You are on page 1of 36

BAB I PENDAHULUAN

Trauma merupakan penyebab kematian lebih dari 140.000 jiwa per tahunnya di Amerika Serikat, merupakan penyebab kematian tersering pada penduduk berumur 1 34 tahun dan menyebabkan kehilangan produktivitas seseorang lebih lama daripada penyakit arteri koroner, kanker, dan stroke. Setiap tahunnya lebih dari 50 juta penduduk Amerika mengalami pengobatan medis karena cedera. Estimasi pengeluaran untuk biaya pengobatan adalah lebih dari 400 juta $ 1. Insiden patah tulang disebabkan oleh banyak faktor dan sering dipersulit oleh beberapa faktor seperti umur pasien, jenis kelamin, komorbiditas, gaya hidup dan pekerjaan. Di Amerika Serikat, 5,6 juta kejadian patah tulang terjadi setiap tahunnya dan merupakan 2% dari kejadian trauma2. Pada laki-laki distribusi kejadian fraktur merupakan bimodal (memiliki dua puncak insiden) yaitu pada laki-laki muda dan laki-laki di atas umur 60 tahun. Pada perempuan, insiden kejadian patah tulang mulai meningkat setelah masa menopause. Patah tulang pada tibia merupakan kejadian tersering dari seluruh patah tulang panjang. Insiden per tahun dari patah tulang terbuka tulang panjang diperkirakan 11,5 per 100.000 penduduk dengan 40% terjadi di ekstrimitas bagian bawah 3. Patah tulang di ekstrimitas bagian bawah yang paling umum terjadi adalah pada diafisis tulang tibia4. Dibandingkan dengan patah tulang tibia, patah tulang pergelangan kaki lebih sering terjadi yaitu 15% dari seluruh cedera pada pergelangan kaki. Frekuensi patah tulang pergelangan kaki semakin bertambah pada 20 tahun terakhir. Dan saat ini rasio kejadiannya diperkirakan 187 dari 100.000 penduduk per tahunnya5. Kehilangan ekstrimitas bagian bawah merupakan komplikasi yang terjadi karena soft tissue trauma yang parah, gangguan neurovaskular, cedera pada arteri popliteal, sindrom kompartemen, atau infeksi seperti gangrene dan osteomyelitis. Cedera pada arteri popliteal merupakan cedera yang serius yang dapat membahayakan tungkai dan seringkali dianggap sepele6. Melihat permasalahan tingginya angka kejadian trauma dan patah tulang pada 1

ekstrimitas bagian bawah dan buruknya komplikasi yang akan dialami oleh pasien apabila kejadian ini tidak ditangani dengan baik, diperlukan pemahaman mengenai penyakit ini oleh tenaga medis agar dapat memberikan penanganan yang lebih komprehensif. Laporan kasus ini membahas mengenai penanganan kegawatdaruratan pada patah tulang ekstrimitas bagian bawah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Definisi dan Klasifikasi Fraktur Patah tulang atau fraktur didefinisikan sebagai hilangnya atau adanya gangguan integritas dari tulang, termasuk cedera pada sumsum tulang, periosteum, dan jaringan yang ada di sekitarnya. Beberapa jenis patah tulang yang dikenal yaitu fraktur patologik, fraktur stress dan fraktur greenstick
7

. Saat fraktur terjadi, fraktur didefinisikan secara klinis dan

radiografis dengan faktor- faktor sebagai berikut : Anatomi : fraktur didefinisikan sesuai dengan tulang yang terlibat dan lokasi fraktur pada tulang tersebut (contohnya Fraktur Diafisis Tibia) Keterlibatan permukaan persendian : apakah fraktur juga terjadi di dalam kaput sendi? Displacement: apakah bagian distal fraktur mengalami pemindahan tempat daripada yang seharusnya? Hingga tahap atau persentase berapa terjadi displacement Angulasi: apakah ada deformitas sudut yang ditentukan dengan menghitung sudut antara bagian distal dengan bagian proksimal Rotasi: apakah ada deformitas di mana tulang yang mengalami fraktur berotasi ke arah abnormal yang ditentukan secara klinis maupun radiologis Pemendekan : apakah fraktur mengakibatkan pemendekan dari tulang yang terlibat? Fragmentasi : Muller AO [Association for Osteosynthesis]) Comprehensive Classification of Fractures menyediakan deskripsi yang telah terstandarisasi untuk pola fraktur, yaitu : Fraktur Multifragmen adalah fraktur yang memiliki beberapa kerusakan sehingga membuat lebih dari dua fragmen tulang. 3

Fraktur Baji (Wedge) bisa merupakan fraktur spiral (energi lemah) atau Bending (energi tinggi) dan membuat fragmen proximal dan distal pada fraktur berkontak satu sama lain Fraktur sederhana yakni fraktur spiral, oblique atau transverse

Gambar 1. Berbagai jenis fraktur

Keterlibatan jaringan lunak : apakah fraktur tersebut terbuka (ada kontak antara tulang dengan udara luar) ataukah tertutup (tidak ada kontak antara fraktur dengan udara luar). Apakah ada cedera saraf maupun pembuluh darah? Apakah ada cedera otot atau sindrom kompartemen? Gustilo et al mengklasifikasikan fraktur terbuka menjadi tiga tipe yaitu 8 Tipe I: Luka lebih kecil dari 1 cm, bersih dan disebabkan oleh fragmen tulang yang menembus kulit. Biasanya ditimbulkan oleh cedera dengan energi yang Tipe II: Ukuran luka antara 1 10 cm, tidak terkontaminasi dan tanpa cedera jaringan lunak yang major Tipe III: Luka lebih besar dari 10 cm dengan kerusakan jaringan lunak yang signifikan. Biasanya disebabkan oleh cedera dengan energi tinggi sehingga membuat fraktur yang tidak stabil dengan multifragmentasi. Tipe III juga dibagi menjadi beberapa sub tipe:

IIIA:

Luka memiliki jaringan yang cukup untuk menutupi tulang tanpa

memerlukan flap coverage. IIIB: kerusakan jaringan yang luas membuat diperlukannya local atau distant flap coverage. Luka mungkin telah terkontaminasi sehingga irigasi dan debridement diperlukan untuk membersihkan luka. IIIC: Fraktur apapun yang menyebabkan cedera arterial yang membutuhkan perbaikan segera.
Gambar 2. Klasifikasi Fraktur menurut Gustilo

Patofisiologi Fraktur Fraktur terjadi saat ada gaya yang diterima oleh tulang yang melebihi kekuatan tulang tersebut dalam menjaga integritasnya. Faktor intrinsik maupun ekstrinsik keduanya berperan dalam terjadinya fraktur. Faktor ekstrinsik meliputi kuatnya gaya yang diberikan, durasi pemberian, arah gaya yang diberikan. Faktor intrinsik meliputi kapasitas tulang dalam menyerap energi, modulus elastisitas, densitas tulang dan lain-lain 9 Trauma langsung maupun tidak langsung mampu menyebabkan fraktur. Trauma langsung termasuk di dalamnya fraktur tapping, fraktur penetrasi (tembakan pistol), dan crush 5

fracture. Trauma tidak langsung meliputi gaya yang bekerja tidak lansung mengenai lokasi fraktur seperti traction, compressive, dan gaya rotasi 10.

Diagnosa Fraktur Untuk mendiagnosis fraktur, pertama tama dapat dilakukan anamnesis baik dari pasien maupun pengantar pasien. Informasi yang digali adalah mekanisme cedera, apakah pasien mengalami cedera atau fraktur sebelumnya. Informasi mengenai riwayat pengobatan medis dan pembedahan juga harus didapatkan, termasuk obat yang dikonsumsi dan alergi. Informasi tambahan yang mungkin juga dibutuhkan adalah riwayat sosial dan pekerjaan. Pasien dengan fraktur tibia mungkin akan mengeluh rasa sakit, bengkak dan ketidakmampuan untuk berjalan atau bergerak, sedangkan pada fraktur fibula pasien kemungkinan mengeluhkan hal yang sama kecuali pasien mungkin masih mampu bergerak 6. Selain anamnesis, pemeriksaan fisik juga tidak kalah pentingnya. Pemeriksaan fisik yang dibutuhkan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu look, feel, move. Yang pertama look atau inspeksi di mana kita memperhatikan penampakan dari cedera, apakah ada fraktur terbuka (tulang terlihat kontak dengan udara luar). Apakah terlihat deformitas dari ekstremitas tubuh, hematoma, pembengkakan dan lain-lain. Hal kedua yang harus diperhatikan adalah feel atau palpasi. Kita harus mempalpasi seluruh ekstremitis dari proksimal hingga distal termasuk sendi di proksimal maupun distal dari cedera untuk menilai area rasa sakit, efusi, maupun krepitasi. Selain itu statur neurologi dan vaskular juga harus dinilai dan didokumentasikan. Seringkali akan ditemukan cedera lain yang terjadi bersamaan dengan cedera utama. Poin ketiga yang harus dinilai adalah move. Penilaian dilakukan untuk mengetahui ROM (Range of Motion) 11. Seringkali pemeriksaan ROM tidak bisa dilakukan karena rasa sakit yang dirasakan oleh pasien tetapi hal ini harus tetap didokumentasikan. Skor Glasgow Coma Scale (GCS) juga dinilai untuk mengetahui apakah ada cedera kepala dan seberapa parah cederanya. Survey sekunder dilakukan setelahnya dan meliputi pemeriksaan dada, abdomen, pelvis, ekstrimitas bagian atas untu memeriksa cedera tambahan dan tidak lupa pemeriksaan ekstrimitas bawah baik ipsilateral maupun kontralateral dari cedera. Penilaian cedera otot, ligamen, dan tendon

juga sebaiknya dilakukan dan didokumentasikan 12. Pemeriksaan ekstrimitas juga harus melingkupi vaskularitas dari ekstrimitas termasuk warna, suhu, perfusi, perabaan denyut nadi, capillary return (normalnya < 3 detik) dan pulse oximetry. Pemeriksaan neurologi yang detail juga harus mendokumentasikan fungsi sensoris dan motoris 12 Apabila pasien datang dengan cedera yang parah atau politrauma maka penanganan awal pasien harus mengikuti protokol Advanced Trauma Life Support (ATLS) identifikasi dan penanganan cedera yang membahayakan nyawa
14 13

termasuk

. Langkah pertama

adalah mengamankan dan mengevaluasi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi dari pasien. Intubasi endotrakeal dan cairan intravena mungkin diperlukan. Perlindungan terhadap tulang belakang harus diperhatikan dengan seksama sampai cedera tulang belakang dapat dieksklusi dengan pemeriksaan klinis maupun radiologi. Saat pasien sudah stabil hemodinamiknya barulah diadakan survey sekunder yang secara lengkap mengevaluasi cedera dalam tubuh pasien 11 Pemeriksaan laboratorium pre operatif dapat dilakukan tergantung dari umur, kualitas cedera, dan kondisi lain yang berhubungan dengan morbiditas pasien. Tes dapat dilakukan preoperatif tetapi tidak diharuskan seperti 11 : Pemeriksaan darah lengkap Elektrolit, Kreatinin, dan kadar glukosa darah Urinalisis Pemeriksaan koagulasi darah, termasuk pemeriksaan activated partial

thromboplastin time (aPTT) dan international normalized ratio (INR) Cross-matching dan pemeriksaan golongan darah pasien Skrining Alkohol and toksikologi Tegantung dari kondisi pasien, pemeriksaan foto thorax dapat dilakukan. Dalam pemeriksaaan radiologi untuk cedera dan fraktur diberlakukan rule of two yaitu11:

Dua sudut pandang : foto Anteroposterior dan lateral view harus didapatkan (dua sudut pandang yang bersudut 90 satu sama lain) tergantung dari area yang terkena, foto yang spesifik mungkin diperlukan Dua Sendi: apabila terdapat cedera pada ekstrimitas, maka direkomendasikan untuk mendapatkan foto yang mana mendapatkan gambaran radiologi sendi proksimal dan distas dari cedera untuk mengevaluasi apakah ada kerusakan atau dislokasi pada sendi tersebut Dua ekstrimitas: direkomendasikan untuk mendapatkan foto dari kedua ekstrimitas baik yang cedera maupun yang tidak cedera sehingga dapat membantu menganalisis anatomi dari tulang dan membantu diagnosis. Foto ini juga membantu menentukan panjang tulang dan kelainan rotasi pada tulang. Dua waktu : direkomendasikan untuk mendapatkan dua foto radiografi dimana satu waktu sebelum reduksi dan satu fotonya lagi setelah reduksi atau fiksasi untuk menilai adekuasi dari reduksi fraktur. Adapun beberapa posisi pengambilan foto roentgen spesifik menurut lokasi cedera adalah sebagai berikut 11: Acetabulum Femoral neck Knee joint Ankle joint Calcaneus Talus Iliac oblique, obturator oblique AP view with 15 internal rotation15 Notch view and/or Merchant view Mortise view Broden views Canale view

CT scan tidak diindikasikan untuk evaluasi rutin untuk fraktur. Meskipun begitu CT scan juga mampu membantu untuk perencanaan preoperatif untuk fraktur dengan komplikasi. Pemeriksaan ini juga berguna dalam fraktur yang melibatkan sendi di mana keterlibatan intra-articular dicurigai. Magnetic resonance imaging (MRI) diindikasikan untuk mengevaluasi cedera tulang belakang11

Tatalaksana Kegawatdaruratan dalam Fraktur Ekstrimitas Bawah Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk mempertahankan kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik anatomi maupun fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penanganan fraktur yang tepat adalah (1) survey primer yang meliputi Airway, Breathing, Circulation, (2) meminimalisir rasa nyeri (3) mencegah cedera iskemia-reperfusi, (4) menghilangkan dan mencegah sumber- sumber potensial kontaminasi. Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi dan reposisi sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses persambungan tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut16 2.4.1 Survey Primer Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability Limitation, Exposure)17.

A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif17.

Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir bag16,17. 9

C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang terbuka. Kerusakan pada jaringan lunak dapat mengenai pembuluh darah besar dan menyebabkan pendarahan yang hebat. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 4 unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping usaha menghentikan pendarahan17. D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat pasien terutama perkiraan motorik terbaiknya17. E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka, penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia. harus dipakaikan selimut hangat, ruangan yang cukup hangat, dan diberikan cairan intravena yang hangat agar pasien tidak hipotermia17. pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti fraktur adalah imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi17. Imobilisasi Fraktur Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur. hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat imobilisasi. pemakaian bidai yang benar akan membantu menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan cedera spinal. GCS merupakan sistem skoring yang sederhana namun dapat meramalkan kesudahan

mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur. Pada dislokasi sendi umumnya perlu dilakukan pembidaian dalam posisi sebagaimana ditemukan. pemasangan bidai harus dilakukan sedini mungkin, namun tidak boleh mengganggu resusitasi yang merupakan prioritas utama. setelah pemasangan bidai dan meluruskan fraktur maka harus dilakukan pemeriksaan status neurovaskular. Fraktur tertentu dapat dipasangi bidai khusus. Long Spine Board digunakan untuk pasien trauma multiple dengan dugaan trauma spinal yang tidak stabil, namun karena dasar yang keras apalagi bila dipakai tanpa bantalan dapat menyebabkan dekubitus pada oksiput, scapula, sacrum, dan tumit. karena itu sesegra mungkin pasien dipindahkan secara hati-hati ke tempat yang lebih lembut, dengan memakai scoop stretcher atau cara log-rolling. fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint. traction splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di proksimal traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan bokong, perineum dan pangkal paha. fraktur kolum femoris akan merasa lebih nyaman jika menggunakan traksi kulit atau traksi sepatu busa dengan posisi lutut sedikit fleksi. Cara paling sederhana dalam membidai tungkai yang trauma adalah dengan tungkai sebelahnya. pada cedera lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu kenyamanan dan stabilitas. tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam ekstensi penuh, melainkan dengan flexi kurang lebih 10 derajat untuk menghindarkan tekanan pada struktur neurovaskular. Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter, long leg splint. jika tersedia dapat dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan pergelangan kaki. fraktur ankle diimobilisasi dengan bidai bantal atau karton dengan bantalan, dengan demikian menghindari tekanan pada daerah tulang yang menonjol.

11

Pemeriksaan Radiologi umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan bagian dari survey sekunder. jenis dan saat pemeriksaan radiologis yang akan dilakukan ditentukan oleh hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan hemodinamik, serta mekanisme trauma. foto pelvis AP perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien multitrauma tanpa kelainan hemodinamik dan pada pasien dengan sumber pendarahan yang belum dapat ditentukan.

2.4.2

Survey Sekunder

Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari cedera cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati. Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan

untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary survey, misalkan pasien yang mengalami kecelakaan mobil dan duduk di kursi pengemudi kemungkinan mengalami cedera tulang belakang atau abdomen apabila mengalami tabrakan dari depan dan menggunakan sabuk pengaman. Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit16,17. Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang. Cara pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita menilai warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan ancaman sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada periksaan Move kita memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal. Pasien dengan rasa sakit, nyeri tekan, dan gerakan abnormal maka diagnosis fraktur hampir sudah dapat dipastikan. Tetapi usaha untuk menunjukkan krepitasi dan gerakan abnormal tidak dianjurkan sehingga kita dapat menilai tanda tanda fraktur melalui rasa sakit, nyeri tekan, pembengkakan dan deformitas16,17. Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Pemeriksaan ankle/brachial index yaitu membandingkan tekanan sistolik di tungkai yang cidera dibagi tekanan sistolik lengan yang tidak cidera dapat memperkirakan adanya cedera arteri. Batas dari ankle brachial index yang normal adalah diatas 0.9 dan pemeriksaaannya menggunakan doppler. Selain itu hematoma yang membesar atau pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma arterial17. 13

Tabel 1. Bagan pemeriksaan neuroperifer pada ekstrimitas bagian bawah

Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf perofer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara sistematik. Adapun pemeriksaan syaraf perifer pada ekstrimitas bawah adalah 17:
Saraf Femoralis Obturatorius Tibialis Posterapi Peroneus Superficial Peroneus profundus Iskhiadikus Lutealis superior Glutalis Inferior Dorsofleksi ankle/jari Dorsofleksi plantar Abduksi panggul Ekstensi sendi gluteus maksimum lutut, panggul, sendi Motorik Ekstensi lutut Aduksi panggul Fleksi kaki Eversi ankle Dorsum pedis Dislokasi lutut, fraktur kolum fibula bagian lateral dan kaki kaki Kompartemen dislokasi sendi Panggul posterior, fraktur asetabulum Fraktur asetabulum 2 bagian jari-jari Telapak kaki Sensorik Lutut anterior sendi Medial paha Trauma Fraktur ramus pubis Fraktur obturator Dislokasi lutut cincin

Web space ke 1 Fraktur leher fibula

Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumper sumber yang berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka fraktur dengan ghas steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada khas. Berikan vaksinasi tetanus dan juga antibiotik sebagai profilaksis infeksi. Antibiotik yang dapat diberikan adalah 12,16,17: Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 2 g dibagi dosis 3 -4 kali sehari) dapat digunakan untuk fraktur tipe I Gustilo Aminoglikosid (antibiotik untuk gram negatif) seperti gentamicin (120 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk tipe II dan tipe III klasifikasi Gustilo.

Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk mengatasi kuman anaerob. Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan hingga 72 jam setelah luka ditutup. Debridement luka di kamar operasi juga sebaiknya dilakukan sebelum 6 jam pasca trauma untuk menghindari adanya sepsis pasca trauma12. Reduksi, Reposisi dan imobilisasi sesuai posisi anatomis dapat menunggu hingga pasien siap untuk dioperasi kecuali ditemukan defisit neurovaskular dalam pemeriksaan. Apabila terdapat indikasi untuk reposisi karena defisit neurovaskular, maka sebaiknya reposisi dilakukan di UGD dengan menggunakan teknik analgesia yang memadai16. Ada beberapa pilihan teknik analgesia untuk managemen pasien fraktur ekstrimitas bawah di UGD. Untuk pasien yang mengalami isolated tibia atau ankle fractures, Inhaled Nitrous oxide dan Oxygen (Entonox) mungkin berguna untuk manipulasi, splintage dan transfer pasien. Tindakan ini memiliki kontraindikasi pada pasien yang kemungkinan mengalami pneumothorax atau cedera kepala. Entonox juga tidak baik digunakan pada pasien yang mengalami syok sirkulasi karena mengandung campuran 50/50 nitrous oxide dan oxigen16. Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam patah tulang digunakan srategi Three Step Analgesic Ladder dari WHO. Pada nyeri akut, sebaiknya di awal diberikan analgesik kuat seperti Opioid kuat18. Opioid seperti morfin Intravena dapat menyediakan analgesia yang sangat efektif. Pemberiannya harus dititrasi dan juga diberikan anti mual berkaitan dengan efek sampingnya. Pemberian intravena dipertimbangkan karena onsetnya yang cepat sehingga mampu dengan cepat meredakan nyeri pasien. Morphine diasosiasikan dengan dengan rasa mual, depresi nafas dan penurunan kesadaran pada dosis besar. Dosis pemberian morfin adalah 0.05 0.1 mg/kg diberikan intravena setiap 10/15 menit secara titrasi sampai mendapat efek analgesia. Terdapat evidence terbaru di mana pada tahun terakhir ini Ketamine juga dapat dipergunakan sebagai agen analgesia pada dosis rendah (0.5 1 mg/kg). Obat ini juga harus ditritasi untuk mencapai respon optimal agar tidak menimbulkan efek anastesi. Efek menguntungkan dari ketamine adalah ketamine tidak menimbulkan depresi pernafasan, hipotensi, dan menimbulkan efek bronkodilator pada dosis rendah. Kerugian ketamine adalah dapat menimbulkan delirium, tetapi dapat dicegah dengan memasukkan 15

benzodiazepine sebelumnya (0.5 2 mg midazolam intravena)16 Peripheral nerve blocks juga menjadi pilihan baik dilakukan tunggal maupun kombinasi dengan analgesik intravena. Yang umumnya digunakan adalah femoral nerve block16.

2.4.3

Terapi Definitif Fraktur

Terdapat dua jenis terapi definitif untuk fraktur yaitu nonoperatif terapi dan operatif terapi. Nonoperatif terapi terdiri dari Casting dan Traksi Casting Reduksi tertutup harus dilakukan di awal pada fraktur yang mengalami perubahan tempat (displaced), memendek, dan mengalami perubahan sudut (angulasi). Hal ini dcapai dengan mengaplikasikan traksi pada sumbu tulang panjang kemudian memberikan gaya yang berlawanan dengan gaya penyebab fraktur, diikuti dengan imobilisasi fraktur. Splint dan Cast dapat terbuat dari fiberglass. Hambatan dalam penggunaan metode reduksi tertutup adalah adanya pembentukan hematoma yang akan memberikan penekanan pada jaringan lunak11.

Adapun kontraindikasi penggunaan metode reduksi tertutup adalah19 : Fraktur yang tidak mengalami perubahan tempat (undisplaced) Apabila reduksi tidak mungkin dilaksanakan ( fraktur cominutive yang parah) Apabila ada perpindahan tempat tetapi tidak relevan (fraktur humerus) : Traksi Ada dua tipe traksi yaitu traksi kulit dan traksi skeletal. Pada traksi kulit, pita traksi melekat pada kulit di bawah fraktur. Beban traksi diperkirakan 10% dari total berat badan pasien. Traksi kulit jarang digunakan karena sebagian besar gaya yang dihasilkan diredam oleh jaringan bawah kulit.Pada traksi skeletal, sebuah pin dipasang pada tulang yang terletak distal dari fraktur. Kemudian ada gaya berat

yang diaplikasikan pada pin ini. Traksi skeletal umum digunakan pada fraktur femur11. Pada terapi Operatif, terdapat empat tujuan pengobatan yang dicanangkan oleh, the Association for the Study of Internal Fixation (ASIF) pada tahun 195820 di mana sampai saat ini tujuan ini tidak berubah : Reduksi anatomis dari fragmen fraktur. Untuk diafisis, persambungan anatomis harus menjamin bahwa panjang, rotasi dan angulasi telah dikoreksi secara tepat. Fiksasi internal yang stabil Preservasi suplai darah yang adekuat untuk ekstremitas Mobilisasi yang aktif dan bebas nyeri pada otot dan sendi d sekitar fraktur agar tidak menimbulkan dan memperparah fraktur. Beberapa metode operasi yang digunakan untuk reduksi fraktur adalah : Open reduction and internal fixation (ORIF) Kirschner wires Plates and screws Intramedullary nail 2.5 Beberapa Kondisi Kegawat-Daruratan Terkait Fraktur Yang Mengancam Nyawa Pendarahan arteri besar Trauma tajam maupun tumpul yang merusak sendi atau tulang di dekat arteri mampu menghasilkan trauma arteri. Cedera ini dapat menimbulkan pendarahan besar pada luka terbuka atau pendarahan di dalam jaringan lunak. Beberapa tanda yang mengindikasikan terjadinya trauma atau pendarahan arteri besar adalah hilangnya pulsasi nadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan kualitas nadi, dan perubahan pada pemeriksaan Doppler dan ankle/brachial index. Ekstrimitas yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi ekstremitas menunjukkan gangguan aliran darah arteri. Hematoma yang membesar dengan cepat, menunjukkan adanya trauma vaskular. Cedera ini menjadi berbahaya apabila kondisi hemodinamik pasien tidak stabil17. 17

Jika dicurigai adanya trauma arteri besar maka harus dikonsultasikan segera ke dokter spesialis bedah. Pengelolaan pendarahan arteri besar berupa tekanan langsung dan resusitasi cairan yang agresif. Penggunaan torniquet pneumatic secara bijaksana mungkin akan menolong menyelamatkan nyawa pasien. Penggunaan klem vaskular ditempat pendarahan pada ruang gawat darurat tidak dianjurkan, kecuali pembuluh darahnya terletak superficial dan tampak dengan jelas. Jika fraktur disertai luka terbuka yang berdarah aktif, harus segera diluruskan dan diberi bidai serta dibalut tekan di atas luka17. Reposisi sendi harus langsung dibidai karena upaya reposisi dapat menjadi sangat sulit dan perlu dikonsultasikan dengan bagian bedah. Crush Syndrome Crush Syndrome atau Rhabdomyolysis adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal akut. Kondisi ini terjadi akibat crush injury pada massa sejumlah otot, yang tersering adalah paha dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perfusi otot, iskemia, dan pelepasan mioglobin17. Patofisiologi crush syndrome dimulai dari adanya trauma ataupun etiologi lain yang menyebabkan iskemia pada otot. Trauma otot yang luas seperti pada paha dan tungkai oleh trauma tumpul merupakan salah satu penyebab tersering pada crush syndrome. Crush syndrome biasanya sering terjadi saat bencana seperti gempa bumi, teror bom dan lain-lain dimana otot dan bagian tubuh remuk tertimpa oleh benda yang berat. Crush syndrome biasanya baru terjadi saat benda atau beban tersebut dilepaskan dari tubuh sehingga membuat sel otot yang nekrosis terpapar sirkulasi darah21. Pada keadaan normal, keseimbangan elektrolit terjaga pada plasma dan otot karena ada otoregulasi yang difasilitasi oleh sarcolemma, sebuah membran tipis pada selaput otot lurik. Pada sarcolemma terdapat banyak sekali pompa yang menjaga gradien elektrokimia. Salah satunya adalah menjaga gradien positif yang ditimbulkan oleh sodium dan potassium. Di keadaan fisiologis, kadar sodium intrasel dijaga agar tidak melebihi 10 mEq/ml oleh pompa Na/K ATPase yang secara aktif menukarkan sodium intrasel oleh kalium ekstrasel. Gradien negatif intrasel yang ditimbulkan oleh proses ini ditanggulangi oleh pompa Ca2+ ATP ase yang menukarkan sodium dan

kalsium. Terlebih lagi, pompa ini menjaga kadar kalsium dalam sel yang tetap rendah. Gangguan pada proses, misalkan berkurangnya ATP akibat berkurangnya pasokan darah dan oksigen akan membuat pompa Ca2+ ATP ase tidak berfungsi sehingga kadar sodium plasma dan kalsium intrasel meninggi (yang biasanya terjaga sangat sangat rendah) dan akhirnya akan memicu enzim proteolitik dalam sel dan akan mendegradasi sel otot. Setelah terdegradasi, potassium, aldolase, posphate, myoglobin, creatinin kinase, dan banyak zat yang lepas ke sirkulasi. Pada keadaan normalnya kadar myoglobin plasma adalah sangat rendah (0 to 0.003 mg per dl). Apabila lebih dari 100 gram otot skeletal telah rusak, kadar myoglobin melebihi kemampuan pengikatan myoglobin dan akan mengganggu filtrasi glomerulus, menimbulkan obstruksi pada tubulus ginjal dan menyebabkan gagal ginjal21. Gejala yang timbul oleh crush syndrome adalah rasa nyeri, kaku, kram, dan pembengkakan pada otot yang terkena, diikuti oleh kelemahan serta kehilangan fungsi otot tersebut. gejala ini kurang begitu spesifik karena terkadang tidak muncul pada kasus crush syndrome. Urin yang berwarna seperti teh adalah gejala yang cukup khas karena dalam urin terdapat myoglobin. Mendiagnosis crush syndrome sering terlewatkan saat penyakit ini tidak dicurigai dari awal. Diagnosis biasanya ditegakkan lewat pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan Kreatinin Kinase dan Myoglobin dalam serum maupun urin. Pemeriksaan Kreatinin Kinase yang meningkat hingga 5 kali normal dan myoglobin yang positif dalam urin mengarahkan diagnosis ke crush syndrome21. Adapun komplikasinya adalah hipovolemi, asidosis metabolik, hiperkalemia, Gagal Ginjal akut, dan DIC (Disseminated Intravaskular Coagulation) 17 Diperlukan Manajemen kegawatdaruratan yang tepat dan cepat dalam penanganan crush syndrome dan pencegahan komplikasinya. Pada Instalasi Rawat Darurat yang dapat dilakukan adalah21 : Evaluasi ABC Pemberian cairan IV. Resusitasi cairan sangat dibutuhkan mengingat sering terjadi hipovolemia. Pemberian normal saline dengan kecepatan 1,5 liter per jam dan targetnya adalah produksi urin 200 300 ml per jam. Pemberian 19

cairan yang mengandung potassium dan laktat sebaiknya dihindari karena akan memperburuk hiperkalemia dan acidosis. Setelah keadaan hemodinamik pasien stabil, pemberian cairan dapat diturunkan dengan kecepatan 300 500 ml/jam. Investigasi mendalam terhadap trauma dan memonitor keadaan pasien. Adapun beberapa hal yang harus dimonitor adalah Vital Sign, produksi urin, kadar elektrolit darah, kadar kreatinin kinase. Pemberian bikarbonat untuk mengobati asidosis, kalsium karbonat untuk menterapi hiperkalemia masih merupakan kontroversi dan dilakukan sesuai keperluan dan indikasi. Setelah keadaan hemodinamik stabil, maka dapat dilakukan terapi definitif untuk kausa seperti trauma sehingga mencegah kerusakan sel otot lebih lanjut. 2.6 Beberapa Kondisi Kegawat-Daruratan Terkait Fraktur Yang Mengancam Ekstrimitas Trauma Vaskular, termasuk traumatik amputasi Trauma vaskular harus dicurigai jika terdapat insufisiensi vaskular yang menyertai trauma tumpul, remuk (crush injury), puntiran atau trauma tembus ekstremitas. Pada mulanya ekstrimitas mungkin masih tampak hidup (viable) karena sirkulasi kolateral yang mencukupi aliran secara retrograde. Trauma vaskular parsial menyebabkan ekstrimitas bagian distal dingin, pengisian kapiler lambat, pulsasi melemah, dan ankle brachial index abnormal17. Ekstrimitas yang avaskular secara akut harus segera dapat dikenal dan ditangani. Penggunaan turniket, walaupun kontroversial dapat menyelamatkan nyawa walaupun membahayakan ekstrimitas. Pemasangan turniket harus lebih tinggi dari tekanan arteri, karena bila hanya lebih tinggi dari tekanan vena maka hanya akan menambah pendarahan. Resiko pemakaian turniket berbanding lurus dengan waktu17. Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah lebih dari 6 jam dan nekrosis akan segera terjadi. Saraf juga sangat peka terhadap keadaan tanpa oksigen. Operasi

revaskularisasi sangat dibutuhkan. Amputasi merupakan kejadian yang traumatik bagi pasien secara fisik dan emosional. Traumatik amputasi merupakan bentuk terberat dari fraktur terbuka yang menimbulkan kehilangan ekstrimitas dan memerlukan konsultasi dan intervensi bedah. Patah tulang terbuka dengan iskemia berkepanjangan, trauma saraf dan kerusakan otot mungkin memerlukan amputasi. Amputasi pada trauma ekstrimitas dapat menyelamatkan nyawa pasien, yang mengalami gangguan hemodinamik dan sulit dilakukan resusitasi17. Walaupun kemungkinan reimplantasi ada, harus dipertimbangkan cedera-cedera lain yang ada. Pasien dengan multi trauma yang memerlukan resusitasi intensif dan operasi gawat darurat bukan kandidat untuk reimplantasi17.

Sindroma Kompartemen Sindroma kompartemen dapat ditemukan pada tempat di mana otot dibatasi oleh rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga berfungsi sebagai lapisan penahan. Daerah yang sering terkena adalah tungkai bawah, lengan bawah, kaki, tangan, region glutea, dan paha. Sindroma kompartemen terjadi bila tekanan di ruang osteofasial menimbulkan iskemia kemudian nekrosis. Iskemia dapat terjadi karena peningkatan isi kompartemen akibat edema yang timbul akibat revaskularisasi sekunder dari ekstrimitas yang iskemi atau karena penyusutan isi kompartemen yang disebabkan tekanan dari luar misalkan balutan yang menekan. Tahap akhir dari kerusakan neuromuskular disebut Volkmans Ischemic Contracture17 Semua trauma ekstrimitas potensial untuk terjadinya sindroma kompartemen. Sejumlah cedera mempunyai resiko tinggi yaitu17 : Fraktur Tibia dan antebrakhii Balutan kasa atau imobilisasi dengan gips yang ketat Crush Injury pada massa otot yang luas Tekanan setempat yang cukup lama 21

Luka bakar Latihan berat Gejala dan tanda-tanda sindroma kompartemen adalah17 : Nyeri bertambah dan khususnya meningkat dengan gerakan pasif yang meregangkan otot bersangkutan Parestesia daerah distribusi saraf perifer yang terkena, menurunnya sensasi atau hilangnya fungsi dari saraf yang melewati kompartemen tersebut Asimetris pada daerah kompartemen Tidak adanya pulsasi di daerah distal biasanya jarang ditemukan dan tidak mendasari diagnosis sindrom kompartemen. Kelumpuhan atau parese otot dan hilangnya pulsasi (disebabkan tekanan kompartemen melebihi tekanan sistolik) merupakan tingkat lanjut dari sindroma kompartemen. Diagnosis klinik didasari oleh riwayat trauma dan pemeriksaan fisik. Tekanan intra kompartemen melebihi 35 45 mmHg menyebabkan penurunan aliran kapiler dan menimbulkan kerusakan otot dan saraf karena anoksia17. Pengelolaan sindroma kompartemen meliputi pembukaan semua balutan yang menekan, gips, dan bidai. Pasien harus diawasi dan diperiksa setiap 30 60 menit. Jika tidak terdapat perbaikan, perlu dilakukan fasciotomi. Sindroma kompartemen merupakan keadaan yang ditentukan oleh waktu. Semakin tinggi dan lama meningkatnya tekanan intra kompartemen, makin besar kerusakan neuromuskular dan hilangnya fungsi17.

BAB III LAPORAN KASUS Identitas Pasien Nama Umur Jenis Kelamin Agama Bangsa Alamat Status Pekerjaan Pendidikan No. CM Tanggal MRS Anamnesis Keluhan Utama : Nyeri di kaki kiri Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang sadar, mengeluh nyeri di kaki kanannya sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Pasien mengalami kecelakaan kerja. Pasien merupakan penambang batu di daerah Ungasan dan pada hari ini kaki kiri pasien dan dilindas batu seukuran kira kira 1 x 1 meter yang jatuh dari atas. Batu tidak menimpa kaki pasien dalam waktu yang lama. Pasien sadar saat kejadian dan sejak saat itu merasa nyeri sekali dan tidak mampu menggerakkan kaki kirinya karena nyeri. Pasien langsung dibawa ke RSUP Sanglah dengan truk perusahaan. Keluhan pingsan, mual dan muntah disangkal. : TK : 40 tahun 11 Bulan : Laki-laki : Islam : Indonesia : Jalan Kutuh Selatan no 4 Kuta : Menikah : Pegawai Swasta : SLTA : 01.54.06.37 : 9 Februari 2012 Tempat Tanggal Lahir : Denpasar, 11 Februari 1971

23

Riwayat Pengobatan Pasien dikatakan tidak memiliki riwayat pengobatan lama. Sebelum datang ke RSUP Sanglah pasien mengakui tidak mendapat terapi atau operasi sebelumnya Riwayat Penyakit Terdahulu Riwayat trauma, kecelakaan, Diabetes, Tekanan darah tinggi disangkal. Pasien juga tidak memiliki riwayat alergi Riwayat Penyakit pada Keluarga Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama seperti pasien saat ini Riwayat Sosial Riwayat merokok maupun minum alkohol disangkal oleh pasien. Pasien minum kopi setiap hari kira-kira dua cangkir per hari. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum (Tanggal 9 Februari 2012) Status Present : Gizi : Baik Kesadaran : GCS E4V5M6 Tekanan Darah : 84/55 mmHg Respirasi : 22x/menit Nadi : 88x/menit Temperatur axila : 36,80 C VAS : 1 - 3 Pemeriksaan Fisik Khusus Status Lokalis : SSP : GCS E4V5M6 Reflex Pupil +/+ Bulat Reguler Respirasi : Nafas spontan 22x/menit, Vesikuler +/+ Ronchi -/- Wheezing -/Kardiovaskuler : TD 84/55 mmHg, Nadi 88x/menit, S1S2 tunggal, regular,

murmur (-) Gastrointestinal : Distensi (-), Bising Usus (+) normal, Meteorismus (-), Nyeri tekan (-), Ballotement (-/-), Nyeri ketok costovertebral angle tidak dapat dievaluasi, Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba, Urogenital : BAK (+) lancar, Musculoskeletal : Status Lokalis : regio Pedis Dekstra Look Feel Move : Vundus Appertum Luas, Bone Exposed +, Bleeding +, : Nyeri Tekan +, Capillary Refill Time > 3 : ROM Terbatas (+) Warna Kehitaman Digiti II- IV

Pemeriksaan Penunjang Foto Pedis Dekstra (9 Februari 2012) : Trauma Amputatum MTP II IV Open Fracture Base MT III Open Fracture Neck MT IV Foto Maleolus Dextra (9 Februari 2012) : Open Fracture Maleolus Medial Dextra Foto Cruris Dextra (9 Februari 2012) : Close Fracture Cruris Dextra 1/3 Tengah

25

Tabel 2. Pemeriksaan Darah Lengkap


Parameter Nilai Rujukan Waktu Pemeriksaan 9/2 WBC (103/L) RBC (106/L) HGB (mg/dL) HCT (%) PLT ((103/L) 4,1-11 4,5-5,9 13,5-17,5 41-53 150-440 16,6 () 4,59 13,4 () 39,1 () 255 10/2 9,4
2,74 ()

7,9 () 23,2 () 175

Tabel 3. Pemeriksaan Kimia Klinik (Serum)


Parameter BUN (mg/dL) Creatinin (mg/dL) Albumin (g/dL) Glukosa Sewaktu (mg/dL) Natrium (mmol/L) Kalium (mmol/L) Bilirubin Total Darah

Nilai Rujukan 8-23 0,7-1,2 3,4-4,8 70-140 16 1,11 4,78 129

9/2

136-145 3,5-5,1 0,3 1,3

139 3,14 () 0,42

Bilirubin Indirek Biliribun Direk SGOT SGPT

<0,8 0- 0,3 11 33 11 50

0,27 0,15 33,3 () 26,4

Diagnosis Crush Injury Pedis Dekstra Trauma Amputatum MTP II IV Open Fracture Base MT III Open Fracture Neck MT IV Open Fracture Maleolus Medial Dextra Close Fracture Cruris Dextra 1/3 Tengah Penatalaksanaan MRS Imobilisasi dengan Bidai Tetagam 1 amp. Infus RL 20 tts/menit Ceftriaxone 2 gr Ketorolac 1 amp Planning : Debridement + Amputasi Metatarsal II IV. ORIF Screwing Maleolus media. ORIF P- S Tibia Dekstra KIE

Follow Up Tabel 4. Follow Up Pasien Selama Dirawat di Ruangan Angsoka I


Waktu
10/2/12 (Hari II)

S
Nyeri Luka

O
Status Present SSP : CM, RP +/+ Post

A
Operasi

P
Epidural Analgesia Ketorolac 3 x 30 mg Paracetamol Tab 1000 mg (k/p)

hari 0 nyeri sedang berat

Operasi Respirasi : Spontan,

27

APS ANASTE SI

(+), demam (+)

Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-, RR : 24x/menit KV : TD : 130/70 mmHg, tunggal HR : 96x/menit, S1 S2 irreguler, murmur (-) GI : Distensi (-), BU (+), H/L ttb UG : BAK (+) MS : Keempat Akral Hangat, Gips pada tungkai kanan Status Present SSP : CM, RP +/+ Respirasi : Spontan, Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-, RR : Post HR : maleolus media D Post ORIF P-S Tibia D Screwing 24x/menit KV : TD : 110/70 mmHg, 88x/menit, S1 S2 tunggal irreguler, murmur (-) GI : Distensi (-), BU (+), H/L ttb UG : BAK (+) MS : Keempat Akral Hangat, pada Gips tungkai Post Amputasi MTP II-IV D Post ORIF Rawat Luka @ hari Gentamicyn 2x 80 mg ROM Exercise Diet Bebas Screwing

10/2/12 (Hari II) ORTHO PEDI

Mengel uh nyeri pada kaki kanan

Post Debridemen + Amputasi MTP II-IV D

Observasi VS, Tanda Pendarahan, Tanda Compartment Syndrome Elevasi Tungkai 2 bantal\ Cek DL Post op Ro Post OP ORIF Rawat Luka @ hari Ceftriaxon 2 x 1 gr Gentamicyn 2x 80 mg ROM Exercise Diet Bebas

11/2 ORTOPE DI

Nyeri pada luka post operasi (+)

kanan O : Status Lokalis Pedis D L : Dressing +, Bleeding F : Nyeri Tekan (NT) +, AVN Distal + N

Debridemen + Ceftriaxon 2 x 1 gr

M : ROM Digiti 1 + N

maleolus media D Post ORIF P-S Tibia D

12/2 ORTOPE DI

Nyeri Pada Luka Op

Stabil

Post Amputasi MTP II-IV D

Rawat Luka @ hari Gentamicyn 2x 80 mg Analgesia sesuai TS Anastesi Tranfusi PRC 2 kolf/hari hingga HB > 10gr/dl SF tab 2x 1 ROM Exercise Diet Bebas

Hemodinamik Status Lokalis Pedis D L : Luka Terawat +, Dressing basah F : Nyeri Tekan (NT) +, AVN Distal + N M : ROM Distal Limited

Debridemen + Ceftriaxon 2 x 1 gr

Post maleolus media D

ORIF

Screwing

Post ORIF P-S Tibia D

29

BAB IV PEMBAHASAN Pasien laki-laki 40 tahun, masuk rumah sakit pada tanggal 9 Februari 2012. Pasien datang sadar, mengeluh nyeri di kaki kanannya sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Pasien mengalami kecelakaan kerja. Pasien merupakan penambang batu di daerah Ungasan dan pada hari ini kaki kiri pasien dan dilindas batu seukuran kira kira 1 x 1 meter yang jatuh dari atas. Batu tidak menimpa kaki pasien dalam waktu yang lama. Pasien sadar saat kejadian dan sejak saat itu merasa nyeri sekali dan tidak mampu menggerakkan kaki kirinya karena nyeri. Dari uraian tersebut telah diketahui mekanisme kejadian penyebab rasa nyeri pasien yang sangat memungkinkan terjadinya cedera tulang maupun otot dari pasien. Dari hasil pemeriksaan fisik pada tanggal 9 Februari 2012 diperoleh Kesadaran : GCS E4V5M6 Tekanan Darah : 84/55 mmHg Respirasi : 22x/menit Nadi : 96 x/menit Temperatur axila : 36,80 C. Dari pemeriksaan fisik dapat kita simpulkan bahwa primary survey telah dilakukan dengan jalan nafas dan pernafasan yang sudah aman (pasien masih bisa bernafas secara spontan). Tekanan darah turun dari tekanan darah normal dari pasien yaitu 120/80 dan termasuk dalam kategori hipotensi mungkin akibat dari kehilangan darah dari luka terbuka pada kaki pasien atau memang pada saat itu tekanan darah pasien memang rendah sebelum kejadian (tidak ada pengukuran sebelum kejadian). Bukti adanya pendarahan yang masif atau trauma pada arteri besar tidak didukung dari frekuensi nadi yang belum meningkat di atas normal yaitu 96 x/menit, tidak adanya hematoma atau pembengkakan yang meluas secara cepat, dan hemodinamik pasien yang stabil. Walaupun begitu status hemodinamik pasien tetap dijaga dengan pemberian infus kristalloid yaitu Ringer Laktat dengan kecepatan 20 tts/menit. Kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6) menandakan tidak adanya atau kecil kemungkinan adanya cedera kepala atau tulang belakang pada kasus ini. Dari pemeriksaan fisik status lokalis ditemukan : Look : Vundus Appertum Luas, Bone Exposed +, Bleeding +, Warna Kehitaman

Digiti II- IV Feel Move : Nyeri Tekan +, Capillary Refill Time > 3 : ROM Terbatas (+)

Adanya luka robek apalagi tulang sudah terlihat menandakan besar kemungkinan pasien menderita patah tulang terbuka. Hal ini didukung dengan adanya nyeri tekan dan gerakan abnormal (ROM Terbatas). Pada pasien ini krepitasi tidak diperiksa karena mungkin pemeriksaan menimbulkan nyeri untuk pasien dan pada teori memang tidak dianjurkan untuk memanipulasi pasien seperti itu. Keadaan patah tulang terbuka membuat pasien memiliki resiko pendarahan yang dapat membahayakan nyawa, karena itu pendarahan perlu dihentikan. Menurut klasifikasi Gustilo, besar kemungkinan fraktur yang terjadi pada regio pedis kanan pasien ini tergolong golongan IIIA. Hal ini berdasar dari fraktur yang disebabkan oleh energi tinggi (fraktur multifragmen/ crush injury) yang telah terkontaminasi dengan kerusakan jaringan yang luas, tanpa memerlukan flap coverage untuk menutupi lukanya. Adanya anamnesa dan pemeriksaan fisik yang lengkap menandakan bahwa survey sekunder telah dilakukan dan ditemukan curiga fraktur di cruris dextra. Anamnesis pasien telah meliputi riwayat AMPLE dan pemeriksaan fisik pasien juga telah menilai Look, Feel, Move pada pasien. Survey sekunder pada pasien juga sesuai dengan teori yang menyarankan pemasangan bidai untuk imobilisasi pasien dan juga pemeriksaan radiologi yang menganut prinsip rule of 2s (dua sudut pandang, dua sendi dan dua waktu. Pemasangan bidai pada pasien menggunakan papan kayu berukuran kira-kira 10 x 100 cm yang dibalut dengan kasa dimana prinsip pemasangannya sudah sesuai dengan teori yaitu meliputi dua sendi di proksimal dan distal fraktur. Pada perawatan di IRD juga fraktur di regio pedis dekstra telah diimobilisasi dengan menggunakan bidai bantal. Pada pemeriksaan radiologi, Sayangnya prinsip dua ekstrimitas tidak diterapkan pada pasien. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap untuk mengevaluasi hemodinamik pasien dan sebagai persiapan operasi. Dari pemeriksaan didapatkan peningkatan sel WBC yang menandakan adanya proses inflamasi yang normal terjadi sebagai respon stress pasien dan sebuah proses fisiologis terhadap trauma ini.

31

Diagnosis pasien adalah : Crush Injury Pedis Dekstra Trauma Amputatum MTP II IV Open Fracture Base MT III Open Fracture Neck MT IV Open Fracture Maleolus Medial Dextra Close Fracture Cruris Dextra 1/3 Tengah Sedangkan penanganan yang diberikan pada pasien ini adalah : MRS Imobilisasi dengan Bidai Tetagam 1 amp. Infus RL 20 tts/menit Ceftriaxone 2 gr Ketorolac 1 amp Planning : Debridement + Amputasi Metatarsal II IV. ORIF Screwing Maleolus media. ORIF P- S Tibia Dekstra KIE MRS diperlukan karena pasien perlu mendapatkan operasi emergency untuk mereduksi fraktur, menjaga fungsi neuromuskular pada ekstrimitas, dan menutup luka terbuka sehingga mencegah kontaminasi bakteri dalam tubuh. Irigasi luka terbuka, pemberian antibiotik, dan vaksinasi tetagam telah dilakukan sesuai teori untuk mencegah kontaminasi bakteri masuk ke dalam tubuh. Pemilihan regimen antibiotik juga disesuaikan yaitu Ceftriaxon, sebuah Cephalosporin generasi ketiga. Seperti sefalosporin generasi ketiga lainnya, ia mempunyai aktivitas spektrum yang luas terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Terdapat sedikit perbedaan pilihan antibiotik antara kasus dan teori, dimana pada teori digunakan kombinasi antibiotik cephalosporin generasi pertama dan aminoglikosid untuk fraktur Gustillo kelas II dan III. Walaupun begitu ceftriaxon telah memiliki efek antibiotik pada bakteri gram positif dan negatif, sehingga tujuan yang diinginkan telah tercapai. Regimen antibiotik pasien juga telah ditambahkan Gentamicyn 2 x 80 gr selama pasien MRS.

Untuk analgesia dan manajemen nyeri digunakan NSAID yaitu ketorolac 30 mg IV yang mana sedikit berbeda dengan teori di mana pada teori dapat digunakan morfin atau ketamine untuk nyeri akut. Terdapat kemungkinan alasan penggunaan Ketorolac pada pasien ini adalah karena skor VAS pada pasien ini adalah 1 3 dari 10 cm dimana nyerinya tidak terlalu berat jadi dirasa cukup diberikan analgesi Ketorolac dengan dosis 30 60 mg IV. Kemungkinan alasan kedua tidak digunakannya morfin adalah kemungkinan efek samping yang ditimbulkan yaitu penurunan kesadaran, depresi nafas, hipotensi di mana pada pasien ini sangat penting untuk memonitor tanda tanda vital. KIE pasien harus mencakup keadaan pasien saat ini, terapi apa saja yang diperlukan pasien, prognosis pasien dan hal penting lain yang perlu diketahui oleh pasien. Planning operasi yang dilakukan di OK UGD adalah debridement dan reduksi terbuka internal fiksasi menggunakan screw dan plate. Hal ini juga sesuai dengan teori di mana debridement dan reduksi yang cepat (< 6 jam) perlu dilakukan untuk mendapat hasil akhir yang optimal. Pada pemeriksaan fisik lanjutan tidak didapatkan tanda tanda pendarahan dan trauma arteri besar, trauma neuron pada ekstrimitas, Crush Syndrome, dan sindroma kompartemen. Walaupun begitu sindrom kompartemen juga harus tetap dievaluasi post operasi. Crush syndrome pada pasien ini kemungkinan besar tidak terjadi karena walaupun terjadi crush injury, tidak mengenai massa otot yang besar dan juga tes fungsi ginjal yang masih normal (BUN dan Creatinin yang normal) menandakan tidak adanya gagal ginjal akut pada pasien (walaupun kadar CK dan Myoglobinuria tidak diperiksa pada pasien). Walaupun begitu fungsi neurovaskular pada pasien harus dipantau setiap hari dan pasien perlu dirujuk ke bagian rehabilitasi medis untuk mengembalikan dan memperbaiki fungsi ekstremitasnya sesegera mungkin setelah keadaan pasien memungkinkan.

33

DAFTAR PUSTAKA

Corso P, Finkelstein E, Miller T, Fiebelkorn I, Zaloshnja E. Incidence and lifetime costs of injuries in the United States. Inj Prev. Aug 2006;12(4):212-8. Canale ST. Campbell's Operative Orthopaedics. 10th ed. St Louis, Mo: Mosby-Year Book; 2003. Court-Brown CM, Rimmer S, Prakash U, McQueen MM. The epidemiology of open long bone fractures. Injury. Sep 1998;29(7):529-34. Howard M, Court-Brown CM. Epidemiology and management of open fractures of the lower limb. Br J Hosp Med. Jun 4-17 1997;57(11):582-7. Iskyan K, Kulkarni R. Ankle Fracture in Emergency Medicine. Diakses di http://emedicine.medscape.com/article/824224-overview . Tanggal akses 11 Februari 2012. Update terakhir 2 Februari 2010. Norvell J G, Kulkarni R. Tibial and Fibular Fracture. Diakses di

http://emedicine.medscape.com/article/826304-overview . tanggal akses 11 Februari 2012. Update Terakhir 16 Maret 2011 Moran DS, Israeli E, Evans RK, Yanovich R, Constantini N, Shabshin N, et al. Prediction model for stress fracture in young female recruits during basic training. Med Sci Sports Exerc. Nov 2008;40(11 Suppl):S636-44. Gustilo RB, Merkow RL, Templeman D. The management of open fractures. J Bone Joint Surg Am. Feb 1990;72(2):299-304. Evans FG. Relation of the physical properties of bone to fractures. Instr Course Lect. 1961;18:110-21. Pollak AN, Ficke CJ. Extremity war injuries: challenges in definitive reconstruction. J Am Acad Orthop Surg. Nov 2008;16(11):628-34. Buckley R dkk. General Principle of Fracture . Workup. Diakses Diakses tanggal di 11

http://emedicine.medscape.com/article/1270717-workup Februari 2012. Update terakhir 15 anuari 2010.

Patel

dkk.

Open

Tibial

Fracture. .

Diakses Tanggal akses

di 11

http://emedicine.medscape.com/article/1249761-overview Februari 2012. Update Terakhir 23 Mei 2011.

American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support for Doctors (ATLS): Student Course Manual. 7th ed. Chicago, Ill: American College of Surgeons; 2004. Wang AM, Yin X, Sun HZ, DU QY, Wang ZM. Damage control orthopaedics in 53 cases of severe polytrauma who have mainly sustained orthopaedic trauma. Chin J Traumatol. Oct 2008;11(5):283-7. Bryant LR, Song WS, Banks KP, Bui-Mansfield LT, Bradley YC. Comparison of planar scintigraphy alone and with SPECT for the initial evaluation of femoral neck stress fracture. AJR Am J Roentgenol. Oct 2008;191(4):1010-5 Lee C, Porter KM. Prehospital Management of Lower Limb Fracture. Emerg Med J 2005;22:660663 American College of Surgeons Comittee on Trauma. Advanced Trauma Life Support for Doctors (ATLS) Student Course Manual. 8th ed. Chicago, IL : American College of Surgeons ; 2008 Mangku G, Senapathi T.G.A. eds Wiryana I.M.W, Sinardja K, Sujana I.B.G, Budiarta I.G. Penatalaksanaan Nyeri. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta Barat : Indeks. 2010 Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown C, et al, eds. Rockwood & Green's Fractures in Adults. 6th ed. Philadelphia, Pa: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. Ruedi TP, Buckley R, Moran C, eds. AO Principles of Fracture Management. 2nd ed. New York, NY: Thieme Medical Publishers, Inc; 2007. Khan F.Y. Rhabdomyolysis : A Review of the Literature. The Netherlands Journal of Medicine. Oct 2009; 67(9); 272 283

35

You might also like