You are on page 1of 22

SEJARAH DAN KONDISI WAYANG WONG SRIWEDARI DI SURAKARTA HISTORY AND CIRCUMSTANCE OF THE SRIWEDARI WAYANG WONG IN SURAKARTA

Markhamah*, Slamet Subiyantoro**1), Kristiyani**2) * Jurusan PBSID, FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan, Surakarta 5702 Telp. 0271 717417 ext 155, 327/08122649879 **1) Jurusan Seni Rupa, FKIP ** Jurusan Pendidikan IPS, FKIP Universitas Negeri Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami, Kentingan Surakarta Telp. 1) 08172856782, 2) 08122631556
2)

ABSTRAK The objectives of the study are: (1) to trace back and to explore the historical background of the Sriwedari Wayang Wong, (2) to describe the obstacle and the support to the performance, and (3) to describe the required competence of the players. The data-collecting methods include interview, questionnaire, and document. The data sources are the players, on-lookers, and the management of the wayang wong performance. The data-analyzing technique is interactive model from data collection, reduction, analysis, interpretation, and conclusion in the form of circle. The conclusions of the study are as follows. (1) the founding father of wayang wong was Adipati Mangku Negara I (1757 1795), during the reign of Pakubuwana X, and the locus of the wayang wong performance was known as Taman Sriwedari, (2) the golden era of wayang wong was around 1950-1970, (3) among other obstacles of the performance were the absence of some actors/actresses, incomplete gamelan players, and social relation problems with officers; whereas the supports among others were the full team of actors/actresses, gamelan players, and the technician team, in addition to the fully-seated hall, (4) the competences required for a wayang player were the ability to perform at least three different traditional dances in addition to fluent Javanese speaking;
42
Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 42-63

the competence required for a gamelan player was the ability to play at least three different traditional musical instruments; the competences required for a narrator (dalang) was a legal document of relevant formal education; and the competence required for a director was the acquaintance of different stories (lakon) and the capability of managing players. Kata kunci: wayang wong, sejarah, pemain, kemampuan awal pemain

PENDAHULUAN Sektor pariwisata yang mengandalkan kebudayaan belum digarap secara maksimal sebagai aktivitas bisnis. Bmahkan, potensi kebudayaan untuk kasus di Indonesia pada umumnya belum diberdayakan sebagai aset ekonomi, baik bagi masyarakat lokal pemilik kebudayaan maupun pihak lain yang berkepentingan seperti investor (Wall, 1992; Jenkis, 1992). Padahal, kesenian tradisi dan kesenian daerah sangat beragam bahkan potensial sekali untuk dikembangkan sebagai aset pariwisata budaya, terutama di Jawa Tengah. Sejauh ini, menurut Sudarsono (1996), belum banyak investor yang tertarik untuk menggarap seni tradisional atau seni daerah sebagai komoditi pariwisata. Selama ini wilayah Surakarta yang menjadi tujuan wisata terbesar ketiga di Jawa belum mengandalkan kekayaan budaya, terutama untuk seni tradisional atau seni daerah sebagai andalan untuk mengembangkan pariwisata budaya. Terlihat di antara banyak jenis seni tradisional belum digarap sebagai atraksi menarik bagi para wisatawan (Dinas Pariwisata Surakarta, 2001) . Potensi budaya seperti kesenian tradisional merupakan daya tarik terbesar bagi wisatawan, terutama wisatawan mancanegara (Oka, 1992). Namun demikian, Surakarta belum memberdayakan kekayaan budaya tersebut sebagai kekuatan tersendiri dalam mengembangkan wisata terpadu yang terencana. Kegiatan pariwisata masih berjalan apa adanya. Hal ini dikarenakan masih rendahnya sumber daya manusia dalam merencanakan suatu paket wisata budaya yang dapat menarik para wisatawan domestik dan wisatawan asing (Agus, 1999). Imbas dari potensi budaya yang belum digarap tersebut adalah tingkat kunjungan wisata sangat rendah. Dengan demikian, peluang meningkatkan sumber pendapatan masyarakat setempat dan pendapatan Pemerintah Daerah juga rendah. Peluang membuka kesempatan kerja dan kesempatan berusaha juga tidak terealisasi. Pada sisi lain potensi pertunjukan kesenian yang menjadi daya tarik wisatawan semakin terancam keberadaannya karena tidak lagi diberdayakan dan diangkat sebagai aset yang bernilai ekonomi dan budaya. Salah satu contoh adalah seni tradisional wayang
Sejarah dan Kondisi Wayang Wong Sriwedari di Surakarta (Markhamah, dkk.)

43

wong di Surakarta. Tempat dan frekuensi pertunjukan nyaris tidak lagi di tengah masyarakat, kecuali wayang wong Sriwedari yang hampir setiap hari melakukan pertunjukan. Pendapatan pertunjukan wayang wong setiap hari rata-rata sekitar Rp 76.077,00. Pendapatan ini amatlah memprihatinkan apabila dirasionalkan dengan jumlah pelaku kesenian (pemain wayang wong, dalang, pengrawit, teknisi lampu, panggung, kebersihan, keamanan, parkir, dan lain-lain) yang jumlahnya 67 orang (Dinas Pariwisata Kota Surakarta, 2001). Konsekuensi dari minimalnya pemberdayaan kebudayaan sebagai andalan pariwisata sangat berpengaruh terhadap tingkat kunjungan wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara, yang pada gilirannya akan berpengaruh juga pada ekonomi. Sebagai ilustrasi dapat dilihat jumlah total wisatawan mancanegara (wisman), yang datang ke wilayah Surakarta pada tahun 1998 ditemukan sejumlah 10.310 orang, dan wisatawan nusantara (wisnu) sebanyak 82.628 orang. Angka ini sangat jauh perbedaannya jika dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisatawan di Bali. Di Bali, yang sudah termasyur dengan pariwisata budaya yang mengandalkan kesenian sebagai atraksi/tontonan itu, mampu menarik wisman pada tahun 1991 sebanyak 555.939 orang. Dengan demikian, sumber pendapatan di Bali lebih besar daripada Surakarta. Pendapatan yang diperoleh di Surakarta masih belum seperti yang diharapkan. Berikut secara beruntun pendapatan sektor pariwisata dari tahun ke tahun di Surakarta, tahun 1993 (Rp 454.211.900,00), tahun 1994 (Rp 454.626.650,00), tahun 1995 (Rp 600.650.920,00), tahun 1996 (Rp 508.021.937,00), tahun 1997 (Rp 567.885.095,00). Pendapatan dari tahun 1993 hingga tahun 1997 tidak menunjukkan peningkatan berarti, bahkan pada tahun 1996 justru mengalami penurunan yang tajam (Surakarta Dalam Angka, 1998). Berdasarkan uraian di atas sudah saatnya pariwisata budaya di Surakarta dikembangkan supaya dapat menarik wisatawan sebanyak-banyaknya. Pengembangan pariwisata itu dapat dilakukan di antaranya dengan memberdayakan pertunjukan wayang wong. Pemberdayaan pertunjukkan wayang wong tersebut, selain dapat mengembangkan pariwisata budaya, juga bertujuan untuk: (1) meningkatkan taraf hidup para seniman dan masyarakat sekitarnya, (2) memperkokoh (revitalisasi) kedudukan seni tradisional wayang wong, dan (3) melestarikan seni tradisional. Peningkatan taraf hidup ini sangat menggembirakan untuk seniman yang sudah berhasil, misalnya seorang penari Jaipong bisa menerima jutaan rupiah dalam sekali pertunjukan (Srinthil, 2003). Pentingnya revitalisasi seni tradisi wayang wong juga didasarkan asumsi bahwa: (1) wayang wong merupakan potensi dasar daerah yang merupakan bagian dari
44
Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 42-63

kebudayaan nasional, (2) kesenian tradisional wayang wong merupakan keseluruhan daya upaya manusia, untuk mengembangkan harkat dan martabat bangsa, yang mampu memberikan sumbangan peningkatan wawasan, dan makna pembangunan nasional yang berbudaya, (3) wayang wong sebagai pencerminan nilai-nilai luhur yang perlu dijaga, dipelihara, diberdayakan, dan ditingkatkan untuk memperkuat wawasan budaya jati diri bangsa (Depdikbud Jateng, 1994). Tujuan Penelitian adalah: (1) menelusuri dan menggali latar belakang sejarah wayang wong untuk diinventarisasi dan didokumentasi sebagai upaya mengokohkan kembali aset budaya lokal yang sekaligus diberdayakan sebagai aset pariwisata, (2) mendeskripsikan kemampuan awal para pelaku kesenian wayang wong,dan (3) mendeskripsikan kendala dan pendukung pertunjukan. Wayang wong adalah sebuah genre yang digolongkan ke dalam bentuk drama tari tradisional. Sebutan wayang berasal dari bahasa Jawa Kuna yang berarti bayangan. Adapun kata wong berarti orang atau manusia. Menurut Sudarsono (1990), wayang wong adalah sebuah pertunjukan wayang yang pelaku-pelakunya dimainkan oleh manusia. Seni pertunjukkan wayang wong pada masing-masing daerah memiliki gaya tersendiri, baik Surakarta maupun Yogyakarta. Kehadiran seni istana ini tidak lepas dari motif politik dari raja sebagai penguasa tunggal kerajaan. Sal Murgiyanto (1979) mengemukakan bahwa wayang wong pertama di Surakarta dicipta oleh R.M Said atau K.G.P.A.A. Mangkunegara I (1757-1795) yang tujuannya untuk memberikan dorongan semangat hidup bagi perjuangan rakyat untuk melawan pemerintahan kolonial Belanda. Namun demikian, Sudarsono (1990), menyatakan munculnya wayang wong gaya Surakarta dan Yogyakarta merupakan renaissance wayang wong yang telah berkembang pada zaman kerajaan Majapahit. Menurut Clifford Geertz (1981), wayang wong yang muncul pada sekitar abad 18, merupakan kebangkitan seni klasik Jawa setelah mendapat desakan dari masuknya agama Islam di Jawa. Lelyved (1931) dalam bukunya yang berjudul De Javaansche Danskuns mengemukakan bahwa masa pemerintahan Sri Mangkunegara V merupakan periode puncak perkembangan wayang wong. Perkembangan itu dihindari adanya kreasi tata busana yang diilhami oleh tata busana wayang kulit purwa, dan gambar Bima dari relief Candi Sukuh. Hersapandi (1991) dalam hasil penelitian tentang Wayang Wong Sriwedari Suatu Perjalanan Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersial 1901-1991, menyatakan bahwa sejak tahun 1970-an Wayang Wong Sriwedari Surakarta mengalami kemunduran. Menurutnya kemunduran ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud antara lain pertunjukannya bersifat statis, keterlambatan alih generasi, tingkat pendidikan seniman rendah (sekitar 87 %
Sejarah dan Kondisi Wayang Wong Sriwedari di Surakarta (Markhamah, dkk.)

45

berpendidikan sekolah dasar (SD)), dan sistem produksi tidak profesional. Sarana dan prasarana masih sederhana sehingga tidak sesuai dengan perkembangan zaman juga menjadi faktor penyebab internal. Faktor ekternal yang berpengaruh adalah banyaknya media hiburan lain, heterogenitas masyarakat Surakarta, dan perkembangan wajah kota yang cenderung urban. Penelitian Prabowo (2001) tentang Manajemen Seni Tradisi dalam Pertunjukkan Wayang Wong Tobong, secara tegas menyimpulkan bahwa ketidakberdayaan wayang wong panggung saat ini berkaitan dengan masalah manajemen, baik manajemen produksi maupun pemasaran. Penelitian Brandon (1967) menyatakan perkembangan wayang wong hampir tidak pernah dikenal di luar tembok istana. Akan tetapi, pada tahun 1895 wayang wong di luar keraton didirikan oleh rombongan wayang wong profesional. Pendirinya pengusaha Cina yang kaya, yaitu Gan Kam. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran nilai seni dari istana menjadi seni komersial. Meskipun demikian, menurut Koentjaraningrat (1984) dalam bukunya Kebudayaan Jawa, dinyatakan bahwa wayang wong panggung pada akhir abad 19 dianggap murahan dengan sebutan tiyang barang karena tega menjual dan melanggar nilai-nilai keramat dari istana untuk tujuan komersial. Pandangan negatif tersebut mulai menipis setelah wayang wong istana ikut mulai terjun ke dunia bisnis sebagaimana dilakukan oleh pihak Keraton Kasunanan Surakarta, yang mendirikan grup wayang wong panggung profesional di Taman Sriwedari pada awal abad 20 (Brandon, 1967). Dalam pengembangan kepariwisataan di Jawa Tengah, pengembangan dan pelestarian kesenian tradisional seperti wayang wong dapat menjadi salah satu alternatif untuk menarik wisatawan (Wahyudi, 1996). Data Visitor Survey of 1991 untuk kasus di Bali menunjukkan bahwa atraksi tontonan yang paling banyak digemari dalam pariwisata adalah atraksi kebudayaan dalam bentuk kesenian: 61 %, baru kemudian keindahan alam : 33 % sedangkan lain-lain : 6 % (Oka,1992). Memang dampak pariwisata terhadap kehidupan seni pertunjukkan berbedabeda tergantung pada kekenyalan budaya dan pengalaman masyarakat berinteraksi dengan kebudayaan lain. Menurut Lathief (1997), pergeseran makna yang terjadi pada upacara ritual dan sosial di Toraja misalnya, disebabkan oleh intervensi dunia pariwisata dalam menentukan waktu dan prioritas pertunjukannya. Kasus di Kalimantan dalam penelitian Devung (1997) menyimpulkan bahwa surutnya makna pertunjukan ritual dan upacara sosial, semata-mata disebabkan oleh perubahan agro ekosistem masyarakat pendukungnya. Secara implisit ia mengemukakan pariwisata akan memberi peluang pada masyarakat untuk menghargai kembali nilai-nilai tradisinya. Bahkan dengan tegas Thanh (1997) menjelaskan temuannya bahwa
46
Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 42-63

keikutsertaan pemerintah dalam pengelolaan kesenian dan dunia pariwisata secara sadar dapat membedakan antara folk-lore dengan fake-lore sebab menjamurnya kesenian palsu (fake) merupakan hasil mekanisme pasar. Kuswarsantyo (1997) menjelaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan yang cukup lama bersentuhan dengan dunia pariwisata seperti Bali dan Yogyakarta, menunjukkan interaksi seni pertunjukan dengan industri pariwisata berjalan dengan kompleks, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Tarian Ramayana di Prambanan yang sedianya merupakan tarian untuk pariwisata, karena legendarisnya dan lamanya bertahan sebagai pertunjukan, kini justru menjadi tradisi itu sendiri. Larasati (1997) telah membandingkan bagaimana eksperimen kreatif dari seniman kontemporer dengan masyarakat tradisional Teges di Bali yang mampu menghasilkan karya tari yang terintegrasi dengan kebudayaan setempat, sekaligus menjadi produk pariwisata yang berkualitas. Suprapto (1997) mengungkapkan perlunya prinsip miniatur menjadi nilai dasar pariwisata massal. Kecenderungan nilai miniatur tidak saja mempengaruhi pengelolaan objek wisata yang efisien dan terpadu, tetapi juga mempengaruhi kemasan seni pertunjukkan secara padat, penuh variasi, tiruan bentuk asli, telah dihilangkan unsur ritualnya, serta murah harganya. Di Bali, citra pariwisata yang dikembangkan selama seabad terakhir selalu berhubungan dengan jenis-jenis seni pertunjukan yang ditonjolkan dan dijadikan maskot. Pilihan-pilihan dan penentuan jenis seni, tidak terlepas dari kesadaran kolektif yang dimiliki oleh sebuah lingkungan kebudayaan. Pemilihan seni pertunjukkan khususnya wayang wong selain untuk menarik wisatawan, juga menjadi sumber tata nilai keserasian hidup. Pentas wayang merupakan simbolisasi keberadaan individu manusia Jawa dan refleksi simbolis hubungan-hubungan sosial horizontal. Pentas wayang juga menyiratkan tata nilai yang menunjukan upaya-upaya untuk mencapai keserasian hidup. Nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pentas wayang bersifat universal, seperti nilai baik dan buruk. Pertentangan antara keduanya disimbolkan dalam bentuk pertentangan antara tokoh-tokoh wayang tengen (baik) melawan wayang kiwo (buruk). Kemenangan tokoh baik melawan tokoh buruk merupakan idealisme orang Jawa. Oleh karenanya, pentas wayang juga dapat dipakai sebagai media pendidikan dalam rangka membangun budi pekerti bangsa Indonesia (Soehardi, 2002). Fungsi wayang sebagai pendidikan keagamaan sudah berlangsung sejak jaman Wali Songo (Parto Kusumo,1995). Hal ini disebabkan pentas wayang Jawa mempunyai sifat religius (Widyasputra, 2001). Dalam peningkatan pariwisata, peranan seni pertunjukan sangat penting artinya bagi wisatawan yang ingin menikmati bentuk atraksi budaya yang menarik. Emanual
Sejarah dan Kondisi Wayang Wong Sriwedari di Surakarta (Markhamah, dkk.)

47

de Kadt (1979) menyatakan bahwa peranan pariwisata sangat membantu dalam pengukuhan dan pemeliharaan seni-kerajinan suatu daerah tertentu. Di Cyprus membanjirnya minat wisatawan berkunjung di daerah tersebut telah mendorong semaraknya seni pertunjukan foklor serta bentuk kegiatan seni lainnya, seperti festival, karnaval,dan upacara tradisional (lokal). Scadler (1979) mengemukakan bahwa untuk mendukung industri pariwisata pemerintah mempunyai peran besar sebagai sponsor bagi produk kesenian dan pelaku seni dari masyarakat lokal. Negeri Afrika, misalnya, mengusahakan pusat pengrajin lokal yang bekerjasama dan menjual produk kepada shop pemerintah yang biasanya ditempatkan di pusat kota dekat hotel dan air port. Hal ini dimaksudkan agar wisatawan dapat melakukan transaksi secara praktis. Yang menarik adalah bahwa produk kesenian yang dijual biasanya dikreasi menurut selera wisatawan. Cara yang demikian ternyata secara umum menunjukkan hasil yang memuaskan. Sementara itu, akar seni pertunjukan tari Indonesia, Sudarsono (1989) mengemukakan perlunya pemberdayaan seni pertunjukkan dengan cara menggarap secara padat dan menarik, meskipun tidak menggolongkan esensinya. Sebagai paket atraksi wisata, seni pertunjukan seperti tari dapat disajikan dalam berbagai situasi dan tempat. Pengelompokan seni pertunjukan garapan untuk menopang kegiatan pariwisata dapat digolongkan dalam tiga kategori sebagai berikut: (1) pertunjukan garapan murni yang harus dinikmati secara sungguh-sungguh, (2) pertunjukan sebagai pelengkap acara santap malam, dan (3) pertunjukan yang hanya dimaksudkan seba-gai pemberi suasana ke-Jawaan bagi para tamu hotel yang baru tiba. Untuk menjamin semakin kokohnya kesenian dalam menyemarakkan pariwisata perlu adanya pemberdayaan seni pertunjukan serta peningkatan/pembaharuan. Beberapa langkah untuk mewujudkan gagasan ini dapat ditempuh dengan: (1) operasionalisasi, artinya segala bentuk kesenian dengan segala aspeknya harus dapat diberdayakan, (2) dimensi ganda, yaitu mencakup aspek material (memberikan dampak kesejahteraan ekonomi) dan aspek spiritual (segi intrinsik seni itu sendiri), (3) integrated, yakni perlunya pertimbangan serta keterpaduan dengan berbagai pihak dan aspek-aspek lain, (4) kualitas manusia secara sadar, tanggung jawab terhadap keberadaan kesenian, serta (5) alih generasi, yaitu perlu adanya peremajaan/ kaderisasi penggarap maupun pelaku kesenian daerah (lokal). Pembaharuan dan pengembangan seni pewayangan dapat dilakukan melalui jalur internal dan eksternal. Pengembangan jalur internal dilakukan dengan usaha memperdalam, menggali, menumbuhkan, serta memperkuat nilai-nilai dasar yang terkandung dalam seni pewayangan. Jalur ekstenal dilakukan dengan menyaring, menyerap, mengembangkan, memadukan, dan mendayagunakan secara selektif nilainilai dari luar yang dianggap positif, termasuk kemajuan teknologi dan arus globalisasi
48
Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 42-63

yang dapat menunjang serta melengkapi, memperkuat, maupun memperkaya seni pewayangan melalui aktualisasi budaya (Wahab, dalam Wahyudi, 1996). METODE PENELITIAN Penelitian tahun I ini dilakukan di wilayah Surakarta dengan fokus sanggar wayang wong Sriwedari. Tempat ini memungkinkan digali berbagai informasi dan ditindaklanjuti dalam kegiatan penelitian yang lebih luas dan mendalam. Untuk mengembangkan informasi, penulis melakukan perluasan pengumpulan data di luar kedua tempat itu. Hal ini dilakukan untuk melengkapi kekurangan data - data yang dinilai amat penting. Kegiatan penelitian ini merupakan pelaksanaan penelitian pada tahun pertama. Pada tahap pertama penelitian dilakukan untuk: (1) menggali dan menelusuri sejarah dan seni wayang wong, (2) mengidentifikasi kemampuan awal para seniman atau pelaku seni, dan (3) mengidentifikasi kendala dan pendukung pertunjukan wayang wong. Untuk menjaring berbagai data atau informasi pokok dan data pelengkap lainnya, sumber data digali dari: informan, tempat, pariwisata, serta dokumentasi/arsip yang ada. Subjek penelitian dipilih para seniman (pelaku) wayang wong. Informan yang akan diminta keterangan meliputi para seniman, aparat setempat, tokoh masyarakat, keluarga seniman, pejabat Dinas Pariwisata Surakarta, pimpinan sanggar wayang wong, pengamat seni pertunjukkan, dan budayawan. Sumber lain yang dikaji adalah dokumentasi atau arsip-arsip yang terkait. Untuk menelusuri dokumen/arsip, baik yang berupa artefak maupun tulisan dan gambar visual di berbagai instansi seperti (Diknas, Dinas Pariwisata, Dinas Kepurbakalaan) dan melalui kajian pustaka di beberapa perpustakaan, seperti di: Puro Mangkunegaran, perpustakaan Keraton Kasunanan, perpustakaan Radyapustaka, perpustakaan Sonobudaya, dan ISI Surakarta. Untuk menggali data dari berbagai sumber, selain dilakukan dengan pengamatan langsung, digunakan teknik wawancara mendalam. Wawancara dilakukan secara terbuka dan bebas, tidak terstruktur tetapi terfokus pada masalah yang diteliti. Proses wawancara juga direncanakan di setiap tempat, kapan saja secara luwes dengan menempatkan informan sebagai orang yang paling tahu mengenai masalah yang dipertanyakan. Oleh karena itu, pendekatan wawancara bersifat emik, artinya pemahaman isi dan konteks senantiasa diinterpretasi dalam kerangka kebudayaan setempat sehingga diperoleh data yang valid (Spreadly, 1979). Untuk membantu peneliti dalam pengumpulan data, wawancara dilengkapi alat perekam suara. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi sekecil-kecilnya informasi yang tidak terjangkau. Adapun untuk merekam situasi dan peristiwa serta tempat selama proses pengamatan
Sejarah dan Kondisi Wayang Wong Sriwedari di Surakarta (Markhamah, dkk.)

49

digunakan teknik catatan lapangan (field work) maupun alat pemotret serta alat perekam audio visual. Dengan demikian, hasil rekaman dapat dijadikan sebagai bahan pendukung dalam analisis data hasil wawancara (Spreadly, 1980). Untuk menghindari ketidakpercayaan data dilakukan langkah seperti peerdebriefing, yaitu diskusi dengan beberapa ahli (seni pertunjukkan, pariwisata, kebudayaan, dan ahli ekonomi) yang pengetahuannya setara dengan tim peneliti (penulis). Hal ini dimaksudkan untuk mempertajam dan untuk mengoreksi data serta untuk memperoleh masukan-masukan secara lebih lengkap. Teknik triangulasi sumber juga dilakukan untuk mempertinggi kebenaran data, yakni dengan mengecek data dari beberapa sumber yang berbeda mengenai masalah yang sama. Adapun langkah untuk mendapatkan kebenaran informasi setiap informan dilakukan teknik recheck, yaitu upaya peneliti untuk mengecek data hasil wawancara dari informan untuk memperoleh tingkat kebenaran informasi. Langkah lain adalah dengan FGD (Focus Group Disccussion) yang dilakukan terhadap para informan secara kelompok, sementara peran peneliti (penulis) hanya menjadi fasilisator selama diskusi berlangsung. Dengan strategi demikian, akan diperoleh informasi yang teruji dari narasumber yang lebih memahami masalah yang didiskusikan. Pengolahan data dilakukan dengan teknik analisis interaktif (Miles dan Huberman, 1984) yang meliputi komponen: (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) sajian data, (4) penarikan kesimpulan (verifikasi). Analisis data dilakukan secara terus menerus dari awal pengumpulan data hingga proses verifikasi yang berlangsung mulai dari awal penelitian sampai dengan penelitian selesai. Dengan demikian, proses analisis terjadi secara interaktif yang sekaligus menguji antarkomponen secara siklus yang berlangsung terus-menerus dalam waktu cukup lama. Dengan demikian, simpulan telah teruji dengan selektif dan akurat. HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Wayang Wong Sriwedari Kata wayang dalam bahasa Jawa Kuno berarti bayangan atau pertunjukan bayangan (Soedarsono, dalam Rusliana, 2002:25). Seni pewayangan adalah seni pakeliran yang tokoh utamanya adalah dalang. Seni ini merupakan gabungan antara seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh wayang, seni musik/ gendhing yang mengiringinya, wawancara atau dialog (antawacana). Dalam pertunjukan disajikan lakon yang biasanya berisi ajaran/petunjuk atau pitutur halhal yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau berisi filsafat hidup orang Jawa. Seni pewayangan dapat berupa: (1) wayang kulit purwa, (2) wayang orang, (3) wayang golek, dan (4) wayang wahyu. Wayang kulit purwa dilatarbelakangi layar/kelir. Pokok cerita atau sumber cerita wayang kulit ini dari kitab Mahabharata
50
Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 42-63

atau Ramayana. Keduanya berasal dari India. Ada juga cerita dalam wayang kulit yang dipetik dari ajaran Budha, misalnya lakon tentang ruwatan (pensucian diri manusia). Wayang wong berasal dari wayang wwang (dalam Bahasa Jawa wayang wong) (Soedarsono, dalam Rusliana, 2002: 25). Wayang wong berarti pertunjukan wayang yang pemainnya awalnya boneka dari kulit atau golek, kemudian diganti dengan manusia. Penggunaan istilah wayang wong dimulai sejak tahun 930 M. Penggunaan istilah itu terdapat pada prasasti Wimalasrama di Jawa Timur. Pada zaman Mataram Kuno wayang wong menampilkan wiracarita Ramayana dan Mahabarata (Rusliana, 2002:25). Pertunjukan wayang wong merupakan salah satu patronase pertunjukan yang dimaksudkan untuk meneguhkan kekuasaan raja. Patronase pertunjukan lainnya adalah tari dan gamelan. Pertunjukan-pertunjukan lainnya, seperti upacara garebeg, tidak semata-mata diselenggarakan untuk keselamatan dan kemakmuran raja Jawa dan rakyatnya, tetapi juga untuk Kangjeng Ratu Wilhelmina (Murgiyanto, 2000:348). Gedung pertunjukan wayang wong didirikan atas perintah Sri Susuhunan Pakubuwana X. Pada masa pemerintahannya, Pakubuwana X memerintahkan untuk membangun Gedung Kesenian Wayang Wong Sriwedari untuk melengkapi Taman Sriwedari. Wayang wong adalah bentuk kesenian panggung yang pemainnya terdiri dari orang-orang yang memerankan tokoh wayang. Dalang dalam wayang wong hanya berfungsi untuk mengatur jalannya cerita. Dialog dan perang dilakukan oleh pemain wayang wong (Pemerintah Kotamadia Daerah tingkat II Surakarta, 1997: 173). Masyarakat Surakarta dan sekitarnya menyambut gembira adanya pertunjukan wayang wong itu. Lebih-lebih masyarakat yang masih berorientasi kepada kebudayaan istana. Di Yogyakarta sejak tahun 1918 tarian keraton boleh diajarkan kepada rakyat biasa. Namun demikian, upaya untuk meneguhkan kekuasaan raja tetap dilakukan. Peneguhan itu dilaksanakan dengan patronase pertunjukan gamelan, tari, dan wayang. Hal ini tidak bertentangan dengan tujuan patronase pertunjukan tari, gamelan, dan wayang wong yang memang dimaksudkan untuk meneguhkan raja-raja di Jawa. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII (1921-1939) dilakukan pementasan 11 lakon wayang wong. Beberapa di antaranya didukung oleh pemain yang cukup besar, yakni 300-400 seniman dengan waktu 3-4 hari, sejak pukul 6:00 pagi sampai dengan pukul 23:00 (Murgiyanto, 2000:348). Pertunjukan wayang wong mengalami perkembangan. Pada awalnya pertunjukan itu dihayati sebagai sebuah ekspresi budaya, akhirnya berubah menjadi produk atau komoditas. Tontonan keraton yang semula merupakan klangenan
Sejarah dan Kondisi Wayang Wong Sriwedari di Surakarta (Markhamah, dkk.)

51

kesenangan para bangsawan berkembang menjadi produk budaya yang populer untuk rakyat biasa. Pertunjukan yang semula mengandung martabat menjadi hiburan yang lebih mementingkan gebyar wujud daripada esensi isinya (Murgiyanto, 2000:348). Jadi, fungsi wayang wong mendua, yakni sebagai hiburan dan sebagai ritual. Keduanya terus berlangsung sejak zaman kolonial sampai sekarang. Kedua fungsi ini menjadikan wayang digemari, baik golongan menengah atas maupun bawah (Murgiyanto, 2000:356). Masa kejayaan wayang wong berkisar antara tahun 1950 1970 yang pada tahun 1967 memenangkan festival Indonesia. Masa kejayaan ini dicapai karena : (1) hiburan seperti TV, VCD, film belum ada, (2) bintang atau pemainnya masih kuat dan memiliki daya tarik yang tinggi. Pemain yang memiliki ketenaran yang cukup tinggi di antaranya Rusman, Surono, Darsi, dan Nanik Ramini. Masa surut wayang wong adalah mulai tahun 1989/1990 sampai sekarang. Surutnya pertunjukan wayang wong ini disebabkan: (1) faktor teknologi yang semakin berkembang, (2) anggota pemain yang kurang menarik karena gajinya sedikit, (3) pertunjukan wayang wong dianggap kuno oleh sebagian masyarakat sekarang, terutama generasi muda, dan (4) lebih banyaknya pilihan hiburan yang lain Penyebab merosotnya pertunjukan wayang wong itu utamanya adalah perkembangan ekonomi masyarakat yang semakin memburuk, yang mengakibatkan pendapatan masyarakat semakin merosot. Pendapatan yang semakin merosot itu menyebabkan masyarakat tidak bisa menyisihkan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan rekreasi dan hiburan (Soedarsono, 1989: 88;). Di samping itu, hadirnya berbagai sarana hiburan, seperti televisi, bioskop, klub malam, disco, dan lain-lain juga memberikan andil kemerosotan itu. Berdasarkan hasil wawancara dengan pemain wayang wong Sriwedari dinyatakan bahwa pamor dan kemampuan pemain wayang wong yang menurun juga menjadi penyebab kemerosotan itu. Pada tahun 1960-an banyak pemain yang terkenal, yang kemampuannya dapat diandalkan. Setelah mereka pensiun, pemain yunior belum bisa menggantikan atau belum bisa menyamai pemainpemain yang sekaliber Surono dan teman-teman. Di Surakarta pertunjukan wayang wong panggung diawali oleh grup wayang wong Sriwedari. Pendiri pertama adalah Adipati Mangku Negara I (1757 1795) abad XVIII dan setelah naik tahta berganti gelar Sultan Hamengku Buwana I. Setelah sekian lama tidak berkembang akhirnya Mangku Negara V (1881 1896) berganti mengelolanya dengan peralatan dan perlengkapan yang sudah mulai berkembang serta busana yang semakin lebih komplit. Tahun 1901, pada masa Paku Buwana X setelah lepas dari Keraton Surakarta, perkumpulan wayang wong itu menjadi Taman Sriwedari sampai sekarang. Haryanto (1988:86) menyatakan bahwa wayang wong Sriwedari merupakan grup wayang wong komersial yang tertua, yang membuka pentasnya sejak 1911.
52
Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 42-63

Grup tersebut pernah mengalami puncak-puncak kejayaannya. Puncak kajayaan grup wayang wong Sriwedari adalah antara tahun 1950-1970-an. Faktor-faktor yang mendukung kejayaan pada waktu itu adalah: (1) hiburan dan pertunjukan belum sebanyak sekarang ini, (2) televisi belum merebak seperti sekarang ini, (3) banyak pemain (Rusman, Darsi, Nanik Ramini, Surono, dll.) yang memiliki kemampuan yang dapat diandalkan dan merupakan pemain yang masyhur, dan (4) masyarakat menyukai pertunjukan wayang orang (Wawancara dengan Hartono, 10 Mei 2004). Pertunjukan wayang wong komersial itu diminati oleh masyarakat Jawa. Haryanto (1988: 82) menyatakan bahwa kesenangan masyarakat Surakarta terhadap wayang wong ini berawal dari wayang wong yang dipergelarkan pada perayaan Maleman Sriwedari dan di Taman Kartini yang diselenggarakan tahun 1940-an. Kecintaan masyarakat Surakarta, khususnya, dan masyarakat Jawa pada umumnya itu berlanjut. Hal itu terbukti sampai awal tahun 1960-an di seluruh Jawa terdapat 30 grup wayang wong besar dan sedang yang setiap malam mampu menyelenggarakan pertunjukan (Brandon, dalam Soedarsono, 1998:87; 2002: 247). Namun, ternyata hal itu tidak berlangsung secara terus-menerus. Pada pertengahan tahun 1960-an pertunjukan wayang wong itu merosot tajam. Tahun 2004 tinggal satu yang masih mengadakan pergelaran setiap malam, yakni Wayang Wong Sriwedari. Grup lainnya, yang masih mengadakan pertunjukan adalah Wayang Wong RRI Surakarta. Hartono (koordinator pemain wayang wong Sriwedari) menyatakan bahwa grup wayang wong Sriwedari mulai surut tahun 1989/1990. Namun demikian, gejala kemerosotan itu sudah mulai dirasakan pada tahun 1980-an. Selain itu, pada waktu itu sudah banyak televisi, yang berarti banyak pertunjukan melalui media elektronik (Wawancara dengan Hartono, 10 Mei, 2004). Sementara itu, Haryanto (1988:86) menyatakan bahwa grup wayang wong Sriwedari menurun dengan cepat sepeninggal Sastrodirun selaku pemeran Petruk. Sastrodirun banyak memikat pengemarnya. Padahal di grup itu masih berperan pemain-pemain primadona seperti Rusman yang memerankan Gatotkaca, yang telah bermain di grup itu selama tiga puluh tujuh tahun. Di samping itu, masih ada Darsi dan Surono yang sama-sama sebagai primadona. Penyandang dana utama wayang wong Sriwedari pada masa sekarang ini adalah Pemerintah Kota Surakarta dan Dinas Pariwisata kota Surakarta. Dana yang diberikan dari Pemerintah Kota Surakarta dalam bentuk gaji karyawan, sedangkan dana dari Dinas Pariwisata dalam bentuk dana operasional untuk pertunjukan. Namun demikian, ada penyandang dana dari pihak lain yang secara berkala atau secara insidental memberikan sumbangan dana kepada wayang wong Sriwedari. Penyandang dana yang dimaksud di antaranya: (1) Kasmadji (setiap akhir bulan ) tiap pemain Rp 20.000,00 (jika jumlah pemainnya 70 orang berarti Rp 1.400.000,00
Sejarah dan Kondisi Wayang Wong Sriwedari di Surakarta (Markhamah, dkk.)

53

setiap bulan sekali), (2) Indosiar dalam bentuk sewa gedung 21/25 Mei 2004 Rp 750.000,00 (sekali pentas) untuk acara timbul cangik, (3) Amin Rais (2004) dalam rangka politik (Wawancara dengan Hartono, Juni 2004). Dana dari Dinas Pariwisata biasanya berupa uang, dan dana itu digunakan untuk membeli kekurangan peralatan dan perlengkapan. Komposisi sebuah pertunjukan wayang wong terdiri atas berbagai komponen, yakni sutradara, dalang, pengrawit, penabuh, tata lampu, tata panggung, dan soundsystem. Sutradara adalah orang yang mengatur jalannya pertunjukan wayang wong, membagi peran, membuat rangkuman cerita, dan lain-lain. Dalang yang pernah mendalang di Group Wayang wong Sriwedari adalah: Maridi, Mas Dewasa (STSI: baca lulusan STSI), Pak Nyoman ( STSI), Bambang (STSI), Katiman (STSI),dan Kartolo (STSI). Dalam setiap kali pertunjukan jumlah pemain atau individu yang terlibat dalam pertunjukan itu berkisar antara 30-50 orang. Adapun jumlah pemain, swarawati, juru pakaian, karawitan, juru lampu, dekorasi, dan lain-lain yang ada di Wayang wong Sriwedari, yang tercatat, sebanyak 70 orang. Karyawan itu terbagi dalam tugas: dekorasi ( tiga orang), sutradara dan wakil sutradara masing-masing satu orang, juru pakaian (4 orang), swarawati (4 orang), karawitan (17 orang), listrik/ sound (2 orang). Termasuk di dalamnya juru pembersih dan jaga malam. Selebihnya adalah pemain (Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Surakarta, tanpa tahun). Semua anggota terlibat dalam pementasan karena seluruh anggota: pemain, teknisi, sutradara, dalang, bergabung dan bersatu membentuk suatu susunan acara yang tiap anggota berperan sesuai keahliannya masing-masing. Sutradara yang membuat cerita dan membagi peran yang harus diperankan oleh pemain. Dalang bertugas untuk mengatur jalan cerita. Pemain bertugas untuk memerankan peranperan tertentu di dalam lakon yang dipertunjukkan. Pengrawit memainkan gamelan, dekorasi dan panggung mengatur background atau latar pertunjukan. Bagian sound system dan lighting mengatur tata lampu. Pemain Wayang wong Sriwedari memiliki wadah organisasi yang disebut Paguyuban Wayang wong Sriwedari. Kepengurusan organisasi tersebut adalah sebagai berikut. Koordinator, Sutradara, Koordinator pengrawit, Lampu, Dekor, dan lain-lain. Sebagaimana layaknya sebuah group kesenian lainnya, kesenian Wayang Wong Sriwedari juga pernah mendapat tanggapan. Yang pernah menanggap antara lain: (1) Tahun 75-80 setiap 36 minggu sekali di TMII Jakarta, (2) Ultah AURI, TNI, (3) Kasmadji, dan (4) Amin Rais. Amin Rais menanggap untuk kepentingan politik. Penanggap yang paling banyak adalah TMII Jakarta karena dahulu wayang wong tergolong tradisi/kesenian yang sangat digemari masyarakat termasuk pejabat negara. Sekarang penanggap yang sering menanggap adalah Kasmaji. Motivasi Kasmaji menanggap Wayang wong Sriwedari adalah untuk melestarikan kebudayaan
54
Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 42-63

wayang wong yang masih ada di Surakarta (Wawancara dengan Hartono, Juni 2004). Kesan para penanggap pada umumnya sangat senang. Hal ini dimungkinkan karena menanggap wayang wong merupakan kebanggaan tersendiri. Belum tentu orang lain bisa menanggapnya, baik karena faktor biaya maupun faktor lainnya. Wayang wong Sriwedari belum pernah sampai mati, walaupun peminat dan penontonnya berkurang mereka tetap main. Hal ini dikarenakan para pemain tidak tergantung pada banyak atau sedikitnya penonton. Selain itu, tidak tergantung ada atau tidaknya penonton. Pertunjukan itu dikelola dan dibiayai oleh Dinas Pariwisata Kota Surakarta dan ketentuan dari dinas tersebut setiap malam harus ada pertunjukan karena Wayang wong Sriwedari menjadi bagian dari paket wisata untuk Kota Surakarta. Memang disadari bahwa pertunjukan itu memakan biaya yang tidak sedikit. Untuk sekali pentas dibutuhkan dana sebesar Rp 200.000,00 untuk lampu dan sound saja. Belum terhitung make up para pemain, kostum, dan lain-lain. Pendapat para pemain wayang wong Sriwedari tentang wayang tersebut agar tidak jatuh bangun adalah sebagai berikut. Pemain hendaknya benar-benar menghayati peran yang diperankannya; tidak sekadar mengetahui materi. Memang masih ada faktor yang kurang memadai seperti gaji karyawan, gedung, dan perlengkapan pentas. Namun, hal itu hendaknya tidak dijadikan alasan untuk bermain seenaknya sendiri. Kemampuan Awal Pelaku Seni Wayang Wong Sriwedari dan Pengembangannya Ketentuan menjadi pemain wayang wong di Sriwedari ada dua. Kedua ketentuan itu adalah: (1) bisa menari minimal 3 tarian, dan (2) memiliki kemampuan berbahasa yang cukup. Kemampuan berbahasa di sini yang dimaksud adalah kemampuan berbahasa Jawa. Kemampuan berbahasa Jawa yang cukup ini tentunya meliputi bahasa Jawa ngoko, krama,dan krama inggil. Selain itu, seorang calon pemain akan lebih baik jika mengetahui juga bahasa Jawa Kuna, terutama yang sering dipakai dalam pewayangan. Persyaratan atau ketentuan itu cukup ringan bagi seorang calon pemain wayang wong, apalagi masyarakat Jawa. Dengan persyaratan itu, memudahkan calon yang akan menjadi pemain wayang wong. Namun demikian, sayangnya Wayang Wong Sriwedari tidak setiap saat bisa menerima anggota baru. Hal ini dikarenakan jumlah pemain cukup. Selain itu, karena status kepegawaian pemain adalah PNS. Kewenangan menerima PNS berada pada Pemkot, yang berhak menentukan penambahan anggota baru tidak hanya koordinator wayang wong.

Sejarah dan Kondisi Wayang Wong Sriwedari di Surakarta (Markhamah, dkk.)

55

Berkaitan dengan tidak adanya persyaratan yang cukup ketat untuk menjadi calon pemain/pelaku seni itu, banyak pelaku seni wayang wong yang cita-citanya bukan menjadi seniman wayang wong. Berdasarkan angket diketahui bahwa pemain yang bermotivasi atau bercita-cita menjadi seniman wayang wong hanya 20 %. Mereka ada yang ingin menjadi pegawai negeri sipil (PNS), guru, pramugari, pengusaha, dan lain-lain. Bahkan, ada yang ingin menjadi jaksa. Pada dasarnya tidak ada kewajiban khusus bagi pemain wayang wong berkaitan dengan pengembangan kemampuannya karena mereka pada umumnya sudah mengetahui cara mengembangkan dirinya. Lebih-lebih mereka (para pemainnya) banyak yang pernah mengenyam pendidikan kesenian, misalnya karawitan, tari/dalang, misalkan dari STSI. Ketentuan untuk menjadi anggota pengrawit berbeda dengan ketentuan untuk menjadi pemain. Jika pemain dituntut untuk menarikan minimal tiga tarian, calon anggota pengrawit dituntut untuk bisa memainkan minimal tiga instrumen. Ketentuan yang dituntut untuk menjadi dalang juga berbeda dengan ketentuan menjadi anggota pemain dan pengrawit. Seorang calon dalang harus bisa dan memahami cerita wayang. Sementara itu, cerita wayang diambil dari Mahabarata dan Ramayana. Kemampuan sutradara berkaitan dengan lakon dan pembagian peran. Tugas sutradara adalah menentukan lakon, membuat sinopsis cerita, dan membagi pemain ke dalam peran-peran sebagaimana dalam lakon. Sutradara-sutradara yang ada di Wayang Wong Sriwedari diangkat dari para pemain yang sudah sangat menguasai, baik cerita, lakon, maupun kemampuan tiap-tiap pemain. Tidak ada upaya khusus untuk pengembangan sutradara, selain sutradara yang bersangkutan mengembangkan dirinya sendiri. Pada umumnya mereka (: para sutradara) itu sudah hapal di luar kepala tentang cerita atau lakon yang akan dipentaskan. Itulah kemampuan awal yang harus dimiliki oleh seorang sutradara. Dalang disyaratkan telah mempunyai kemampuan/basis dari sekolah kesenian, misalnya STSI jurusan dalang atau kerawitan. Pengembangan diri dilakukan oleh dalang yang bersangkutan. Namun demikian, dalang di Sanggar Wayang Wong Sriwedari tidak menampakkan pengembangan dirinya yang spektakuler seperti halnya dalang pada wayang kulit yang sudah terkenal. Dari sanggar juga tidak ada upaya pengembangan untuk dalang. Seperti halnya dalang dan sutradara, pengrawit pun tidak ada pengembangan khusus dari sanggar. Mereka sebelumnya telah mempunyai kemampuan/basis dari sekolah kesenian dari jurusan karawitan. Berdasarkan basis yang telah dimilikinya itu biasanya pengrawit juga mengembangkan kemampuannya sendiri, tanpa melalui pendidikan khusus. Pengembangan kemampuan kesenian tidak seperti halnya
56
Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 42-63

kemampuan ilmu pengetahuan lainnya yang selalu memerlukan pendidikan formal. Pengembangan kesenian lebih sering dikembangkan oleh individu yang bersangkutan. Dari hasil wawancara diketahui bahwa kemampuan pemain pun rata-rata juga dikembangkan oleh pemain sendiri. Banyak pemain, terutama para generasi tua tidak mendapatkan pendidikan formal, seperti halnya para pemain muda yang lulusan STSI. Para pemain tua lebih banyak belajar sendiri melalui sanggar atau individu tertentu. Boleh dikatakan mereka belajarnya otodidak. Hal yang tidak jauh berbeda adalah kemampuan pesinden atau swarawati. Dari swarawati yang ada kebanyakan mereka adalah belajar sendiri. Mereka tidak berasal dari pendidikan formal. Keterampilan mereka menjadi swarawati pada umumnya dari belajar sendiri. Sanggar juga tidak memfasilitasi untuk pengembangan diri mereka. Dari dokumen yang tersedia dan kuesioner rata-rata pendidikan mereka rendah. Hal ini terlihat juga dari golongan kepegawaian mereka, yang masih golongan satu. Untuk para teknisi juga tidak berasal dari jurusan keteknikan. Dari sanggar juga tidak ada fasilitas untuk pengembangan diri, kecuali yang bersangkutan mengembangkan dirinya sendiri. Bagian sound system ada yang lulusan Diploma III dan melanjutkan studinya S1 di STSI. Upaya jangka pendek untuk mengaktifkan pengembangan diri dan pengembangan sanggar tidak ada. Pada umumnya mereka sudah paham dan sebagian besar otodidak. Fenomena ini dapat dipahami karena dengan kemampuan yang terbatas pun mereka telah mendapatkan gaji. Artinya, gaji mereka tidak akan dipotong karena kemampuan yang minimal karena status mereka sebagai pegawai negeri. Peran yang dimainkan oleh seorang pemain bersifat tidak tetap. Peran mereka diganti-ganti. Misalnya, jika ada salah satu pemain yang seharusnya memerankan peran tertentu tidak hadir, ada pemain lain yang menggantikan peran itu dan karena sudah terbiasa. Jadi, mereka tidak mengalami kesulitan. Meskipun terjadi pergantian, mereka sudah memahaminya sehingga tidak perlu latihan khusus. Pergantian itu dilakukan agar jika terjadi hambatan, misalnya karena yang memerankan peran tertentu tidak hadir peran itu bisa diperankan oleh orang lain. Selain itu, pergantian peran dimaksudkan untuk menambah kemampuan para pemain dalam beberapa peran. Namun demikian, pembagian pemain atas peran tertentu semaksimal mungkin dilakukan dengan memperhatikan kemampuan dan kelayakan secara fisik. Kemampuan awal yang disyaratkan untuk menjadi pemain wayang wong di Sriwedari ada dua, yaitu bisa menari minimal 3 tarian dan memiliki kemampuan berbahasa Jawa yang cukup. Calon anggota pengrawit dituntut untuk bisa memainkan minimal tiga instrumen. Dalang disyaratkan telah mempunyai kemampuan/basis dari sekolah kesenian, misalnya STSI jurusan dalang. Sutradara yang ada di Wayang Wong Sriwedari dituntut menguasai, baik cerita, lakon, maupun kemampuan tiaptiap pemain.
Sejarah dan Kondisi Wayang Wong Sriwedari di Surakarta (Markhamah, dkk.)

57

Kendala dan Pendukung Pertunjukan Sebagai sebuah pentas, pentas wayang wong tidaklah tanpa kendala. Berdasarkan wawancara terhadap beberapa pelaku wayang wong Sriwedari, kendala tiap pentas ada bermacam-macam. Kendala yang dimaksud diantaranya: (1) apabila pemain kurang/banyak yang tidak datang pembagian peran sangat sulit, (2) akibat dari kekurangan pemain itu terjadi kesulitan jika terjadi pergantian lakon yang spontan, (3) akibat berikutnya ialah adanya pemain yang memerankan lebih dari 1 peran dalam setiap lakon, dan (4) jika bagian dekorasi (yang hanya dua orang) tidak masuk semua, terpaksa harus mencari penggantinya yang kadang-kadang kurang terampil. Hal yang sama juga terjadi jika bagian tata lampu dan sound sistem tidak hadir. Tenaga penggantinya kadang-kadang tidak terampil dalam menata lampu yang sesuai dengan suasana lakon. Jumlah penonton sering kali juga menjadi kendala pertunjukan. Jumlah penonton berkisar antara 60 100 orang, dan paling sedikit < 20 orang. Jumlah penonton banyak ketika ada yang menanggap, misalnya Kasmaji, atau ada event-event khusus. Sedikitnya para penonton itu disebabkan masyarakat lebih menyukai hiburan lain yang banyak pilihannya. Perlu diketahui bahwa di dekat Gedung Wayang wong Sriwedari terdapat Taman Hiburan yang dapat diklasifikasikan lebih modern, seperti taman bermain anak, Orkes Dangdut, dan lain-lain. Para remaja lebih banyak yang tertarik ke Taman Hiburan itu daripada ke Gedung Wayang wong Sriwedari. Sedikitnya jumlah penonton ini sering mengurangi semangat pelaku. Belum adanya kerjasama dengan swasta merupakan salah satu kendala juga. Kerjasama dengan pihak swasta seperti perhotelan dan sebagainya belum ada. Selama ini masih dikelola oleh Dinas Pariwisata karena dinas itu sebagai pengelola resmi dari Pemerintah Kota Surakarta. Pernah ada kerjasama tetapi hanya dalam bentuk menyewa gedung, tidak sekaligus pemainnya. Kelancaran pentas akan terjadi jika didukung oleh hal-hal berikut: (1) para pemain datang semua (karena mungkin ada yang menanggap atau menyumbang), (2) hal itu menyebabkan pemain yang mencukupi untuk sekali pentas, dan (3) lengkapnya semua anggota seperti pengrawit, pesinden (swarawati), sound, lighting, dan teknisi lain. Kelengkapan gedung Wayang Wong Sriwedari juga mendukung kelancaran pentas. Kelebihan gedungWayang ini ialah perlengkapan dan peralatan masih memadai seperti gedung, panggung, gamelan, lampu,dan sound system. Perlengkapan seperti itu belum dimiliki oleh sanggar wayang wong lain, selain RRI. Keadaan gedung yang memadai antara lain: (1) fasilitas gedung (AC, peredam, kursi), (2) lampu yang lengkap seperti untuk adegan menghilang dan adanya asap yang diperlukan untuk adegan-adegan tertentu, (3) lingkungan yang bersih dan rapi. Namun demikian, di balik kelebihan itu juga terdapat kelemahan atau kekurangan.
58
Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 42-63

Adapun kekurangannya yaitu: (1) gedung sudah waktunya direnovasi (seperti perlunya alat peredam suara, perbaikan cat tembok, dan susunan bangunan), (2) perlengkapan panggung (lampu dan background) juga perlu ada perbaikan agar lebih modern dan menarik, dan (3) asesoris busana kurang glamor dan sudah lama sehingga perlu ada pembaharuan. SIMPULAN Simpulan hasil analisis dapat dinyatakan berikut ini. Di Surakarta pertunjukan wayang wong panggung diawali oleh grup wayang wong Sriwedari. Pendiri pertama adalah Adipati Mangku Negara I (1757 1795) abad XVIII. Setelah sekian lama tidak berkembang akhirnya Mangku Negara V (1881 1896) mengelolanya dengan peralatan dan perlengkapan yang sudah mulai berkembang serta busana yang semakin lebih lengkap. Tahun 1901, pada masa Paku Buwana X setelah lepas dari Keraton Surakarta, perkumpulan wayang wong itu menjadi Taman Sriwedari sampai sekarang. Masa kejayaan wayang wong berkisar tahun 1950 1970. Masa kejayaan ini dicapai karena : (1) hiburan seperti TV, VCD, dan film belum ada, (2) bintang atau pemainnya masih kuat dan memiliki daya tarik yang tinggi. Masa surut wayang wong mulai tahun 1989/1990 sampai sekarang. Surutnya pertunjukan wayang wong ini disebabkan: (1) faktor teknologi yang semakin berkembang, (2) anggota pemain yang kurang menarik karena gajinya sedikit, (3) pertunjukan wayang wong dianggap kuno oleh sebagian masyarakat sekarang, terutama generasi muda, dan (4) lebih banyaknya pilihan hiburan yang lain Latar belakang budaya dan pemain Wayang Wong Sriwedari adalah sebagai berikut. Dari sisi budaya Wayang Wong Sriwedari adalah salah satu kebudayaan Jawa yang masih ada di Surakarta. Dinas Pariwisata mengelolanya untuk menjaga kelestarian wayang tersebut sekaligus melestarikan kebudayaan Jawa.Adapun pendorong kehadiran para pemain adalah faktor ekonomi, kesenangan, dan bakat. Kendala pertunjukan Wayang Wong Sriwedari adalah: (1) apabila pemain kurang (banyak yang tidak datang), (2) kru pertunjukan tidak lengkap, dan (3) kurangnya kerjasama dengan instansi lain. Adapun pendukung pentas adalah: (1) para pemain datang semua, (2) lengkapnya semua anggota seperti pengrawit, sinden, sound, lighting, dan teknisi lain, dan (3) kelengkapan gedung Wayang Wong Sriwedari. PERSANTUNAN Penulis mengucapkan terima kasih kepada: (1) direktur DP2M Dikti yang yelah memberi dana penelitian melalui program Hibah Bersaing, (2) ketua LPPM UNS yang telah memantau dan mengevaluasi pelaksanaan penelitian ini, (3) Pusat Penelitian
Sejarah dan Kondisi Wayang Wong Sriwedari di Surakarta (Markhamah, dkk.)

59

Pariwisata (Puspari) UNS yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian ini, (4) koordinator dan seluruh pelaku seni di Sriwedari, (5) semua pakar dan pemerhati budaya yang telah trelibat dalam FGD dan diskusi-diskusi lainnya, (6) semua pihak yang telah terlibat secara langsung dan tidak langsung yang tidak mungkin penulis sebut satu-satu.

DAFTAR PUSTAKA Agus, Sri. 1999. Analisis Potensi Wisata Budaya di Karanganyar. Laporan Penelitan. Surakarta : UNS. Brandon, James R. 1967. The Teathre in Southeast Asia. Cambridge, Massachusetts : Harvard University Press. Kanwil Depdikbud Prop. Jateng. 1994. Upaya Peningkatan Mutu Garapan dan Pelayanan Kesenian Tradisional dalam Rangka Pengembangan Pariwisata Jawa Tengah. Semarang: Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud Prop. Jateng. De Kadt, Emanuel 1979. Arts, Crafts, and Cultural Manifestations. Dalam Tourism Passport To Development ?. Washington : Oxford University Press. Devung, S. Simong. 1997. Seni Pertunjukkan Tradisional di Dataran Tinggi Mahakam: Situasi Masa Kini dan Prospek Masa Depan. Jurnal Seni Pertunjukkan Indonesia Tahun VIII. Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia. Dinas Pariwisata II Surakarta. 2001. Jumlah Penonton Wayang Wong Sriwedari. Surakarta Dinaskebud. , 2001. Jumlah Pendapatan Wayang Wong Panggung Sriwedari. Surakarta: Dinaskebud. Geertz, C. 1981. Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin. Jakarta : Pustaka Jaya. Hersapandi. 1991. Wayang Wong Suatu Perjalanan dari Seni Istana Menjadi Seni Komersial 1901-1991. Dalam Thesis S2 Yogyakarta: PPS UGM.
60
Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 42-63

Haryanto, 1988. Pratiwimba Adhiluhung: Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta: Djambatan. Jenkis, Carson L. 1992. Marketing Culture International Tourism. Dalam Universial Tourism Enriching or Degrading Culture?. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka. Kuswarsantyo. 1997. Seni Pertunjukkan Ramayana di Panggung Terbuka Prambanan : Antara Rutinitas, Upaya Preservasi, dan Peningkatan Komoditi. Jurnal Seni Pertunjukkan Indonesia Tahun VIII. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukkan Seni Indonesia. Larasati, R Diyah. 1997. Kecak Rina, Sadono, W Kusuma dan ARMA (Kerja Kreatif Seniman Tradisional dan Modern). Jurnal Seni Pertunjukkan Indonesia Tahun VIII. Bandung: MSPI. Lathief, Halilintar. 1997. Toraja yang Sedang Bergeser. Jurnal Seni Pertunjukkan Indonesia Th VIII.. Bandung: MSPI. Lelyveld. 1931. De Javaansche Danskunst. Amsterdam : Van Holkema & Warebdorf Uitgevers. Miles, M.B. & Huberman, A.M. 1984. Qualitative Data Analysis: a Sourcebook of a New Methods. Beverly Hills : Sage Publications. Murgiyanto, Sal. 1979. Sekelumit tentang Tontonan Wayang Orang. dalam Sudarmaji dan J. H. Damais, ed. Sewindu Jaya Budaya. P. 15. Oka. Ida Bagus. 1992. A Sub System Cultural Tourism in Bali Dalam Universal Tourism Enriching or Degrading Culture?. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Parti Kusumo, H. Karkana Kamajaya. 1995. Kebudayaan Jawa, Perpaduan dengan Islam. Yogyakarta: Aditya Media. Pemerintah Daerah Tingkat II Kodia Surakarta. Surakarta dalam Angka Tahun 1997.

Sejarah dan Kondisi Wayang Wong Sriwedari di Surakarta (Markhamah, dkk.)

61

Prabowo, S.W. (1999). Manajemen Seni Tradisi dalam Pertunjukkan Wayang Wong Tobong: Sebuah Catatan Kecil. Makalah dipresentasikan Pada Seminar Seni Pertunjukkan dan Ekonomi Manajemen Tanggal 1213 Oktober. Surakarta; STSI Rusliana, Iyus. 2002. Wayang Wong Priangan: Kajian mengenai Pertunjukan Dramatari Tradisional di Jawa Barat. Jjakarta: Kiblat. Suprapto. 1997. Kenyataan dan Harapan: Dampak Industri Pariwisata Pada Seni Pertunjukkan. Jurnal Aseni Pertunjukkan Indonesia Th VIII. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia. Soehardi. 2002. Nilai-Nilai Tradisi Lisan dalam Budaya Jawa. Dalam Humaniora: Jurnal Fakultas Ilmu Budaya Vol XIV no 3. Yogyakarta:UGM Scadler, Ferdinand. 1979. African Arts and Crafts In A World of Changing Values. Dalam Universal Passport to Development?. Washington: Oxford University Press. Spradley, James. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart And Winston. . 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart And Wanston. Srinthil. 2003. Media Perempuan Multicultural. Depok: Kajian Perempuan Nusantara. Sudarsono. 1989. Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia. Yogyakarta: UGM. . 1990. Wayang Wong : The State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta. Yogyakarta UGM Press. . 1996. Di Jawa Tengah Investor Belum Melirik Seni Tradisional sebagai Komoditas Industri Pariwisata. Suara Merdeka. 20 Juni. Thanh, To Ngoc. 1997. Situasi Seni Pertunjukkan Tradisional Masyarakat Vietnam Saat Ini, Tantangan, dan Perspektif Baru. Jurnal Seni Pertunjukkan Indonesia Th. Viii. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia.
62
Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 42-63

Wahyudi, Sarjana Sigit. 1996. Potensi Pagelaran Wayang Kulit Purwa dalam Menunjang Pembangunan Dalam Lembaran Sastra No. 20. Surakarta: Fakultas Sastra UNS. Wall, Geoffrey. 1992. Cultural Torism: How Do We Market It? Dalam Universal Tourism Enriching or Degrading Culture?. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Widyaspuytra, Manu J. 2001. Relevansi Analisis Tektual dan Kontekstual untuk Memahami Pentas Wayang Kulit dalam Jawa Masa Kini: Sebuah Kasus tentang Lakon Pandhe Swarga. Dalam Humaniora: Jurnal Fakultas Ilmu Budaya Vol XIII no 2. Yogyakarta: Gadjah Mada.

Sejarah dan Kondisi Wayang Wong Sriwedari di Surakarta (Markhamah, dkk.)

63

You might also like