dari anak-anak. Tapi emang bener ya?" Litha menatap Fahri intense.
Fahri tidak langsung menjawab, ia memutuskan untuk meletakkan pot terakhirnya dulu. "Cuma
sedikit rasa terima kasih kepada bumi kok, Lit. Nggak ada apa-apanya dibandingkan kamu yang
udah berani mempelopori aksi go green ini. Kamu hebat banget!"
Pipi Litha bersemu merah dipuji begitu. Dalam hati ia membatin, Fahri nggak cuma cakep, pintar
dan populer, ia juga berhati emas. Kalo dibandingin sama Wira sih, bagaikan bumi dan langit. Yah
meskipun sama-sama cakep dan populer, tapi Fahri jelas punya nilai plus.
***
Hari ini akan diadakan Green Day, dimana semua warga sekolah diwajibkan untuk ikut kerja bakti
membersihkan sekolah dan menanam beberapa pohon di halaman sekolah yang sebelumnya

http://cafenovel.com/ 72
gersang.
Litha tampak lebih bersemangat hari ini, mata bulatnya berbinar-binar indah, memancarkan
kecantikannya. Ia tampak sibuk menanam tanaman hias di pot besar di teras depan kelasnya
bersama beberapa teman sekelasnya.
"Litha," tiba-tiba ada yang memanggilnya.
"Ya?" ujar Litha sembari berdiri dari posisi jongkoknya. Ketika melihat sosok yang berdiri di
depannya, her face's turning into a frown. Ia mengira yang memanggilnya tadi adalah Fahri. Namun
nyatanya yang ada di hadapannya saat ini adalah orang yang paling tidak ingin ia temui saat ini.
"Gue emang nggak bisa beli pot-pot tanaman buat menghias sekolah kayak Fahri," ujar Wira
dengan raut serius.
Litha yang tadinya pengen langsung nyemprot, berpikir dua kali untuk benar-benar melakukannya.
"Tapi gue punya ini buat elo, Lit. Maafin gue ya?" Wira menyodorkan sebuah pot bunga kepada
Litha. "Ini sebagai ganti pot yang udah gue pecahin kemarin."
Litha menerima pot bunga itu ragu, ia masih tidak percaya Wira berubah 180 derajat begini.
"Well, thanks." kata Litha sambil tersenyum, menimbulkan gejolak aneh di perut lawan bicaranya.
"Tapi ini bukan buat saya, ini buat bumi. Kamu cinta bumi kan?" tanya Litha di luar dugaan. Wira
sempat nggak ngeh dengan maksud perkataan Litha, namun kemudian ia tersenyum penuh arti.
"Iya, gue cinta bumi," kata Wira akhirnya, di mana ada elo di dalamnya.
Tiba-tiba Litha menarik tangan Wira untuk mengikutinya mengambil pot-pot berukuran agak besar
di suatu sudut di depan kelasnya. Ia minta Wira membantunya mengangkat pot-pot itu bersamanya,
karena ia tak kuat mengangkatnya sendirian. Wira pun menyanggupi permintaan Litha.
Somehow Wira merasa inilah saatnya membuka kembali impiannya yang sudah ia pendam rapat-
rapat itu.
I think I found her, batin Wira. ©

http://cafenovel.com/ 73
Sara Nindya | Berdomisili di Surabaya, Jawa Timur, penulis yang terbilang sangat
belia ini telah mampu menghasilkan karya monumental bertema 'Go Green'. Dua karyanya, 30 Years, It's Just Too Early dan Love
for Mother Earth mampu mewakili suara dunia dalam masalah krisis pemanasan global atau Global Warming. Tema yang
diusungnya sangat berkarakter, hidup, dan penuh permenungan yang dirangkai dalam alur sederhana dan natural remaja. Penulis
berparas ayu yang kerap memakai nama Sara Rocks ini memiliki hobi membaca novel sedari kecil. Dan selayaknya remaja putri
lainnya, ia gemar mendengarkan musik, JJS, menonton film, dan browsing internet serta aktif sebagai salah satu member
Friendster.com. Ia kini tercatat sebagai salah satu anggota CafeNovel Sastra Populer di Friendster.com.

http://cafenovel.com/ 74

You might also like