You are on page 1of 59

Dari seluruh kompartemen cairan, air merupakan komponen utama dalam tubuh.

Jumlah air dalam tubuh menggambarkan hampir 60% dari jumlah berat badan rata-rata dewasa. Pada laki-laki dengan berat badan 70 kg, jumlah air dalam tubuh ialah 600 mL/kg, atau 4 L. Persentase relatif air bervariasi kepentingannya dengan usia, jenis kelamin, dan adipositas. Contohnya, otot mengandung 75% air, sedangkan jaringan adiposa hanya mengandung 10% air. Awalnya, kandungan air pada fetus adalah tinggi tetapi pada kehamilan tua dan tahun ketiga sampai lima kehidupan, kandungan air menurun secara progresif. Jumlah air dalam tubuh dibagi kepada dua komponen dasar yaitu kompartemen intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan sisa dari cairan dalam tubuh ditemukan di luar sel di dalam kompartemen ekstraseluler. Kompartemen intraseluler dan ektraseluler dipisahkan oleh membran sel yang permeabel terhadap air. Pada dewasa, volume cairan intraseluler adalah rata-rata 400450 mL/kg (kira-kira 30 L), dan volume cairan ekstraseluler adalah rata-rata 150-200 mL/kg (kira-kira 14 L). Berbanding orang tua dan perempuan, volume cairan ekstraseluler (CES) adalah lebih besar pada dewasa muda dan laki-laki (Tabel 46-1). Volume darah adalah 60-65 mL/kg dan terdistribusi sebagai 15% dalam arteri dan 85% dalam sistem vena. Dalam darah, reaksi metabolik utama terjadi di dalam sel darah merah (SDM) dan komparteman cairan intraseluler. Komponen utama kompartemen ekstraseluler adalah volume plasma (30-35 mL/kg) dan cairan interstitial (120-165 mL/kg). Konstituensi lain CES adalah cairan transeluler, termasuk cairan pleural, cairan peritoneal, humor aqueous, keringat, urin, limfe dan cairan serebrospinal. Plasma menjadi pertimbangan khusus karena ia penting dalam praktek klinis. Plasma adalah komponen darah nonseluler dan ia dalam keseimbangan yang terusmenerus dengan cairan interstitial. Perbedaan utama plasma berbanding dengan cairan interstitial adalah plasma mengandung konsentrasi protein yang lebih tinggi. Konsentrasi protein yang lebih tinggi dalam plasma ini, mengakibatkan tekanan osmotik plasma 20 mmHg lebih besar berbanding cairan interstitial dan CES. Gradiensi ini membantu mempertahankan volume intraseluler. Tabel 46-1 Elektrolit Komposisi elektrolit dalam cairan tubuh Plasma (mEq/L) Cairan Intraseluler (mEq/L) Sodium Potassium Magnesium Kalsium 142 4 2 5 10 150 40 1 4.5 2 5 Cairan Ekstraseluler (mEq/L) 140

Klorida Bikarbonat

103 25

103 7

117 28

Di adaptasi dari Rhoades RA, Tanner GA: Medical Physiology. Boston, Little, Brown, 1995. Kompartemen CES mengandung sodium, klorida, dan bikarbonat dalam konsentrasi yang tinggi. Permeabilitas terhadap ion-ion dan protein ini sangat bervariasi pada setiap organ. Otak mempunyai permeabilitas yang paling kurang terhadap ion-ion dan hati mempunyai permeabilitas yang paling tinggi terhadap ionion. Pengaturan cairan tubuh dan komposisinya adalah multifaktorial dan melibatkan atrial natriuretic peptide, vasopresin (hormon antidiuretik [ADH]), aldosteron (renin, angiotensin), hormon paratiroid, kalsitonin, prostaglandin, reseptor dopaminergik, reseptor -adrenergik, mekanisme rasa haus, dan sifat renal intrinsik. Keseimbangan cairan menggambarkan perbedaan di antara cairan masuk dan cairan keluar. Hampir 60% cairan yang keluar setiap hari diekresikan melewati urin. Pada saat suhu tinggi atau olahraga yang tertentu, jumlah cairan keluar melalui keringat bertambah dan mungkin mempengaruhi sejumlah besar cairan keluar setiap hari. Olahraga berat bisa meningkatkan cairan keluar melalui keringat lebih 50 kali dari kadar normal. Peningkatan ventilasi, tanpa sadar memperbesarkan kehilangan cairan melalui saluran pernafasan (Tabel 46-2). Di bawah keadaan ini, kehilangan cairan renal dikurangi untuk mengkompensasi cairan yang keluar tanpa sadar dan keringat yang banyak.

Tabel 46-2 Sumber Kehilangan Urin Keringat Feses

Kehilangan cairan setiap hari Aktivitas Normal dan Suhu (ml) 1400 100 100 700 2300 Aktivitas Normal dan Suhu Tinggi (ml) 1200 1400 100 600 3300 5000 100 1000 6600 Olahraga Berterusan (ml) 500

Kehilangan tanpa sadar Total

Dari Rhoades RA, Tanner GA: Medical Physiology. Boston, Little, Brown, 1995. FISIOLOGI SODIUM/NATRIUM Sodium adalah ion positif yang paling banyak terdapat di dalam kompartemen CES dan

ia sangat kritis dalam menentukan osmolaritas intraseluler dan ekstraseluler. Pembagian sodium di antara plasma dan cairan interstitial, secara kasar adalah 5 atau 6 terhadap 1 pada equilibrium, dan pembagian waktu equilibrium adalah 15-20 minit. Keseimbangan sodium ekstraseluler ditentukan oleh intake sodium relatif terhadap pengeluaran sodium. Kebanyakan orang mengkonsumsi lebih banyak garam dari yang mereka butuhkan. Keadaan normal, pada individu sehat, fungsi utama ginjalnya pada keseimbangan sodium adalah mengekresikan sodium yang berlebihan. Kebutuhan terhadap sodium bervariasi dengan usia. Bagi bayi baru lahir sebelum 32 minggu kehamilan, kebutuhannya adalah 3 mEq/kg/hari dan untuk tempoh terbatas, kebutuhannya adalah 2-3 mEq/kg/hari. Saat neonatus, kehilangan sodium adalah 1 mEq/kg/hari, proses pertumbuhan menggunakan 0.5 mEq/kg/hari. Kebutuhan dewasa terhadap sodium berkurang sampai kira-kira 1.5 mEq/kg/hari. Pengeluaran sodium melalui urin menggambarkan kebanyakan sodium yang hilang dan hampir sama dengan intake sodium setiap hari. Di bawah kondisi tertentu, akan tetapi, kehilangan sodium melalui keringat yang banyak, terbakar, muntah yang berat atau diare mungkin bisa bermakna. Biasanya, sebanyak 10 mL urin bisa dibentuk untuk setiap milliosmole dari larutan yang diekskresikan melalui ginjal. Respon ginjal normal terhadap hambatan volume dengan diuresis dan terhadap sodium yang banyak dengan natriuresis; jika terjadi intake sodium yang kurang atau pengurangan volume, ginjal akan merespon dengan antinatriuresis dan antidiuresis (contoh pasien yang sedang dioperasi akan mengekresi hanya 1.2-1.6 mOsm/mL dari larutan). Dalam berbagai proses patofisiologis, pengeluaran sodium melalui urin yang abnormal tinggi atau rendah akan terjadi dan dijelaskan secara ringkas dalam teks berikutnya. Banyak faktor yang mengatur reabsorpsi sodium di tubulus yaitu yang terpengaruh semasa tempoh preoperatif, termasuk faktor hemodinamik dan fisik, faktor hormonal, dan aktivitas saraf simpatik ginjal. Keseimbangan dari paksaan Starling bertanggungjawab terhadap transpor sodium dan air melewati dinding kapiler peritubuler. Tekanan bersih di dalam kapiler peritubuler adalah kira-kira 10 mmHg dalam keadaan yang diambil dari cairan yang diabsorpsi. Volume ekpansi dengan saline isotonik mengurangkan konsentrasi protein plasma dan juga mengurangi tekanan osmotik koloid di dalam kapiler peritubuler. Sistem renin-angiotensin (SRA) terlibat dalam mengontrol tekanan darah dan volume darah bersama-sama dengan sistem saraf simpatik, sistem kinin-kallikrein dan arginin vasopresin. SRA memegang peran dalam fungsi homeostasis sodium dan ginjal, terutamanya di bawah kondisi tertekan. SRA mungkin akan dimulakan melalui pengurangan tekanan darah di dalam arteri ginjal, berkurangnya penghantaran sodium ke makula densa atau melalui aktivasi sistem saraf simpatik. Dalam responnya, renin disintesiskan oleh prekusornya prorenin, dan disekresikan oleh sel juxtaglomerular

ginjal. Renin, aspartyl-protease (sama dengan pepsin dan katepsin), memecah substratnya, angiotensinogen yang mana adalah 2-globulin, untuk membentuk angiotensin I. Walaupun, kebanyakan renin dihasilkan oleh ginjal, isoenzim renin telah ditemukan di dalam banyak jaringan termasuk otak, adrenal, di dasar vaskuler, uterus dan plasenta. Gen untuk renin pada manusia telah diklonkan. Tingkat angiotensinogen bertambah setelah nefrektomi; oleh estrogen, hormon tiroid, dan glukokortikoid; dan semasa penghambatan enzim angiotensin I-converting. Angiotensin I secara cepat diubah menjadi angiotensin II oleh enzim angiotensin I-coverting atau oleh endopeptidase. Sirkulasi pulmonal muncul menjadi tempat utama dari aktivitas angiotensin-converting enzyme (ACE), walaupun ACE juga ditemukan di dalam endotel pembuluh darah jantung, ginjal, korteks adrenal, testis, dan otak. Angiotensin II adalah vasopresor poten yang merangsang sekresi aldosteron melalui korteks adrenal. Angiotensin II mempunyai efek menghambat vagal dan menyebabkan rangsangan ganglionik. Angiotensin II, tidak semuanya menahan sekresi renin oleh efek langsung pada sel juxtaglomerular. Studi berpendapat bahwa angiotensin II bisa merangsang peningkatan lokal dari adenosin, yaitu menghambat pelepasan renin dan juga bisa berpartisipasi dalam mekanisme negative-feedback loop yang mana angiotensin I mambatasi sendiri biosintesisnya. Angiotensin II didegradasi di dalam plasma menjadi carboxyl-terminal heptapeptide angiotensin III atau aminoterminal heptapeptide, yang mana keduanya muncul menjadi aktif secara biologi. Penurunan tekanan darah, berkurangnya penghantaran sodium ke makula densa, atau perangsangan simpatik yang mungkin mengaktivasi SRA, membentuk angiotensin II. Ini mengakibatkan tekanan darah bertambah dan retensi sodium yang disebabkan oleh peningkatan sekresi aldosteron. SRA tidak mempunyai peran aktif dalam mempertahankan tekanan darah normal. Tekanan hidrostatik bertindak dalam mempertahankan tekanan pengisian glomerular agar stabil. Ini mempengaruhi venous return, cardiac output dan tekanan darah. Kelebihan atas mekanisme ini di bawah keadaan tekanan adalah pelbagai dari sistem pengaturan neurohormonal, termasuk sistem saraf simpatik, ADH, hormon atrial natriuretic, dan prostaglandin (Tabel 46-3). Ahli anestesi harus memahami bahwa nitroprusside mengakibatkan hipotensi yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas renin dan ditandai dengan pertambahan dalam konsentrasi ADH dalam plasma, yang mana tidak terlihat dengan trimethapan yang mengakibatkan penurunan tekanan darah. Sebaliknya, pengaturan propranolol semasa nitroprusside yang mengakibatkan hipotensi akan mencegah pertambahan aktivitas renin dalam plasma. Tabel 46-3 Penyebab Penyebab utama natriuresis dan antinatriuresis Mekanisme

Natriuresis Tingkat volume-expansi Tingkat volume-deplesi Antinatriuresis Tingkat edematous Tingkat nonedematous Gagal jantung, penyakit hati kronik, sindrom nefrotik, glomerulonefritis akut, edema idiopatik Perdarahan, intake sodium rendah, pengeluaran diuretik, pemberian mineralokortikoid akut, pengeluaran sodium nonrenal melalui keringat atau muntah, atau keduanya Intake sodium tinggi, inappropriate antidiuretic hormone syndrome Addisons disease, pengeluaran garam renal, penyalahgunaan diuretik

Hiponatremia Hiponatremia, secara tipikal didefinisikan sebagai konsentrasi sodium/natrium dalam plasma kurang dari 135 mEq/L, bisa disebabkan oleh kehilangan sodium yang berlebihan daripada keringat yang berlebihan, muntah, diare, luka bakar, dan pemberian diuretik. Kebanyakan penyebab hiponatremia biasanya adalah jumlah cairan tubuh yang berlebihan, bukannya defisiensi dari jumlah sodium dalam tubuh. Di bawah kondisi normal, intake cairan jarang sekali melampaui kemampuan ginjal untuk mengeksresi cairan bebas. Hiponatremia, selalunya berhubungan dengan pelepasan vasopresin nonfisiologis (ADH) dan kerusakan kapasitas dilusi renal. Sekresi ADH yang normal adalah dimediasi oleh peningkatan osmolalitas plasma lebih dari 280 mOsm atau pengurangan dalam volume sirkulasi yang efektif. Faktor lain yang berpengaruh dalam perlepasan ADH termasuk nyeri, rangsangan simpatetik, dan rasa mual. Setelah dilepaskan, ADH berikatan dengan reseptor V2 dalam duktus pengumpul medula. ADH meningkatkan permeabilitas air dari segmen ini dengan memfasilitasi fusi saluran air kepada membran sel apikal. Bila memastikan penyebab hiponatremia, osmolalitas serum harus didapatkan untuk menentukan sama ada hiponatremia menggambarkan hipotonisitas sebenar. Ini memberi pemahaman tentang penyebab yang mendasari tingkat sodium yang rendah. Hiponatremia bisa terjadi pada penderita yang hipotonik, normotonik, atau hipertonik. Status volume penderita harus dievaluasi untuk pemahaman tambahan tentang masalah yang mendasari terjadinya abnormalitas dalam fisiologis sodium (Tabel 46-4).

Tabel 46-4 Hiponatremia hipovolemik Perdarahan

Jenis hiponatremia dan penyebabnya Hiponatremia hipervolemik Gagal jantung kongestif Sindrom nefrotik Sirosis Sindrom transuretral prostat Hiponatremia euvolemik Sindrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) Pseudohiponatremia

Edema luka bakar Peritonitis

Hiponatremia bisa dilihat dalam hiperlipidemia (seperti kilomikronemia) atau hiperproteinemia. Hiperosmolalitas sebagai akibat dari molekul bukan natrium (hiperglikemia, overdosis manitol) yang mengeluarkan air dari ruang intraseluler untuk mengencerkan konsentrasi sodium ekstraseluler. Penurunan bermakna dalam total sodium dalam tubuh kebanyakannya terjadi dari pengaturan diuretik. Ini adalah kasus dari hiponatremia normotonik. Sindrom transuretral prostat adalah penyebab hiponatremia yang diketahui. Sindrom ini disebabkan oleh absorpsi intravaskuler dari larutan irigasi, yang mana secara tipikal mengandung glisin. Absorpsi air bebas menyebabkan hiponatremia karena dari pengenceran sodium serum. Sindrom ini adalah kasus hiponatremia hipotonik sebenar. Sindrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) adalah berhubungan dengan sejumlah proses termasuk kelainan pulmonal dan kranial, dan dengan beberapa neoplasma khususnya karsinoma sel oat dari paru-paru. Pengaktifan simpatetik (nyeri post operasi) juga bisa mendahului kepada peningkatan secara bermakna kadar ADH dalam ketiadaan dari volume konstriksi. SIADH mungkin terjadi dengan pengaturan pelbagai obat-obatan, termasuk hipoglikemik oral, antidepresi trisiklik, dan diuretik. Kadar tinggi vasopresin yang disekresikan secara intermiten pada abnormal permulaan yang rendah atau pada osmolalitas rendah yang berterusan. Adanya hiponatremia ditambah dengan osmolalitas urin melebihi dari pengenceran maksimal memastikan diagnosis. Pada penderita dengan SIADH, konsentrasi sodium dalam urin selalunya tidak melebih 30 mEq/mL, fraksi eksresi sodium adalah lebih besar dari 1%, dan asam urat serum dikurangi. Penderita dengan SIADH memperlihatkan respon dengan ciri restriksi air; penurunan 2-3 kg berat badan ditemani oleh koreksi dari hiponatremia dan pembuangan garam diatas 2-3 hari. Ini adalah contoh lain dari hiponatremia hipotonik. Hiponatremia juga terjadi dalam kelainan campuran, yang mana pelepasan ADH nonosmotik dan penurunan kadar ekskresi sodium melalui urin. Ini bisa terjadi

dalam volume lanjutan kontraksi intraktabel gagal jantung, dan sirosis hepatis lanjutan dengan asites. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan hiponatremia adalah kritikal untuk ahli anestesi, khususnya untuk sindrom transuretral prostat diatur dengan anestesi regional. Mual, muntah, gangguan penglihatan, tingkat depresi kesadaran, agitasi, konfusi, koma, kejang, kram otot, lemas, atau mioklonus bisa terlihat tergantung tingkat hiponatremia. Edema otak terjadi pada atau di bawah kadar serum 123 mEq/L, gejala jantung terjadi pada 100 mEq/L. Hiponatremia berhubungan dengan peningkatan volume intravaskuler yang bisa mengakibatkan edema pulmonal, hipertensi, dan gagal jantung. Karena sindrom transuretral prostat adalah kasus kelebihan air, pengobatannya harus dengan restriksi air. Diuretika loop bisa ditambahkan untuk memfasilitasi ekskresi air bebas. Saline hipotonik harus digunakan hanya pada kasus hiponatremia berat dengan gejala neurologik. Jika diperlukan, dosis sodium yang dibutuhkan untuk mengkoreksi kekurangan bisa dihitung dengan menggunakan rumus di bawah: Dosis (mEq) = (Berat Badan (kg) x (140 [Na+]) (mEq/L)) x 0.6 Kadar optimal dari koreksi ini muncul menjadi 0.6-1 mmol/L/jam sehingga konsentrasi sodium adalah 125 mEq dan koreksi diteruskan pada kadar rendah. Satu setengah dari kekurangan bisa diatur diatas 8 jam pertama dan setengah jam kemudian di atas 1-3 hari jika gejala remit. Kemungkinan komplikasi dari saline yang hipertonik termasuk edema serebral dan myelinolisis potine serebral. Akan tetapi, pengobatan yang sesuai untuk pengobatan hiponatremia khususnya pada penderita dengan gejala neurologik, terus-menerus menjadi daerah yang kontroversi. Konsentrasi sodium harus diatur setiap 1-2 jam semasa koreksi cepat. Penderita yang sedang menstruasi adalah berisiko besar untuk perkembangan neurologik dengan sekuele setelah hiponatremia. Ayus dan kawan-kawan menemukan bahwa, walaupun kejadian hiponatremia post operasi adalah sama di antara laki-laki dan perempuan, 97% dari mereka dengan kerusakan otak permanen adalah perempuan, dan 75% dari mereka adalah dari usia reproduktif. Mekanisme dari perbedaan jenis kelamin adalah tidak diketahui; akan tetapi, penjelasan yang mungkin melibatkan perubahan dalam proses adaptasi otak terhadap hiponatremia. Estrogen muncul untuk merubah fungsi dari Na+/KATPase dalam otak tikus, yang mana bisa merubah mekanisme kompensasi otak terhadap hiponatremia. Beberapa agen yang turut campur tangan dengan konsentrasi urin pada duktus pengumpul, termasuk litium dan demeclocycline, yang digunakan untuk mengatur hiponatremia kronik. Antagonis ADH dan pengaturan urea sebagai diuretik osmotik adalah di bawah penelitian, walaupun pengetahuan tambahan adalah diperlukan.

Pengobatan cepat bagi hiponatremia bisa menyebabkan myelinolisis potine sentral. Pengawasan hiponatremia melibatkan eliminasi dari kondisi yang mendasari bila mungkin (contoh, hentikan prostat transuretral secepat mungkin). Penggunaan normal saline (308 mOsm/L) sendiri bisa mengakibatkan hiponatremia bertambah parah, tergantung pada serum penderita dan osmolalitas urin. Koma berat atau kejang bisa diatasi dengan satu atau lebih pendekatan: 30% saline hipertonik (513 mEq/L), restriksi cairan, atau furosemid. Penyebab utama yang mengakibatkan hiponatremia post operasi adalah sekresi SIADH (Tabel 46-5). Tabel 46-5 Penyebab Pseudohiponatremia (osmolalitas normal) Hiponatremia dengan peningkatan osmolalitas efektif Hiponatremia sebenar dengan osmolalitas efektif normal Hiponatremia sebenar dengan edema (kelebihan sodium): osmolalitas efektif rendah Hiponatremia sebenar dengan edema (kehilangan sodium): osmolalitas efektif rendah Hiponatremia dengan normal atau pengembangan volume arterial efektif Sekresi Sindrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH), intoksikasi air disebabkan oleh polidipsia primer, kelebihan air pada gagal ginjal lanjut, penyakit vaskuler atau penyakit inflamasi ginjal Pengurangan hantaran sodium ke segmen dilusi Hipernatremia Hipernatremia didefinisikan sebagai peningkatan dalam konsentrasi sodium Kelaparan;mixedema? Gama-globulin, litium, trishydroxmethylaminomethane (THAM) Penyakit jantung kongestif, sindrom nefrotik, sirosis hepatis, edema idiopatik, hipoalbuminemia disebabkan oleh malnutrisi Pembuangan renal atau extrarenal Hiperglikemia, akumulasi manitol Penyebab utama hiponatremia Mekanisme Hiperlipidemia, hiperproteinemia

ekstraseluler dan bisa ditemani oleh adanya rendah, normal atau tingginya kandungan sodium total tubuh. Penyebab utama dari hipernatremia adalah kelebihan air hilang, intake air yang tidak mencukupi, kekurangan ADH, atau kelebihan intake sodium (contoh, dengan larutan yang mengandung konsentrasi sodium tinggi seperti sodium bikarbonat). Diabetes insipidus bisa diakibatkan dari defisiensi vasopresin atau

ketidakmampuan ginjal untuk mengproduksi hipertonik medula interstitium. Diabetes insipidus dicirikan oleh produksi volume besar dari urin dilusi. Defisiensi vasopresin ini dikenal sebagai sentral diabetes insipidus dan merupakan kelainan endokrin. Defisiensi vasopresin terlihat setelah operasi pituitari, fraktur tengkorak dasar, dan cedera kepala berat. Sebaliknya, nefrogenik diabetes insipidus bisa terjadi jika ginjal tidak bisa menghasilkan hipertonik medula interstitium dan merupakan ketidakmampuan untuk mengkonsentrasi urin. Nefrogenik diabetes insipidus boleh diakibatkan oleh mana-mana penyakit sistemik atau ginjal yang merusak fungsi tubular. Pada sentral diabetes insipidus atau nefrogenik, penderita kehilangan kadar air dalam tubuh secara bermakna dalam tempoh waktu yang singkat, di mana bisa menyebabkan hipovolemia yang sangat dalam jika penderita tidak mempunyai akses air yang mencukupi. Kira-kira 50% penderita dengan sentral diabetes insipidus diklasifikasi mempunyai penyakit idiopatik. Kondisi ini dipikirkan menjadi penyebab dari proses autoimun yang mempengaruhi respon hipotalamus terhadap hipertonisitas. Penderita dengan nefrogenik diabetes insipidus ditandai dengan peningkatan level vasopresin dalam plasma karena hiperosmolalitas yang bermakna dalam plasma. Sel tubular renal bisa bertindak balas buruk terhadap efek vasopresin untuk berbagai alasan. Contohnya, obstruksi uretral atau penyakit kista medula menyebabkan pengurangan sensitivitas terhadap vasopresin. Pelbagai agen farmakologis merusak kemampuan vasopresin yang mempengaruhi transpor air (Tabel 46-6) dan berakibat kepada nefrogenik diabetes insipidus.

Tabel 46-6 Litium Foskarnet Glyburide

Obat yang menyebabkan nefrogenik diabetes insipidus

Demeclocycline Metoksifluran Amfoterisin B

Penderita dengan output urin terus-menerus lebih dari 100mL/jam, yang mengembang hipernatremia perlu dievaluasi untuk diabetes insipidus dengan menentukan osmolalitas urin dan serum. Jika osmolalitas urin adalah kurang dari 300mOsm/L dan sodium serum melebihi 150 mEq/L, diagnosis diabetes insipidus adalah disarankan. Pada penderita dengan sentral diabetes insipidus, 1deamino-8-Darginin vasopresin (DDAVP), analog vasopresin juga dikenal sebagai desmopresin

asetat, bisa diatur untuk mengkoreksi kekurangan vasopresin. Penyebab yang mendasari nefrogenik diabetes insipidus perlu ditemukan dan diterapi jika mungkin. Dengan adanya mekanisme haus yang tidak rusak, sedikit peningkatan dalam konsentrasi sodium serum (contoh: 3-4 mmol/L) diatas nilai basal menyebabkan rasa sangat haus. Kekurangan rasa haus dengan adanya hipernatremia di dalam otak harus berjaga-jaga bahwa penderita diindikasikan terjadi defek dalam osmoreseptor atau pusat rasa haus di kortikal. Tanda objektif hipernatremia yang biasa adalah letargi atau perubahan status mental, di mana bisa berlanjut kepada koma dan konvulsi. Tanda dan gejala tambahan dari hipernatremia termasuk haus, syok, edema periferal, mioklonus, asites, tremor otot, kram otot, reflek hiperaktif, efusi pleura, dan peningkatan volume cairan intravaskular. Dengan hipernatremia akut dan berat, peralihan osmotik air dari sel menyebabkan pengunduran usia dari otak dengan robeknya pembuluh meningeal dan perdarahan dalam otak. Pengembangan hipernatremia secara perlahan selalunya dapat ditolerir dengan baik karena kemampuan otak untuk mengatur volumenya. Pengobatan melibatkan penyimpanan kembali osmolalitas normal dan volume, termasuk membuang sodium yang berlebihan dengan pengaturan diuretik dan cairan kristaloid hipotonik, melalui penentuan dan pembuangan cairan atau melalui beberapa kombinasi dari pendekatan ini. Kecepatan dari koreksi tergantung kadar pengembangan hipernatremia dan gejala yang berhubungan. Karena hipernatremia kronik adalah ditolerir baik, koreksi cepat tidak memberikan keuntungan dan bisa bertambah buruk atau lethal karena bisa berakibat edema otak. Secara tipikal, maksimun dari 10% konsentrasi sodium dalam serum, atau kira-kira 0.7 mmol/L per jam, harus menjadi kadar sasaran untuk koreksi. Hipernatremia meningkatkan kadar minimum alveolar concentration dari agen anestetik inhalasi, dimungkinkan karena peningkatan kendali sodium semasa depolarisasi dari perangsangan membran (Tabel 46-7). Tabel 46-7 Penyebab Kerusakan pusat rasa haus Larutan (osmotik) diuresis Kehilangan air berlebihan: renal Kehilangan air berlebihan: ekstrarenal Kelainan gabungan Penyebab utama hipernatremia Mekanisme Koma, hipernatremia essensial Pemberian manitol, diabetik ketoasidosis, koma hiperosmolar nonketotik Pituitary diabetes insipidus, nefrogenik diabetes insipidus Keringatan Koma dengan pemberian makanan nasogastrik hipertonik

FISIOLOGI POTASIUM/KALIUM Potasium adalah ion positif yang paling banyak di dalam cairan intraseluler. Dalam jangka pendek (minit), keseimbangan potasium adalah dipengaruhi oleh insulin, pH, agonis -adrenergik dan konsentrasi bikarbonat. Pengaturan jangka panjang dari eksresi potasium dan keseimbangan awal melibatkan ginjal dan aldosteron. Beberapa faktor menyebabkan konsentrasi potasium rendah kepada rata-rata 0.4-0.5 mEq/L bila terukur dengan sampel heparinisasi arterial berbanding dengan sampel pembekuan vena. Peningkatan dalam intake potasium meningkatkan eksresi potasium renal melalui pelbagai mekanisme seluler. Dalam respon terhadap peningkatan level potasium ekstraseluler, aldosteron disekresikan dari zona glomerulosa kelenjar adrenal dan beraksi dengan duktus pengumpul kortikal terhadap peningkatan sekresi potasium ke dalam cairan tubular dan juga peningkatan eksresi potasium. Banyak efek terlihat semasa perubahan dalam kadar normal potasium disebabkan oleh kepentingan potasium dalam membran potensial sel. Potasium adalah kation utama intraseluler, dengan lebih 98% dari potasium tubuh ditemukan di antara cairan intraseluler. Dalam keadaan istirahat, konduksi membran sel adalah lebih tinggi untuk potasium dibanding sodium. Peningkatan konduksi ini menyebabkan potensial transmembran mendekati kepada nilai potasium (-90mV). Perubahan dalam konsentrasi potasium ekstraseluler merubah membran potensial istirahat, di mana bisa menyebabkan sel menjadi tidak berespon atau lebih berespon terhadap peralihan sodium ke dalam sel. Tinggi atau rendahnya kadar potasium bisa berakibat dalam masalah lethal secara potensial pada perangsangan jaringan, terutamanya jaringan kardiak. Banyak faktor yang mengatur untuk mempertahankan gradiensi normal potasium transmembran. Enzim transeluler yang paling penting terlibat dalam pengaturan potasium adalah Na+/KATPase yang mana mempertahankan gradiensi transeluler. Agen -adrenergik meningkatkan aktivitas dari Na+/KATPase melalui pengikatan pada reseptor permukaan sel, dan dengan itu menghubungkan transpor potasium kepada sistem saraf simpatik. Insulin menyebabkan banyak sodium masuk ke dalam sel melalui antiporter- Na+/H+, di mana pengurangan konsentrasi proton intraseluler. Peningkatan sodium mesti dibuang dalam pertukaran dengan potasium. Syok bisa memberi kesan buruk pada aktivitas Na+/KATPase dengan membatasi jumlah ATP yang tersedia untuk transpor ion karena peralihan aktivitas anaerobik. Transpor potasium adalah dipengaruhi oleh pH. Tubuh menggunakan potasium dengan mengurangi ion hidrogen ekstraseluler yang berlebihan dengan memindahkan potasium

11

luar sel dan ion hidrogen ke dalam sel. Asidemia bisa menjadi hiperkalemia dengan memindahkan potasium luar sel. Kebutuhan potasium bervariasi dengan usia dan pertumbuhan. Bayi membutuhkan 2-3 mEq/kg/hari, sedangkan dewasa menggunakan 1.0-1.5 mEq/kg/hari. Kebutuhan potasium adalah berhubungan dengan kadar metabolik (2.0 mEq/100kkal). Dengan pertimbangan ini, kebutuhan meningkat secara dramatis semasa pertumbuhan sel setelah penubuhan nutrisi pada individu yang kelaparan sebelumnya. Kadar potasium yang tinggi atau rendah secara ekstrim bisa mengancam jiwa. Hipokalemia Hipokalemia (<3.5 mEq/L) bisa terjadi karena defisiensi absolut dan distribusi kembali ke dalam ruang intraseluler. Pengurangan dalam potasium serum dari 1 mEq/L diindikasi kehilangan bersih dari 100-200 mEq potasium pada dewasa normal. Hipokalemia dalam batas 2-2.5 mEq/L, biasanya menyebabkan kelemahan otot, aritmia, dan abnormalitas elektrokardiograf termasuk sagging segmen ST, depresi gelombang T, dan elevasi gelombang U. Perubahan bentuk ini tidak berhubungan dengan tingkat keberatan hilangnya potasium. Akan tetapi, disritmia jantung adalah lebih mudah diramal dan selalu melibatkan atrial fibrilasi dan prematur ventrikular sistol. Empat penyebab hipokalemia yang umum adalah termasuk kekurangan intake, kehilangan gastrointestinal, kehilangan potasium renal yang berlebihan (contoh, dengan kelebihan mineralkortokoid atau diuretik), dan peralihan potasium dari ekstraseluler ke cairan intraseluler. Peralihan ini bisa terjadi dengan alkalosis akut, terapi insulin, stres yang berhubungan dengan aktivitas katekolamin, dan paralisis periodik hipokalemik. Stres operasi bisa mengurangi konsentrasi potasium serum melalui 0,5 mEq/L, pengaturan katekolamin eksogen seperti isoproterenol, terbutalin, epinefrin, dan ritodrin juga mengurangi kadar potasium. Secara klinis, ini termasuk penderita hamil dengan terapi tokolitik atau pengobatan pernafasan dengan 2-agonis dan penderita yang sakit kritis memerlukan dukungan kardiovaskular farmakologis. Tiada studi yang mendemontrasikan peningkatan morbiditas dan mortalitas untuk penderita yang di bawah pengaruh anestesi dengan kadar potasium paling kurang 2.6 mEq/L. Walaupun, pemberian suplemen KCl adalah umun dilakukan untuk anestesiologis, studi mendemonstrasikan bahwa banyak terapi instan adalah tidak efektif, dengan kebanyakan suplemen potasium yang diekresi dalam urin malahan meneruskan hipokalemia. Jika terapi adalah diindikasikan, ahli anestesi menggunakan KCl intravena. Karena kadar pemberian potasium harus diatur untuk kadar distribusi melalui ruang ekstraseluler sebelum masuk ke dalam ruang intraseluler, kadar pemberian potasium adalah dibatasi kepada 0.5-1.0 mEq/kg/jam. Kadar penggantian

tipikal adalah 10-20 mEq/jam untuk dewasa normal dengan pengaturan konstan elektrokardiogram (Tabel 46-8).

Tabel 46-8 Penyebab

Penyebab utama hipokalemia Mekanisme Anoreksia nervosa, kelaparan, alkoholisme, kelebihan mineralokortikoid (hiperaldosteronisme primer dan sekunder)

Intake tidak mencukupi

Kehilangan renal berlebihan Bartters syndrome; diuresis: diuretik dengan pre-late distal locus diuresis, alkalosis metabolik kronis; impermeant anion antibiotics: karbenisilin, penisilin, nafsilin, atau tikarsilin; asidosis tubular renal; hipomagnesemia; leukemia mielomonositik Kehilangan gastrointestinal Peralihan dari cairan ekstrasel ke cairan intrasel dengan perubahan keseimbangan potasium interna Hiperkalemia Hiperkalemia (>5.5 mEq/L) bisa terjadi pada tingkat penyakit yang pelbagai, sebagai respon terhadap obat yang mengurangi ekskresi potasium renal (Tabel 46-9), atau setelah peralihan potasium transeluler tiba-tiba dari intrasel ke ekstrasel. Kemungkinan lethal terjadi dari hiperkalemi semasa anestesia bisa terjadi dengan perfusi kembali dari pembuluh darah besar setelah waktu iskemia (selalunya lebih dari 4 jam). Iskemi menyebabkan asidosis secara bermakna pada area yang terkena, di mana menyebabkan aliran keluar potasium intrasel. Bila area diperfusi kembali, tubuh menerima sejumlah besar potasium bolus yang tidak bisa didistribusi kembali dengan cukup secara cepat, mengakibatkan kemungkinan fatal hiperkalemia. Tabel 46-9 Obat-obatan penyebab hiperkalemia Muntah, diare khususnya diare sekresi, adenoma villus 2-agonis, alkalosis akut, paralisis periodik hipokalemi, terapi insulin, terapi vitamin B12, kelebihan litium

13

Amilorid Antagonis angiotensin II Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors Pentamidin Spironolakton Suksinilkolin Triamteren Trimetoprim

Keadaan atau obat apapun mengakibatkan hambatan adrenal atau pengurangan kadar aldosteron bisa menyebabkan retensi potasium. Kenyataannya, hiperkalemia harus juga dipertimbangkan dalam diagnosis differensial dan terjadi respon lisis dari komponen sel dari darah. Hiperkalemia bisa dipisahkan kepada proses akut atau kronis. Hiperkalemia akut bisa terjadi dalam berbagai keadaan dan selalunya adalah ditolerir secara jelek berbanding hiperkalemia kronik. Penyebab hiperkalemia kronik yang umum terjadi dengan anestesia adalah gagal ginjal. Penderita dibawah pengaruh anestesi, walaupun dengan peningkatan secara moderat konsentrasi potasium (>5.5 mEq/L) harus mempunyai penilaian elektrokardiograf bagi menentukan tingkat keparahan hiperkalemia. Secara klinis, hiperkalemia bisa menyebabkan kelemahan otot dan malah kelumpuhan. Perubahan dalam inisiasi dan konduksi dari konduksi jantung meningkat secara otomatis dan meningkatkan repolarisasi. Peningkatan kecil kadar potasium (6-7 mEq/L) bisa hadir dengan puncak gelombang T dan bisa berkembang kepada pemanjangan interval PR, perluasan kompleks QRS, fibrilasi ventrikular, atau malah asistole sebagai kadar pendekatan 10-12 mEq/L. Pengobatan klinis hiperkalemia ditentukan oleh pengaturan dan adanya perubahan elektrokardiograf; ia melibatkan stabilisasi jantung dari efek potasium dengan kalsium intravena dan redistribusi potasium dari plasma ke dalam sel. Sebagai tambahan kepada kalsium, glukosa intravena, insulin, bikarbonat, dan hiperventilasi adalah terapi utama yang digunakan dalam pengaturan kamar operasi. 10 unit insulin, pemberian dengan dektrosa, kadar potasium serum rendah di antara 10-20 minit, dan efek akhir 4-6 jam. Pertukaran resin, dialisis, diuretik, agonis aldosteron, dan agonis -adrenergik adalah terapi tambahan yang baik (Tabel 46-10). Tabel 46-10 Mekanisme Pseudohiperkalemia Penyebab utama hiperkalemia Penyebab Sampel lisis, masalah teknikal

Perubahan keseimbangan potasium interna Perubahan keseimbangan potasium eksterna

Asidosis, defisiensi insulin, hipoaldosteronisme, hipertemia maligna, paralisis periodik, nekrosis sel Obat-obatan, termasuk suksinilkolin, digitalis, dan penghambat non selektif Meningkatnya uptake oleh terapi penggantian; transfusi; antibiotik yang mengandung garam potasium Berkurangnya ekskresi oleh penyakit ginjal; hipoaldosteronisme; obat termasuk heparin, amilorid, triamteren, spironolakton, obat-obatan nonsteroid, Angiotensin-converting enzyme inhibitors, dan antagonis reseptor angiotensin

FISIOLOGI KALSIUM Kalsium adalah komponen utama yang memperantarai konraksi otot; eksokrin, endokrin, dan sekresi neurokrin; pertumbuhan sel; dan transpor dan sekresi cairan dan elektrolit. Kira-kira 1300 g kalsium dalam 70 kg dewasa, di mana 99% adalah di dalam tulang dan gigi. Ginjal adalah organ utama yang bertanggungjawab mengatur kalsium di antara 4.5-5 mEq/L. Kalsium paling banyak terdapat dalam susu dan produk susu, adalah diabsorpsi secara jelek oleh usus, dan diekskresi paling utama dalam feses dan urin. Sirkulasi kalsium muncul dalam tiga bentuk: terikat pada protein plasma (paling utama albumin) dan tidak difiltrasi oleh kapiler glomerular (40%); terionisasi, secara fisiologi aktif, difiltrasi di membran glomerular, dan dipertahankan konsentrasinya pada 2.0-2.5 mEq/L (50%); dan tidak terionisasi dan terikat dengan fosfat, sulfat dan sitrat (10%). Karena perubahan dalam pH merubah fraksi dari kalsium yang terikat kepada albumin, kadar dari kalsium terionisasi bisa berubah tanpa perubahan kalsium total. Kebanyakan kalsium difiltrasi adalah diabsorpsi kembali di tubulus proksimal, segmen asenden loop of Henle, dan tubulus distal. Karena kalium penting dalam hampir-hampir semua fungsi seluler, konsentrasi intrasel dan ekstraselnya adalah dikontrol dengan ketat. Energi dihabiskan untuk mengepam kalsium intrasel keluar dari sitosol ke dalam retikulum sarkoplasma atau ekstrasel. Seperti potasium, ketika syok dan kehabisan energi intrasel, kalsium terakumulasi di antara sel dan menjadi terpostulasi untuk memfasilitasi kematian sel. Konsentrasi protein serum adalah sangat penting menentukan konsentrasi ion kalsium. Kalsium terionisasi bisa diukur secara langsung dengan menggunakan elektroda spesifik untuk kalsium. Bila kalsium terionisasi tidak bisa diukur, perkiraan jumlah kalsium yang terikat kepada protein adalah diberikan oleh persamaan berikut:

15

Kalsium terikat protein (%) = 0.8 x Albumin (g/L) + 0.2 x Globulin (g/L) + 3 Kadar kalsium plasma juga mesti dievaluasi dengan hati-hati mempertimbangkan konsentrasi albumin plasma. Untuk menganggar kalsium terionisasi pada penderita dengan protein serum subnormal, koreksi 1 mg/dL adalah ditambah kepada kalsium serum untuk setiap 1 g/dL yang albumin serumnya adalah di bawah 4.0 g/dL. Contohnya, jika kalsium serum adalah 7.8 g/dL (nilai subnormal) dan albumin serum adalah hanya 3.0 g/dL, keadaan kalsium serum adalah dikoreksi dengan menambahkan 1 mg/dL; maka nilai koreksi 8.8 g/dL adalah dalam nilai normal. Dalam beberapa minit, sedikit berkurangnya konsentrasi kalsium ekstraseluler, kelenjar paratiroid melepaskan horman paratiroid, di mana peningkatan reabsorpsi kalsium pada segmen asenden loop of Henle dan tubulus distal, pengurangan ekskresi kalsium. Eksisi kelenjar paratiroid mengeliminasi sekresi hormon paratiroid, di mana homeostasis kalsium terganggu secara bermakna. Kalsitonin, diproduksi di dalam kelenjar tiroid, mengurangi reabsorpsi kalsium renal secara akut tetapi mempunyai sedikit efek pada homeostasis kalsium kronik. Operasi pembuangan kelenjar tiroid mengeliminasi kalsitonin tanpa mengubah konsentrasi ion kalsium ekstrasel. Tulang bertindak sebagai perantara kalsium utama tubuh. Bila kelenjar paratiroid melepaskan hormon paratiroid dalam responnya terhadap kekurangan kadar kalsium, reabsorpsi tulang adalah beruntung, dan kalsium dilepaskan. Vitamin D meningkatkan absorpsi kalsium daripada traktus gastrointestinal, dan bertindak sebagai potensiasi oleh hormon paratiroid. Hiperkalsemia Hiperkalsemia adalah berhubungan dengan banyak proses penyakit dan mempunyai banyak tanda dan gejala. Hiperkalsemia ringan sampai sedang (11-14 mg/100mL) selalu tidak mempunyai gejala, tapi bila kadarnya mencapai 15 mg/100mL, perubahan klinis menjadi lebih biasa. Hiperkalsemia memproduksi perubahan utama dalam sistem saraf sentral (contoh, perubahan status mental), traktus gastrointestinal (contoh, muntah), ginjal (contoh, poliuri, kalkuli renal, oliguri, gagal ginjal), dan jantung (contoh, gangguan konduksi jantung). Sekarang, hiperkalsemia adalah biasanya terdiagnosa pada penderita asimptomatik, sedangkan bentuk klinis sebelumnya adalah manifestasi awal. Kemungkinan penyebab hiperkalsemia termasuk terapi diuretika tiazid, keganasan, atau adenoma hormon paratiroid. Pengobatan yang diperlukan termasuk diuresis dan pemberian normal saline untuk mendilusi kalsium plasma. Pengobatan utama ini juga berguna karena sodium menghambat reabsorpsi kalsium

renal. Terapi tambahan termasuk bisfofonat, kalsitonin, ambulasi, dan pengobatan keadaan yang mendasari. Keadaan tertentu, termasuk berbagai kanker yang berhubungan dengan hiperkalsemia, bisa diobati dengan agen pengurang kalsium seperti mitramisin dan glukortikoid. Pengaturan anestesi penderita dengan hiperkalsemia harus melibatkan pertahanan dari hidrasi dan output urin dengan cairan mengandung sodium. Pengawasan penderita dengan elektrokardiogram adalah berguna untuk mendeteksi kelainan konduksi jantung dengan memendeknya PR atau QT interval, dengan atau tanpa perluasan kompleks QRS. Penderita dengan kelemahan otot harus menerima dosis pelumpuh otot nondepolarisasi yang dikurangi (Tabel 46-11). Tabel 46-11 Penyebab Terkait peratiroid Penyebab utama hiperkalsemia Mekanisme Hiperparatiroidisme primer, termasuk adenoma soliter dan keganasan endokrin multipel; terapi litium; familial hiperkalsemia hipokalsiurik Terkait vitamin D Intoksikasi vitamin D; hiperkalsemia idiopatik pada bayi; meningkat dalam 1,25 (OH)2D; sarkoidosis dan penyakit granulomatous lain Berhubungan dengan turnover tulang tinggi Terkait keganasan, termasuk hubungan dengan gagal ginjal Hipertiroidisme, immobilisasi, tiazid, intoksikasi vitamin A Tumor solid dengan metastasis, tumor solid dengan mediator humoral hiperkalsemia, keganasan hematologis, hiperparatiroidisme sekunder berat, intoksikasi aluminium, milk-alkali syndrome

Hipokalsemia Dalam ruang operasi, hipokalsemia adalah biasanya banyak disebabkan oleh hiperventilasi akut atau infus darah sitrat yang melebihi dari 1.5 mL/kg/min. Kebanyakan penyebab hipokalsemia (konsentrasi plasma kurang dari 4.5 mEq/L) pada penderita rawat inap adalah kadar albumin rendah, seperti pada penderita yang sakit kritis dengan sepsis berat, terbakar, atau gagal ginjal akut dan pada penderita setelah transfusi ekstensif. Banyak penderita yang sakit kritis mempunyai albumin plasma rendah dan kadar kalsium plasma rendah dengan kadar kalsium terionisasi normal. Tidak ada alasan untuk mengkoreksi defisiensi kalsium, tapi keseluruhan nutrisi harus diperbaiki. Tanda dan gejala utama hipokalsemia termasuk perubahan status mental, tetani, tanda positif Chvostek dan Trousseau, spasme laring, hipotensi, dan disritmia. Penilaian elektrokardiograf harus menunjukkan pemanjangan interval QT atau malah blok jantung pada kasus berat. Pengobatan melibatkan infus intravena dari 10%

17

kalsium klorida (1.36 mEq/L) atau kalsium glukonat (0.45 mEq/L). Bila dosis kalsium yang sama diberikan, kedua persiapan adalah sama efektif untuk menyimpan kadar kalsium normal (Tabel 46-12).

Tabel 46-12 Penyebab

Penyebab utama hipokalsemia termasuk keadaan neonatus Mekanisme Hipoparatiroidisme herediter, hipoparatiroidisme didapat, hipomagnesemia Kurangnya vitamin D aktif: kurangnya intake atau kurangnya cahaya matahari; metabolisme terapi antikonvulsan yang tidak sempurna; vitamin D-dependent rickets type I

Tiada hormon paratiroid Tidak efektifnya hormon paratiroid

Pseudohiperparatiroidisme Tertewasnya hormon paratiroid

Vitamin D tidak efektif: malabsorpsi intestinal; vitamin D-dependent rickets type II Hiperfosfatemia akut, berat; lisis tumor, gagal ginjal akut, rhabdomyolisis; osteitis fibrosa setelah paratiroidektomi

Bila hipokalsemia disebabkan oleh volume infus yang besar dari saline isotonik (seperti yang terlihat semasa resusitasi pada syok), ia mungkin ditemani oleh hipomagnesemia. Hipomagnesemia bisa karena rusaknya tindakan vitamin D dan lambatnya koreksi dari hipokalsemia postresusitasi. Kadar magnesium harus diperiksa dan dikoreksi bila perlu. FISIOLOGI MAGNESIUM Magnesium sulfat telah digunakan selama banyak tahun di atas dasar empirik untuk mengawal konvulsi pada penderita dengan preeklampsi toksemia. Ion magnesium adalah dibutuhkan untuk banyak reaksi biokimia, dan kekurangannya bisa menghasilkan akibat penting secara klinis. Banyak sifat farmakologis hanya baru-baru ini telah dihargai. Magnesium diekskresi melalui traktus gastrointestinal dan ginjal. Total magnesium tubuh adalah hampir 2000 mEq. Magnesium ini adalah kation keempat terpenting di dalam tubuh dan merupakan kation intraseluler kedua terpenting. Magnesium mengaktifkan hampir 300 sistem enzim, termasuk banyak terlibat dalam

metabolisme energi. Ia dibutuhkan untuk memproduksi dan memerankan adenosin trifosfat, di mana fungsi penuh hanya bila diubah kepada magnesium. Proses lain yang tergantung pada magnesium termasuk produksi DNA, RNA, dan sintesis protein. Magnesium dibutuhkan untuk mengatur kemasukan kalsium ke dalam sel dan aksi kalsium di dalam sel. Magnesium memainkan peran penting dalam mengatur kebanyakan fungsi sel dan mungkin dianggap sebagai fisiologis alami antagonis kalsium. Hipomagnesemia Dengan tiadanya magnesium dalam makanan, ginjal mampu mengurangi ekskresi secara bermakna; tapi, hipomagnesemia adalah biasa pada penderita rawat inap, khususnya mereka yang dalam perawatan kritis, dan dimanifestasi bersama dengan ditemukan hipokalsemia. Sedikit hipomagnesemia terjadi pada olahragawan, dalam keadaan hipermetabolik seperti kehamilan, dan semasa penyesuaian dingin. Magnesium yang disimpan bisa menghilang pada penderita yang dibawah terapi diuretik jangka panjang atau penderita dengan diare kronis. Ingesi alkohol kronis menyebabkan kehilangan magnesium secara bermakna, dan kebanyakan pencandu alkohol yang dirawat inap mengalami kadar magnesium rendah. Defisiensi magnesium sendiri atau dalam kombinasi dengan diuretik menyebabkan hipokalemia dan digitalis menyebabkan aritmia bisa merespon terhadap terapi magnesium. Ia adalah seperti penderita yang teranestesi dengan defisiensi magnesium meningkatkan risiko aritmia perioperatif. Kekuatan otot pernafasan dirusak oleh hipomagnesemia, di mana bisa mengalami akibat klinis yang penting untuk anestesi dan perhatian kritis. Manifestasi tambahan termasuk iritabilitas sistem saraf pusat dengan kejang dan hiperrefleksia dan spasme otot skeletal (tanda positif Trousseau dan Chvostek). Pengobatan termasuk magnesium sulfat (1-2 mEq/kg), di mana harus diberi di atas 8-12 jam dengan pengukuran dan ramalan secara hati-hati kadar elektrolit. Pada aritmia akut, magnesium bisa diberikan dengan dosis 8-12 mmol/L (200-300 mg) intravena di atas 1-5 minit dengan pengawasan tertutup tekanan darah dan denyut jantung. Tekanan arterial, refleks tendon dalam, dan konsentrasi magnesium harus diawasi semasa penggantian asimptomatik dan mengancam jiwa. Pada penderita asimptomatik dengan hipomagnesemia ringan, penggantian oral adalah dipilih. Lebih jauh dari teori berisiko defisiensi magnesium dan memblok neuromuskular, kritikal klinis hipomagnesemia penting adalah berhubungan dengan keadaan dan proses patofisiologis berasosiasi dengan pengaturan keadaan ini (Tabel 46-13). Tabel 46-13 Penyebab Penyebab utama hipomagnesemia Mekanisme

19

Gangguan nutrisi primer Kelainan gastrointestinal

Intake tidak mencukupi; total nutrisi parenteral: refeeding syndrome Defek absorpsi spesifik; sindrom malabsorpsi; diare berkepanjangan; penyedotan nasogastrik berkepanjangan; pankreatitis

Kelainan endokrin

Hiperparatiroidisme; hipoparatiroidisme; hipertiroidisme; hiperaldosteronisme primer; Bartter syndrome; diabetes atau alkoholik ketoasidosis; pemberian epinefrin; Sindrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH); hungry bone syndrome setelah paratiroidektomi

Alkoholisme kronis, pengeluaran alkoholik, peningkatan ekskresi renal

Ingesi etanol; idiopatik; setelah transplantasi ginjal; obatan seperti sisplatin, aminoglikosida, amfoterisin B, diuretika, pentamidin, dan teofilin; fase penyembuhan nekrosis tubular akut; terapi faktor rangsangan koloni

Hipermagnesemia Hipermagnesemia (>2.5 mEq/L) banyak terjadi basanya dari penyebab iatrogenik dan penggunaan berlebihan antasida atau laksatif. Ia adalah jarang dalam kedokteran klinis, karena magnesium adalah berhubungan buruk dengan absorpsi dari traktus gastrointestinal dan eliminasi renal dari kelebihan magnesium adalah terlalu cepat (dalam 4-8 jam muatan magnesium). Karena eliminasi adalah secara langsung berhubungan dengan kecepatan filtrasi glomerular, penderita dengan gagal ginjal adalah berisiko tinggi mengembangkan hipermagnesemia. Tanda dan gejala adalah secara langsung berhubungan dengan kadar darah dan termasuk perubahan dalam saraf, kardiovaskular, pernafasan, dan sistem genitourinarius. Magnesium menekan sistem saraf sentral dan, pada awal 1900, telah digunakan secara efektif sebagai anestesi umum. Magnesium berpenetrasi ke dalam blood brain barrier secara jelek, tapi kadarnya di dalam cairan serebrospinal dikontrol dengan baik oleh mekanisme transpor aktif. Magnesium mungkin tidak mempunyai sifat utama antikonvulsi kecuali konvulsi diakibatkan dari defisiensi magnesium. Ia dipercaya bahwa aktivitas antikonvulsi dari magnesium adalah berhubungan dengan kekuatan aksi vasodilasi otak yang membalik vasospasme otak, yang dipikirkan menjadi penyebab konvulsi terpenting. Pada sistem saraf perifer, magnesium mencampuri pelepasan neurotransmitter pada semua persimpangan sinaptik dan menyebabkan aksi anestesi lokal. Pada persimpangan neuromuskular, konsentrasi magnesium 5 mmol/L menyebabkan blokade neuromuskular presinaptik secara bermakna dan meningkatkan aksi pelumpuh

otot nondepolarisasi. Ia mungkin menyebabkan kelemahan otot berat pada penderita dengan sindrom Eaton-Lambert atau miastenia gravis. Magnesium memanjangkan aksi pelumpuh otot depolarisasi (seperti suksinilkolin); pemberian sebelum menggunakan suksinilkolin mencegah pelepasan potasium ditimbulkan oleh relaksan. Pada sistem kardiovaskular, magnesium menghasilkan vasodilatasi melalui aksi langsung pada pembuluh darah dan bercampur dengan lingkungan luas dari bahan vasokontriktor. Ia juga mengurangi nada pembuluh perifer melalui blokade simpatetik dan hambatan pelepasan katekolamin. Dalam jantung terisolasi, peningkatan konsentrasi ion magnesium ditandai dengan depresi tekanan kontraktil. Pengurangan kemampuan miokard harus didemontrasikan setelah bolus 2.5 g magnesium sulfat. Laporan telah dipublikasi bahwa depresi miokard berat dengan kombinasi magnesium dan diltiazem. Pada jantung yang terisolasi, magnesium menghasilkan bradikardi, tapi pada subjek yang intak, hambatan vagal asetilkolin yang terlepas diproduksi oleh magnesium yang terlebih memandu memperlahankan intrinsik, dan terjadi takikardi ringan. Magnesium adalah efektif dalam mengobati berbagai aritmia, termasuk aritmia ventrikular, torsade de pointes, aritmia berhubungan dengan pemberian epinefrin, dan digitalis terasosiasi aritmia. Ia juga efektif pada aritmia tertentu yang diinduksi oleh hipokalemia, alkoholisme, dan miokard infark dan bisa melindung melawan bupivakain yang menginduksi aritmia. Pada sistem respirasi, magnesium tidak punya efek pada respirasi pusat, dan ia hanya punya efek depresi pernafasan yang disebabkan oleh blok neuromuskular yang dihasilkannya. Ia adalah bronkodilator yang efektif dan telah digunakan secara sukses pada asma berat. Karena magnesium menghambat katekolamin-induksi aritmia, kemungkinan magnesium bisa meningkatkan efektivitas -agonis dalam pengaturan asma telah dinilai dalam trial klinis. Pada sistem genitourinarius, magnesium adalah tokolitik kuat dan telah digunakan banyak tahun dalam pengaturan prematur labor. Magnesium juga digunakan dalam obstetri untuk mencegah penderita preekslampsi dari terjadinya kejang. Studi pada binatang menunjukkan bahwa magnesium mengsupresi aktivitas tajam elektroensefalograf. Kadar terapi magnesium dalam lingkungan dari 5.0-7.0 mg/dL bila diberikan untuk preekslampsi. Bila kadar melebihi 15-20 mg/dL, depresi pernafasan bisa menjadi sangat dalam. Dalam ginjal, magnesium adalah vasodilator ginjal dan diuretik. Gejala dan perubahan elektrokardiograf dari hipermagnesemia bersamaan kadar serum; menekan konduksi kardiak, perluasan kompleks QRS, pemanjangan interval PQ, dan mual muncul diantara 5 dan 10 mg/dL. Sedasi, hipoventilasi, pengurangan refleks tendon mendalam, dan kelemahan otot muncul pada kadar di antara 20-34 mg/dL, dengan hipotensi, bradikardi, vasodilatasi difus terjadi pada kadar 24-48 mg/dL. Arefleksia, koma, dan paralisis pernafasan terjadi saat 48-72 mg/dL. Untuk

21

alasan ini, semua penderita yang diterapi dengan magnesium adalah secara klinis diobservasi untuk intoksikasi magnesium. Eliminasi magnesium melibatkan pengisian cairan diikuti oleh atau dengan diuresis konkomiten. Terapi definitif melibatkan dialisis. Kebalikkan efek magnesium yang sementara bisa diatur dengan terapi kalsium. Karena hipermagnesemia menyebabkan efek depolarisasi dan nondepolarisasi pelumpuh otot, agen ini mesti dititrasi secara hati-hati dalam persimpangan dengan ramalan yang sesuai dengan blokade neuromuskular. Dalam pemotongan efek defisiensi magnesium adalah dikenali dengan baik, dan kebanyakan unit pelayanan kritis mengatur kadar magnesium. Dalam unit pelayanan koronari, beberapa studi telah menunjukkan bahwa infus magnesium sulfat bisa mengurangi kejadian dan keparahan aritmia jantung yang berhubungan dengan miokard infark. Banyak laporan dalam sastera mendeskripsikan efek bronkodilator magnesium dan ia sukses digunakan dalam pengaturan asma. Magnesium bisa mengurangi kejadian adrenergik yang diperantarai aritmia tanpa dicampuri dengan aksi bronkodilatasi -stimulansia dan menyumbang kepada relaksasi otot polos dari bronkiolus. Dalam ringkasannya, magnesium mempunyai beberapa kepentingan aksi farmakologis. Jalan eliminasinya adalah di ginjal. Magnesium harus dianggap sebagai obat kardiovaskular, pertama dan yang terkemuka, dengan antagonis kalsium dan sifat antiadrenergik yang bisa ditemani oleh depresi miokard ringan. FISIOLOGI FOSFAT Kira-kira 1 g fosfur dimakan setiap hari. Secara umum, intakenya melampui kebutuhan metabolik. Hampir 70% (700 mg) diabsorpsi secara utama dari usus kecil, dengan sisanya (300 mg) dieliminasi ke dalam feses. Dalam tambahan kepada 1,25-(OH)2D3 (vitamin D), hormon paratiroid memfasilitasi absorpsi fosfat dari lumen usus. Usus mengsekresi fosfat ke dalam lumen dan kemudian diabsorpsi kembali, kecuali ia diikat oleh kalsium atau antasid atau ia hilang melalui diare atau drainase melalui ostomis atau fistula. Di bawah keadaan diet normal, absorpsi fosfat terjadi melalui jalan difusi paraseluler dengan sedikit pengaturan. Bila konsentrasi fosfat luminal adalah rendah, mekanisme transpor aktif sodium-dependent diaktivasi, dan fosfat tambahan diserap. Bila intake diet adalah normal, absorpsi fosfat adalah proses tidak teregulasi secara essensial. Tapi, kation seperti kalsium, magnesium, dan aluminium mengurangi absorpsi fosfat melalui pengikatan secara langsung dengan fosfat di dalam lumen usus. Ia berguna secara klinis pada gagal ginjal untuk membatasi jumlah fosfat yang diabsorpsi kembali oleh usus. Karena tidak teregulasinya secara alami absorpsi fosfat dalam usus, ginjal menjadi organ utama yang mengekskresi kelebihan fosfat. Ginjal

secara normal mengekskresi 700 mg/hari melalui penapisan 6 g dan reabsorpsi 5.3 g. Pengeluaran fosfat melalui urin hampir sama dengan absorpsi intestinal. Fosfat menyimpan dan melepaskan energi melalui ikatan fosfat berenergi tinggi dan adalah struktur penting protein, lipid dan tulang. Fungsi tulang adalah sebagai reservoir utama fosfat dan kalsium dalam tubuh. Bila tubuh memerlukan lebih kalsium, tulang terpecah untuk melepaskan kalsium untuk kegunaan tubuh. Sebagai tambahan terhadap kalsium, jumlah fosfat secara bermakna adalah juga dibebaskan. Keseimbangan ini diatur oleh proses regulasi yang didiskusikan dalam bagian sebelumnya. Faktor sokongan dalam uptake seluler termasuk glukosa, fruktosa, alkalosis, insulin, stimulasi -adrenergik, dan anabolisme. Fosfat terjadi dalam bentuk organik dan inorganik. Plasma mengandung fosfat lipid, fosfat ester organik, dan inorganik fosfat, termasuk divalen (HPO42-) dan monovalen (H2PO4-) fosfat. Pada pH fisiologis, 80% dari fosfat inorganik adalah divalen. Secara normal, plasma fosfat inorganik dipertahankan di antara 3.0-4.5 mg/100 ml pada dewasa dan 4.0-5.0 mg/100 ml pada anak-anak. Hormon paratiroid menghambat reabsorpsi fosfat inorganik pada tubulus proksimal dan meningkatkan ekskresi fosfat inorganik. Pada hewan, tiroparatiroidektomi, hormon paratiroid tidak ada, dan reabsorpsi fosfat inorganik meningkat secara bermakna dan akhirnya meningkatkan kadar fosfat inorganik plasma. Pada penderita dengan hiperparatiroidisme, sekresi hormon paratiroid meningkat, dan kadar fosfat inorganik dalam plasma adalah rendah; akan tetapi, keadaan stabil ekskresi fosfat inorganik urin adalah tidak meningkat karena ia tergantung secara luas pada absorpsi fosfat inorganik intestinal. Pengurangan diet fosfat inorganik menyebabkan hampir 100% reabsorpsi fosfat inorganik yang ditapis dan untuk mengurangi fosfat urin kepada nol. Hiperfosfatemia Hiperfosfatemia berat terjadi setelah kerusakan jaringan atau kematian sel. Hiperfosfatemia sedang sampai berat bisa disebabkan oleh rusaknya kemampuan ekskresi fosfat karena gagal ginjal. Sebagai gagal ginjal yang bertambah buruk dan kecepatan filtrasi glomerular jatuh di bawah 25 ml/minit, hiperfosfatemia bisa berkembang. Penyebab lain termasuk iatrogenik, hipotermia, gagal hati masif, dan keganasan hematologis tertentu berhubungan dengan turnover sel tinggi. Penambahan turnover sel bisa menjadi bagian dari keganasan atau bisa diakibatkan oleh destruksi sel bila kemoterapi dilakukan. Hipoparatiroidisme bisa menyebabkan hiperfosfatemia dengan adanya fungsi ginjal normal. Peningkatan cepat dalam fosfat serum bisa menyebabkan perkembangan hipokalsemia berat. Hipokalsemia diakibatkan oleh kurangnya produksi kalsitriol, di

23

mana secara bermakna mengurangi absorpsi kalsium di traktus gastrointestinal. Ia mungkin bisa dengan terang mempresipitasi kalsium dan fosfat, lebih lanjut mengurangi kadar kalsium serum. Bila produk kalsium fosfat melebihi 70, risiko kalsifikasi abnormal meningkat. Pengobatan melibatkan pemberian antasid yang berikatan dengan fosfat seperti aluminium antasid dan sukralfat, kalsium sitrat, atau kalsium karbonat dan bisa termasuk dialisis, khususnya pada penderita dengan gagal ginjal. Hipofosfatemia Hipofosfatemia mempunyai banyak penyebab dan menjadi berat bila kadar serum fosforus kurang dari 1mg/dl. Kondisi yang menyebabkan kadar fosfat yang rendah termasuk alkalosis respiratori yang berkepanjangan dan pengambilan seluler yang cepat. Hipofosfatemia berat dengan defisiensi yang total biasanya menggambarkan diet yang buruk atau konsumsi antasid pengikat fosfat atau keduanya. Hipofosfatemia terjadi pada keadaan alkoholisme (50% alkaholik yang di rawat inap), ketoasidosis, diuresis osmotik, asidosis, dan katabolisme. Penurunan intake dan absorpsi serta peningkatan urien adalah penyebab sering. Pada alkoholik kronik, reduksi kadar fosforus pada otot skletal terjadi karena kehilangan fosfat renal. Sindroma hipofosfatemik adalah termasuk gabungan dari kekurangan fosfat, rhabdomiolisis, kardomiopati, insufisiensi respiratorik karena kelemahan otot, disfungsi leukosit, demineralisasi, skletal asidosis metabolik, dan disfungsi sistem syaraf. Sebelum menginisiasi pengobatan, penyebab hipofosfatemia perlu diidentifikasi dengan jelas melalui pengukuran gas darah arteri dan konsentrasi ion kalsium, magnesium, kalium, dan serum serta fosforus urin. Garam fosfat seperti natrium atau kalium fosfat tersedia dalam sediaan oral atau intravena. Kadar total yang ingin didapatkan dari penambahan volume distribusi (400ml/kg) dengan kadar fosfat inorganik yang diinginkan. Kadar administrasi intravena tidakboleh melebihi 0,25 mmol/kg selama 4-6 jam untuk menghindari hipokalsemia dan kerusakan jaringan. Suplementasi oral sering dilimitasi pada 30mmol/hari (1gr/hari) karena dapat menginduksi diare. Hiperfosfatemia perlu dihindari karena bisa menyebabkan hipokalsemia dan deposit kristal pada mata, jantung, paru, pembuluh darah, dan ginjal. Kebanyakan pasien dengan hipofosfatemik seperti dengan ketoasidosis diabetikum atau sedang olahraga berat, bukanlah deplesi fosforus yang berat kecuali mereka sudah lama sakit. Mereka bisa dirawat dengan segelas susu (100mg/dl atau 33mmol/l fosforus). Setelah kadar serum fosfat normal, konsentrasi serum fosfat inorganik dan ion kalsium serta sampel urin 24 jam perlu dimonitor untuk memastikan adanya keseimbangan. Fisiologi Klorida Klorida adalah anion predominan dalam volume ECF. Hiperkloremik, asidosis

metabolik merupakan hasil dari kelebihan intake atau eksresi inadekuat karena disfungsi ginjal. Bila mengadmisiter infus pada pasien tertentu kadar garam bikarbonat, asetat, sitrat, atau fosfat perlu disubsitusikan untuk garam klorida. Kehilangan berlebihan klorida pada sekresi lambung atau urin menyebabkan alkalosis hipokloremik. Deplesi klorida cendeung melimitasi eksresi bicarbonat dan ini dapat disebabkan oleh reduksi penghantaran klorida ke tubulus pengumpul dimana klorida diperlukan untuk sekresi bicarbonat dalam penukaran klorida-bicarbonat. Reabsorpsi ditingkatan pada keadaan deplesi klorida karena umumnya berhubungan dengan deplesi volume ECF. Ketika tersedia reabsorpsi klorida yang sedikit, sejumlah fraksi natrium perlu direabsorpsi dengan bikarbonat dengan peningkatan sekresi proton60. Natrium atau kalium klorida peru diadministrasi bila terjadi deplesi volume intravaskular atau hipokalemia. Bila ini tidak bermasalah, 0,1N asam hidroklorida (HCl) perlu diadministrasi melalui kateter sentral. Dosis klorida= (Cl yang diinginkan Cl yang diukur) x 0,2 x BB (kg) Fisiologi Glukosa danPengaturan Cairan Close Monitoring Glukosa merupakan sumber energi penting, dan insulin memfasilitasi pergerakan glukosa ke dalam sel dalam suatu proses yang juga memerlukan kalium dan fosfat. Sel darah merah, luka yang sedang sembuh, otak, dan medula adrenalis memerlukan glukosa sebagai bahan bakar atau bensin dalam jumlah kira-kira 2mg/kg/min. Untuk mengkontrol glukosa darah penting dilakukan monitoring yang ketat. Strip reagen yang mengandung glukosa oksidase diukur dengan glukometer, memberikan hasil yang cepat dan reliable penting untuk mengetahui regimen insulin atau agen hipoglikemik oral bagi setiap pasien dan kemuadian mengukur glukosa darah preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif. Kerusakan pada organ, penyakit arteri koronari, adan neuropati otomomik bisa mengkontribusi pada resiko terjadinya aspirasi, miokard infark, dan neuropati periperal. Hiperglikemia Hiperglikemia (>180-200 mg/dl) sering disebabkan oleh defisiensi insulin, resistensi reseptor insulin, atau kelebihan glukosa. Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik, exaserbasi otak dan sumsum tulang, gangguan ginjal karena iskemia, delayed wound healing, dan merusak fungsi WBC. Hiperglikemi meningkatkan resiko ikterik neonatus, resiko kerusakan otak neonatus, fetal asidosis kalau fetus menjadi iskemia. Pada saat insulin yang supramaximal, orang dewasa hanya dapat menggunakan glukosa dengan rata-rata 3-5 mg/kg/min pada saat istirahat (kira-kira 240 ml/ jam dari 5% pelarut). Rata-rata maximal metabolisme sedikit dalam keadaan stres dan meningkat lebih dari rata-rata metabolik. Secara umum, rata-rata normal dapat

25

mencapai 2-3 mg/kg/min (120-180 mg/kg/min) dengan 100 gr/jam untuk 70 kg (200ml dari 5% larutan dextrose/jam) dan optimal rata-rata <5 mg/kg/min. Ini tidak jelas pada glukosa yang sangat sedikit untuk management intraoperatif pada banyak pasien. Diabetes Mellitus Diabetes melitus adalah penyakit endokrin yang dikarakteristikkan dengtan komplikasi yang sangat banyak, di mata, ginjal, syaraf dan pembuluh darah. Diabetes melitus adalh faktor resiko mayor dari penyakit jantung, stroke, gagal ginjal, kebutaan dan amputasi nontrauma. Komplikasi diabetes melitus disebakan oleh multifaktor, including glycosylation dari protein, dan reduksi glukosa sorbitol, dengan fungsi toxin jaringan. Patofisiologis ini memproses adalah penyatuan dengan penurunan konsentrasi mioinositol dan metabolisme, penurunan aktivitas K-Na-ATP. Hiperglikemia telah diselidiki sebagai faktor mayor komplikasi diabetes. Populasi pasien yang tidak homogen dan beberapa diabetic sindrom telah digambarkan.. Hampir delapan juta terdiagnosis diabetes di USA dan diantaranya tidak mengira mereka diabetes. Angka ini mencapai 10% dari semua populasi di negara itu. Patologi Diabetes dengan hiperglikemia konsekwensi dari relatif / absolut defisiensi insulin dan relatif/absolut ekses glukagon. Dalam diabetes tipe 1 merupakan defisiensi produksi insulin absolut dan tanpa insulin pasien meninggal. Pasien itu seringkali menjadi tergantung pada insulin eksogen untuk mencegah lipolisis dan seringkali ketoasidosis. Onset dari diabetes militus tipe 1 seringkali pada remaja walaupun sering terjadi di beberapa umur, dan hasil dari autoimun destruksi dari kerusakan sel pankreas. Diabetes militus tipe 2 dikarakteristikkan dengan relatif defisiensi insulin, tipe ini disebabkan oleh insulin resisten. Onset diabetes melitus tipe ini pada orang dewasa, walaupun terjadi pada rata-rata umur, onset diabetes tipe 2 meningkat. Diabetes melitus tipe 2 sering pada komunitas hererogen dengan faktor-faktor penyebab. Bagaimanapun, diabetes melitus tipe 2 sering ditemukan pada obesitas, tingkat insulin yang abnormal, komponen genetik yang kuat. Tipe ketiga dari diabetes melitus adalah diabetes melitus gestasional. Diabetes militus gestasional didefinisikan dengan derajat dari glukosa intoleran dengan onset pertama dideteksi selama kehamilan. Rata-rata komplikasi diabetes gestasional 4% dari orang hamil di USA, hasilnya sekitar 135.000 kasus. Pendeteksian klinik dari diabetes gestasional adalah penting karena terapi dan monitoring fetus antepartum dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas perinatal. Pertimbangan anestesi Karena diabetes mempengaruhi banyak sistem organ, pengaruh perioperatif dapat menjadi sangat dalam. Beberapa hal manajemen anestesi perioperatif klinis harus dipertimbangkan selama

diabetes mempengaruhi transportasi oksigen dengan menyebabkan glukosa mengikat molekul hemoglobin secara kovalen dan mengubah interaksi allosterik antara cincin beta. Perubahan pada hemoglobin normal ditunjukkan dengan penurunanan saturasi oksigen dan transpor oksigen RBC pada pasien diabetik hamil. komplikasi umum diabetes adalah disfungsi otonom. Pasien yang diabetesnya tidak terkontrol selama beberapa tahun seringkali telah merusak sistem saraf otonom. Satu studi menunjukkan bahwa pada pasien diabetik dengan dahulunya pernah didiagnosis dengan disfungsi otonom meningkatkan resikonya untuk menjadi hipotermi perioperatif. Patogenesisnya bisa saja terkait dengan regulasi yang tidak sesuai dengan vasokonstriksi perifer untuk mempertahankan panas tubuh. disfungsi otonom juga mempengaruhi kemampuan tubuh untuk meregulasi tekanan darah, menyebabkan hipotensi ortostatik. Defek yang telah ada ini disebabkan oleh kurangnya vasokonstriksi. Denervasi ini bisa juga melibatkan kontrol vagal dari kecepatan jantung. Perubahan pada kecepatan jantung terlihat dengan atropin dan beta bloker yang melemahkan pada pasien dengan disfungsi otonom. kerusakan pada sistem saraf otonom dapat secara signifikan mempengaruhi pilihan teknik anestesi. Pasien sangat berpotensi hipotensi yang disebabkan oleh induksi agen seperti tiopental atau propofol. Untuk alasan inilah, etomidat merupakan induksi yang baik karena insidensi efek samping kardiovaskulernya cukup rendah diabetes memiliki efek samping jelasa pda sistem kardiovaskuler. Seseorang dengan diabetes memiliki dua kali risikonya untuk penyakit jantung koroner. Risiko pada wanita tiga kalinya , menunjukkan kalau wanita lebih sensitif terhadap efek kardiovaskuler pada diabetes. Data menunjukkan bahwa pasien dengan diabetes bisa saja berisio tinggi untuk penyakit arteri koroner daripada yang sebelumnya dicurigai. Satu studi menunjukkan bahwa pada pasien dengan diabetes tipe 2 memiliki resiko yang sama besar untuk infark miokard dengan pasien non diabetik yang telah memiliki infark miokard sebelumnya. Informasi ini menekannkan hal bahwa pasien diabetik harus benar benar dievaluasi preoperatifnya untuk penyakit arteri koroner. Ini juga harus diingat bahwa pasien diabetes lebih cenderung memiliki iskemia tenang. Mereka bisa saja tidak mengalami nyeri dada klasik dan kesulihatan bernapas terkait penyakit jantung iskemik. Pertanyaan mengenai toleransi olahraga dan sesak napas pada saat aktifitas ringan memberikan informasi penting dalam hal penyakit jantung yang ada atau derajat kompensasinya. diabetes memperngaruhi traktus gastrointestinal pada beberapa cara. Pertama, ini merusak sel ganglion dari traktus gastrointestinal, menghambat motilitas, yang

27

memperlambat pengosongan lambung dan waktu transit keseluruhan melalui usus. Meningkatnya waktu transit ini memiliki pengaruh tertentu pada praktek anestesi pada semua pasien diabetes harus diobati seolah olah mereka kenyang. Perawatan preoperatifnya dengan agen yang menghambat sekresi dan menetralisir asam lambung perlu untuk induksi cepat yang biasanya dipakai untuk meminimalisir resiko aspirasi. Regimen kontrol glikemia perioperatif dan intraoperatif bergantung pada beberapa faktor, pertama perbedaan untuk diabetes tipe 1 dan tipe 2 sangatlah penting. Pasien dengan diabetes tipe1 berisiko untuk ketonemia jika mereka tanpa insulin. Risiko ketosisis diperkuat ketika pasien mengalami stress pembedahan. Kedua, tingkat gula darah yang secara dikontrol mempengaruhi manajemennya. Hb1Ac merupakan cara paling akurat untuk menilai kontrol glukosa selama 2 sampai 3 bulan sebelumnya. Seketika level HbA1c meningkat, juga tingkat komplikasinya meningkat. Jumlah insulin eksogen pada kebutahn pasien normal sangat penting dalam menentukan bagaimana glukosa darah harus diobati intraoperatif. Pentingnya pembedahan berperan penting dalam menentukan terapi. Ada beberapa protokol yang berbeda untuk manajemen insulin preoperatif dan intraoperatif tapi sedikit studi prospektif dibandingkan regimennya. Beberapa dari protokol umum dibahas berikut ini. Keberhasilan manajemen glukosa perioperatif bergantung pada monitoring yang baik. Manajemen perioperatif glukosa selama prosedur pembedahan singkat pada diabetesi dengan diet dikontrol biasanya melibatkan hanya monitoring gula darah segera saat perioperatif dan setiap 3 jam sampai asupan oral dapat dilakukan. Pemeriksaan fisik preoperatif dan riwayat bisa menampakkan neuropati diabetes ekstensif,yang bisa terlihat sebagai hipotensi ortostatis, episode sinkop, mononeuropati atau polineuropati, disfungsi kandung kemih dan ereksi, dan EKG yang menunjukkan hilangnya variabilitas R ke R. pasien bisa saja datang dengan beberapa penemuan tambahan, termasuk postur tubuh pendek non familial, penyakit serebrovaskuler,disfungsi renal, mikroalbuminaria, kulit kencang dan berminyak. Pada perkiraan 30 -40% pasien diabetes, glikosilasi dari persendian atlanto-oksipital dapat membatasi mobilitas persendian dan menyebabkan kesulitan dalam manajemen jalan napas(yaitu sindrom leher kaku). Evaluasi lab HbA1c merupakan ukuran akurat dari hiperglikemia berat dan menunjukkan berkaitan dengan peningkatan tingkat komplikasi. Sebaliknya Hb1Ac menurun dikaitkan dengan turunya risiko dan dapat dianggap sebagai pengukuran kualitas perawatan diabetes. Hb1Ac memberikan bukti terbaik dari kontrol gula darah keseluruhan selama 1 sampai 2 bulan dan harus menggantikan uji toleransi glukosa oral sebagai estndar baku untuk diagnosisi diabetes. Elektrolit dasar dan fungsi renal harus dievaluasi terutama jika pasien memiliki infeksi traktus urinarius berulang atau gangguan renal.

Hb1Ac preoperatif memberikan anestesiolog ide yang masuk akal mengenai level glukosa darah selama beberapa bulan sebelumnya, dan informasi ini dapat digunakan unutk mengevaluasi kebutuhan persyaratan insulin preoperatif dan intraoperatif. Regimen yang terpilih untuk mengatur diabetisi dilakukan pembedahan bergantung pada beratnya diabetes dan pentingnya dalam pembedahan. Monitoring glukosa dan persiapan unutk pemberian insulin perlu untuk pasien diabetik. Rekomendasi termasuk penghentian insulin kerja lama atau agen hipoglikemik oral 1 sampai 2 hari preoperatif. Insulin kerja pendek harus diberikan selama 4 sampai 6 jam subkutan, dengan dosis yang disesuaikan sesuai dengan level glukosanya sebelum pemberiannya. Metformin, hipoglikemik oral biguanid, juga memiliki risiko rendah kejadian asidosis laktat(0.03 kasus per 1000 pasien pertahun). Namun gambaran rendah ini, metformin tidak boleh digunakan pasien dengan bahkan disfungsi renal ringan(serum kreatinin . 1,5 mg/dL pada pasien laki laki atau . 1,4 mg/mL pada pasien wanita), gagal jantung kongestif, infark miokard yang baru atau kondisi lainnya yang menyebabkan keadaan hipoksik, penyalahgunaan alkohol, dan fungsi hati terganggu. Metformin harus dihentikan 24 jam sebelum dan setidaknya 48 jam setelah prosedur apapun yang menggunakan warna kontras intravena. Ini harus diberikan ulang hanya setelah fungsi renal evaluasi ulang an ditemukan normal. Skala sliding tipikal ditakdirkan gagal karena melibatkan pemberian dosis tetap setelah hiperglikemia diketahui. Modifikasi sedikit meningkatkan kontrol. Dosis yang diberikan setiap 4 sampai 6 jam, berdasarkan responsnya. Jika level glukosa dibawah 60 mg/dL, dosisnya harus ditahan setidaknya satujam dan 50% dekstrosa diberikan intravena(0,01 0,02 ml/kg/min), dengan glukosa darah yang dimonitor per jam. Ketika glukosa darah diatas 125 mg/dl dengan infus dekstrosa tambahan, dosis insulin selanjutnya harus 20 -40% lebih rendah. Jika glukosa kurang dari 100 atau kurang dari 125 mg/dl dan turun, dosis yang terjadwal harus dipertahankan sampai glukosa monitoring perjam diatas 125mg/dl, diikuti dengan melanjutkan lagi dengan 10 -20% dosis yang lebih rendah. Jika level glukosa nya 100-200 mg/dl dan stabil, dosis terbaru dan intervalnya dilanjutkan. Jika level glukosa adalah 200-350 mg/dl, dosis terjadwal ditingkatkan dari 10 -20%. Jika level glukosanya lebih dari 350mg/dl, dosis ditingkatkan 20-40%. Pada saat pembedahan, infus dekstorse(2mg/kg) dimulai pada saat makan makanan yang akan dicerna, dan glukosa diukur preoperatif. Untuk pasien yang baru saja mendapatkan insulin, infus insulin(0,25 unit/ml) dimulai dengan kecepatan 0,5-1,25 unit/jam, bergantung pada jumlah insulin normal yang diberikan dan level glukosa terbaru. Glukosa darah dimonitor perjam, dan kecepatan infus disesuaikan untuk mempertahankan glukosa 100-200 mg/dl. Setelah level glukosa darah stabil, level glukosa urin dan keton bodies diperiksa untuk meyakinkan glikosuria dikarenakan ambang rendah tidak membingungkan interpretasi keluaran urin.

29

Monitoring yang lebih intens dan regimen pengobatan direkomendasikan untuk pasien yang memerlukan lebih dari 50 unit/hari untuk kontrol, diabetik dengan kontrol rendah, atau pasien diabetes dengan insulin dengan pembedahan besar. Insulin kerja menengah dan panjang dihentikan, dan pasien ditatalaksanakan dengan infus insulin intravena atau insulin subkutan terjadwal perioperatif. Asupan oral harus dihentikan 12 jam sebelum anestesi karena beberapa elemen gastroparesis ada pada pasien ini. Biasanya, pasien yang diberikan penghambat histamin(H2) sepanjang dengan obat pengosong lambung seperti metoklopropamid malam sebelumnya dan pagi saat pembedahan. Karena traktus gastrointestinal merupakan target utama untuk neuropati otonom, bisa saja terjadi disfungsi esofagal dengan kesulitan menelan, konstipasi atau diare. Ketika asupan oral dihentikan, cairan pemeliharaan yang mengandung dekstrose pada 2 mg/kg/min dimulai dan harus dilanjutkan melalui prosedur ini. Glukosa diukur sebelum induksi dan perjam sampai stabil paska operatif. Keton urin diukur selama 6 jam. Infus insulin dimulai dengan kecepatan awal 1 sampai 2 unit/jam atau untuk mencocokkan jumlah yang diberikan per jam sehari sebelumnya jika kontrol baik. Pasien dengan obesitas, penyakit hati, terapi steroid, atau infeksi berat memerlukan dosis lebih tinggi. Level glukosa harus dipertahankan pada 100-200 mg/ml, dan hasil uji untuk keton harusnya negatif. Tingkat ekstrim (80 unit/jam) bisa saja diperlukan selama prosedur sangat stres(contohnya pada bypass kardiopulmoner). Ketika level glukosa masih stabil dan dalam kisaran yang diinginkan selama 3 jam, frekuensi ukuran glukosa dapat diturunkan. Pasien diberikan kontrol glukosa (, 250 mg/dl), suatu alternatif untuk infus akan dapa menahan insulin kerja pendek dan memberikan satu setengah insulin kerja menengah dan panjang pagi hari pembedahan. Sangat disarankan untuk menyediakan monitoring glukosa dan elektrolit preoperatif, intraoperatif dan postoperatif. Titrasi yang benar dari drip D5W dengan kecepatan intravena awal 75ml/jam dapat mencegah hipoglikemia dan hiperglikemia. Diabetik ketoasidosis, dehidrasi, penyembuhan luka terganggu, dan ketidakseimbangan elektrolit dapat diminimalisir dengan pemakaian tepar insulin eksogen. Tidak ada konsensus jelas mengenai metode terapi insulin atau kisaran tepat glukosa darah yang dapat mempengaruhi morbiditas atau mortalitas. Jika anestesi umum dipakai, pertimbangan klinis harus memasukkan induksi cepat karena tinggi kecepatan gastroparesis. Cedera serebrovaskuler, penyakit vaskuler perifer, dan infark kardiovaskuler 2 sampai 10 kali lebih umum pada pasien diabetes. Strategi yang dibuat unutk mengurangi risiko tekanan darah labil dan iskemia miokard terkait dengan penyakit otonom atau vaskuler dapat termasuk hambatan beta untuk melemahkan stress induksi, anestesi berbahan narkotik untuk meminimalkan depresi kardiopulmoner, dan nitrogliserin pada pasien ini dengan risiko penyakit arteri koroner. Kondisi umum biasnya termasuk obesitas dan kekakuan persendian servikal, yang dapat membuat manajemen jalan napas menantang. Kondisi yang berhubungan kardiovaskuler sering

menyebabkan kebutuhan monitoring invasif tambahan. Hiperglikemia akut Efek seluler hiperglikemia akut belum sepenuhnya dipahami, tapi laporan telah memulai untuk melindungi sejumlah cahaya pada pengubahan pada fungsi sel normal pada tingkat molekuler. Satu studi menunjukkan bahwa peningkatan level glukosa akut mendepresi sinyal kalisium yang diinduksi endotelin pada sel mesangium tikus, dengan begitu penekanan sinyal pada kontraksi sel glomeruler. Informasi ini mendukung hipotesis bawha hiperglikemia akut dapat memperngaruhi fungsi seluler dan dapat menyebabkan patologi jelas secara klinis. Konsekuensi akut dari meningkatnya level glukosa serum termasuk gangguan penyembuhan luka, dehidrasi, respons sistem imun yang terganggu dan proteolisis. Dehidrasi sering terlihat selama hiperglikemia akut berasal dari efek diuretik osmotik dari level glukosa serum yang tinggi. Pasien dengan diabetes terkenal dengan penyembuhan luka yang buruk, yang secara umum dipercaya disebabkan oleh oleh aliran darah terganggu ke luka. Bagaimanapun, ada bukti bahwa hiperglikemia akut dapat menggangu aktifitas fibroblas dan merusak asupan vit C oleh sel, yang kemudian menghambat sintesis kolagen baru. Tambahan untuk penundaan penyembuhan luka, level glukosa yang meningkat juga menginhibisi fungsi imun, dan meningkatkan infeksi postoperatif. Satu studi menunjukkan bahwa infus insulin terus menerus, digunakan untuk mengontrol level glukosa intraoperatif dan postoperatif, menurunkan insidensi infeksi luka dada setelah pembedahan jantung. Studi kedua menemukan kontrol glukosa agresif intraoperatif secara signifikan meningkatkan aktifitas neutrofil in vitro. Makrofag alveolar dari host normal menunjukkan respirasi terganggu tiba tiba ketika terpapar in vitro sampai konsentrasi glukosa tinggi. Data yang diambil bersama mengindikasikan kontrol gula ketat intraoperatif secara signifikan mempengaruhi kemampuan pasien untuk sembuh lebih cepat dari pembedahan. Diabetes ketoasidosis Diabetes ketoasidosis merupakan konsisi darurat yang sering bermanifestasi pada pasien diabetes dengan leukositosis dan pembedahan akut abdomen darurat atau dengan mual, muntah, letargi, dan tanda hipovolemia. Prioritasnya adalah untuk mengembalikan volum intravaskuler(biasanya pemberian cepat intravena 1 L salin); memberikan insulin reguler (0,2unit/kg) diikuti dengan infus pada kecepatan 0,1 unit/kg/jam; mengeliminasi ketonemia; kontrol glukosa darah; dan mengkoreksi problem yang ada(contohnya antibiotik pada urosepsis atau pnumonia). Pasien dengan ketoasidosis menjadi dehidrasi karena glukosuria karena dehidrasi disebabkan oleh hilangnya air dan elekrolit, koloid tidak dipakai. Jika osmolalitas pasien ditingkatkan, NaCl 0,45% dapat diberikan, dan volum yang diberikan harus dipandu dengan respons hemodinamik dan keluaran urin . ketika glukosa darah turun dibawah 250mg/dl,

31

dektrose harus diberikan kedalam cairan. Keton urin dan darah dimonitor setiap dua jam setelah glukosa darah sekitar 100-200 mg/dl. Jika keton masih ada, kecepatan infus glukosa dan insulin harus ditingkatkan. Diuresis osmotik meningkatkan hilangnya natrium, kalium, magnesium, dan pospat. Namun defisiensi tubuh keseluruhan, konsentrasinya dapat ditingkat pada saat kejadian karena hilangnya air berat. Perawatan terbaik untuk hiperkalemia pada pasien ini adalah terapi yang sesuai untuk diabetis ketoasidosis. Level kalium menurunkan cepat dengan penggantian volum sesuai dan terapi insulin. Kebanyakan pasien memerlukan penggantian volum setelah ekspansi volum dimulai. Selain itu, hiperglikemia berat dapat menekstraksi air dari urang intraseluler dan dapat melarutkan konsentrasi elektrolit. Jika level kalium awal ditingkatkan atau pasien anuria, kalium tidak boleh diberikan. Karena hidrasi meningkat dan keluaran urin meningkat, kalium, natrium magnesium dan pospat harus diberikan dan monitornya diperbanyak. Secara umum, asidosis tidak boleh diobati dengan buffer. Ketoasidosis dikoreksi sebagai insulin dan level glukosa meningkat, dan asidosis laktat berasal dari respons perfusi yang buruk terhadap penggantian cairan intravaskuler. Jika pH mendekati 7,15, konsentrasi ion bikarbonat kurang dari 10mEq/L dan hipotensi gagal untuk merespon pemberian cairan intravaskuler terapi natrium bikarbonat dapat digunakan. Hipoglikemia Hipoglikemia (<50mg/dl) berbahaya, karena glukosa merupakan bahan bakar yang sangat penting untuk otak. Tingkat permulaan tergantung pada umur. Tanda dari hipoglikemia meliputi irritabilitas, kejang, bradikardi, hipotensi, dan kegagalan respirasi. Gejala yang sering terjadi pada orang dewasa pada konsentrasi gula darah kurang dari 57 mg/dl atau pada anak kecil dengan tingkatan 30-50 mg/dl. Gejala terlihat pada tingkat yang lebih tinggi pada diabetes dari pada non-diabetes dan tidak terlihat jelas dengan anestesia umum. Sekitar 70 mg/dl, terjadi respon stres biokimia, termasuk stimulasi sistem syaraf simpatik dan tingkat elevasi dari hormon pertumbuhan atau kortisol atau keduanya. Depresi neurologik dan elektroencepalografik terlihat pada 50-55 mg/dl pada non-diabetik dan 70-85 mg/dl pada diabetik. Nekrosis syaraf selektif, tidak adanya infark, terjadi pada caudal, putamen dan cortex. Disana terdapat peningkatan kompensasi pada aliran darah cerebral. Selama penelitian, ketosis yang disebabkan oleh maternal starvation memiliki efek yang kurang menguntungkan pada fetus, meliputi ketonemia fetus, hipoxia, laktat asidosis fetus. Neonatus meningkatkan resiko hipoglikemia karena persediaan glikogen yang sedikit dan berarti besar pada produksi insulin fetus dalam respon keadaan hiperglikemik gestasional. Orang dewasa juga berresiko untuk hipoglikemia dari glukoneogenesis yang inadekuat disertai dengan asupan nutrisi yang inadekuat atau dari ekses insulin (contohnya: dari insulinoma, adenoma sel pankreas atau carcinoma, iatrogenic yang berlebihan). Hipoglikemia juga dapat diikuti dengan penghentian

pemberian infus dextrose yang mendadak selama total nutrisi parenteral. (pada keadaan hiperinsulinemik reaktif). Glukoneogenesis yang inadekuat terjadi pada kegagalan hati, defisiensi kortisol (primer atau sekunder), inadekuat respon glukagon, defisiensi hormin pertumbuhan dan selama blokade -andrenergik. Pada wanita puasa 24 jam akan hipoglikemia sedangkan pada pria ditoleransi 72 jam. Insiden hipoglikemia pada kesehatan bayi dan anak rendah (2-446) dengan puasa 4-8 jam. Hipoglikemia fetus terjadi kalau glukosa maternal lebih besar dari 150 mg/dl, karena persilangan glukosa pada plasenta yang disebabkan sekresi insulin fetus. Penatalaksaan yang konsis dengan pemberian dextrose 5 gr inttavena diikuti dengan peningkatan rata-rata infus dextrose dengan 1-2 mg/kg/min.

Faktor Asam Basa Asidosis Metabolik Beberapa penatalaksanaan metabolik asidosis merupakan cara terbesar dalam klinik, dengan metabolik asam pada tingkat base excess (BE) biasanya penurunan dosis bikarbonat. Prediksi ini berdasarkan ukuran kemungkinan terapi dan kesamaan kasus: Dosis (mEq) = 0,3 X berat badan (kg) X BE (mEq/l) Kalkulasi dosis yang cukup untuk mengembalikan gangguan metabolik hampir tidak pernah gagal. Bagaimanapun, terapi bikarbonat siap pada keadaan gawat darurat yang diindikasikan untuk terapi compelling. Biasanya pemberian penurunan dosis (sekitar satu setengah) untuk bebrapa alasan: pertama diinjeksikan bikarbonat sampai volume plasma sekitar 3 L berarti sampai the calculated treatable space (21 L) Ketika bikarbonat ditambahkan asam, it fizzes. Keuntungannya, ini tidak terjadi literally dalam darah. Tidak pernah, banyak bikarbonat terkonversi menjadi karbindioksida dan dieliminasi. Untuk 100 mEq yang terkonversi, sekitar 2,24 L karbon dioksida yang telah keluar, ekuivalen untuk 10 menit dari produksi normal. Karbondioksida yang diproduksi dimasukkan ke dalam sel dengan bebas, tidak seperti ion bikarbonat yang harus teradministrasi. Kemingkinan sel-sel akan menjadi asam. Bagaimanaoun, studi langsungf dengan resonansi nuklear magnetik tidak telah terkonfirmasi. Biakrbonat diikuti oleh respon dari ion natrium untuk meningkatkan sisa dalah osmolaritas ECF. Kombinasi ini pada terpai yang lain seperti glukosa intravena, hiperosmolaritas yang krisis dan menyebabkan koma. Pada neonatus infis yang cepat dari bikarbonat mungkin menyebabkan perdarahan intrakranial. Kalau dalam tubuh dengan metabolik asidosis, terdapat sisa metabolik alkalosis. Gangguan Klinik Keseimbangan Asam Basa

33

Asidosis Metabolik dari Cardiac Output Rendah Pasien CAD dengan ejection fraction 15% menderita perforasi miokardial ketika akan dilakukan ballon angioplasty di laboratorium kateterisasi jantung. Setelah resusitasi, intubasi, insersi dari arteri line, dan inisiasi dopamin dari infus, pasien telah dibawa ke ruang operasi untuk torakotomi gawat darurat. Tekanan darah 80/50 mmHg dan heart rate 120X/menit. Selama persiapan untuk kanulasi vena sentral, tekanan darah akan turun dan diikuti cardiac arrest. Pasien yang akan dilakukan torakotomi, ditentukan gas darah pHa= 7,15, PaCO2= 35 mmHg, BE= -15 mEq/l, bicarbonat= 12 mg/l, PaO2=90 mmHg, menunjukkan metabolik asidosis berat dengan alkalosis respiratoris ringan. Setelah pemberian untuk empat unit PRBCS dan NaCO3 88 mEq, gas darah menjadi pHa= 7,14, PaCO2= 39 mmHg, BE= -14 mEq/l, bikarbonat= 13 mg/l, PaO2=95 mmHg, masih menunjukkan metabolik asidosis berat tetapi tidak terdapat alkalosis respiratoris. Penentuan gas darah pertama dihubungkan dengan kondisi metabolik asidosis pada cardiac output yang rendah dengan iskemia jaringan dan hiperventilasi yang kuat. penentuan gas darah yang kedua menunjukkan hampir tidak ada keuntungan dari bikarbonat, kemungkinan cardiac output rendah secara terus menerus. Bikarbonat dikonversikan oleh CO2 dimana mungkin menjelaskan tingkat PCO2 secara tajam lebih tinggi. Asidosis Metabolik selama Fase Anhepatik Pasien dengan penyakit hepar terminal yang disebabkan oleh virus hepatitis akan dilakukan transplantasi hepar. Keadaan anlisi gas darah terakhir fase anhepatik setelah administrasi awal dari bikarbonat pHa= 7,10, PaCO2= 28 mmHg, BE= -18 mEq/l, bicarbonat= 8,6 mg/l, PaO2=260mmHg, dan Na+ =154 mEq/l, mengindikasikan metabolik asidosis yang parah dengan alkalosis respiratori sedang (moderate). Pasien telah diobati dengan 500 ml (150mEq, 18 gr) dari 0,3 M pelarut THAM dari infus selama 20 menit. Analisis gas ulang menunjukan pHa= 7,09, PaCO2= 30 mmHg, BE= -18 mEq/l, bicarbonat= 9,0 mg/l, PaO2=251 mmHg, dan Na+ =154 mEq/l. Dosis kedua THAM diberikan melalui infus. Setelah transplantasi analisis gas darah pHa= 7,30, PaCO2= 33 mmHg, BE= -9 mEq/l, bicarbonat= 16 mg/l, PaO2=283mmHg, dan Na+ =149 mEq/l mengindikasikan tanda metabolik asidosis dengan alkalosis respiratori ringan tipikal dari gangguan metabolik terkompensasi sebagian. Metabolik asidosis selama fase anhepatik mendemontrasikan pentingnya hati dalam memetabolisme laktat menjadi bikarbonat. Kadar natrium diadministrasikan NaCO3. Dalam kasus ini, THAM telah digunakan untuk natrium minimum ketika mengkontrol metabolik asidosis. Dari perfusi ulang (fase III) fungsi hati baru dimulai dan terjadi perbaikan metabolik asidosis. Alkalosis Metabolik setelah Diuretik

Seorang bayi laki-laki, berumur 3 bulan, 4 kg dipresentasikan untuk repair kanal atrioventrikular. Pasien ini dengan CHF yang telah dikontrol dengan digitalis dan furosemid. Sebelum diinduksi dengan obat anestesia, analisis gas darah terlihat pHa= 7,53, PaCO2= 44 mmHg, BE=14 mEq/l, bicarbonat= 35,9 mg/l, PaO2=110mmHg dengan alkalosis metabolik berat dan minimal asidosis respitasi tipikal dari gangguan metabolik terkompensasi sebagian, setelah diinduksi, analisis gas darah terlihat pHa= 7,61, PaCO2= 35 mmHg, BE=14 mEq/l, bicarbonat= 34 mg/l, PaO2=60 mmHg. Setelah prosedur yang sempurna dan penghentian cardiopulmonary bypass analisis gas darah terlihat pHa= 7,40, PaCO2= 33 mmHg, BE= -4 mEq/l, bicarbonat= 20 mg/l. Alkalosis hipokloremik terjadi bahwa penggunaan panjang dari furosemid adalah penjelasan pertama. Setelah induksi, hiperventilasi menrunkan PaCO2 tetapi tidak ada efek dari ekses dasar. Dua faktor mayor dijelaskan perubahan selama prosedur. Hemodilusi merawat untuk mengembalikan pHa netral dan perfusi rendah selama bypass prosedur asisdosis metabolik dengan tepat. Kasus ini juga dibantu untuk alkalosis metabolik.

Gagal Respirasi Kronik pada Neonatus Seorang bayi laki-laki, berumur 2,5 bulan, 3,5 kg dengan bronkopulmonari displasia telah diintubasi dan menerima oksigen (FiO2=0,3). Dia telah dilakukan cryobiation untuk proliferatif retinopati. Setelah pasien dibawa ke ruang operasi, analisis gas darah terlihat pHa= 7,27, PaCO2= 65 mmHg, BE=3 mEq/l, bicarbonat= 29 mg/l, PaO2=35 mmHg. Obat anestesia telah diinduksi dan ventilasi telah terkontrol, dengan tidal volume 60 ml. Tekanan inspirasi= 25 cmH2O, tekanan positif akhir ekspirasi=4 cmH2O, respiration rate 40X/menit, tidak ada inspirasi istirahat dan FiO2=0,3. Gas darah kembali terlihat pHa= 7,36, PaCO2= 50 mmHg, BE=3 mEq/l, bicarbonat= 28 mg/l, PaO2=48 mmHg. Alkalosis metabolik ringan analisis pertama yang kompatibel dengan kompensasi untuk gagal respirasi kronik. Nilai PaO2 yang tinggi diresprentasikan hipoventilasi selama transport. Seleksi yang sehat dengan pengaturan ventilator dengan mengembalikan PaO2 ke nilai yang lebih tipikal untuk neonatus dengan bronkopulmonary displasia dengan p Ha sekitar diantara tidak ada kompensasi dengan komplit kompensasi. Persiapan Pada Hiperventilasi Kronik Alan Kaye adalah seorang anggota sebuah tim yang mempersiapkan pembedahan plastik pada altitucle tinggi. Selama dua hari dalam perjalanan dai disarankan menggunakan inhibitor carbonic anhidrase, asetazolamid yang efektif memprlambat reaksi bolak-balik normal antara asam karbonat dengan produk disosiasinya, asam karbonat dan air. Obat ini mengalkalinisasi urin dan menyebabkan

35

asidosis metabolik sedang, yang merupakan respon tipikal terhadap hiperventilasi hipoksia pada ketinggian. Kadar gas darah tipikal setelah aklimatisasi terhadap ketinggian adalah pHa= 7,42, PaCO2=31 mmHg, BE=4 mg/l, bicarbonat= 9 mg/l, PaO2=80 mmHg. Keuntungan penggunaan asetazolamid masih diperdebatkan untuk pendaki, dan obat ini bukan tanpa efek samping selama awal pemakaiannya. Efek sampingnya yang ringan adalah rasa metalik yang berhubungan dengan minum-minuman bergas, yang kemungkinan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mengubah karbon dioksida yang banyak terkandung di dalam minuman bergas menjadi asam karbonat. Hiperventilasi akut dan hipotensi Seorang wanita tua dengan berat badan 48 kg, tinggi 5 kaki, tekanan darah 115/75 mmHg, dan heart rate 70X/menit. Wanita ini tidak sedang dalam pengobatan dan dalam keadaan normal. Dia dijadwalkan untuk laparotomi dan histerektomi. Setelah induksi dan intubasi arothekal, ventilasi terkontrol mulai dilakukan dengan tidal volume 900 ml dan RR 12X/menit. Sesaat sebelum insisi, tekanan darah arteri menjadi 58/35 mmHg, PCO2 tidal akhir 22 mmHg. {tes gas darah tidak dilakukan, tetapi nilai tipikal pada keadaan ini adalah pHa=7,53, PaCO2=26 mmHg, bicarbonat=21 mg/l, BE=0 meq/l} Ventilator kemudian dimulai kembali untuk menyediakan empat kali napas/menit pada volume tidal 500 ml. Tekanan darah dua menit kemudian menjadi 85/55 mmHg dan dua menit berikutnya menjadi 95/65 mmHg. PO2 tidal akhir pasien meningkat secara pelahan dan setelah delapan menit kembali menjadi 36 mmHg, ketika laju ventilator ditingkatkan menjadi delapan napas/menit, {biasanya nilai gas darah mulai kembali mendekati normal, pHa=7,44, PaCO2=38 mmHg, bicarbonat=23,3 mmHg , BE=0 meq/l}. Hiperventilasi sering terjadi setelah induksi dan biasanya menyebabkan hipotensi melalui berbagai mekanisme termasuk diantaranya peningkatan tekanan intrathorax, berkurangnya venous return, dan penurunan cardiac output. Hipoventilasi akut Seorang wanita obes separuh baya sedang dalam pembedahan kolesistectomi laparoskopi. Setelah induksi rutin dan intubasi arothekal, anestesi aliran rendah dimulai, dan ventilasi diatur untuk menyediakan volume tidal 700 ml dengan laju sepuluh napas/menit (tidal return expirasi 560 ml). Sepuluh menit setelh induksi anestesi, PCO2 35 mmHg, dan tekanan jalan udara puncak 28 mmHg. Hasil analisis gas darah arteri menunjukan pHa=7,49, PaCO2=35 mmHg, bicarbonat=22,4 mmHg , BE= -1 meq/l. Setelah 30 menit operasi berjalan, tekanan puncak jalan udara 48 mmHg, PCO2 akhir ekspirasi 49 mmHg, volume tidal ekspirasi 380 ml. Analisis gas darah menunjukan pHa=7,27, PaCO2=55 mmHg, bicarbonat=24,9 mmHg , BE= - 1mg/l. Abnormalitas utama yang ditemukan adalah asidosis respiratori tanpa asidosis metabolik. Ini merupakan karakteristik dari gangguan pernapasan akut.

Peningkatan PCO2 dapat disebabkan oleh dua faktor: pengambilan gas inhalasi CO2 di abdomen dan penurunan ventilasi efektif karena peningkatan tekanan jalan udara yang diperlukan untuk mengatasi distensi abdomen. Ketidaksesuaian antara PCO2 tidal akhir dan PCO2 gas darah arteri adalah hal yang tipikal dan merupakan hasil dari temperatur pasien yang sedikit berbeda dari analisa keterlambatan waktu antara tiap napas untuk mencapai equilibrasi tidal akhir, maldistribusi paru normal, sedikit kehilangan yang terjadi karena panjang tube. Keseimbangan Cairan dan Cairan Pengganti Lebih dari 22 komponen darah ditranfusikan tiap tahunnya di USA. Kebanyakan untuk pasien bedah dan obstetri. Transfusi RBC, platelet, plasma beku segar, dan cryopresipitate memiliki potensi untuk meningkatkan hasil akhir klinik pada preoperatif dan prepartum. Keuntungan meliputi memperbaiki oksigenasi jaringan dan mengurangi perdarahan, tapi bagaimanapun, transfusi sulit tanpa biaya atau resiko. Transmisi penyakit menular, reaksi transfusi hemolitik, dan nonhemolitik, imunosupresi, alloimunisasi, dan komplikasi lain merupakan resiko potensial dari terapi komponen darah. Meskipun RBC dan faktor pembekukan memiliki kapasitas emningkatkan volume yang baik, keduanya tidak dibicarakan dalam bab ini. Pada tahun 1994, ASA........................untuk mempersiapkan sebuah guidline yang berbasis bukti mengenai indikasi tepat untuk pemberian RBC platelet, plasma beku segar dan cryopresipitate pada pasien preoperatif dan prepartum. Pada bagian ini hanya akan membahas cairan kristaloid, koloid dan hipertonis yang direkomendasikan untuk pasien-pasien bedah dan obstretis yang tipikal, informasi mengenai bayi, anakanak dan kasus klinik yang khusus dapat ditemukan pada bagiab lain dari buku ini. Keseimbangan Cairan pada Pembedahan dan Syok Perubahan fisiologi selama pembedahan dan anestesi menyebabkan pergeseran keseimbangan cairan. Contohnya anestesi epidural, spinal, atau caudal menyebabkan blokade simpatetik dalam jumlah yang bervariasi. Meskipun pasien yang lebih muda dan lebih sehat dapat mentoleransi simpatektomi, pasien yang dehidrasi berat atau sedang dalam pengobatan antihipertensi atau diuretik tidak dapat merespon terhadap efek dari simpatektomi. Merupakan hal biasa untuk memberikan sampai denga satu liter cairan sebelum melakukan anestesi spinal atau saat anestesi epidural dilakukan vasopressor biasanya efedrin atau phenilefedrin diperlukan untuk mengatasi efek-efek haemodinamik yang disebabkan oleh blok simpatetik. Meskipun anestesi inhalasi tidak secara langsung mengubah susunan cairan, semua anestesi dapat mempengaruhi respon fisiologis normal terhadap hipovolumia dan respon stress. Respon stres terhadap pembedahan meliputi peningkatkan produksi ADH yang dapat diblokir oleh adanya anestesi. Superimpose adalah efek yang bervariasi dari agen-agen intravena dan inhalasi dan vaskulatur. Ventilasi mekanik

37

dapat menurunkan pelepasan hormon natriuretic atrial dan meningkatkan pelepasan ADH yang menyebabkan retensi natrium dan cairan. Sebagai efek tambahan dari kehilangan darah, kehilangan cairan ruang ketiga yang signifikan dapat terjadi, yang secara essensial melibatkan cairan yang masih berada di dalam tubuh, tetap tidak memiliki kontribusi terhadap volume intravaskuler, hantaran O2 atau pembuangan zat sisa, hal ini sulit untuk diukur. Penyimpanan sederhana volume darah tidak cukup untuk membuktikan kehidupan. Pasien dengan prosedur pembedahan mayor membutuhkan penggantian cairan lebih dari sekedar kehilangan darah sederhana, dan ahli anestesiologi memainkan peranan penting dalam menilai dan akhirnya memberikan terapi cairan yang tepat dalam setiap keadaan intra dan post operatif klinik.

Syok Syok dapat didefinisikan dengan disfungsi proses intraseluler karena kekurangan energi. Kekurangan energi ini disebabkan oleh defisiensi distribusi oksigen ke jaringan, menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan respirasi seluler normal. Meskipun syok merupakan permasalahan seluler, terapinya langsung pada distribusi sistemik oksigen ke jaringan. Pada pasien normal, tubuh mempertahankan keseimbangan antara transportasi oksigen(DO2) dan konsumsi oksigen global(VO2). Konsumsi oksigen global merupakan ukuran jumlah total oksigen yang dikonsumsi oleh jaringan per menit. Jumlah oksigen yang dikonsumsi sebagai fraksi jumlah yang ditransportasikan sebagai rasio ekstraksi oksigen(OER): OER= VO2/DO2 VO2 pada dewasa normal dengan aktivitas rutin kira kira 250ml/menit dengan rasio ekstraksi 25%. OER dapat ditingkatkan 75% selama olahraga berat pada dewasa sehat. Oksigen tidak diekstraksi dari darah yang kembali ke paru- paru dan dapat diukur kejenuhan vena campuran(SVO2), yang merupakan ukuran untuk oksigenasi oksigen global. SVO2 dibawah 60-70% biasanyanya indikatif untuk insufisiensi DO2. darah vena campur diperlukan karena kejenuhan darah vena bervariasi bergantung pada organ yang diukur. Darah vena yang kembali dari hati memiliki saturasi 40-50% dan darah dari ginjal bisa saja melebihi 80%. Konsumsi oksigen langsung dikaitkan dengan tingkat metabolik seluler. Aktifitas simpatetik, menggigil dan aktifitas fisik meningkatkan kecepatan metabolik seluler. Seketika transportasi oksigen berkurang atau konsumsinya meningkat, OER meningkat untuk mempertahankan metabolisme aerobik. OER dapat meningkatkan sekitar 60-70%,pada titik dimana peningkatan konsumsi lanjutan atau penurunana dalam transportasi menyebabkan hipoksia jaringan dan metabolisme anaerobik.

Hipoksia jaringan dan syok dapat berasal dari transportasi atau pemakainan oksigen yang tidak sesuai. Ada dua tipe syok. Tipe 1 melibatkan pasien yang menderita penurunan transpor oksigen seperti pada syok hipovolemik atau kardiogenik. Tipe II melibatkan masalah dengan distribusi oksigen yang tidak baik seperti padapasien syok neurogenik atau sepsis. tanpa memandang penyebabnya, manajemen cairan yang baik merupakan keperluan absolut. Manajemen cairan pada syok yang benar memiliki pengaruh yang signifikan pada transpor oksigen ke jaringan dan mencegah metabolisme anaerobik. Sampai pada saat ini, pemberian cairan adekuat dan cairan ion dipakai dalam apa yang dinamakan terapi tepat tujuan selama perawatan pasien kritis. Sebelumnya dianggap bahwa peningkatan Do2 sampai pada level suprafisiologis, metabolisme seluler dapat dipertahankan sampai keadaan aerobik, dan disfungsi multi sistem organ dapat dihindari. Pada tahun 1990, pengujian besar dan random menunjukkan bahwa terapi ini tidak efektif dan berpotensi bahaya. Riset lanjutannya menunjukkan bahwa identifikasi dan merawat hilangnya volum dan fungsi jantung yang menurun awal pada syok sangat bermanfaat. Kunci perbedaan hasil antara studi sebelum dan berikutnya pada Shoemaker dkk merupakan kunci pengenalan perbedaan antara syok awal dan berikutnya. Syok awal melibatkan hipoksemia jaringan akut dengan organ akhir yang belum dapat mempertahankan kerusakan yang ireversibel. Pada syok tipe I(hipovolemik atau kardiogenik), perawatan cepat pada penyebab hipopefusi jaringan dapat mencegah pasien dari berlanjutnya ke syok lanjutan dan kegagalan multisistem organ. Jika oksigenasi jaringan tidak dapat dikembalikan cepat, gagal organ akhir dan disfungsi sel endotel terjadi, menunjukkan awal dari syok lanjutan. Dengan kegagalan organ akhir dan disfunsi sel endotel, kontrol tubuh normal dari aliran darah regional terganggy, dan transpor oksigen ke jaringan selanjutnya terancam. Maksudnya, peningkatan lanjutan aliran darah dengan penggunaan cairan volum agresif dan cairan ion tidak memperbaiki oksigenasi jaringan karena darah tidak ditransporkan ke jaringan yang membutuhkannya. Selama syok awal, resusitasi cairan awal perlu untuk meminimalisir hipoksemia organ akhir secepat mungkin. Setea\lah pasien menjadi syok lanjutan, masih penting untuk mempertagankan volum intravaskuler normal, tapi terapi agresif dengan cairan dan pressor diketahui membahayakan. Kristaloid Kristaloid adalah cairan yang berisikan air dan elektrolit. Terbagi dalam larutan garam seimbang, hipertonik dan hipotonik. Larutan kristaloid digunakan untuk memberikan pemeliharaan air dan elektrolit dan memperlebar cairan intravaskuler. Persyaratan penggantian 3 - 4 kali lipat dari volum darah yang hilang karena diberikan kristaloid dengan rasio 1:4 seperti CES, yang terdiri dari 3L intravaskuler dan 12 L ekstravaskuler(kira kira 20 % harus masih berada dalam ruang intravaskuler).

39

Larutan garam seimbang Larutan garam seimbang memiliki komposisi elektrolit sama dengan CES(seperti ringer lakat, plasmalit, normosol). Dengan adanya natrium, mereka menjadi hipotonik. Larutan buffer termasuk bikarbonat, yang menghidrasi asam karbonat dengan produksi karbondioksida dengan berdifusi dari larutan. Dibandingkan dengan NaCl 0,9%, Larutan ini memberikan sedikit elektrolit, yang tidak adekuat untuk memenuhi pemeliharaan harian. Salin normal Salin normal (NaCl 0,9%) adalah isotonik dan isoosmotik tapi berisikan lebih banyak klorida daripada CES. Ketika digunakan pada volum besar, hipekolermia ringan(yaitu asidosis metabolik celah non ion)terjadi. Salin normal terdiri dari elektrolit lain atau tanpa buffer. Lebih disukai larutan RL(yang berisikan konsentrasi hipotonik natrium, ketika cedera otak, alkalosis metabolik hiperkoleremik, atau hiponatremia terjadi. Banyak pasien dengan hiperkalemia, termasuk pasien dengan gagal ginjal yang seringkali pada ruang operasi untuk prosedur bypass akses vena, secara rutin menerima salin normal karena tidak berisikan kalium. Larutan garam hipertonik Larutan garam hipertonik jarang dipakai dan konsentrasi natriumnya berkisar dari 250- 1200mEq/L. Semakin tinggi konsentrasi natriumnya, semakin sedikit volum total dibutuhkan untuk keberhasilan resusitasi. Perbedaan ini merefleksikan pergerakan karena kekuatan osmotik air dari ruang intraseluler ke dalam ekstraseluler. Volum air yang berkurang yang diberikan dapat mengurangi pembentukan edema. Ini dapat penting pada pasien yang berdisposisi terhadap edema jaringan(contoh pada pembedahan digestiv lama, luka bakar, cedera otak). Studi klinis telah mengkonfimasikan bahwa larutan hipetonik menengah (natrium 250mEq/L) dapat dikaitkan dengan tekanan interstitial otot lebih rendah daripada larutan RL. Fungsi usus kembali lebih awal, meskipun fraksi pintas pulmoner tidak berbeda. Studi eksperimen telah menunjukkan penurunan tekanan intrakranial pada hewan yang mendapatkan larutan hipertonik. Bagaimanapun, larutan hipetonik intravaskuler paruh waktu tidak dipakai daripada larutan isotonik pada masukkanya natrium ekivalen. Pada banyak studi, ekspansi volum plasma yang ada dicapai hanya ketika koloid ada pada larutan resusitasi terlebih lagi, osmolalitas larutan ini dapat menyebabkan hemolisis saat penyuntikan. Salin hipetonik telah digunakan sudah sejak lama hampir seabad pada praktek klinis untuk berbagai alasan. Ketertarikan pada penggunaan syok hemoragik dibangkitkan lagi pada tahun 1980 pada anjing eksperimen dengan syok perdarahan. Anjing anjing ini diresusitasi hanya dengan NaCl 7,5% atau volum yang sama dengan salin normal. Semua anjing pada kelompok salin hipertonik masih hidup; semuanya pada kelompok nomal salin mati. Banyak uji random telah dilakukan pada

dua dekade terakhir. Salin hipertonik meningkatkan MAP, menurunkan resistensi vaskuler sistemik, menurunkan resistensi vaskuler pulmoner, dan menurunkan kebutuhan darah lanjutan. Studi tidak menunjukkan peningkatan komplikasi. Dan ada tren mengarah ke turunnya mortalitas. Ini berlanjut menjadi kontroversi menilik penggunaan salin hipertonik pada syok perdarahan. Bagaimanapun, selama bencana ini terjadi yang terlihat pada bencana alam atau musibah manusia, salin hipetonik dapat digunakan selama triase. Terutama bermanfaat pada keadaan ini karena dapat menghilangkan simpanan, bea rendah, dan kemampuan untuk memperlebar volum plasma dengan cepat. Para studi kontrol, random, yang lebih besar lagi diperlukan untuk mengevaluasi keseluruhan penggunaannya pada praktek standar. Dektrosa 5 % Fungsi Dektrosa 5 % sebagai air bebas, karena dekstrosa dimetabolisasi. Dektrosa 5 % dapat digunakan untuk digunakan pada pencegahan Cairan ini isoosmotik dan tidak menyebabkan hemolisis yang mungkin terjadi jika air murni tidak dimasukkan secara intravena. mengkoreksi hipernatremia tapi paling sering

hipoglikemia pasien diabetik yang telah mendapakan insulin injeksi. Kristaloid Vs koloid Banyak kontroversi hadir mengenai peran kristaloid dan koloid dalam terapi cairan. Pendukung cairan koloid menunjukkan bahwa resusitasi dengan larutan kristaloid mengencerkan protein plasma, dengan reduksi terus menerus tekananan onkotik plasma yang mengebabkan filtrasi cairan dari kompartemen intravaskuler ke interstitial dan perkembangan edema pulmoner interstitial. Pendukung kristaloid telah memperdebatkan bahwa molekul albumin normalnya memasuki kompartemen intestitial dengan bebas dan kemudian dibersihkan melalui sistem limfatik yang kembali ke sirkulasi sistemik. Penambahan albumin seharusnya meningkatkan pool albumin yang dibersihakan oleh limfatik. Review literature dari Moss dan Gould membenarkan bahwa semua data klinis dan eksperiment menujukkan bahwa larutan isotonic merupakan volum plasma ekspander efektif untuk resusitasi tanpa penambahan koloid lainnya. Bea tambahan dan potensi risiko koloid dibandingkan dengan kristaloid merupakan pendapat lain dalam pemberian koloid. Koloid yang dipakai di AS termasuk albumin, hidroksetil starch(hetastarch) dan dextran. Karena molekulnya besar, koloid biasanyan tidak menembus membrane kapiler dan tetap dalam intravaskuler. Distribusi cairan melalui tubuh diterjemahkan dalam persamaan Starling-Landis: Jv= Kh A([Pmv-Pt]- gamma[COPmv- COPt]) Pada persamaan ini, Jv merupakan volum bersih cairan yang bergerak menembus dinding kapiler per unit waktu, dalam bentuk Cm3 per menit; Kh merupakan konduktifitas air hidrolik, yang merupakan permeabilitas cairan dinding

41

kapiler, dalam Cm3 per menit per mm2 luas permukaan kapiler dengan perbedaan tekanan per 1mmHg. Nilai Kh meningkat menjadi 4 kali lipat dari kapiler akhir arteri dan vena. Pmv merupakan tekanan hidrostatik kapiler; Pt merupakan tekanan hidrostatik jaringan, A merupakan area permukaan kapiler ; dan gamma merupakan refleksi koefisien protein plasma. Koefisien ini perlu karena protein plasma sedikit permeable terhadap dinding mikrovaskuler, mencegah ekspresi penuh dari dua tekanan osmotik koloid. Ketika gamma adalah 0, molekul dengan bebas menembus membrane.; ketika nialinya 1, molekul tidak dapat menembus membrane. Nilai gamma tipikal untuk protein plasma pada mikrovaskuler melebih 0,9 pada kebanyakan organ, dan nilainya masih konstan tapi dapat diturunkan dengan proses fisiologis, termasuk hipoksia, inflamasi, dan COPr merupakan tekanan onkotik koloid jaringan. Perbedaan Tekanan hidrostatik dan osmotik menembus dinding kapiler menyebabkan pergerakan air dan larutan terlarut kedalam ruang interstisial. Pergerakan ini berperan dalam nutrisi jaringan relatif terhadap difusi sederhana. Refleksi koefisien yang mengekspresikan kemampuan membrane semipermeabel untuk mencegah pergerakan larutan yang berbeda beda pada jaringan. Paru paru agak relatif permeable terhadap organ lain, dan selama proses patofisiologis seperti trauma pembedahan, koefisien refleksi dapat selanjutnya berubah untuk mengubahn permeabilitas kapiler, menyebabkan peningkatan kebocoran permeabilitas kapiler. Pada keadaan ini, koloid dapat bergerak dengan mudah pindah ke interstisium dan menjadi edema interstisium. Dengan kebocoran molekul koloid kedalam ruang interstisital, pembengkakan lanjutan jaringan terjadi karena gradien tekanan onkotik yang tidak baik, dan molekul ini dipindahkan ke system limfatik. Pemindahan koloid memerlukan waktu yang lebih lamla daripada kristaloid dan merupakan permasalahan penting pada luka baker dan pasien bedah mayor. Metaanalisis terkenal oleh Velanovich mengenai mortalitas dari 8 studi menyimpulkan bahwa pasien harus diresusitasi dengan larutan kristaloid sedangakn koloid lebih efektif pada pasien non sepsis, non trauma dan bedah elektif. Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah pengaruh resusitasi cairan pada koagulasi. Diketahui bahwa fenomena setelah trauma, pasien dapat menderita dai rendahnya tingkat faktor koagulasi sirkulasi. Defisiensi ini dapat menyebabkan transfusi plasma beku segar memiliki faktor defisiensi. Kaskade pembekuan merupakan tali kompleks kejadian, dengan banyak Faktor yang mempengaruhi progressi ke bekuan darah. Studi menggunakan ukuran tromboelastogram pada status bekuan pasien trauma telah mengindikasikan bahwa pasien ini bisa jadi hiperkoagulasi. Studi lainnya menggunaknan profil tromboelstogram menunjukkan bahwa pasien dengan bedah mayor diberikan larutan RL intraoperatif juga hiperkoagulasi ketika dibandingkan dengan nilai dasar. Studi ini menunjukkan bahwa jenis cairan yang dipakai unutk resusitasi volum berperan dalam koagulopati sering terjadi pada pasien trauma.

Bagaimanapun, studi definitif masih perlu untuk mengurangi pengaruh nyata bahwa resusitasi cairan berperan dalam kaskade koagulasi. Larutan koloid dan pengganti darah. Larutan koloid biasanya diberikan pada ekivalen volum terhadap volum darah hilang. Distribusi volum awal ekivalen dengan volum plasma. Waktu paruh dalam sirkulasi albumin biasanya 16 jam, tapi bisa menjadi 2 3 jam pada kondisi patofisiologis. Koloid sintetis, albumin terproses, dan fraksi protein memiliki risiko minimal atau tidak ada sama sekali. Pengganti darah berguna untuk mengembalikan volum cairan intravaskuler secera temporer sampai pengobatan definitif dilakukan. Karena tidak mahal, masa simpanannya panjang, dan kurangnya risiko penyebaran infeksi virus. Albumin 5% Albumin 5% atau fraksi protein plasma(yaitu plasmanat) memiliki tekanan osmotik koloid kira- kira 20mmHg( tekanan osmotik koloid hampir normal). Metode persiapan menyingkirkan agen infesksius. Larutan ini dipilih ketika kritaloid gagal untuk mempertahankan volum plasma dalam lebih dari beberapa menit karena rendahnya tekanan koloid osmotik. Larutan ini merupakan yang paling cocok ketika banyaknya hilang protein dari ruang vaskuler, seperti pada kasus peritonitis atau luka bakar luas. Albumin 25% Larutan koloid albumin 25% berisikan albumin dimurnikan pada 5 kali konsentrasi normal. Ketika diberikan, larutan ini berpotensi memperlebar volum plasma sampai lebih dari 5 kali volum yang ada. Ini dipilih ketika volum plasma terbaru hilang, tapi tekanan darah dapat diterima, dan total volum CES diperluas. Dextran 70 60% Dekstran tersedia dalam dekstran 40 atau dextran 70. nomor 40 dan 70 merujuk pada massa molekul rata rata dari molekul dalam larutan. Berat mean molekuler dari dextran 40 sekita 40000 dalton (40kd) dan berat mean molekuler dextran 70 sekitar 70000 dalton(70kd). Larutan dextran merupakan polimer glukosa larut air yang disinstesis oleh bakteri tertentu dari sukrosa. Kedua dextran ini pada akhirnya akan didegradasi secara enzimatis menjadi glukosa. Larutan koloid dextran 70 6% diberikan untuk indikasi yang sama sebagai albumin 5%. Dextran 40 digunakan pada pembedahan vaskuler untuk mencegah trombosis dan jarang dipakai sebagai volum ekspander. Efek samping termasuk syok anafilaktik atau reaksi anafilaktoid pada sekitar 1 dari setiap 3300 pemberian, meningkatnya waktu perdarahan yang disebabkan oleh penurunan kelengketan platelet(pada dosis 20ml/24 jam), pembentukan ROuleaux(yaitu terkait dengan uji silang darah), dan kasus jarang dari edema non kardiogenik pulmoner yang dianggap menjadi efek toksik langsung pada kapiler

43

pulmoner setelah absorpsi pulmoner. Hidroksetil starch Hidroksetil starch merupakan larutan koloid sintetis dimanan masa molekuler setidaknya 80% dari polimer berkisaran dari 10000 sampai 2000000 dalton. Ini tersedia di AS sebagai larutan 6% pada natrium klorida 0,9%(hespan). pH dari hetastrasch kira kira 5,5 dan osmolaritas sekitar 310mOsm/L. Molekul yang lebih besar didegradasi secara enzimatis oleh amylase. Ini kemudian disimpan di system retikuloendotelial untuk beberapa jam dan diyakini dieksresikan melalui ginjal. Ini memproduksi efek pengenceran sama dengan plasm ekspander lainnya dan mengurangi Faktor VIII: level C dengan 50% pada dosis 1 L, dengan pemanjangan waktu parsial protrombin. Hetastrach dapat juga masuk dalam pembentukan bekuan darah dengan pergerakan langsung ke bekuan fibrin dari molekul hetastarch. Pada volum yang direkomendasikan(20ml/kg), ada campur tangan minimal dengan uji silang berikutnya. Dosis berulang dapat menyebabkan akumulasi dan efek samping, yang termasuk reaksi alergi dan perdarahan seketika digunakan dosis yang lebih besar(20-25ml/kg). Bentuk baru dari selulosa hidroksetil telah disetujui penggunaanya di AS. Hextend berisikan hetastarch 6% dlam laurtan yang mendekati konsentrasi fisiologis dari elektrolit mayor. Ini juga mengandung level fisiologis glukosa dan laktat sebagai buffer. Berbeda dengan Hespan, unit polimer hesxtend memiliki masa rata rata 670kd, dengan 80% dalam kisaran 20 2500 kd, sehingga hextend menjadi lebih kecil daripada hespan. Pada studi 90 pasien dengan pembedahan mayor, pasien yang diberikan Hextend tidak memiliki perubahan yang signifikans pada profil tromboelastogram. Pasien yang menerima larutan RL diketahui hiperkoagulasi, dan yang mendapatkan hespan diketahui hiperkoagulasi dibandingkan dibandingkan dengan nilai dasarnya. Perbedaan ini bisa saja disebabkan oleh masa molekul yang lebih kecil, tapi banyak data yang masih diperlukan untuk membuat kesimpulan. Pentastarch Pentastrach merupakan masa molekul hetastrach yang lebih rendah dengan kelompok hidroksetil yang lebih sedikit. Ini diikutkan dalam uji klinik di AS dan memiliki efek antikoagulan sama dengan hetastarch. Emulsi perflourokemikal dan hemoglobin bebas stroma Emulsi perflourokemikal memilik kapasitas pembawa oksigen linear tapi tidak cukup untuk mempertahankan fungsi seluler manusia dan dengan demikian tidak berguna secara klinis. Larutan hemoglobin bebas stroma diproduksi dengan memproses RBC manusia dan hewan. Studi awal bebas hemoglobin bebas stroma ini telah menunjukkan potensi bahaya pada fungsi ginjal, dan campuran ini tidak disetujui dalam penggunaan klinik, meskipun mereka memiliki kapasitas pembawa oksigen yang sama dengan hemoglobin normal.

Manajemen cairan pada kondisi klinis spesifik Panduan berikut ini dimaksudkan untuk memfasilitasi memulai terapi, tapi pilihan terapi dan kecepatan pemberian harus disesuaikan untuk mencapai tujuan fisiologis. Panduan ini hanya merupakan awal bagi pasien tanpa komorbiditas mayor lainnya dari oran vital. Observasi respons pasien membentuk dasar untuk modifikasi yang berlanjut dalam lingkaran feedback. Cairan pemeliharaan rutin Cairan pemeliharaan rutin digambarkan untuk pasien paska operasi dengan berat 70kg. Pasien ini memerlukan 110 mL H2O dan 110kcal/jam atau 2640ml dan 2640 kcal/hari. Contoh ini berdasarkan aturan 4-2-1(lihat tabel 46-21), yang memberikan perkiraan terdekat dalam pemberian air. Persyaratan natrium(1,5mEq/kg/hari) dilarutkan dalam kebutuhan cairan harian 2,64L;

100mEq/kg/ hari kebutuhan air: 100mEq K/2,64 L = 42 mEq/L. Bagaimanapun konsentrasi kalium perlu dibatasi jika cairan harus diinfus pada vena perifer karena iritasi kimia yang diinduksi oleh konsentrasi kalium tinggi. Kebutuhan glukosa yang diperlukan otak dan RBC kasarnya sekitra 2mg/kg/menit. Karena dekstrosa mengandung 3,41 kcal/g bukan 4kcal/g glukosa, sekitra 17% lebih dekstrosa daripada glukosa yang dibutuhkan. Jika karbohidrat tidak disediakan, glikogenolisis dan glukobeogenesis dari pool asam amino memyediakan glukosa yang diperlukan tapi mempercepat katabolisme protein. Karbohidrat dikatakan mencegah katabolisme(yaitu cadangan protein), tapi manfaat dosis dekstrosa ini tidak jelas. Kelaparan total paling disukai karena konsentrasi insulin menurun sampai ke tingkat yang paling rendah, memfasilitasi lipolisis sebagai sumber kalori. Osmolaritas 7,5% dekstrosa 417mOsm/L, yang ditambahkan 156mOsm/kg H2O, menyebabkan larutan sangat hiperosmolar. Kebutuhan glukosa dan hiperosmolalitas sekitar 5% dekstrosa. Jika ada kehilangan lain(contohnya drainase gaster), natrium dan air tambahan. Drainase gaster 0,5L/hari kehilangan 30 -50 mEq natrium dan 50-60 mEq klorida(tabel 46-22). Ketika ditambahkan pada cairan pemeliharaan, konsentrasi ini mendekati NaCL 0,45%. Larutan ini biasanya digunakan sebagai cairan intravena paska operasi pada pasien dengan drainase nasogaster. Pemberian cairan intraoperatif rutin Tujuan pemberian cairan intraoperatif adalah untuk mempertahankan transportasi oksigen yang adekuat, konsentrasi elektrolit normal dan normoglisemia. Kebutuhan total cairan terdiri dari ekspansi volum intravaskular kompensasi(CVE), penggantian defisit, cairan pemeliharaan, pengembaian cairan yang hilang, dan penggantian redistribusi cairan(cairan ruang ketiga): Kecepatan pemberian cairan= CVE +defisit+ hilangnya cairan+ ruang ketiga

45

Ekspansi volum intravaskuler kompensasi Volum intravaskuler biasanya ditambahkan untuk mengkompensasi untuk venodilatasi dan depresi kardiak yang disebabkan oleh anestesi. Mempertahankan transpor oksgen adekuat berkaitan dengan konsumsi oksigen penting dalan tujuan terapi cairan. Transpor oksigen jaringan bergantung pada konsentrasi hemoglobin, tegangan oksigen, tekanan perfusi organ, dan resistensi vaskuler organ. Tekanan perfusi organ bergantung pada tekanan arteri sistemik dan tingginya tekanan perifer vena organ atau tekanan jaringan. Tekanan arteri bergantung pada curah jantung dan resistensi vaskuler sistemik. Curah jantung terkait dengan volum yang dikeluarkan dan kecepatan jantung, bergantung pada preload, kontraktilitas dan afterload. Anestesi regional dan umum menyebabkan dilatasi vena dan arteri, dan mengekspansi kapasitas vaskuler. Lalu mengurangi tekanan vena perifer dan dengan demikian darah kembali dan keluaran jantung. Cairan yang dimasukkan untuk mengekspansi volum darah untuk mengkompensasi venodilatasi. Anestesi umum mengurasngi depresi miokard(lihat bab 7). Meningkatkan preload jantung dengan memberikan infus intravaskuler untuk memanfaatkan mekanisme Starling sering mengembalikan volum yang dikelurakan sampai pada kisaran yang dapat diterima. Paska operasi, venodilatasi dan depresi miokard dengan cepat berkurang ketika pemberian anestesi dihentikan. Pasien dengan gangguan jantung atau respons ginjal dapat kemudaian menjadi hipervolemik akut. CVE dengan 5 sampai 7 mL/Kg dari larutan garam seimbang harus berlangsung sebelum atau simultan dengan onset anestesi. Defisit Karakteristik defisit cairan Defisit cairan sama dengan kebutuhan pemeliharaan cairan yang meningkat dalam hitungan jam karena asupan akhir tanpa hilangnya asupan yang tidak dapat digantikan preoperatif eksternal dan ruang ketiga. Ketika hipovlemik terjadi, cairan yang cukup harus dimasukan untuk mengembalikan tekanan mean arteri, kecepatan jantung, dan tekanan pengisian sampai nilai mendekati normal sebelum induksi. Jika waktu yang cukup tersedia, pengembalian kecepatan urin normal juga diperlukan. Kecepatan cairan infus untuk pasien normal harus diatur untuk memasukkan 3-4 kali tingkat pemeliharaan sampai defisit yang dihitung dapat dikoreksi. Kelainan elektrolit sudah umum pada pasien rawat inap. Urgensi pembedahan sering memaksa kita untuk mengeevaluasi dan mengkoreksi kelainan yang telah ada yang bisa saja berkaitan dengan masalah pembedahan atau pada penyakit komorbid atau terapi mereka. Prinsip manajemen akan dibahas pada bagian dari bab ini. Induksi anestesi dan onset ventilasi mekanis, perpindahan cairan, dan respons stres yang diinduksi trauma pembedahan semuanya menyebbakan distribusi ulang air, protein, dan elektrolit. Studi yang paling umum dan sering dipelajari adalah kelainan kalium, kalsium dan magnesium.

Cairan pemeliharaan. Cairan pemeliharaan memenuhi kebutuhan basal yang berlangsung untuk air dan elektrolit seperti yang disebutkan sebelumnya. Onset stimulasi pembedahan dan onset anestesi menyebabkan perubahan perubahan katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan. Ini cenderung mengurangi sekresi insulin atau menahan efek penurunana glukosanya, menyebabkan hiperglisemia. Jika larutan berisikan dekstrosa diinfuskan pada konsentrasi 5% biasa pada kecepatan yang diperlukan selama pembedahan, hiperglisemia berat akan muncul. Cairan yang digunakan untuk volum pemeliharaan tidak boleh mengandung dekstrosa. Hilangnya cairan Hilangnya cairan ekstemal(seperti darah, asites) harus digantikan untuk mempertahankan volum darah normah dan komposisi normal CES. Hilangnya darah digantikan mulanya dengan 3ml larutan garam seimbang atau NaCl 0,9% untuk masing masing ml hilangnya darah. Untuk setiap ml darah yang dihilang, 1 ml larutan koloid harus diberikan untuk memberikan peningkatan tekanan pengisian, tekanan darah arteri, dan kecepatan jantung. Infus PRBC digunakan setidaknya 1 mL untuk 2 mL darah yang hilang ditambah dengan kristaloid dan koloid, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Meskipun efek pada volume 1:1, hematokrit PRBC(60% sampai 70%) sekitar dua kali hematokrit pasien. Pada pasien dengan tahanan jantung dan tanpa sirkulasi regional yang berbahaya( seperti koroner, serebral, renal, usus), level hemoglobin 7,5g/dL atau lebih besar biasanya lebih bisa ditoleransi. Jika volum normal dan gagal jantung bukanlah masalah, tanda aktivasi simpatetik, desaturasi oksigen vena campuran, atau tanada EKG dengn iskemia miokard menunjukkan kebutuhan pemberian RBC. Persamaan berikut digunakan untuk menghitung volum RBC yang diperlukan yang diinfuskan, dan beratnya diukur dalam kilogram. Karena PRBC memiliki hematokrit 60%, volum yang diinfuskan ditemukan dengan membagi volum RBC yang diperlukan oleh hematokrit unit PRBC. PRBC yang diinfuskan=(Hct yang diinginkan x 55 x berat- hct yang diobservasi x 55 x berat) /0,60 Asites dan efusi pleura yang dikeluarkan selama pembedahan berubah pada kecepatan yang berbeda. Komposis elektrolit sama dengan volum CES, tapi juga berisikan protein pada konsentrasi 30 sampai 100% dari nilai plasma. Larutan garam seimbang merupakan cairan yang paling sesuai untuk penggnatian, tapi koloid tidak harus diberikan ketika pengenceran tekanan osmotik koloid pasien(COP) menjadi berat(<15 sampai 17mmHg) dan volum redistribusi kristaloid yang tampak mulai meningkat. Komposisi elektrolit dari hilangnya cairan traktus gastrointestinal sangat bergantung tempat. Kebanyakan cairan hilang gastrointestinal dipindahkan pada saat pembedahan masuk ke lumen usus preopeatif dan harus dianggap sebagai bagian dari

47

defisit. Penguapan dari viscera yang terpapar semuanya adalah air, tapi elektrolit tertinggal di belakangnya,menyebabkan kebutuhan air bebas. Jumlah yang diuapkan langsung proporsional dengan suhu dan area yang terpapar dan proporsional terbalik dengan kelembapan relatif. Kelebihan urin karena diuretik, glikosuria, atau diabetes insipidus harus digantikan dengan larutan dengan pengukuran elektrolit urin. Secara umum, konsenstrasi natrium berkisar antara 50 dan 100, dan konsentrasi kalium berkisar 20 dan 60 mEq/L. Distribusi ulang Redistribusi(atau hilangnya cairan pada ruang ketiga) umumnya berasal dari edema an pergeseran cairan transeluler dari edema. Secara fungsi, cairan ini tidak ada dalam ruang vaskuler. Volum edema yang terbentu diatur oleh prinsip yang dibahas sebelumnya. Koloid masuk ke jaringan yang luka dengan kecepatan yang lebih dari normal tapi pada kecepatan yang lebih lamban pada elektrolit. Sebagai contoh, edema dinding usus dikurangi dengan pemberian cairan yang mengandung koloid dibandingkan dengan kristaloid. Komposisi hilangnya cairan ekivalen dengan konsentrasi volum elektrolit CES ditambah dengan sejumlah protein. Larutan garam seimbang merupakan cairan pengganti yang paling sesuai. Volum yang didistribusi ulang kasarnya berkaitan dengan derajat manipulasi jaringan. Prosedur intra abdomen dengan insisi kecil(histerektomi) dapat memerlukan tambahan 2ml/kg/jam, sedangkan reseksi besar usus memerlukan tambahan 4 sampai 6 ml/kg/jam. Tabel 46-23 menjelaskan manajemen cairan, dimulai dengan level hemoglobin 15 g/dL, untuk pasien 70kg dengan gasterektomi yang telah puasa 10 jam. Tingkat pemeliharaannya 110mL/jam, sehingga defisitnya 1100mL. Selama jam pertama dan kedua aktifitas intra abdomen, 100ml darah hilang dan digantikn dengan kecepatan 3:1 dengan larutan garam seimbang. Pada jam ke 4, defisit digantikan, dan karena abdomen ditutup selama waktu tersebut, perkiraan cairan hilang dapat dikurangi, dan tidak ada darah yang hilang lagi. Asumsi ini disebutkan bahwa aliran urin 50 sampai 80ml/jam dan detak jantung dan tekanan darah arteri berada pada kisaran yang dapat diterima dan tekanan vena sentral(CVP) masih berada pada 6 sampai 9 mmHg. Ketika output CVP atau urin mulai meningkat, kecepatan pemberian cairan akan diperlambat. Jika oliguria dan takikardia terjadi, blous cairan akan diberikan. Pasien pediatrik Ada beberapa pertimbangan yang relevan pada manajemen cairan pediatrik tambahan pada pasien dewasa. Neonatus telah membatasi kemampuan untuk mengencerkan atau mengkonsentratkan urin dan memiliki kebutuhan cairan yang tinggi. Neonatus seharusnya tidak dengan cairan lebih dari 3 sampai 4jam; sebaliknya, dehidrasi dapat terjadi. Makanan harus diberikan samapi 6 sampai 8 jam sebelum induksi anestesi, dan cairan yang berisikan glukosa murni harus diberikan kira kira 4

jam sebelum induksi. Cairan jernih didefinisikan sebagai cairan transparan yang tidak mengantung material partikulat atau protein, yang mengkoagulasikan pada medium asam lambung. Dengan menggunakan prinsip yang sama pada dewasa, neonatus memerlukan cairan pemeliharaan NaCL 0,3% dengan kalium. Pemberian dekstrosa tidak boleh melebihi 5mg/kg/menit. Ini dapat secara umum dapat dipenuhi dengan menggunakan cairan dekstrosa 2,5%. Selama prosedur yang lama dan ekstensif, glukosa darah harus dimonitor dan kecepatan pemberian glukosa jug dimodifikasi. Sebaliknya pilihan dan volum cairan adalah sama yang dijelaskan untuk dewasa. Pasca operasi pada pasien dengan obstruksi usus Pasien dengan obstruksi usus sering lama dan simpanannya terbatas pada beberapa sistem organ. Untuk memperkirakan derajat hilangnya cairan sulit karena tertahan pada lumen usus, dimana ini tidak dapat diukur. Pengurangan cairan perlahan lahan memudahkan ekpresi penuh mekanisme kompensasi yang menutupi derajat defisit. pasien sering tidak menyerap cairan selama beberapa jam sebelum masuk ke RS dan seringkali muntah. Pasien dapat saja dengan cedera usus iskemik dengan cairan lumen dan pembentukan asites. Asupan cairan perioperatif lebih besar dari output yang diukur, menyebabkan konsultan untuk menyarankan diuressis unuk memasukkan lebih banyak cairan. Nutrisi yang terganggu preoperatif, dan hilangnya protein pada usus meningkat, menyebakan hipoalbuminemia dan memperburuk hilangnya cairan dari ruang vaskuler. Gambaran klinis merupakan satu dari kebutuhan cairan yang berlangsung dengan tidak adanya cairan yang hilang eksternal, biasanya merujuk pada ruang ketiga. Tujuan manjemen cairan pada kelompok ini sama dengan pasien lainnya dan termasuk penyimpanan volum vaskuler dan volum intersitial, koreksi deplesi elektrolit, koreksi asidosis, reduksi resistensi vaskuler sistemik sampai pada kisaran normal dan optimalisasi transpor oksigen dan penggunaannya. Infus cairan inisial dapat mengembalikan cukup volum intravaskuler untuk tekanan darah dan detak jantung meningkat. Meskipun demikian volum intravaskuler masih dapat berkurang, dengan rendahnya output jantung dan vasokonstriksi arteri dan vena berat. Volum CES(kecuali untuk usus) masih dalam dehidrasi dan berlanjut menerima cairan dari ruang vaskuler. Pasien yang vasokonstriksi gagal untuk memperfusikan semua jaringa, terbatas pada kecepatan dimana volum CES dapat memperbaikinya. Jika cairan diinfus lebih cepat daripada kecepatan dimana mereka dapat masuk volum CES, meningkatnya tekanan pengisian dapat menyebabkan edema pulmoner. Ini sangat penting untuk memperkirakan tekanan pengisian, keluaran jantung, dan resistensi vaskuler sistemik seketika cairan intravaskuler agresif dengan larutan garam seimbang dan koloid dikejar. Ini mungkin perlu untuk memasukkan vasodilator arteri seperti nitroprussida untuk memfasilitasi koreksi.

49

Manajemen pasien tipikal termasuk monitor ketat tekanan darah arteri, detak jantung, CVP, tekanan nadi dan variasi respirasi, keluaran urin, dan elektrolit. Jika semuanya stabil, level hemoglobin dan COP harus dimonitor setiap 2 sampai 4 jam sampai stabil. Naiknya level hemoglobin mengindikask\ikan berlangsungnya kehilangan cairan dari air plasma, dengan atau tanap hilangnya protein. Peningkatan COP mengindikasikan hilangnya air plasma terus menerus pada hilangnya kelebihan protein. Karena kebutuhan cairan pemeliharaan bertahan, dekstrosa 5% diinfuskan dalam 0,45% NaCl dengan 20 sampai 40mEq KCl pada kecepatan pemeliharaan. Hilangnya cairan pada usus dan volum CES sama dengan air plasma pada komposisi elektrolit, dan larutan garam seimbang merupakan pilihan pertama untuk bolus cairan yang diperlukan untuk mempertahankan volum plasma. Karena hilangnya cairan juga berisikan protein, tekanan onkotik albumin atau koloid harus dimonitor dan koloid diinfuskan. Jika COP rendah (<15 sampai 18 mmHg) bersamaan dengan ketidakstabilan hemodinamik, penggantian harus dimulai pada kecepatan 3ml/kg/jam. Jika output urin meningkat diatas 1,5ml/kg/jam, dokter harus memeriksakan glukosuria. Jik glukosuria negatif, kecepatan infus cairan dikurangi 0,5ml/kg/jam. Jika nilai CVP atau COP meningkat diatas nilai biasanya pasien dan output urinnya 0,5 sampai 1,5 ml/kg/jam. Jika nilai CVP atau COP atau keduanya, menurun dibawah nilai dasar dan kecepatan aliran urin rendahm larutan garam seimbang atau koloid dimasukkan cepat (0,5 sampai 2ml/kg/jam) dengan monitoring ketat pada tekanan pengisian). Pasien dengan gagal hati Manajemen pasien dengan gagal hati dipersulit dengan beberapa masalah interaksi. Pasien ini menjadi hipervolemik dan hipovolemik secara simultan. Kebanyakan cairan infus tertahan, tapi fungsi ginjal memburuk, bersamaan dengan retensi Na yang bermakna dan pengisian arteri. Tidak ada satupun yang menjelaskan penemuan klinis atau menyebabkan keberhasilan terapi ini. Menurut hipotesis pengisian arteri, beberapa faktor yang disebabkan atau tidak dikatabolisir dengan gagalnya hati menyebabkan dilatasi arteri yang tidak wajar. Hipotensi relatif menyebabkan aktifasi sistem saraf sistematik, RAS, dan pelepasan Vasopressin. Ini menyebabkan retensi Na dan air, menyebabkan asites dan edema jaringan. Pasien sirosis memiliki resistensi vaskuler sistemik rendah, output jantung tinggi, dan hipotensi relatif. Endotoksemia persisten(pintas melalui anastomosis portosistemik dan absorpsi toksin yang dipacu dari intestinal sampai ke defisiensi garam empedu) dapat menyebabkan vasoditasi dengan aktifasi kaskade mediator sekunder, dimulai dengan faktor nekrosis tumor dan interleukin. Neurotransmiter vasodilator lainnya dapat dihasilkan atau tidak dapat dibersihan oleh hati yang rusak. Hipotesis Retensi Na primer menjelaskan retensi Na bermakna pada

hiperaktifitas hormonal karena gagal hati untuk memetabolisir aldosteron. Ekspansi volum CES, distribusi asites dan edema jaringan dijelaskan dengan tekanan vena porta tinggi abnormal dan hipoalbuminemia. Kelainan peptida arterial natriuretik(ANP) telah diselidiki. Level ANP dapat normal atau rendah pada pasien sirosis; ini berbeda dengan penigkatan yang biasanya ditemukan pada pasien yang volumnya terekspansi. ANP yang meningkat dengan imersi air atau pemberian cairan, tapi natriuresis tidak begitu terkait dengan level ANP. Imersi air dari tubuh bawah mengkompresi sistem kapasitansi vena, menyebabkan sentralisasi volum darah. Ini merangsang infus volum tanpa penambahan Na atau air pada tubuh dan harus menyebabkan pelepasan ANP. Imersi air tidak meningkatkan level ANP pada pasien asites, yang kemudian memiliki respons tumpul. Pelepasan ANP yang terganggu gagal menjelaskan retensi Na. Pasien dengan asites tegang meningkatkan ANP, renin dan konsentrasi aldosteron. Setelah parasentesis, ANP meningkat, tapi level renin dan aldosteron menurun. Alasan penemuan ini tidak dapat dijelaskan, tapi penurunan tekanan intra abdomen dapat menurunkan tekanan cava inferior, memfasilitasi darah yang kembali ke vena, dan meningkatnya level ANP. Penurunan terkanan intraabdomen akan meningkatkan tekanan perfusi ginjal, menyebabkan pengurangan pelepasan renin dan kemudian generasi aldosteron. Peran penurunan tekanan intra abdomen pentng dalam mempertahankan retensi Na setelah asites ada. Peningkatan tekanan intraabdomen meningkatkan tekanan kava. Ini menurunkan aliran darah ginjal dan kecepatan filtrasi glomerulus karena gradien tekanan perfusi ginjal(yaitu tekanan mean arteri dikurang tekanan vena ginjal) dikurangi oleh hipotensi sitemik dan ditingkatkan oleh tekanan kava. Hipotensi dan reduksi aliran darah ginjal dapat menyebabkan reabsopsi Na dan eksresi Na fraksi rendah. Hipoalbuminemia berasal dari sintesis yang terganggu oleh hati, transudasi ke dalam cairan asites karena hipotensi portal dan malnutrisi. Rendahnya COP menyebabkan hilangnya cairan dari ruang vaskuler kedalam ruang interstitia;. Menyebabkan hipovolemia intravaskuler. Asites berasal dari tekanan porta tinggi dan hipoalbuminemia, peningkatan yang jelas volum cairan transeluler, yang secara fungsional dikeluarkan dari perubahan volum CES. Pool darah splanknik berasal dari meningkatnya resistensi vena porta ditambah dengan menurunnya pool tubuh bawah yang berasal dari meningkatnya tekanan kav dari asites cenderung menurunkan darah kembali bena sistemik bersih. Pasien secara fungsional hipovolemik meskipun volum darah normal atau meningkat. Gagal jantung dari kardiomiopati alkoholok dapat selanjutnya mempersulit gambaran klinisnya. Tujuan pada pasien ini adalah menghindarai peningkatan pemasukan cairan interstitiasl yang berlebih, mempertahankan konsentrasi Kalium normal, dan mempertahankan volum intravaskuler. Jika gagl jantung ada, pengobatan harus

51

termasuk pemberian obat obatan inotropik dan diuretik ketika tekanan pengisian ditingkatkan. COP intravaskuler harus dikembalikan dengan infus albumin 25% ketika mungkin. Jika pasien hipovolemik akut, albumin 5% harus dipilih daripada kritaloid, yang cenderung mengekspansi volum CES yang telah terekspansi berlebihan(yaitu menyebabkan lebih edema dan asites). Tekanan intra abdomen harus diperkirakan dai tekanan kandung kemih dan parasentesis dilakukan ketika ini meningkatkan diatas 20 sampai 25mmHg. Pengujian pada dopamin, norepinefrin, fenilprenin, atau vasopressin dapat dilakukan pada pasien hipotensif dengan resistensi vaskuler yang rendah dan hipotensi meningkatkan tekanan perfusi ginjal dan aliran darah ginjal. Pasien dengan gagal jantung Manajemen cairan pada gagal ginjal diarahkan untuk mengoptimalkan preload jantung, menghindari pemberian berlebihan Na, menghilangkan edema, dan mengkoreksi kelainan elektrolit umum. Mempertahankan preload jantung ideal sleama pergeseran cairan cepat yang terjadi perioperatif difasilitasi dengan ukuran langsung atau tidak langsung dari preload dan fungsi kontraktilitas jantung. pengukuran preload termasuk CVP, output termodilusi jantung, volum diastolik akhir, EKG, PAOP, dan tekanan atrium kiri. Pengukuran fungsi kontraktil jantung termasuk volum yang keluar, fraksi ejeksi, dan kerja keluaran. Pasien dengan riwayat gagal jantung dijadwalkan unutk pembedehan besar dan lama harus dimonitor yang dimulai preoperati dan perbaikan cairan intravaskuler(yaitu 500 sampai 1000ml/70kg kristaloid) yang dilakukan untuk mengidentifikasi level preload optimal. Edema jaringan dihindari dengan monitoring ketat preload dan tekanan darah atrium diikuti dengan bantuan kontraktilitas dan resistensi kontrol vaskuler. Pasien ini telah mengalami gangguan kemampuan untuk mengekresikan cairan selama mobilisasi cairan, yang terjadi paska operasi. Karena volum CES biasanya sudah diekspansi pada pasien ini, kecepatan awal infus cairan intraoperatif harus berada pada kecepatan yang lebih rendah dari perkiraan. Sama juga, pemeliharaan volum intravaskuler tanpa ekspansi ruang interstitial menggunakan koloid selama periode perioperatif. Paska operasi, monitoring hemodinamika dilanjutkan sampai mobilisasi cairan selesai. Tujuan paska operasi adalah untuk memberikan sedikit mungkin koloid yang diperlukan untuk mempertahankan performa kardiovaskuler keseluruhan. Pasien perioperatif biasanya menerima lebih dari 200mEq Na per hari, termasuk pemeliharaan cairan, salin yang digunakan, untuk mengukur output jantung, Na dari pemberian antibiotik, dan infus Na dengan medikasi vasoaktif dan agen inotropik. Cairan harus dipertahankan pada level pemeliharaan rendah dan cairan botolan dan dosis Na harus diukur sesegera mungkin seketika output urin mulai meningkat atau tekanan pengisian atau volum diastolik mulai meningkat, cairan pemeliharaan harus dihentikan semuanya. Jika preload menjadi berlebih, diuretik harus diberikan. Pasien dengan gagal jantung memiliki masalah elektrolit primer karena

mekanisme kompensasi fisiologis yang diaktifasi oleh performa jantung yang terganggu. Ini kemudian dipersulit oleh terapi dengan diuretik, digitalis, vasodilator, dan inhibitor ACE. Hiponatremia sering terjadi karena aktifasi berlebihan sistem vasopressin selain retensi natrium. Pengobatannya diarahkan untuk mengeksresikan masuknya air berlebih dengan diuretik, yang harus meningkatkan eksresi air bebas lebih dari eksresi natrium. Pemberian Natrium tidak diindikasikan jika tidak pengurangan volum diketahui. Aktifasi aldosterin dan diuretik menyebabkan hilangnya kalium dan magnesium. Ion ini penting untuk mempertahankan stabilitas elektrofisiologi jantung, sebagai mana dengan keefektifan kontraktilitas jantung, dan hipokalsemia sangatlah umum selama perioperatif. Kalsium terionkan harus diukur dan dikoreksi secara rutin. Hipopospatemia berat sering ada bersama dengan kelainan kalsium, kalium, dan magnesium dan menyebabkan penurunan kontraktilitas. Pasien dengan edema serebral Manajemen cairan pasien dengan edema serebral diarahkan untuk mempertahankan tekanan perusi serebral, menghindari elevasi tekanan vena serebral dan hipertensi, mencegah perubahan besar pada osmolalitas plamas(terutama depresi osmolalita plasma) dan menghindari hiperglisemia. Tekanan perfusi serebral(CPP) harus dipertahankan pada kisaran normal(80-90mmHg) karena autoregulasi yang terganggu pada otak yang rusak, dengan peningkatan dasar pada resistensi serebrovaskuler. Penghindaran hipertensi intrakranial determinan lain dari CPP, penting untuk mempertahankan aliran darah yang membahayakan tapi bertahan pada jaringan serebral. Pembentukan edema otak dikaitkan dengan tekanan kapiler, COP, dan permeabilitas. Tekanan kapiler antara tekanan vena dan arteri. Hipertensi arteri atau vena sistemik harus dicegah. Perdarahan kapiler otak impermeabel terhadap Na, manitol dan protein, meskipun air masuk dengan bebas. Kerusakan dasar kapiler menjadikannya sangat permeabel, dengan konduktifitas menjadi yang terbesar untuk molekul yang paling kecil tapi kurang untuk koloid. Derajat dehidrasi air tanpa hipovolemia diperlukan untuk mempertahankan level Na plasma antara 142- 148mEq/L. Ini biasa menyediakan 75% sampai 90% cairan pemeliharaan dengan NaCL 0,9% atau larutan RL dan meminimalisir volum air yang diperlukan untuk medikasi lainya. Kristaloid isotonik atau koloid tidak menyebabkan edema pada otak normal dan dapat digunakan untuk mempertahankan volum intravaskuler. Hiponatremia sering disebabkan oleh hipovolemia dengan hilangnya Na yang tidak wajar dan berlanjut menjadi retensi air. Ini semestinya diperlakukan dengan ekspansi volum intravaskuler dengan NaCl isotonik ataupun hipertonik. Nutrisi parenteral dapat dipersiapkan dengan larutan asam amino 15%, lipid 20%, dan dekstrosa70% untuk memberikan protein penuh dan dukungan kalori pada volum minimal. Sama juga dengan formulasi pemberian makan melalui tabung dengan 2Kal/cc harus dilakukan. Hipovolemia harus benar benar dihindari. Infus koloid

53

untuk mempertahankan volum intravaskuler , dipandu oleh monitoring hemodinamik, cenderung memberikan kontrol jangka panjang volum intravaskuler daripada kristaloid. Jika diuteik atau diabetes insipidus menyebabkan hilangnya lebih dari 2ml/kg/jam selama lebih dari 2 sampai 4 jam, kateter arteri pulmoner dapat diindikakan untuk monitoring yang lebih ketat lagi. Glukosa darah harus dipertahankan pada 80 sampai 175mg/dl dengan monitoring ketat, mulanya perjam, dengan penurunan frekuensinya seketika sudah stabil. Selama resusitasi akut, pemberian dekstrosa dibatasi sampai tidak lebih dari 2mg/kg/ menit. Sayangnya indikasi penggunaan penggunaan steroid sangat sedikit akhir akhir ini, untuk mengurangi masalah hiperglikemia. Pasien dengan gagal ginjal anuria yang menjalani pembedahan non transplantasi Manajemen cairan pasien dengan gagal ginjal anuria yang menjalani pembedahan non transplantasi harus menghindari pemberian cairan intravaskuler yang berlebihan dan ekpansi volum CES dan harus mempertahankan atau mengkoreksi elektrolit dan status asam basa. Anestesiolog klinis harus juga mencoba mencegah kondisi pemicu yang akan memerlukan dialisis selama segera paska operasi(seperti hiperkalemia, edem pulmoner, asidosis metabolik). Dialisis sulit atau tidak mungkin pada pasien yang secara hemodinamik tidak stabil, dan antikoagulasi sangatlah dikontraindikaikan untuk beberapa jam setelah operasi. Pasien dengan gagal ginjal kronik sering bersamaan dengan hipertensi, diabetes, dan penyakit pembuluh darah. Menghindari hipotensi dapat diindikasikan untuk mempertahankan tekanan perfusi koroner atau serebral. Pada pasien dengan gagal ginjal akut, hipotensi dapat mempeburuk cedera ginjal iskemik. Ini berbeda dengan kurangnya perhatian pada efek samping pada fungsi pasien dengan gagal ginjal kronik. Dialisis terbaru sering menginduksi pergeseran elektrolit akut, hipovolemia, dan asidosis. Mengurangi tampak sebagai dialisis 12 sampai 24 jam preoperatif. Jika dialisis dilakukan dekat dengan waktu pembedahan, pemindahan volum harus minimal. Pasien dengan gagal ginjal sering kurang gizi, memiliki hipoproteinemia, sering anemik, dan memiliki toleransi glukosa rendah. Hemodinamika harus dimonitor ketat. Jika hipovolemia terjadi, koloid harus digunakan sebelumnya, tapi dokter harus menghindari menghasilkan ekspansi berlebihan. Samahalnya dengan masukan cairan interstisial berlebihan harus dihindari karena akan memerlukan dialisis paskaoperasi akut. Penggantaina kristaloid kehilangan ruang ketiga harus dibatasi 1 sampai 2 ml/kg/jam, sedangkan hilangnya darah digantikan dengan koloid atau SDM. Koreksi Na, K dan asidosis dapat dicapai dengan penggunaan cairan isotonik tanpa K, dengan jumlah Cl yang dikurangi, dan meningkatnya jumlah buffer, secara berturut turut, kecepatan infus cairan pemeliharaan yang dikalkulasikan 30% penting karena mendekati 70% kebutuhan cairan normal yang digunakan dalam mensekresikan larutan melalui ginjal, rute yang yang tidak tersedia lagi. pH dan level Na, K, bikarbonat, dan glukosa harus dimonitor dengan interval teratur.

Pasien dengan sindrom gagal napas dewasa Manajemen cairan Pasien dengan sindrom gagal napas dewasa(ARDS) melibatkan pemeliharaan tekanan osmotik koloid dan memerlukan CVP dan nilai PAOP serendah mungkin sehingga konsisten dengan fungsi ventrikuler yang baik. Transpor oksigen harus dipertahankan, idelany diatas 600ml/menit/m2, dengan meningkatkan indeks jantung dan konsentrasi Hb. Kompensasi efek hemodinamik dari meningkatnya tekanan jalan napas dicapai dengan mempertahankan volum pengisian ventrikel kanan dan kiri. Ketika tejanan jalan napas meningkat, paru- paru berekspansi sesuai dengan kompliansnya. Tekanan intrapleura meningkatkan proporsi langsung ke ekspansi paru paru dan berbalik dengankomplians dada-diafragma. Meningkatnya tekanan intrapelural eningkatkan CVP, yang mengurangi gradien antara perifer dan CVP. Ini mengurangi darah balik jika tidak tonus vena perifernya meningkat atau cairan diberikan. Meningkatnya tekanan vena meningkatkan filtrasi cairan diluar dasar kapiler, yang cenderung menyebabkan hipovolemia. Meningkatnya tekanan pleura dipindahkan melalui perikardium untuk mengurangi gradien tekanan pengisisian dari semua ruang jantung. Reduksi lanjutan pada volum diastolik akhir menghilangkan preload pada semua ruang jantung. Peningkatan tekanan intrapulmoner meningkatkan tekanan artei pulmoner, yang menyebabkan afterload ventrikel kanan meningkat. Pengembalian darah vena yang berkurang, menurunnya preload ventrikel kanan, dan meningkatnya afterload dapat mengurangi volum keluar ventrikel kanan, menyebabkan kekakuan septa interventrikuler, dan mengurangi preload ventrikel kiri. Semua konsekuensi ini dapat diperbaiki dengan ekspansi volum intravaskuler, kecuali untuk meningkatnya afterload pada ventrikel kanan. CVP dan volum diastolik ahir ventrikel kanan dimonitor untuk membantu untuk membangun terapi inotropik. Peningkatan CVP juga mengurangi pengembalian limfatik dari paru paru dan perifer. Sepsis, kondisis yang paling sering bersamaan dengan ARDS, menyebabkan meningkatnya kapasitas vaskuler dan vasodilatasi, menurunkan COP, dan menyebabkan edema jaringan. Outcome klinik bersih dari faktor ini adalah bahwa asupan cairan biasanya melebihi output sampai ARDS dan sepsis mulai terjadi. Studi yang membandingkan manajemen kristaloid dan koloid dalam waktu terjadinya ARDS dievaluas. Meskipun begitu, setelah 48 jam, funsgi pulmoner dapat agak lebih baik pada pasien yang ditatalaksana sebagai bagian koloid daripada kristaloid sendiri. Pasien luka bakar akut Manajemen cairan pasien luka bakar akur menitikberatkanpada pengembalian volum plasma dan pergeseran volum CES dalam jaringan yang terbakar tapi masih viabel, diikuti dengan peningkatan hilangnya cairan disebabkan oleh hilangnya fungsi pertahanana normal kulit. Cedera jaringan yang disebabkan oleh terbakar menyebabkan disrupsi dasar kapiler, yang dimanifestasi dengan vasodilatasi lokal, meningkatnya permeabilitas, dan dianggap, menurunnya refleksi koefisien protein. Vasodilatasi

55

meningkatkan area permukaan untuk filtrasi dan cenderung meningkatkan tekanan kapiler. Menurunya refleksi koefisien menghilangkan kemampuan koloid untuk mempertahankan ciaran dalam kapiler. Air, elektrolit, dan protein yang masuk ke dlam jaringan terbakar dengan mempertimbangkan volum intravaskuler. Cairan dimobilisasi dari jaringan yang sehat dengan berbagai proses, dengan hasil bersih transfer cairan dari jaringan normal kedalam jaringan yang cedera dan hipovolemia intravaskuler. Permeabilitas sebelumnya dianggap meningkatkan pada semua jaringan setelah luka bakar serius, tapi ini bukannlah pandangan paling baru. Sebagai tambahan pada edema jaringan, ada peningaktan nyata pada hilangnya cairan air dengan penguapan dari permukaan luka, dan kecepatan metabolik meningkat secara dramatis, menyebabkan kebutuhan cairan yang seimbang. Beberapa formula telah dikembangkan untuk membantu menuliskan repep cairan awal. Kunci keberhasilan adalah monitoring ketat hemodinamik dengan titrasi terapi pada fisiologis individual pasien. Sebagai contohnyam jika output urin meningkat secara progressif atau jika tekanan pengisian meningkat, pemberian ciaran harus dikurangi. Pemberian cairan Parkland berdasarkan persentase area permukaan tubuh(BSA) yang terbakar(persentase BSA yang terbakar): 2ml/kg/% BSA yang terbakar selama 8 jam dan 2ml/kg/% BSA yang terbakar selama 16 jam berikutnya. Formula ini menuliskan regimen berikut cairan: Larutan RL pada [(0,25ml/kg)/(%BSA terbakar)]/jam selama 8 jam Larutan RL pada [(0,125ml/kg)/(%BSA terbakar)]/jam selama 16 jam Dekstrosa dalam air pada [(0,8ml/kg)/(%BSA terbakar)]/jam ditambah albumin 5% pada [(0,015ml/kg)/(%BSA terbakar)]/jam selama 24 jam Sebagai contoh, orang 50kg dengan 50% BSA terbakar harus mendapatkan cairan yang sama dengan (50kg) x (0,25ml/kg)x(50%BSA terbakar) atau 625ml/jam selama 8 jam ini diikuti dengan cairan yang sama dengan (50kg) x (0,125ml/kg)x(50%BSA terbakar) atau 310 ml/jam selama 168 jam. Selama 24 jam kedua, cairan yang diberikan sama dengan (50kg) x (0,08ml/kg)x(50%BSA terbakar) atau 200ml/jam dekstrose 5% dalam air , ditambah (50kg) x (0,015ml/kg)x(50%BSA terbakar) atau 37,5ml/jam albumin 5%. Koloid tidak dikontraindikasikan, bahkan selama fase akut resusitasi cairan. Meskipun merka melintasi jaringan cedera pada kecepatan yang dipercepat, mereka memiliki efek yang masih ada pada volum plasma daripada kristaloid sendiri. Pasien hamil dengan preeklamspsia Tujuan manajemen cairan pasien hamil dengan preeklampsia adalah untuk mengembalikan volum intravaskuler yang dikontraksikan, menghindari pemberian cairan intravaskuler eksesif karena mobilisasi cairan postpartum normal, menggantiakan meningkatnya hilangnya cairan yang dirasakan(keringat) dan yang tidak dirasakan(respirasi) karena melahirkan, harus dipersiapkan untuk menggantikan

hilangnya darah cepat, menghindari hipotensi karena vasodilatasi yang diinduksi oleh anestesi untuk mempertahankan aliran darah uteroplasenta, mempertahankan normoglisemia, menghindari penurunan COP lanjutan, dan mencegah edema pulmoner dan serebral. Pengembalian volum plasma yang berkurang dari penting untuk kontrol hipertensi dan pemberian anestesi. Volum plasma diturunkan pada pasien preeklampsia karean meningkatnya tekanan vena tubuh bawah dari kompresi uterus, natriuresis yang diinduksi tekanan seperti yang terlihat pada hipertensi, vasokontriksi berat, dan hipoproteinemia karena proteinuria. Setelah partus, cairan yang tertahan selama kehamilan biasanya cepat dimobilisir dan diekskresikan. Pasien preeklampsia, meskipun begitu, dapat membahayakan fungsi hepatik, ginjal atau jantung, memperlambat ekresi terus menerus cairan ini. Pasien ini berisiko edema pulmoner karena gagal jantung yang disebabkan oleh hipertensi berat dan menurunnya COP. Tekanana pengisian jantung harus dimonitor dan PAOP kurang dari 12 sampai 15 mmHg dipertahankan. Tonisitas plasma harus dipertahankan dengan pemberian cairan istonik karena pasien ini berisiko edema serebral. Pasien dengan sedot lemak Pasien dengan sedot lemak menghadapi tantangan unik dalam hal manajemen cairan intraoperatif. Faktor penentu utama perubahan jumlah volum intravaskuler selama pembedahan merupakan jenis sedot lemak yang akan dilakukan. Sedot lemak dapat mejadi prosedur berbasis kantor mengunakan sedasi minimal dan infiltrasi subkutan volum besar dari lidokain yang diencerkan dan larutan epinefrin. Ini merujuk pada teknik tumescent cenderung dipakai untuk memindahkan sejumlah kecil lemak(<3000ml). Infiltrasi volum cairan yang besar digunakan untuk memperkuat jaringan dan memfasilitasi pemindahan lemak dan kerusakan jaringan sedikit pada jaringan subkutan, teknik tumescent ini memiliki sedikit resiko pergeseran cairan yang banyak. Sedot lemak semitumescent cenderung melibatkan pemidahan volum lemak yang banyak, volum lidokain yangbanyak ditambah larutan epinefrin dan banyak sedasi. Ketika volum lebih dari 2000 sampai 3000ml lemak diangkat., pasien ini dilakukan anestesi umum. Kasus ini dpat menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa melibatkan manajemen cairan. Idealnya, epinefrin pada larutan tumescent menurun absorpsi sistemik volum sangat pemberian cairan subkutan. Meskipun demikian, jika cairan ini tidak dihilangkan sebelum efek epinefrin telah berakhir, pasien dapat mengabsopsi jumlah cairan yang diberikan. Laporan kasus menjelaskan perkembangan edem pulmoner setelah sedot lemak. Komplikasi selanjutnya dari manajemen sedot lemak adalah dosis besar lidokain yang diebrikan selama prosedur ini, pasien mendapatkan diatas 70 sampai 80 mm/kg lidokain. Vasokonstriksi dan pemindahan banyak cairan yang diinfuskan dianggap mencegah toksisitas lidokain. Meskipun demikian, satu laporan menunjukkan

57

bahwa lidokain dapat menganggu pembersihan cairan epitel alveolar. Gangguan pembersihan cairan pulmoner yang bersamaan dengan volum intravaskuler dari larutan penyerap dapat menjelaskan dapat menjelaskan beberapa kejadian yang tidak diinginkan termasuk kematian, yang dilaporkan pada sedot lemak. Ada beberapa data signifikan untuk mendukurng peningakatan dosis maksimum lidokain dari standar 7mg/kg, tapi dosis aman maksimum lidokain untuk sedot lemak tumescent masih dalam area kontroversi. The American Academy Of Dermatology telah mempublikasikan panduan untuk sedot lemak. Penggunaan jumlah sedasi intravena atau pemberian analgesik dianggap menjadi potensi bahaya, terutama ketika dilakukan pada latar berbasis kantor. Dosis maksimum lidokain yang direkomendasi 55mg/kg. Dosis yang meningkat ini memerlukan evaluasi preoperatif medikasi pasien untuk menentukan apakah mereka menggunakan obat apapun yang menghambat sistem sitokrom 3A4 atau 1A2. ini adalah jalur utama dimana lidokain dimetabolisir, dan bahkan inhibisi ringan sistem enzim ini dapat menyebabkan level serum lidokain berpotensi letal. Uji terkontrol terkait dengan metode yang terbaik untuk melakukan sedot lemak berkurang. Meskipun demikian, pengetahuan praktis keselurahan menunjukkan bahwa sedot lemak dapat dilakukan dengan aman menggunakan dosis besar lidokain dan volum besar cairan infus. Kewaspadaan terkait dengan volum overload potensial dan edem pulmoner diperlukan untuk dilakukan prosedur ini. Hal hal kunci Air sebagai komponen utama semua kompartemen cairan dalam tubuh dan menampilkan sekitar 60% berat tubuh. Na merupakan ion positif paling banyak pada kompartemen CES dan perlu untuk menentukan osmolalitas ekstraselluler dan intraseluler. K merupakan ion positif paling banyak pada cairan intraseluler dan berperan pentingn dalam potensial membran sel Ca merupakan komponen kunci yang memediasi kontraksi otot; sekresi eksokrin, dan neurokrin; pertumbuhan sel; dan transpor dan sekresi cairan dan elektrolit Mg diperlukan untuk banyak reaksi biokimia; properti famakologisnya memiliki hanya yang baru baru ini dihargai P menyimpan dan melepaskan energi melalui ikatan pospat energi tinggi dan terintegrasi dengan struktur protein, lipid dan tulang Cl merupakan anion predominan pada CES

Glukosa merupakan sumber energi, dan insulin memfasilitasi perpindahan glukosa kedalam sel pada proses yang juga memerlukan K dan P Diabetes mempengaruhi sistem organ multipel, dan efek peroperatif diabetes dapat menjadi dalam Penyebab paling umum dari alkalosis metabolik adalah terapi antasida, pemberian insidental sitrat pada produk darah, pemberian naco3, drainase gaster, dan retensi bikarbonat ginjal Asidosis metabolik bisanya disebabkan oleh rendahnya output jantung dan penyakit hati stadium akhir Transfusi produk darah memperbaiki oksigenasi jaringan dan menurunkan perdarahan, tapi juga meningkatkan risiko transmisi penyakit infeksi, reaksi transfusi, imunosupresi dan alloimunisasi. Anestesi dapat menumpulkan respons fisiologis normal terhadap hipovolemia dan respons stress Syok merupakan disfungsi proses intraseluler yang disebabkan oleh kurangnya energi. CES = cairan ekstraseluler.ECF

59

You might also like