You are on page 1of 11

MEMAHAMI BAHASA FILM

Analisis Komparasi Film Talentime (Yasmin Ahmad, 2009) dan Still Life (Jia Zhang Ke, 2006)

A u l i a D w i N a s t i t i | 0 9 0 6 5 6 1 4 5 2 -- T a k e H o m e M a t a K u l i a h K a j I a n F i l m

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2011

PENGANTAR
Dalam perspektif kajian media, film dipandang sebagai sebuah teks media yang tentu memiliki bahasa dan makna yang hendak disampaikan kepada khalayaknya . Sebagai sebuah teks media, film tentunya ada untuk tak sekedar ditonton, tetapi juga dibaca. Membaca film atau karya sinematografis lainnya tentu menuntut kemampuan untuk memahami bahasa apa yang digunakan dalam film tersebut. Bahasa mengandung kode dan konvensi. Kode adalah simbol yang digunakan untuk mengungkapkan gagasan atau makna, dan konvensi adalah cara kode itu digunakan dan dipahami sebagai makna bersama. Sebagai sebuah teks media, film tentu juga mengandung suatu bahasa yang biasa disebut bahasa sinematik Secara general, bahasa sinematik dipahami serangkaian kode audio-visual yang digunakan dalam membangun makna, dan mencakup elemen literal, visual, suara, sinematografis, dan editing. Bahasa sinematik merupakan elemen yang kuat tetapi hampir tak terlihat dalam mengantarkan makna cerita. Salah satu aspek yang membuat bahasa film menjadi tak terlihat adalah karena pergerakan gambar visual film itu sendiri (Barsam dan Monahan, 2010). yang relatif cepat, dan ditambah dengan efek suara, membuat penonton tidak dapat membaca bahasa film secara sadar. Namun, di situlah letak kekuatan semantik bahasa film. Melalui pergerakan audio-visual, pengaruh bahasa filmditerima secara tidak sadar. Oleh karena itu, Metz (dalam Penley, 1975) berkata bahwa sumber kekuatan bahasa film lebih luas dari konvensi masyarakat. Mengkaji film tidak sekedar berarti memahami cerita, mempertimbangkan konteks sosiokultural, atau menganalisis implikasi dari sebuah film, tetapi diawali dari kemampuan membaca film tersebut yang menuntut pemahaman atas bahasa film sebagai sebuah prasyarat. Melalui proses identifikasi elemen-elemen bahasa yang disampaikan dalam sebuah film, kita dapat memahami secara utuh apa yang sebenarnya hendak disampaikan film tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan agar kita dapat memahami bahasa di setiap film ialah dengan membandingkan bahasa sinematik dari dua film yang berbeda. Analisis komparasi bahasa dalam film yang berbeda dapat menuntun kita untuk mengerti penggunaan elemen-elemen bahasa sinematik yang berbeda untuk mengkontsruksi pemaknaan yang berbeda di benak penontonnya.

KEDUA FILM: TALENTIME DAN STILL LIFE


Dalam kajian kali ini, film yang diangkat sebagai objek pembahasan adalah film Talentime (Yasmin Ahmad, 2009) dan film Still Life (Jia Zhang Ke, 2006). Film Talentime Film Talentime bercerita tentang serangkaian kisah tentang persinggungan antara orangorang yang terlibat dalam rangkaian acara ajang pencarian bakat di sebuah sekolah menengah atas di Malaysia. Orang-orang itu berlatar dari tiga latar kultur berbeda: Melayu, Cina, dan India, atau tiga kultur besar yang menyusun masyarakat Malaysia. Inti narasi berkutat pada para finalis ajang Talentime ini. Ada Melur, gadis keturunan MelayuInggris Muslim yang tumbuh dalam keluarga yang dekat, akrab, dan terbuka. Melur yang berbakat dalam piano dan sastra, jatuh cinta kepada Mahesh, seorang India Tamil beragama Hindhu yang bertugas menjadi pengantar Melur dalam acara Talentime. Cinta mereka terjalin dalam kesunyian karena Mahesh seorang bisu-tuli. Tapi, selain Mahesh, ada pula yang menyukai Melur dari jauh. Hafizh, pemuda Melayu Muslim taat, seorang gitaris dan penyanyi berbakat yang sebagian hidupnya diabdikan untuk menjaga ibunya yang sakit tumor. Di sisi mereka semua, diceritakan tentang Kahoe, keturunan Cina, seorang yang perfeksionis dan tak terima kalah dari Hafizh karena tumbuh dalam didikan ketat ayahnya. Dalam film ini, Yasmin Ahmad tampaknya berupaya menggambarkan rupa-rupa pengalaman yang mungkin terjadi ketika dua budaya berinteraksi. Ada cinta yang mungkin tumbuh, kekerabatan yang terjalin, ikatan keluarga yang tak bisa dilepaskan, tetapi ada juga prasangka dan stereotipe yang sulit ditinggalkan. Oleh karena itulah, ia berusaha memotret ceritanya dalam bingkai Malaysia kecil, Malaysia yang multikultur. Film Still Life Still Life adalah film karya Jia Zhang Ke, seorang sutradara yang dibesarkan dalam genre dokumenter yang secara mengejutkan memperoleh penghargaan tertinggi Golden Lion dalam Venice Film Festival 2006.

Film ini direkonstruksi dari sinema dokumenter yang berlatar belakang Kota Fengjie di hulu Sungai Yangtse yang kini tenggelam akibat sebuah proyek raksasa: pembangunan Bendungan Tiga Ngarai. Film ini berkisah tentang pencarian dan apa yang ditinggalkan oleh sebuah kota yang hampir musnah. Terdapat dua cerita paralel. Han Shanming, seorang pekerja tambang, yang datang ke ke Fengjie dari Shanxi untuk mencari istri dan anaknya yang telah berpisah selama 16 tahun, dan Shen Hong, seorang perawat, yang pergi dari Shanxi ke Fengjie untuk mencari suaminya yang sudah dua tahun tak pulang. Tidak seperti film yang mengusung karakter naratif, Still Life menggambarkan bahwa pertemuan pada apa yang dicari tidaklah menjadi ujung dari pencarian. Lebih dari itu, film ini tidak ingin bercerita, tetapi lebih kepada merepresentasikan suara-suara mereka yang disingkirkan di balik sebuah proyek yang ambisius. Film ini juga menyiratkan perenungan Jia akan ketidakadilan yang menimpa penduduk kota, yang digambarkan bahwa seolah-olah tinggal di Kota Fengjie adalah kesalahan mereka. Meskipun bernada kritik, Still Life tidak berisi tentang ideologi politis yang menentang pemerintah. Melalui filmnya, Jia tidak ingin memberontak, tetapi lebih kepada meninggalkan jejak dan memoar bagi rakyat China ketika Bendungan Tiga Ngarai selesai dibangun: bahwa ada sebuah kota yang tenggelam sebagai harga yang harus dibayar atas tegaknya bendungan raksasa terbersar di dunia itu. Signifikansi Meskipun sama-sama menyiratkan sebuah kritik sosial, kedua film tersebut memiliki genre yang berbeda, dibuat beradasarkan konteks sosial yang berbeda, berbicara tentang subjek yang berlainan pula. Oleh karena itulah, menganalisis dan membandingkan penggunaan bahasa dalam kedua film tersebut, akan sangat membantu kita untuk dapat membaca film sehingga kita memperoleh makna film tersebut lebih dalam dan sesuai dengan pesan yang hendak diucapkan oleh sang kreator. Pada akhirnya, seperti yang dituliskan oleh Barsam dan Monahan (2010), membaca film akan membawa kita pada suatu transisi yang berawal dari menonton dan menikmati film secara natural (natural enjoyment) menjadi pemahaman kritis (critical understanding) terhadap bahasa, konten, dan makna sebuah film.

ANALISIS PERBANDINGAN BAHASA FILM


Mise-en-Scne Terminologi Mise-en-Scne berasal dari bahasa Prancis yang berarti put it into scene atau penempatan dalam scene. Dalam karya sinema, Mise-en-Scne dipahami sebagai segala elemen visual yang tampak di layar. Mise-en-Scne meliputi setting tempat, properti, kostum, make-up, ekspresi figur dan gerakan, pencahayaan dan warna, serta komposisi (Bordwell dan Thompson, 2008). Mise-en-Scne disebut juga pengadeganan atau staging, yaitu konsep sutradara terhadap segala yang muncul dalam frame(Barsam dan Monaham, 2010). Dalam film Talentime, sutradara Yasmin Ahmad berupaya membangun setting Malaysia yang kental dan realistis secara nonverbal. Latar Malaysia tidak pernah terkatakan oleh tokoh, tetapi digambarkan melalui percakapan dalam bahasa Melayu, Inggris, Cina, dan Tamil; kostum baju kurung yang dikenakan; juga make-up natural yang menunjukkan karakter asli wajah mereka yang berlatar Melayu, Cina, dan India. Latar waktu film tersebut sekitar awal tahun 2000-an, digambarkan dengan teknologi, kondisi sosial, arsitektur rumah dan sekolah, dan kendaraan yang digunakan para tokoh. Sedangkan set suasana kehidupan sehari-hari dihasilkan oleh adegan makan bersama keluarga, kegiatan belajar dan upacara di sekolah, persiapan pernikahan, pengobatan di rumah sakit, dan pentas pertunjukan bakat. Pengaturan komposisi dalam film Talentime dibuat serba seimbang dan proporsional, seperti potongan gambar pohon, pintu, jendela, aula besar, ventilasi, dan jalan raya. Hampir semua scene selalu menempatkan tokoh di titik sentral layar dengan fokus kamera yang jelas untuk membuat perhatian penonton tertuju pada tokoh yang ditampilkan. Fokus ini dibuat melalui cahaya gelap-terang. Pencahayaan yang berbeda ditampilkan saat adegan Hafizh sholat paska ditinggalkan ibunya. Di sini cahaya membentuk siluet Hafizh, menimbulkan perasaan haru dan syahdu. Pewarnaan tampilan layar juga dibuat cenderung cerah dan natural dengan sebagian besar terdiri dari warna biru, hijau, putih, dan coklat untuk menampilkan kesederhanaan tokoh dan kedekatan dengan realitas sehari-hari. Meskipun demikian, terdapat scene di mana adegan tidak realisits tapi lebih imajinatif, yaitu dengan memunculkan banyak anak-anak seperti malaikat kecil ketika Melur dan Mahesh sedang duduk berdua di tengah taman untuk menggambarkan indahnya perasaan cinta mereka.

Berbeda dengan Talentime yang menekankan pada tokoh, mise-en-scene film Still Life justru lebih mengajak penonton untuk memperhatikan latar. Latar tempat disampaikan secara verbal melalui adegan pengumuman bahwa kapal telah tiba di Kota Fengjie. Gambar juga secara intens menekankan pada Bendungan Tiga Ngarai (Three Gorges Dam) yang menjadi set utama dalam film ini seperti bendungan secara keseluruhan, reruntuhan bangunan, dan kapal yang menyusuri sungai. Adegan saat Shanming yang diantar seorang pemuda (tukang ojek) mendapati bahwa alamat yang ia cari hanya tinggal sepetak tanah yang mengambang di atas permukaan air juga reruntuhan bangunan di sisi sungai dan menunjukkan latar waktu yaitu saat Kota Fengjie belum sepenuhnya tenggelam (dalam proses pembangunan dam). Penempatan adegan dalam film ini membuat penonton lebih terfokus pada kegiatan si tokoh dibanding identitasnya. Dari awal ditampilkan seseorang yang datang ke Fengjie untuk mencari, tetapi identitasnya baru terungkap saat Shanming memperkenalkan diri pada Brother Mark. Begitu juga dengan tokoh Shen Hong. Kostum tokoh Shanming yang berupa setelan singlet putih dan celana hitam dan Shen Hong yang memakai kemeja kuning yang tidak pernah berganti, ditambah tanpa adanya sentuhan make-up membuat kedua tokoh tersebut tampak sebagai orang yang berada di bawah garis kemiskinan dan mengalami tekanan hidup, tetapi gigih dalam mewujudkan tekadnya. Dibanding Talentime, komposisi dalam Still Life lebih acak dan tidak selalu proporsional. Ada scene di mana Shanming tampak sebagai sesosok manusia kerdil dibandingkan dengan latar sungai raksasa dan reruntuhan bangunan yang besar, tetapi ada pula adegan di mana Shanming terkesan powerful ketika berdiri di pinggir sungai dan memandang jauh ke ngarai dan ia menjadi titik sentral. Pencahayaan dalam film ini juga lebih terang dan tidak banyak bermain efek gelap-terang sehingga suasana yang ditimbulkan cenderung lebih datar. Film ini juga menggambarkan realita secara lebih abstrak karena banyak elemen-elemen imajinatif yang ditampilkan. Misalnya untuk menggabungkan kedua cerita paralel, terdapat adegan saat Shanming berdiri di pinggir sungai dan dari ujung kiri atas tampak piring terbang yang terus bergerak ke kanan, membesar, dan meninggalkan Shanming keluar dari frame, dan selanjutnya tiba kepada Shen Hong. Selain itu ada ada pula bangunan yang tibatiba terbang ke angkasa seperti roket dan scene final yang menampilkan adegan Shanming yang melihat ada seorang yang berjalan menyusuri tali yang terbentang di udara.

Cinematography Jika Mise-en-scne berkaitan dengan elemen apa yang ditampilkan dalam layar, maka sinematografi lebih kepada bagaimana gambar tersebut direkam dalam kamera. Sinematografi mencakup tiga aspek kualitas gambar: (1) aspek fotografis, yaitu tone warna, komposisi, fokus, dan depth, (2) pembingkaian gambar, yaitu angle, perspektif, dan proximity (3) durasi perekaman, termasuk perpindahan kamera (Bordwell dan Thompson, 2008). Dalam film Talentime sinematografi ditekankan pada permainan cahaya dengan mengatur gelap-terang dari setiap shot. Karena fokus film ini adalah pada aktor, maka cahaya dibuat kontras dengan menonjolkan terang pada aktor dan menggelapkan latar di sekitar. Dari segi framing, film ini banyak mengambil gambar dari jarak medium dan dekat (medium close-up) dengan perspektif mata manusia sehingga fokus gambar ditempatkan di tengah kamera secara sejajar dan proporsional. Hal ini untuk memberi efek realistis dan mendukung struktur narasi karena penonton akan lebih memperhatikan pengadeganan si tokoh. Sedangkan untuk durasi shot, elemen-elemen gambar dalam film ini direkam dalam durasi yang cukup lama di setiap shot, terutama shot yang menampilkan pengadeganan aktor. Film Still Life memiliki tata sinematografis yang cukup jauh berbeda dengan Talentime. Dari awal sampai akhir, film ini hanya menggunakan single-shot dengan jarak yang cukup panjang (long-shot) dan pergerakan kamera yang relatif perlahan. Hal ini terlihat dari pergerakan satu kamera yang terus mengikuti tokoh Shanming maupun Shenhong dari jarak cukup jauh (single long shot) dan sebagian besar diambil dari sisi samping. Apabila tokoh berjalan, karena hanya diam dan mengambil gambar tokoh dari jauh dan objek atau tokoh yang terlihat mendekati kamera dan selanjutnya kamera akan mengambil gambar dari sisi belakang. Pada saat opening, pergerakan kamera tetap single shot, tetapi dari jarak close up merekam wajah-wajah penumpang dengan fokus yang bergeser antara jelas dan blur, sampai akhirnya berhenti untuk merekam tokoh Shanming. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan elemen naratif film ini (Johnston, 2007). Gambar banyak diambil dengan perspektif burung (dari atas) dengan komposisi yang terfokus pada latar yang terkesan kokoh dan agung, seperti reruntuhan bangunan, jembatan baja dan beton, aliran sungai di tengah ngarai, dan keseluruhan kota. Angle ini direkam dengan durasi yang relatif lebih lama dan dipadukan dengan pergerakan tokoh membuat tokoh terkesan kerdil dan terhimpit.

Editing Secara konseptual, editing didefinisikan Barsam dan Monahan (2010) sebagai proses kombinasi dan koordinasi potongan-potongan shot atau pengambilan adegan menjadi serangkaian cerita film yang menyeluruh. Proses penyuntingan sebuah karya sinematografis dilakukan dalam dua tahap, yaitu penyusunan shot serta proses mixing dengan unsur audio. Dalam dunia perfilman, dikenal dua pendekatan penyuntingan yang berbeda: kontinuitas dan diskontinuitas (Barsam & Monahan, 2010). Film Talentime mengusung pendekatan kontinuitas di dalam plot agar narasi setiap plot berjalan mengalir serealistis mungkin. Meskipun demikian, karena terdiri dari beberapa plot yang dibawakan oleh berbagai aktor yang berlainan, perpindahan alur dalam keseluruhan cerita film ini digabungkan dengan penyuntingan diskontinu sehingga perbedaan plot terlihat mencolok dan penonton mengalami plot cerita yang melompat-lompat meskipun secara keseluruhan adalah alur cerita adalah alur maju dengan struktur narasi lima tahap. Relasi antar shot dalam film Talentime lebih menekankan pada rhytmic relations dan temporal relations untuk mengatur kekuatan cerita melalui proporsi setiap shot. Misalnya hubungan shot ketika menamplikan plot Melur, berganti pada Hafizh, dan Mahesh, atau Kahoe. Durasi cerita yang utama ditempatkan pada kisah Melur dan Mahesh serta Hafizh. Sedangkan graphical relations terlihat dari konsistensi film ini menyusun komposisi warna, penataan cahaya gelap-terang, dan fokus, serta pembingkaian (framing) gambar. Di sisi lain, film Still Life menampilkan pola editing campuran antara kontinu dan diskontinu (continuity and discontinuity editing). Kontinuitas editing digunakan untuk menggambarkan perjalanan Shanming dan Shenhong. Relasi yang paling membuat film ini berkelanjutan adalah graphical dan spatial relation dengan berpegang pada latar tempat yang semuanya berada di Kota Fengjie dan cerita Shenhong yang habis seiring dia pergi meninggalkan Kota Fengjie. Secara ritmis dan temporal, rangkaian shot ini justru tak saling berhubungan, seperti misalnya cerita yang dibagi menjadi empat babak, yaitu tobacco, liquor, tea, dan toffee, di mana hanya satu babak yang menceritakan Shenhong (tea). Karena direkam dengan singleshot, maka continuity editing film ini tidak banyak memakai teknik cutting. Kontinuitas editing juga dihasilkan dari adanya elemen-elemen science-fiction seperti piring terbang yang menghubungkan perpindahan plot Shanming ke Shen Hong.

.Sound Dalam film, sound dipahamai sebagai segala bentuk elemen audio yang digunakan dalam film untuk menyampaikan sebuah makna yang terkait dengan film tersebut (Bordwell dan Thompson, 2008). Oleh karena itulah, sound dipandang sebagai salah satu elemen bahasa sinematik. Berdasarkan sumbernya, sound dalam film dibagi menjadi dua jenis: diegetic atau yang berasal dari apa yang ditampilkan dalam film dan non-diegetic atau sound yang berasal dari luar tampilan film tersebut. Sedangkan berdasarkan tipe suaranya, sound dikategorikan menjadi empat: vocal, environmental, music, dan silence (Barsam dan Monaham, 2010). Film Talentime merupakan film yang cukup banyak memakai sound untuk memproduksi makna dalam film karena sound pun termasuk salah satu elemen kuat yang membentuk narasi dan menghasilkan suasana baik dari segi emosional maupun psikologis. Sound juga menjadi bagian utama dari kisah ajang pencarian bakat yang menampilkan berbagai jenis musik. Film ini menggunakan diegetic maupun nondiegetic sound. Suara diegetic misalnya lagu-lagu yang dimainkan oleh Hafizh saat audisi dan saat pertunjukan Talentime yang juga mengiringi adegan-adegan lain yang ditampilkan yaitu adegan keluarga Melur, adegan yang memperlihatkan ibunya yang sakit, serta adegan di mana Hafizh mendapati ibunya meninggal. Selain terdapat juga musik iringan piano yang dimainkan Melur yang membangun suasana perasaannnya pada Mahesh. Sedangkan non-diegetic sound berupa melodi-melodi yang terdengar saat opening yang memperlihatkan potongan-potongan gambar latar sekolah. Ada pula suatu adegan yang menampilkan seorang penari India di atas panggung Talentime dengan iringan lagu India dengan melodi sendu untuk membangun suasana yang menandakan puncak cerita ketika Mahesh dilarang berhubungan dengan Menur dan ketika detik-detik menjelang kepergian ibu Hafizh. Dalam film Still Life, suara tak banyak digunakan untuk membangun efek emosional maupun psikologis seperti film Talentime. Peran sound dalam film Still Life adalah sebagai bagian dari cerita atau diegeitc sound seperti lagu lama yang disenandungkan oleh seorang anak kecil ketika melihat keluar jendela apartemen tua tempat Shanming tinggal di Fengjie atau lagu yang dinyanyikan oleh penyayi di pentas hiburan para pekerja demolisi. Selebihnya, sound dalam film ini cenderung merupakan environmental sound atau suara-suara yang ebrasal dari lingkungan, seperti deru angin, dedaunan, maupun suara kapal yang menyusuri sungai.

Tabel Perbandingan Bahasa Film Talentime dan Still Life No. Bahasa Film 1. Mise-en-Scne Setting Ditunjukkan melalui bahasa percapakan, kostum, properti, bangunan, dan fisik aktor. Costume Lighting & Color Menunjukkan latar tempat dan konteks budaya Permainan efek gelap-terang untuk memfokuskan perhatian pada tokoh Composition 2. Cinematography Shot-size Multiple shot, Medium close-up shot karena lebih menyorot pada tokoh Camera angle Perspektif mata manusia, interaksi tokoh digambarkan dari dua arah (dari depan) 3. Editing Continuity Cross-cut, 180 derajat, eye-line Master shot (krn single shot), match. Menekankan rhytmic dan Hubungan temporal relations Discontinuity 4. Sound Sound Effect Melodi dan instrumen musik. menghasilkan efek emosional Music Instrumental maupun vocal. Bagian dari cerita dan mengiringi adegan Degetic/Nondegetic Baik diegetic maupun nondiegetic Environmental sound untuk benar-benar realistis Vocal sebagai bagian dari pengadeganan (tidak untuk mengiringi adegan lain) Hanya diegetic Berfungsi mendukung narasi dan menampilkan kesan yang Peripndahan plot dan dengan montage, graphic match. shot Perpindahan terletak shot pada dengan graphical dan spatial relations waktu dan ritme diskontinu Single shot, Banyak long-shot dan lebih banyak menggambarkan latar Perspektif burung dan katak untuk menunjukkan latar. Tokoh digambarkan dari satu arah samping saja Proporsional dan fokus pada tokoh Menunjukkan kondisi sosial setiap tokoh Pencahayaan cenderung natural dan realis meskipun terdapat elemn-elemn abstrak Abstrak dan fokus pada latar Ditunjukkan melalui dialog verbal dan gambar latar. Talentime Still Life

DAFTAR REFERENSI
Barsam, Richard dan Monahan, David. (2010). Looking at Movies: Introduction to Film. New York: WW Norton & Company. Brodwell, David dan Thompson, Kristin. (2008). Film Art: An Introduction. New York: McGraw Hill. Johnston, Ian. (2007). Looking at Jia Zhang Kes Recent Masterpiece, diunduh dari http://www.brightlightsfilm.com/58/58stilllife.php pada 2 November 2011 Pukul 12.43 Nowell-Smith, Geoffrey (Ed.). (1996). The Oxforld History of World Cinema. New York: Oxford University Press, Inc. Penley, Constances. (1975). Film Language by Christian Metz Semiologys Radical Possibilities dalam Jump Cut: A Review of Contemporary Media Vol. 5, 2004, pp. 18-19.

You might also like