You are on page 1of 133

PERUMAHAN

Membentang Atap Berpilar Asa

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NADNIAS (BRR NADNIAS) 16 April 2005 16 April 2009

Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62651636666 Fax. +62651637777 www.eacehnias.org know.brr.go.id Pengarah Penggagas

Kantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias, Indonesia, 22815 Telp. +6263922848 Fax. +6263922035

Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakarta Selatan Indonesia, 12110 Telp. +62217254750 Fax. +62217221570

: Kuntoro Mangkusubroto : Bambang Sudiatmo Kasru Susilo Wisnubroto Sarosa : Cendrawati Suhartono (Koordinator) Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo Margaret Agusta (Kepala) : Ihsan Abdul Salam : Bodie Wibowo Erwin Fahmi Douglas Y. Batubara Juniawan Lukman Age Mirisa Hasfaria S. T. Nirarta Samadhi Widosari Jamil

Fotografi Desain Grafis

: Arif Ariadi Bodi Chandra : Bobby Haryanto (Kepala) Edi Wahyono Priscilla Astrini Surya Mediana

Editor

Editor Bahasa Penulis

Penyelaras Akhir : Aichida UlAflaha Heru Prasetyo Intan Kencana Dewi Ratna Pawitra Trihadji Ricky Sugiarto (Kepala) Rudiyanto

Alih bahasa ke Inggris Editor Editor Bahasa Penerjemah : Margaret Agusta : Linda Hollands : Narottama Notosusanto Ratna Pawitra Trihadji Tjandra Kerton Thilma Komaling

Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF) melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

ISBN 9786028199384

Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porakporanda kini ramai kembali seiring dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah kehilangan hampir segalanya. Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan Nias. Berdasarkan hal tersebut, melalui halamanhalaman yang ada di dalam buku ini, BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang menyatukan dunia.

Saya bangga, kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran dengan negaranegara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upayaupaya serupa, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009 tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009

Tampak udara Kota Baru Beuramoe, Kabupaten Aceh Besar, 3 April 2009, yang dibangun sebagai kompleks relokasi bagi para penerima manfaat rumah pascatsunami. Dengan tersedianya prasaranasarana dasar yang lengkap dan terintegrasi, kota satelit baru yang dibangun oleh sejumlah Mitra Pemulihan ini menjadi monumen nyata kerja sama kemanusiaan antarbangsa. Foto: BRR/Arif Ariadi

Daftar Isi
Pendahuluan Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang
Bencana Tiada Bandingannya Merumuskan Arah dan Langkah

viii 1
1 8

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik


Menetapkan Pedoman Menyusun Kebijakan yang Bijak Membangun Kembali dengan Strategi

17
17 21 21

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

Perencanaan Desa Kerangka Kerja dan Rencana Aksi Tata Ruang Kecamatan Proyek Rekonstruksi Tanah dan Sistem Administrasi di Aceh ReKompak: Partisipasi Masyarakat dalam Rekonstruksi Perumahan Kota Baru, Harapan Baru Memberikan Tempat Berlindung bagi Penyewa Penyediaan Infrastruktur Kawasan dan Permukiman Membangun Perumahan dan Permukiman Bersama Kawan Menguak Fakta Lewat Sistem Informasi Geospasial Ketika Rumah Harus Sekejap Dibangun Dilema di Persimpangan Jalan Ribuan Rumah, Ribuan Kontraktor Menghadapi Hambatan Beradaptasi terhadap Kebutuhan Capaian Empat Tahun Hikmah Ajar dari Lapangan Renungan Penutup

29

29 36 41 49 54 56 62 63 68 75 78 79 81 83

Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan

75

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan

93 101 113

93

Daftar Singkatan

114

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

viii

Pendahuluan
SELAMA tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, Sang
Saka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga dunia tercengang, pilu. Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa jiwa dan saranaprasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib terseret ombak. Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah jinak selama lebih dari seribu tahun. Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600an kilometer patahan dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda. Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat.

Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulaupulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000an orang mendadak berstatus tunakarya. Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecilmenengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah. Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia semakin tercengang. Tangantangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar. Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handaitaulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik. Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah pada masa depan. Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan AcehNias yang dilandaskan pada

Pendahuluan

ix

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun AcehNias secara lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional. Pemulihan AcehNias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap program pemulihan. Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya dan teladan bagi kerja sama internasional. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat kepemimpinan efektif dari Pemerintah. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porakporanda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini. Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR. Kelima belas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala, solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program pemulihan AcehNias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi bagi program penanganan dan penanggulangan bencana di seluruh dunia. Buku berjudul Membentang Atap Berpilar Asa ini mengulas bagaimana rumah beserta kelengkapan prasaranasarana dasarnya dibangun dan ditata agar tercipta lingkungan yang ramahhuni. Tanpa itu, sulit bagi masyarakat penyintas untuk bangun, beraktivitas, merencanakan masa depan, serta merealisasikan harapanharapannya secara nyaman dan damai. Pada titik inilah arti penting sektor ini diketengahkan. Prioritas pembangunan perumahan adalah, jelas, untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi para penyintas. Sekalipun sempat tertatihtatih dan terganjal seabrek tantangan, namun kini, rumahrumah terlihat berjajaran. Baru, indah, segar, menjulurmengelompok sebagai kluster permukiman baru. Pelibatan masyarakat beserta pewadahan aspirasi harapanharapannya, kendatipun terkadang susah diterapkan secara utuh, telah menjadi tiang utama bagi diimplementasikannya sebagian besar proses merumahkan kembali.

Capaian 4 Tahun
Rehabilitasi dan Rekonstruksi
635.384 127.720
orang kehilangan tempat tinggal orang meninggal dan 93.285 orang hilang usaha kecil menengah (UKM) lumpuh

104.500 155.182 195.726

tenaga kerja dilatih UKM menerima bantuan

xi

rumah rusak atau hancur hektare lahan pertanian hancur guru meninggal kapal nelayan hancur

139.195 140.304 73.869 69.979

rumah permanen dibangun hektare lahan pertanian direhabilitasi guru dilatih kapal nelayan dibangun atau dibagikan sarana ibadah dibangun atau diperbaiki kilometer jalan dibangun sekolah dibangun sarana kesehatan dibangun bangunan pemerintah dibangun jembatan dibangun pelabuhan dibangun bandara atau airstrip dibangun

1.927 39.663

13.828 7.109

sarana ibadah rusak kilometer jalan rusak sekolah rusak

1.089 3.781

2.618 3.696

3.415 1.759

sarana kesehatan rusak bangunan pemerintah rusak jembatan rusak pelabuhan rusak bandara atau airstrip rusak

517 1.115

669 996

119 363 22 23

8 13

Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang


Bencana Tiada Bandingannya

TERSENTAK. Terhenyak. Tercekat. Itulah yang dirasakan ratusan ribu orang ketika

bagian barat daya Pulau Sumatera diguncang gempa dahsyat berkekuatan 9,1 Skala Richter disusul gelombang tsunami setinggi pohon kelapa. Bukan mainmain, gempa 26 Desember 2004 adalah gempa dunia terbesar selama 40 tahun terakhir. Di Indonesia sendiri, inilah peristiwa alam terburuk setelah Krakatau meletus pada 1883. Minggu pukul 8 pagi, yang tak pernah terbayangkan datang. Dalam sekejap gelombang tsunami menyapu 800 kilometer wilayah pesisir Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)kirakira setara jarak JakartaSurabaya. Gempa disusul tsunami menelan begitu banyak korban. Di Aceh, 126.741 orang dipastikan tewas dan 93.285 orang dilaporkan hilang. Dalam sektor perumahan dan permukiman, dampak bencana sangat luar biasadiperkirakan lebih dari setengah juta orang kehilangan tempat tinggal. Ibu kota provinsi, Banda Aceh, termasuk kota yang paling parah terkena dampak tsunami. Pada 28 Maret 2005 pukul 23.09 WIB, gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter selama sekitar lima menit mengguncang Pulau Sumatera. Gempa ini merupakan gempa bumi terbesar kedua di dunia sejak 1964. Getarannya terasa hingga radius 1.000 kilometer sampai Bangkok, Simeulue, Singkil, dan Nias pun terguncang kembali.
Tsunami telah menyulap panorama makmur desadesa pesisir di Pantai Barat Aceh, seperti di Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar, 22 April 2005 ini, menjadi hamparan reruntuhan dan puingpuing. Foto: Arif Ariadi

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Rumahrumah yang tidak hancur total oleh tsunami, misalnya di Kampung Mulia, Banda Aceh, 26 Mei 2005 ini, temboknya banyak yang dicoretcoreti grafiti terutama untuk menandai kepemilikan si empunya rumah yang telah meninggal atau mengungsi. Foto: BRR/Arif Ariadi

Secara singkat, dalam melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi, sektor perumahan dan permukiman menghadapi serangkaian pekerjaan mahaberat. Mencari dan mempersiapkan tanah, mendata calon penerima manfaat, membangun rumah dan segala prasarana, termasuk tata ruang yang dibutuhkan untuk membangun permukiman dan menempatkan para korban bencana ke rumahrumah tersebut, sungguh sangat jauh dari kata mudah. Tanah sendiri merupakan persoalan besar yang membutuhkan penanganan tersendiri. Tercatat daerah yang terkena tsunami 13.610 hektare dari luas wilayah 5.736.577 hektare sebelumnya. Sebagian wilayah di Kecamatan Meuraxa, Syiah Kuala, Kuta Raja, dan Jaya Baru tenggelam. Selain itu, sebagian besar catatan terkait pertanahan di wilayah yang tersapu gelombang tsunami hilang atau rusak. Tak hanya itu, tsunami juga melenyapkan titiktitik batas tanah. Banyak pemilik tanah hilang tanpa dapat diketahui kabarnya. Badan Pertanahan Nasional, lembaga negara yang berkewenangan di bidang pertanahan lumpuh karena sebagian besar kantornya hancur dan 30 persen pegawainya hilang atau meninggal dunia. Belakangan juga diketahui ternyata hanya 10 persen dari warga yang mengaku memiliki rumah sebelum tsunami yang dapat menunjukkan sertifikat tanah seperti diatur dalam hukum pemerintah Indonesia, sebagian besar dimiliki oleh perorangan dan diatur melalui adat.

Di wilayah pascabencana seperti Aceh ini, kesenjangan, ketidakadilan dan ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar ini rawan memicu konflik. Sedangkan kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kondisi setelah tsunami membuat keluargakeluarga korban sulit ditemui. Beberapa meninggal dunia, sebagian tidak lagi tinggal di wilayah tersebut, sebagian lagi mengungsi ke wilayah lain, ke kota lain sampai ke negara lain. Metode seperti sensus maupun survei menjadi sulit untuk dilakukan. Dalam mengatasi hal ini disusunlah strategi unik dalam penghitungan penerima manfaat. Perumahan ini menjadi salah satu isu yang paling penting dalam penanganan pascabencana. Hal ini karena rumah termasuk kebutuhan dasar manusia. Karena itu, merumahkan kembali korban menjadi salah satu pekerjaan besar yang perlu segera dikerjakan. Memenuhi kebutuhan dasar akan rumah menjadi jauh lebih penting lagi mengingat wilayah pascabencana ini juga mengalami konflik selama berpuluh tahun. Kesenjangan atau kegagalan memenuhi kebutuhan yang satu ini punya potensi besar untuk memicu konflik yang jauh lebih parah lagi di wilayah ini. Akan tetapi rumah yang dibangun tak bisa sekadar asal jadi. Datadata lapangan menyimpulkan bahwa kondisi perumahan dan permukiman adalah salah satu penyebab tingginya jumlah korban meninggal dan cedera, antara lain 1. Tidak ada tempat tinggi sebagai ruang untuk menyelamatkan diri; 2. Tidak ada akses yang cepat dan lancar menuju ke tempat yang tinggi; 3. Terjebak bottleneck karena pola dan lebar jaringan jalan tidak dirancang untuk fungsi evakuasi; 4. Terbentur bongkahan bangunan, kendaraan, pohon dan sebagainya yang dibawa tsunami; dan 5. Bangunan runtuh karena tidak tahan gempa dan gelombang tsunami. Oleh karena itu, rumah yang dibangun mutlak harus memenuhi syarat paling penting, yaitu tahan gempa. Selain itu, wilayah permukiman harus memiliki prasarana dan sarana dasar yang dibutuhkan untuk evakuasi dan mitigasi bencana. Baik rumah maupun perencanaan tata ruang ini pun perlu melibatkan peran serta masyarakat guna memastikan agar masyarakat nantinya menghuni rumah yang dibangun, punya rasa memiliki sehingga terus merawat, memelihara serta menyempurnakan rumah dan wilayah tempat mereka bermukim.

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

Persoalan berikut yang cukup pelik adalah menghitung para calon penerima rumah, yaitu keluargakeluarga yang terdata sebagai penerima manfaat. Maka pendataan menjadi langkah awal yang penting. Jika pendataan ini tidak akurat, mereka yang berhak bisabisa tidak menerima rumah sedangkan mereka yang tidak berhak justru mendapat rumah bahkan lebih dari satu.

Ketika Tanah Tak Bertuan


PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

simbol asal usul juga sebagai aset ekonomi. Berbagai kasus terkait hak waris juga perwalian adalah halhal yang perlu dipertimbangkan dalam urusan soal tanah. UndangUndang no. 48/2007 tentang Penanganan Permasalahan hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi naD dan Kepuluan nias, Provinsi Sumatera Utara, dikeluarkan sebagai payung hukum untuk mengurus halhal ini. Undangundang ini mengatur soal tanah yang masih ada dan tanah musnah dan penggantiannya serta soal relokasi juga pembebasan tanah termasuk untuk pembangunan infrastruktur seperti fasilitas umum, fasilitas sosial dan jalan, juga pembangunan tanggul penahan air asin maupun tanggul laut. adapun harga terkait pembebasan tanah tergantung pada proses negosiasi yang disepakati dengan mengacu pada referensi harga yang berlaku dengan bantuan tim penilai independen dari masyarakat. Panitia pengadaan tanah (PPT) kabupaten/ kota yang dibentuk oleh bupati/wali kota untuk mengatur penyediaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota, keanggotaannya terdiri atas unsur perangkat daerah. adapun tugas panitia ini adalah Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan bendabenda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang mendukungnya Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan

Tanah punya nilai penting, baik sebagai

pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan atau pemegang hak atas tanah Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda benda lain yang ada di atas tanah Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah, dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten

Jika ada tanah yang tidak dapat diidentifikasi pemiliknya, status kepemilikan dianggap sebagai Mr X. Prosedur penetapan kepemilikan Mr X dimulai dengan pengajuan namanama pemilik tanah oleh tim yang diketuai wali kota. Kemudian Mahkamah Syariah menetapkan bahwa tanah yang telah diukur itu tidak diketahui pemiliknya. Jika di kemudian hari pemilik tanah yang sah kembali dan mengklaim tanah miliknya, pemilik tersebut berhak mengajukan penarikan dana dari baitulmal (tempat pengumpulan zakat) dengan menunjukkan bukti sah bahwa dia adalah sang ahli waris. Pengelolaan tanah akan diserahkan kepada baitulmal setempat. Karena belum banyak baitulmal berdiri, maka tanah tersebut diawasi oleh kantor gampong (desa). Pengelolaan tanah ini dialihkan kepada kepala gampong yang biasa disebut geuchik, atau tuha peut (pemuka komunitas) dan semua manfaat dari tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan meunasah (sarana keagamaan di dan komunitas setempat.

Serangkaian tugas berat ini perlu mempertimbangkan satu tugas lagi, yaitu mengelola bantuan yang datang dari berbagai belahan dunia yang disalurkan melalui 900 lembaga yang mengambil peran dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Kata orang, koordinasi adalah kata yang mudah diucapkan tetapi sangat sulit untuk dilakukan. Dalam situasi seperti ini, koordinasi sangat penting karena jika tidak, beberapa daerah akan dibanjiri bantuan dan yang lain tidak. Beberapa kawasan tuntas dalam periode waktu tertentu, yang lain belum. Beberapa wilayah ditangani dengan pendekatan dan metode tertentu, yang lain dengan cara dan langkah yang berbeda. Perbedaanperbedaan tersebut mungkin tidak dipandang sebagai keberagaman, tetapi justru sebagai upaya sengaja melakukan diskriminasi. Di wilayah pascakonflik seperti Aceh, persepsi seperti ini sangat rawan memicu konflik sosial. Maka, tak berlebihan menyebut bahwa sektor perumahan dan permukiman menghadapi pekerjaan dengan tingkat kesulitan yang sukar dicari bandingannya mulai dari kesukaran di tingkat perencanaan sampai pelaksanaan, risiko aspek teknis sampai dampak sosial yang luar biasa besar. Oleh karena itu, sektor perumahan dan permukiman tidaklah sekadar membangun rumah atau jalan, tetapi juga memberdayakan masyarakat agar terlibat dalam proses tersebut. Satu lagi. Semua rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dan permukiman ini harus selesai dalam waktu empat tahun.

Idul Fitri pertama pascatsunami bagi para penghuni barak Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, 3 November 2005, tidak bisa tidak, dilalui dengan keprihatinan akibat duka mendalam bencana tsunami. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

Tak Semudah Menghitung Hidung


PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

kebutuhan, perlu ada data yang akurat dan terkini yang menghitung para calon penerima manfaat. Penetapan penerima bantuan perumahan menjadi awal dari semua kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dan permukiman. Di tahap awal rehabilitasi dan rekonstruksi pada 2005, data calon penerima manfaat diperoleh dari survei yang dilakukan oleh LSM garansi yang bekerja sama dengan Dinas Sosial Provinsi naD, United nations Development Programme (UnDP), United nations Information Management Service (UnIMS), United nations humanitarian Information Centre (UnhIC), dan Badan Pengelola Data Elektronik (BPDE) Dinas Informasi dan Komunikasi Provinsi naD. Survei dilakukan dengan metode sensus yang melibatkan struktur formal pemerintahan khususnya di tingkat desa dan kecamatan, tanpa melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat. Data yang disampaikan ke Kedeputian Perumahan dan Permukiman BRR menunjukkan jumlah kebutuhan rumah yang perlu dibangun dan yang perlu diperbaiki per desa berdasarkan jumlah kepala keluargatanpa mencantumkan nama korban. Data yang dapat digunakan sebagai bahan perencanaan dalam penentuan jumlah kebutuhan pembangunan atau perbaikan rumah ini tidak memadai untuk pelaksanaan pemberian bantuan bidang perumahan. Oleh karena itu, perlu ada unit yang mengumpulkan data namanama calon penerima bantuan sekaligus melakukan verifikasi. Maka pada 2006, dibentuk Direktorat Prakarsa Pembangunan Partisipatif (P3). Direktorat P3 dilengkapi dengan suatu struktur yang terdiri atas petugaspetugas yang ditempatkan di daerah yaitu asisten Manajer Perumahan dan Permukiman di tingkat kabupaten/kota dan fasilitator kecamatan yang berhubungan langsung dengan Komite Percepatan Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Desa (KP4D) dan masyarakat korban di tingkat desa. KP4D adalah kelompok masyarakat korban di tingkat desa dengan anggota dari unsurunsur perangkat desa dan tokoh masyarakat desa.

agaR rumah yang dibangun sesuai dengan

Secara umum pendekatan penetapan penerima bantuan dilakukan dengan cara menjadikan korban (dalam hal ini kepala keluarga) sebagai subjek yang layak menerima bantuan perumahan. Pendataan calon penerima bantuan perumahan dilaksanakan melalui pendekatan berbasis masyarakat desa karena merekalah pihak yang paling memahami korban yang berhak menerima bantuan serta tempat tinggalnya sebelum terjadi bencana. Setiap anggota masyarakat yang merasa sebagai korban bencana aktif mendaftarkan diri ke KP4D untuk didata dan diverifikasi serta divalidasi. KP4D sendiri melakukan pendataan secara aktif terhadap korban dan kelayakannya untuk mendapatkan bantuan. hasil akhir proses ini adalah berupa daftar korban yang berhak menerima bantuan perumahan. Daftar tersebut kemudian diumumkan di tempattempat tertentu sebagai bentuk awal uji publik dan selanjutnya dilakukan rembuk warga dengan melibatkan sebanyakbanyaknya warga masyarakat. Dengan cara demikian diharapkan bahwa calon penerima bantuan adalah benarbenar penyintas dari warga setempat yang dikenal oleh masyarakat luas di desa yang bersangkutan. Pendekatan partisipasi masyarakat yang dilakukan dalam pendataan dan verifikasi diakhiri dengan pembuatan suatu berita acara finalisasi data yang disahkan oleh geuchik, tuha peut, KP4D, kepala desa atau lurah, dan camat masingmasing wilayah. Prosedur pendaftaran, pendataan, dan verifikasi calon penerima bantuan pada 20062007 adalah seperti ditunjukkan dalam gambar berikut di bawah ini. Finalisasi pendataan dilakukan sejak akhir 2006 sampai akhir Mei 2007. Melalui media massa, diumumkan bahwa pada 20 Mei 2007 adalah hari terakhir penerimaan data dari desa. Pada Oktober 2006 dibentuk Komite Verifikasi dan Penertiban Penerima Manfaat Bantuan Perumahan (Komvertib). Komite ini bertugas untuk melakukan verifikasi ulang dan penertiban terhadap dugaandugaan adanya penyimpangan penerimaan bantuan perumahan.

Masyarakat Pemohon Bantuan rumah

Gampong/ Kelurahan

KP4D

Uji Publik Penerima Manfaat Rembuk Warga

Fascam
Pengumuman Valid

Kompilasi

Berita Acara Verifikasi

Asperkim

Direktur PPP Berita Acara Serah Terima

LSM

Direktorat Perencanaan dan Pemrograman

Direktorat MK1, MK2, Kantor Perwakilan

Satker

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

Gambar 1.1. Proses Pendataan dan Verifikasi Calon Penerima Bantuan Perumahan dan Kaitannya dengan Pelaksana Pembangunan

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Perawatan seharihari barak seperti membersihkan saluran pembuangan di Barak Sigli, Kabupaten Pidie, 13 Mei 2005, ini dilakukan para penghuninya demi menciptakan hunian yang sehat dan nyaman. Foto: BRR/Arif Ariadi

Merumuskan Arah dan Langkah


Tempat berlindung merupakan salah satu kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Tempat berlindung melindungi manusia dari panas dan hujan, memberikan rasa aman, dan tempat menyusun kembali semangat untuk bertahan melampaui beragam kesukaran serta memperkuat rasa saling membutuhkan antarmanusia. Tsunami dan gempa bumi yang menghancurkan Aceh di pengujung 2004 semakin menegaskan kebutuhan korban akan tempat berlindung yang aman. Mereka yang selamat dapat bertemu dengan sesama penyintas, berbagi kesedihan dan bersamasama berusaha menyembuhkan lukaluka batin. Di awal 2005, barak bermunculan di Aceh, berkat kerja sama antara Departemen Pekerjaan Umum yang mendukung dari sisi penyediaan dana serta pembangunannya dan pemerintah daerah (pemda) yang mencarikan lokasi. Sebagian barak berdiri di atas tanah milik pemerintah, baik pemda, Tentara Nasional Indonesia atau pemerintah pusat, dan sebagian lagi di atas tanah milik warga atau yayasan pesantren. Beberapa LSM ikut berpartisipasi dalam mendirikan sejumlah barak. Barak tidak hanya dilengkapi dengan fasilitas fisik seperti sanitasi, tetapi juga fasilitas sosial dan kemanusiaan. Pada Desember 2006, jumlah titik barak menjadi 190 titik.

Pengelolaan barak berada di bawah manajemen pemerintah daerah. Tanggung jawab operasional barak secara khusus berada di bawah muspika masingmasing kecamatan, yang terdiri atas camat, danramil, dan kapolsek. Camat melaporkan kepada bupati/ wali kota untuk halhal yang tidak mampu diatasi. Gubernur sebagai kepala daerah bertanggung jawab kepada Menteri Sosial terkait dengan penanganan barak secara keseluruhan. Sering kali penghuni barak tidak sepenuhnya adalah warga yang sebelumnya tinggal di desa tempat barak tersebut berada. Lokasi barak tidak selalu mencerminkan lokasi asal penghuninya. Selain itu, terdapat barakbarak yang tidak terletak di daerah tsunami, jauh dari daerah bencana, seperti di Jantho, Samahani, dan Sibreh di Aceh Besar yang dihuni sebagian besar oleh pengungsi dari Aceh Jaya. Secara umum, pada masa tanggap darurat pengorganisasian pengungsi lebih banyak ditangani atau dikoordinasikan satuan koordinasi dan pelaksanaan (Satkorlak), yang fokus pada pemenuhan kebutuhan individual seharihari seperti makanan, obatobatan, air bersih, dan sanitasi. Satkorlak juga mengumpulkan data tetapi lebih pada jumlah jiwa, bukan kepala keluarga, dan sering kali tidak memperhatikan asal usul daerah serta status tempat tinggal sebelum bencana.

Mengangkat rangka bongkarpasang hunian sementara (huntara) secara bersamasama seusai dirakit, di Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, 9 Juni 2006, menunjukkan betapa tradisi meuseuraya (gotongroyong) pada masyarakat Aceh masih belum luntur. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Selain itu, terhitung sejak Januari 2005, para pengungsi di barak mendapatkan bantuan kehidupan dari Departemen Sosial. Bantuan yang dikenal dengan istilah jatah hidup (jadup) ini mencakup biaya beras, laukpauk, dan makanan tambahan. Luasnya wilayah bencana, besarnya kerusakan infrastruktur, dan lumpuhnya aparat pemerintahan setempat, membuat penanganan barak pun berbedabeda antara satu kecamatan dan kecamatan lain, masingmasing melakukan improvisasi. Sejumlah barak menerima banyak bantuan, sebagian lagi justru kekurangan. Kualitas kehidupan di barak menjadi sangat tergantung pada kemampuan ketua barak dalam berkoordinasi dengan camat dan berbagai upayanya dalam mencari bantuan dari berbagai pihak. Di sisi lain, sebagian barak menyuburkan sikap bergantung pada bantuan. Belakangan seiring berjalannya waktu, sanitasi, privasi, dan fasilitas anak di beberapa tenda maupun barak pun dinilai kurang layak huni. Kebijakan barak dan jadup ini berlaku sejak masa tanggap darurat sampai April 2005, yaitu di saat BRR berdiri. Pada awalnya, penanganan barak ditangani satuan koordinasi dan pelaksanaan di bawah pemerintah daerah, kemudian penanganan pelayanan terhadap penghuni barak secara gradual sepanjang 2005 beralih pada Direktorat Sosial yang berada di bawah Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya BRR bekerja sama dengan dinas sosial dan lembagalembaga seperti World Food Programme (WFP). Dalam skema pembagian tugas dalam BRR, Direktorat Sosial berkonsentrasi pada keberlangsungan hidup pengungsi yang tinggal di barak tanpa memperhatikan tempat mereka tinggal nantinya. Barakbarak ini banyak yang berlokasi di luar daerah bencana. Sedangkan Kedeputian Perumahan dan Permukiman BRR menitikberatkan pada rekonstruksi rumahrumah yang hancur di wilayah yang terkena tsunami. Pendataannya pun difokuskan pada daerahdaerah bencana di sepanjang pantai. Kurangnya koordinasi antarkedeputian di masa awal pembentukan BRR memang sempat menyebabkan tersisanya kantongkantong penyintas yang terabaikan penyediaan bantuan perumahannya. Bagi organisasi yang baru dibangun, dengan SDM dari berbagai asal dan latar belakang, maka kebijakan pembagian tugas untuk mempercepat rekonstruksi dengan mempertajam fokus masingmasing bidang ternyata menyisakan masalah. Fokus, kebutuhan membangun interaksi dengan pihak ketiga yang berbeda, serta keyakinan bahwa anggota pimpinan organisasi memiliki kepakaran yang cukup, agaknya membuat koordinasi rinci antarunit organisasi dianggap terjadi dengan sendirinya. Persoalan koordinasi ini perlahanlahan dapat diselesaikan dengan baik, meski setelah melampaui masa satu tahun rekonstruksi. Di lapangan, beberapa saat setelah terjadinya bencana, sebagai tempat berlindung darurat, tendatenda menjadi suatu penanganan yang cepat untuk segera memenuhi kebutuhan para penyintas. Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu, bahan tenda tidak berumur panjang dan cepat lapuk akibat hujan dan panas. Oleh karena itu, penting untuk mencarikan alternatif tempat tinggal lain.

10

Setahun pascatsunami di Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, 13 Juli 2006, satu per satu rumah baru dibangun meski belum marakdemi mempercepat pulihnya kehidupan masyarakat. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

11

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Sebuah desain rumah sementara yang diperkenalkan oleh International Federation of RedCross (IFRC) dipandang sebagai pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan tenda karena konstruksi fisiknya yang terdiri atas kerangka baja ringan dengan dinding kayu sehingga lebih kuat dan permanen. Rumah sementara ini pun dapat dirakit dengan mudah dan cepat serta hanya membutuhkan sedikit orang. Dibandingkan dengan barak yang bersifat komunal, rumah sementara ini juga lebih baik karena merupakan unit individual untuk satu keluarga sehingga privasi lebih terjamin. Di akhir 2005, ditempuh kebijakan untuk memindahkan para pengungsi dari tenda ke rumah sementara yang didukung oleh IFRC dan dilaksanakan oleh beberapa organisasi kemanusiaan seperti Palang Merah Indonesia (PMI) dan organisasiorganisasi nonpemerintah misalnya Catholic Relief Service (CRS), International Organization for Migration (IOM), dan United Nations Human Settlements Programme (UNHABITAT). Rumah sementara tersebut pada umumnya didirikan di lokasi yang sama dengan tenda atau di atas bekas pertapakan rumah mereka di atas tanah mereka sendiri. Namun, di beberapa tempat rumah sementara juga didirikan di atas tanah negara atau tanah publik untuk menampung mereka yang tidak mendapatkan tempat di barak penampungan. BRR dan United Nations Office of the Recovery Coordinator (UNORC) terlibat dalam koordinasi pendistribusian dan pelaksanaan pembangunan rumah sementara tersebut. Pj. Gubernur Musthafa Abubakar saat itu sangat mendukung pengadaan rumah sementara, yang mencanangkan bahwa per 1 Juni 2006 Aceh harus bersih dari tenda. Setelah melalui proses realisasi bantuan, ribuan rumah sementara pun berdiri di Aceh sejak April 2006. Di pertengahan September 2006, terjadi demonstrasi di Kantor BRR Aceh yang melibatkan sekitar 200an pengungsi yang dikoordinasikan oleh LSM Forum Komunikasi Antarbarak (Forak). Salah satu aspirasi yang dikemukakan para demonstran mengindikasikan perlunya diberikan perhatian lebih besar terhadap masalah perumahan untuk para penghuni barak. Percepatan pengadaan rumah, khususnya bagi mereka yang masih tinggal di barak, segera diprogramkan. Secara khusus, hal ini seakan menyadarkan BRR bahwa strategi melibatkan bidang sosial budaya dalam program perumahan ternyata kurang efektif pada tingkat implementasi. Integrasi unsur Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya dalam penyelesaian masalah transisi dari barak ke rumah perlu dan segera ditingkatkan secara signifikan dengan dibentuknya tim penyelesaian masalah barak. Kesadaran ini mempertajam fokus dan memperkuat komitmen BRR. Pertimbanganpertimbangan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi Aceh, yaitu pascakonflik puluhan tahun dan pascabencana dahsyat yang tak ada bandingnya. Dapat dibayangkan bahwa situasi batin dan luka menahun yang dirasakan masyarakat Aceh sulit dipulihkan dengan cepat. Intervensi yang dilakukan BRR, terutama lewat rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman ini, diharapkan bisa memberikan

12

atau masih sekadar memimpikannya, tentunya mengerti bahwa perdebatan soal rumah dimulai jauh sebelum fondasi diletakkan. Desain atau rancangan rumah, inilah yang sebenarbenarnya jadi dasar semua langkah. hal serupa terjadi di aceh, karena desain ini menentukan kualitas, harga, tenaga kerja yang dibutuhkan, dan waktu pengerjaan. Sedapat mungkin desain rumah ini memanfaatkan materi yang mudah diperoleh tanpa merusak lingkungan sekaligus menyesuaikan dengan persil lahan yang ada. Tak boleh ketinggalan, rumah haruslah tahan gempa bumi dan bencana dan memperhatikan building code yang berlaku. Satu syarat lagi yang juga penting, perencanaan ini harus dibicarakan dengan warga penerima manfaat secara bersamasama alias partisipatif. adapun standar minimum rumah bantuan yang akan dibangun adalah tipe36 plus, yaitu rumah yang dibangun dengan konsep rumah

BagI yang pernah membangun rumah,

tumbuh berukuran 36 m2 dengan dua kamar tidur dan satu ruang tamu/makan, ditambah dapur dan kamar mandi serta teras di luar besaran 36 m2 tersebut. Standar minimum ini disusun dengan asumsi bahwa sebagian besar keluarga terdiri atas suamiistri dan dua orang anak, serta kebutuhan ruang minimal setiap individu adalah 9 m2. BRR memberi ruang untuk mempertimbangkan keragaman aspirasi, suara, keinginan serta ungkapan hati masyarakat. hal ini penting bagi BRR karena di rumah inilah, harapan akan masa depan yang lebih baik dirajut. Maka secara sadar, rumahrumah ini pun dibuat dalam berbagai desain supaya tidak serba seragam. Keberagaman ini, selain dipicu oleh alasan praktis banyak dan berbagainya pihak yang berniat luhur untuk membantu membangun, diharapkan menjadi satu simbol perjalanan masyarakat dalam mewujudkan jati dirinya menjadi masyarakat yang plural dan kosmopolit.

Memperhatikan tampilan arsitektural

Gambar 1.2. Membangun Rumah Baru: Prinsip Rumah Inti

Rumah inti tipe 36 dengan konsep rumah tumbuh

Aman terutama terhadap gempa Dapat dilaksanakan dengan cepat

Dikonsultasikan dengan warga

Logistik mudah ditangani

Bukan rumah semi permanen

Hemat tenaga kerja

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

Membangun Rumah Baru, Membangun Masa Depan

13

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

14

Tak sedikit rumah bantuan telah dibangun di Desa Deah Geulumpang, Banda Aceh, 1 November 2008, belum kunjung dihuni. Kendala seperti ini telah dipetik hikmah ajarnya bagi pekerjaanpekerjaan serupa pada masa mendatang. Foto: BRR/Arif Ariadi

kepada masyarakat Aceh pengalamanpengalaman menerima manfaat dan merasakan keberhasilan pembangunan. Semua ini diharapkan menjadi batubatu fondasi yang kuat dan kokoh bagi masyarakat Aceh. Di atas fondasi inilah nantinya masa depan Aceh dibangun. Oleh karena itu, rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman tidak terpaku pada penggunaan kacamata yang sempit. Walau ketegasan mandat untuk merekonstruksi wilayah yang terkena bencana tetap dipegang sebagai pedoman utama, fleksibilitas untuk menjangkau wilayah terkait juga dipertimbangkan. Pendekatan yang lebih meluas dan lebih menyeluruh ini digunakan demi mengurangi kemungkinan terjadinya kesenjangan antara wilayahwilayah terkena bencana dan yang tidak terkena bencana, terutama yang berisiko tinggi menimbulkan konflik baru. Pendekatan yang lebih meluas dan menyeluruh tersebut juga menjadi alasan mengapa rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman menjangkau kantongkantong kemiskinan. Jangan sampai upaya rehabilitasi dan rekonstruksi ini justru menanam benihbenih yang nantinya akan tumbuh sebagai kesenjangan sosial, sehingga berpotensi merusak apa yang sudah terbangun kembalibaik secara fisik maupun nonfisik. Para pegiat lembaga nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terjun dan bersentuhan langsung dengan masyarakat mengambil keputusan secara arif bersama masyarakat untuk mencegahnya.

Kesulitan demi kesulitan dalam kegiatan ini terus dihadapi karena sumber informasi, masyarakat itu sendiri, ternyata memiliki interpretasi berbeda mengenai apa yang hak dan apa yang tidak. Ini misalnya terjadi dalam kasuskasus yang disebut sebagai pecah kartu keluarga. Satu rumah yang sebelumnya ditinggali oleh beberapa kepala keluarga diharapkan dapat diganti dengan jumlah rumah bantuan yang lebih banyak untuk menampung semua kepala keluarga, dengan alasan antara lain karena ukuran satu rumah hibah tipe36 yang jauh lebih kecil dari rumah asal. Ada ketentuan yang mengatur hal tersebut, tetapi hasrat masyarakat yang didorong kebutuhan nyata pun bukan tidak berdasar. Kebijakan yang hatihati diterapkan karena potensi manipulasi tak dapat diingkari ada. Keakuratan hasil terus diusahakan sampai batas kemampuan yang ada, agar rasa keadilan, baik antarwarga serta antara warga dan pemerintah yang selama ini terpuruk, kembali bangkit mengisi lahan bagi pembangunan masyarakat yang sebenarnya. Kesulitan lain yang dihadapi terjadi sebagai dampak perubahan organisasi BRR sendiri. Semua kegiatan rekonstruksi perumahan dan permukiman yang tadinya terpusat di Kantor Kedeputian Perumahan di Banda Aceh didelegasikan ke masing masing kantor wilayah. Manfaat nyata kebijakan ini adalah kebijakan yang diambil BRR (dan masalah yang dihadapi) makin didekatkan dengan situasi lapangan yang mungkin saling berbeda. Akan tetapi, waktu transisi yang sangat singkat, karena ketatnya jadwal dan banyaknya sektor, maka serah terima masalah ke kepala wilayah yang baru ditunjuk tak jarang membuahkan reaksi. Akibatnya berbagai kerancuan dihadapi, misalnya dalam determinasi jumlah rumah yang harus dibangun. Dalam kondisi ini kebijakan yang diambil didasarkan pada prinsip lebih baik membangun lebih daripada kurang sambil tetap memperhatikan kehatihatian. Diharapkan kalau memang terjadi kelebihan pembangunan rumah di suatu lokasi tertentu, kelebihannya dapat digunakan Pemda sebagai sarana untuk memfasilitasi kebutuhan yang timbul dari program reintegrasi pascakonflik yang juga dicanangkan pemerintah.

Bagian 1. Ketika yang Tak Pernah Terbayangkan Datang

Pendekatan seperti ini tidak berarti semuanya tidak terencana atau serba asal. Perencanaan dan segala perhitungan tetap dibuat, tetapi ruangruang untuk bersikap fleksibel, responsif, dan berorientasi pada kebutuhan tetap dipertahankan. Di sisi lain, segala perangkat pengawasan terkait terus ditingkatkan. Contohnya, proses pengumpulan data, verifikasi sampai reverifikasi penerima manfaat di bidang perumahan dan permukiman dilakukan berkalikali oleh berbagai pihak dalam waktu cukup lama. Ini semua untuk memastikan agar pihak penerima manfaat adalah benarbenar mereka yang berhak.

15

Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik


Menetapkan Pedoman
Pascabencana, Aceh rusak berat. Rumah, sekolah, gedunggedung, berbagai fasilitas umum, jalan, jembatan, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya remuk redam. Dari semua ini, bagian paling mendesak dan vital adalah perumahan atau lebih tepatnya permukiman. Secara konkret, dalam pengertian kasat mata, halhal di atas yang perlu direhabilitasi dan direkonstruksi. Upaya membangun kembali wilayah, kota, kawasan dan lingkungan permukiman yang rusak akibat bencana gempa dan tsunami ini diarahkan sehingga masyarakat dapat segera melakukan aktivitasnya dalam kondisi lebih baik dan aman dari bencana. Ini yang ingin dicapai dalam pemulihan tata ruang pascabencana. Akan tetapi, aman dari bencana bukanlah tujuan satusatunya. Aceh ingin dibangun sedemikian rupa sehingga kondisi lingkungan kehidupannya menjadi lebih baik. Lebih baik di sini bukanlah diukur dari indikator fisik atau rekayasa teknik belaka. Lebih jauh dari itu, pembangunan demi mencapai yang lebih baik ini berpegang pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan berkelanjutan ini mengutamakan keseimbangan antarsejumlah aspek, antara lain keseimbangan antara pertimbangan ekonomi, sosial serta lingkungan dan pembangunan antar dan intragenerasi.
Bak penampungan limbah rumah tangga di Leupung, Kabupaten Aceh Besar, 4 November 2006, salah satu unsur prasana dan sarana dasar (PSD) untuk menciptakan hunian lebih sehat. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik

17

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Dua Saku dalam Membangun Perumahan dan Permukiman


secara umum sumber pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman dapat dikelompokkan menjadi dua mekanisme. ada dua bentuk mekanisme bantuan, yaitu dana bantuan dari pemerintah dan donor yang dikelola dan dimasukkan ke dalam mekanisme anggaran Pendapatan dan Belanja negara (aPBn) atau dikenal dengan onbudget; dan dana bantuan dikelola oleh donor/LSM yang bersangkutan dan tidak melalui aPBn, atau dikenal dengan offbudget. Dalam skema onbudget, dikenal istilah ontreasury dan off treasury. Intinya dengan skema onbudget, baik maupun off treasury, BRR dapat berperan langsung sebagai pelaksana pembangunan atau menjalin kerja sama secara kelembagaan dengan pemberi dana atau donor, baik yang bersifat bilateral (seperti Jerman melalui KfWBank Pembangunan Jerman) maupun multilateral seperti Multi Donor Fund (MDF) yang dikelola oleh Bank Dunia atau Bank Pembangunan asia lewat mekanismeperjanjian hibah (grant agreement) ataupun tidak, yaitu yang datang dari jalur donor nontradisional, seperti LSM internasional. Ontreasury merupakan suatu mekanisme atau skema pengelolaan anggaran yang tercatat dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPa) aPBn dan dana yang ada disimpan di Kantor Pelayanan Perbendaharaan negara Khusus (KPPnK) sebagai bendahara negara, sehingga penarikan anggaran tersebut juga sepenuhnya mengikuti mekanisme yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Skema onbudget ontreasury terbagi dalam dua jenis sumber pembiayaan, yaitu yang pertama sering disebut sebagai rupiah murni (RM) dan yang kedua,

SEPERTI bidangbidang lain,

18

pinjaman atau hibah luar negeri (PhLn). Untuk bidang perumahan dan permukiman sebagian besar bersumber dari dana RM dikelola langsung oleh sekitar 20 satuan kerja dalam BRR, baik di tingkat kedeputian atau pusat maupun di kantor perwakilan. Sedangkan beberapa program yang didanai melalui PhLn adalah pogram ReKompak (MDF/Bank Dunia), program perumahan dan permukiman Bank Pembangunan asia (aDB) Earthquake and Tsunamy Emergency Sector Project (ETESP), Japan Fund for Poverty ReductionSeismically Upgraded housing in aceh Darussalam and north Sumatera, dan non Project Type grant aid Jepang (keempatempatnya mencakup pembangunan rumah dan infrastruktur permukiman), serta Reconstruction of aceh Land administration System (RaLaS) MDF untuk sertifikasi tanah. Sedangkan off treasury merupakan suatu mekanisme atau skema pengelolaan anggaran PhLn sesuai dengan grant agreement antara kedua pemerintah, dana dicatatkan dalam DIPa tetapi dana tersebut tidak disimpan dalam KPPnK, melainkan dikelola dan disalurkan langsung oleh pihak pemberi bantuan. Skema onbudget off treasury ini tidak terlalu lazim. Dalam rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman, hanya ada satu program yang menggunakan skema ini, yaitu program Rehabilitation and Reconstruction of housing and Settlements (RRhS) yang didanai KfW Jerman dan dikelola konsultan Jerman gITEC Consult gmbh bekerja sama dengan PT Darena dan Yayasan Mamamia Indonesia. Contoh lainnya merupakan program di bidang infrastruktur yang dikelola Japan International Coorporate System (JICS) yang tidak dibahas di sini.

Treasury ON OFF

On-budget & On-treasury

On-budget & Off-treasury


Tercantum dalam DIPA, dibayarkan langsung dari donor kepada pelaksana Program RRHS/KfW-Gitec: 46 juta euro

ON

Tercantum dalam DIPA, dibayarkan melaui KPPN Satker Pusat/Regional, Hibah Luar Negeri (MDF, ADB, JFPR-SUHA): Rp 7,5 triliun

Budget

Off-budget & Off-treasury

OFF

Off-budget & On-treasury


Tidak dapat diterapkan

Tidak melalui skema APBN, dikelola sendiri secara langsung oleh lembaga Lembaga PBB, Palang Merah, LSM: US$ 700 juta

Sedangkan dalam skema offbudget BRR berperan sebagai koordinator dan fasilitator. Pelaksanaan termasuk pengelolaan dananya sepenuhnya ditangani masingmasing lembaga atau LSM yang bersangkutan. Sementara itu untuk skema offbudget, donor/ LSM mengorganisasikan pelaksanaan kegiatannya oleh mereka sendiri, termasuk

pencarian sumber dana dan pengelolaan pendanaannya. Bidang Perumahan dan Permukiman BRR memberikan dukungan, pendampingan, fasilitasi serta melakukan koordinasi agar kegiatan mereka dapat berjalan dengan sebaikbaiknya. Bentuk dan tingkat hubungan kerja sama dalam skema ini antara BRR dan LSM sangat bervariasi.

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik

Gambar 2.1 Skema Pendanaan dalam Penyediaan Rumah

19

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

20

Deretan rumah di Kabupaten Simeulue, 2 April 2009, kini telah dilengkapi sarana bak penampungan air bersih. Foto: BRR/Arif Ariadi

Tidak hanya itu, pelaksanaan berbagai aspek pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan ini juga perlu mempertimbangkan aspek pendukung lainnya, antara lain penggunaan teknologi terkini, tepat guna, dan ramah lingkungan. Keseimbangan ini acapkali tak mudah diterapkan di lapangan, tetapi inilah yang terusmenerus diupayakan. Langkahlangkah tersebut diarahkan untuk mencapai visi rehabilitasi dan rekonstruksi, khususnya bidang perumahan dan permukiman, yakni mewujudkan kawasan permukiman di daerah yang terkena bencana sebagai tempat tinggal yang lebih baik bagi keluarga korban bencana gempa bumi dan tsunami. Sedangkan di tingkat lebih konkret dan operasional, misi yang ingin dicapai adalah melaksanakan proses rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman secara efektif dan efisien, baik melalui pelaksanaan langsung pembangunan yang didanai secara onbudget, yaitu melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun melalui koordinasi dan fasilitasi mitra kerja nonpemerintah Indonesia yang dananya bersumber dan dikelola oleh mereka sendiri (nonAPBN atau offbudget). Semua ini ibarat bintang penunjuk arah yang dijadikan pegangan BRR dalam menggerakkan roda proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Inilah yang dijadikan pedoman demi membangun yang lebih baik.

Untuk bidang perumahan dan permukiman, kebijakan yang diambil sebagai berikut. Pertama, memprioritaskan penyediaan prasarana dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar serta prasarana untuk memperlancar logistik. Hal ini dilakukan dengan secara bersamaan memberikan prioritas utama pada pembangunan kembali perumahan, air minum, sanitasi, dan drainase serta sekaligus pelaksanaan rehabilitasi prasarana akses masuk, antara lain pelabuhan laut dan bandara udara strategis beserta jaringan jalan pendukungnya. Kedua, membantu dan melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan beserta prasarana dan sarana dasar pendukungnya bagi para korban bencana. Hal ini dilakukan dengan membantu korban yang ingin kembali ke tempat tinggal semula dalam bentuk tunai (incash) atau barang (inkind), juga dengan membantu penyediaan perumahan dan prasarana dan sarana dasar pendukungnya bagi korban bencana yang berkeinginan pindah ke tempat baru (resettlement). Selain itu, hal ini juga dilakukan dengan mendorong dan memfasilitasi penyelesaian bantuan dan penyediaan perumahan bagi korban bencana yang dilakukan pihak donor dan pemangku kepentingan lain.

Membangun Kembali dengan Strategi


Rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias berjalan dengan berpegang pada serangkaian strategi yang dijabarkan berikut ini. Pertama, memantapkan proses pengambilan keputusan partisipatif dan berkeadilan. Agar proses ini bisa tercapai, dilakukanlah pemberdayaan dan partisipasi aktif masyarakat dengan seluasluasnya. Agar kelompokkelompok masyarakat yang rentan dan kaum cacat tidak dimarginalkan dari proses rehabilitasi dan rekonstruksi serta harus mendapatkan manfaat seluasluasnya. Selain itu, agar seluruh proses berlangsung transparan, maka masyarakat terlibat dalam keseluruhan proses, antara lain melalui community self assessment. Kedua, rencana tata ruang disusun bersamasama dengan masyarakat. Penyusunan rencana tata ruang ini dilakukan lewat empat langkah. Keempat langkah itu meliputi pelibatan masyarakat mulai dari mengidentifikasi daerah dan kawasan yang dapat ditempati kembali dan yang tidak dapat ditempati kembali sampai pembersihan puingpuing.

Tak Ada Kayu, Baja pun Jadi


Rehabilitasi dan rekonstruksi besarbesaran akan berakibat pada meroketnya kebutuhan bahan dan materi bangunan, salah satunya kayu. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, selain harga meningkat pesat, muncullah praktikpraktik tercela seperti penyelundupan atau pembalakan liar. Oleh karena itu, BRR pun perlu memutar otak agar rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman tidak merugikan lingkungan hidup. Solusi yang muncul ke permukaan, selain menetapkan syarat ketat untuk kayu yang digunakan, adalah menggunakan rangka baja prafabrikasi. Selain tahan gempa, baja juga tahan api dan tahan cuaca (tidak keropos). Kelemahan potensialnya, yaitu korosi jika kena air dan udara lembab bisa diatasi dengan mudah dengan melapisinya dengan bahan antikarat di pabrik (galvanished). Solusi rekayasa teknik ini tak hanya menyelesaikan masalah rehabilitasi dan rekonstruksi secara teknis, tetapi juga masalah lingkungan hidup serta masalah sosial.

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik

Menyusun Kebijakan yang Bijak

21

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

22

Baharuddin, Geuchik Lamtutui, Kabupaten Aceh Besar, bersama para fasilitator desa mendata warganya yang selamat dari prahara tsunami terkait bantuan rumah, 7 Agustus 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Selain itu, dilakukan juga fasilitasi penentuan kembali kebutuhan dan perencanaan prasarana dan sarana dasar pada kawasan yang terkena bencana. Bagi mereka yang kehilangan lahan akibat tsunami, dilakukan pengalokasian lahan dengan mempertimbangkan tata letak permukiman sementara serta preferensi mereka. Selain itu, dilakukan juga pengumpulan informasi, identifikasi, dan penyusunan kembali rencana tata ruang kawasan permukiman melalui partisipasi masyarakat dalam rangka membangun kepercayaan masyarakat pada proses rekonstruksi. Strategi ketiga adalah menetapkan status kepemilikan lahan dan peruntukannya. Strategi ini juga melalui peningkatan peran masyarakat. Masyarakat terlibat dalam penelusuran status dan pemetaan kepemilikan lahan bersama Badan Pertanahan Nasional berdasarkan pemilik lama. Selain itu, difasilitasi juga berbagai solusi inovatif untuk pensertifikatan, penerbitan sertifikat tanah sementara, dan penerbitan sertifikat tanah secara kolektif, land readjustment dan konsolidasi tanah. Selain itu, strategi keempat adalah melakukan penataan ruang kawasan permukiman dalam rehabilitasi dan rekonstruksi dalam batas suatu ruang kawasan permukiman, yang diharapkan bisa lebih cepat, murah, mudah, dan sederhana dalam implementasinya. Pendekatan yang digunakan adalah perencanaan partisipatif dimulai dari penataan

dan rehabilitasi membutuhkan pengerahan sumber daya secara besarbesaran. Salah satu yang perlu digerakkan adalah penyediaan bahan baku serta sumber daya manusia misalnya kontraktor, tenaga tukang, dan tenaga terampil lainnya. Di masamasa awal, terdapat dua pemikiran. Pertama adalah memasok segala bahan baku yang diperlukan serta memobilisasi sumber daya dari kantongkantong yang selama ini diketahui mampu memasok tenagatenaga terampil tersebut. Kedua adalah membuka partisipasi masyarakat setempat seluasluasnya dengan cara melibatkan tenaga dan sumber material yang ada di tingkat lokal. Pertimbangan pertama memungkinkan kontrol sangat ketat pada ongkosongkos dan biaya terkait dengan pengadaan material serta sumber daya manusia. Semua bahan ada dengan kualitas yang serba terstandar dan relatif terkontrol, tenaga sudah tersedia dengan tingkat keterampilan yang relatif seragam dan kemampuan kerja yang umumnya sama. Masyarakat tinggal menerima manfaat dari proses rehabilitasi serta rekonstruksi. Pertimbangan kedua adalah membuka ruang pada mekanisme pasar untuk bekerja. Keran partisipasi masyarakat lokal dibuka selebarlebarnya sehingga mereka bisa mengajukan diri menjadi pemasok bahan material, kontraktor, tenaga tukang, tukang batu, tukang kayu, dan lain sebagainya. Melalui proses seleksi, dipilih mereka yang terbaik. Penting dalam mekanisme seleksi ini adalah memastikan agar prosesnya transparan, akuntabel, dan berlangsung adil. Intinya, yang terpilih adalah yang terbaik. hal ini membuka kemungkinankemungkinan lain. Selama ini pembangunan berlangsung tidak stabil karena konflik berkepanjangan, maka kualitas tenaga kerja di tingkat lokal ikut terpengaruh. Tingkat kemampuan dan keterampilan pada sebagian tingkat masyarakat setempat boleh jadi berada relatif di bawah kualitas tenagatenaga terampil dari tempat lain, misalnya dari Pulau Jawa yang selama ini menjadi konsentrasi upayaupaya pembangunan. hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah pascabencanapascakonflik ini berskala raksasa. Pasokan material yang tersendatsendat serta kemampuan sumber daya manusia yang tidak terstandar dapat berdampak pada terlambatnya upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. Dilema ini harus dipecahkan di awal masa rekonstruksi dan rehabilitasi. Pilihan yang diambil akan mewarnai seluruh strategi, kebijakan, dan program di semua bidang

REKOnSTRUKSI

rehabilitasi dan rekonstruksi yang digerakkan BRR. Kedua pilihan memiliki dampak jangka panjang yang perlu dipertimbangkan dengan teliti. Setelah menimbangnimbang berbagai pemikiran, pilihan yang diambil adalah yang kedua, yaitu berpihak pada masyarakat setempat. BRR menyadari bahwa pilihan tersebut bukan tak punya risiko. Selain potensi keterlambatan dan kemungkinan kenaikan biaya lantaran mekanisme pasar, yang masih terbelakang dan infrastruktur jalur pasokannya rusak oleh bencana tidak memungkinkan adanya kontrol ketat terhadap ketersediaan dan keragaman material, juga tingkat dan keterampilan sumber daya manusianya. Kemungkinan seperti eskalasi dan fluktuasi biaya menjadi sangat mungkin terjadi. BRR mengambil opsi tersebut karena ada harapan yang besar di ujung pilihan ini, yaitu masyarakat yang berdaya. Pelibatan masyarakat ini akan memberikan pengalaman untuk berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksimulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi, juga keberlanjutan industri konstruksi di masa datang, yang diharapkan diwarnai perdamaian. akumulasi pengalaman ini bisa mengarah pada dua kemungkinan, keberhasilan sekaligus kegagalan. akan tetapi keduanya, baik keberhasilan maupun kegagalan, merupakan bekal yang berharga bagi masyarakat aceh yang selama ini terpinggirkan dari proses pembangunan akibat konflik bersenjata bertahuntahun dan berada di bawah garis kemiskinan. Pengalamanpengalaman tersebut diharapkan menjadi batu fondasi yang kokoh sehingga pada saat BRR mengakhiri masa tugasnya. Laju, arah, serta strategi pembangunan pun bisa dikendalikan sendiri oleh masyarakat setempat. Selain itu, manfaat baik pengalaman maupun keuntungan dari segi finansial dirasakan langsung oleh masyarakat. Dunia usaha di aceh diharapkan tumbuh dan pulih kembali. Selain itu perputaran dana yang lebih besar juga segera terjadi di masyarakat, meningkatkan daya tahan terhadap riak dan gejolak persoalan sosial ekonomi yang umum. Dari proses ini, diharapkan masyarakat yang merasa disertakan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana ini akan merawat dan memelihara hasilhasil yang diperoleh. Disadari sepenuhnya ada risiko yang muncul akibat mengambil pilihan itu. Tetapi BRR memilih bersakitsakit dahulu, bersenangsenang kemudian. Pada akhirnya akan ada buah manis yang manfaatnya akan dinikmati masyarakat aceh.

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik

Bersakitsakit Dahulu, Bersenangsenang Kemudian

23

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Tenda Pengungsi

24

Fasiltas Sosial Budaya


Balai Pertemuan Desa Tempat Ibadah

Hunian Sementara/Barak

Konsep Merumahkan Penyintas Bencana


Dari tenda darurat ke hunian sementara Kemudian permukiman dengan Kelengkapan Prasarana dan Sarana Dasar (PSD).

Infrastruktur

Lahan dan Lingkungan


Pembersihan Lahan Rehabilitasi Lingkungan

Air Bersih Jalan dan Jembatan Drainase Sanitasi Listrik

Fasilitas Umum
Sekolah Puskesmas

Pengembangan Ekonomi
Pasar Lapangan Kerja

Permukiman Baru

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik

25

Kelima, strategi yang digunakan adalah membantu korban bencana dalam perbaikan dan pembangunan rumah. Hal ini direncanakan melalui enam cara. Cara pertama dengan pemberian keahlian teknis, material, serta pilihanpilihan arsitektur tradisional dalam desain rumah sebagai pertimbangan awal untuk merancang dan membangun. Cara kedua pemberian bantuan teknis untuk memfasilitasi dalam rehabilitasi dan pembangunan rumah. Cara ketiga, peningkatan kapasitas terhadap kelompok masyarakat melalui antara lain pelatihan tukang batu dan tukang kayu. Cara keempat, perkuatan swadaya masyarakat dalam pembangunan dan rehabilitasi rumah. Cara kelima, pemanfaatan teknologi baru untuk mengatasi gempa bumi dan tsunami. Cara keenam, penetapan building code dalam pembangunan perumahan. Strategi enam, yaitu meningkatkan integrasi multisektoral dalam perbaikan dan pembangunan dan perbaikan rumah. Peningkatan tersebut untuk mencapai dua tujuan. Tujuan pertama, terciptanya keterkaitan perbaikan dan pembangunan dan rehabilitasi perumahan dengan sektor ekonomi lain, seperti tenaga kerja, pasar material, usaha dan industri kecilmenengah. Tujuan kedua, terciptanya integrasi dan koordinasi antara perumahan dan prasarana serta sarana dasar pendukungnya (air minum, air limbah, persampahan, dan drainase). Sedangkan strategi ketujuh adalah meningkatkan kapasitas, penyederhanaan dan desentralisasi pengelolaan program melalui tiga cara, yaitu peningkatan peran aparat tingkat provinsi dan tingkat kabupaten dalam pengawasan dan pemantauan program rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dan prasarana dan sarana dasar; peningkatan pelatihan dan bantuan teknis bagi aparat daerah; peningkatan peran kontraktor setempat dan lembaga swadaya masyarakat dalam perbaikan dan pembangunan dan rehabilitasi perumahan swadaya. Terakhir, strategi kedelapan adalah melakukan pemantauan dan evaluasi yang konsisten dengan cara memantapkan mekanisme pemantauan dan evaluasi pada setiap tingkat pemerintahan dan mengembangkan sistem pemantauan dan evaluasi secara independen untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan program.

Pendataan rumah bantuan di Alue Naga, Aceh Besar, 9 Januari 2008, dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan GPS. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Ikhtiar Membangun Kembali menjadi Lebih Baik

skala lingkungan yang mengacu pada rencana tata ruang sebelum bencana, rencana rekonstruksi struktur kota, dan upayaupaya peningkatan kualitas lingkungan perumahan dan permukiman melalui penataan kembali (revitalisasi).

27

Membangun Harapan dan Masyarakat


kembali menjadi lebih baik, inilah intisari semangat yang dipegang teguh bidang perumahan dan permukiman. Dalam merehabilitasi dan merekonstruksi wilayah pascabencana, diluncurkan sederetan program dan proyek di bidang perumahan dan permukiman. Sederetan program dan proyek tersebut tak hanya membangun rumah maupun infrastruktur, tetapi juga membangun kembali harapan dan mimpi akan masa depan yang jauh lebih baik dibandingkan tahuntahun lalu.

MEMBANGUN

Perencanaan Desa
Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka korban meninggal atau cedera akibat tsunami adalah karena desa tempat mereka tinggal tidak memiliki akses yang cepat dan lancar menuju tempat menyelamatkan diri. Oleh karena itu, rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman perlu memastikan agar desadesa tersebut ditata dengan baik sehingga proses evakuasi bencana bisa berjalan lancar dengan jumlah korban seminimal mungkin. Inilah pentingnya perencanaan desa. Lalu siapakah yang mesti merencanakan desa? Tak lain dan tak bukan adalah masyarakat setempat sendiri. Merekalah yang mengetahui situasi sebelum, pada saat dan setelah bencana terjadi. Mereka adalah aktor utama dalam mitigasi bencana.
Peta perencanaan desa yang disusun warga Kampung Jawa, Banda Aceh, 28 Agustus 2005, salah satu upaya menumbuhkan keterlibatan proaktif masyarakat. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

29

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Perencanaan desa ini tak hanya penting untuk memastikan desa mereka tahan gempa. Perencanaan desa ini juga merupakan proses tempat warga merencanakan masa depan mereka. Desa bukanlah sekadar tempat mereka meluruskan badan dan beristirahat setelah mencari nafkah, tetapi di sinilah mereka berinteraksi dengan sesama warga, merembukkan masa depan mereka, serta membangun mimpi dan harapan mereka. Bagaimana dan seperti apa permukiman berkembang menjadi dasar merealisasikan anganangan mereka akan masa depan yang lebih baik. Penyusunan perencanaan desa di awal masa rehabilitasi dan rekonstruksi juga diyakini sebagai salah satu cara mengatasi trauma bagi para penyintas yang tertekan secara psikologis karena harta hancur atau hilang, juga karena keluarga dan kerabat lenyap atau meninggal dunia. Melibatkan mereka dalam proses perencanaan diharapkan bisa menghindarkan perasaan meratapi secara berkepanjangan situasi akibat bencana. Selain itu, perkembangan desa semestinya berkembang berbeda antara satu desa dan desa lainnya. Perencanaan desa yang baik tentunya mempertimbangkan aspekaspek kehidupan sosial dan lingkungan. Permukiman nelayan misalnya, tentu berbeda dengan permukiman petani. Bahkan sesama permukiman nelayan pun semestinya tak sama dengan permukiman nelayan lainnya, karena masingmasing punya sejarah lokal yang berbeda. Kebutuhan masingmasing kawasan berbeda, rancangan arah perkembangannya pun wajar berbeda. Tak hanya itu, perencanaan desa yang dilakukan sendiri oleh warganya diyakini mampu menghindarkan konflik antarwarga. Setiap batas, setiap patok, setiap pagar yang didirikan direncanakan dan disepakati oleh warga sendiri. Karena ada konsensus bersama, diharapkan proses penentuan lahan juga mengantongi legitimasi sosial yang kuat. Hal ini menjadi bekal yang kokoh demi memastikan hubungan kohesif antarwarga. Tambahan lagi, bersamasama merancang desa menjadi modal sosial. Warga yang terbiasa untuk berembuk, bersikap terbuka satu dengan lainnya, bersedia mendengarkan pendapat dan masukan warga lain, berupaya secara bersamasama mencari jalan keluar, saling bernegosiasi dengan rasional, berkompromi demi kemaslahatan bersama, dan mencapai konsensus yang diterima dengan lapang dada diharapkan akan mampu mengatasi masalah bersamasama pula. Jika ada halhal yang mempengaruhi perkembangan desa mereka, warga akan terbiasa untuk mencari jalan keluar bersamasama demi kebaikan bersama juga. Menggunakan pendekatan berbasis pada masyarakat setempat berarti menempatkan masyarakat sebagai subjek dalam proses perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Dengan pendekatan seperti ini, masyarakat memegang peranan penting untuk membangun kembali desanya yang rusak bahkan hancur. Pendekatan seperti ini juga diyakini bisa memastikan agar warga punya rasa memiliki pada desanya dan merawat hasilhasil pembangunan yang dihasilkan oleh desanya sendiri.

30

Khusus untuk konteks Aceh, pendekatan ini merupakan refleksi penghormataan terhadap ureueng po rumoh (arti harfiah: pemilik rumah, arti kiasan: warga setempat) selalu yang empunya kawasan. Ureueng lingka (arti harfiah: tetangga, arti kiasan: pihak luar) yang datang bisa memberi bantuan atau fasilitas, akan tetapi wewenang tertinggi tetap ada di tangan ureueng po rumoh, yang memegang otoritas etik untuk menentukan seperti apa rumah yang dibangun dan seperti apa kawasan permukimannya berkembang. Imbauan moral tentang pentingnya penghormatan terhadap ureueng po rumoh ini disampaikan dalam Taushiyah Silaturahmi Ulamaulama Dayah seNAD pada 89 April 2005. Selain itu, perencanaan desa tersirat pula dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No. 2/ 2005, yang kemudian dikokohkan menjadi UndangUndang No. 10/ 2005, yang menekankan hal ini dalam klausul menimbang butir c: Bahwa penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi ... harus dilaksanakan secara khusus, sistematis, terarah, dan terpadu serta menyeluruh dengan melibatkan partisipasi dan memperhatikan aspirasi serta kebutuhan masyarakat... Pada intinya, perencanaan desa mengidentifikasi lokasi pembangunan rumah, titiktitik jaringan jalan, selokan saluran air, jaringan listrik, lapangan olahraga, sekolah serta pasar diletakkan dan hingga kejelasan batasbatas desanya. Perencanaan ini yang dijadikan

Seorang warga Kahju, Kabupaten Aceh Besar, bersama fasilitatornya mendiskusikan pengimplementasian peta perencanaan desa di atas tapak bekas bangunan rumahnya, 26 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

31

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

32

Sebagai bagian pembangunan berbasis masyarakat, fasilitator desa turun ke lapangan mengajak warga Desa Deah Glumpang, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, 9 September 2005, untuk membuat peta perencanaan desa mereka. Foto: BRR/Arif Ariadi

panduan merehabilitasi dan mengonstruksi desa yang rusak bahkan hancur. Idealnya, perencanaan desa ini memiliki visi yang jauh ke depan, yakni sampai 1020 tahun ke depan. Secara umum, proses perencanaan desa bermula dari pemetaaan tanah. Pada proses pemetaan tanah inilah, batasbatas kaveling individu, batas tanah milik bersama, batas kawasan lindung sampai batas desa diukur dan digambar di atas peta. Proses ini sepenuhnya bersifat partisipatifdilakukan oleh warga. Pelibatan warga ini tidak hanya secara normatif tetapi betulbetul dilakukan secara teknis oleh warga yang turun langsung ke lapangan. Sebetulnya ada dua metode yang bisa digunakan, yakni pemetaan konvensional (dengan standar pemetaan geodetik) dan pemetaan nonkonvensional (dengan alat sederhana: kompas dan pita meter). Persoalannya, pemetaan konvensional memerlukan waktu yang relatif lama dan tenaga ahli. Pemetaan nonkonvensional justru sebaliknya: hasil cepat, namun untuk kepentingan sertifikasi memerlukan pemetaan ulang. Setelah menimbang sejumlah kelemahan dan keunggulan di atas, diputuskan untuk menggunakan metode pemetaan inkonvensional secara luas. Pertimbangannya, metode ini dapat secepatnya menjangkau wilayah bencana yang luas, penyediaan tenaga pelaksana yang relatif mudah. Persoalan sertifikasi diserahkan pada proses selanjutnya di kemudian hari.

Awalnya, perencanaan desa merupakan prakarsa lembaga nonpemerintah maupun lokal di wilayahwilayah yang rusak parah. Artinya, perencanaan desa masuk dalam mekanisme offbudget, sehingga peran BRR hanya sebagai koordinator. Pada 2005, koordinasi tersebut dilakukan oleh Kedeputian Perencanaan dan Pemrograman BRR. Sekalipun samasama menggunakan pendekatan partisipatif, masingmasing lembaga punya metode dan teknik yang berbeda. UNHABITAT misalnya menggunakan metode community action planning (CAP) sejak Maret 2005. Metode ini digunakan untuk menyiapkan masyarakat dampingan dan menyusun perencanaan desa. Rencana desa umumnya terbatas pada rencana tata letak rumah dan belum menjangkau halhal yang terkait dengan pengembangan permukiman dan mitigasi bencana. Seiring perjalanan waktu, dirasa perlu adanya pedoman untuk mengatur spesifikasi minimal proses dan produk perencanaan desa ini. Menanggapi kebutuhan tersebut, maka BRR pada Juni 2005 mengeluarkan pedoman menata dan membangun desa. Pedoman ini memberikan panduan awal tentang halhal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan desa. Pedoman ini kemudian disempurnakan lebih jauh lagi oleh BRR pada April 2006 menjadi pedoman perencanaan desa yang sifatnya lebih teknis melalui kerja sama lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga internasional utama yang bergerak dalam perencanaan desa seperti Australia Indonesia Partnership for Reconstruction and Development (AIPRD) Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (Logica), Mercy Corps, UNHABITAT, dan dimotori proses penyusunannya oleh United States Agency for International Development (USAID). Pedoman kali ini mengandung beberapa elemen, yakni tingkatan rencana yang dapat dihasilkan, yang terbagi atas tiga kategori: rencana perletakan rumah, rencana permukiman minimum, dan rencana permukiman yang lebih baik; proses perencanaan partisipatif, bertumpu pada komunitas; pemetaan partisipatif; diskusi pemanfaatan (termasuk pemanfaatan kembali) lahan; rencana prasarana dan sarana dasar komunitas; rencana mitigasi bencana; dan rencana lingkungan, dengan perhatian utama pada identifikasi kawasankawasan yang rentan secara ekologis. Dalam perkembangan selanjutnya, ditambahkan kandungan tentang pengembangan desa, seperti rencana pengembangan ekonomi (mata pencarian, pemanfaatan sumber daya setempat) dan sosial. Berdasarkan panduan ini, maka diperoleh kualifikasi proses dan produk yang relatif baku. Panduan lebih teknis ini diikuti dengan pembentukan Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman pada 2006, yang juga menerapkan perencanaan desa. Kali ini, BRR tidak hanya menjadi koordinator tetapi menjadi pelaksana dari perencanaan yang berada di

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

Nantinya, keluaran dari perencanaan desa ini adalah tersedianya dokumen perencanaan yang bersifat spasial atau tata ruang khususnya di wilayah perumahan atau permukiman yang terkena bencana.

33

Gambar 3.1. Korelasi Perencanaan Desa dengan Pelaksanaan Rehabilitasi Rekonstruksi BRR
Pendataan (verifikasi) penerima bantuan

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Pengorganisasian masyarakat, pemetaan tanah dan village planning

34

Dari Masyarakat Kembali Ke Masyarakat


Serah terima rumah ke masyarakat, dan PSD ke Pemda

3 4

Pengadaan jasa konstruksi dan jasa konsultan perencanaan/ pengawasan

Penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman

Pelaksanaan pembangunan/ konstruksi dan pengawasan rumah

bawah Direktorat Penataan Ruang dengan menggunakan mekanisme onbudget. Peran sebagai pelaksana pembangunan tersebut dijalankan dengan bantuan konsultan. Di sini, BRR masuk ke desadesa yang belum terjangkau oleh berbagai lembaga lokal maupun internasional. Dari gambar di bawah, tampak dari seluruh enam tahap pembangunan perumahan dan permukiman, pemetaan dan perencanaan desa berada pada tahap I bersama dengan pengorganisasian masyarakat. Tahap pemetaan dan perencanaan desa menjadi tahap visualisasi awal, sekaligus pemberian visi pada calon kawasan perumahan dan permukiman itu. Visualisasi awal dibentuk antara lain melalui sejumlah peta dasar: peta bentang alam (topografi/ morfologi), peta kawasan budi daya dan kawasan lindung, peta batas kawasan dan batas kaveling; peta rencana: peta rencana tata letak, peta rencana jaringan infrastruktur, peta rencana mitigasi, dan sebagainya. Visualisasi akan semakin jelas jika perencana dapat menampilkan atau menambahkan, bentuk tiga dimensi petapeta di atas. Melalui visualisasi awal yang baik, warga terfasilitasi menjadi perencana bagi kawasan permukimannya sendiri.

Meskipun memberikan banyak manfaat, kenyataan menunjukkan bahwa perencanaan desa belum menjadi pendekatan yang dominan. Hal ini karena kelemahan dasar hukum dan aturan terkait. Perencanaan desa belum mendapatkan dukungan kebijakan pertanahan yang sesuai. Sedangkan secara teknis, di hampir semua desa yang direncanakan bersama, batasbatas tanah tidak jelas. Hal ini bisa disebabkan bencana seperti tanah tergerus dan tergenang permanen, atau bisa juga karena memang batasbatas tersebut tidak diketahui secara tertulis oleh warga setempat. Faktor lain, perencanaan desa ini belum cukup dikenal dalam khazanah perencanaan tata ruang di Indonesia, karena ahli yang tersedia tak cukup banyak. Proses perencanaan yang partisipatif itu membutuhkan waktu yang lama, sehingga membuat warga tidak sabar mengikuti proses. Selain itu, sering kali kesepakatan yang dibuat di desa tidak melibatkan seluruh warga, karena sebagian mengungsi atau pindah sementara. Akibatnya, ketika mereka yang dulu pergi kemudian kembali, mereka tidak selalu bisa menerima hasil konsensus yang dicapai oleh sebagian yang tinggal di desa. Konsensus juga berubah bukan saja karena keluar masuknya warga, tetapi karena masuknya informasi baru. Ada sebagian desa yang awalnya telah mencapai kata sepakat soal lahan yang dikontribusikan untuk kepentingan umum seperti jalan, sekolah, dan sebagainya ketika ada informasi bahwa pembebasan lahan tersebut mendapatkan biaya dengan jumlah tertentu, maka komitmen warga pun berubah. Sementara itu, sejumlah desa mengalami perpecahan antarkelompok atau antarkomunitas. Konflik antarkelompok kadangkadang terjadi sehingga konsensus sulit dicapai di desadesa semacam ini. Tambahan lagi, perencanaan dan pembangunan sering kali tidak berjalan berurutan. Di beberapa tempat, proses perencanaan desa berlangsung pada saat pembangunan rumah sudah berjalan. Ada juga sejumlah kontraktor yang mengabaikan perencanaan desa. Akibatnya karena pembangunan sudah berlangsung, maka aspirasi warga sulit untuk diakomodasi. Akan tetapi, lepas dari tantangan di atas, hasil pelaksanaan pemetaan dan perencanaan desa ini cukup menggembirakan. Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi yang diadakan di BRR, 346 desa di seluruh Aceh menggunakan pendekatan perencanaan desa.

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

Sebagai perwujudan dari terlibatnya mereka dalam proses penyusunan perencanaan desa, maka dalam beberapa kasus perencanaan desa, masyarakat terutama tokohtokoh atau wakilwakil yang terlibat, mencantumkan tanda tangan mereka pada rancangan awal dokumen perencanaan desa. Selanjutnya berdasarkan kesepakatan yang diperoleh, perencanaan desa tersebut dapat disempurnakan lebih lanjut, khususnya untuk tematema rencana yang lain seperti rencana mitigasi, rencana penghijauan atau rencana infrastruktur, dengan menggunakan kaidahkaidah perencanaan yang berlaku.

35

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Buah manis dari jerih payah mengupayakan perencanaan desa berbasis komunitas ini memang baru akan dirasakan jelas beberapa tahun ke depan. Akan tetapi, buah jerih payah tersebut niscaya sungguhlah terasa manis. Angka tersebut menunjukkan hampir 350 desa di Aceh menjalani eksperimen berharga, yaitu berlatih membangun komitmen dan menentukan nasib sendiri. Hasil dari perencanaan desa ini dimanfaatkan pula oleh unitunit lain seperti Direktorat Manajemen Konstruksi/Rancang Bangun dan Direktorat Infrastruktur Permukiman sebagai dasar untuk penempatan rumah maupun merancang detailed engineering design (DED) prasarana atau infrastruktur di kawasan perumahan yang akan dibangun. Hal ini sangat menggembirakan mengingat perencanaan desa menggunakan pendekatan partisipatif seperti ini belum menjadi arus utama. Di berbagai desa di seluruh Indonesia saja, pendekatan ini belum banyak dilakukan, apalagi di daerah pascakonflik dan pascabencana seperti Aceh. Keberhasilan Aceh menerapkan perencanaan desa, sekalipun punya sederetan pengalaman masa lalu yang pahit, patut mendapat acungan jempol. Perencanaan desa mensyaratkan satu modal utama yang luar biasa besar, yakni rasa percaya. Orang mudah melontarkan kata ini, tetapi sangat sukar dipegang. Lewat rasa percaya yang terbangun, masyarakat Aceh berhasil melepaskan beban masa lalu demi masa depan yang lebih baik.

36

Kerangka Kerja dan Rencana Aksi Tata Ruang Kecamatan


Jika kita telah memiliki rencana tingkat desa, bagaimana dengan rencana tingkat antardesa, atau tingkat kecamatan? Apa panduan untuk mendukung percepatan rehabilitasirekonstruksi di tingkat ini? Secara teknis, di titik lokasi mana jalan dan jembatan akan dibangun kembali? Di mana lokasi infrastruktur penopang mata pencaharian, seperti tempat pelelangan ikan dan pasar ditempatkan sehingga mendukung percepatan normalisasi kehidupan ekonomi dan sosial warga? Pertanyaanpertanyaan itulah yang pada awal 2006 mendorong munculnya terobosan perencanaan tata ruang kedua, yaitu kecamatan action plan (KAP), yang kemudian berkembang menjadi Kerangka Kerja dan Rencana Aksi Tata Ruang Kecamatan (kecamatan spatial framework and action plan, KSFAP). KSFAP merupakan dokumen usulan proyek atau program dalam ruang lingkup kerangka kerja penataan ruang kecamatan. Dokumen ini diperlukan untuk mendukung kegiatan pembangunan kecamatan pascarekonstruksi. Dokumen ini disusun dengan mengaitkan substansi usulan proyek atau programnya dengan rencana dan proses pembangunan kabupaten, kecamatan, dan desa yang ada. Adapun format sajian proyek atau program KSFAP adalah project sheet yang memuat secara cukup lengkap spesifikasi proyek atau program tersebut termasuk indikasi biaya,

kegiatan yang perlu dilaksanakan, manfaat pelaksanaan kegiatan, urutan prioritas pelaksanaannya dan sebagainya. KSFAP ini fokus pada kebutuhan infrastruktur, lingkungan dan ekonomi pedesaan, serta keterkaitan antarpermukiman dan pedesaan. KSFAP memungkinkan agar proyek dan program yang sudah diidentifikasi dipertajam menjadi desain yang lebih detail. Detaildetail ini penting sebagai dasar pelaksanaan fisik nantinya. Mengapa kecamatan? Dalam rencana tata ruang, kecamatan menjadi satuan wilayah administratif yang penting. Ini karena kecamatan merupakan pemersatu unit pembangunan wilayahwilayah pedesaan. Dengan demikian, perencanaan desa yang dilakukan di desa satu dengan desa lainnya bisa diintegrasikan dalam satu wadah di tingkat kecamatan. Ini yang membuat kecamatan menjadi ujung tombak pelaksanaan rekonstruksi. Selain itu, kecamatan juga merupakan bagian dari skenario pengembangan wilayah kabupaten. Oleh karena itu, perlu ada panduan pelaksanaan rekonstruksi yang akurat di tingkat kecamatan yang mengacu pada rencana tata ruang di hierarki yang lebih tinggi. Selanjutnya, proyek dan program ini perlu dimutakhirkan untuk menyesuaikan dengan perubahan kondisi dan kebijakan perencanaan kabupaten yang senantiasa berkembang.

Dari udara, 23 Juni 2007, terlihat kawasan Desa Lambung, Meuraxa, Banda Aceh, kini tertata dengan baik. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

37

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

38

Rumahrumah baru di Alue Naga, Banda Aceh, 3 April 2009, kini dikelilingi tanggul untuk melindungi abrasi sungai. Foto: BRR/Arif Ariadi

Serupa dengan perencanaan desa, KSFAP dipersiapkan melalui partisipasi dari masyarakat dan pihak terkait lainnya di tingkatan kecamatan dan dinas atau instansi lainnya di tingkat kabupaten dan provinsi termasuk BRR. KSFAP ini sendiri terusmenerus mengalami penyempurnaan khususnya dari aspek cakupan, bentuk, dan kedalaman. Sebelumnya pada 2006, inisiatif ini dikenal dengan nama kecamatan action plan (KAP). KAP ini hanya mencakup wilayah kecamatan yang terkena bencana parah. Titik berat rencana aksi ini pun sebatas mengidentiikasi proyek rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang infrastruktur dan mata pencaharian. Ini semua agar kehidupan warga cepat kembali normal. Setelah KAP ini tuntas, BRR mengalami sederetan proses pembelajaran yang memberi kontribusi penting pada penyempurnaan rencana aksi ini. Sebagian kalangan berpandangan bahwa perlu ada analisis yang lebih mendalam. Artinya, rencana teknis ini tidak lagi sebatas merekomendasikan rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur yang rusak dalam jangka panjang. Rekomendasi sebaiknya diberikan pada rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur yang bernilai strategis untuk mengembangkan wilayah dalam jangka menengah dan panjang. Karena itu, perlu analisis yang lebih mendalam dan menyeluruh sampai ke tingkat kecamatan dan kabupaten. Dalam perjalanannya, penyempurnaan ini diintegrasikan dalam KAP tahap II, yang kemudian disebut sebagai KSFAP.

(a) Kondisi sumber daya alam dan lingkungan (lingkungan fisik, pantai/laut dan vegetasi, dan potensi bencana); (b) Arah perencanaan dan Tabel 3.1. Perkembangan KAP menjadi KSFAP pembangunan ekonomi Kecamatan Spatial Framework and (rencana pengembangan Kecamatan Action Plan Action Plan wilayah dan tata (KAP) (KSFAP) ruang yang relevan, hanya bagian wilayah kecamatan Cakupan Seluruh wilayah kecamatan kependudukan, keuangan yang rusak terkena bencana pemerintah daerah, tata Dilakukan analisis mendalam di guna lahan dan tutupan tingkat kabupaten dan kecamatan, Penekanan pada identifikasi dan pembacaan arah pengembangan lahan, perekonomian struktur dan pola ruang kecamatan Kedalaman proyek strategis rehabilitasi/ wilayah); menurut Rencana Tata Ruang Wilayah rekonstruksi (c) Gambaran kondisi Kabupaten (RTRWK), sebagai dasar infrastruktur (jalan, penentuan proyek strategis kecamatan jembatan, layanan air acuan ke rencana tata Tidak ada Ditekankan bersih, listrik, infrastruktur ruang yang ada sosial dan kesehatan, irigasi, dan drainase); dan (d) Gambaran prospek kabupaten/kecamatan itu untuk berkembang. Hasil identifikasi proyekproyek strategis ini pun dilengkapi dengan project sheets, yang berfungsi sebagai prastudi kelayakan. Jadi, KSFAP ini pada dasarnya merupakan program yang memadukan perencanaan bottom up yang melibatkan masyarakat melalui konsultasi publik yang ekstensif, seperti yang diperoleh lewat perencanaan desa yang partisipatif dan berbasis komunitas. Perencanaan dari masyarakat ini bertemu dengan pendekatan elemen top down dari rencana pembangunan yang ada untuk mengidentifikasikan kebutuhan utama dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dalam pembangunan wilayah kecamatan. Proses penyusunan KSFAP pun mebuahkan hasil yang menggembirakan. Gelombang I berhasil menjangkau 19 kecamatan, gelombang II ada 28 kecamatan yang dijangkau, sedangkan gelombang III dari program ini berhasil menyentuh 16 kecamatan. Total ada 63 kecamatan yang masuk dalam cakupan program ini. Kecamatankecamatan ini kebanyakan tersebar di wilayah yang memiliki tingkat kerusakan dahsyat terkena bencana atau memerlukan rencana teknis untuk mengganti keberadaan rencana umum atau rencana detail tata ruang.

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

KSFAP menghasilkan keluaran utama berupa identifikasi proyek strategis dalam bidang infrastruktur dan mata pencaharian pada satu kecamatan. Hal ini ditopang dengan analisis tingkat kabupaten dengan penajaman di tingkat kecamatan, mengenai

39

Prosesnya yang dibuat secara partisipatif ini juga memberikan nilai tambah karena menempatkan masyarakat menjadi aktor utama dalam perencanaan pembangunan di daerahnya. Pendekatan partisipatif ini pun sesuai dengan amanat UU No. 10/ 2005. Selain itu, yang terlibat pun tak hanya warga pemuka warga dan pejabat kecamatan/ kabupaten, namun juga dengan berbagai LSM dan lembaga internasional yang bekerja di wilayah dimaksud. Melalui proses ini, maka tumpangtindih kegiatan antarpihakpihak terkait pun bisa dihindari. Dengan begitu, keseluruhan proses rehabilitasi dan rekonstruksi bisa berjalan dengan lebih efektif, lebih cepat, dan menjangkau penerima manfaat secara lebih luas. Nilai tambah lain dari tersedianya dokumen KSFAP ini adalah setiap rencana aksi ini dapat diusulkan oleh kecamatan untuk dibiayai oleh pemerintah kabupaten melalui mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan daerah (Musrenbangda). Berkat dokumen ini, pihak kecamatan akan memiliki dokumen perencanaan pembangunan yang sangat valid dengan deskripsi teknis dan kemanfaatan yang akurat sehingga siap dikompetisikan dalam forum musrenbangda, baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten.

Proyek Rekonstruksi Tanah dan Sistem Administrasi di Aceh


Salah satu bukti otentik yang menegaskan hak seseorang akan tanah yang dimiliknya adalah lewat sertifikat tanah. Selembar kertas ini menjadi penegaskan akan haknya atas sepetak tanah di kawasan tertentu yang sah jadi miliknya. Di Indonesia, segala urusan sertifikat tanah ini sendiri dikelola oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Harus diakui bahwa ada banyak sekali tanah di seluruh Indonesia yang berstatus sebagai tanah ulayat alias milik masyarakat adat. Hal ini menyebabkan jumlah pemilik sertifikat menjadi tak seperti apa kata teori. Situasi ini terjadi pula di Aceh. Ternyata diketahui hanya 10 persen dari warga yang mengaku memiliki rumah sebelum tsunami yang dapat menunjukkan sertifikat tanah sebagaimana diatur dalam hukum pemerintah Indonesia, sebagian besar dimiliki oleh perorangan dan diatur melalui adat. Selain itu, ada persoalan terkait tata ruang yang serba tidak transparan. Dalam kasuskasus tertentu, ada orang yang membeli tanah kemudian kehilangan kesempatan untuk memetik manfaat atas tanah tersebut karena berdasarkan tata ruang, tanah yang dimiliki ternyata masuk jalur hijau. Pengakuan hak atas tanah terutama lewat sertifikat tanah masih menjadi tantangan besar.
Deretan beton heksagonal tanggul pengaman pantai, 6 April 2008, tertanam melindungi garis pantai Johan Pahlawan, Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

Inisiatif KSFAP yang sepenuhnya didukung dan dibiayai oleh dana hibah Bank Pembangunan Asia melalui program Earthquake and Tsunami Emergency Support Project (ETESP) ini memiliki nilai penting tersendiri karena menjadi basis data perencaan dan tata ruang yang akurat. Basis data ini juga terkait erat dengan rencana aksi kebutuhan rekonstruksi di tingkat desa, kecamatan, dan wilayah yang lebih luas lainnya.

41

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

42

Keluarga ini adalah warga penyintas di Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, yang menerima bantuan rumah, 11 Januari 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Hak atas tanah ini menjadi salah satu elemen kunci pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias. Hal ini tertera tegas dalam Rencana Induk yang disahkan Pemerintah Indonesia melalui Perpres No. 30/2005 pada April 2005. Dokumen inilah yang menjadi pegangan BRR dalam bekerja. Mengingat tantangantantangan yang ada, penegaskan akan hak masyarakat atas tanah milik mereka disadari tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Akan tetapi, permasalahan atas tanah justru menjadi kunci utama rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Hal ini penting karena di atas tanahtanah tersebut, akan dibangun rumahrumah yang diperuntukkan bagi para penyintas yang juga menjadi penerima manfaat dari upaya rehabilitasi dan rekonstruksi ini. BRR pun meyakini bahwa pengakuan hukum yang penuh terhadap tanah juga bangunan yang didirikan di atasnya menjadi satu hal yang perlu dan mutlak harus dilakukan. Namun mengeluarkan sertifikat pada penyintas yang jumlahnya mencapai angka 400 ribu hanya di Provinsi NAD ini bukan hal gampang. BPN sebagai lembaga negara yang berkewenangan di bidang pertanahan boleh dibilang lumpuh karena sebagian besar kantornya hancur dan 40 pegawainya hilang atau meninggal dunia. Jadi mereka yang mestinya punya sertifikat pun tak lagi bisa memegang lembaran kertas yang dijadikan bukti kepemilikan atas tanah lantaran berkasberkas di BPN rusak maupun basah.

BRR mengakui, tanah memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Aceh, sehingga sertifikasi tanah menjadi mutlak dilakukan. Selain memberi keuntungan ekonomi langsung, pengakuan penuh atas kepemilikan tanah juga merupakan salah satu bentuk alat pengaman sosial karena menjamin stabilitas ekonomi para janda, anak yatim, dan kaum telantar. Maka, pada Mei 2005, pemerintah menyusun mekanisme utama untuk merestorasi hak atas tanah pascatsunami di Aceh. Mekanisme ini dikenal dengan nama Proyek Rekonstruksi Tanah dan Sistem Administrasi di Aceh (Reconstruction of Aceh Land and Administration System Project , RALAS). RALAS ini diharapkan menjadi respons inovatif untuk mengatasi persoalan akibat ketidakpastian hak atas tanah. Mekanisme ini mengatur sertifikasi atas tanah yang dibebaskan, baik yang sudah dipastikan penggunaannya (misalnya untuk membangun perumahan untuk para korban bencana atau untuk keperluan fasilitas publik) maupun yang belumtanah ini akan diserahkan kepada pemda setempat. Program ini mendapatkan dukungan dana sebesar US$ 28,5 juta dari Multi Donor Fund yang dikelola ReKompak dan dimulai pada Agustus 2005 sampai Desember 2008 untuk melakukan sertifikasi atas tanah seluas 600 ribu bidang. Mekanisme RALAS sendiri mengadopsi tiga langkah berikut ini. Pertama adalah langkah arbitrase berbasis komunitas (community driven adjudication, CDA). Dalam proses ini, masyarakat di setiap desa bersamasama mendiskusikan tentang lokasi tanah yang ada serta batasbatasnya. Diskusi ini kemudian menghasilkan sebuah peta. Peta ini kemudian ditandatangani oleh si pemilik tanah dan kepala desa. Dalam proses inilah, setiap pemilih tanah menandatangani pernyataan tentang kepemilikan tanah. Pernyataan ini mendapatkan dukungan dari tetangga dan kepala desanya. Inilah yang menjadi bukti bahwa catatan tersebut benar adanya. Langkah kedua adalah survei batas tanah yang telah disepakati tersebut oleh BPN. BPN inilah yang kemudian menerbitkan surat kepemilikan tanah (sertifikat) berdasarkan kesepakatan yang terjadi di langkah sebelumnya, yakni arbitrase berbasis komunitas tadi. Langkah ketiga atau terakhir adalah pendaftaran atas tanah yang ditetapkan. Dalam langkah ini, sertifikat hak milik atas tanah pun terbit secara sah.

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

Untuk menjamin hak atas tanah ini, negaranegara sahabat ikut membantu. Salah satunya adalah Jepang yang membantu dengan membangun fasilitas untuk mengeringkan dokumen sedemikian rupa sehingga tinta maupun kertas sertifikat tidak rusak, bisa dibaca kembali. Diharapkan dari penyelamatan dokumen ini, maka si empunya tanah yang namanya tertera di sertifikat bisa dilacak kembali keberadaannya. Akan tetapi, proses ini makan waktu yang cukup lama. Sedangkan, kalaupun berkas selamat, belum tentu tanah yang tertera lokasinya di atas kertas bisa ditemukan di lapangan. Hal ini karena bencana tsunami begitu dahsyatnya sehingga tanah pun bisa hilang, tergenang air dan tak lagi layak untuk didiami.

43

Tiga Langkah RALAS


Langkah 1: Arbitrase Berbasis Komunitas
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Melakukan konsultasi desa dengan pemilik tanah tentang mekanisme pemetaan (pengisian formulir, pemasangan batas tanah, dan penyiapan peta dasar satelit) Pemilik tanah atau ahli waris atau walinya yang sah memasang patok pembatas tanah dan mengisi pernyataan yang membenarkan lokasi dan hak miliknya serta disetujui oleh pemilik bidang tanah yang berbatasan dan geuchik Komunitas menyusun peta yang mengidentifikasi kepemilikan dan batas tanah di gampongnya Langkah 2: Pengukuran dan Pemetaan Warga melaporkan pelaksanaan arbitrase berbasis komunitas kepada Badan Pertanahan nasional (BPn) BPn mensurvei dan memetakan batas tanah dan menerbitkan peta tanah komunitas Peta dipasang di desa selama 30 hari dan masyarakat dapat mengajukan keberatan. BPn akan menindaklanjuti keberatan dan menyelesaikan baik melalui musyawarah gampong atau tim penanganan pengaduan provinsi.

44

Langkah 3: Penerbitan Sertifikat Jika tidak ada keberatan, BPn menerbitkan sertifikat tanah Jika harta bersama suamiistri, maka sertifikat atas nama suamiistri Jika Pemilik tidak ada, maka sertifikat dibuat atas nama ahli warisnya yang sah Jika ahli waris di bawah umur dibuatkan buku tanah dan sertifikatnya, tetapi pengelolaan tanah dilakukan oleh walinya Jika ahli waris belum teridentifikasi atau warisan dipermasalahkan, dibuatkan buku tanah. Sertifikat akan diterbitkan jika ahli waris telah jelas Jika tanah bermasalah, hanya dibuat buku tanah dan batas tanahnya dicatat sebagai batas sementara. Jika kepemilikan tanah telah diklarifikasi, pemilik dapat mendaftarkan tanahnya ke BPn

SERTIFIKAT

Sumber: Keputusan KaBPN No. 114II.2005, tentang Manual Pendaftaran Tanah di Daerahdaerah Pascatsunami, hlm. 127

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

45

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Sertifikat Kepemilikan Bersama atas Tanah


perempuan yang kehilangan suaminya. Sementara di aceh, sebagian besar persil tanah dicatatkan atas nama lakilaki, karena lakilakilah yang menjadi kepala keluarga. Persil tanah yang dicatatkan atas nama perempuan hanya 2025 persen. Sedangkan jumlah sertifikat yang dicatatkan atas nama suamiistri sangat sedikit.

PaSCaTSUnaMI aceh banyak

secara formal. Banyak perempuan tidak mengetahui adanya program ini sehingga keikutsertaan program ini menjadi rendah. Selain informasi, terdapat hambatan sosial ekonomi dan tradisi bagi perempuan aceh dalam memperoleh akses hak atas tanah. hambatan ini berasal dari domestikasi peran perempuan. Di masyarakat aceh, masalah pertanahan yang dianggap sebagai ranah publik dianggap menjadi urusan kaum lelaki. Suamilah yang pada kenyataannya banyak terlibat dalam pemetaan tanah. Oleh karena itu, sering terjadi tanah tersebut didaftar atas nama suami dan bukan istri. hambatan juga bersumber dari trauma konflik dan tsunami yang menghalangi perempuan membuat klaim publik atas hak tanah mereka. hambatan lain adalah kenyataan bahwa perempuan aceh memiliki sedikit waktu untuk memobilisasi sumber dayanya maupun menegaskan hak mereka atas tanah yang dimiliki karena kerja domestik sebagai ibu rumah tangga. hambatan ini semakin besar bagi janda dan anak perempuan. Selain telah termarginalisasi dalam struktur lokal, mereka juga mengalami kesulitan ketika keputusan patriarki dibuat oleh pemimpin lokal. Sebetulnya, hukum Indonesia mengakui bahwa tanah, termasuk juga semua harta milik, yang diperoleh setelah pernikahan secara definitif dianggap sebagai milik bersama. hukum Indonesia juga melindungi coowners atas tanah, sekalipun namanya tidak tercantum di sertifikat tanah. hal ini karena registrasi tidak secara inheren menegaskan kepemilikan karena registrasi hanya merupakan bukti sertifikasi. Pemegang hak bisa menegaskan haknyawalaupun hak tersebut tidak diakui secara eksplisit di atas sertifikat tanah.

46

Perempuan yang kehilangan suami akibat bencana dikhawatirkan akan kehilangan haknya atas tanah. akibatnya, anakanak buah perkawinan mereka menghadapi ancaman kehilangan hak atas tanah tempat mereka tinggal. Sebagai akibatnya, mereka juga terancam kehilangan hak mereka sebagai penerima manfaat perumahan. Sertifikat bersama kepemilikan tanah (joint land titling, JLT) adalah satu mekanisme sertifikasi tanah, tetapi nama yang dituliskan bukan hanya kepala keluarga, yang notabene lakilaki, tetapi nama pasangan suamiistri. Secara konkret, di dalam sertifikat tanah tersebut, dicantumkan nama suami, istri, atau saudara lakilaki dan saudara perempuan sekandung. hak kepemilikan tanah akan dibagi secara sama diantara mereka. artinya, mekanisme ini diterapkan pada keluarga (pasangan yang menikah secara resmi atau saudara kandung yang yatim). Dalam konteks hukum Indonesia, syariah maupun adat, sekalipun tak ada larangan, mekanisme ini sangat jarang digunakan. hal ini karena mekanisme administratif yang siap diimplementasikan belum tersedia. Rendahnya jumlah sertifikat bersama kepemilikan tanah dalam data di atas merefleksikan sifat JLT yang hanya menjadi pilihan. hal ini juga mencerminkan hambatan sosial ekonomi bagi akses perempuan atas tanah

UU Perkawinan pada 1974 misalnya, mengatur pula pembagian tanah perkawinan, apabila suamiistri bercerai, tanpa memandang nama siapapihak suami atau pihak istriyang tercantum dalam catatan sertifikat kepemilikan tanah. Dalam kasuskasus ketika suami atau istri tak mampu membayar utang dan terpaksa menjual tanah, maka notaris atau pejabat pembuat akta tanah (PPaT) yang berperan untuk melakukan investigasi, untuk memastikan bahwa baik suami maupun istri samasama setuju bahwa tanah yang merupakan harta milik perkawinan mereka dijual. Jika demikian, apa yang menyebabkan JLT menjadi catatan tersendiri? hal ini karena JLT secara tegas menyatakan keberpihakannya yang berimbang kepada perempuan dengan memberikan perlindungan atas hak perempuan secara eksplisit. Dengan JLT ini maka hak perempuan secara nyata dijamin.

Selain itu, JLT menegaskan status tanah sebagai properti perkawinan. JLT menjamin posisi perempuan dan semua anggota keluarga dalam proses pengambilan keputusan keluarga. adanya pengakuan formal terhadap hak perempuan atas tanah berimplikasi juga bagi peran perempuan yang strategis dalam pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat. hal ini karena kepemilikan tanah menyediakan keuntungan ekonomi secara langsung sebab ia merupakan sumber penghasilan baik melalui penyewaan, penjualan, atau jaminan kredit investasi dan konsumsi. Sering kali kaum perempuan tidak mampu berbagi keuntungan tersebut, jika mereka tidak mampu berbagi hak atas tanah secara formal. hanya dengan sertifikat bersama atau mandiri sajalah bahwa perempuan, lakilaki, dan anakanak akan dapat terjamin akses dan kontrolnya atas penghasilan yang berasal dari tanah.

Pasangan suami istri warga Leupung, Kabupaten Aceh Besar, penyintas tsunami yang menerima Sertifikat Kepemilikan Bersama atas Tanah (Joint Land Titling), 11 Januari 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

47

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Kebijakan sertifikat bersama ini diluncurkan secara resmi oleh BRR dan Badan Pertanahan nasional (BPn) pada 19 September 2006. Sertifikat bersama sendiri hanya bersifat wajib bagi penerima manfaat yang menerima tanah yang dibeli oleh BRR atau pemerintah daerah (relokasi). Dengan sertifikat bersama mereka yang berpindah lokasi ke tanah yang dibeli BRR atau pemerintah daerah akan memperoleh sertifikat tanah yang menyebutkan nama suami dan istri, atau saudara lakilaki dan saudara perempuan sekandung. Sedangkan untuk mereka yang menerima bantuan program perumahan berupa perbaikan rumah (rehabilitasi) dan pembangunan rumah di atas tanah sendiri (rekonstruksi), program ini bersifat sukarela. BRR dan BPn sendiri mendorong mereka untuk bergabung dalam program ini. Secara spesifik, program ini ditujukan kepada tiga kelompok penting pascatsunami. Pertama, korban tsunami yang menikah secara resmi dan menerima bantuan tanah di wilayah relokasi yang dibeli BRR atau pemda. Kepemilikan tanah tersebut dibagi secara sama antara suami dan istri. Kedua, anak yatim sekandung yang menerima tanah BRR di wilayah relokasi, dan kepemilikan tanahnya dibagi di antara mereka berapa pun jumlah mereka. Ketiga, pasangan suamiistri dan anak yatim sekandung yang menerima bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi di luar wilayah relokasi.= Dalam program ini, ada empat pihak yang memegang peranan penting. Pertama, BRR sebagai pengambil inisiatif yang mengambil langkah aktif mempromosikannya kepada komunitas. BRR juga terlibat aktif dalam pengumpulan, verifikasi, dan validasi penerima manfaat. Program ini merupakan bagian integral dari program RaLaS pada tahun anggaran 2008.

Kedua, BPn yang bertanggung jawab dalam implementasi program JLT dan akan menerbitkan sertifikatnya. Ketiga, pengadilan Syariah yang menjadi bagian tim respons sertifikat bersama, yang mendukung program ini dengan melakukan sosialisasi ke masyarakat. Dan keempat, mitra pelaksana yang akan menyebarkan informasi kepada penerima manfaat ketika mereka datang mencari informasi. Mitra pelaksana juga melaksanakan forum diskusi dengan penerima manfaat, juga mengundang tim respons untuk menjawab pertanyaan masyarakat. BPn sendiri mendukung program ini sebab sertifikat bersama menciptakan kesetaraan bagi lakilaki maupun perempuan dalam kepemilikan tanah dan menyediakan fondasi bagi pembangunan ekonomi aceh yang berkelanjutan. Dukungan juga datang dari Oxfam aceh dan nias. Pemerintah Indonesia berhak menerima ucapan selamat dari seluruh partner nasional dan internasional yang terlibat dalam proses pemulihan atas diluncurkannya kebijakan dan penerbitan sertifikat pertama joint land titling di aceh, kata Ian Small, Senior Programme Manager Oxfam aceh dan nias. Ian Small juga menjelaskan bahwa inisiatif BRR dan BPn meretas jalan tidak hanya bagi pemulihan yang berkelanjutan dan menjamin perlindungan dan pemberdayaan hukum bagi mereka yang rentan, tetapi juga bagi pembangunan sosial dan ekonomi generasi mendatang. Inilah contoh nyata membangun kembali menjadi lebih baik.

48

Rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman juga melalui pendekatan kontraktual bersama masyarakat. Pendekatan ini dimaksudkan agar kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi digerakkan masyarakat sendiri (community driven approach)mulai dari perencanaan, pelaksanaan konstruksi hingga pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan. Salah satu contoh bagaimana masyarakat melakukan langkahlangkah rehabilitasi dan rekonstruksi berbasis pada komunitas adalah program ReKompak. Embrio program ini sebetulnya sudah digodok pada Maret 2005, saat BRR sedang dipersiapkan dan hendak dikukuhkan sebagai badan pemegang amanat pelaksana rehabilitasi dan rekonstruksi di NAD dan Nias, Departemen Pekerjaan Umum meluncurkan program rehabilitasi dan rekonstruksi permukiman di wilayah NAD dengan menggunakan mekanisme Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Seiring dengan perjalanan waktu, program ini kemudian dikenal sebagai bridging ReKompak, yang belakangan menjadi ReKompak pada awal 2006. Secara berangsurangsur, pengelolaan dan pelaksanaan program diserahkan dari tangan Departemen Pekerjaan Umum ke bawah kendali dan kontrol BRR. Program ini secara nasional mendapatkan dukungan dana dari Bank Dunia. Selain itu, proyek didukung juga oleh MDF melalui hibah sebesar US$ 85 juta, dan oleh pemerintah Indonesia melalui kontribusi hibah sebesar Rp 25,6 miliar. Program ReKompak ini secara khusus menjangkau kelompok sasaran sebagai berikut: keluarga, baik pemilik maupun penyewa, yang sampai dengan peristiwa gempa dan tsunami 26 Desember 2004 tinggal menetap di wilayah yang terkena bencana; keluarga yang saat program dimulai telah atau akan memperbaiki atau membangun kembali rumahnya; dan keluarga yang rumahnya hancur sebagian atau hancur seluruhnya dan belum mendapat bantuan sejenis dari pihak lain. Program ReKompak ini mempunyai nilai yang sangat penting karena proses perencanaan dan pelaksanaan konstruksi dilakukan oleh masyarakat sendiri. Masyarakat mengorganisasi diri mereka sendiri ke dalam kelompokkelompok dan mendapatkan pendampingan dari fasilitator. Hal tersebut berarti seluruh sistem dan mekanisme dalam pendekatan ini mengacu pada prinsipprinsip pembangunan yang berbasis pada masyarakat, seperti keterbukaan, transparansi, akuntabilitas, solidaritas, demokratis, sepakat terhadap aturan main bersama, menerima perbedaan dan keterbatasan masingmasing, mengutamakan membangun kapasitas lokal, mengutamakan kepentingan yang paling lemah, mengutamakan kemandirian, musyawarah dan kolaborasi, menghargai nilainilai lokal, serta menggunakan sumber daya eksternal secara arif dan menempatkan pelaku eksternal sebagai pemampu (enabler).

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

ReKompak: Partisipasi Masyarakat dalam Rekonstruksi Perumahan

49

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

50

Sebuah rumah bantuan di Bayu, Kuta Makmur, Kabupaten Aceh Utara, 29 November 2005, sedang dalam proses pembangunan. Foto: BRR/Arif Ariadi

Sebagai pelaku ReKompak, masyarakat wajib menerapkan prinsip akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan serta pengelolaan kegiatan dan keuangan. Penerapan prinsip akuntabilitas harus ditaati secara konsisten oleh semua pelaku tanpa terkecuali, dengan membuka diri terhadap audit, pertanyaan dan gugatan terhadap pengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan umum. Karena itu, semua proses pengambilan keputusan harus dilakukan secara partisipatif dan demokratis dengan melakukan beberapa kegiatan seperti konsultasi publik dan sosialisasi, proses sanggahan, rembuk warga serta pemeriksaan atau audit dari pihak yang diberi kewenangan untuk itu. Di Aceh sendiri, desadesa yang masuk dalam cakupan program ReKompak mencapai 130 desa di 42 kecamatan dan 15 kabupatenkota. Lingkup program ReKompak sendiri mencakup dua bentuk bantuan kepada kelompok sasaran, yaitu berupa bantuan dana rumah (BDR) dan bantuan dana lingkungan (BDL). BDR ini sendiri terdiri atas bantuan dana rumah rekonstruksi (untuk mereka yang rumahnya hancur atau rusak berat) dan bantuan dana rehabilitasi (untuk yang rumahnya rusak ringan hingga sedang). Sedangkan bantuan dana lingkungan diberikan untuk melakukan perbaikan atau pembangunan prasarana lingkungan. Jenis dan kegiatannya diputuskan sendiri oleh masyarakat melalui musyawarah.

RamaiRamai Membangun Kembali


rekonstruksi berbasis komunitas ini merupakan pendekatan yang mengerahkan banyak orang untuk ramairamai menyingsingkan lengan baju. Untuk mengelola program ini, perlu ada organisasi yang disusun secara berjenjang mulai dari tingkat masyarakat penerima bantuan, tingkat desa, tingkat kecamatan hingga tingkat provinsi dan bahkan nasional. Di tingkat masyarakat atau desa, beberapa organ yang diperlukan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi dengan pendekatan yang berbasis komunitas adalah (1) Kelompok Pemukim (KP): kelompok keluarga penerima hibah yang terdiri atas 510 kepala keluarga; (2) Tim Pengelola Kegiatan (TPK) atau Komite Rehabilitasi/Rekonstruksi Permukiman (Kerap ): memimpin pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi permukiman pada tingkat kelurahan/desa, memadukan dan mengoordinasi berbagai masukan pembangunan untuk wilayahnya serta membentuk pokjapokja pelaksana dan relawanrelawan permukiman dari warga setempat. Dalam perkembangannya Kerap kemudian menjelma menjadi Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM); (3) Tim Relawan Permukiman: organisasi para relawan permukiman yang berasal dari warga setempat; (4) Fasilitator Perumahan (Fasrum): mendampingi TPK/Kerap/KP dalam berbagai tugasnya yang terkait dengan pembangunan permukiman. Di tingkat kecamatan, ditunjuk penanggung jawab operasional kegiatan, yaitu perangkat kecamatan yang diangkat oleh wali kota/ bupati dan berperan sebagai penanggung jawab administrasi pelaksanaan ReKompak di wilayah kerjanya. Di tingkat kabupaten/kota, untuk menunjang pelaksanaan kegiatan, program ReKompak juga membentuk organorgan yang terdiri atas: (1) Project Implementation Unit (PIU), melalui keputusan wali kota/bupati yang akan berkoordinasi dengan project management unit (PMU ) di tingkat provinsi.
Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

PEnDEKaTan rehabilitasi dan

(2) District management consultant (DMC ) yang akan membantu PIU, terdiri atas ahli perencanaan dan perancangan (arsitek), ahli sipil, ahli keuangan, dan ahli MIS yang wilayah kerjanya mencakup beberapa kota/ kabupaten. Seorang subteam leader DMC (STLDMC) akan ditugaskan di tiap kota/ kabupaten. Sedangkan di tingkat provinsi, koordinasi dilakukan oleh BRR, dalam hal ini ditangani oleh Kedeputian Perumahan dan Permukiman. Sedangkan pelaksanaan kegiatan operasional ReKompak dikelola oleh PMU yang berkedudukan di Banda aceh. Kepala PMU diangkat oleh Menteri Pekerjaan Umum dan dikukuhkan kembali oleh Kepala Badan Pelaksana BRR. Dalam melaksanakan tugasnya PMU bekerja sama dengan Satker BRRPengembangan Perumahan dan Permukiman selaku kuasa pengguna anggaran. Satker ini melaksanakan DIPa BRR. Selain itu, organ lain, yaitu provincial management consultant (PMC) dibentuk untuk melakukan pengawasan, pengoordinasian dan pengendalian DMC di berbagai kota/kabupaten. Dalam perjalanan program ReKompak terdapat perubahan pengorganisasian proyek. Sejak awal 2006, operasi lapangan dilakukan melalui empat DMC. namun, dari saat dimulainya periode perpanjangan (21 Maret sampai 20 Desember 2008), DMC 1 disatukan dengan PMC, sementara DMC 2, 3, dan 4 menjadi satu, yang untuk kemudian disebut sebagai DMC saja. Di bawah pengaturan baru ini, penanganan wilayah proyek diubah menjadi enam koordinator wilayah (korwil) Korwil 1 di bawah PMC dan Korwil 2 sampai 6 di bawah DMC. Sesuai dengan perjanjian hibah, Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU bertindak sebagai project executing agency. Sementara itu, karena program ReKompak ini tidak terpisahkan dengan program P2KP dan PPK yang secara nasional dibantu pendanaannya oleh Bank Dunia, pemerintah juga juga membentuk tim pengarah antardepartemen yang terdiri atas Bappenas, Departemen Keuangan, Departemen Dalam negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Badan Pertanahan nasional, Kementerian negara Perumahan Rakyat, dan BRR.

51

Menempuh Jalan Berliku Mencari Keadilan


PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

atau perbaikan rumah memiliki tantangan tersendiri, antara lain penentuan besarnya bantuan dana untuk perbaikan rumah. Satu hal yang sudah jelas, baik BRR atau LSM tidak mungkin memberikan bantuan dana untuk total kerusakan untuk setiap rumah. Selain itu, kerusakan setiap rumah, besar dan jenis kontruksi rumah pun sangat bervariasi, begitu juga dengan kelas sosial si empunya rumah. Mereka yang terbilang mampu biasanya punya rumah besar dari tembok. Untuk memulihkan rumah, perlu biaya dana puluhan hingga ratusan juta rupiah. Bagi mereka, bantuan belasan juta rupiah tidak ada artinya. Di sisi lain, bagi mereka yang papa, dana belasan juta rupiah lebih dari cukup untuk memperbaiki rumah kayu mereka. Oleh karena itu, keadilan harus menjadi pertimbangan dalam memutuskan kebijakan bantuan perbaikan rumah. Ukuran apa yang dapat dipakai untuk menetapkan besarnya bantuan? Besarnya dana atau dampak dari bantuan sehingga rumah menjadi layak huni kembali? Pada 2005, program ReKompak memberikan bantuan dana rehabilitasi disesuaikan dengan tingkat kerusakan setiap rumah dengan nilai maksimum bantuan sebesar Rp 15 juta per rumah. Upaya ini membutuhkan petugas lapangan untuk melakukan penilaian (appraisal) terhadap kerusakan rumah. Kebijakan ini cukup dapat memberikan rasa keadilan, karena orang yang berpunya berapa pun nilai kerusakan rumahnya tetap hanya dibantu dengan dana maksimum Rp 15 juta. hal itu didasarkan pada asumsi bahwa pemilik rumah masih hidup dan punya tabungan atau aset lainnya, sekalipun di lapangan banyak ditemukan kasus, penyintas selaku ahli waris keluarga (kedua orang tua meninggal misalnya) tidak mampu memperbaiki rumahnya sama sekali karena memang tak lagi punya tabungan atau aset lain.

PEKERJaan rehabilitasi

52

Kebijakan lain adalah seperti yang dilakukan oleh BRR dengan memberikan bantuan yang sama besarnya untuk semua tingkat kerusakan. Pada 2006 dan 2007 BRR memberikan bantuan dana secara flat sebesar RP 15 juta, melalui program bantuan perbaikan rumah (BPR), kepada sekitar 6.000 kepala keluarga di aceh. Bagi mereka yang rumahnya hanya mengalami kerusakan ringan, karena lokasinya yang jauh dari garis pantai misalnya, maka sisa dana tersebut harus digunakan untuk menambah fungsi atau memperindah rumahnya dan tidak dapat dibelanjakan untuk keperluan lain. Bantuan ini diberikan melalui kelompok masyarakat penerima bantuan secara bertahap. Kelompok menyusun rencana alokasi penggunaan dana untuk setiap rumah anggota kelompok. Dana akan dikucurkan sesuai dengan progres: uang muka 40 persen kemudian sisanya 60 persen diberikan setelah 40 persen fisik dilaksanakan. Kelompok juga harus menyusun laporan. Semua ini membutuhkan pendampingan agar pemanfaatan dana tersebut dapat dipertanggungjawabkan sesuai peraturan yang ada. Dasar kebijakan ini adalah sepenuhnya pertimbangan praktis dan mengurangi terjadinya perdebatan antarwarga penerima bantuan apabila besarnya bantuan berbedabeda, sementara batasan nilai kerusakan sangat mudah diperdebatkan. alasan lain adalah analogi dengan kebijakan pemberian bantuan rumah baru (rekonstruksi). Setiap keluarga yang sebelum bencana baik rumahnya kecil atau besar, mewah maupun sederhana, apabila hancur akan diberikan bantuan rumah yag relatif sama besarnya, yaitu tipe36. Pola lainnya adalah seperti yang dilaksanakan di nias periode 2006/2007. Bantuan diberikan dalam dua kategori, yaitu rusak ringan sebesar Rp 3 juta, dan rusak sedang sampai berat sebesar Rp 8 juta. gagasan ini juga sempat

dikembangkan di aceh dengan membagi kedalam lima kategori, yaitu Rp 5 juta, Rp 7,5 juta, Rp 10 juta, Rp 12,5 juta dan Rp 15 juta sesuai dengan tingkat kerusakan. Telah disiapkan suatu kriteria pengelompokan kategori itu melalui bobot kerusakan dari tiga unsur rumah: bangunan struktur, dinding, dan atap. Penentuan ini juga memerlukan pendamping. Pada saat itu telah disiapkan sekitar 200 fasilitator kecamatan dengan koordinator asperkim, untuk melakukan pendampingan. Dapat dibayangkan bahwa penyediaan pendampingan atau fasilitator lapangan membutuhkan biaya yang cukup besar. Untuk mengatasi hal tersebut, maka di pada 2007/2008 pelaksanaan bantuan dana rehabilitasi dicoba untuk disederhanakan. Program yang disebut sebagai bantuan sosial perbaikan rumah (BSPR) ini langsung diberikan kepada setiap individu kepala keluarga yang rumahnya rusak melalui mekanisme bank. Besarnya bantuan sama untuk semua penerima bantuan, yaitu Rp 2,5 juta dibayarkan sekaligus melalui kerja sama dengan BRI. Dari data yang ada jumlah penerima BSPR ini mencapai 53 ribu kepala keluarga di aceh dan nias. ada sedikit riak terkait dengan pelaksanaan program ini. Di Meulaboh, Singkil dan Lhokseumawe, juga Banda aceh sempat terjadi demonstrasi oleh mereka yang memandang bahwa bantuan Rp 2,5 juta tak sebanding dengan kerusakan yang terjadi. Memperhatikan kebutuhan nyata di lapangan, maka diputuskan bahwa dana yang dicurahkan menjadi sebesar Rp 7,5 juta dan dibayarkan pada 2009. Tampak jelas bahwa mengupayakan keadilan memang terkadang perlu melalui jalan berliku. akan tetapi, karena keadilan menjadi bagian yang tak bisa dilepaskan dari upaya membangun lebih baik, mencari titik keadilan bagi sebanyak mungkin pihak terkait merupakan tujuan yang diupayakan oleh BRR. Mencapai itu semua bukan hal mudah, memang.

Agar program ReKompak ini bisa berhasil baik, sudah tentu masyarakat yang akan mendapat bantuan ReKompak haruslah bersedia melaksanakan proses rehabilitasi dan rekonstruksi permukiman berbasis komunitas. Selain itu, tingkat kerusakan fisik bangunan dan lingkungan di wilayah komunitas tersebut tergolong cukup tinggi. Di kawasan tersebut, terdapat penghuni yang selamat dalam jumlah yang cukup besar untuk membangun kembali permukiman. Selain itu, program ini juga mendapatkan dukungan dan persetujuan dari pemerintah setempat. Apabila halhal ini terpenuhi, maka program ReKompak ini pun berjalan lancar. Selain pendekatan kontraktual bersama masyarakat, BRR khususnya bidang perumahan dan permukiman menggunakan pendekatan lain, yakni dengan menggunakan kontraktor. Pelaksanaan pembangunan rumah bantuan dengan bantuan kontraktor memiliki tantangannya tersendiri. Tantangan ini bahkan sudah ada sejak saat awal mulai dilakukannya konstruksi, yaitu pada saat mencari titik lokasi pembangunan rumah bantuan. Persoalan tanah yang terjadi adalah pembangunan rumah bantuan di atas lokasi yang tak lagi bertuan karena si pemilik tak lagi ada di desa tersebut. Setelah dibangun baru belakangan diketahui bahwa tanah tersebut ada yang punya. Demi menghindari kemungkinan sengketa tanah, akhirnya pilihan yang diambil adalah membiarkan rumah tersebut kosong tak berpenghuni. Kadangkadang di satu desa terdapat beberapa lembaga penyedia rumah bantuan, baik LSM maupun Satker BRR. Sedangkan paketpaket kegiatan yang dilakukan melalui kontraktor berskala kecil hanya mencakup 515 unit rumah. Oleh karena itu, dapat dibayangkan besar kemungkinan terdapat kesamaan lokasi dari berbagai pelaku penyedia rumah yang berbeda. Apabila hal tersebut terjadi di lapangan, maka BRR mengambil posisi filling the gap. Maka Satker BRR pun memilih untuk menggeser atau memindahkan lokasi sebagian atau seluruh rumah dari paketpaket yang tumpangtindih tersebut. Perubahan ini tentu saja tak semudah membalik telapak tangan. Hal ini karena perubahan tersebut membutuhkan perbaikan maupun penambahan pada kontrak. Perubahan ini secara langsung berdampak pada waktu. Akibatnya penyelesaian target pelaksanaan paket pembangunan rumah pun ada yang mengalami penundaan.

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

Pelaksanaan pembangunan kedua jenis bantuan tersebut ini dapat ditangani sendiri oleh masayarakat penerima bantuan (swakarya), dilaksanakan secara bersamasama oleh kelompok (swakelola) ataupun diserahkan kepada pihak ketiga. Dalam proses tersebut, fasilitator rumah (fasrum) memberikan pendampingan guna menjamin agar bantuan dana tersebut benarbenar digunakan untuk keperluan tersebut.

53

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Ada kalanya masyarakat setempat memaksa untuk menjadi tukangpadahal mereka tidak punya keahlian dan pengalaman yang memadai dalam pekerjaan konstruksi. Di sisi lain, tenaga tukang terampil mengalir masuk dari berbagai daerah seperti Sumatera dan Jawa. Kondisi lokasi yang terpencil juga membuat sebagian tukang kabur sebelum kontraknya habis. Berkaca pada halhal di atas, maka pendekatan penggunaan kontraktor disadari lebih bersifat top down ketimbang melibatkan partisipasi masyarakat. Desakan waktu dan besarnya aspirasi masyarakat untuk segera punya atap di atas kepala menjadi salah satu pertimbangan. Oleh karena itulah, pendekatan top down tetap dilakukan, seraya mengombinasikannya dengan caracara yang lebih bersifat bottom up dan partisipatif. Pendekatan yang bersifat top down ini juga diambil BRR untuk melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi di wilayahwilayah dengan pihak penerima manfaat yang tidak bisa diidentifikasi secara tegas, karena berbagai kendala seperti proses verifikasi dan mobilitas di kalangan para penyintas. Maka, pada saat daftar pihak penerima manfaat lebih bersifat abuabu daripada hitam di atas putih yang tegas, maka BRR pun mengambil sikap yang konsisten. Dalam situasi seperti ini, pembangunan rumah dan prasarananya tak bisa menunggu. Menyadari bahwa dua variabel pentingjumlah penerima manfaat dan jumlah bersih (seraya memperhitungkan risiko kegagalan yang mungkin dihadapi para kontraktor baru) rumah yang dibangunbergerak terus dari waktu ke waktu, maka BRR harus mengambil sikap dalam situasi yang kritis. Di lain pihak, sasaran revisi Rencana Induk sebesar 139.195 rumah telah tertulis. Di lapangan, bila BRR berhadapan dengan pilihan untuk membangun rumah dalam jumlah kurang atau lebih dari sasaran. BRR memilih tidak membangun dalam jumlah kurang. Pilihan ini diambil mengingat risiko membangun dengan jumlah lebih banyak dinilai lebih kecil dibanding membangun dengan membangun dalam jumlah kurang dari perkiraan jumlah penerima manfaat. Rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman memakai pendekatan lebih luas dan lebih menyeluruh dengan memperhatikan fakta pragmatis besarnya bantuan. Di sisi lain, ekspektasi masyarakat atas rehabilitasi dan rekonstruksi begitu tinggi. Kombinasi faktorfaktor di atas lewat perwujudan rumah bantuan dipandang sebagai batubatu fondasi yang kokoh menuju transformasi masyarakat yang berkelanjutan.

54

Kota Baru, Harapan Baru


Akibat terjangan tsunami, ada sekurangkurangnya 10.000 kepala keluarga yang kehilangan tanah karena tak layak huni lagi. Oleh karena itu, terbuka kemungkinan agar para penyintas yang tak mungkin lagi kembali tinggal di tempat asal untuk dimukimkan ke daerah yang baru (relokasi).

Kawasan relokasi terbesar di Aceh terletak sekitar 17 kilometer di timur laut Kota Banda Aceh yang dikenal dengan nama kawasan relokasi Kota Baru Beuramoe di Kabupaten Aceh Besar. Setidaknya terdapat sebelas lembaga bantuan penyedia rumah yang membangun kawasan baru dengan lokasi saling berdekatan antara satu dan lainnyayaitu Saudy Charity Champaigne (336 unit), Bank Pembangunan Asia (332 unit), Islamic Relief (150 unit), Australian Red Cross (98 unit), United Nations Environmental Programme (4 unit), BRR (110 unit) di atas areal seluas 52,5 hektare. Sementara dari sana, masih dalam wilayah Neuheun, tak jauh dari Beuramoe, dibangun juga perumahan Buddha Tzu Chi (780 unit), China Charity Federation (606 unit), Yayasan Nurani Dunia Mandiri (75 unit), Rebuild Aceh Fondation (48 unit), dan United Methodist Committee on Relief (UMCOR) (28 unit). Dengan dana hibah ADB melalui program Earthquake and Tsunami Emergency Support Project, pada 2007 disusunlah outline plan Kota Baru Beuramoe ini. Kota Baru Beuramoe dirancang dengan sebagai kota satelit dari Banda Aceh yang memiliki sentrasentra pelayanannya sendiri. Kota Baru Beuramoe ini sungguh program relokasi berskala raksasa. Tidak mainmain, total luas areal permukiman baru di lokasi tersebut mencapai 140 hektare. Di wilayah ini, konsentrasi penduduk mencapai 2.500 kepala keluarga. Di masa mendatang, kawasan ini diperkirakan akan berkembang pesat menjadi salah satu pusat permukiman baru.

bukanlah hal yang mudah, baik bagi BRR juga lembaga internasional yang berperan mempersiapkan rumah dan prasarana berikut infrastrukturnya. Masyarakat penerima manfaat pun perlu persiapan untuk pindah ke wilayah baru, yang boleh jadi asing dan janggal bagi mereka. Oleh karena itu, BRR pun membentuk satu tim khusus untuk memuluskan proses relokasi. Tim ini dikenal dengan nama tim Relocation Center dan mempunyai tugas sebagai berikut memfasilitasi pengadaan tanah bagi kepentingan relokasi. Tim ini sendiri terdiri atas beberapa pihak seperti Project Manager, yang berperan mengoordinasikan kegiatan Relocation Center ke semua pihak baik di BRR maupun di luar BRR (LSM lokal maupun internasional, serta pemerintah daerah). Implementing Manager, yang berperan melakukan perencanaan, pemantauan dan evaluasi atas seluruh pekerjaan, mengadakan penilaian atas kinerja, dan mengoordinasi seluruh kegiatan. Valuation Officer, yang berperan menyiapkan dan menstandardisasi formulir untuk keperluan pengadaan tanah, mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan tanah serta lokasi tanah yang sesuai untuk keperluan permukiman/ relokasi, memberikan referensi/basis penentuan harga tanah untuk pemberian kompensasi atau ganti rugi dalam pengadaan tanah dan memberikan penilaian kelayakan lahan. Information Liaison Officer, yang berperan mengidentifikasi dan inventarisasi subyek penerima bantuan (korban gempa bumi dan tsunami yang memenuhi syarat); mengklarifikasikan dan verifikasi data subyek penerima bantuan; mengadministrasi seluruh dokumen yang berkaitan dengan kegiatan relokasi; melakukan koordinasi dengan seluruh pihak terkait (pemerintah daerah, pembangun rumah) sehingga kegiatan dapat berjalan secara terintegrasi atau terpadu. Data Entry Operator: yang berperan melaksanakan data input dan mengupdate perubahan data. administrasi/Keuangan, yang berfungsi mengadministrasikan segala surat/memorandum/surat tugas yang masuk/keluar dari/ke Relocation Center mengoordinasi segala keperluan masingmasing staf; mengadministrasikan segala transaksi keuangan Relocation Center.

RELOKaSI

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

Relokasi ini sendiri bukan proses mudah maupun cepat. Setidaknya ada tiga komponen utama yang dibutuhkanpenyediaan tanah, rumah, dan infrastruktur permukiman. Artinya, selain dibangunkan rumah, para penerima manfaat juga memperoleh tanah sekaligus infrastruktur perumahan.

Membangun Hidup Baru di Kota Baru

55

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Oleh karena itu, disiapkan pula daya dukung pelayanan publik yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan kehidupan penduduk di kawasan tersebut seperti pengolahan air. Fasilitas sosial lain yang telah tersedia adalah gedung Taman Kanakkanak, gedung sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama, los pasar (2 lokasi), Puskesmas Pembantu, ruang atau balai pertemuan (3 buah), masjid, dan taman bermain. Di sekitar kawasan tersebut juga terdapat sejumlah potensi mata pencaharian, baik yang berbasis laut (tambak, perikanan tangkap) maupun darat (madu, pembuatan bata dan gerabah, pertanian lahan sempit). Di luar kawasan namun masih dalam jarak tempuh yang memadai, terdapat potensi lapangan kerja, seperti di Kawasan Industri Blang Ulam, Pelabuhan Malahayati, dan Bandara Sultan Iskandar Muda. Tak hanya itu, kawasan tersebut juga memiliki nilai historis. Di tempat ini terdapat makam Tengku Panglima Nyak Makam di Lamnga, sekaligus sebagai pertanda lokasi kota lama Labuy. Kota lama Labuy ini erat kaitannya dengan masa perang AcehBelanda (18731910) dan diperkirakan telah ada sekitar 1700. Kemudian kota ini ditinggalkan pada masa perang AcehBelanda sekitar 1890an. Di luar itu masih tersedia luas lahanlahan kosong. Lahanlahan ini nantinya bisa dimanfaatkan dan dikembangkan untuk kepentingan umum di masa depan. Beuramoe menunjukkan pada semua pihak bahwa mengembangkan kota baru membutuhkan kerja sama yang baik dari semua pihak seperti pemerintah, investasi swasta, dan peran serta warga sendiri. Agar masyarakat bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik, pembangunan lebih lanjut perlu terus digenjot pemerintah daerah, baik kabupaten maupun provinsi. Mengembangkan kota baru berarti memberikan awal kehidupan baru pada para penyintas. Di kota baru inilah mereka membuka lembaran halaman baru dari sejarah kehidupan mereka dan kemudian membangun kembali mimpimimpi mereka. Pengalaman mengembangkan kota baru atau kawasan permukiman baru yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti dilakukan di Beuramoe ini juga dilakukan di tempat lain pada skala yang berbeda. Di Singkil, dikembangkan kawasan perumahan Pulau Sarok oleh BRR dengan dana hibah pemerintah Jepang, di Arongan (Lambalek) Kabupaten Aceh Barat dikembangkan oleh Catholic Relief Services (CRS) dan BRR. Begitu pula di beberapa desa di Kecamatan Calang dan Lamno di Kabupaten Aceh Jaya yang dilaksanakan oleh Canadian Red Cross.

56

Memberikan Tempat Berlindung bagi Penyewa


Secara singkat, boleh disimpulkan bahwa mandat dari bidang perumahan dan permukiman adalah merumahkan kembali korban bencana. Artinya mereka yang rumahnya hancur akibat tsunami dan gempa bisa kembali punya atap di atas kepala

dan dinding di sekeliling sebagai tempat berlindung. Hal ini berarti rehabilitasi dan rekonstruksi untuk bidang perumahan dan permukiman mencakup mereka yang punya rumah. Lalu bagaimana dengan korban yang tak punya rumah? Apakah mereka juga akan dibangunkan rumah baru? Hal inilah yang ditemukan belakangan oleh BRR di Aceh. Dalam budaya setempat, lazim bagi anak yang sudah menikah untuk tetap tinggal satu atap bersama orang tuanya. Umumnya keluarga besar ini tinggal di rumahrumah dengan ukuran yang relatif besar. Dalam beberapa kasus, satu rumah bahkan bisa mencakup sampai empat keluarga sekaligus. Kelaziman ini dikenal dengan istilah KK (kepala keluarga) gantung. Ketika merumuskan kategorisasi penerima manfaat, ditetapkan satu unit rumah yang hancur akibat bencana akan diganti dengan satu unit rumah tipe36. Akan tetapi timbul persoalan lanjutan, dalam banyak kasus terdapat rumah yang sebelum bencana berukuran besar dan dihuni beberapa kepala keluarga hancur, namun sebagian besar penghuninya tetap selamat. Rumah bantuan tipe36 ini tentu saja tidak akan sanggup menampung keluarga besar yang terdiri atas orang tua, anak mantu sampai cucu di bawah satu atap. Lalu apakah beberapa keluarga intiyang tadinya berkumpul satu rumahmesti mendapatkan satu rumah untuk masingmasing? Selain itu, di Aceh juga ada kelaziman lain adalah mereka yang berstatus sebagai penyewa rumah. Mereka sendiri berasal dari berbagai desa di daerah pedalaman. Karena di desa terjadi konflik, mereka kemudian pindah ke kota demi rasa aman seraya juga

Sebuah rumah bertipe 36 di Gampong Pande, Banda Aceh, bantuan ADB yang disulap pemiliknya menjadi hunian tropis indah dan nyaman, 27 September 2007. Kehidupan telah tumbuh dan tertata kembali. Foto: ETESPADB/Erik Nurhikmat

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

57

Menanggapi hal ini, maka lahirlah apa yang disebut dengan skema bantuan sosial bertempat tinggal (BSBT). BSBT ini secara khusus ditujukan untuk para korban gempa bumi dan tsunami yang tak punya rumah maupun hak atas tanah. Konsep yang digodok pada 2006 ini merumuskan bahwa mereka yang memenuhi kriteria akan mendapatkan bantuan berupa uang tunai. Secara konseptual, tujuan pemberian BSBT dengan pemberian uang tunai tersebut adalah agar korban yang pada saat terjadinya bencana tinggal di wilayah bencana tetapi tidak mempunyai rumah dan hak atas tanah dapat bertempat tinggal secara layak. Selain itu, ketersediaan rumah tempat tinggal yang layak huni jumlahnya meningkat sehingga pasaran harga sewa rumah turun. Tujuan lain adalah memastikan agar perumahan dan kawasan permukiman baru menjadi lebih manusiawi dan terbuka untuk semua golongan atau lapisan sosial masyarakat. Selain itu, diharapkan BSBT ini bisa meningkatkan kapasitas swadaya penerima BSBT dalam membangun dan memperbaiki tempat tinggalnya. Kepala keluarga yang memenuhi kriteria BSBT adalah 1. Kepala keluarga sebelum bencana gempa bumi dan tsunami 2. Tempat tinggalnya hancur total sehingga KK tersebut menjadi kehilangan tempat tinggalnya 3. Bertempat tinggal dengan cara menyewa, menumpang bersama orang tua/keluarga, membangun tempat tinggal ilegal di atas tanah yang bukan miliknya seperti di bantaran sungai, tanah negara 4. Belum pernah mendapatkan bantuan perumahan dengan jenis apa pun dari pihak mana pun. Adapun bantuan yang diterima oleh kepala keluarga yang memenuhi kriteria BSBT adalah uang tunai. BSBT diberikan dalam bentuk dana tunai yang dapat digunakan untuk pilihan sebagai berikut: Menyewa tempat tinggal; atau Melakukan kontrak sewa tempat tinggal; atau Melakukan kontrak sewabeli tempat tinggal; atau Membeli rumah dengan menggunakan BSBT sebagai uang muka untuk angsuran kredit pemilikan rumah (KPR); atau Membeli tanah siap bangun untuk dipakai membangun rumahnya sendiri; atau Membangun rumah di atas tanahnya sendiri di tempat lain atau tanah yang dihibahkan pada yang bersangkutan.

Taman bermain di New Town Beuramoe, Kabupaten Aceh Besar, 11 Juni 2008, ini salah satu prasarana dan sarana dasar (PSD) yang dibangun untuk menghadirkan lingkungan hunian lebih layak dan ramah anak. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

mencari penghidupan. Mereka pun menyewa rumah di daerahdaerah padat penduduk di kota. Karena bencana, pemilik rumah yang mereka sewa hilang atau meninggal dunia. Akibatnya hak mereka akan rumah bantuan pun tak bisa ditunaikan. Pertanyaannya adalah apakah mereka, yang tak punya rumah maupun lahan karena berstatus penyewa, mendapat bantuan rumah?

59

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

60

Rumah di Kahju, Kabupaten Aceh Besar, bantuan sebuah LSM ini, seperti permukiman baru lain, juga dilengkapi jalan permukiman. Gambar diambil pada 4 Desember 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Secara nominal, bantuan ini tergolong bantuan yang paling kecil. Secara logika, hal ini telah tepat dan sesuai karena bila dibandingkan dengan tingkat kehilangan tempat tinggal mereka dengan pemilik rumah/tanah yang juga kehilangan tempat tinggalnya, maka kriteria BSBT adalah korban dengan tingkat kerugian tempat tinggal yang paling kecil. Mereka tidak kehilangan tempat tinggal yang mereka bangun sendiri, berbeda dengan mereka yang rumahnya rusak penerima dana bantuan perbaikan rumah (BPR), atau mereka yang rumahnya hancur penerima bantuan pembangunan rumah baru (BPRB) atau pun mereka yang harus direlokasi yang mendapatkan bantuan perumahan dan permukiman kembali (BPPK) berupa tanah dan rumah. Namun, agaknya masyarakat lebih cenderung memiliki rumah sendiri daripada memperoleh uang untuk menyewa rumah. Pada 2007 BRR menyempurnakan kebijakan BSBT. Semula bantuan yang diberikan dalam bentuk uang, berdasarkan aspirasi dan kebutuhan dari masyarakat korban bencana gempa bumi dan tsunami, bentuk bantuan diganti menjadi bantuan berupa barang, yaitu tanah/rumah. BSBT pada 2007 diberikan dalam bentuk tanah/rumah meliputi: Bagi kepala keluarga korban yang memiliki tanah secara sah, maka mendapatkan bantuan berupa pembangunan satu unit rumah inti dari BRR atau mitra pemberdaya; Bagi kepala keluarga korban yang tidak memiliki tanah namun memiliki komitmen

Sukses penyaluran bantuan perumahan bagi korban bencana dengan jenis BSBT pertama kali terjadi pada 2007. Terdapat beberapa contoh penyaluran BSBT di beberapa wilayah seperti Kecamatan Kuta Baro, Meunasah Mon, dan Kecamatan Krueng Raya, Labuy. Pelaksanaan pemberian BSBT di Kuta Baro adalah contoh sukses penyaluran BSBT tipe1, yaitu kepala keluarga korban yang memiliki tanah secara sah, maka mendapatkan bantuan berupa pembangunan satu unit rumah inti dari BRR atau mitra pemberdaya. Dalam praktik pemberian BSBT di wilayah Kuta Baro ini terdapat 10 kepala keluarga memiliki tanah secara sah dan menginginkan pembangunan rumah bantuan bagi mereka di atas tanah yang mereka miliki. Pada saat menunggu bantuan perumahan, mereka bertempat tinggal sementara di barak Beurangong. Tugas BRR adalah mempertemukan kebuthan dengan pasokan pembangunan rumah khususnya dari LSM/donor. Saat itu lembaga pelaksana yang bernama Government Information Technology Executive Council (GITEC) yang dibiayai dari Kreditanstalt fur Wrederaubau (KfW) atau Bank Pembangunan Jerman menjadi penyedia pembangunan rumah di wilayah tersebut. Sebanyak 10 unit rumah inti tipe36 dari mitra pemberdaya, dalam hal ini adalah GITEC, berhasil dibangun sesuai jumlah yang dibutuhkan di Kuta Baro. Penyaluran BSBT di Desa Meunasah Mon, Kecamatan Krueng Raya, adalah contoh keberhasilan pelaksanaan BSBT tipe2, yaitu kepala keluarga korban yang tidak memiliki tanah namun memiliki komitmen atau janji pembangunan rumah dari mitra pemberdaya atau dari pihak mana pun, maka kepala keluarga korban akan mendapatkan satu kaveling tanah siap bangun dari BRR. Sebanyak 23 unit rumah dikomitmenkan oleh Palang Merah Kanada bagi kepala keluarga yang memiliki tanah. Setelah tanah yang sesuai dengan kebutuhan dapat disediakan oleh Direktorat Pemetaan dan Administrasi Pertanahan BRR di lokasi Desa Meunasah Mon, maka selanjutnya Palang Merah Kanada pun berhasil memenuhi komitmen mereka, yaitu membangun sebanyak 23 unit rumah bagi para korban bencana alam dengan kategori BSBT. Keberhasilan yang sama terjadi di Desa Lagang. BRR menyediakan tanah sesuai dengan kebutuhan kepala keluarga korban tsunami yang saat itu tinggal di Huntara Lagang I dan Huntara Lagang II. Untuk selanjutnya mitra pemberdaya, yaitu GenAssist (salah satu LSM) membangun rumah inti di lokasi tersebut dengan jumlah lebih dari 100 unit rumah.

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

atau janji pembangunan rumah dari mitra pemberdaya atau dari pihak mana pun, maka kepala keluarga korban akan mendapatkan satu kaveling tanah siap bangun dari BRR. Bagi kepala keluarga korban yang tidak memiliki tanah dan tidak memiliki komitmen atau janji pembangunan rumah dari mitra pemberdaya atau dari pihak mana pun, maka kepala keluarga tersebut mendapatkan satu kavling tanah siap bangun di lokasi yang ditentukan beserta satu unit rumah tipe21 dari BRR NAD Nias.

61

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Contoh keberhasilan lain adalah di wilayah Kuta Baro. BRR menyediakan tanah bagi sebagian kepala keluarga korban tsunamisebanyak 19 kepala keluargadi barak Beurangong yang rumahnya dibangun oleh GenAssist. Pemberian bantuan perumahan bagi para korban gempa bumi dan tsunami oleh pihak China Charity Federation yaitu Kampung Persahabatan IndonesiaTiongkok di Neuheun, oleh Buddha Tzu Chi yaitu Perumahan Cinta Kasih di Panteriek, Banda Aceh, dan Perumahan Cinta Kasih di Neuheun juga merupakan contoh keberhasilan yang serupa dengan penerapan mekanisme BSBT tipe2. Namun bedanya adalah tanah disediakan oleh BRR, setelah rumah selesai dibangun oleh lembagalembaga tersebut barulah kemudian penerima bantuan yang sesuai disediakan dan dihunikan di rumahrumah tersebut. Keberhasilan penyaluran BSBT tipe3 terjadi di Labuy. BRR melalui Kantor Perwakilan I membangun 110 unit rumah di atas tanah yang juga sudah diadakan oleh BRR c.q. Direktorat Pemetaan dan Administrasi Pertanahan. Namun karena lokasi Labuy ini adalah lokasi permukiman baru, maka diperlukan semacam attraction factors agar penerima manfaat bersedia bermukim di lokasi baru tersebut. Bentuk daya tarik yang dibuat adalah bangunan bukan rumah tipe21 melainkan tipe36 dan tanah yang disediakan lebih luas dari 100 m2, yaitu 150 m2 untuk tiap kaveling. Hal ini berhasil menarik keinginan masyarakat korban tsunami yang memenuhi kriteria BSBT untuk nantinya bermukim di wilayah ini. Sebelumnya para korban tsunami BSBT ini terbiasa tinggal di lokasi yang dekat dengan pusat kota.

62

Penyediaan Infrastruktur Kawasan dan Permukiman


Sekadar membangun rumah tidaklah cukup. Tanpa fasilitas umum serta prasarana dan sarana dasar (PSD), rumahrumah tersebut tak akan dilirik. Fasilitas seperti jalan lingkungan, drainase, sistem sanitasi dan air minum pada umumnya rusak berat atau tersapu bersih. Oleh karena itu, infrastuktur kawasan dan permukiman menjadi satu isu penting yang juga masuk dalam cakupan rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman. Kebijakan ini diturunkan dalam bentuk bantuan prasarana dan sarana dasar, yang berbedabeda di setiap kawasan permukiman karena masingmasing punya tingkat kerusakan yang berbedabeda, mulai dari rusak berat, rusak sedang sampai rusak ringan. Yang termasuk dalam lingkup prasarana dan sarana dasar ini mencakup jalan lingkungan, drainase, penyediaan air bersih dan sanitasi, dan persampahan serta dalam tempattempat tertentu juga dibuatkan lanskap atau penghijauan lingkungan sampai ke penyediaan listrik. Untuk desadesa atau kawasan yang mengalami kerusakan berat atau hancur total, dibuatkan detailed engineering design (DED) untuk jenisjenis prasarana dan sarana dasar tertentu yang diperlukan. Pembuatan DED perlu dilakukan karena pembangunan kembali

Untuk desadesa atau kawasan yang rusak sedang, pembangunan PSD cukup didasarkan pada program umum yang disebut Rencana Induk. Pembangunan keseluruhan sistem prasarana dan sarana dasar, khususnya di daerah perkotaan, dilakukan bersamasama dengan Kedeputian Infrastruktur, khususnya Direktorat Air Bersih dan Sanitasi. Untuk desadesa atau kawasan permukiman yang mengalami kerusakan ringan, desainnya cukup didasarkan pada prototipe yang sudah ada. Dalam menyediakan prasarana dan sarana dasar, BRR berpegang pada prinsipprinsip berikut: Penyediaan prasarana dan sarana dasar harus didahului dengan perencanaan umum atau perencanaan teknis atau detail desain untuk jenisjenis prasarana dan sarana dasar yang sudah spesifik. Penggunaan dana pembangunan prasarana dan sarana dasar sejauh mungkin didahulukan yang berasal dari LSM, terutama untuk kawasankawasan relokasi yang rumahnya dibangun oleh LSM terkait. Kebijakan filling the gap terhadap pekerjaanpekerjaan yang ditinggalkan oleh LSM/ lembaga internasional. Pembangunan infrastruktur mikro (skala lingkungan perumahan) harus berintegrasi dengan sistem infrastruktur makro (skala kota atau kawasan permukiman). Penyediaan prasarana dan sarana dasar seperti jalan akses dan lingkungan, drainase, air bersih, air limbah serta persampahan dan listrik, dimaksudkan agar perumahan yang telah dibangun dapat berfungsi dengan baik dan pada gilirannya kemudian masyarakat korban dapat tinggal kembali di tempat tersebut secara layak. Seiring dengan selesainya pembangunan rumah, maka tingkat permintaan masyarakat terhadap penanganan prasarana dan sarana dasar perumahan permukiman semakin tinggi, terutama penyediaan air bersih. Di sisi lain, sejumlah prasarana dan sarana dasar, misalnya jalan akses atau jalan lingkungan, baru bisa dibangun setelah rumahrumah selesai. Jika dilakukan di awal, maka jalan tersebut justru akan jadi rusak. Pembangunan prasarana dan sarana dasar memang membutuhkan strategi pelaksanaan di lapangan agar bisa tepat waktu dan tepat sasaran.

Membangun Perumahan dan Permukiman Bersama Kawan


Pelaksanaan pembangunan rumah untuk mencapai sasaran yang ditetapkan di dalam Rencana Induk pada dasarnya dipenuhi melalui dua saluran atau pola penyediaan, yaitu onbudget dan offbudget. BRR berfungsi sebagai pelaksana atau implementator dalam pola onbudget dan sebagai koordinator dan fasilitator dalam pola offbudget.

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

atau rekonstruksi suatu jenis prasarana dan sarana dasar tertentu perlu penghitungan cermat sehingga aspekaspek teknis dan biayanya dapat dipertanggungjawabkan. Namun, untuk jenis prasarana dan sarana dasar tertentu lainnya dapat pula dibangun berdasarkan desain prototipe yang ada.

63

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Bila dilihat dari komitmen jumlah rumah yang dibangun, perbandingan antara onbudget dan offbudget adalah sekitar 39 persen atau sekitar 57 ribu unit dibandingkan dengan 61 persen atau sekitar 90 ribu unit. Dengan posisi demikian menunjukkan bahwa LSM dan lembaga internasional mempunyai peran dan kedudukan yang penting dalam sektor perumahan. Pengertian LSM dan lembaga internasional yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pada dasarnya mencakup lembagalembaga pemberi bantuan atau donor yang dapat dikelompokkan menjadi lembagalembaga PBB, Red Cross dan Red Crescent dari berbagai negara, LSMLSM asing atau internasional, LSM tingkat nasional dan LSM lokal yang bergerak di NAD dan Sumatera Utara. Lembagalembaga tersebut melaksanakan kegiatannya melalui mekanisme offbudget. Kegiatan mereka dibiayai dengan danadana yang mereka usahakan sendiri dan dikelola oleh mereka sendiri. Dalam pengertian seharihari, seluruh lembaga nonpemerintah yang terlibat dalam rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias disebut LSM. Dari seluruh LSM dan lembaga lain yang terlibat dalam penyediaan rumah, baik di NAD maupun di Nias, yang berjumlah 140 lembaga, untuk memberikan gambaran dan memudahkan manajemen pelayanannya biasa dilakukan kategorisasi. LSM atau lembaga dikatakan besar apabila memiliki komitmen lebih besar dari 1.000 unit. Sedangkan yang dikategorikan sedang adalah yang memiliki komitmen pembangunan rumah antara 100 sampai dengan 1.000 unit; dan dikatakan kecil apabila komitmennya di bawah 100 unit rumah. Komposisi mengenai pengelompokan berdasarkan besarnya

64

Gambar 3.2. Komposisi Kontribusi Onbudget dan Offbudget dalam Pembangunan Rumah

Pelaku, Peran BRR dalam Kontribusi Sumber Dana dan Pembangunan Rumah Jumlah Lembaga/ Unit Pembangunan Rumah Koordinasi & Fasilitasi Pembangunan
UN, IFRC dan LSM Sumber Dana Off-budget 140 Lembaga

61% 90.000 unit

Pelaksana Pembangunan

UN, IFRC dan LSM Sumber Dana Off-budget 140 Lembaga

39% 57.000 unit

komitmen tersebut dan dikaitkan dengan jenis lembaga LSM dapat digambarkan sebagaimana pada tabel di atas. Dari tabel 3.2. tersebut dapat dilihat, 21 persen atau sejumlah 29 LSM berkategori besar memberikan kontribusi sebesar 72 persen atau 65.238 unit rumah dari total komitmen sejumlah 90.815 unit rumah. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan hukum Pareto, posisi LSM besar yang berjumlah relatif sedikit sangatlah strategis dalam memberikan kontribusinya dalam pencapaian sasaran penyediaan rumah bantuan di NAD dan Nias. Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman memberikan perhatian khusus terhadap lembagalembaga donor ini dengan membentuk Direktorat Kemitraan seperti yang telah dikemukakan di bagian depan. Kegiatan yang dilakukan kedeputian terhadap LSM dan lembaga internasional ini sangat bervariasi. Dalam bentuknya yang paling sederhana, LSM hanya melakukan pendaftaran atau pencatatan serta pelaporan terhadap rencana dan komitmen mereka. Sebagaimana diberlakukan untuk seluruh LSM, lembaga internasional dan donor yang bekerja untuk rehabilitasi dan rekonstruksi di NAD dan Nias, LSM dan lembagalembaga internasional lainnya yang bekerja untuk sektor perumahan dan permukiman juga diberlakukan mekanisme registrasi melalui project concept note (PCN).

Pembangunan rumah dengan rangka baja untuk perumahan Krueng Raya, Aceh Besar, 19 Juli 2006, prakarsa yang diambil untuk, salah satunya, menyelamatkan kayukayu hutan Aceh sebagai anasir penting paruparu dunia. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

65

Tabel 3.2. Jumlah Lembaga LSM/Donor Bidang Perumahan dan Besaran Komitmennya

Jumlah Lembaga dan besarnya komitmen PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa No Kategori Lembaga Besar Komitmen > 1.000 unit 2 5.166 6 13.222 18 39.904 2 5.929 1 1.107 29 65.238 7 3.506 33 13.015 18 4.534 11 2.445 69 23.500 17 895 13 512 12 670 42 2.077 Sedang Komitmen 1001.000 unit Kecil Komitmen < 100 unit TOTAL 2 5.166 13 16.728 68 53.814 33 10.975 24 4.132 140 90.815

1 2 3 4 5

Perserikatan BangsaBangsa (PBB) Palang Merah, Bulan Sabit Merah LSM asing/ Internasional LSM/ Yayasan nasional LSM/ Yayasan Lokal TOTAL Jumlah Lembaga Jumlah Komitmen (unit rumah)

66

Sumber: Diolah dari RANDatabase Pusdatin BRR diambil dari data November 2008

Dengan adanya mekanisme PCN, LSM yang tidak melakukan perikatan kerja sama langsung dengan BRR atau kedeputian melalui suatu nota kesepahaman kegiatannya tetap dapat dipantau dari segi lokasi, besarnya komitmen (jumlah unit rumah) hingga kemajuan pekerjaannya. PCN ini secara terpusat dikelola oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) BRR. Untuk sektor perumahan dan permukiman kerja sama dilakukan secara intensif dengan Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman. Dalam pola hubungan yang lebih jauh, Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman dapat memberikan kontribusi berupa perbantuan dalam perencanaan seperti konsultasi mengenai DED, desain rumah, rencana tata letak atau desain teknis untuk jenisjenis tertentu prasarana dan sarana dasar. Bantuan lain yang juga sering diberikan adalah penyediaan calon penerima bantuan berikut verifikasinya. Dengan cara demikian pihak LSM tidak mengalami kerepotan untuk berhubungan dengan masyarakat korban dan sepenuhnya dapat berkonsentrasi pada pembangunan fisik rumahnya. Untuk pembangunan kawasan relokasi serta perumahan untuk para penyewa (BSBT), kedeputian menyediakan tanah dengan melakukan pembebasan dari masyarakat. Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku pihak asing tidak dapat membeli tanah meskipun tanah tersebut akhirnya diserahkan kepada masyarakat. Dengan demikian, kawasan relokasi yang rumahnya dibangun oleh LSM tanahnya disediakan oleh BRR/ kedeputian. Begitu pula untuk kasus BSBT, bila masyarakat penyewa tidak dapat

Selain itu, beberapa LSM juga ada yang meminta bantuan dalam proses tender atau pemilihan kontraktor dengan cara meminta satu atau beberapa personel BRR untuk terlibat dalam panitia tender mereka. Dalam proses pelaksanaan pembangunan, BRR membantu penyelesaian masalahmasalah teknis di lapangan, seperti penyiapan jalan akses atau mengatasi genangan atau banjir yang memasuki area proyek. Melalui kerja sama dengan bagian layanan hukum, BRR pernah membantu memediasi masalah perselisihan kontraktual antara LSM dan kontraktor pelaksana. Dalam beberapa kasus, BRR juga membantu mengoordinasikan dengan pemda atau aparat setempat, seperti dalam pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan pengamanan pelaksanaan proyek. Menjelang akhir mandatnya, BRR juga membantu LSM berhubungan dengan pemda dan memfasilitasi, agar pemda dapat menyediakan PSD melalui anggaran APBD yang dimiliki.

Tabel 3.3. Contoh Jenis Fasilitasi kepada LSM

No 1 2

Jenis Fasilitasi Bantuan perencanaan dan desain teknis Penyediaan penerima bantuan dan verifikasi Penyediaan tanah Pematangan lahan Penyediaan PSD (jalan akses, drainase, air bersih)

Contoh LSM Catholic Relief Services (arongan Lambalek, alue naga), Kuwait Red Crescent (Kayee Lheu) genassist (Ulee Tuy), Buddha Tzu Chi (Panteriek, neuheun, Paya Peunaga), australian Red Cross (alue naga, Labuy), China Charity Federation (neuheun) China Charity Federation (neuheun), Buddha Tzu Chi (Panteriek, neuheun, Paya Peunaga), genassist (BSBT Ulee Tuy), Canadian RC (Krueng Raya), australian Red Cross (Ladong) Saudi Charity/Isalmic Development Bank (Mireuk Lam Reudeup), UMCOR (neuheun), australian Red Cross (Kota Batu) nurani Dunia (neuheun), Emergency architect (Sabang), australian Red Cross & Islamic Relief (Beuramoe), World Relief (Krueng Raya), Brunei & World Vision Indonesia (Deah Mamplam)

3 4 5

6 7 8 9 10 11

australian Red Cross (Lam Lheut, Ladong), Kuwait Red Crescent Mediasi masalah nonteknis di lapangan (Kayee Lheu), Plan Internasional (Leupung), Bakrie Peduli (Deah Raya) Mediasi perselisihan masalah kontrak Penyediaan struktur rumah rangka baja Pengambilalihan manajemen Pengurusan IMB dengan Pemda Fasilitasi dan kanalisasi penyediaan PSD oleh Pemda atau listrik oleh PLn Soroptimist Internasional (aceh Besar) ChF Internasional (aceh Besar), german agro action (Simeulue) United nations high Commission for Refugees (Krueng Sabee) Kuwait Red Crescent (Kayee Lheu) Canadian Red Cross (aceh Jaya), Kuwait Red Crescent (Kayee Lheu), australian Red Cross (Ladong, Kuta Batu)

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

membebaskan atau tidak memiliki tanah, maka yang menyediakan tanahnya. Dalam beberapa kasus, kedeputian juga melakukan pematangan tanah, berupa pembersihan atau penimbunan lahan.

67

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Menguak Fakta Lewat Sistem Informasi Geospasial


Ketika gelombang raksasa dan gempa dahsyat menggoyang Aceh serta Nias, kebutuhan akan informasi spasial pun menjadi mendesak. Informasi seperti peta rupa bumi, citra satelit atau foto udara, peta hasil pemindaian, peta administrasi serta berbagai informasi spasial sangat dibutuhkan untuk melakukan program rehabilitasi dan rekonstruksi. Hal inilah yang menjadi embrio penyusunan sistem informasi geospasial perumahan. Ini karena perencanaan perumahan dan permukiman tak mungkin bisa akurat dan tepat sasaran jika tak ada peta seperti ini. Pada awal 2005 bermunculan berbagai inisiatif kegiatan pemetaan yang lebih teknis untuk mengetahui perubahan spasial yang terjadi. Japan International Cooperation Agency (JICA) membuat analisis perubahan tinggi di Banda Aceh dan menurunkan kontur interval 1 meter dari reprocessing imagery foto udara; BLOMNorwegia melaksanakan pemotretan udara di 60 persen tsunami affected area; AusAID melalui AIPRDLogica, dan USAID melalui Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD) melakukan identifikasi batas pemilikan tanah penerima bantuan yang hilang berbasiskan pemetaan partisipasif warga. Pada saat awal rekonstruksi berbagai pihak termasuk LSM memerlukan peta untuk kebutuhan penyusunan site plan atau perencanaan desa, sebagai bagian awal dari pelaksanaan programnya. Untuk keperluan itu mereka melakukan kegiatan pemetaan secara inhouse ataupun outsourcing. Demikian juga dengan BRR dan Pemprov NAD telah melakukan kegiatan yang sama di berbagai lokasi untuk mendukung pembebasan tanah dan percepatan pembangunan prasarana dan perumahan pada 2006. Pada 2006, unit yang menangani data dan peta (Manajer Unit Data Literal dan Spasial) di bawah Direktorat Perencanaan dan Pemrograman, setelah mempelajari berbagai petapeta yang ada, menemukan beberapa pengamatan penting. Peta rupa bumi daerah bencana tidak dapat digunakan karena kondisi yang ada telah berubah. Peta administrasi yang dikeluarkan BPS umumnya mengandung kekeliruan posisi di lapangan. Kadang kala desa dengan nama tertentu yang berada di pinggir pantai ditempatkan pada daerah pegunungan yang jauh. Demikian juga halnya dengan batas wilayah administrasi yang ternyata sudah bergeser dari peta yang dibuat oleh JICA atau Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Begitu pula beberapa peta tematik yang dikeluarkan oleh UNIMS yang sebagian besar posisi wilayah administratif dan penamaannya tidak sesuai dengan keadaan di lapangan. Hasil kegiatan pemetaan partisipatif warga bantuan AusAID dan USAID pun sulit memenuhi kebutuhan teknis proyek konstruksi. Peta yang dihasilkan merupakan manuskrip dengan koordinat masingmasing yang tidak terintegrasi satu sama lain sehingga menjadi kendala saat dilakukan penataan kembali kawasan bencana.

68

Petapeta yang dihasilkan oleh LSM, konsultan yang diperbantukan pada BRR, serta pemda pun menggunakan sistem berbedabeda sehingga perlu upaya untuk mengintegrasikannya secara spasial. Di sisi lain, peta dasar untuk perencanaan masih sangat kurang dan belum ada integrasi peta menyeluruh antara lokasi pembebasan tanah dan lokasi proyek pembangunan. Semua berjalan secara parsial. Akhirnya data spasial yang dapat dijadikan sebagai peta dasar hanyalah peta yang dihasilkan oleh JICA yang berupa peta garis. Itupun hanya mencakup Banda Aceh. Selain itu foto udara bantuan Norwegia untuk beberapa spot kawasan pantai dapat dimanfaatkan. Data spasial tersebut baru diterbitkan pada pertengahan 2006, meskipun pekerjaan perumahan telah berjalan sejak akhir 2005 dan berlanjut pada 2006. Sementara itu secara umum datadata tabulasi tekstual pada saat itu (2006) mempunyai beberapa kondisi yang memiliki keterbatasan dalam mendukung pelaksanaan pekerjaan pembangunan. Kondisi tersebut antara lain: Lokasi administrasi data proyek yang tercatat sulit diidentifikasi karena ada namanama lokasi yang tidak mengacu pada nama desa yang dikeluarkan BPS.

Kesibukan para staf SIMC di Kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh, 14 Juli 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

69

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

70

Aktivitas seharihari staf Pusdatin BRR di Kantor BRR, Banda Aceh, 25 Juli 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Otoritas unit pemetaan terpencar, tugasnya saling tumpangtindih dan tidak ada unit yang mempunyai data akurat yang lengkap. Staf yang berada pada unit kerja tersebut pun beragam dengan latar belakang dan kemampuan berbeda. Tidak jarang seorang berprofesi dokter hewan, akuntan, astronom, arsitek, atau tamatan sekolah menengah atas dapat menjalankan peran ahli pemetaan dan GIS. Wawasan dan pengalaman staf terhadap kebutuhan data geospasial untuk keperluan proyek pembangunan, khususnya bidang perumahan, tergolong kurang. Sebagai jalan keluar, pelatihan dan pengetahuan diberikan terlebih dahulu. Kepekaan pengambil kebijakan terhadap perlunya peta pun masih kurang, padahal secara teknis, peta sangat dibutuhkan sebagai instrumen perencanaan. Berdasarkan kondisi di atas, muncul suatu gagasan pengadaan data geospasial untuk mendukung perencanaan, pemantauan dan evaluasi percepatan pembangunan perumahan dan permukiman sebagai suatu terobosan. Usaha untuk memperoleh data geospasial itu sudah dirintis sejak Desember 2005 dengan adanya komitmen AusAid melalui AIPRD untuk memberikan bantuan dana pemetaan. Proses di internal BRR sendiri kemudian mengarah pada penggunaan dana APBN untuk melakukan pengadaan data geospasial ini lewat kesempatan revisi dana anggaran di pertengahan 2007. Data geospasial yang akan dibuat ini tidak hanya untuk tujuan perencanaan, melainkan lebih kepada kebutuhan sebagai media untuk pertanggungjawaban atau akuntabilitas.

Sistem informasi geografis merupakan instrumen yang andal sebagai media pertanggungjawaban dibandingkan dengan data literal. Informasi ini dengan mudah menyajikan setiap rumah bantuan yang dibangun, baik melalui onbudget maupun offbudget, dengan berbagai atribut seperti nama pemilik rumah, nama lembaga penyedia atau pembangun rumah, kondisi rumah, status rumah (selesai, dalam proses pembangunan, atau terbengkalai), ketersediaan prasarana dan sarana dasar (air bersih, listrik, sanitasi), serta kondisi penghunian (dihuni atau tidak dihuni), dengan koordinat lokasi sehingga diperoleh data spasial dan tekstual dengan georeferensi yang sama. Terdapat empat tahap pelaksanaan dengan lingkup dan sasaran pekerjaan sebagai berikut 1. Pembangunan kerangka pemetaan dari titik GPS Bakosurtanal/BPN dan perapatan titik kontrol GPS baru sebanyak 735 titik ke 1.293 daerah rehabilitasi dan rekonstruksi di NAD dan Kepulauan Nias. 2. Pemetaan situasi atas objek: rumah, jalan, saluran, dan utilitas lainnya. Pemetaan menggunakan digital total station dan GPS. Raw data total station dan GPS diolah jadi peta garis, diintegrasikan dengan data tekstual dan foto melalui proses pengolahan di studio. 3. Survei pendataan tekstual rumah dan prasarana dan sarana dasar untuk memperoleh progres rumah yang dibangun, status hunian, nama penerima bantuan dan memastikan donor yang melakukan pembangunan. Pendataan tekstual infrastruktur terbangun untuk memperoleh data dan status prasarana dan sarana dasarterbangun serta kesiapan kawasan permukiman untuk bertempat tinggal. Tiap rumah dan tiap prasarana dan sarana dasar diberi kode identifikasi dan didokumentasikan progres fisiknya melalui foto. 4. Pembuatan basis data spasial dan basis data tekstual sehingga terbentuk basis data geospasial. Berdasarkan basis data geospasial dilakukan beberapa query peta tematik dan dicetak berdasarkan tema tertentu sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian telah diperoleh 3.606 peta yang menggambarkan 109.950 rumah di atas lahan 5.000 hektare di 1.293 desa, 142 kecamatan di 17 kabupaten/kota. Survei data geospasial ini dilaksanakan oleh seorang project officer bertindak sebagai koordinator yang dibantu oleh empat orang tenaga teknis BRR. Pekerjaan konsultansi sendiri dibagi menjadi tiga paket yang mencakup tiga kluster wilayah. Pekerjaan lapangan dikoordinasi oleh 18 tenaga ahli, 120 tenaga surveyor pemetaan situasi dan surveyor pendataan tektual serta dibantu oleh 240 orang masyarakat desa. Dapat dilihat bahwa kerja ini boleh dibilang berskala raksasa.

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

Hal ini karena sistem informasi geografis sebagai pelengkap dari data yang bersifat literal (hanya bersifat daftar, misalnya daftar jumlah rumah di suatu kabupaten) memiliki kelebihannya tersendiri. Dengan sistem informasi geografis dapat diketahui titik posisi rumah tersebut di dalam peta, sehingga dengan cepat dan mudah untuk dapat dilakukan pengecekan di lapangan oleh siapa pun yang bisa mengakses data ini.

71

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

72

Presiden SBY, pada pembukaan acara CFAN IV di Jakarta, 13 Februari 2009, sedang mendapatkan penjelasan tentang penggunaan dan manfaat peranti lunak GIS Perumahan pada Pemulihan AcehNias. Foto: BRR/Arif Ariadi

Peralatan yang digunakan dalam melaksanakan pekerjaan ini terdiri atas 12 unit geodetic GPS, 93 unit GPS tipe navigasi, 22 unit digital total station, 135 ribu formulir pendataan dan deskripsi benchmark, 138 unit komputer, serta 158 kamera digital. Survei data geospasial ini dilaksanakan hampir lima bulan dari Desember 2007 hingga April 2008. Berdasarkan ketersediaan basis data geospasial ini dibentuklah sistem informasi perumahan yang menggunakan data spasial format ESRI SHP yang dibangun berbasis web. Sistem ini diperuntukkan sebagai alat bantu untuk melakukan pemantauan, evaluasi, dan informasi progres pembangunan tiap rumah, tiap donor dan tiap desa area bencana di wilayah NADNias. Berdasarkan penelitian dari Research Center for Seismology Volcanology and Disaster Mitigation, Nagoya University, ditemukan daratan Aceh dan Nias masih belum stabil dan terjadi perubahan posisi dari waktu ke waktu. Dengan demikian dilakukan pembuatan peta dasar baru berdasarkan analisis data dan integrasi peta dasar Bakosurtanal, foto udara dan hasil pengukuran geospasial terkini sehingga rumah dan PSD dapat ditampilkan dalam koordinat geografis. Lewat sistem informasi geografis perumahan yang berbasis web, dengan mengklik posisi Banda Aceh dalam peta Provinsi Aceh, misalnya, dapat diperoleh gambaran

Peranan geospasial untuk keperluan audit sangat membantu karena prinsip dasar geospasial adalah satu objek bergeorefensi, berdimensi, dan dapat diberi identitas yang unik. Lokasi dan progres yang dilaporkan sesuai dengan keterangan yang melekat pada indentitas tersebut suatu saat bisa diperoleh dengan mudah untuk diaudit. Dengan demikian laporan berbasis geospasial akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Dari aplikasi housing geospatial informaton system yang telah dibuat terlihat data geospasial merupakan data kunci yang penting dalam mengintegrasikan semua informasi secara terpusat baik bersifat tekstual maupun visual. Dalam pengertian lain dapat dinyatakan data geospasial dapat digunakan sebagai unsur terpercaya dalam hal akuntabilitas informasi. Kepala BRR pun dapat berbangga hati atas tidak terbuktinya tuduhan kebohongan publik yang disampaikan oleh berbagai kalangan tentang kemajuan pembangunan perumahan pada 2007. Dengan data ini keperluan audit yang akan dilakukan oleh berbagai pihak dapat berjalan dengan baik, apalagi jika pelaksanaannya menggunakan teknologi GIS. Sisi lain dari keberhasilan pengunaan data ini dibuktikan dengan diperolehnya penghargaan Government Technology Award 2008 on Best Practice Information Management dalam acara Future Government Summit 2008 pada 17 Oktober 2008 di Bali yang diikuti oleh 450 nominasi dari 15 negara AsiaPasifik. Penghargaan serupa pada kategori lain diraih oleh Kementerian Pendidikan Singapura, Kepolisian Diraja Malaysia, Singaporean Defence Technology and Science Institute, dan lainlain. Pemanfaatan data geospasial pada rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias ini memang disayangkan karena hanya memuat informasi sebatas proyek terbangun. Kalaulah pengadaan data geospasial ini dari awal maka akan diperoleh data teknis sebelum rekonstruksi, pelaksanaan rekonstruksi, dan hasil rekonstruksi. Dari ketiga data geospasial tahap pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut tentulah banyak yang dapat diwariskan untuk bangsa, negara, dan dunia rekayasa. Hal pasti adalah dari analisis spasial dan pembelajarannya dapat dilakukan dari data geospasial tersebut. Namun paling tidak housing geospatial information system sudah dapat membuka mata orang awam dan pakarpakar yang menentang pengadaannya bahwa mutiara rehabilitasi rekonstruksi Aceh dan Nias ditemukan pada sistem informasi yang sudah terbangun dan akan terus di contoh dan diterapkan diberbagai instansi dan berbagai proyek rekonstruksi maupun pembangunan di masa mendatang.

Bagian 3. Membangun Harapan dan Masyarakat

distribusi rumah berupa titik hitam. Demikian seterusnya zooming dapat dilakukan hingga memperoleh satu titik rumah yang berisi informasi tentang koordinat rumah, jenis bantuan (rekonstruksi, relokasi atau BSBT), lembaga yang memberi bantuan, nama pemilik rumah, dan status penghunian, beserta foto tampak depan rumah.

73

Jurus Penjawab Tantangan


dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman di wilayah pascabencana sedahsyat tsunami penuh dengan berbagai hambatan. Apalagi hal itu dilakukan di wilayah pascakonflik bersenjata serta hanya diberi waktu empat tahun. Sungguh hambatan yang menunggu bak tebing terjal yang nyaris tak mungkin didaki. Sederetan hambatan tersebut diperas ke dalam tantangan utama yang diidentifikasi oleh bidang perumahan dan permukiman, untuk kemudian dihadapi dan dicari jawabannya.

REHABILITASI

Ketika Rumah Harus Sekejap Dibangun


Rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan merupakan persoalan genting di Aceh. Kebutuhan memiliki tempat berteduh yang layak merupakan kebutuhan dasar manusia yang penting untuk segera dipenuhi. Mengingat adanya kebutuhan yang mendesak dalam kondisi yang serba sulit, maka pengadaan barang dan jasa dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dengan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) mendapatkan perlakuan khusus dengan diberikannya peluang untuk penunjukan langsung (PL). Hal ini mengingat bahwa pembangunan perumahan terkait langsung dengan korban bencana yang membutuhkan segera tempat tinggal agar dapat secepatnya menjalankan kehidupan dengan normal kembali.

Panorama kompleks perumahan relokasi New Town Beuramoe, Kabupaten Aceh Besar, tampak dari ketinggian, 3 April 2009. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan

75

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

76

Sejumlah perusahaan dan kontraktor sedang mengikuti proses tender proyek di Kantor BRR, Banda Aceh, 2 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Kebijakan mengenai hal tersebut ditunjukkan dengan adanya Peraturan Presiden No. 70/2005 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Presiden No. 80/2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa untuk pembangunan perumahan yang proses pengadaaannya dilakukan sebelum 30 Juli 2006 dapat dilakukan melalui mekanisme penunjukan langsung. Dalam peraturan tersebut juga disebutkan hal yang terkait dengan pelaksanaan penunjukan langsung dapat diatur melalui Peraturan Kepala Badan Pelaksana (Perkabapel) BRR. Dengan adanya fasilitas tersebut, diselenggarakanlah prakualifikasi untuk memilih penyedia jasa pelaksana dan pengawasan konstruksi yang dapat dilibatkan dalam pembangunan perumahan yang didanai melalui APBN. Prakualifikasi dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari staf Kedeputian Perumahan dan Permukiman serta Kedeputian Infrastruktur di bawah koordinasi Pusat Layanan Pengadaan (PLP). Oleh karena peserta prakualifikasi diperkirakan mencapai ribuan, dan sekaligus untuk menghindari adanya subjektivitas dalam penilaian, maka sistem penilaian dilakukan dengan bantuan suatu program komputer. Pemasukan data yang diajukan oleh calon rekanan dalam basis data komputer melibatkan 30 orang mahasiswa yang direkrut khusus.

Mengapa semua ini perlu dipersiapkan begitu rupa? Pengerahan tenaga tambahan (outsourcing) secara besarbesaran tersebut sebagai antisipasi terhadap akan begitu besarnya minat perusahaan jasa konstruksi untuk terlibat dalam program rekonstruksi pembangunan rumah. Hal ini terkait dengan kebijakan Kepala Badan Pelaksana (Kabapel) agar pada tahap pertama pembangunan perumahan dengan target 40 ribu rumah hanya di tahun anggaran 2006 tersebut dikhususkan untuk kontraktor kecil. Pertanyaan selanjutnya adalah, di tengah desakan yang begitu besar untuk segera mendirikan rumah, mengapa BRR justru mengambil langkah untuk memberikan kesempatan pada kontraktor kecil? Jika waktu yang jadi persoalan, bukankah akan jauh lebih cepat apabila BRR menggandeng kontraktor berskala nasional yang sanggup mengerjakan proyek raksasa dalam waktu cepat? Pilihan ini tidak dibuat begitu saja di dalam vakum. Berbagai hal dipertimbangkan, sebagian besar dari pertimbangan tersebut justru di luar faktor rekayasa teknik. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong tumbuh dan pulihnya dunia jasa konstruksi di Aceh.

Dokumen lelang proyekproyek pembangunan pascatsunami sedang diperiksa di Kantor BRR, Lueng Bata, Banda Aceh, 14 Juni 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan

77

Dilema di Persimpangan Jalan


PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Di masa sebelum tsunami, kontraktor di Aceh sebetulnya tak pernah bisa sepenuhnya mengembangkan diri. Karena konflik, kondisi pengusaha Aceh sedang sakit, begitu sering dibahasakan wakilwakil rakyat di DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kondisi keamanan di Aceh akibat konflik politik berkelanjutan memang telah membatasi gerak perusahaan jasa konstruksi. Pasalnya, dalam masa yang cukup panjang hampir tak ada satu pun proyek pembangunan yang berarti berlangsung di Aceh. Maka, ketika BRR memutuskan penggunaan kontraktor dalam pembangunan rumah penyintas di Aceh, proses memilih kontraktor pun tak mudah. DPRD NAD mendesak agar pelaksanaan pembangunan rumah itu hendaknya dilakukan dengan penunjukan langsung tanpa melalui proses tender, dengan mengutamakan pengusaha lokal. DPRD NAD malah menginginkan persyaratan bagi pengusaha jasa konstruksi lokal diperingan. Pilihan yang dihadapi BRR bukan pilihan mudah. Menggunakan kontraktor lokal dengan pengalaman dan kemampuan teknis terbatas, membawa risiko. Sementara memakai kontraktor besar dari luar Aceh, membawa risiko berlanjutnya ketidakmampuan masyarakat setempat. Dalam salah satu butir lampiran Perpres No. 30/2005 tentang Rencana Induk yang menjadi buku panduan dan daftar tugas kerja dasar BRR, memang tertulis bahwa pembangunan perumahan bagi penyintas tsunami di NAD dan Nias harus didasarkan pada kebutuhan lokal, memberdayakan masyarakat setempat, sejauh mungkin mempergunakan material lokal serta memenuhi persyaratan building code setempat. Apalagi kemungkinan penunjukan langsung untuk penggunaan dana APBN bagi proyek rekonstruksi AcehNias juga memang diizinkan berdasar Keppres No. 80/2003. Tekanan dirasakan BRR ketika hingga awal Februari 2006, pembangunan rumah belum kelihatan secara signifikan. Sebenarnya pada Tahun Anggaran 2005, telah ada Satuan Kerja (Satker) yang mengelola Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BRR untuk pembangunan rumah. Di awal masa tugas BRR belum berperan sebagai implementor. Pembangunan rumah melalui partisipasi masyarakat yang memungkinkan masyarakat secara swadaya menetapkan proses pembangunan rumah bagi komunitasnya pun belum tampak kemajuan fisiknya. Program itu juga ternyata memakan waktu perencanaan yang panjang hingga enam bulan masa kerja BRR. Di tengah segala dorongan tersebut, BRR memilih mengembangkan segala potensi sumber daya yang ada di tingkat lokal.

78

Ribuan Rumah, Ribuan Kontraktor


Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan

Dengan harapan dan optimisme besar, BRR akhirnya memulai gong pembangunan rumah secara besarbesaran di NADNias. Dalam tahap pertama, fase manajemen konstruksi dan rancang bangun (Manajemen Konstruksi 1), direncanakan penggunaan kontraktor untuk pembangunan 10 ribu rumah dengan memakai sekitar seribu kontraktor kecil dan perkiraan waktu 15 minggu atau 105 hari kalender. Perhitungan itu jelas memunculkan masalah baru. Pada 2006, tenggat pengajuan anggaran adalah 30 Juni 2006. Maka sebelum tenggat itu, BRR harus sudah selesai menyeleksi seribuan kontraktor. Ini situasi yang sungguh luar biasa karena petunjuk teknis untuk melaksanakan proses prakualifikasi ini baru disahkan Februari 2006. Artinya BRR hanya punya waktu tiga bulan untuk memilih dan menyeleksi seribuan kontraktor! Kendala lain adalah belum jelasnya daftar penerima manfaat maupun lokasinya, sementara aturan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 80/2003 menyatakan, proyek sudah harus jelas volume pekerjaan dan lokasinya pada saat penandatanganan kontrak. BRR lantas membentuk panitia prakualifikasi khusus, yang saat itu tidak terpikirkan sebelumnya untuk masuk di dalam struktur organisasi BRR, dengan target pengumuman kelulusan prakualifikasi dapat tercapai pada 12 Mei 2006. Kerja keras panitia prakualifikasi pun dimulai. Panitia inti yang hanya 10 orang dibantu 30 orang tenaga tambahan harus menyeleksi 3.000 lebih dokumen calon kontraktorlokal maupun dari luar Aceh. Dengan kondisi calon kontraktor yang sangat beragam, panitia prakualifikasi akhirnya hanya berhasil meloloskan 900 perusahaan kontraktor. Diputuskan ada perpanjangan waktu dan penurunan batas penilaian, dari 7,5 menjadi 6, berdasarkan memorandum Kabapel. Hasilnya, 1.200 perusahaan kontraktor yang lulus.

Ketika Rumah pun Dipaketkan


Sebanyak tiga ribu lebih kontraktor tercatat memasukkan dokumen prakualifikasi ke BRR. Ini jumlah yang luar biasa dan tidak terduga! Sungguh antusias para kontraktor ini untuk turut berpartisipasi dalam merajut kembali kehidupan di nanggroe aceh Darussalam (naD). Desakan asosiasi kontraktor dan pihak terkait boleh diacungi jempol karena berhasil mengundang begitu banyak calon kontraktor bersedia berkompetisi. Suasana kondusif ini tentu permulaan yang baik bagi pembangunan naD. hal ini karena BRR memberi prioritas pada kontraktor berskala kecil. BRR merancang paket untuk dikerjakan oleh para kontraktor. BRR menetapkan bahwa setiap paket sebesar di bawah Rp 1 miliar atau maksimum sekitar 1314 unit rumah tergantung pada lokasi. Belakangan, BRR pun mengusahakan paket yang semula berjumlah 15 sampai 20 rumah untuk tiap kontraktor, menjadi hanya lima rumah untuk tiap kontraktor. Membangun lima rumah bagi satu kontraktor tentu bukan soal yang berat, serta bisa menjamin makin cepatnya proses pembangunan rumah. Keputusan memperkecil paket ini juga terbukti dapat memperbesar partisipasi masyarakat calon kontraktor. hingga masa pendaftaran berakhir, tercatat 3.088 perusahaan mengambil dokumen prakualifikasi. Dari jumlah itu, 2.388 perusahan mengembalikan dokumen. Jumlah itu mencakup 2.267 kontraktor dan 121 konsultan. Dari jumlah itu, 2.134 perusahaan atau 89 persen adalah perusahaan lokal. hanya 254 perusahaan atau 11 persen yang berasal dari luar aceh.

79

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

80

Para utusan perusahaan/kontraktor sedang antre mendaftar lelang proyekproyek pembangunan pascabencana di Kantor BRR, Banda Aceh, 8 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Seleksi akhirnya menghasilkan 1.200 nama calon kontraktor, proses penetapan kontraktor masih belum berakhir. Panitia prakualifikasi harus menyampaikan hasil pengumuman kelulusan kepada empat orang Kepala Satuan Kerja (Kasatker) yang bertanggung jawab di empat wilayah di seluruh Provinsi NAD. Kasatker sebagai kuasa pengguna anggaran bertanggung jawab membentuk panitia pengadaan barang dan jasa yang kelak secara resmi akan menunjuk para kontraktor. Dalam seleksi lanjutan terpilih 984 kontraktor yang segera dikontrak dengan penempatan sesuai domisili mereka. Proses seleksi ini juga tidak bisa dikatakan mudah karena setiap Satker hanya punya satu sampai dua orang sebagai panitia pengadaan barang dan jasa. Artinya, sekitar delapan orang harus bernegosiasi dengan 984 kontraktor dalam waktu satu bulan untuk menentukan lokasi dan besaran anggaran. Sebuah pekerjaan yang nyaris mustahil. Pilihanpilihan di atas dibuat BRR secara sadar, demi mendapatkan buah manis di ujung jalan, yakni pemberdayaan masyarakat secara nyata di tingkat lokal. Semua pilihan tentu ada konsekuensinya dan BRR mengupayakan dengan segala kekuatan yang dimiliki untuk mengantisipasi halhal tersebut. Segala risiko tersebut disikapi BRR dengan melakukan pemantauan mendetail terhadap statusstatus proyek yang dikerjakan kontraktorkontraktor lokal tersebut. Bentuk koreksi

yang dilakukan BRR antara lain melakukan pembangunan ulang proyekproyek yang ditinggalkan kontraktor yang terbukti tidak mampu menuntaskan pekerjaan mereka. Selain itu, sebagian kontraktor yang memang terbukti melanggar perjanjian kerja pun diproses sesuai hukum yang berlaku umum, seperti dikenakan denda, diproses secara hukum oleh aparat hukum, dan bahkan dibawa ke meja hijau. BRR menyadari, ini merupakan bagian dari pembelajaran yang diharapkan bisa meningkatkan kualitas pelaksanaan maupun manajemen konstruksi di Aceh pada masa depan.

Mengisi Ruang Kosong, Menjembatani Kebutuhan


Ini karena BRR memainkan salah satu perannya sebagai koordinator dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana khususnya di bidang permukiman dan perumahan. Mengisi kesenjangan ini bukanlah tugas yang mudah. Kondisi lapangan juga harus menjadi pertimbangan di dalam pemaketan. Banyak lokasi, khususnya di pantai barat Provinsi nanggroe aceh Darussalam, situasi medannya sangat sulit dijangkau jauh dari jalanjalan utama yang menjadi akses transportasi atau kondisi tanahnya sangat rusak akibat diterjang tsunami. Pembangunan rumah dengan kondisi lapangan yang demikian tentunya menimbulkan tantangan bagi para kontraktor kecil. Di beberapa lokasi, tidak jarang ditemui masyarakat menghendaki kontraktor tertentu yang membangun lokasi itu. Selain itu, juga ditemui banyaknya kawasan perumahan yang baru akan dibangun atau telah ada komitmen dari LSM, terlambat dimulai sementara lahan sudah terlanjur dibebaskan. Dalam kasus berbeda, terdapat pula beberapa kawasan yang dibangun LSM namun tidak dilengkapi dengan infrastruktur permukimannya (prasarana dan sarana dasar PSD), seperti jalan akses dan lingkungan, drainase, air bersih, atau sanitasi yang memadai. akhirnya di pertengahan 2007, Kedeputian Perumahan dan Permukiman mengeluarkan kebijakan yang mempertimbangkan korban calon penghuni akan sangat menderita dan dirugikan apabila pekerjaan pembangunan rumah tidak dapat segera diselesaikan. Korban calon penghuni di kawasan permukiman baru (relokasi) sudah menunggu. Kontraktorkontraktor yang selama masa rehabilitasi rekonstruksi telah terbukti dapat melakukan pekerjaan dengan baik (tepat waktu, tepat mutu, dan tepat harga) dapat ditunjuk langsung untuk menyelesaikan pekerjaan rumah terbengkalai ini.
Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan

Dalam pembangunan rumah besarbesaran di aceh, BRR berpegang pada prinsip filling the gap. hal ini berarti bahwa paket pembangunan rumah yang dikontrakkan tidak boleh tumpangtindih dengan komitmen pembangunan rumah oleh lembaga swadaya masyarakat yang telah ada di suatu daerah tertentu.

81

Menghadapi Hambatan
Rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dan permukiman merupakan tugas berat yang sukar dicari bandingannya. Salah satu tantangan tersebut adalah beratnya kondisi fisik di lapangan. Ada wilayahwilayah yang sangat sulit dijangkau karena jalan atau jembatan menuju lokasi tersebut terputus atau rusak berat. Ada pula lokasilokasi yang membutuhkan penanganan rekayasa khusus, misalnya karena lahan tergenang air, lahan gambut, lahan butuh diuruk terlebih dahulu atau lahan berada di daerah lereng yang rawan longsor.

Memasok material ke wilayah pembangunan pun sering kali sulit karena jauhnya lokasi dan butuh angkutan khusus. Selain itu, akses untuk memasukkan material pun sulit, khususnya jika rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut berlokasi di pulau, seperti Pulo Aceh. Dari segi tenaga kerja, terdapat beragam tantangan yang perlu dipecahkan. Kondisi di Aceh yang telah begitu lama berselimut konflik menyebabkan pembangunan di wilayah ini tersendatsendat. Akibatnya sulit memperoleh tenaga kerja yang berkualitas dan berdisiplin.

Kondisi seperti inilah yang menjadi konteks kerja rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan permukiman Aceh. Proyek pembangunan fisik rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dan permukiman harus memenuhi kaidahkaidah kegiatan konstruksi yang terukur, seperti tepat mutu, tepat waktu, dan tepat biaya. Untuk mencapai keberhasilan rehabilitasi rekonstruksi perumahan dan permukiman dibutuhkan pengorganisasian yang mantap serta keahlian teknis, administratif, dan nonteknis yang terpadu dan menyeluruh dalam menghadapi kompleksitas yang mencakup spektrum aspekaspek subbidang yang begitu luasmulai dari pengorganisasian masyarakat korban, perencanaan desa, penanganan aspek pertanahan, pendataan calon penerima bantuan, pemilihan jasajasa konstruksi, pelaksanaan program pembangunan dan perbaikan rumah, penyediaan infrastruktur permukiman atau prasarana sarana dasar, fasilitasi mitra kerja baik internasional maupun lokal, penuntasan barak dan huntara, penyusunan dokumen pengendalian lingkungan, hingga masalah penyelesaian temuan serta penyerahan aset dan arsip.

Beradaptasi terhadap Kebutuhan


Sepanjang perjalanan empat tahun mandat BRR (20052008), struktur organisasi bidang perumahan dan permukiman berkalikali berubah. Dinamika tersebut sepenuhnya berorientasi pada kebutuhan di lapangan, agar tujuan dan sasaran rehabilitasi dan rekonstruksi dapat dilaksanakan lebih efektif, tepat sasaran, dan efisien. Evolusi organisasitermasuk kebijakan regionalisasi melalui pembentukan kantor regional dan distrikdilakukan agar pelaksanaan kegiatan dapat lebih dekat dengan masyarakat dan objek kegiatan. Perubahan ini juga sejalan dengan intensitas kerja yang meningkat. Bukan hanya struktur organisasi yang berubah, tetapi tugas pokok dan fungsi pelaksana bidang perumahan dan permukiman mengalami beberapa kali perubahan mengikuti dinamika organisasi BRR.

Periode MeiDesember 2005


Penanganan bidang perumahan ditempatkan sebagai unit di bawah Direktorat Perumahan, Air Minum, Sanitasi, dan Fasilitas Umum di bawah Kedeputian Infrastruktur, Perumahan, dan Penatagunaan Lahan. Hingga Desember 2005, direktorat ini hanya

Pengangkutan material pembangunan rumah pascatsunami ditempuh dengan moda transportasi darat maupun air, seperti dengan kapal nelayan dan truk di Krueng Sabee, Aceh Jaya, 3 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan

Dari segi kontraktor, beberapa di antaranya tidak punya alat yang memadai untuk melaksanakan pekerjaannya. Selain itu, karena skala mereka kecil, modal mereka pun kecil. Beberapa kontraktor bahkan kesulitan mengelola pekerjaan dan keuangan mereka sendiri. Sementara itu, dari segi penerima manfaat, terdapat kendala yang juga perlu diatasi, misalnya di suatu daerah ditemukan namanama calon penerima bantuan yang serba tumpangtindih, sehingga perlu pengaturan kembali.

83

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

terdiri atas empat orang dikepalai seorang direktur. Sedangkan yang menangani bidang perumahan adalah seorang manajer yang bertanggung jawab kepada direktur, dibantu seorang staf. Pembentukan struktur organisasi yang ramping pada masa ini bukan saja karena BRR baru saja dibentuk, melainkan juga karena fungsi BRR sebagai pelaksana masih cukup sulit dijalankan. Sistem pendanaan terpadu di tahun anggaran 2005 menyebabkan keterlambatan hampir di setiap bidang pembangunan di Indonesia yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Pada periode ini, BRR lebih diposisikan sebagai lembaga koordinasi. Dengan besarnya pledge atau komitmen lembagalembaga nonpemerintah atau LSM dan donordonor internasional untuk membangun rumah, maka sudah sewajarnya apabila posisi BRR hanyalah sebagai koordinator. Penanganan bidang perumahan pun ditekankan sebagai fasilitator pendukung lembaga internasional dengan sumber pembiayaan nonAPBN. Sementara itu pelaksanaan dana APBN yang dibebankan kepada BRR pada periode ini masih dilimpahkan kepada dinas terkait Provinsi NAD. Pelaksanaan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) pun ditangani Satker pada Dinas Permukiman dan Perkotaan Pemerintah Provinsi NAD yang dibentuk khusus untuk menangani dana onbudget BRR. Dengan demikian, fungsi Direktorat Perumahan, Air Minum, Sanitasi, dan Fasilitas Umum hanya memonitor pelaksanaan anggaran yang ditangani Satker tersebut. Kepala Satkernya sendiri bertanggung jawab kepada kepala dinas yang bersangkutan.

84

Periode Januari 2006Desember 2007


Menjelang akhir 2005, pimpinan BRR memutuskan membentuk kedeputian khusus yang menangani perumahan dan permukiman, terlepas dari Kedeputian Infrastruktur. Keputusan ini diambil mengingat beban kerja yang semakin berat, baik pada bidang infrastruktur maupun perumahan Perubahan tersebut juga dipengaruhi adanya perubahan kebijakan BRR dalam menangani program dan kegiatan dengan pembiayaan APBN. Mulai Tahun Anggaran 2006 seluruh kegiatan onbudget ditangani sendiri oleh BRR sehingga tidak dilimpahkan lagi kepada dinasdinas provinsi terkait. Posisi BRR sebagai pelaksana rehabilitasi dan rekonstruksi pun dijalankan, selain tetap mengamalkan fungsi koordinasinya. Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman mulai efektif bekerja sejak awal 2006 dengan tugas utama melaksanakan daftar isian pelaksanaan anggaran Tahun Anggaran 2006 bidang perumahan dan permukiman yang dibebankan kepada BRR. Pembentukan Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman juga didorong tuntutan terhadap BRR untuk membangun rumah sendiri dengan sumber dana APBN lebih banyak dari tahun sebelumnya. Keputusan ini dibuat mengingat menjelang akhir 2005 ada kecenderungan menurunnya komitmen para mitra pemulihan dalam membangun rumah.

Pada Desember 2005, Kepala Badan Pelaksana BRR mencanangkan pembangunan rumah bantuan sejumlah 40 ribu unit di Aceh dan Nias dengan dana APBN, termasuk di dalamnya hibah luar negeri melalui skema APBN (onbudget). Pembangunan tersebut akan diselesaikan selama 1,5 tahun atau setidaktidaknya dua Tahun Anggaran. Struktur organisasi pada periode ini pun disesuaikan dengan peningkatan beban misinya. Seluruh direktorat dilengkapi unit subdirektorat yang dikepalai manajer. Satu direktorat dapat terdiri atas tiga atau empat manajer. Struktur yang lebih rumit terdapat pada Direktorat Prakarsa Pembangunan Partisipatif yang menangani masalah penerima bantuan atau identifikasi dan verifikasi calon penerima bantuan perumahan. Direktorat tersebut dilengkapi struktur hingga di tingkat kabupaten/kota, yaitu seorang Asisten Bidang Perumahan dan Permukiman (Asperkim). Tidak berhenti di situ. Asperkim dalam pelaksanaan tugas dibantu oleh beberapa orang staf, yang jumlahnya disesuaikan dengan beban tugas di masingmasing kabupaten/kota. Misalnya, beban tugas Asperkim di Kota Banda Aceh atau Kabupaten Aceh Besar dengan kerusakan sangat berat dan jumlah korban yang begitu besar, tentu saja berbeda dengan di Kabupaten Aceh Selatan atau Kabupaten Aceh Timur yang jumlah korbannya tidak mencapai seratus orang.

Kepala Bapel BRR, Kuntoro Mangkusubroto, bersama Deputi Bidang Infrastruktur, Perumahan, dan Penatagunaan Lahan BRR saat itu, Eddy Purwanto, melakukan kunjungan di kawasan Lampulo, Banda Aceh, 7 September 2005, yang diproyeksikan sebagai Pelabuhan Perikanan Samudra. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan

85

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Selain staf, Asperkim juga dibantu personel yang bekerja di tingkat kecamatan yang disebut fasilitator kecamatan. Bayangkan, sekitar 20 kabupaten dan kota di Aceh, dengan masingmasing sekitar 46 kecamatan di setiap kabupaten/kota, wajarlah bila keanggotaan Kedeputian Perumahan Permukiman pada periode ini mencapai lebih dari 150 orang. Roda perputaran posisi dalam kedeputian pada periode ini pun cukup signifikan. Posisi deputi berganti pada Desember 2006. Setidaknya tiga posisi direktur berganti pemangku jabatannya.

Periode JanuariApril 2008


Pada 2008 sejalan dengan kebijakan regionalisasi BRR, seluruh anggaran pelaksanaan pembangunan dipindahkan pada para Satker di kantor perwakilan atau regional. Fungsi operasional tidak lagi berada di tingkat kedeputian. Kedeputian lebih dititikberatkan pada fungsi kebijakan dan pengendalian program secara umum. Pergeseran modus operasi dari pendekatan sektoral yang ditangani kedeputian menuju pendekatan regional yang ditangani kantor perwakilan mengalami puncaknya sejak awal 2008. Kepala kantor perwakilan dalam pelaksanaan pekerjaannya dibantu kepala distrik yang ditempatkan pada setiap kabupaten/kota. Pertanggungjawaban Satker yang semula kepada direktur di tingkat kedeputian, khususnya untuk Satker yang pekerjaannya belum selesai, pada periode ini dipindahkan ke kantor regional. Pejabat Atasan Langsung Satker Perumahan dan Permukiman yang semula dijabat oleh Direktur Manajemen Konstruksi dan Rancang Bangun (Manajemen Konstruksi, MK1), misalnya, sejak 2008 dipindahkan kepada Kepala Kantor Regional I, yang menangani wilayah dari Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, seterusnya menyusuri pantai barat hingga Kabupaten Nagan Raya. Kepala Kantor Regional I berkonsentrasi dan bertangung jawab pada penyelesaian paketpaket MK1 yang hingga memasuki 2008 belum selesai. Kebijakan ini diambil agar pemantauan terhadap penuntasan seluruh pekerjaan proyek menjelang berakhirnya masa tugas BRR dapat dilaksanakan oleh unit yang lebih dekat dengan situasi di lapangan. Sejalan dengan kebijakan tersebut, struktur organisasi Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman kembali mengerut. Direktorat menciut hingga empat dan setiap direktur dibantu empat kepala bidang. Direktorat Penataan Ruang dan Pertanahan pada periode ini dialihkan dalam Kedeputian Bidang Operasi. Selain itu, Direktorat Prakarsa Pembangunan Partisipatif (P3) pada periode ini dihapuskan sehingga fungsi yang berkaitan dengan penanganan penerima bantuan dipindahkan ke kantor distrik dibantu satu unit di tingkat pusat, yaitu Komite Verifikasi dan Penertiban. Unit ini sebenarnya telah dibentuk sejak semester kedua pada 2006, namun baru efektif berfungsi sejak 2007. Kepala komite bertanggung jawab langsung pada Kabapel BRR. Struktur dalam Direktorat P3 seperti Asperkim dan fasilitas kecamatan juga dilebur dalam struktur kantor distrik.

86

Misi perubahan struktur organisasi adalah memperkuat koordinasi operasional di tingkat lapangan. Direktorat dalam Kedeputian Perumahan dan Permukiman lebih difokuskan untuk menangani hal terkait dengan persiapan penutupan BRR, seperti masalah aset, arsip, dan temuan. Penyelesaian rumah yang masih ditangani kedeputian hanya terbatas pada penyelesaian rumah yang dibiayai hibah luar negeri dalam APBN serta pendampingan. Selain itu pembangunan rumah yang ditangani LSM juga masih dilakukan kedeputian, namun untuk masalah operasional lapangan tetap bekerja sama dengan unit kemitraan di kantor perwakilan dan kepala distrik. Lagi pula pembangunan rumah dengan bantuan LSM di periode ini sudah berkurang dibandingkan dengan periode sebelumnya. Dalam periode ini juga dilaksanakan program perbaikan rumah yang disebut dengan program bantuan sosial perbaikan rumah (BSPR). Program ini ditangani bersama oleh Direktur Perumahan Khusus, Pusat Pengendalian Program dan Proyek Wilayah (P4W) dalam Kedeputian Bidang Operasi, serta kantor perwakilan dan kantor distrik.

Andy Siswanto dilantik menjadi Deputi Bidang Perumahan dan Permukiman BRR, Banda Aceh, pada 20 September 2006, di Ruang Rapat Kepala Bapel BRR. Foto: BRR/Arif Ariadi

Periode MeiDesember 2008


Pada periode ini dapat dikatakan urusan bidang perumahan dan permukiman dileburkan dalam Kedeputian Bidang Operasi. Meskipun penetapan SK Presiden tentang

Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan

87

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

88

Deputi Bidang Perumahan dan Permukiman secara rutin menyampaikan programprogramnya. Salah satu cara melalui siaran radio lokal. Foto: Dokumentasi BRR

Penunjukan Deputi BRR tidak berubah dari periode sebelumnya, sehingga jabatan Deputi Bidang Perumahan dan Permukiman masih ada, dua direktorat lain dipindahkan dalam Kedeputian Bidang Operasi, yaitu Direktorat Pembangunan Perumahan dan Direktur Mitra Pembangunan. Sedangkan Direktur Penataan Ruang yang pada periode sebelumnya dipindahkan dalam Kedeputian Bidang Operasi, pada periode ini dipindahkan ke Kedeputian Bidang Infrastruktur, Lingkungan, dan Pemeliharaan. Dengan penyerahan seluruh penyelesaian pekerjaan yang bersifat operasional melalui Satker kepada kantor perwakilan sejak awal 2008, tugas Direktur Pembangunan Perumahan tinggal menangani sisa urusan yang tidak dilakukan kantor perwakilan. Sedangkan Direktur Mitra Pembangunan selain menangani halhal yang terkait dengan fasilitasi mitra kerja atau LSM, tetap menjadi pejabat atasan langsung untuk Satker yang menangani hibah luar negeri bidang perumahan. Dalam struktur organisasi seperti ini, Deputi Bidang Perumahan dan Permukiman merangkap jabatan sebagai Wakil Deputi Operasi Bidang Penertiban Pembangunan, yaitu menangani koordinasi penyelesaian masalah temuan audit serta masalah penertiban penerimaan bantuan, khususnya bidang perumahan. Selain itu, Wakil Deputi Operasi ini bertanggung jawab terhadap pelaksanaan unit Komite Verifikasi dan Penertiban.

Kendati dalam beberapa hal memiliki perbedaan, strata gampong lazimnya disetarakan dengan desa atau kelurahan dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia. Kepala gampong disebut geuchik dan dipilih langsung oleh masyarakat serta diangkat secara resmi oleh pemda kabupaten/kota. Dengan dibantu wakilnya, imeum meunasah, ia menjalankan tugasnya sebagai eksekutif gampong. Sedangkan unsur legislatifnya dipegang oleh ulama gampong/tuha peut. Strata kedua unsur tersebut berbeda dengan lurah/kepala desa pada sistem desa yang selain menjadi pimpinan eksekutif, juga sebagai pimpinan legislatif. Ulama gampong/tuha peut bertugas memberi nasihat dalam bidang hukum adat, adatistiadat, kebiasaankebiasaan masyarakat, serta keagamaan, kepada geuchik dan imeum meukim. Ia juga bertanggung jawab menyelesaikan segala sengketa, terkait dengan bidangbidang yang ditanganinya. Tuha peut terdiri atas unsur pemerintah, pimpinan adat dan agama, cerdik pandai, petani, dan pedagang. Upaya kerja sama BRR tentu saja harus mencakup dan mewadahi seluruh pemangku kepentingan di tingkat lokal yang disebutkan di atas. Kerja sama ini terutama dilakukan pada setiap tahapan pemberian keterangan untuk dokumen tapak tanah, penentuan calon penerima bantuan, penetapan lokasi pembangunan rumah, pembebasan lahan untuk relokasi, hingga pada saat pelaksanaan pembangunan rumah yang dilaksanakan oleh kontraktor dan khususnya pembangunan yang dilakukan masyarakat sendiri melalui skema Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Kerja sama dengan aparat desa juga sangat bermanfaat dalam penyelesaian masalah nonteknis yang sering menghambat atau mengganggu proses rehabilitasi dan rekonstruksi di lapangan. Pihakpihak yang bermasalah, seperti masyarakat korban maupun bukan korban, kontraktor atau LSM, dengan atau tanpa dimediasi petugas dari BRR, seringkali dipertemukan dengan melibatkan para aparat desa. Pada tingkat kecamatan, kerja sama dilakukan dalam perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi, rekonstruksi dan pembangunan baru infrastruktur permukiman, seperti jalan lingkungan, drainase, dan penyediaan air bersih. Koordinasi dan kerja sama untuk program pembangunan PSD yang dilakukan melalui skema bantuan langsung masyarakat atau lebih dikenal sebagai program pengembangan kecamatan (PPK) penekanannya pada tingkat pemerintahan ini. Forumforum koordinasi pembangunan perumahan oleh LSM, terutama pada awal rekonstruksi 2005, untuk menghindari terjadinya tumpangtindih kegiatan antarLSM juga banyak dilakukan di tingkat kecamatan dengan melibatkan aparat kecamatan setempat.

Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan

Selain evolusi organisasi internal BRR, upaya kerja sama dengan berbagai pihak di luar organisasi pun terus dijalankan. Koordinasi dan kerja sama pada tingkat desa di Aceh tentu saja menyesuaikan dengan sistem budaya lokal. Kesatuan masyarakat yang terendah dalam sistem administratif hukum adat di Aceh dikenal dengan istilah gampong. Unit ini memiliki batasbatas, perangkat, simbol adat, hakhak pemakaian dan penguasaan (pra)sarana, sumber pendapatan, serta tatanan sosial lokal tertentu.

89

Penyerahan aset PSD pun dilakukan melalui kerja sama dengan pemerintah kabupaten dan kota. Apabila rumah sebagai barang privat diserahkan langsung kepada masyarakat korban yang berhak menerima, maka PSD sebagai barang milik negara diserahkan kepada pemerintah kabupaten atau kota. PSD selanjutnya memerlukan dana pengelolaan dan pemeliharaan agar tetap dapat layak berfungsi, yang merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten atau kota. Sedangkan kerja sama dan koordinasi dengan pemerintah provinsi dilakukan secara umum pada tingkat BRR dan tidak pada tingkat kedeputian.

Bekerja bersama mitra membutuhkan koordinasi yang rapi. BRR menggunakan mekanisme project concept note (PCn). Formulir tersebut mencakup data nama (perseorangan atau pribadi), asal negara, sumber dana, jenis pembangunan atau bantuan, melakukan program apa, lokasi pembangunan, besar dana, siapa saja orang dari luar negeri yang ingin dilibatkan (hal ini penting karena terkait mekanisme untuk pemberian visa), serta peralatan dan bahan baku apa saja yang akan dibawa ke aceh. Informasi ini merupakan langkah pengawalan BRR secara teratur dan baik kepada LSM atau perorangan di pelabuhan (tanpa bea tanpa cukai). Keputusan PCn diterbitkan sekitar dua minggu setelah pemasukan formulir. Keputusan dapat diterima, ditolak, akan dipelajari lebih lanjut atau diminta penjelasan lebih lanjut (holding bay). Kategori holding bay adalah programprogram yang bagus namun masih ditunggu ketersediaan anggaran LSM. Setelah data jelas, diadakan pertemuan untuk segera merealisasikan pembangunan dimaksud.

Sementara itu, terdapat programprogram kegiatan yang memerlukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga atau departemen di tingkat pusat. Lembaga yang terkait erat dengan Kedeputian Perumahan dan Permukiman adalah Departemen Pekerjaan Umum (PU) khususnya Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Dalam Negeri (Depdagri), dan Kementerian Negara Perumahan Rakyat, selain lembagalembaga yang terkait secara umum seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Keuangan. Project Management Unit untuk program ReKompak, misalnya. Karena ditetapkan Menteri PU, seluruh proses dalam perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan dan evaluasi program ini tetap melibatkan Departemen PU. Hampir serupa adalah pada program pengembangan kecamatan (PPK) yang ditangani secara nasional oleh Depdagri. Apabila secara nasional PPK memiliki pilihan menu program yang sangat luas, maka khusus untuk program rehabilitasi rekonstruksi Aceh hanya diarahkan pada pembangunan infrastruktur desa, dan diutamakan pada kawasankawasan yang terkena bencana.

Para penerima manfaat rumah di Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, menandatangani surat pernyataan sebelum menerima kunci rumah baru, 19 Februari 2009. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Jurus Penjawab Tantangan

Terakhir, kerja sama dan koordinasi pada tingkat kabupaten dan kota dilakukan khususnya untuk pembangunan kawasan baru berskala cukup besar hingga menampung permukiman relokasi, baik yang rumahnya didanai melalui BRR maupun oleh LSM. Hampir seluruh nota kesepahaman dalam kawasan relokasi dibuat dengan melibatkan tiga pihak, yaitu LSM yang akan menyediakan rumahnya, BRR yang menyediakan tanah atau PSDnya, serta pemerintah kabupaten atau kota setempat sebagai pendukung perizinan serta administrasi kependudukan nantinya.

Bekerja Bersama Sahabat, Berkoordinasi dengan Para Mitra

91

Hikmah Ajar untuk Masa Depan


adalah guru terbaik. Walau hambatan dan tantangan datang baik dari kondisi teknis di lapangan, sumber daya manusia yang terkait, material dan bahan bangunan sampai dari internal kelembagaan sendiri, spirit membangun dengan lebih baik tetap menjadi api yang terus menghidupkan gairah kerja serta kegigihan untuk mencapai yang dianganangankan. Di sini diungkap capaiancapaian dalam bidang perumahan dan permukiman, tidak hanya memuat hasilhasil pembangunan fisik seperti jumlah rumah maupun prasarana yang direhabilitasi dan dikonstruksi, tetapi juga mencakup capaian lain, yakni hikmah ajar. Catatan berupa angka dan penjabaran teknis diharapkan bisa saling melengkapi dengan pelajaranpelajaran yang dipetik dari pengalaman berharga melakukan pekerjaan berskala raksasa di daerah pascabencana.

PENGALAMAN

Capaian Empat Tahun


Visi bidang perumahan dan permukiman adalah terwujudnya kawasan permukiman di daerah yang terkena bencana sebagai tempat tinggal yang lebih baik bagi keluarga korban bencana gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Nias serta gempa bumi 28 Maret 2005 di Nias.
Muka bumi Kota Calang setelah tiga tahun pemulihan, 14 Desember 2007, tampak dari ketinggian udara. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan

93

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Sementara misi bidang perumahan dan permukiman adalah melaksanakan proses rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman secara efektif dan efisien, baik melalui pelaksanaan langsung pembangunan yang didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun melalui koordinasi dan fasilitasi mitra kerja nonpemerintah yang dananya bersumber dan dikelola oleh mereka sendiri dan tidak melalui jalur APBN. Bidang perumahan dan permukiman telah menjalankan mandat Perpres No. 47/2008 yang merupakan perubahan atas Perpres No. 30/2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi NADNias. Pada Perpres No. 47/2008 diuraikan target sasaran pencapaian program dan kegiatan yang telah terakomodasi dalam pelaksanaan rehabilitasi rekonstruksi AcehNias, baik di subbagian penataan ruang, pertanahan, maupun perumahan. Hasil dokumen perencanaan yang dihasilkan subbagian penataan ruang selama masa mandat BRR terdiri atas 670 dokumen perencanan tata ruang desa, Rencana detail tata ruang untuk 21 kecamatan, 63 dokumen kerangka tata ruang kecamatan dan rencana aksi, Rencana tata ruang wilayah (RTRW) untuk 14 kabupaten/kota, 346 dokumen pemantauan evaluasi pembangunan desa berdasarkan perencanan tata ruang desa di atas, serta Sebuah dokumen revisi terhadap RTRW Provinsi NAD. Seluruh dokumen perencanaan tersebut diserahterimakan pada pemerintah daerah setempat. Sebagai kegiatan pendukung serah terima tersebut dan merupakan amanat Perpres No. 47/2008, juga telah dilaksanakan sosialisasi kebijakan penataan ruang untuk 11 kabupaten dan kota di Provinsi NAD. Bahkan hasilhasil perencanan tata ruang desa juga telah dimanfaatkan oleh unitunit lain, misalnya Direktorat Manajemen Konstruksi/Rancang Bangun dan Direktorat Infrastruktur Permukiman, sebagai dasar untuk penempatan rumah maupun merancang DED prasarana atau infrastruktur di kawasan perumahan yang akan dibangun. Hal ini sangat menggembirakan karena hasilhasil perencanaan tata ruang desa ini diintegrasikan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi secara menyeluruh. Sejalan dengan mandat rencana induk di subbidang pertanahan, BRR membebaskan sekitar 514 hektare lahan untuk pengadaan kepentingan umum, 461 hektare untuk pengadaan relokasi rumah, dan 11 hektare untuk para penyewa (penerima bantuan sosial bertempat tinggalBSBT). Adapun tugas lain dari subdirektorat pertanahan yang dijalankan selama masa tugas BRR adalah pemulihan pelayanan pertanahan dan pembangunan fisik kadastral di Provinsi NAD. Selain itu pemulihan pelayanan pertanahan yang lebih khusus juga dilaksanakan di 18 kabupaten dan kota, sedangkan pembangunan fisik kadastral dilakukan dalam 15

94

Berbagai hambatan dan tantangan yang ada di lapangan untuk subbidang perumahan pun terlampaui pada akhir mandat BRR. Rumah merupakan masalah yang cukup pelik. Sebagai ilustrasi kepelikan tersebut, mari tinjau tabel di bawah ini. Data awal jumlah rumah tentu saja didapatkan dari Dinas Perumahan pada 2004 (lihat kolom jumlah rumah total). Kemudian pada saat Rencana Induk disusun, Bappenas pun kemudian menerbitkan jumlah kerusakan rumah yang tertera pada kolom kedua. Angka tersebut menjadi patokan awal memulai dan mengoordinasikan pembangunan rumah. Dalam pelaksanaan proyek mana pun selalu ada deviasi dengan rencana yang telah disusun, diperlukan kejelian serta kebijaksanaan para pelaksana lapangan untuk tetap memegang teguh esensi visi dari rencana yang dibuat dan menyeimbangkannya dengan fakta lapangan. Bukan hanya berpegang keras pada nominal baku di atas kertas. Maka dari itu, seiring waktu pembangunan berjalan disusunlah beberapa kajian untuk mengevaluasi dan memverifikasi jumlah rumah yang paling tepat. Lebaga survey Garansi, Dinas Sosial, Badan Pengelola Data Elektronik (BPDE) bersama UNDP melaksanakan survei pada September 2z005, kemudian P3B Bappenas mengeluarkan evaluasi angka rumah pada Agustus 2007 serta Komite Verifikasi dan Penertiban (Komvertib) pun mempublikasikan jumlah rumah pada April 2008.

Ruang Lingkup Kegiatan Bidang Perumahan dan Permukiman


Penentuan penerima manfaat melalui pendataan persil lokasi, registrasi, dan validasi. Perencanaan tata ruang desa dan rencana tata ruang wilayah. Pengadaan tanah untuk rumah dan fasilitas penunjang. Perancangan (untuk rumah serta prasarana dan sarana dasar, PSD). Pelaksanaan konstruksi/pembangunan rumah berikut pengawasannya. Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan, upaya pengelolaan lingkungan, upaya pengendalian lingkungan untuk rumah dan PSD. Penyediaan PSD permukiman.

Meninjau segala isu dan persoalan pada titik Serah terima aset. evaluasi paruh waktu BRR, disimpulkan bahwa perlu penyesuaian terhadap angka sasaran yang tercantum pada Perpres 30/2005 yang kemudian disahkan dalam Perpres 47/2008. Walau pada 16 April 2009 mandat BRR telah usai, masih terdapat beberapa LSM tetap bekerja hingga akhir September 2009 untuk pembangunan rumah ini.

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan

kabupaten dan kota. Penyusunan peta dasar pun dilakukan terhadap 350 ribu hektare lahan di Provinsi NAD dan Nias. Kegiatan lain subbidang pertanahan juga mencakup ajudikasi serta pembuatan sertifikat pengganti, sertifikat perumahan relokasi, serta kegiatan konsolidasi tanah/pemberian hak atas tanah. Seluruh kantor pertanahan/BPN baik tingkat di provinsi maupun kabupaten/kota di Aceh telah dilengkapi dengan sistem komputer dan basis data digital pada akhir masa mandat BRR.

95

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

96

Fasilitator desa mencocokkan satu per satu anak kunci rumah dengan nama pemiliknya berdasarkan daftar penerima manfaat rumah di Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, 11 September 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Dalam pelaksanaannya, ada empat faktor yang diidentifikasi sebagai landasan penetapan penerima bantuan perumahan sedemikian rupa, sehingga memberikan kontribusi terhadap peningkatan target pembangunan rumah baru di NAD dan Nias. Pertama, karena empati petugas pendata, aparat desa atau LSM, terhadap realita kondisi di lapangan, terutama dengan adanya kemiskinan yang cukup luas, baik di Aceh (sebagai daerah pascakonflik). Bantuan memang seharusnya hanya diberikan kepada rumah hancur atau rusak yang ternyata pada umumnya terbuat dari tembok, namun dalam banyak kasus bantuan terpaksa diberikan juga kepada warga di dekatnya yang rumahnya hanya mengalami sedikit kerusakan untuk menghilangkan kesenjangan di desa. Selain itu pemilik rumah kayu yang rusak pun mendapat penggantian sebagaimana rumah tembok lain. Kedua, karena adanya pertimbangan keadilan sosial. Ketimpangan antardaerah atau di dalam kelompokkelompok masyarakat juga telah mendorong pihak donor bertoleransi dalam pemberian bantuan yang berbeda dengan ketentuan semula. Sebagai contoh di Aceh, program RRHS yang didanai pemerintah Jerman/KfW setelah empat tahapan

bantuan diberikan untuk korban tsunami, sesuai dengan programnya bantuan tahap kelima akhirnya diarahkan untuk masyarakat korban yang terdampaki tsunami secara tidak langsung yang tidak lain adalah korban konflik di Kabupaten Pidie Jaya dan Kabupaten Bener Meriah. Selain itu, fenomena begitu banyaknya penyewa yang tinggal di barak serta banyaknya suatu keluarga yang menumpang dalam keluarga lain yang tidak mungkin tinggal lagi di satu rumah bantuan tipe36 telah mendorong dikeluarkannya kebijakan BSBT. Ketiga, karena adanya pertimbangan pengurangan risiko bencana. Dalam beberapa kasus, bantuan diberikan pula kepada mereka yang dikhawatirkan bila terjadi bencana di kemudian hari akan berisiko tinggi untuk menjadi korban. Menghadapi halhal tersebut di atas, bidang perumahan dan permukiman merancang mekanisme Komvertib, organisasi independen untuk menyelesaikan masalah penetapan atau verifikasi korban yang menerima bantuan dan melakukan penertiban terhadap penyimpangan dalam pemberian atau penerimaan bantuan perumahan. Komvertib kemudian membentuk tim verifikasi dan penertiban di tingkat kabupaten/kota, yang

Di halaman rumah barunya di Desa Bayu, Kuta Makmur, Kabupaten Aceh Utara, 29 November 2005, bocahbocah ini asyik bermain bola. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan

97

Tabel 5.1. Jumlah Rumah di Aceh dan Kebutuhan Rekonstruksi Rumah per April 2008

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Kabupaten

Jumlah Rumah Total 2004

Perpres 30/2005 Mar 2005 3.191 2.849 6.780 2.642 3.005 2.804 2.426 8.414 20.448 5.319 700 2.147 2.500 7.368 947 1.863 1.000 500 1.000 2.000

Garansi / Dinsos / BPDE / UNDP Sep 2005 15.135 1.600 20.024 13.426 2.156 3.205 1.255 6.089 17.286 6.193 12 3.131 4.391 8.385 231 8.467

Data P3

Komvertib

Perpres 47/2008 Juli 2008 15.361 1.693 27.262 15.641 2.135 2.952 1.300 5.902 18.790 8.684 1.232 3.588 10.389 611 5.641 200

Komitmen BRR+ LSM Sep 2009 15.361 1.693 28.611 15.641 2.145 3.066 1.478 6.115 19.810 9.054 1.384 3.725 10.389 611 6.829 200 100 622 85 100

Ags 2007 16.786 1.760 32.182 14.529 3.333 3.548 1.409 4.894 22.664 12.638 765 1.458 3.327 15.007 560 4.621 200 31 23

Apr 2008 15.224 1.733 27.031 14.529 2.433 3.389 1.257 3.299 17.953 8.371 1.277 3.086 9.993 539 4.621

aceh Barat aceh Brt Daya aceh Besar aceh Jaya aceh Selatan aceh Singkil aceh Timur aceh Utara Banda aceh Bireuen Langsa Lhokseumawe nagan Raya Pidie Sabang Simeulue aceh Tamiang gayo Lues Bener Meriah aceh Tengah aceh Tenggara naD

27.694 21.341 58.894 16.897 38.982 30.291 66.350 97.172 38.228 69.683 25.097 27.199 25.592 97.872 5.978 12.421

98

659.691

77.903

110.986

139.735

114.735

121.381

127.019

diketuai oleh wakapolres setempat dengan anggota Kepala Distrik BRR serta wakilwakil dari unsurunsur TNI (koramil), kejaksaan, KPA serta pemda pada masingmasing kabupaten/kota. Penyimpangan penerimaan bantuan perumahan dikategorikan menjadi empat jenis: menerima bantuan rumah baru atau bantuan dana perbaikan rumah lebih dari satu; menerima dua atau lebih jenis bantuan, seperti bantuan rumah baru dan sekaligus bantuan dana perbaikan rumah; menerima bantuan rumah baru atau perbaikan rumah, padahal seharusnya tidak berhak (bukan korban); dan melakukan pungutan atau kutipan dari penerima bantuan. Penyelesaian masalah penyimpangan sejauh mungkin dilakukan dengan cara atau pendekatan musyawarah. Namun, untuk halhal yang dengan jelas menyangkut pidana, seperti adanya pemalsuan data atau identitas, penipuan serta pemaksaan, tetap diarahkan penyelesaiannya melalui jalur hukum. Komvertib membuka pengaduan dan melakukan investigasi di lapangan untuk memperoleh informasi mengenai adanya penyimpangan berdasarkan jenis atau pengelompokkan tersebut. Salah satu bentuk tindakan penertiban adalah melakukan penyegelan terhadap rumahrumah bantuan yang dikategorikan bermasalah, yang selanjutnya penyelesaiannya ditangani secara musyawarah atau melalui proses hukum.

Dengan melibatkan para warganya, Geuchik Jhon menyusun ulang peta desanya, yakni Desa Deah Baro, Banda Aceh, 14 Juni 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan

99

Tabel 5.2. Jumlah Kasus Penyimpangan dan Penanganannya

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

No.

Kategori Penyimpangan Penerimaan Bantuan Menerima lebih dari 1 rumah Menerima rumah dan dana bantuan perbaikan rumah Tidak berhak tapi menerima bantuan Melakukan kutipan/pungutan Jumlah

Jumlah Kasus berdasarkan Pengaduan 511 70 218 43 842

Jumlah Kasus Temuan Lapangan diluar Pengaduan 144 11 30 5 190

Total Jumlah Kasus 655 81 248 48 1032

1 2 3 4

63 8 24 5 100

100
Pada Februari 2009, Deputi Perumahan dan Permukiman menyerahkan data 408 kasus penerimaan rumah ganda kepada pihak Polda NAD. Data tersebut berisi 408 nama yang telah menerima bantuan rumah lebih dari satu, disertai dengan domisili dan jumlah rumah yang diperoleh atau kasus yang dipersoalkan. Total jumlah rumah yang dipermasalahkan dalam 408 kasus tersebut adalah 1.042 unit, ada di antaranya yang menguasai delapan unit rumah, tidak berhak tetapi menerima bantuan, dan sebagian besar karena menerima bantuan antara 24 unit rumah. Secara kuantitatif, jumlah rumah yang dibangun BRR seluruhnya dapat diidentifikasi dari kontrak yang dibuat oleh 22 Satker yang terlibat dalam pembangunan rumah sejak Tahun Anggaran 2005 hingga Tahun Anggaran 2008. Total rumah yang dapat diselesaikan dalam empat tahun anggaran dengan Satker BRR sebagai pelaksana pembangunan di Aceh adalah 41.883 unit. Banyak pihak sering kali terjebak dan menuduh BRR melakukan pembohongan publik dalam menyampaikan jumlah rumah yang terbangun. Hal ini sebagian disebabkan berbagai pihak tersebut tidak mampu membedakan antara tugas BRR sebagai pelaksana pembangunan dan sebagai koordinator. Sebagai pelaksana pembangunan, BRR membentuk satuan kerja untuk membangun rumah dengan menggunakan dana APBN (lihat pada kolom onbudget). Namun demi menghindari tumpangtindih pekerjaan, BRR pun melakukan koordinasi pembangunan rumah yang dilakukan di Aceh, yang dilaksanakan oleh LSM atau lembaga donor lain (lihat pada kolom offbudget). BRR tidak mengklaim rumah tersebut dibangun oleh BRR, namun total dari jumlah APBN dan nonAPBN tersebut adalah total rumah bantuan yang didapat masyarakat Aceh dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi periode April 2005April 2009.

Relokasi Penyewa/ BSBT Total

5.012 642 41.883

4.096 2.679 78.849

9.108 3.321 120.732

Sedangkan dari PSD atau infrastruktur permukiman di 595 desa di Aceh dan Nias, di bawah pelaksanaan dan koordinasi Direktorat Infrastruktur Kawasan dan Permukiman. Cakupan yang dilakukan baik melalui mekanisme APBN maupun nonAPBN adalah meliputi sanitasi lingkungan, penyediaan air bersih, drainase lingkungan, jalan lingkungan dan jalan akses ke dan dari lingkungan perumahan, balai desa, penghijauan atau landscaping lingkungan, serta talaud (retaining wall) untuk daerahdaerah yang rawan longsor. Sedangkan penyaluran bantuan perbaikan rumah atau rehabilitasi sebagian ditangani BRR, yaitu 97 persen. Hal ini dilakukan secara massal oleh Satker di bawah Kedeputian Perumahan dan Permukiman dengan dukungan dari kantorkantor distrik dan Pusat Pengendalian Program Wilayah (P4W) memberikan kontribusi yang sangat besar dalam capaian program perbaikan atau rehabilitasi rumah, yakni mencapai 75 persen.

Tabel 5.4. Capaian Pelaksanaan Program Penyediaan PSD melalui APBN (dalam satuan unit desa)

Jenis PSD Total Lokasi Desa Sanitasi air Bersih Drainase Jalan Lingkungan Balai Desa Lahan hijau Talaud

TA 2006 164 10 51 56 125

TA 2007 210 40 65 99 149

TA 2008 227 89 135 93 155 2 2

Catatan: Total lokasi desa bukan merupakan jumlah dari fasilitas yang dibangun, karena dalam satu desa bisa dibangun dua jenis fasilitas atau lebih.

Hikmah Ajar dari Lapangan


Pada awalnya adalah kata. Begitu juga dengan Bidang Perumahan dan Permukiman BRR. Seluruh daya upaya perumahan dan permukiman BRR bermula dari katakata membangun kembali menjadi lebih baik. Lebih baik tak lagi sematamata diukur dari indikator angka maupun rekayasa teknik, tetapi juga memberi manfaat sebaikbaiknya dan seluasluasnya pada perubahan sosial dan transformasi masyarakat.

Membangun Kekuatan Lokal


Sejak awal, BRR mengambil pilihan untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya. Pelibatan masyarakat ini diharapkan memberikan pengalaman untuk berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksimulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi, juga keberlanjutan industri konstruksi di masa datang, yang diharapkan diwarnai perdamaian.

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan

Jumlah komitmen dari LSM dan lembaga lainlain masih melebihi dari pencapaian tersebut. Sebagian rumah masih dalam penyelesaian dan bahkan masih ada yang akan mulai dibangun. Beberapa LSM baru dapat menyelesaikan pembangunan rumahnya pada 2010.

Tabel 5.3. Total Rumah Bantuan di Aceh

APBN (Onbudget) Rekonstruksi 36.228

NonAPBN (Offbudget) 72.074

Total 108.302

101

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Pengalamanpengalaman tersebut diharapkan menjadi batu fondasi yang kokoh. Pada saat BRR mengakhiri masa tugasnya, laju, arah serta strategi pembangunan pun diharapkan bisa dikendalikan sendiri oleh masyarakat setempat. Selain itu, manfaat baik pengalaman maupun keuntungan dari segi finansial dirasakan langsung oleh masyarakat. Dunia usaha di Aceh diharapkan tumbuh dan pulih kembali. Selain itu perputaran dana yang lebih besar juga segera terjadi di masyarakat, meningkatkan daya tahan terhadap riak dan gejolak persoalan persoalan sosial ekonomi yang umum. Dari proses ini, diharapkan pula bahwa masyarakat yang merasa disertakan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana ini akan merawat dan memelihara hasilhasil yang diperoleh dari jalannya proses rehabilitasi dan rekonstruksi ini.

Tabel 5.5. Capaian Program Perbaikan atau Rehabilitasi Rumah

Capaian Perbaikan Rumah A. OnBudget: Dinas Perumahan Permukiman, aceh 2005 Bantuan Perbaikan Rumah (BPR), acehnias 2006/2007

Jumlah (KK) 69.415 2.133 6.342

% 96,9 2,9 8,8

102

Oleh karena itu, hikmah ajar dari pengalaman melakukan rehabilitasi dan ReKompak, aceh 2005/2006/2007 6.952 9,7 rekonstruksi adalah sebagai berikut. BSPR, acehnias 2008 53.792 75,1 Begitu terjadi bencana, maka langkah aDB Rumah adat nias 2008 196 0,3 pertama dan utama yang perlu dilakukan B. OffBudget (UnHABITAT, Care, Gitec/KfW, WVI dll) 2.176 3,1 adalah sesegera mungkin melakukan Total Capaian Onbudget & Offbudget (a+B) 71.591 100 inventarisasi kapasitas yang ada di tingkat Sasaran Rencana Induk (Perpres 47/2008) 67.850 lokal. Benar bahwa masyarakat yang ada di wilayah bencana adalah korban yang perlu dibantu dan diberikan dukungan. Akan tetapi, para penyintas juga punya kekuatan dan daya upaya yang bisa diangkat ke permukaan demi menolong sesama, juga untuk menggerakkan kembali roda upaya menuju pemulihan pascabencana. Selain itu, dengan mempertimbangkan skala bencana, boleh jadi tidak seluruh wilayah hancur total sehingga sebagian dari masyarakat berada pada kondisi dan posisi yang berdaya. Hikmah ajar dari pengalaman rehabilitasi dan rekonstruksi khususnya di bidang perumahan dan permukiman mengungkapkan bahwa masyarakat itu sendirilah yang paling tahu kebutuhan, selukbeluk, likaliku juga berbagai aspek yang terkait dengan pemulihan bencana. Inventarisasi kapasitas lokal bisa menjadi titik awal pemulihan bencana yang tepat waktu, tepat biaya, juga tepat sasaran dan membawa manfaat yang bisa langsung dilaksanakan masyarakat di tingkat lokal.
Foto udara kompleks perumahan relokasi bantuan dari China Charity Federation di Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, 4 Desember 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Inventarisasi kapasitas lokal ini dapat diikuti dengan pendirian pelatihan atau pendidikan keterampilan dan praktik kerja yang mengajarkan kepada sumber daya di tingkat lokal yang masih berdaya halhal yang mendesak dibutuhkan di masa tanggap darurat, misalnya keterampilan membangun rumah serta prasarana pendukung permukiman.

104

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Pertemuan rutin antara staf Kedeputian Bidang Perumahan dan Permukiman BRR dengan warga penerima manfaat di Calang, Kabupaten Aceh Jaya, 8 Mei 2007, forum seperti ini amat efektif sebagai wahana menampung keluhan dan mencari solusinya. Foto: Oni Imelva

Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggandeng lembagalembaga donor misalnya International Labour Organization (ILO). Dengan cara ini, diharapkan terjadi kapasitaskapasitas yang diinventarisasi di tingkat lokal dapat ditingkatkan sedemikian rupa bahkan mencapai standar minimum tertentu. Keberpihakan pada kapasitas lokal bukan berarti bebas dari risiko. Pengalaman menggalang rekanan kontraktor lokal misalnya punya riakriaknya tersendiri. Tetapi manfaat yang diperoleh dari proses ini jauh lebih besar dibandingkan segala risiko. Buah manis dari keterlibatan langsung dalam proses membangun kembali lebih baik inilah yang nantinya dinikmati bersama oleh masyarakat Aceh. Membangun kekuatan lokal, khususnya dalam kasus kontraktor, dapat dihadapi dengan melakukan serangkaian perbaikan dari proses yang terjadi, khususnya dari segi saluran administratif yang digunakan. Ketika Aceh dilanda gelombang pekerja kemanusiaan dari berbagai belahan dunia dalam jumlah yang mencengangkan, BRR membentuk Tim Terpadu yang mempermudah urusan dan birokrasimulai dari visa, izin tinggal, dan serangkaian pengurusan dokumen yang dibutuhkan. Pendekatan ala Tim Terpadu ini juga dapat diterapkan untuk mempermulus saluran administrasi terkait dengan penggunaan kontraktor lokal. Selain itu, mekanisme dan kriteria pemilihan pun ada baiknya digunakan secara berlapis, sehingga tim evaluasi kontraktor tak perlu lagi mewawancara ribuan kontraktor.

Selain itu, pengalaman BRR secara spesifik menunjukkan bahwa keterlibatan aparat pemerintah di tingkat paling bawah, yaitu desa dan kecamatan, tidak dapat dihindari dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi khususnya bidang perumahan dan permukiman. Berdasarkan pengalaman, lembaga seperti KP4D atau BKM tidak harus ada di setiap desa. Pembentukan lembaga tersebut sepenuhnya tergantung pada kehendak warga. Dapat saja lembaga di tingkat desa yang ditugasi untuk mendukung proses rehabilitasi dan rekonstruksi adalah lembaga desa yang telah ada. Faktor yang terpenting dalam kelembagaan ini adalah penanggung jawabnya. Tugas utama aparat atau lembaga di tingkat desa ini adalah membantu proses pengumpulan data calon penerima bantuan dan pemantauan pelaksanaan pembangunan rumahnya. Pada tahap awal sosialisasi dan penyampaian format dilakukan wakil lembaga (BRR) agar data yang terkumpul terstandarisasi. Informasi yang dibutuhkan dalam pendataan ini terutama adalah daftar nama kepala keluarga atau ahli waris calon penerima bantuan, nama anggota keluarga yang masih hidup (hal ini untuk menghindari penerimaan ganda dalam keluarga tersebut), dan jenis bantuan yang diperlukan (rehabilitasi, rekonstruksi, atau relokasi), serta data pihak yang telah menjanjikan atau akan dapat memberikan bantuan. Daftar ini dilengkapi pula dengan rekapitulasinya. Selain itu, secara sederhana perlu dibuatkan sketsa denah lokasilokasi rumah yang rencana akan dibangun (community land mapping atau community house plotting). Tugas berikutnya kelembagaan di tingkat desa ini adalah melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan pembangunan rumahnya sehingga setiap saat dapat diketahui berapa yang telah selesai dibangun, berapa yang telah dihuni, dan apakah terdapat permasalahan dalam pembangunannya. Seluruh data dan informasi yang dihimpun di tngkat desa dilaporkan kepada kelembagaan yang dibentuk pada tingkat kecamatan. Sementara itu di tingkat kecamatan dibentuk suatu forum yang terdiri atas wakil lembaga (BRR), camat atau aparat kecamatan, kepala desa atau lembaga desa yang dibentuk, wakil LSM dan wakil satuan kerja atau pejabat pembuat komitmen (PPK).

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan

Berpihak pada pengembangan potensipotensi yang ada di tingkat lokal bukan berarti pula memarginalkan kekuatan, pengalaman, keterampilan maupun keahlian yang datang dari luar daerah bencana. Untuk menghasilkan sinergi yang optimal, maka kekuatan lokal yang berdaulat ini baiknya diramu dengan dukungan dari luar. Hal ini bisa diciptakan melalui kreativitas maupun inovasi, misalnya dengan menerapkan sistem insentif bagi kontraktor lokal yang mengambil tenaga ahli dari luar. Dengan cara ini, diharapkan proses perjumpaan dan perbauran antarbudaya dan latar belakang kesukuan yang berbeda semuanya didudukkan dalam kerangka rehabilitasi dan rekonstruksi dengan kekuatan lokal sebagai pemegang kendali utama.

105

PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Pertemuan dilakukan secara berkala atau rutin. Pada awalnya sebaiknya dilakukan seminggu sekali, setelah proses rehabilitasi dan rekonstruksi telah berjalan dengan baik selanjutnya dapat saja dilakukan dua minggu sekali atau sesuai dengan kebutuhan. Di tingkat kabupaten/kota, forum serupa perlu dibentuk dengan intensitas pertemuan yang lebih kecil, dengan melibatkan bupati atau aparat kabupaten. Pada intinya prinsip dari kelembagaan ini adalah terdesentralisasi tetapi dengan arahan yang tersentralisasi dan terintegrasi.

Menggalang Dukungan dari Luar


Pengalaman rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh membuka mata terhadap besarnya gelombang dukungan, perhatian, asistensi serta bantuan yang diberikan dari beragam lembaga juga negara di seluruh dunia. Semua ini mendapatkan apresiasi dan penerimaan dengan tangan terbuka dari seluruh masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah pascabencana. Hikmah yang ditarik dari pengalaman melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dan permukiman pascabencana bahwa berbagai lembaga yang turun ke wilayah bencana memiliki kapasitas serta kompetensi dengan tingkat yang berbedabeda. Ada yang punya pengalaman lebih banyak dan keahlian yang lebih luas untuk urusan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Pemahaman ini sebaiknya dibangun sejak awal mencanangkan rehabilitasi dan rekonstruksi bersama para mitra pemulihan tersebut. Pengalaman BRR sebagai koordinator dari bantuan berbagai lembaga internasional, nasional, maupun lokal menunjukkan adanya kebutuhan untuk melakukan inventarisasi kapasitaskapasitas tersebut. Serupa dengan argumentasi dari hikmah ajar sebelumnya, potensipotensi yang dimiliki lembagalembaga yang memberikan dukungan pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi ini juga perlu diinventarisasi serta dimanfaatkan sebesarbesarnya. Pemanfaatan ini baiknya dilakukan dengan cara mengkaji keahlian dan kompetensi yang mereka bawa dengan cepat, mengujicobakannya di lapangan secara terbatas misalnya lewat proyek percontohan. Hasil dan hikmah ajar dari uji coba tersebut dibagi secara meluas di kalangan lembagalembaga tersebut. Di sini, peran lembaga koordinator menjadi penting bahkan krusial. Lembaga koordinator juga ada baiknya melanjutkan perannya untuk melakukan replikasi dan multiplikasi dari kapasitaskapasitas unggul yang dimiliki oleh lembagalembaga yang sudah berpengalaman luas dan memiliki kompetensi ulung. Dengan cara tersebut diharapkan terjadi kapasitas yang beragam antarlembaga dapat diupaya sedemikian rupa sehingga mencapai standar minimum tertentu. Pilihan untuk membangun kembali menjadi lebih baik dengan tepat dapat dilaksanakan melalui cara memanfaatkan sebesarbesarnya dukungan dari berbagai mitra internasional, nasional, maupun lokal.

106

Memahami Keunikan di Setiap Wilayah


Rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah pascabencana, apalagi untuk bidang perumahan dan permukiman, mensyaratkan sikap responsif dalam menanggapi kebutuhan yang disuarakan oleh masyarakat. Pengalaman BRR mengungkapkan bahwa menempatkan lembaga koordinasi dan implementasi langsung di wilayah bencana, dan bukan dari kejauhan, merupakan hal yang tak bisa ditawartawar lagi. Dalam konteks Indonesia, inilah kali pertama lembaga ad hoc setingkat menteri ditempatkan di luar Ibu Kota. Langkah seperti ini pun bahkan dilanjutkan lebih jauh lagi dengan menerapkan pendekatan regionalisasi melalui pembentukan sejumlah kantor regional BRR. Kenyataan mengungkapkan bahwa keberagaman baik dari segi sosial kemasyarakatan maupun kondisi fisik di lapangan sebetulnya tak akan cocok jika dicoba dijawab dengan satu atau dua pendekatan saja. Berapa pun pendekatan, metode, teknik atau alternatif yang ditawarkan, semuanya berangkat dari pemahaman yang menyeluruh juga mendalam tentang keunikan kondisi di setiap wilayah. BRR menjajaki hal tersebut dengan membuat kantor regional di Nias yang fokus dalam upayanya menjawab aspirasi, kebutuhan, serta tuntutan dari masyarakat setempat.

Rumah bantuan Malteser International diserahterimakan kepada para penerima manfaat setempat, yakni warga Desa Bayu, Kuta Makmur, Kabupaten Aceh Utara, 29 November 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan

107

108
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Pengalaman BRR melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan dan permukiman menunjukkan penggunaan dua pendekatan dalam membangun dan merehabilitasi rumah secara top down yang cepat tetapi tidak partisipatif maupun top down yang berbasis komunitas tetapi butuh waktu lama. Apabila kemampuan menangkap kondisi unik di lapangan dikombinasikan dengan fleksibilitas dan daya cipta serta imajinasi, boleh jadi akan muncul sejumlah pendekatan yang tepat untuk daerah yang berbedabeda.

Mengidentifikasi Para Penerima Manfaat


Penetapan data calon penerima bantuan rumah merupakan tahapan penting yang pertama yang akan menentukan efektivitas dan efisiensi tahapantahapan berikutnya. Pengalaman, banyak persoalan, baik teknis dan terlebih nonteknis, yang muncul disebabkan oleh tidak tepatnya dalam pendataan ini. Berbeda dengan masa tanggap darurat yang lebih membutuhkan data jumlah jiwa (untuk pemberian bantuan makanan, pakaian, selimut), dalam rehabilitasi dan rekonstruksi bidang perumahan data yang lebih dibutuhkan adalah jumlah kepala keluarga. Pendataan jumlah kepala keluarga berikut status kepemilikan rumah dan lokasi tempat tinggal sebelum bencana harus dilakukan sedini mungkin, yaitu pada masa tanggap darurat. Pada masa ini pendataan cukup dilakukan dengan registrasi, verifikasi dapat dilakukan setelah memasuki masa rehabilitasirekonstruksi. Hal ini sering kali terlupakan karena pada masa tanggap darurat lebih terfokus pada pemberian bantuan jatah hidup. Oleh karena untuk bencana skala besar seperti di Aceh dan Nias mendata penerima manfaat membutuhkan waktu yang panjang, maka pada masa tanggap darurat perlu ditetapkan dan diumumkan terlebih dahulu namanama desa yang terkena bencana sebagai desa bencana dan menjadi wilayah sasaran dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Bantuan tidak dapat diberikan kepada orang yang pada saat bencana tidak tinggal di desa bencana tersebut. Selain itu, salah satu prinsip pengelolaan basis data adalah diperlukannya identitas tunggal calon penerima bantuan. Dengan perkataan lain, setiap calon penerima bantuan diberikan nomor registrasi yang mencerminkan antara lain lokasi asal mereka bertempat tinggal pada saat terjadi bencana. Selanjutnya dalam database beberapa atribut data yang perlu dimasukkan antara lain nama lengkap, tanggal lahir, nama ibu, nama ayah, jenis kelamin, alamat atau desa domisili saat terjadi bencana, serta klasifikasi bantuan
Anak dan ayah sebagai salah satu penerima manfaat, sesaat setelah menerima kunci rumah baru mereka di Desa Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, 11 September 2007, langsung membersihkan rumah tersebut. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan

Kemampuan memotret kondisi unik di tiap wilayah akan sangat berguna khususnya dalam membangun kekuatan yang ada di tingkat lokal. Jika ini diikuti dengan kreativitas dan inovasi bahkan sejak di tingkat perencanaan, maka akan diperoleh lima atau enam bahkan lebih pendekatan yang bisa cocok untuk kebutuhankebutuhan masyarakat yang beragam.

109

(rehabilitasi, rekonstruksi, relokasi, atau penyewa). Pengelolaan data ini sejak awal harus dimasukkan dalam komputer database dan dilakukan secara terpusat, baik untuk bantuan yang akan dilakukan oleh lembaga sendiri maupun LSM. Tambahan pula, dalam proses pengumpulan data perlu diumumkan secara luas melalui berbagai media massa mengenai batasbatas waktu tahapan proses pengumpulan data. Setelah pengumpulan data dinyatakan ditutup, tidak ada peluang lagi adanya penambahan penerima manfaat. Data yang sudah dinyatakan final dalam bentuk daftar penerima bantuan tetap (DPBT) perlu disebarluaskan kepada aparat setempat, dari tingkat desa hingga tingkat kabupaten/kota. Daftar ini selanjutnya akan menjadi pegangan bagi semua pihak dalam memberikan bantuan. Pengalaman BRR menunjukkan bahwa pendefinisian penerima manfaat, identifikasi, dan verifikasi penerima manfaat menjadi salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang perumahan dan permukiman. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan efektif dan efisien, maka arus pergerakan para penyintas berpindah dari tenda ke rumah sementara sampai akhirnya masuk dan mendiami rumah bantuan akan berjalan dengan jauh lebih lancar.

Gambar 5.1. Konsepsi Pengorganisasian KerjaSama dengan Pemerintah Setempat

Pengumpulan data penerima manfaat dikonsolidasikan di tingkat desa


2

Pengkoordinasian pelaksana di lapangan dipusatkan di tingkat kecamatan


BRR
Menempatkan kecamatan sebagai focal point dalam dalam koordinasi di lapangan Seluruh fasilitator dari berbagai pelaku rekonstruksi/ rehabilitasi dikoordinasikan di tingkat kecamatan Membentuk forum pertemuan rutin di tingkat kecamatan, dipimpin oleh wakil lembaga (BRR), dihadiri Camat dan seluruh wakil pelaku on-budget/Satker, dan off-budget/LSM) Masalah yang tidak dapat diselesaikan di tingkat lokal perlu dibawa di forum pada tingkat yang lebih tinggi (kab/kota)

Mengumpulkan data calon penerima manfaat dengan melibatkan unsur-unsur di tingkat desa Menstandarkan format yang akan diisi untuk tingkat desa dibantu oleh fasilitator dan petugas dari kecamatan Setelah data terkumpul, tugas selanjutnya adalah memantau pelaksanaannya sehingga senantiasa diketahui jumlah yang sudah terbangun, oleh siapa, telah dihuni atau belum, berapa yang belum terbangun, terdapat hambatan apa, dst. Menginformasikan persoalan tersebut secara tertulis (format telah ditentukan) dan dalam forum di tingkat kecamatan

KANTOR WILAYAH

KABUPATEN

KECAMATAN

Pengalokasian bantuan akan menjadi jauh lebih efektif dan tepat sasaran jika telah diketahui siapa korban yang sebenarnya. Hal ini akan memberikan ketenangan bagi mereka yang tinggal di barak. Mereka mengetahui bahwa mereka telah teralokasikan bantuan sehingga mereka dapat berkonsentrasi ke agenda mereka selanjutnya, seperti mencari pekerjaan, menyekolahkan anak, tidak berpikir tentang rumah lagi karena mereka mengetahui bahwa rumahnya sedang dibangun. Apabila terjadi proses regrouping atau pemindahan dari satu barak ke barak lainnya yang lebih besar lokasinya, penghuni yang tidak ingin lagi tinggal di barak perlu dicatat dan dibukukan untuk kepentingan di kemudian hari.

Menyangkut Konsepsi dan Organisasi Penanganan


Struktur organisasi atau lembaga yang menangani rekonstruksi suatu bencana yang menimbulkan dampak kerusakan secara luas atau masif, seperti di Aceh dan juga Nias, sebaiknya menempatkan unit yang menanganani bidang perumahan dan permukiman ke dalam posisi yang sentral. Pengertian sentral di sini adalah bahwa bidangbidang atau sektorsektor lain seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, bantuan ekonomi dan perbaikan prasarana ekonomi serta bidangbidang sosialbudayaperempuan hendaknya terkoordinasi dengan baik dengan sektor atau bidang perumahan dan permukiman. Sektor perumahan dan permukiman pada dasarnya merupakan sektor yang bersifat kebutuhan dasar dan sekaligus tergolong sebagai barang privat bagi para korban yang selamat. Dengan demikian pembangunan sektor ini sangat dibutuhkan dan menjadi pijakan bagi setiap keluarga yang menjadi korban agar dapat pulih kembali menuju kehidupan yang normal. Berbeda dengan sektor lain, sektor perumahan membutuhkan suatu transisi yang cukup panjang, yakni dari tenda, barak, atau rumah sementara baru kemudian rumah yang lebih bersifat permanen. Para korban membutuhkan segera tempat berlindung untuk dapat menjalankan aktivitas sehariharinya, tetapi membangun rumah yang permanen membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Setelah rumah berdiri dan korban menempati rumah bantuan, mereka membutuhkan prasarana dan fasilitas pendukung sebagaimana dibutuhkan dalam suatu kawasan permukiman seperti jalan akses, air bersih, sanitasi yang baik, tenaga listrik, sekolah, puskesmas, dan pasar. Bantuan ekonomi dan usaha juga sebaiknya difokuskan pada wilayahwilayah tempat para korban terkonsentrasi, baik wilayah rekonstruksi maupun relokasi.

Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan

Untuk penanganan penyintas di hunian sementara misalnya, data penerima manfaat sebaiknya mencakup siapa saja yang tinggal di barak beserta latar belakangnya dan disimpan dalam sebuah basis data sehingga tidak lagi bersifat manual. Selanjutnya data tersebut dijadikan data teregister dan diverifikasi sehingga bisa tersaring siapa yang berhak, siapa yang tidak, dan siapa yang bukan korban.

111

Renungan Penutup
Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan

Di ulang tahun Perumnas ke34 pada 2008, dengan bangga Direktur Utama BUMN itu menyatakan bahwa dalam 34 tahun usianya, Perumnas telah membangun 500 ribu rumah atau ratarata 14.700 rumah setahun, 58.800an dalam empat tahun. Di ekstrem yang lain, seorang arsitek muda yang mencoba pengetahuannya untuk membangun rumah seorang manajer senior terpaksa menyerah dalam frustrasi karena permintaan sang manajer yang dianggapnya terlalu banyak. Padahal sang manajer merasa hanya menjabarkan keinginannya agar rumah miliknya lebih sesuai dengan kebutuhannya dibanding rumah sewa yang selama ini ditinggalinya. Rumah memang sangat pribadi. Setelah tenunan benang yang terbawa ke manamana sebagai pakaian, rumah adalah kulit berikutnya yang melindungi. Rumah memang simbol keberadaan manusia, sekaligus mengakui kedaulatan penghuninya dan merefleksikan sikap yang ingin dibawakan dalam interaksi antarwarga.Angka yang dicapai Perumnas, organisasi pembangun rumah yang profesional di atas, merefleksikan terasumsikannya dialog intim tersebut terjadi. Bandingkan dengan rumah rekonstruksi. Gandakan angka jumlah rumah tadi lebih dari dua kalinya. Membangun 140.304 rumah di Aceh dan Nias dalam situasi dan suasana pascabencana dan ditambah pasca konflik di Aceh sungguh tidak mudah. Optimisme sering timbul tenggelam seiring waktu dan kejadian, sesaat atau berpola. Bagi sebagian besar peserta kegiatan, baik penerima manfaat maupun pemangku kepentingan lainnya, kombinasi faktor yang menghadang program rekonstruksi dan rehabilitasi perumahan ini sungguh baru adanya. Pengalaman, walaupun ada, tak ada yang setara dengan tantangan yang dihadapi. Kalau tidak dari sisi skala, mungkin dari sisi cakupan persoalannya. Diperlukan keberanian untuk memulai sesuatu, yang kemungkinan besar merupakan sebuah terobosan mengingat kondisi baseline yang jauh lebih tidak lengkap dibanding situasi normal. Apakah akan ada pendekatan lain yang dilakukan bila kejadian dan keadaan yang hampir serupa dihadapi lagi? Bagi mereka yang mungkin akan dipanggil atau merasa terpanggil untuk menangani masalah serupa, di mana pun terjadinya, diharapkan agar buku ini dapat berguna sebagai acuan mengenai apa yang pernah dilakukan dan hasilhasil yang dicapai. Beberapa pembelajaran dituliskan di sini, tetapi pelajaran yang sebenarnya akan dijumpai di lapangan, dengan konteks yang sebenarnya. Barangkali apa yang dikatakan warga Simeuleu mengenai rekanrekannya di daratan Aceh patut menjadi refleksi. Kami belajar dari tsunami yang terjadi seratus tahun yang lalu, dan melestarikannya dalam dongeng dan perilaku. Seruan smong yang kami lantunrantaikan saat air laut surut adalah hasil pelajaran itu. Masyarakat segera lari ke bukit sehingga korban jiwa sangat sedikit. Semoga rekanrekan di daratan mengambil pelajaran dari peristiwa ini bagi generasi mendatang. Diharapkan pula semua pelaku rekonstruksi dan rehabilitasi belajar dari analisis, kebijakan, dan tindakan yang dialami sekarang, baik yang berhasil maupun yang masih perlu ditingkatkan.

113

Warga Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, mengisi rumah baru dengan perabotan rumah tangga, 11 September 2007. Pemandangan serupa marak ditemui seiring dengan gencarnya upaya percepatan pengosongan barak. Foto: BRR/Arif Ariadi

Daftar Singkatan
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Singkatan aDB aIPRD aKa aPBn aRC asperkim ausaID Bakosurtanal BDL BDR BKM BLM BLOM

Indonesia Bank Pembangunan asia Kemitraan australiaIndonesia untuk Rekonstruksi dan Pembangunan asosiasi Kontraktor aceh anggaran Pendapatan dan Belanja negara Palang Merah amerika asisten Bidang Perumahan dan Pemukiman Badan australia untuk Pembangunan Internasional Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan nasional Bantuan Dana Lingkungan Bantuan Dana Rumah Badan Keswadayaan Masyarakat Bantuan Langsung Masyarakat Perusahaan Pemetaan asal norwegia

Inggris asian Development Bank australiaIndonesia Partnership for Reconstruction and Development aceh Contractors association government of Indonesias national annual Budget american Red Cross assistant for housing and Settlement area australian agency for International Development Indonesias national Coordinating agency for Survey and Mapping Environmental Fund housing Fund Community Selfreliance Board Direct Community assistance norwegian CompanyProvider of Products and Services within the Maritime and Land based Mapping Industry Meteorology and geophisics agency national agency for Electronic Data Management national Land agency

114

BMg BPDE BPn BPPK BPR BPRB BRR

Badan Meteorologi dan geofisika Badan Pengelola Data Elektronik Badan Pertanahan nasional

Bantuan Perumahan dan Permukiman housing and Resettlement assistance Kembali Bank Perkreditan Rakyat Bantuan Pembangunan Rumah Baru Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi nanggroe aceh Darussalam dan Kepulauan nias Provinsi Sumatera Utara Peoples Credit Bank; an Indonesian bank allowance to build new houses agency for the Rehabilitation and Reconstruction of the Regions and Community of nanggroe aceh Darussalam and the nias Island of the Province of north Sumatra

Singkatan BSBT BSPR CaP CCF CDa ChF Internasional

Indonesia Bantuan Sosial Bertempat Tinggal Bantuan Sosial Perbaikan Rumah Rencana aksi Masyarakat LSM yang bergerak dalam bidang perlindungan anak Pendaftaran tanah berbasis masyarakat LSM Internasional yang Memberikan Dukungan Perbaikan Penghasilan di dalam Masyarakat Berpenghasilan Rendah Palang Merah Kanada Catholic Relief Services; nama sebuah LSM Komandan Rayon Militer Rancangan Teknis Rinci Dinas Sosial Daftar Isian Pelaksanaan anggaran Direktorat Jenderal Konsultan Manajemen Kabupaten Daftar Penerima Bantuan Tetap Environmental System Research InstituteShapefile, File Data dari Program arcView gIS

Inggris Social assistance for Settlement


Bagian 5. Hikmah Ajar untuk Masa depan

Social assistance for house Repairment Community action Plan Christian Children Fund CommunityDriven adjudication Community habitat Finance International

CRC CRS Danramil DED Dinsos DIPa Ditjen DMC DPBT ESRIShp.

Canadian Red Cross Catholic Relief Services SubDistrict Military Commander Detail Engineering Design Social affairs Office; Usually of a province/district Issuance of Spending authority Directorate general District Management Consultant List of Beneficiaries Environmental System Research InstituteShapefile, Data File from arcView gIS Program

115

ETESP

Proyek Sektor Bantuan Darurat Earthquake and Tsunami Emergency gempa Bumi dan Tsunami yang Sector Project funded by asian dibiayai oleh Bank Pembangunan asia Development Bank (aDB) (aDB) Fasilitator Kecamatan Fasilitator Perumahan Forum Komunikasi antarbarak german agro actionLSM Sistem Informasi geospasial Dewan Eksekutif Teknologi Informasi Pemerintah (Jerman) Sistem navigasi satelit hektare Subdistrict Facilitator housing Facilitator Interbarracks Communication Forum german agro actionngO geospatial Information System government Information Technology Executive Council global Positioning System hectare

Fascam Fasrum Forak gaa gIS gITEC gPS ha

Singkatan IFRC
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Indonesia Federasi Palang Merah Internasional dan Komunitas Bulan Sabit Merah Organisasi Buruh Internasional Izin Mendirikan Bangunan Organisasi Internasional untuk Migrasi Penduduk Jatah hidup Dana Jepang untuk Pengentasan KemiskinanPerumahan Tahan gempa di aceh dan Sumatera Utara Badan Kerja Sama Internasional Jepang

Inggris International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies International Labour Organization Building Permit Internal Organization for Migration Living allowance Japan Fund for Poverty ReductionSeismically Upgraded housing in aceh Darussalam and north Sumatra Japan International Cooperation agency

ILO IMB IOM jadup JFPRSUha

116

JICa

Badan Jepang mengenai Sistem Kerja Japan International Cooperation Sama Internasional System JLT Kades KaP Kapolsek Kasatker Keppres Kerap KfW Sertifikat Kepemilikan Tanah Bersama Kepala Desa Rencana aksi Kecamatan Kepala Polisi Sektor Kepala Satuan Kerja Keputusan Presiden Komite Rehabilitasi/Rekonstruksi Permukiman Kreditanstalt fur Wrederaubau adalah Bank Pembangunan Jerman yang berperan sebagai pengelola dana atas nama pemerintah Jerman. kepala keluarga kilometer Komite Verifikasi dan Penertiban Perumahan Komando Rayon Militer Koordinator Wilayah Kelompok Pemukim Komite Percepatan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Desa Kuasa Pengguna anggaran Joint Land Titling head of Village Kecamatan action Plan Sectoral Police Chief head of Project Implementing Unit Presidential Decree Rehabilitation and Reconstruction Committee Kreditanstalt fur Wrederaubau is a german Development Bank acting as the funding management manager on behalf of german government. head of family, family unit kilometer Committee for Verification and Closure of housing SubDistrict Military Command Regional Coordinator Community group The Village Committee for housing and Settlement Development acceleration Budget authority Officer

KK km Komvertib Koramil Korwil KP KP4D

KPa

Singkatan KPPnK KPR KSFaP Logica LSM m2 MDF MK1BRR Muspika

Indonesia Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan negaraKhusus Kredit Pemilikan Rumah Kerangka Tata Ruang dan Rencana aksi Kecamatan Pemerintahan Lokal dan Infrastruktur untuk Masyarakat di aceh Lembaga Swadaya Masyarakat meter persegi Dana Multi Donor Manajemen Konstruksi dan RancangBangun BRR Musyawarah Pimpinan Kecamatan

Inggris Special Office for State Services and Treasury housing Loan Kecamatan Spatial Framework and action Plan Local governance and Infrastructure for Communities in aceh nongovernmental Organization (ngO) meter square Multi Donor Fund Construction and Building Design Management BRR The Meeting of Subdistrict heads Meeting on Regional Development Planning nanggroe aceh Darussalam Province nongovernmental Organization non Project Type grant aid Poorness Overcoming Project in Urban Participatory Development Initiative ProPoor Planning and Budgeting Programnational Development Planning agency Center of Regional Program and Project Controlling United nations (Un) Project Concept note Regional government head of the Executing agency Regulation government Regulation in Lieu of Legislation Presidential Regulation Foreign Soft Loans/grant

117

Musrenbangda Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah naD ngO nPTga P2KP P3 P3BBappenas Provinsi nanggroe aceh Darussalam Organisasi nonpemerintah/ Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bantuan Dana hibah Jenis nonproyek Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (Direktorat) Prakarsa Pembangunan Partisipatif Perencanaan Daerah Yang Berorientasi Penanggulangan KemiskinanBadan Perencanaan dan Pembangunan nasional Pusat Pengendalian Program dan Proyek Wilayah Perserikatan BangsaBangsa nota Konsep Proyek Pemerintah Daerah Peraturan Kepala Badan Pelaksana Peraturan Pengganti UndangUndang Peraturan Presiden Pinjaman/hibah Luar negeri

P4W PBB PCn Pemda Perkabapel Perppu Perpres PhLn

Singkatan PIU
PERUMAHAN: Membentang Atap Berpilar Asa

Indonesia Unit Pelaksana Proyek Penjabat Penanggung Jawab Operasional Kegiatan Penunjukan Langsung Pusat Layanan Pengadaan Konsultan Manajemen Provinsi Palang Merah Indonesia Unit Manajemen Proyek Pejabat Pembuat akta Tanah Pejabat Pembuat Komitmen Panitia Pengadaan Tanah prakualifikasi Prasarana dan Sarana Dasar Pekerjaan Umum Pusat Data dan Informasi Puskesmas Pembantu Sistem administrasi Rekonstruksi Pertanahan aceh Palang Merah Revisi Rencana Detail Tata Ruang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Permukiman Berbasis Komunitas Rupiah Murni Rupiah Rehabilitasi dan Rekonstruksi Perumahan dan Permukiman di aceh Rencana Tata Ruang Wilayah Satuan Kerja Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Saudi Charity CampaignLSM Sekolah Dasar Sumber Daya Manusia Sekolah Menengah Pertama acting Officer

Inggris Project Implementation Unit Operational activity Coordinator Direct assignment Procurement Center Province Management Consultant Indonesian Red Cross Project Management Unit Land Deed Official Contract Preparation Officer Land acquisition Committee prequalification Basic Infrastructure and Facilities Public Works Center for Data and Information auxiliary Community health Post Reconstruction of the aceh Land administration System Red Cross Revision of the Spatial Planning Detail Communitybased Rehabilitation and Reconstruction of Settlements Pure national budget, exculding foreign loan/grant Rupiah (Indonesian currency) Rehabilitation and Reconstruction Of housing and Settlement in aceh The Standardized nomenclature of Spatial Plans in Indonesia Project Implementing Unit Unit for Coordinating Implementers of Disaster and Displaced Persons Management Saudi Charity CampaignngO Elementary School human Resources Junior high School

Pj. PJOK PL PLP PMC PMI PMU PPaT PPK PPT PQ PSD PU Pusdatin Pustu RaLaS RC RDTR ReKompak RM Rp RRhS RTRW Satker Satkorlak

118

SCC SD SDM SMP

Singkatan STL Ta TnI TPI TPK UKL/UPL UMCOR UnDP UnEP UnIMS/hIC

Indonesia Pemimpin Subtim Tahun anggaran Tentara nasional Indonesia Tempat Pelelangan Ikan Tim Pengelola Kegiatan Usaha Pengelolaan Lingkungan/ Usaha Pengendalian Lingkungan United Methodist Committee on Relief; nama sebuah LSM Program Pembangunan Perserikatan BangsaBangsa Program Lingkungan Perserikatan BangsaBangsa Fiscal Year

Inggris Sub Team Leader Indonesian national army Fish auction Market activities Management Team Environmental Management Effort/ Environmental Management Control United Methodist Committee on Relief; name of an ngO United nations Development Programme United nations Environmental Program

119

Un Information Management Service/ Badan PBB untuk Layanan humanitarian Information Centre Manajemen Informasi/ Pusat Informasi Kemanusiaan Badan Perserikatan BangsaBangsa Koordinator Pemulihan khusus untuk aceh dan nias Dollar amerika Serikat Badan amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional UndangUndang Bank Dunia Badan Pangan Dunia Waktu Indonesia Barat World Vision Indonesia; nama sebuah LSM United nations Office of the Recovery Coordinator for aceh and nias american Dollars United States agency for International Development Law World Bank World Food Programme Western Indonesia Time World Vision Indonesia; name of an ngO

UnORC

US$ USaID UU WB WFP WIB WVI YIPD

Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah Center for Local government Innovation

You might also like