You are on page 1of 38

Definisi Thoharoh Thaharah atau bersuci adalah membersihkan diri dari hadats, kotoran, dan najis dengan cara

a yang telah ditentukan, Firman Allah swt. Dalam surat Al-Baqarah:222

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. secara etimologi (bahasa) : kebersihan, jaduh dari kotoran yang konkrit maupun yang abstrak. Secara terminologi (istilah) : hilangnya hadats dan najis. Secara bahasa : membersihkan diri dari najis (kotoran) dan hadats. Atau mensucikan diri dari segala macam sifat/ perangai/ akhlak/ perilaku yang kotor/ tidak terpuji. Dalam istilah fiqh : hilangnya perkara yang menghalangi sahnya shalat. Dan perkara yang menghalangi sahnya shalat itu adalah hadats atau najis. Sedangkan menghilangkan hadats atau najis itu dengan air atau debu.

Macam-macam Thoharoh 1. Thoharoh Bathiniyah Manawiyah (pensucian jiwa). Yaitu mensucikan diri, hati dan jiwa dari noda syirik, syak (keraguan), subhat (racun kebohongan) dan bentuk-bentuk perbuatan maksiat lainnya. Cara caranya dengan: Mengikhlaskan ibadah hanya kepada Alloh semata, dengan memfokuskan sasaran ibadah hanya kepada-Nya saja. Mutabaah (mengikuti) Rosululloh saw dalam beramal, berperilaku, bermuamalah dan berakhlak, bahkan dalam segala hal yang kita anggap remeh sekalipun. Membersihkan diri dari pengaruh dan noda hitam perbuatan maksiat, dosa-dosa dan segala bentuk penyimpangan dalam syariat, dengan taubat nashuhah (sungguh-sungguh) tujuan dan

2. Thoharoh Dzohiroh Hissiyah Yaitu membersihkan diri dari khobats (kotoran luar) dan hadats (dari dalam). Khobats adalah najis (kotoran) yang dapat dihilangkan dengan air seperti kotoran yang melekat dibaju orang sholat, dibadan dan ditempat sholatnya. Sedangkan hadats adalah thoharoh dari kotoran yang khusus dan tertentu cara menghilangkannya yaitu dengan wudhu, mandi atau tayamum. http://abdullah-syauqi.cybermq.com/post/detail/7684/thoharoh Thoharoh terbagi dalam 2 bagian : 1. Suci dari hadats ialah bersuci dari hadats kecil yang dilakukan dengan wudhu atau tayamum, dan bersuci dari hadats besar yang dilakukan dengan mandi. 2. Suci dari najis ialah membersihkan badan, pakaian dan tempat dengan menghilangkan najis dengan air.

Dasar Hukum Thoharoh Dalil Normatif Thaharah Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Alquran dan sunah. Allah Taala berfirman (yang artinya), Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian, dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki. (Al-Maidah: 6). Allah juga berfirman, Dan, pakaianmu bersihkanlah. (Al-Mudatstsir: 4). Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (Al-Baqarah: 222). Rasulullah bersabda (yang artinya), Kunci salat adalah bersuci. Dan sabdanya, Salat tanpa wudu tidak diterima. (HR Muslim). Rasulullah saw. Bersabda, Kesucian adalah setengah iman. (HR Muslim).

Tata Cara Thoharoh A. Dengan menggunakan air Ada empat (4) jenis air yaitu: 1) Air Mutlaq. Yaitu air yang secara dzat / dzohirnya suci dan dapat dipergunakan untuk bersuci (suci mensucikan). Diantaranya adalah: a) Air hujan, salju atau es (hujan es), embun, mata air dan air sungai. Alloh swt berfirman: Artinya:"Dan Alloh menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengan hujan itu". (QS. Al Anfaal:11) Dari itu Alloh menurunkan air hujan dari langit kepada kalian agar dia sucikan kalian dengan air hujan itu dari hadats dan khobats. (lihat Taisir Al-Aziz Ar-Rohman: 278). Abu Huroiroh ra berkata tentang doa iftitah Rosululloh saw: . "Ya Alloh jauhkanlah antara aku dengan kesalahan-kesalahan sebagaimana engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Alloh sucikanlah aku dari segala kesalahan sebagaimana disucikannya baju putih dari kotoran. Ya Alloh cucilah kesalahanku dengan air, air salju dan air embun". (HR. Bukhori: 1/181 dan Muslim: 1/419) b) Air Laut

Abu Huroiroh ra berkata: Seorang laki-laki bertanya kepada Rosululloh saw seraya berkata: ya Rosululloh, saya sedang brlayar dan hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu memakai air minum itu, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Rosululloh saw

bersabda: laut itu suci airnya dan halal bangkainya". (HR. At-Tirmidzi: 63, ia berkata ini hadits hasan shohih) c) Air zamzam.

Ali ra berkata:" sesungguhnya Rosululloh saw minta satu ketel air zamzam, lalu beliau meminumnya dan berwudhu dengannya". (lihat Irwaul Gholil: 13, shohih) d) Air yang tercampur, karena telah lama tergenang pada suatu tempat atau karena

bercampur dengan benda yang dapat merubah dzat air tersebut seperti air yang dipeuhi oleh lumut atau ganggang atau bercampur dengan daun-daun (yang membusuk). 2) Air Mustmal. Yaitu air sisa wudhu atau mandi. Air jenis ini hukumnya sama dengan hukum air mutlak yaitu suci mensucikan. : : " ." Sebagian isteri-isteri Nabi saw mandi disatu bak. Kemudian Nabi Muhammad saw hendak berwudhu dari air tersebut. Maka isterinya berkata:"Ya Rosulalloh saya tadi junub. Beliau menjawab: sesungguhnya air tidak menjadi junub". (HR. At-Tirmidzi: 65, ia berkata: ini hadits hasan shohih) Hadits ini dijadikan dalil atas sucinya air mustamal. Dan air tidak menjadi junub dengan mandinya orang junub dari air dikolam tersebut. 3) Air yang bercampur dengan sesuatu yang suci Seperti bercampur dengan sabun, minyak zaitun, zafaron, tepung dan sesuatu lainnya yang dapat merubah dzat air. Hukum air ini adalah suci selama masih dianggap sebagai air murni.

Dan apabila secara adat sudah tidak dapat dikatakan sebagai air maka ia pun tetap suci, namun tidak dapat digunakan untuk bersuci. Ummu Athiyah berkata: : "Nabi saw memasuki kami saat kami memandikan anak putrinya. Beliau bersabda: mandikanlah tiga kali, lima kali atau lebih jika dipandang perlu dengan campuran air dan daun bidara.". (HR. Bukhori : 1253 dan Muslim: 939) 4) Air yang bercampur dengan sesuatu yang najis. Hal ini masih mempunyai dua kemungkinan, yaitu: a. Jika najis tersebut merubah dzat (rasa, warna dan bau) air, maka airnya tidak dapat

digunaka untuk thoharoh. b. Jika najis tersebut tidak merubah salah satu dari dzat air, sehingga secara adat pun

air tersebut masih dianggap sebagai air, maka hukumnya suci mensucikan. B. Tanah yang suci, atau pasir, atau batu, atau tanah berair. Rasulullah SAW bersabda, Dijadikan bumi itu sebagai masjid dan suci bagiku. (HR Ahmad). Tanah dijadikan sebagai alat thoharoh jika tidak ada air, atau tidak bisa menggunakan air karena sakit, dank arena sebab lain. Allah berfirman, kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang suci. (An-Nisa: 43). Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya tanah yang baik (bersih) adalah alat bersuci seorang muslim, kendati ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Jika ia mendapatkan air, maka hendaklah ia menyentuhkannya ke kulitnya. (HR Tirmizi, dan ia menghasankannya).

Rasulullah SAW mengizinkan Amr bin Ash r.a. bertayammum dari jinabat pada malam yang sangat dingin, karena ia menghawatirkan keselamatan dirinya jika ia mandi dengan air yang dingin. (HR Bukhari).

Adab Membuang Hajat 1. Berdoa Sebelum Masuk WC WC dan yang semisalnya merupakan salah satu tempat yang dihuni oleh setan. Maka sepantasnya seorang hamba meminta perlindungan kepada Allah subhanahu wataala dari kejelekan makhluk tersebut. Oleh karena itu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengajarkan doa ketika akan masuk WC: (Dengan menyebut nama Allah) Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan setan laki-laki dan setan perempuan. (HR. Al-Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375. Adapun tambahan basmalah diawal hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani) Doa ini dapat pula dibaca dengan lafazh: (Dengan menyebut nama Allah) Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari segala bentuk kejahatan dan para pelakunya. (Lihat Fathul Bari dan Syarhu Shahih Muslim pada penjelasan hadits diatas)

2. Mendahulukan Kaki Kiri Ketika Masuk WC Dan Mendahulukan Kaki Kanan Ketika Keluar Dalam masalah ini tidak terdapat hadits shahih yang secara khusus menyebutkan disukainya mendahulukan kaki kiri ketika hendak masakuk WC. Hanya saja terdapat hadits Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata: Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menyukai mendahulukan yang kanan pada setiap perkara yang baik. (HR. Muslim) Oleh karena itu, beberapa ulama seperti Al-Imam An-Nawawi dalam kitab beliau, Syarhu Shahih Muslim, dan juga Al-Imam Ibnu Daqiqil Id menyebutkan disukainya seseorang yang masuk WC dengan mendahulukan kaki kiri dan ketika keluar dengan mendahulukan kaki kanan. 3. Tidak Membawa Sesuatu Yang Terdapat Padanya Nama Allah subhanahu wataala Atau Ayat Al-Qur`an kedalam WC Sesuatu apapun yang terdapat padanya nama Allah subhanahu wataala, atau terdapat padanya ayat Al-Quran, atau terdapat padanya nama yang disandarkan kepada salah satu dari nama Allah subhanahu wataala seperti Abdullah, Abdurrahman dan yang lainnya, maka tidak sepantasnya dimasukkan ke tempat buang hajat (WC). Allah subhanahu wataala berfirman: Barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. (QS. Al-Hajj: 32) Adapun hadits yang sering dipakai dalam masalah ini tentang peletakan cincin Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ketika masuk WC merupakan hadits yang dilemahkan para ulama. (Taudhihul Ahkam, 1/324).

4. Berhati-hati Dari Percikan Najis Tidak berhati-hati dari percikan kencing merupakan salah satu penyebab diadzabnya seseorang di alam kubur. Tetapi perkara ini sering disepelekan oleh kebanyakan orang. Suatu ketika Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melewati dua kuburan, seraya beliau shalallahu alaihi wasallam bersabda: Sungguh dua penghuni kubur ini sedang diadzab. Tidaklah keduanya diadzab melainkan karena menganggap sepele perkara besar. Adapun salah satunya, ia diadzab karena tidak menjaga dirinya dari kencing. Sedangkan yang lainnya, ia diadzab karena suka mengadu domba. (HR. Al-Bukhari no. 216 dan Muslim no. 292) Dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah memperingatkan: Bersucilah kalian dari kencing. Sungguh kebanyakan (orang) diadzab di alam kubur disebabkan karena kencing. (HR. Ad-Daraquthni) 5. Tidak Menampakkan Aurat Menutup aurat merupakan perkara yang wajib dalam Islam. Oleh karena itu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang seseorang dalam keadaan apapun, termasuk ketika buang hajat, untuk menampakkan auratnya di hadapan orang lain. Beliau shalallahu alaihi wasallam bersabda: Apabila dua orang buang hajat, maka hendaklah keduanya saling menutup auratnya dari yang lain dan janganlah keduanya saling berbincang-bincang. Sesungguhnya Allah sangat murka dengan perbuatan tersebut. (HR. Ahmad dishahihkan Ibnus Sakan, Ibnul Qathan, dan Al-Albani, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu) Oleh karena itu, kebiasaan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam adalah menjauh dari pandangan para sahabatnya ketika hendak buang hajat. Abdurrahman bin Abi Qurad radhiallahu anhu berkata:

Aku pernah keluar bersama Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ke tempat buang hajat. Kebiasaan beliau ketika buang hajat adalah pergi menjauh dari manusia. (HR. An Nasai No. 16. Dishahihkan Asy Syaikh Muqbil dalam Al-Jamius Shahih, 1/495) 6. Tidak Beristinja dengan Tangan Kanan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang beristinja dengan tangan kanan sebagaimana sabda beliau shalallahu alaihi wasallam:

Janganlah seseorang diantara kalian memegang kemaluan dengan tangan kanannya ketika sedang kencing dan jangan pula cebok dengan tangan kanan. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Qotadah radhiallahu anhu) Hadits inipun mengandung larangan memegang kemaluan dengan tangan kanan ketika sedang kencing. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan adab (etika yang baik) dan kebersihan, termasuk ketika buang hajat sekalipun. 7. Boleh Bersuci dengan Batu (Istijmar) Diantara bentuk kemudahan dari Allah subhanahu wataala ialah dibolehkan bagi seseorang untuk bersuci dengan batu (istijmar). Abdullah bin Masud radhiallahu anhu berkata: Suatu hari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam buang hajat, lalu beliau meminta kepadaku tiga batu untuk bersuci. (HR. Al-Bukhari No. 156) Namun batu yang dipakai harus berjumlah ganjil dengan jumlah minimal tiga batu sebagaimana dinyatakan Salman Al-Farisi radhiallahu anhu: Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang bersuci (istijmar) kurang dari tiga batu. (HR. Muslim)

Juga hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: Jika kalian bersuci dengan batu (istijmar), maka hendaklah dengan bilangan ganjil. (HR. Muslim) Para ulama menyebutkan kriteria batu yang dipakai adalah batu yang suci lagi kering. Tidak boleh jika batu tersebut dalam keadaan basah. Dibolehkan juga menggunakan benda-benda lain selagi bisa menyerap benda najis dari tempat keluarnya, yaitu qubul dan dubur, dengan syarat berjumlah ganjil dan minimal 3 (tiga) buah. 8. Larangan Beristinja dengan Tulang dan Kotoran Binatang Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang beristinja dengan tulang atau kotoran binatang, disamping keduanya merupakan benda yang tidak dapat menyucikan. Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah melarang beristinja dengan tulang dan kotoran binatang. (HR. Muslim) Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menyebutkan hikmah pelarangan beristinja dengan tulang sebagaimana disebutkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: Tulang adalah makanan saudara kalian dari kalangan jin. (HR. Al-Bukhari) 9. Tidak Menghadap Atau Membelakangi Kiblat Ketika Buang Hajat Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Sebagian ulama berpendapat dilarangnya buang hajat dengan menghadap atau membelakangi kiblat secara mutlak, baik di tempat terbuka maupun di tempat tertutup. Inilah pendapat Ibnu Taimiyyah, AsySyaukani, Asy-Syaikh Al-Albani dan yang lainnya. Berdalil dengan hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

Apabila seseorang dari kalian buang hajat, maka janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya. Akan tetapi hendaknya ia menyamping dari arah kiblat. (HR. AlBukhari No. 394 dan Muslim No. 264) Sebagian ulama lain berpendapat bahwa larangan buang hajat dengan menghadap kiblat adalah apabila di tempat terbuka. Namun jika di tempat tertutup, maka dibolehkan menghadap kiblat. Dalil yang menunjukkan bolehnya perkara tersebut adalah hadits dari Ibnu Umar radhiallahu anhu, ia berkata: Aku pernah menaiki rumah saudariku Hafshah (salah satu istri Rasulullah shalallahu alaihi wasallam) untuk suatu kepentingan. Maka aku melihat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sedang buang hajat dengan menghadap ke arah negeri Syam dan membelakangi Kabah. (HR. Al-Bukhari No. 148 dan Muslim No. 266) Demikian pula hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu, ia berkata: Beliau shalallahu alaihi wasallam melarang kami membelakangi atau menghadap kiblat ketika buang hajat. Akan tetapi aku melihat beliau kencing dengan menghadap kiblat setahun sebelum beliau wafat. (HR. Ahmad, 3/365, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jamius Shahih, 1/493) Pendapat inilah yang nampak bagi penulis lebih kuat. Dan ini pendapat yang dipilih AlImam Malik, Ahmad, Asy-Syafii, dan mayoritas para ulama. Namun dalam rangka berhati-hati, sebaiknya tidak menghadap kiblat ketika buang hajat walaupun di tempat tertutup. Hal ini disebabkan karena perbedaan pendapat yang sangat kuat diantara para ulama dalam masalah ini. 10. Berdoa Setelah Keluar WC Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengajarkan doa yang dibaca ketika keluar dari tempat buang hajat. Aisyah radhiyallahu anha berkata:

Bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam jika keluar dari tempat buang hajat membaca doa: (Aku memohon pengampunanmu). (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah dan dishahihkan Al-Albani dalam Irwaul Ghalil No. 52) Terdapat riwayat-riwayat lain yang menyebutkan beberapa bentuk doa yang dibaca setelah buang hajat. Namun seluruh hadits-hadits tersebut didhaifkan para ulama pakar hadits. Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi berkata: Hadits yang paling shahih tentang masalah ini adalah hadits Aisyah (yang telah disebutkan diatas). (Taudhihul Ahkam, 1/352) Inilah beberapa perkara yang perlu dicermati oleh setiap muslim. Sungguh tidak layak bagi seorang muslim menganggap hal ini sebagai perkara yang sepele. Sumber Darussalaf.or.id dari Assalafy.org/mahad/?p=268 Judul: Tuntunan Syariat Dalam Masalah Buang Hajat

Tata Cara Wudhu o Rukun-rukun Wudhu (yaitu perkara-perkara yang harus dipenuhi dalam) wudhu ada 6 yaitu: 1. Niat yaitu menyatakan di dalam hati saya niat menghilangkan hadats kecil sebagai kewajiban karena Allah atau saya niat bersuci dari hadats kecil sebagai kewajiban karena Allah. Atau saya niat melaksanakan kewajiban berwudhu karena Allah. Niat itu dilakukan ketika membasuh muka, baik membasuhnya dari bagian atas muka atau bagian tengah, maupun bagian bawah dari muka. Apabila ada bagian muka yang dibasuh sebelum niat maka bagian tersebut harus diulangi basuhannya setelah niat.

Bagi seseorang yang menderita penyakit yang membuatnya batal terus menerus seperti penyakit beser (air kencing yang merembes terus menerus) dan sejenisnya, atau wanita yang mengalami darah penyakit niatnya berbeda yaitu dengan menyatkan di dalam hatinya saya niat berwudhu sebagai kewajiban untuk dibolehkan sholat. Dia tidak boleh niat menghilangkan hadats kecil karena dengan kondisinya seperti itu hadatsnya terus menerus bahkan ketika dia berwudhu sehingga tidak akan hilang dengan wudhunya. Diharuskan pula bagi orang seperti itu untuk melaksanakan wudhu setelah masuk waktu sholat kemudian membersihkan najisnya dan membalut tempat keluar najis sehingga najisnya tidak mengenai pakaian sholat atau anggota badannya yang lain. 2. Membasuh muka. Batasan muka dari atas ke bawah adalah antara tempat tumbuh rambut hingga ujung dagu, dan dari samping antara kedua telinga. Diharuskan membasuh muka dengan melewati batasan di atas dan tidak terdapat sesuatu yang menghalangi air mengenai seluruh kulit muka sehingga diyakini bahwa seluruh bagian muka telah terbasuh. 3. Membasuh dua tangan hingga dua siku. Dalam membasuh kedua tangan ini harus diyakini bahwa air basuhan mengenai seluruh bagian tangan dari ujung jari sampai siku dan tidak boleh terdapat sesuatu yang menghalanginya bahkan kotoran yang terdapat di bawah kuku apabila keberadaannya menghalangi air sampai ke ujung jari ia harus dibersihkan, kalau tidak dibersihkan maka wudhunya menjadi tidak sah yang mengakibatkan sholatnya tidak sah pula. 4. Mengusap sebagian kepala atau rambut dengan tangan yang telah dibasahi. Batas rambut yang diusap ialah rambut yang berada dibagian kepala, bukan rambut yang berada di luar batas kepala bagi pemilik rambut yang panjang. Perlu dijelaskan perbedaan membasuh dengan mengusap. Mengusap ialah meletakkan atau menggerakkan tangan yang telah dibasahi dengan air di bagian mana saja dari kepala tanpa harus ada air yang mengalir atau bergerak di atas kepala. Sedangkan membasuh ialah menyiramkan anggota wudhu yang harus

dibasuh dengan air sehingga terdapat air yang mengalir atau bergerak pada anggota tersebut. 5. Membasuh dua kaki hingga dua mata kaki. Sebagaimana halnya dengan tangan kedua kaki terdapat kuku-kuku jari kaki yang terkadang menyimpan kotoran. Kotoran tersebut harus dibersihkan agar air basuhan mengenai ujungujung jari kaki yang terletak di bawah kuku, kalau tidak maka wudhunya menjadi tidak sah yang berakibat solatnya tidak sah pula. 6. Tertib. Yaitu berurutan dalam melaksanakan basuhan-basuhan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Selain perkara-perkara di atas yang harus dipenuhi ketika berwudhu, ada perkara-perkara yang disunnatkan untuk dilakukan ketika berwudhu yaitu membaca bismillah ketika hendak memulai berwudhu, membasuh kedua telapak tangan ketika membaca bismillah, berkumur-kumur, bersiwak, memasukkan air ke dalam hidung lalu menyemprotkannya kembali, mengusap seluruh kepala, mengusap kedua telinga dengan tangan yang basah, mendahulukan anggota wudhu yang kanan daripada yang kiri, menggosok-gosok setiap anggota wudhu yang dibasuh, melakukan basuhan atau usapan hingga tiga kali, dan membaca doa setelah wudhu sekurang-kurangnya sebagai berikut: asyhadu an laa ilaaha illalloohu wahdahuu laa syariika lahu wa asyhadu anna muhammadan abduhuu warosuuluh. o Sunat Wudhu Membaca basmalah pada permulaan wudhu. Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan. Berkumur-kumur. Membasuh lubang hidung sebelum berniat. Menyapu seluruh kepala dengan air. Mendahulukan anggota kanan dari pada kiri. Menyapu kedua telinga luar dan dalam. Meniga kalikan membasuh.

Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki. Membaca doa sesudah wudhu.

Yang Membatalkan Wudhu 1. Kentut & Qadha Hajat Firman ALLAH SWT : Wahai orang-orangyang beriman, berwuduklah apabila kamu ingin mendirikan solat... atau apabila ada antara karnu yang datang dari tempat membuang hajat. (Surah al-Maidah: 6) Abu Hurairah r.a berkata, bahawa Rasulullah s.a.w bersabda: ALLAH tidak akan menerima solat seseorang apabila dia telah berhadas sehingga dia kembali berwuduk. Seorang lelaki daripada Hadramaut bertanya: Apakah yang dimaksudkan dengan hadas wahai Abu Hurairah? Jawabnya: Kentut. (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim). 2. Keluar air mazi. Ali bin Abu Talib r.a berkata: Aku adalah lelaki yang paling banyak keluar air mazi. Lalu aku perintahkan seorang lelaki bertanya kepada Nabi s.a.w menggunakan nama anak perempuanya (Fatimah). Lalu dia bertanya kepada baginda. Lantas haginda menjawab: Berwudhulah dan basuhlah kemaluanmu. (Hadis riwayat alBukhari dan Muslim) Ibn al-Mundziri r.h bcrkata: Memang tsabit daripada hadis Rasulullah s.a.w rnengenai kewajipan berwudhu bagi air mazi (yang keluar) (Rujuk al-Ausot, jil. 1, ms. 133) Al-Nawawi r.h berkata: Mengenai hukum keluar air mazi, ijmak ulama bahawa tidak wajib mandi junub. Abu Hanifah, Syafie, Ahmad dan jumhur berpendapat, wajib berwuduk berdasarkan hadis ibi. (Rujuk Syarh Sahih Muslim, jil. 3, ms. 212). 3. Keluar al-Wadi Ibn Abbas a berkata: Berhubung dengan air mani, wajib mandi junub. Mengenai air mazi dan

wadi, dia hendaklah membasuh kemaluannya serta bewuduk. (Hadis riwayat Abdul Razzaq dalam Musannaf, jil. 1, ms. 159 dengan sanad sahih). Ibn al-Mundzir r.h berkata: Mengenai air wadi, ia sesuatu yang keluar daripada zakar selepas kencing. Oleh itu, wudhu wajib selepas kencing. Jadi, apa sahaja yang keluar daripada zakar sudah tentu diwajibkan berwuduk sebagaimana wajib berwuduk apabila keluar air kencing. (Rujuk al-Ausot, jil. 1, ms. 136). 4. Keluar air mani Ini berdasarkan riwayat Ibn Abbas r.a yang dinyatakan sebelum ini melalui Musannaf Abdul Razzaq.

5. Sesuatu yang keluar secara berterusan seperti darah istihadhah dan sebagainya. Nabi s.a.w memerintahkan agar wanita yang mengalami darah istihadhah berwuduk setiap kali solat berdasarkan hadis yang diriwayat oleh Bukhari dalam kitab al- Wuduk, bab: Ghuslu al-Dam (228) dan Muslim, kitab alHaid (333). 6. Tidak perlu berwudhu' apabila waswas. Abu Hurairah r.a. berkata bahawa Rasulullah s.a.w bersabda: Apabila seseorang antara kamu merasakan sesuatu yang tidak kena pada perutnya lalu waswas sama ada dia kentut atau tidak, dia tidak perlu keluar daripada masjid kecuali selepas dia mendengar bunyi atau terhidu bau kentut. (Hadis riwayat Muslim). 7. Tidur atau Tidak Tetap Punggung Safwan bin Assal r.a. berkata: Rasulullah s.a.w memerintahkan kami agar tidak mencabut kasut ketika musafir selama tiga hari tiga malam kecuali jika berjunub, buang air besar, air kecil atau tidur (Hadis riwayat Ahmad, al-Nasaai dan al-Tirmizi. AlTirmizi mensahihkannya). Berselisih pendapat sama ada tidur boleh membatalkan wudhu atau sebaliknya. Namun, terdapat beberapa hadis sahih yang menjelaskan

bahawa tidur yang lena dan tetap punggungnya tidak perlu berwudhu. Anas r.a berkata: Suatu ketika, para sahabat Rasulullah s.a.w menunggu solat isyak sehingga tersengguk-sengguk kepala mereka kerana Nabi s.a.w melewatkannya. Setelah baginda bersiap untuk menunaikan solat, mereka bangun bersolat tanpa memperbaharui wuduk. (Hadis riwayat Muslim, Abu Daud dan alTirmizi) Ibn Abbas r.a berkata: Aku telah bermalam di rumah ibu saudaraku Maimunah (isteni Nabi). Rasulullah s.a.w bangun untuk menunaikan solat malam. Lain, aku bangun berdiri di sebeiah kirinya. Kemudian, baginda menanik tanganku hingga menjadikan aku berada di sebeiah kanannya. Setiap kali kepalaku tersengguk kerana mengantuk, baginda akan menarik telingaku. Baginda melakukan solat itu sebanyak 11 rakaat. (Hadis riwayat Muslim). Menurut pendapat paling sahih, apabila seseorang tidur tetapi tetap punggungnya di bumi dan sebagainya, wuduknya tidak terbatal berdasarkan beberapa hadis di atas. Namun, yang afdalnya ialah berwuduk apabila tertidur berdasarkan maksud hadis secara umum. 8. Menyentuh Wanita Ajnabi. Ulama berbeza pendapat dalam menentukan hukum menyentuh wanita ajnabi tanpa berlapik. Ini kerana, perselisihan mereka dalam mentafsjrkan firman ALLAH di bawah:

Wahai orang-orang yang beriman ,kamu hendaklah berwudhu apabila ingin mendirikan solat... Kamu juga mesti berwudhu walaupun ketika sakit, musafir, berhadas kecil atau menyentuh wanita. (Surah al-Maidah: Sentuhan menurut pengertian bahasa ialah merasai sesuatu dengan tangan

atau bertemu kulit sesama manusia. Namun, menurut Ibn Abbas r.a (sahabat Nabi s.a.w yang digelar sebagai pakar tafsir al-Quran) berpendapat bahawa kalimah ialah (persetubuhan). Ini kerana, menurut pemahaman orang arab apabila dikatakan esreb uka) duskamreb tubuh dengannya). Pendapat ini dikuatkan lagi atau yang dikehendaki dalam ayat

dengan firman ALLAH S.WT: Maryam berkata: Ya TUHAN-ku, mana mungkin aku mernpunyai seorang anak sedangkan aku belum pernah disentuhi lelaki. (Surah Alii Imran: 47) Sebahagian ulama menggunakan firman ALLAH yang bersifat umum untuk menguatkan hujah bahawa menyentuh perempuan membatalkan wudhu.

Firman ALLAH S.WT: Al-Quran itu tidak boleh disentuh melainkan orang-orang yang suci. (Surah al-Waqiah: 79).

Begitu juga maksud sabda Rasulullah s.a.w yang difahami secara urnum. Sedangkan, majoriti ulama berpendapat bahawa yang dimaksudkan dengan ( suci) di sini ialah iktikad yang suci daripada syirik. Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm daripada ayah dan datuknya: Sesungguhnya Nabi s.a.w telah memerintahkan sahabatnya menulis sepucuk surat kepada penduduk Yaman yang terkandung dalam isi kandungannya: Al-Quran tidak boleh disentuh kecuali dalam keadaan suci. (Hadis riwayat al-Darimi dan Malik)

Penggunaan kalimah itu hakikatnya secara kiasan semata-mata. Ini kerana,

perbuatan syirik menurut fahaman salafussoleh termasuk amalan yang boleh dianggap najis.

Dikuatkan lagi dengan firman ALLAH yang berbunyi: Sesungguhiya orang musyrikin itu najis. (Surah al-Taubah: 28)

Begitu juga sabda Rasulullah s.a.w: Sesungguhnya orang mukrnin tidak najis. (Hadis riwayat Bukhari, Muslim, al-Nasaai, Ibn Majah dan Ahmad)

Menurut Tafsir Ibn Kathir, al-Quran tidak boleh disentuh (diambil) daripada ( tempat simpanan khazanah perbendaharaan ALLAH termasuk al-Quran) kecuali (para malaikat al-

Muqarrabun) yang berada paling hampir dengan ALLAH. Ini kerana, ALLAH kaitkan ayat sebelumnya yang bermaksud: Sesungguhnya, itulah al-Quran yang mulia. Ia berada dalam kitab yang terjaga rapi (di lauh mahfuz). Tidak ada seorang pun yang boleh meryentuhnya kecuali orang-orang yang suci (malaikat). (Surah alWaqiah: 77 79)

Banyak hadis sahih yang membicarakan tentang sentuhan Nabi s.a.w dengan para isterinya. Namun, baginda tetap meneruskan solat tanpa memperbaharui wudhunya.

Aisyah r.a berkata: Rasulullah s.a.w telah mendirikan solat sedangkan aku berada di hadapannya (melintang) seperti jenazah yang terbujur ketika disolatkan. Apabila ingin menunaikan solat witir baginda akan mengejutkanku dengan hujung kakinya. (Hadis riwayat al-Nasaai. Al-Hafiz Ibn Hajar menyatakan bahawa sanad hadis ini sahih di dalam Kitab al-Talkhis).

Aisyah r.a berkata: Nabi s.a.w telah mencium salah seorang isterinya. Kemudian baginda menunaikan solat tanpa memperbaharui wudhunya. (Hadis riwayat Abu Daud dan al-Nasaai)

Aisyah r.a berkata: Suatu malam, aku kehilangan Rasulullah s.a.w daripada tempat tidurku. Aku telah menyentuhnya lalu meletakkan tanganku ke atas kedua-dua belah tapak kakinya yang sedang ditegakkan. Ketika itu, baginda sedang berada di dalam majid sambil aku mendengar baginda berdoa: ... (Hadis diriwayatkan oleh Muslim dan al-Nasaai. Al-Tirmizi mensahihkannya) Pendapat terpilih, tidak mengapa tidak berwudhu. Hujah saya, jika perkara itu diwajibkan dan berdosa apabila meninggalkannya atau ia hanya dikhususkan kepada Nabi s.a.w, pasti terdapat dalil yang sahih lagi sarih melarang perbuatan itu.

Sedangkan, ada sebahagian hadis yang sahih menyebut bahawa Nabi s.a.w tidak berwudhu ketika bercumbu-cumbuan dengan isteri-isterinya. Inilah pendapat yang saya pegang sebagaimana pendapat sebahagian ulama Syafie seperti Ibn Hajar al-Asqalani, al-Nasaai dan selainnya. Oleh itu, jika hadis di atas merupakan pengkhususan kepada Nabi sa.w, maka perlu didatangkan dalil yang menerangkan perkara Iitu. 9. Menyentuh kemaluan. Busrah binti Safwan r.a berkata bahawa Rasulullah s.a.w bersabda: Janganlah menunaikan solat sebelum berwudhu bagi sesiapa jang menyentuh kemaluannya. (Hadis riwayat Ahmad, al-Tirmizi, al-Nasaai, Abu Daud dan Ibn Majah. Al-Tirmizi mensahihkannya). Al-Bukhari r.h berkata: Inilah hadis paling sahih dalam bab membicarakan terbatal wuduk

menyentuh kemaluan. (Rujuk Nail al-Autor, jil.l. ms. 189). Namun, hadis di atas tidak terlepas daripada kritikan ahli hadis mengenai martabat kesahihannya. Inilah pendapat yang dipegang oleh sebahagian salafussoleh seperti Ali, Ibn Masud, Ammar, Hasan al-Basri, Rabiah, alUtrah, al-Tsauri, Abu Hanifah dan pengikutnya serta selain mereka berdasarkan hadis di bawah. Talaq bin Ali r.a berkata: Rasulullah s.a.w ditanya: Apabila seorang lelaki menyentuh kemaluannya, adakah dia perlu berwuduk? Jawab baginda: Bukankah ia hanya sebahagian daripada anggota badanmu. (Hadis riwayat Ahmad, al-Tirmizi, al-Nasaai, Abu Daud, Ibn Majah dan al-Daruqutni. Hadis ini diklasifikasikan sebagai sahih oleh Amru bin Ali al-Falas, Ibn Hibban, al-Tabrani dan Ibn Hazm). Amru bin Ali al-Falas r.h berkata: Hadis ini lebih tsabit daripada hadis Busrah.

Ali bin al-Madini berkata: Menurut kami, inilah hadis terbaik berbanding hadis Busrah. Al-Thohawi berkata: Sanad hadis ini mustaqim, iaitu tidak mudhorib (bercampuk-aduk dengan lafaz lain). Berbeza dengan hadis riwayat Busrah. Oleh kerana kedua-dua hadis di atas tidak dapat ditarjihkan dan terdapat kritikan pada sanad, pendapat terpilih ialah afdhal berwuduk apabila menyentuh kemaluan dan diyakini tidak terkena najis. Tetapi, solat orang yang tidak memperbaharui wuduk tetap sah sama ada berlapik atau tidak kerana tidak ada dalil sarih (jelas) mengenainya. Begitu juga sama ada bersyahwat atau sebaliknya. Manakala hukum tidak batal wuduk apabila berlakunya persentuhan dengan belakang tapak tangan, tidak dapat dipastikan kesahihan pendapat itu. Ia hanya pendapat tanpa asal-usul yang dapat dikaji masih boleh. 10. Makan daging unta. Jabir bin Samurah r.a berkata:

Seorang lelaki telah bertanya kepada Rasulullah s.a.w: Adakah kami perlu memperbaharui wudhu apabila memakan daging kambing? Jawab baginda: Jika kamu mahu, berwudhulah. Jika sebaliknja, tidak mengapa. Ditanya lagi: Adakah kami perlu berwudhu apabila memakan daging unta? Jawab baginda: Ya. Berwudhulah apabila memakan daging unta. Ditanya lagi: Bolehkah kami solat di kandang kambing? Jawab baginda: Boleh. Ditanya lagi: Bolehkah kami solat di kandang unta? Jawab baginda: Tidak. (Hadis riwayat Ahmad dan Muslim) Ibn al-Mundziri r.h berkata: Wajib berwuduk selepas makan daging unta kerana tsabit melalui hadis dan sanad. (Rujuk al-Ausot, jil. 1, ms. 138). Ibn Qudamah r.h berkata: Makan daging unta membatalkan wudhu serta merta sama ada dimakan secara mentah atau dimasak dan dalam keadaan tahu atau jahil. (Rujuk alMughni, jil. 1, ms. 250). 11. Hilang akal kerana gila, pengsan dan sebagainya. Aisyah r.a berkata: Nabi s.a.w. berada dalam keadaan sakit yang tenat. Baginda pun bertanya kepadanya: Adakah orang ramai telah solat? Jawab Aisyah : Belum. Mereka menunggu engkau. Baginda berkata: Bawakan air wudhu yang berada dalam Mikhdhab (sejenis bekas) itu untukku. Aisyah berkata: Aku pun melakukannya. Lalu baginda membasuh (berwudhu). Tiba-tiba sakit itu menyerang lagi dan baginda terus pengsan. Apabila sedar baginda bertanya lagi: Adakah orang ramai telah solat? Jawab Aisyah: Belum. Mereka menunggu engkau. Baginda berkata: Bawakan air wudhu yang berada dalam Mikhdhab (sejenis bekas) itu untukku. Aisyah berkata: Baginda duduk lalu membasuh (berwudhu). Tiba-tiba sakit itu menyerang lagi dan baginda terus pingsan. (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim). Ibn al-Mundzir r.h berkata: Ulama sepakat mewajibkan berwudhu bagi sesiapa yang tidak sedar

disebabkan gila atau pengsan. Kami telah meriwayatkan dengan sanad yang tsabit daripada Rasulullah s.a.w bahawa baginda telah mengalami sakit lalu berwudhu sehingga menyebabkan baginda pengsan. (Rujuk al-Ausot, jil. 1, ms. 155. 156)

Macam-macam Najis dan Tata cara Mensucikannya: Najis menurut bahasa artinya kotoran, sedang menurut syara berarti yang mencegah sahnya shalat. Najis dari segi ainnya terbahagi kepada dua:
a.

Najis haqiqiyy, iaitu benda kotor sama ada beku atau cair dan sama ada dapat dilihat atau tidak. Ia terbahagi kepada tiga : 1. Najis Mughaladhah : yaitu njis yang berat yakni yang timbul dari najis anjing dan babi. Cara mensucikannya ialah lebih dahulu dihilangkan wujud benda najis itu, kemudian baru dicuci bersih dengan air sampai tujuh kali dan salah satunya dicuci dengan air yang tercampur tanah. Rasulullah saw bersabda: sucinya tempat (perkakas)mu apabila dijilat anjing adalah dengan mencuci tujuh kali, permulaan atau penghabisan diantara persucian itu dicuci dengan air yang bercampur dengan tanah. (H.R At-Tirmidi) 2. Najis Mukhaffafah : yaitu najis yang ringan, seperti air kencing bayi laki-laki yang umurnya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa kecuali air susu ibunya.

Cara mensucikan, cukup dengan memercikan air pada benda yang kena najis itu sampai bersih. Rasulullah saw bersabda : barang yang terkena air kencing anak perempuan harus dicuci, sedangkan bela terkena air kencing laki-laki cukup dengan memercikan air padanya. (H.R Abu Daud dan Nasai) 3. Najis Mutawassithah : yaitu najis yang sedang, yaitu najis yang lain selain yang tersebut dalam najis ringan dan berat. Seperti: Kotoran manusia atau binatang, air kencing, nanah darah, bangkai (selain bangkai ikan, belalang dan mayat manusia). Najis Mutawassithah dapat dibagi menjadi dua bagian : a. Najis aniyah: Yaitu najis yang bendanya berwujud. Cara mensucikannya dengan menghilangkan zat (bendanya) lebih dahulu hingga hilang rasa bau, dan warnanya. kemudian menyiramnya dengan air sampai bersih. b. Najis hukmiyah : yaitu najis tidak berwujud bendanya, seperti bekas kencing, arak yang sudah kering, cara mensucikannya cukup dengan mengalirkan air pad belas najis itu. Najis yang dapat dimaafkan.
b.

Najis hukmiy, yaitu kekotoran yang ada pada bahagian tubuh badan iaitu hadath kecil yang dapat dihilangkan dengan berwudhu dan hadath besar (janabah) yang dapat dihilangkan dengan mandi, atau tayammum apabila ketiadaan air atau uzur daripada menggunakan air.

c.

Najis yang dimaafkan Tiada sebarang najis yang dimaafkan. Walaupun begitu, syara` memberi kemaafan terhadap kadar benda najis yang sedikit yang sulit untuk dielakkan, begitu juga untuk memudahkan dan bertolak ansur kepada umatnya. Oleh yang demikian, najis-najis berikut adalah dimaafkan: 1. Najis yang tidak dapat dilihat oleh pandangan sederhana seperti darah yang sedikit dan percikan air kencing. 2. Darah jerawat, darah bisul, darah kudis atau kurap dan nanah. 3. Darah binatang yang tidak mengalir darahnya seperti kutu, nyamuk, agas dan pijat.

4. Tempat berbekam, najis lalat, kencing tidak lawas, darah istihadhah, air kurap atau kudis.

Benda yang termasuk najis : 1. Tahi manusia Berdasarkan sabda nabi Muhammad Sollallohu'alaihi wasallam :

"Jika sendal salah seorang diantara kalian menginjak kotoran, maka tanah/debu sebagai menyuci baginya." Hadits sahih riwayat Abu Dawud : 385.

2. Air kencing manusia Berdasarkan hadits nabi :

Dari hadits Anas bin Malik radhiyallohu'anhu, bahwasannya seorang arab badui datang ke masjid kemudian kencing didalamnya, maka berdirilah para sahabat hendak menghentikannya, namun Rosululloh sollallohu'alaihi wasallam bersabda : "Biarkanlah dia dan jangan mengganggunya " , hingga setelah selesai sang badui menunaikan hajatnya maka Rosululloh meminta air kemudian di siramkan ke bekas kencing tersebut. HR Bukhari (6025) Muslim (284). 3. Madzi, adalah air bening lekat-lekat yang keluar dari kemaluan ketika syahwat, keluar dengan tidak memancar dan tidak menyebabkan badan menjadi lemas setelahnya, terkadang keluar tanpa disadari. ini terjadi baik pada pria maupun wanita. ^_^

Madzi adalah najis berdasarkan Sabda Rosululloh sollalohu'alaihi wasallam kepada sahabat yang bertanya mengenai madzi : " "

Nabi bersabda : "Hendaknya ia mencuci dzakarnya kemudian berwudhu" HR Bukhari (269) Muslim (303). 4. Wadi, adapun wadi adalah air bening pekat yang biasa keluar setelah buang air kecil, dan ini juga najis menurut kesepakatan ulama, " "

Dari sahabat Ibn 'Abbas radhiyallohu'anhu berkata " Mani, wadi, dan madzi. Adapun mani maka mewajibkannya mandi, adapun wadi dan madzi maka ia ( Rasulullah ) berkata cucilah dzakarmu kemudian berwudhulah sebagaimana wudhumu ketika hendak sholat." HR Baihaqi dan disahihkan Al Albani dalam kitab sahih sunan abu dawud (190). 5. Darah Haidh. Darah menstruasi adalah najis berdasarkan hadits Asma' : " "

Seorang sahabiah datang kepada Rasulullah sollallohu'alaihi wasallam bertanya " Pakaian salah seorang dari kami terkena darah haidh, maka apa yang harus ia perbuat? Rasulullah menjawab : "Hendaknya ia mengeriknya kemudian mencucinya dengan air, kemudian (tidak apa-apa) ia shalat dengannya". HR Bukhari (227) Muslim (291). Dari hadits diatas dapat kita ketahui bagaimana cara membersihkan pakaian dari darah haidh. 6. Kotoran binatang yang tidak dimakan dagingnya. Berdasarkan hadits :

"

" "

Dari sahabat Abdullah bin Mas'ud radhiyallohu'anh berkata : Nabi sollallohu'alaihi wasallam hendak buang hajat, kemudian memerintahkanku " Datangkan kepadaku 3 buah batu" maka aku hanya mendapati 2 batu dan routsah (kotoran himar), maka beliau mengambil batunya dan membuang routsah sembari berkata " Dia itu rijs (najis)". HR Bukhari (156). 7. Air liur anjing. Air liur anjing adalah najis, berdasarkan Sabda Nabi sollallohu'alaihi wasallam :

"Sucinya tempat air kalian jika dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, dan yang paling pertama dengan menggunakan debu (tanah)". HR Muslim (279). 8. Daging Babi . Daging babi selain haram juga najis, berdasarkan firman Alloh dalam Al Qur'an :

"Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu rijs (najis) atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya

Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". QS Al An'am : 145. 9. Bangkai. yaitu hewan yang mati dengan sendirinya tanpa disembelih dengan alat secara syar'i. Maka ia najis dengan kesepakatan ulama berdasarkan hadits : "Jika kulit (bangkai) telah disamak maka ia telah suci" HR Muslim (366).

Kecuali 3 bangkai berikut maka tidak najis : 1. Ikan dan belalang. Karena Rosululloh sollallohu'alaihi wasallam telah bersabda: :

"Telah dihalalkan kepada kami dua bangkai dan dua darah, adapun dua bangkai yaitu bangkai ikan dan belalang, dan dua darah yaitu hati dan limpa " Hadits sahih riwayat Ibnu Majah (3218,3314) 2. Bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir di tubuhnya.

"Jika minuman salah seorang diantara kalian dihinggapi lalat maka hendaknya ia celupkan lalat itu kedalam minumannya kemudian menbuangnya, karena sesungguhnya pada salah satu sisi sayapnya (lalat) itu mengandung penyakit dan pada sisi yang lain terdapat penawarnya." HR Bukhari (3320) 3. Tulang, tanduk, kuku, dan bulu bangkai. maka tidaklah najis, berdasarkan riwayat dari Imam Bukhari dari Imam Az Zuhri secara mu'allaq namun dengan sighat Jazm sehingga haditsnya menjadi sahih :

"

"Berkata Imam Az Zuhri : "Aku mendapati ulama salaf bersisir dan berminyak dengannya. mereka tidak mempermasalahkannya". 10. Apa-apa yang terpotong dari anggota badan hewan sedangkan ia masih hidup. Sebagaimana sabda Rosulullah sollallohu'alaihi wasallam "Apa-apa yang terpotong dari binatang ternak sedang ia masih hidup maka itu adalah bangkai" HR Tirmidzi (1480), Abu Dawud (2858), Ibn Majah (3216). 11. Air liur binatang buas atau binatang yg dagingnya haram dimakan. Ketika Rasulullah ditanya mengenai air yang berada di tempat terbuka, dan air bekas minum binatang buas, beliau bersabda :

"Jika air tersebut lebih 2 qullah maka tidang mengandung najis" Hadits Sahih Abu Dawud (63). Kecuali Kucing, maka bekas minumnya suci, berdasarkan sabda Rasulullah sollallohu'alaihi wasallam mengenai kucing : ": " "Sesungguhnya dia tidaklah najis,dan sesungguhnya dia adalah termasuk binatang yang biasa berkeliaran diantara kalian." Sahih HR Imam Ahmad (5/303). 12. Daging hewan yang tidak dapat dimakan (haram).

"Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kalian dari daging himar (keledai) yang jinak, karena sesungguhnya dia itu najis" HR Muslim (1940).

Pengertian Hadats Hadats secara etimologi (bahasa), artinya tidak suci atau keadaan badan tidak suci jadi tidak boleh shalat. Adapun menurut terminologi (istilah) Islam, hadats adalah keadaan badan yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan dengan cara berwudhu, mandi wajib, dan tayamum. Dengan demikian, dalam kondisi seperti ini dilarang (tidak sah) untuk mengerjakan ibadah yang menuntut keadaan badan bersih dari hadats dan najis, seperti shalat, thawaf, itikaf.

Macam-macam Hadats a. Hadats kecil, yaitu keadaan tidak suci menurut ketentuan syara disebabkan keluarnya (selain sperma, darah haid, dan nifas) dari qubul (kemaluan) dan dubur (anus) seperti : buang angin, buang air kecil atau besar. Juga, apabila hilang akal, dan tidur nyenyak. Cara mensucikannya dengan wudhu/tayammum. Contoh hadas kecil: 1. 2. 3. 4. Menyentuh lawan jenis yang bukan muhrim tanpa adanya pembatas. Mabuk. Menyentuh kubul. Menyentuh dubur.

b. Hadats besar, yaitu keadaan tidak suci menurut ketentuan syara disebabkan keluarnya sperma, darah haid, dan nifas. Cara mensucikannya yaitu dengan mandi wajib/tayammum. Contoh hadas besar :

Nifas. Keluar darah saat haid. Berhubungan uintim. Keluarnya mani yang terjadi karena mimipi atau hal lainnya.

Firman Allah swt. dalam Al quran Surah Al Maidah Ayat 6, yang artinya : Dan jika kamu junub, maka mandilah kamu. (QS Al Maidah: 6)

Hukum Haid dan Nifas Haidh adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita dengan cara yang sehat, bukan karena melahirkan. Warnanya merah kehitam-hitaman. Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Istihadhah adalah darah yang keluar bukan pada hari-hari haidh dan nifas. Masa haidh paling pendek adalah sehari semalam, sedangkan paling lama adalah lima belas hari. Biasanya selama enam atau tujuh hari. Masa nifas paling pendek adalah sejenak, sedangkan paling lama adalah enam puluh hari. Biasanya empat puluh hari. Masa suci paling sedikit diantara dua haidh adalah lima belas hari dan tidak ada batasan jangka waktu paling lamanya. Umur perempuan mengalami haidh paling sedikit adalah sembilan tahun. Jangka waktu hamil paling sedikit adalah enam bulan, sedangkan paling lama adalah empat tahun, namun biasanya adalah sembilan bulan.

Penjelasan : 1. Mengenai haidh, Bukhari (290) dan Muslim (1211) meriwayatkan dari Aisyah rodhiyallohu anhaa-, dia berkata, Kami berangkat dan tidak ada yang ingin kami lakukan kecuali menunaikan haji. Ketika kami berada di Sarf, saya haidh. Kemudian Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- menemuiku ketika aku sedang menangis. Beliau bertanya, ada apa denganmu? Apakah engkau mengeluarkan darah? Saya menjawab, Ya Beliau bersabda, Ini adalah perkara yang ditetapkan

oleh Allah kepada anak-anak perempuan Adam. Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang menunaikan haji. Namun demikian, janganlah engkau thawaf di Baitulloh! Dalam riwayat lain, Sampai engkau suci. Sarf adalah nama sebuah daerah di dekat Mekkah. Maksud pertanyaan Rosululloh Apakah engkau mengeluarkan darah? adalah Apakah engkau haidh? 2. Abu Dawud (286) dan selainnya meriwayatkan dari Fathimah binti Abu Hubaisy bahwa dia mengalami istihadhah. Nabi -shollallohu alaihi wasallam- lalu bersabda kepadanya, Jika itu adalah darah haidh, maka warnanya hitam dan dikenal. Jika darahnya memang seperti itu, maka jangan mengerjakan shalat. Jika darahnya tidak seperti itu, maka berwudhulah dan shalatlah. Itu hanyalah cucuran darah. 3. Bukhari (226) dan Muslim (333) meriwayatkan dari Aisyah -rodhiyallohu anhaa-, dia menceritakan bahwa Fathimah binti Abu Hubaisy datang menemui Nabi shollallohu alaihi wasallam- dan bertanya, Wahai Rosululloh! Saya adalah perempuan yang sedang mengalami istihadhah. Bolehkah saya meninggalkan shalat? Beliau bersabda : Itu hanyalah cucuran darah, bukan haidh. Jika engkau mengalami haidh, maka tinggalkanlah shalat. Jika berakhir waktunya, maka bersihkanlah darah dari dirimu dan shalatlah.

4. Penentuan jumlah hari maupun umur seorang wanita mulai mengalami haidh, nifas, dan suci adalah berdasarkan penelitian, yaitu meneliti berbagai kejadian dan realita. Banyak fenomena yang membuktikannya.

Abu Dawud (311) dan selainnya meriwayatkan dari Ummu Salamah -rodhiyallohu anhaa-, dia berkata, Perempuan-perempuan yang mengalami nifas pada masa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- tidak mengerjakan shalat selama empat puluh hari. Ini berdasarkan kebiasaan dan tidak mustahil jika lebih. 5. Dalil jangka waktu hamil paling sedikit adalah firman Allah -subhaanahu wataala: Masa mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan (Al-Ahqaaf [46]: 15)

Beserta firman-Nya, Masa menyapihnya adalah selama dua tahun. (Luqmaan [31]: 14)

Jika jumlah waktu hamil dan menyapih adalah tiga puluh bulan, sedangkan menyusui selama dua tahun, maka waktu hamil adalah selama enam bulan. Dalil yang menunjukan waktu biasanya dan paling lama adalah berdasarkan penelitian. Konsep Kebersihan Sebagian dari Iman Ungkapan Kebersihan Sebagian Dari Iman (Arab : an-nazhaafatu minal iimaan) sebenarnya bukanlah hadits Nabi SAW, namun hanya sekedar peribahasa atau kata mutiara yang baik atau Islami. Ringkasnya, jika ditinjau apakah ungkapan itu hadits Nabi SAW atau bukan, jawabnya bukan hadits Nabi SAW. Sebab tidak terdapat hadits berbunyi demikian dalam berbagai kitab hadits yang ada, sejauh pengetahuan kami. Namun kalau ditinjau apakah

ungkapan itu Islami atau tidak, jawabnya Islami. Sebab ungkapan itu didukung oleh sebuah hadits hasan seperti yang akan kami sebutkan. Memang, ada hadits sahih dari Nabi SAW yang mirip dengan kalimat Kebersihan Sebagian Dari Iman. Hadits itu adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi, "Ath-thahuuru syatrul iimaan (HR. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi) (Lihat Imam AsSuyuthi, Al-Jami Ash-Shaghir, II/57; Imam Al-Qazwini, Bingkisan Seberkas 77 Cabang Iman (Terj. Mukhtashar Syuabul Iman Li Al-Imam Baihaqi), hal. 66-67). Namun arti hadits Nabi tersebut adalah,Bersuci [thaharah] itu setengah daripada iman. Kata ath-thahuuru dalam hadits itu artinya tiada lain adalah bersuci (aththaharah), bukan kebersihan (an-nazhafah), meskipun patut diketahui ath-thaharah secara makna bahasa artinya memang kebersihan [an-nazhaafah] (Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/6). Tetapi dalam ushul fiqih terdapat kaidah bahwa arti asal suatu kata dalam al-Qur`an dan Al-Hadits adalah arti terminologis (makna syari), bukan arti etimologis (makna bahasa). Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab AsySyakhshiyyah Al-Islamiyah Juz III hal. 174 menyebutkan kaidah ushul fiqih yang berbunyi : Al-Ashlu fi dalalah an-nushush asy-syariyah huwa al-mana asy-syariy Arti asal nash-nash syariah [Al-Qur`an dan As-Sunnah] adalah makna syari. Karenanya hadis Nabi SAW di atas hendaknya diartikan Bersuci itu setengah daripada iman, dan bukannya Kebersihan itu sebagian daripada iman. Suci dan bersih itu berbeda. Suci (thahir) adalah keadaan tanpa najis dan hadas, baik hadas besar maupun hadas kecil, pada badan, pakaian, tempat, air, dan sebagainya. Bersuci (thaharah) adalah aktivitas seseorang untuk mencapai kondisi suci itu, misalnya berwudhu, tayammum, atau mandi junub. (Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/6). Sedang bersih (nazhif) adalah lawan dari kotor yaitu keadaan sesuatu tanpa kotoran. Sesuatu yang kotor bisa saja suci, meski ini tentu kurang afdhol. Sajadah yang lama tidak

dicuci adalah kotor. Tapi tetap disebut suci selama kotoran yang menempel hanya sekedar debu atau daki, bukan najis seperti kotoran binatang. Demikian pula sesuatu yang bersih juga tidak otomatis suci. Seorang muslim yang berhadats besar (misal karena haid atau berhubungan seksual) bisa saja tubuhnya bersih sekali karena mandi dengan sabun anti kuman atau desinfektan. Tapi selama dia tidak meniatkan mandi junub, dia tetaplah tidak suci alias masih berhadas besar. Walhasil, suci atau bersuci berkaitan dengan keyakinan seorang muslim, yang sifatnya tidak universal. Maksudnya hanya menjadi pandangan khas di kalangan umat Islam. Sedang bersih atau kebersihan berkaitan dengan fakta empiris yang universal, yaitu diakui baik oleh umat Islam maupun umat non Islam. Kembali ke masalah hadits di atas. Kesimpulannya, yang ada adalah hadits Nabi SAW yang berarti Bersuci Adalah Sebagdian Dari Iman, dan bukan Kebersihan Sebagian Dari Iman. Namun demikian, kalimat Kebersihan Sebagian Dari Iman merupakan ungkapan yang baik (Islami), karena didukung sebuah hadits yang menurut Imam Suyuthi berstatus hasan, yakni sabda Nabi SAW : Sesungguhnya Allah Taala adalah baik dan mencintai kebaikan, bersih dan mencintai kebersihan, mulia dan mencintai kemuliaan, dermawan dan mencintai kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman rumahmu dan janganlah kamu menyerupai orang Yahudi. (HR. Tirmidzi) (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami Ash-Shaghir, I/70; Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadits Terpilih, [Jakarta : GIP], cetakan keenam, 1993, hal. 311). Hadits di atas menunjukkan bahwa kebersihan (an-nazhafah) merupakan sesuatu yang dicintai Allah SWT. Maka dari itu ungkapan Kebersihan Sebagian Dari Iman kami katakan sebagai ungkapan yang baik atau Islami karena ada dasarnya dalam Islam yaitu hadits riwayat Tirmidzi di atas. Ungkapan itu dapat diberi arti, bahwa menjaga kebersihan segala sesuatu merupakan bukti atau buah keimanan seorang muslim, karena dia telah beriman bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Mahabersih (nazhiif).

Istinjak 1. Istinjak ialah menghilangkan najis yang keluar dan qubul dan dubur selepas membuang air kecil atau air besar dengan menggunakan alat-alat instinjak. 2. Hukum istinjak adalah wajib apabila seseorang itu membuang air besar atau kecil. Istinjak boleh dilakukan dengan air, atau batu atau benda-benda kesat. Menggunakan kedua-duanya (air dan batu atau benda-benda kesat) dalam satu masa sebagai alat istinjak adalah lebih afdal (baik). Sabda Rasulullah SAW: Bila salah seorang antara kamu pergi buang air hendaklah beristinjak dengan tiga biji batu, kerana demikian itu cukuplah untuknya(Riwayat An-Nasai dan Abu Daud).

3. Alat-alat yang boleh digunakan untuk beristinjak termasuklah: (a) air mutlak. (b) benda-benda yang kesat, keras dan kering seperti batu, kayu, daun kering, kertas, dan sebagainya. Alat-alat yang diharamkan untuk beristinjak termasuklah: (a) bahan-bahan makanan seperti roti. (b) tulang-tulang binatang. (c) kertas yang tertulis nama Allah S.W.T., ayat-ayat Al-Quran dan Al-Hadis.

Cara Beristinjak 1. Istinjak boleh dilakukan dengan tiga cara iaitu : (a) menggunakan air mutlak. o bersihkan tempat keluar najis hingga suci dan dan bersih o pastikan hilang bau, rasa, rupa, dan warna najis tersebut. (b) menggunakan benda kesat atau batu. o hendaklah dicalitkan tempat keluar najis sebanyak tiga kali. o jika menggunakan satu batu, hendak disapukan pada tiga penjuru batu tersebut. o sekiranya masih belum bersih, wajib diulang sehingga benar-benar suci.

(c) menggunakan air dan batu. o menyapu tempat keluar najis dengan batu sehingga hilang najis tersebut, o kemudian, dibersihkan dengan air untuk menghilangkan rasa, bau, dan warnanya 2. Selepas selesai beristinjak, kita disunatkan membaca doa memohon kepada Allah S.W.T. supaya kita tergolong dalam golongan yang bersih dan beramal soleh. 3. Beristinjak dengan benda-benda kesat mempunyai beberapa syarat, iaitu: (a) alat tersebut kering dan bersih. (b) alat tersebut bukan daripada benda yang diharamkan seperti makanan atau yang seumpama dengannya. (c) najis tersebut masih belum kering.

(d) najis tersebut tidak beralih daripada tempat asalnya. (e) disapu sebanyak tiga kali, tetapi sekiranya belum bersih hendaklah diulang lagi sehingga bersih. (f) tidak ada benda-benda lain yang melekat di tempat keluar najis.

Hikmat-hikmat beristinjak termasuklah: (a) menjauhkan diri daripada kuman yang membawa penyakit. (b) supaya badan dalam keadaan sihat dan bersih. (c) dapat mengerjakan ibadat kepada Allah S.W.T., dengan khusyuk. (d) mengelakkan daripada dipandang jijik oleh orang lain. (e) supaya anggota badan tidak dijangkiti oleh pelbagai penyakit.

You might also like