You are on page 1of 13

HIV (human immunodeficiency virus)

Morfologi HIV HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan nama umum virus penyebab AIDS yang telah diputuskan oleh WHO. Nama lain HIV adalah HTLV III atau LAV. HIV terdiri dari 2 serotipe yaitu HIV1 dan HIV2. Terbanyak ditemukan adalah HIV1, sedangkan HIV2

terutama ditemukan di Afrika. HIV 2 diketahui tidak seganas HIV1. HIV1 biasanya cukup disebut sebagai HIV saja. Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang termasuk dalam familia retrovirus yaitu kelompok virus berselubung (envelope virus) yang mempunyai enzim reverse transcriptase, enzim yang dapat mensintesis kopi DNA dari genon RNA. Virus ini masuk dalam sub familia lentivirus berdasarkan kesamaan segmen genon, morfologi dan siklus hidupnya. Sub familia lentivirus mempunyai sifat dapat menyebabkan infeksi laten, mempunyai efek sitopatik yang cepat, perkembangan penyakit lama dan dapat fatal. Partikel HIV terdiri atas inner core yang mengandung 2 untai DNA identik yang dikelilingi oleh selubung fosfolipid. Genon HIV mengandung gen env yang mengkode selubung glikoprotein, gen gag yang mengkode protein core yang terdiri dari protein p17 (BM 17.000) dan p24 (BM 24.000), dan gen pol yang mengkode beberapa enzim yaitu : reverse trans-criptase, integrase dan protease. Enzim-enzim tersebut dibutuhkan dalam proses replikasi. Selain itu HIV juga mengandung 6 gen lainnya yaitu vpr, vif, rev, nef dan vpu yang mengatur proses reproduksi virus. Bagian paling infeksius dari HIV adalah selubung glikoprotein gp 120 (BM 120.000) dan gp 41 (BM 41.000). Kedua glikoprotein tersebut sangat ber-peran pada perlekatan virus HIV dengan sel hospes pada proses infeksi HIV dikelompokkan berdasarkan struktur genom dan antigenitasnya yaitu HIV-1 dan HIV-2

PATOGENESIS INFEKSI HIV Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein virus gp 120 pada molekul CD4. Molekul ini merupakan reseptor dengan afinitas paling tinggi terhadap protein selubung virus. Partikel HIV yang berikatan dengan molekul CD4 kemudian

masuk ke dalam sel hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp 41 yang terdapat pada permukaan membran virus Molekul CD4 banyak terdapat pada sel limfosit T helper/ CD4+, narnun sel-sel lain seperti makrofag, monosit, sel dendritik, sel langerhans, sel stem hematopoetik dan sel mikrogial dapat juga terinfeksi HIV melalui ingesti kombinasi virus-antibodi atau melalui molekul CD4 yang diekspresikan oleh sel tersebut. Banyak bukti menunjukkan bahwa molekul CD4 memegang peranan penting pada petogenesis dan efek sitopatik HIV. Percobaan tranfeksi gen yang mengkode molekul CD4 pada sel tertentu yang tidak mempunyai molekul tersebut, menunjukkan bahwa sel yang semula resisten terhadap HIV berubah menjadi rentan terhadap infeksi tersebut. Efek sitopatik ini bervariasi pada sel CD4+, narnun paling tinggi pada sel dengan densitas molekul CD4 permukaan yang paling tinggi yaitu sel limfosit T CD4+ Sekali virion HIV masuk ke dalam sel, maka enzim yang terdapat dalam nukleoprotein menjadi aktif dan memulai siklus reproduksi virus. Nukleoprotein inti virus menjadi rusak dan genom RNA virus akan ditranskripsi menjadi DNA untai ganda oleh enzim reverse transcriptase dan kemudian masuk ke nukleus. Enzim integrase akan mengkatalisa integrasi antara DNA virus dengan DNA genom dari sel hospes. Bentuk DNA integrasi dari HIV disebut provirus, yang mampu bertahan dalam bentuk inaktif selama beberapa bulan atau beberapa tahun tanpa memproduksi virion baru. Itu sebabnya infeksi HIV pada seseorang dapat bersifat laten dan virus terhindar dari sistem imun hospes. Partikel virus yang infeksius akan terbentuk pada saat sel limfosit T teraktivasi. Aktivasi sel T CD4+ yang telah terinfeksi HIV akan mengakibatkan aktivasi provirus juga. Aktivasi ini diawali dengan transkripsi gen struktural menjadi mRNA kemudian ditranslasikan menjadi protein virus. Karena protein virus dibentuk dalam sel hospes, maka membran plasma sel hospes akan disisipi oleh glikoprotein virus yaitu gp 41 dan gp 120. RNA virus dan protein core kemudian akan membentuk membran dan menggunakan membran plasma sel hospes yang telah dimodifikasi dengan glikoprotein virus, membentuk selubung virus dalam proses yang dikenal sebagai budding. Pada beberapa kasus aktivasi provirus HIV dan pembentukan partikel virus baru dapat menyebabkan lisisnya sel yang terinfeksi Selama periode laten, HIV dapat berada dalam bentuk provirus yang berintegrasi dengan genom DNA hospes, tanpa mengadakan transkripsi. Ada beberapa faktor yang dapat mengaktivasi proses transkripsi virus tersebut. Secara in vitro telah dibuktikan pada sel T yang

terinfeksi virus laten, rangsangan TNF (Tumor Necrosis Factor) dan IL-6 dapat meningkatkan produksi virus yang infeksius. Hal ini penting karena monosit pada individu yang terinfeksi HIV cenderung melepaskan sitokin dalam jumlah besar sehingga dapat menyebabkan meningkatnya transkripsi virus. Infeksi beberapa virus dapat meningkatkan transkripsi provirus DNA pada HIV sehingga berkembang menjadi AIDS yaitu; HTLV-1, cytomegalovirus, virus herpes simplex, virus Epstein-Barr, adeno-virus, papovirus dan virus hepatitis B Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.3 Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam 3 fase, yang meliputi fase akut, fase laten dan fase klinis (fase bergejala).1

2.6.1.

Fase Akut Fase ini terjadi setelah + 3 minggu infeksi awal. 50-70% penderita HIV mempunyai

gejala yang menyerupai mononucleosis akut. Masa ini berhubungan dengan jumlah virus yang tinggi dalam darah. Dalam satu minggu sampai tiga bulan akan terbentuk respon imun terhadap HIV. HIV akan tersebar luas selama fase infeksi, terutama di dalam organ limfoid, kemudian imunitas spesifik HIV yang terbentuk pada fase ini berhubungan dengan penurunan jumlah virus HIV di dalam darah secara tajam sampai mencapai jumlah virus yang relatif konstan. 2.6.2. Fase Laten Setelah infeksi primer, terjadi penyebaran virus, kemudian berperan imunitas spesifik HIV. Fase laten yang berjalan dalam hitungan tahun. Selama masa ini semua pasien mengalami penurunan sistem imun yang dapat dideteksi dengan penurunan CD4. 2.6.3. Fase Klinis Penurunan sistem imunologis secara progresif dapat menimbulkan penyakit yang disebut AIDS, berupa gejala dan tanda penyakit umum berat dan lama, infeksi oportunistik atau neoplasma.

Limfadenopati umum progresif pada beberapa pasien sudah terjadi sejak tahap awal infeksi. Hal ini disebabkan respon imun terhadap HIV yang berlebihan di dalam kelenjar getah bening. Sarkoma Karposi dapat timbul sebelum terjadinya imunosupresi berat.

DEPLESI SEL LIMFOSIT CD4+

1) Proses produksi virus dengan ekspresi gp 41 pada membran plasma dan budding partikel virus akan menyebabkan; a. Kenaikan permeabilitas membran plasma b. Masuknya kalsium dalam jumlah yang mematikan c. Lisis sel. 2) Membran plasma sel terinfeksi HIV akan bergabung dengan sel T CD4+ lain melalui interaksi molekul gp 120-sel T CD4+, sehingga membentuk sel raksasa multinuklear atau sinsitia. Proses pembentukan sinsitia ini dapat menyebabkan kematian sel yang terinfeksi HIV maupun sel yang tidak terinfeksi. 3) DNA virus yang tidak terintegrasi dalam sitoplasma atau sejumlah RNA yang tidak berfungsi dapat bersifat toksik terhadap sel yang terinfeksi. 4) Produksi virus akan mengganggu sintesis atau ekspresi protein sehingga menyebabkan kematian sel. Selain menyebabkan menurunnya jumlah sel limfosit T CD4+, infeksi HIV juga menyebabkan menurunnya fungsi sel tersebut, yang secara tidak langsung berhubungan dengan efek sitopatik dan pengurangan jumlah sel limfosit T. Respon humoral terhadap antigen terlarut dan respon sel T sitotoksik (CTL) terhadap virus tertentu juga terganggu, mungkin karena gagalnya sel T CD4+ mensekresi sitokin dalam jumlah yang cukup untuk diferensiasi fungsi sel B dan CTL Penurunan fungsi sel T CD4+ disebabkan oleh ikatan gp 120 dengan molekul CD4 pada permukaan sel T. Ikatan ini menyebabkan molekul CD4 yang telah berikatan

dengan gp 120 tidak dapat berinteraksi dengan molekul MHC kelas II pada APC, sehingga respon sel T terhadap antigen terlarut dapat dihambat. Kemungkinan lain gp 120 yang berikatan dengan molekul CD4 menyebabkan fungsi pengaturan ekspresi permukaan beberapa

molekul yang dibutuhkan untuk aktivasi sel T menurun. Selain itu protein tat HIV dapat memblok respon imun, yang dirangsang oleh antigen melalui jalur aktivasi sel T intra seluler Selain menginfeksi sel limfosit T CD4+, HIV dapat juga menginfeksi monosit atau makrofag lebih rendah daripada sel limfosit T, karena makrofag relatif lebih resisten. Hal ini disebabkan karena sitotoksisitas virus membutuhkan ekspresi molekul CD4 yang cukup tinggi. Makrofag dapat terinfeksi melalui jalur bebas molekul CD4, yaitu melalui fagositosis sel lain yang terinfeksi atau endositosis melalui reseptor Fc antibodi yang mengikat HIV. Pada umumnya makrofag dapat diinfeksi oleh HIV namun tidak dapat dibunuh oleh virus tersebut, sehingga sering merupakan reservoir. Meskipun makrofag relatif resisten terhadap sitolisis HIV, namun seringkali fungsinya juga berkurang pada individu terinfeksi HIV. Berkurangnya fungsi makrofag tersebut meliputi menurunnya kemokinesis dan produksi sitokin. Fungsi APC pada makrofag juga menurun, kemungkinan disebabkan karena menurunnya pengaturan ekspresi MHC kelas I

PEMERIKSAAN SEROLOGI HIV Pemeriksaan ELISA/EIA ELISA dari berbagai macam kit yang ada di pasaran mem punyai cara kerja hampir sama. Pada dasarnya, diambil virus HIV yang ditumbuhkan pada biakan sel, kemudian dirusak dan dilekatkan pada biji-biji polistiren atau sumur microplate. Serum atau plasma yang akan diperiksa, diinkubasikan dengan antigen tersebut selama 30 menit sampai 2 jam kemudian dicuci. Ella terdapat IgG (immunoglobulin G) yang menempel pada bijibiji atau sumur microplate tadi maka akan terjadi reaksi pengikatan antigen dan antibodi. Antibodi anti-IgG tersebut terlebih dulu sudah diberi label dengan enzim (alkali fosfatase, horseradish peroxidase) sehingga setelah kelebihan enzim dicuci habis maka enzim yang tinggal akan bereaksi sesuai dengankadar IgG yang ada, kemudian akan berwarna bila ditambah dengan suatu substrat. Sekarang ada test EIA yang menggunakan ikatan dari heavy dan light chain dari Human Immunoglobulin sehingga reaksi dengan antibodi dapat lebih spesifik, yaitu mampu mendeteksi IgM maupun IgG. Pada setiap tes selalu diikutkan kontrol positif dan negatif untuk dipakai sebagai pedoman, sehingga kadardi atas cut-off value atau di atasabsorbance level spesimen akan dinyatakan positif. Biasanya lama pemeriksaan adalah 4 jam. Pemeriksaan ELISA hanya menunjukkan suatu infeksi HIV di masa lampau.

Tes ELISA mulai menunjukkan hasil positif pada bulan ke 23 masa sakit. Selama fase permulaan penyakit (fase akut) dalam darah penderita dapat ditemukan virus HIV/partikel HIV dan penurunan jumlah sel T4 (Gratik). Setelah beberapa hari terkena infeksi AIDS, IgM dapat dideteksi, kemudian setelah 3 bulan IgG mulai ditemukan. Pada fase berikutnya yaitu pada waktu gejala major AIDS menghilang (karena sebagian besar HIV telah masuk ke dalam sel tubuh) HIV sudah tidak dapat ditemukan lagi dari peredaran darah dan jumlah $el T4 akan kembali ke normal. Hasil pemeriksan ELISA harus diinterpretasi dengan hati-hati, karena tergantung dari fase penyakit. Pada umumnya, hasil akan positifpada lase timbul gejalapertama AIDS (AIDS phase) dan sebagian kecil akan negatif pada fase dini AIDS (Pre AIDS phase). Beberapa hal tentang kebaikan test ELISA adalah nilai sensitivitas yang tinggi : 98,1% 100%, Western Blot memberi nilai spesifik 99,6% 100%. Walaupun begitu, predictive value hasil test positif tergantung dari prevalensi HIV di masyarakat. Pada kelompokpenderita AIDS,predictive positive value adalah 100% sedangkan pada donor darah dapat antara 5% 100%. Predictive value dari hasil negatif ELISA pada masyarakat sekitar 99,99% sampai 76,9% pada kelompok risiko tinggi. Di samping keunggulan, beberapa kendala path test ELISA yang perlu diperhatikan adalah : 1. Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibodi, bukan antigen (akhir-akhir ini sudah ditemukan test ELISA untuk antigen). Oleh karena itu test uji baru akan positif bila penderita telah mengalami serokonversi yang lamanya 23 bulan sejak terinfeksi HIV, bahkan ada yang 5 bulan atau lebih (pada keadaan immunocompromised). Kasus dengan infeksi HIV laten dapat temp negatif selama 34 bulan. 2. Pemeriksaan ELISA hanya terhadap antigen jenis IgG. Penderita AIDS pada taraf permulaan hanya mengandung IgM, sehingga tidak akan terdeteksi. Perubahan dari IgM ke IgG mem-butuhkan waktu sampai 41 minggu. 3. Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV1. Bila test ini digunakan pada penderita HIV-2, nilai positifnya hanya 24%. Tetapi HIV2 paling banyak ditemukan hanya di Afrika. 4. Masalah false positive pada test ELISA. Hasil ini sering ditemukan pada keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal ini disebabkan karena morfologi HIV hasil biakan jaringan yang digunakan dalam test kemurniannya ber-beda dengan HIV di

alam. Oleh karena itu test ELISA harus dikorfirmasi dengan test lain. Tes ELISA mempunyai sensitifitas dan spesifisitas cukup tinggi walaupun hasil negatif tesini tidakdapatmenjamin bahwa seseorang bebas 100%dari HIV1 terutama pada kelompok resiko tinggi. Akhir-akhir ini test ELISA telah menggunakan recombinant antigen yang sangat spesifik terhadap envelope dan core. Antibodi terhadap envelope ditemukan pada setiap penderita HIV stadium apa saja (Graf k). Sedangkan antibodi terhadap p24 (proten dari core) bila positif berarti penderita sedang mengalami kemunduran/deteriorasi

Pemeriksaan Western Blot. Cara kerja test Western Blot yaitu dengan meletakkan HIV murni pada polyacrylamide gel yang diberi anus elektroforesis sehingga terurai menurut berat protein yang berbeda-beda, kemudian dipindahkan ke nitrocellulose. Nitrocellulose ini diinkubasikan dengan serum penderita. Antibodi HIV dideteksi dengan memberikan antlbodi anti-human yang sudah dikonjugasi dengan enzim yang menghasilkan wama bila diberi suatu substrat. Test ini dilakukan bersama dengan suatu bahan dengan profil berat molekul standar, kontrol positif dan negatif. Gambaran band dari bermacam-macam protein envelope dan core dapat mengidentifikasi macam antigen HIV. Antibodi terhadap protein core HIV (gag) misalnya p24 dan protein precursor (p25) timbul pada stadium awal kemudian menurun pada saat penderita mengalami deteriorasi. Antibodi terhadap envelope (env) penghasil gen (gp160) dan precursor-nya (gp120) dan protein transmembran (gp4l) selalu ditemukan pada penderita AIDS pada stadium apa saja. Beberapa protein lainnya yang sering ditemukan adalah: p3 I, p51, p66, p14, p27, lebih jarang ditemukan p23, p15, p9, p7. Secara singkat dapat dikatakan bahwa bila serum mengan-dung antibodi HIV yang lengkap maka Western blot akan memberi gambaran profil berbagai macam band protein dari HIV antigen cetakannya. Definisi hasil pemeriksaan Western Blot menurut profit dari band protein dapat bermacam-macam, pada umumnya adalah : 1. Positif : a. Envelope : gp4l, gpl2O, gp160 b. Salah satu dari band : p 15, p 17, p24, p31, gp4l, p51, p55, p66. 2. Negatif : Bila tidak ditemukan band protein.

3. Indeterminate Bila ditemukan band protein yang tidak sesuai dengan profil positif. Hasil indeterminate .diberikan setelah ditest secara duplo dan penderita diberitahu untuk diulang setelah 23 bulan. Hal ini mungkin karena infeksi masih terlalu dini sehingga yang ditemukan hanya sebagian dari core antigen (p17, p24, p55). Akhir-akhir ini hasil positif diberikan bila ditemukan paling tidak p24, p31 dan salah satu dari gp41 atau gpl60. Dengan makin ketatnya !criteria Western Blot maka spesi-fisitas menjadi tinggi, dan sensitifitas turun dari 100% dapat menjadi hanya 56% karena hanya 60% penderita AIDS mem-punyai p24, dan 83% mempunyai p31. Sebaliknya cara ini dapat menurunkan angka false positive pada kelompok risiko tinggi, yang biasanya ditemukan sebesar 1 di antara 200.000 test padahal test tersebut sudah didahului dengan test ELISA. Besar false negative Western Blot belum diketahui secara pasti, tapi tentu tidak not. False negative dapat terjadi karenakadar antibodi HIV rendah, atau hanya timbul band protein p24 dan p34 saja (yaitu pada kasus dengan infeksi HIV2). False negative biasanya rendah pada kelompok masyarakat tetapi dapat tinggi pada kelompok risiko tinggi. Cara mengatasi kendala tadi adalah dengan menggunakan recombinant HIV yang lebih murni

CARA PENULARAN Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui : 1. Transmisi Seksual. a. Homoseksual ital. b. Heteroseksual

2. Transmisi Non Seksual a. Transmisi Parenral Akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.

Darah/Produk Darah Transmisi melalui transfusi atau produk darah Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.

b. Transmisi Transplasental Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah

1. CD4+ Limfosit T Gambaran cardinal dari infeksi HIV adalah deplesi limfosit penginduksi T-helper yang menghasilkan tropoisme HIV terhadap populasi limfosit ini, sehingga menginfeksi petanda fenotipik CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 adalah reseptor utama untuk HIV; ia memiliki afinitas yang tinggi untuk amplop virus. Koreseptor HIV pada limfosit adalah reseptor khemokin CXCR4. Pada awal infeksi, isolat HIV primer adalah M-tropik. Tetapi semua strain HIV menginfeksi limfosit T CD4+ primer (tetapi bukan lini sel T yang dikekalkan secar in vitro). Sewaktu infeksi berlanjut, virus yang dominan M-tropik digantikan oleh virus T-tropik. Adaptasi laboratorium isolate primer dalam lini sel T yang dikekalkan menghilangkan kemampuannya untuk menginfeksi monosit dan makrofag. Akibat dari difungsi sel T CD4+ yang disebabkan oleh infeksi virus HIV bersifat mematikan karena limfosit T CD4+ memainkan peran yang sangat penting dalam respon imun manusia. Ia bertanggung jawab baik secara langsung maupun tidak langsung dalam induksi sederetan fungsi-fungsi sel limfoid dan nonlimfoid. Efek-efek ini berupa aktivasi makrofag, induksi fungsi-fungsi sitotoksik sel T, sel-sel natural killer, dan sel B; serta sekresi berbagai factor terlarut , yang merangsang pertumbuhan dan differensiasi sel-sel limfoid, serta mempengaruhi sel-sel hematopoetik.

2. Monosit dan makrofag Monosit dan makrofag berperan penting dalam penyebaran dan pathogenesis infeksi HIV. Subunit monosit tetentu mengekspresi antigen permukaan CD4 dan oleh karena itu berikatan pada amplop HIV. Koreseptor HIV pada makrofag dan monosit adalah khemokin

CCR5. Di dalam otak, tipe sel utama yang terinfeksi oleh HIV tampaknya adalah monosit dan makrofag, dan ini merupakan konsekuensi penting untuk perkembangan manifestasi neuropsikiatri yang disebabkan oleh infeksi HIV. Makrofag alveolus paru yang terinfeksi mungkin berperan dalam pneumonitis interstisial yang dijumpai pada pasien AIDS tertentu. Strain HIV makrofag-tropik mendominasi pada awal infeksi dan strain-strain ini bertanggung jawab pada infeksi permulaan bahkan bila sumber penularan mengandung virus Mtropik maupun T-Tropik. Diyakini bahwa monosit dan makrofag berperan sebagai reservoir utama bagi HIV dalam tubuh. Tidak seperti limfosit T CD4+, monosit relative kukuh pada efek sitopati HIV, sehingga virus tidak hanya bertahan hidup dalam sel ini tetapi juga dapat dipindahkan ke berbagai organ tubuh (seperti paru-paru dan otak).

3. Organ Limfoid Organ-organ limfoid memainkan peran sentral dalam infeksi HIV. Limfosit dalam darah tepi hanya mewakili sekitar 2 % total pool limfosit, sisanya terutama berada di dalam organorgan limfoid. Di dalam organ limfoid inilah respon imun spesifik dibentuk. Jaringan sel-sel dendrite follikuler dalam pusat-pusat germinal pada limfonodi mrnjrbak antigen dan menstimulasi suatu respon imun. HIV bereplikasi secara aktif dalam jaringan limfoidke seluruh perjalana infeksi yang tidak diobati bahkan selama tahap latensi klinis. Lingkungan mikro limfonodi ideal untuk menetap dan menyebarnya infeksi HIV. Sitokin dilepaskan, mengaktifasi fool besar limfosit T CD4+ yang sangat rentan terhadap infeksi HIV. Ketika tahap lanjut penyakit HIV mengalami progresi, arsitektur limfonodi menjadi terputus.

4. Sel-sel Saraf Abnormalitas neurologis lazim terjadi pada AIDS dan pada 40-90% pasien terjadi di dalam derajat yang bervariasi. Ini meliputi ensefalopati HIV, neuropati perifer dan yang paling serius, kompleks demensia AIDS. Baik mekanisme pathogen langsung maupun tidak langsung bisa menjelaskan manifestasi neuropsikiatrik pada infeksi HIV. Tipe sel domina dalam otak yang terinfeksi oleh HIV adalah monosit dan makrofag. Virus bisa masuk ke otak melalui monosit yang terinfeksi dan melepaskan sitokin yang toksik terhadap sel saraf seperti factor khemotaktik

yang menyebabkan infiltrasi sel-sel peradangan otak. HIV telah ditemukan pada neuron, oligodendrit dan astrosit dalam jumlah yang terbatas.

5. Koinfeksi Virus Sinyal aktivasi dubutuhkan untuk terjadinya infeksi HIV yang produktif. Pada seseorang terinfeksi HIV, spectrum luas dari stimulus in vivo tampaknya berperan sebagai activator seluler. Sebagai contoh infeksi akut oleh Mycobacterium tuberculosis mempengaruhi peningkatan viremia plasma. Infeksi viral yang bersamaan oleh virus EB, cytomegalovirus, virus herpes simpleks, atau virus hepatitis B menginduksi ekspresi HIV dan bisa berperan sebagai kofaktor AIDS. Terdapat prevalensi infeksi cytomegalovirus yang tinggi pada pasien yang positif HIV.

MANIFESTASI KLINIS AIDS Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang penderita AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditujukan pada umumnya adalah bermula dari gejala gejala umum yang lazim didapati pada berbagai penderita penyakit lain, namun secara umum dapat kiranya dikemukakan sebagai berikut : Rasa lelah dan lesu Berat badan menurun secara drastic Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam Mencret dan kurang nafsu makan Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut Pembengkakan leher dan lipatan paha Radang paru-paru Kanker kulit

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan infeksi oportunistik : 1. Manifestadi tumor diantaranya; a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.

b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun. 2. Manifestasi Oportunistik diantaranya a. Manifestasi pada Paru-paru Pneumonia Pneumocystis (PCP)--Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam. Cytomegalo Virus (CMV)--Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS. Mycobacterium Avilum--Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan. Mycobacterium Tuberculosis--Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru.

b. Manifestasi pada Gastroitestinal Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.

3. Manifestasi Neurologis-Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan neuropari perifer

PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN DIAGNOSISI AIDS Human Immunodefeciency Virus dapat di isolasi dari cairan-cairan yang berperan dalam penularan AIDS seperti darah, semen dan cairan serviks atau vagina. Diagnosa adanya infeksi dengan HIV ditegakkan di laboratoruim dengan ditemukannya antibodi yang khusus terhadap virus tersebut. Pemeriksaan untuk menemukan adanya antibodi tersebut menggunakan metode Elisa (Enzyme Linked Imunosorbent Assay). Bila hasil test Elisa positif maka dilakukan pengulangan dan bila tetap positif setelah pengulangan maka harus dikonfirmasikan dengan test yang lebih spesifik yaitu metode Western Blot. Dasar dalam menegakkan diagnosa AIDS adalah :

1. Adanya HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan laboratorium). 2. Adanya tanda-tanda Immunodeficiency. 3. Adanya gejala infeksi oportunistik. Dalam prakteknya yang dipakai sebagai petunjuk adalah infeksi oportunistik atau sarkoma kaposi pada usia muda kemudian dilakukan uji serologis untuk mendeteksi zat anti HIV (Elisa, Western Blot).

You might also like