You are on page 1of 6

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Sistem reproduksi memiliki empat dasar antara lain untuk menghasikan sel telur yang membawa setengah dari sifat genetik keturunan, untuk menyediakan tempat pembuahan selama pemberian nutrisi dan perkembangan fetus dan untuk mekanisme kelahiran. Adapun lokasi sistem reproduksi terletak paralel diatas rektum. Sistem reproduksi dalam terdiri dari ovari, oviduct, dan uterus. Sistem organ yang terdapat didalam tubuh suatu organisme, yang mampu bekerja sama untuk tujuan tertentu atau disebut reproduksi, dinamakan dengan sistem reproduksi (Ganong, 1983). Analisa sperma merupakan suatu tindakan untuk melihat kualitas dan kuantitas semen. Analisa sperma meliputi volume, konsentrasi, pH, motilitas, morfologi. Volume sperma normal pada sekali ejakulasi minimal 2 ml, apabila kurang dari volume tersebut maka dapat dikatakan tidak ada semen (aspermia). Hasil dari analisis spermatozoa bisa menetukan apakah terdapat masalah reproduksi atau infertilitas. Apabila terjadi suatu kelainan pada sistem reproduksi organisme, maka hal tersebut sangat berpengaruh dengan kemampuan gamet untuk melakukan fungsinya. Mutu suatu sistem reproduksi dapat dilakukan pada level gamet, yaitu dengan melakukan analisis sperma atau pun ovum (Pearce, 2003). 1.2 Permasalahan Rumusan masalah yaang dapat diambil berdasarkan latar belakang diatas adalah a. Bagaimana morfologi dari spermatozoa? b. Bagaimana cara untuk menganalisa spermatozoa? 1.3 Tujuan Tujuan dari praktikum ini antara lain mengetahui morfolgi dan analisa spermatozoa.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Analisa sperma merupakan pemeriksaan untuk menilai ciri serta kualitas spermatozoa, bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat ketidaknormalan yang dapat mengganggu kesuburan dan menghambat terjadinya pembuahan. Spermatozoa merupakan sel gamet yang diproduksi oleh organisme atau hewan jantan. Dimana tempat produksi spermatozoa terjadi di dalam testis. Proses pemsakan dan pembentukan spermatozoa disebut dengan spermatogenesis. Secara morfologi, sel spermatozoa terdiri dari kepala, yang didalamnya mengandung akrosom dalam keadaan kompak dan inaktif, dua sentiol dan ekor. Salah satu dari sentriol adalah badan basal dari flagelum, yang merentang sepanjang ekor. Mitokondrion mengelilingi bagian atas flagelum dan menyediakan energi untuk gerakan pukulan cambuk pasa sel spermatozoa. Kepala spermatozoa berisi inti dengan 2/3 bagiannya diselubungi oleh akrosom (Yatiim, 1996). Kepala sel spermatozoa dewasa dilindungi oleh penutup acit, serta mengandung nukleus dan 23 kromosom. Kepala spermatozoa mengandung inti yang membawa material genetik yang bersifat haploid yang berupa kantong berisi sekresi-sekresi enzim hidrolitik (Siciliano dkk, 2008). Secara morfologi, spermatozoa normal memiliki kepala yang berbentuk lonjong, leher yang lebih tebal daripada ekor. Pada bagian leher spermatozoa, yang memiliki panjang kurang lebih 1-1,5 m, dan merupakan bagian yang menghubungkan antara leher dengan ekor spermatozoa, mempunyai mitokondrion yang mengelilingi bagian atas flagelum dan menyediakan energi untuk pergerakan spermatozoa. Ekor spermatozoa terbuat dari serabut protein yang mengkerut dan mempunyai karakter seperti ombak. Ekor spermatozoa terdiri atas tiga bagian yaitu middle piece, principal piece dan end piece. Ekor yang motil tersebut pada pusatnya sama seperti flagellum memiliki struktur axoneme yang terdiri atas mikrotubul pusat dikelilingi oleh sembilan doblet mikrotubul yang berjarak sama satu dengan yang lainnya (Mitchell dkk, 2005). Sel spermatozoa memiliki organel-organel yang sangat sedikit dibandingkan dengan sel-sel lain. Spermatozoa tidak mempunyai ribosom, retikulum endoplasma dan badan golgi. Sebaliknya, spermatozoa memiliki banyak sekali mitokondria yang

letaknya sangat strategis untuk pengefisiensian energi yang diperlukan (Elaine dkk, 2010). Menurut Pratiwi (2005) pengujian atau analisa sperma yang dapat dilakukan dapat dilihat melalui parameter berikut ini, a. Volume Volume semen normal yang diejakulasikan berkisar 2-10 ml. Apabila kurang dari 2 ml, maka dapat dikatakan tidak mengandung semen. b. Ph pH normal semen berkisar antara 7.2-8. Semen pada umumnya memiliki pH netral. c. Warna Warna semen pada masing-masing organisme sangat berbedabeda. Warna semen biasanya abu-abu, apabila tidak abu-abu menunjukkan konsentrasi sperma yang rendah. Warna kemerahan pada semen menunjukkan bahwa semen telah terkontaminasi oleh darah, sedangkan apabila warnanya berubah coklat menunjukkan bahwa semen yang telah terkontaminasi darah mengalami dekomposisi pada darahnya. Warna semen yang kehijauan merupakan indikasi adanya bakteri pembusuk. Sehingga pengetahuan mengenai warna semen ini sangat perlu dilakukan, mengingat sperma merupakan sel yang mempunyai pengaruh besar terhadap adanya individu baru. d. Kekentalan Kekentalan sperma dapat diukur dengan panjang benang-benang yang terbentuk pada panjang normal 40 mm. e. Jumlah dan konsentrasi sperma Minimal lebih dari 20-60 juta/ml f. Motilitas Motilitas atau pergerakan sperma harus lebih dari 60%. Pada gerakan massa, yaitu berupa aktivitas gelombang massa spermatozoa secara keseluruhan. Sedangkan gerakan individu, dinilai secara subyektif dimana penilaian dimulai dari 0% tidak bergerak, sampai 100% bergerak seluruhnya. g. Persentase morfologi Pengamatan dengan melihat % spermatozoa normal dan abnormalitas. Persentase morfologi pada sperma normal yaitu lebih dari 30.

Ovarium merupakan kelenjar kelamin betina pada hewan atau manusia. Ovarium berjumlah dua, adapun fungsi ovarium adalah untuk menghasilkan sel telur serta untuk mensekresikan hormon tertentu (Yatim, 1996). Pada saat terjadi siklus menstruasi, FSH disekresikan oleh hipofisa dan merangsang perkembangan dan pematangan folikel pada ovarium. Folikel tersebut akan berkembang menjadi folikel de graaf yang akan memproduksi estrogen. Adaya hormon estrogen tersebut, akan menekan produksi FSH dan selanjutnya hipofisa akan memproduksi hormon kedua yaitu LH (Filicori, 1999). Kedua jenis hormon ini, yaitu LH dan FSH berada dibawah kontrol releasing hormone atau RH yang disalurkan hipotalamus ke hipofisa. Produksi hormon gonadotropin yaitu FSH, LH akan menyebabkan pematangan folikel (Schwart dkk, 1981). Estrogen sendiri akan memengaruhi perkembangan dinding endometrium. Setelah sel telur ovulasi, maka akan terbentuk corpus luteum. Korpus luteum menghasilkan progesteron yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kelenjar endometrium. Bila tidak terjadi fertilisasi maka korpus luteum tersebut akan berdegenerasi dan mengakibatkan penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron. Penurunan kadar kedua hormon ini menyebabkan degenerasi, perdarahan, dan pelepasan dari endometrium. Proses tersebut dinamakan menstruasi. Apabila terdapat pembuahan dalam masa ovulasi, maka korpus luteum tersebut tetap dipertahankan (Elaine dkk, 2010).

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum ini dilaksanakan pada pukul 08.00 WIB- selesai, Kamis 26 April 2012. Di laboratorium Fisiologi Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya. 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain cawan petri, gelas obyek, gelas penutup, wadah plastik, tabung container, pH meter, dan mikroskop cahaya. Bahan yang digunakan yaitu semen kambing yang berasal dari Balai Inseminasi Buatan Singosari dalam bentuk straw, larutan PBS, aquades, dan nitrogen cair sebagai media preservasi semen. 3.2 Cara kerja Pertama semen kambing di thawing, dan diletakkan dalam cawan petri. Lalu diukur Ph dan ditentukan viskositas. Semen tersebut diencerkan pada aquades dan PBS dengan perbandingan 1;5. Kemudian diamati morfologi, kecepatan gerak, arah gerak dan viabilitas sperma di bawah mikroskop. DAFTAR PUSTAKA

Elaine,N.M dan Katya. 2010. Human Anatomy and Physiology, ed 2. Benyamin Cummings. San Fransisco Filicori M. The role of luteinizing hormone in folliculogenesis and ovulation induction. Fertil Steril 1999; 71: 405-12 Ganong, W. F, 1983. Fisiologi Kedokteran. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta. Mitchell D Kaplan dan Bruce J Baum, 2005. The Function Of Sperma. Med. Vol 8. Numb 3. Springer Journal. New York. Pratiwi, W. C., L. Affandhy, dan D. Pamungkas. 2005. Observasi Kualitas Spermatozoa Pejantan Simmental dan PO dalam Straw Dingin Setelah Penyimpanan 7

Hari pada Suhu 5C. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005. hal 200-205. Schwart M, Jewelewics R. The use of gonadotropins for induction of ovulation. Fertil Steril 1981; 35: 3- 10 Siciliano, L., V. Marciano, A. Carpino. 2008. Prostasome- Like Vesicles Stimulate Acrosome Reaction of Pig Spermatozoa. Reproductive Biology and Endocrinology, 6:5 Yatim, W. 1990. Biologi Modern Histologi. Penerbit Tarsito. Bandung

You might also like