You are on page 1of 23

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Seiring dengan pesatnya kemajuan dan tingginya tuntutan masyarakat, maka diperlukan adanya birokrasi sebagai institusi yang mampu menduduki posisi organik yang netral di dalam struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang memanifestasikan kepentingan umum, dan masyarakat sipil. Sehingga terhindarkan adanya konotasi negatif mengenai birokrasi seperti yang diuraikan oleh Zauhar (2001 : 88), yakni birokrasi masih sering dikonotasikan sebagai perwujudan dan kesemrawutan dan ketidak beresan administrasi, seperti prosedur yang berbelit-belit dalam menyelesatkan urusan di suatu kantor. Kemudian untuk negara berkembang seperti halnya Indonesia, birokrasi digambarkan penuh dengan ketidak-mampuan, disfungsi dan kegagalan dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang menjadi bidang tugasnya. Uraian diatas seharusnya tidak perlu ada dan memberikan fenomena yang negatif terhadap makna birokrasi. Karena pada dasarnya birokrasi diharapkan menjadi alat pembaharuan (jokroamidjojo, 1994 : 74) hal ini dapat terlaksana jika tujuan-tujuan organisasi memang diarahkan bagi suatu strategi pembaharuan dan pembangunan, elit birokrasi bersikap mudah menerima pemikiran-pemikiran pembaharuan dan pembangunan. Dengan demikian birokrasi dapat dijadikan alat untuk merealisasi pembangunan dalam segala bidang. Selanjutnya dalam menghadapi perubahan besar dan cepat, aparatur birokrasi pemerintah harus dalam kondisi unggul, handal dan terpercaya. Artinya mampu mewujudkan perubahan berskala besar dan bekerja penuh inovatif dan proaktif terhadap tuntutan lingkungannya (Siagian, 1996 : 49). Konsep Otonomi Khusus merupakan langkah yang diambil oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintah yang responsif dan aspiratif untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat Aceh yang dilanda konflik yang berkepanjangan Otonomi Khusus dipandang sebagai bagian dari proses besar demokratisasi, yang lebih menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah (Juliantara, 2000 : ix).

Kelembagaan

pemerintah

gampong yang dikembalikan

sesuai

dengan

keanekaragaman, partisipasi, otonomi Khusus, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan asal usul gampong, ataupun diserahkan kepada daerah untuk mengaturnya. Dan dalam pengaplikasiannya di Gampong Krueng Juli Barat Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen terdapat kendala, yakni kebingungan dari masyarakat dan aparat tentang kelembagaan dan kurangnya daya inovasif dari aparat birokrasi Pemerintah gampong, dan adanya perilaku birokrasi yang kurang memperhatikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menganalisis Demokratisasi Kepemimpinan Dalam Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong Krueng Juli Barat Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen.

BAB II

LANDASAN TEORITIS
2.1. Pengertian Demokratisasi Demokratisasi adalah penerapan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip demokrasi pada setiap kegiatan politik kenegaraan. Tujuannya adalah terbentuknya kehidupan politik yang bercirikan demokratis. Samuel Huntington (2001), menyatakan bahwa proses demokratisasi melalui tiga tahapan, yaitu pengakhiran rezim nondemokratis, pengukuran rezim demokratis, dan pengkonsolidasian sistem yang demokratis. Setiap warga negara menginginkan tegaknya demokrasidi negaranya. Nilai atau kultur demokrasi penting untuk tegaknya demokrasi di suatu negara. Henry B. Mayo dalam Mirriam Budiardjo (1990) menyebutkan adanya delapan Nilai (Kultur) Demokrasi, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Menyelesaikan pertikain-pertikain secara damai dan sukarela menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam sustu masyarakat yang selalu berubah pergantian penguasa dengan teratur penggunaan paksaan sesedikit mungkin pengakuan dan penghormatan terhadap nilai keanekaragaman menegakkan keadilan memajukan ilmu pengetahuan pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan Zamroni (2001) menyebutkan adanya kultur nilai demokrasi antara lain : toleransi kebebasan mengemukakan pendapat menghormati perbedaan pendapat memahami keanekaragaman dalam masyarakat terbuka dan komunikasi menjunjung nilai dan martabat kemanusian percaya diri tidak menggantungkan pada orang lain saling menghargai

10. mampu mengekang diri 11. kebersamaan 12. keseimbangan Menurut Mirriam Budiardjo (1997), untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan lembaga-lembaga, antara lain sebagai berikut. a. b. Pemerintahan yang bertanggung jawab Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan dan kepentingan dalam masyarakat yang dipilih melalui pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Dewan ini melakukan pengawasan terhadap pemerintah. c. d. e. Suatu organisasi politik yang mencakup lebih dari satu partai (sistem dwipartai, multipartai). Partai menyelenggarakan hubungan yang kontinu dengan masyarakat. Pers dan meda massa yang bebas untuk menyatakan pendapat. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak asasi manusia dan mempertahan kan keadilan. Menurut Mohammad Hatta dalam Padma Wahyono (1990), desa-desa di Indonesia sudah menjalankan demokrasi, misalnya dengan pemilihan kepala desa dan adanya rembug desa. Itulah yang disebut demokrasi asli. Demokrasi desa memiliki lima unsur atau anasir, yaitu : a. b. c. d. e. rapat mufakat gotong-royong hak mengadakan proses bersama hak menyingkirkan dari kekuasaan raja absolut

2.2. Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan berarti kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan, dan mengarahkan orang atau kelompok agar menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Pada dasarnya kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku bawahan untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk perbaikan kelompok dan budayanya. Hal tersebut dapat dilihat dari
4

keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan yang sangat tergantung kepada kewibawaan, dan dalam menciptakan motivasi dalam diri setiap orang bawahan. Kim dan Maubourgne dalam Munir (2008:32) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu kemampuan untuk menginspirasi kepercayaan dan dukungan kepada orangorang yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan dari lembaga. Hughes dkk. (1999:26) menjelaskan adanya tiga kondisi yang mewarnai suatu kepemimpinan, yaitu pemimpin (leader), pengikut (follower), dan keadaan (situation). Pernyataan ini menegaskan bahwa kualitas seorang pemimpin, klasifikasi pengikutnya, dan situasi yang mendukung atau tidak akan sangat berpengaruh pada pola dan dinamika kepemimpinan. Kualitas seorang pemimpin terkait kepada kepribadian, kedudukan, statusnya dan lainlain. Klasifikasi para pengikut diwarnai oleh nilai-nilai, norma-norma, daya kesatuannya, dan lain-lain. Sedangkan situasi yang juga berperan terhadap suatu kepemimpinan antara lain tanggung jawab terhadap tugas, ketegangan, dan suasana lingkungan. Bass dalam Munir (2008:33) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu dorongan prinsip dinamis yang memotivasi dan mengoordinasi lembaga dalam menyelesaikan atau mencapai tujuan-tujuan. Stephen P. Robbins (2002:163) mengemukakan bahwa kepemiminan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk pencapaian tujuan. Stogdill dalam Munir (2008:33) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu kemampuan untuk dapat mendorong tercapainya tujuan-tujuan suatu lembaga. Pada hakikatnya pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain dalam kerjanya dengan menggunakan pemahaman. Dalam hal ini pemahaman berarti kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan berbagai tugas yang harus dilaksanakannya.

2.3. Istilah Sistem Pemerintahan

Untuk menemukan konsep sistem pemerintahan, maka harus dilihat dua hal yang memadankan istilah sistem dan pemerintahan. Syafaruddin (2010, dalam buku Perbandingan Sistem Pemerintahan) menyebutkan bahwa: 1. Sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari sub-sub sistem yang saling berinteraksi, berfungsi, dan bekerja dalam wilayahnya dalam rangka mencapai suatu tujuan. Sistem meliputi input, proses, output, feed back, dan siklus. 2. Sistem Pemerintahan merupakan suatu kesatuan pemerintahan (negara) yang terdiri dari sub-sub sistem pemerintahan (eks, leg, yud) yang saling berinteraksi, berfungsi, dan bekerja dalam wilayahnya dalam rangka mencapai suatu tujuan (konstitusi). 3. Sistem pemerintah meliputi proses input, proses, output, feed back, dan siklus pemerintahan. Di samping itu, istilah pemerintahan juga mencakup perbuatan, cara atau urusan pemerintah. Pemerintah merupakan subjek yang berupa badan, lembaga, atau organisasi yang memiliki kekuasaan memerintah. Di Indonesia, istilah pemerintahan bisa dirujuk, yang mencakup pemerintah dalam arti luas (eksekutif, legislatif, yudikatif), pemerintah dalam arti sempit (eksekutif saja). Menurut CF Strong (1960, dalam buku Modern Political Constitusions) bahwa pemerintah dalam arti luas meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemerintah dalam arti luas bertugas memelihara perdamaian dan keamanan. Oleh karena itu pemerintah harus memiliki (1) kekuasaan militer; (2) kekuasaan legislatif; dan (3) kekuasaan keuangan. Sedangkan SE Finer (1974, dalam buku Comparative Government) bahwa istilah pemerintahan (goverment) memiliki 4 arti yakni (1) kegiatan atau proses memerintah; (2) masalah-masalah kenegaraan; (3) pejabat yang dibebani tugas untuk memerintah; (4) cara, metode, atau sistem yang dipakai pemerintah untuk memerintah. 2.4. Pengertian Gampong Gampong terbentuk pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yakni bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan di Aceh. Pada masa itu, sebuah gampong terdiri dari kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu sama lain. Pimpinan gampong disebut keuchik, yang dibantu seseorang yang mahir dalam masalah keagamaan dengan sebutan teungku meunasah. Gampong merupakan pemerintahan bawahan dari mukim.
6

Menurut Hurgronje (1985: 67) gampong itu merupakan satuan teritorial terkecil. Sebuah gampong dilingkari pagar, dihubungkan oleh satu pintu gapura dengan jalan raya (rt atau rt), suatu jalan yang melewati blang atau lampoih serta tamah yang menuju ke gampong lain. Dulu setiap gampong mencakup satu kawom (satuan-satuan baik dalam artian territorial maupun kesukuan) atau sub kawom yang hanya akan bertambah warganya dengan perkawinan dalam lingkungan sendiri, atau paling tidak, dengan meminta dari warga sesuku yang bermukim berdekatan. Gampong dan meunasah, adakalanya dipersepsikan dalam pemahaman terpisah. Ada yang memandang bahwa meunasah dan gampong sebagai wilayah atau teritorial. Ada pula yang memandang meunasah sebagai tempat ibadah saja, yakni tempat aktivitas keagamaan dan aktivitas sosial dijalankan dalam sebuah gampong. Lembaga meunasah sebagai sarana masyarakat adat menjalankan roda pemerintahan tingkat gampong, dan keberadaan lembaga meunasah menggambarkan ciri khas sebuah gampong, karena setiap gampong ada meunasah. Kalau tidak ada meunasah, tidak dapat disebut gampong. Namun, ada juga yang menegaskan bahwa meunasah merupakan sebutan lain dari sebuah gampong. Gampong dipimpin oleh keuchik. Dalam sejarahnya, jabatan itu turun-temurun, dilantik imuem mukim. Keuchik didasarkan pada kenyataan hakiki bahwa dialah yang membela kepentingan dan keinginan warga, baik berhadapan dengan ulbalang maupun gampong lain. Keuchik menguasai satu gampong, namun ada juga yang mengepalai 2-3 gampong. Jadi keuchik betul-betul embah, teungku ma (keuchik sebagai bapak dan teungku sebagai ibu). 2.5. Pemerintahan Gampong Mengenai Pemerintahan Gampong beserta aparaturnya, dapat dijelaskan lewat penelusuran berbagai peraturan perundangan-undangan. Dalam Penjelasan Pasal 7 UU No. 44/1999 disebutkan bahwa konsep gampong menurut UU ini adalah sama yang dimaksud dengan desa menurut UU No. 22/1999. Sementara itu, Pasal 1 ayat (13) UU No. 18/2001 menyebutkan bahwa Gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu yang dipimpin oleh keuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
7

Konsep gampong seperti di atas, terdapat dalam Pasal 1 ayat (5) Qanun No. 3/2003 tentang Susunan, Kedudukan dan Kewenangan Pemerintahan Kecamatan dalam Provinsi NAD, Pasal 1 ayat (5) Qanun No. 4/2003 tentang Susunan, Kedudukan dan Kewenangan Mukim dalam Provinsi NAD, dan Pasal 1 ayat (6) Qanun No. 7/2004 tentang Pengelolaan Zakat. Konsep ini juga digunakan dalam Pasal 1 ayat (6) Qanun No. 5/2003 tentang Pemerintahan Gampong. Sementara dalam Pasal 1 ayat (9) Perda No. 7/2000, yang dimaksudkan dengan gampong adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang terendah dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Dari konsep gampong, jelas bahwa gampong terletak di bawah mukim yang dipimpin keuchik dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (2) Qanun No. 3/2003, disebutkan kedudukan gampong tidak lagi berada di bawah kecamatan, tapi di bawah mukim. Hal ini kemudian dipertegas dengan Pasal 2 Qanun No. 4/2003, Mukim membawahi gampong yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Camat. Dalam Pasal 5 poin (d) Qanun No. 3/2003, disebutkan bahwa posisi Camat berkenaan dengan fungsi pembinaan pemerintahan mukim dan gampong. Dalam Pasal 39 Qanun No. 3/2003, dengan tegas diatur bahwa kecamatan yang belum memiliki mukim tapi memiliki gampong, maka perangkat pelaksana di wilayahnya adalah Pemerintah Gampong. Ada beberapa penjelasan penting dari Qanun No. 5/2003 tentang gampong, yakni: 1. Gampong merupakan organisasi pemerintahan terendah yang berada di bawah Mukim (Pasal 2), yang mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, membina masyarakat dan meningkatkan pelaksanaan Syariat Islam (Pasal 3). Gampong mempunyai fungsi penyelenggaraan pemerintahan (desentralisasi, dekonsentrasi, dan perbantuan), pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, syariat Islam, percepatan pelayanan, dan penyelesaian sengketa hukum (Pasal 4). Kewenangan gampong antara lain kewenangan yang sudah ada, berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan kewenangan melaksanakan tugas perbantuan yang disertai biaya (gampong berhak menolak bila tanpa pembiayaan) (Pasal 5).

2.

Gampong dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan persyaratan yang ditentukan sesuai kondisi sosial-budaya masyarakat, dan dapat dihapus dan digabung bila tidak lagi memenuhi persyaratan (Pasal 6), seperti jumlah penduduk minimal, luas wilayah, jumlah dusun/jurong, kondisi sosial budaya, potensi ekonomi dan sumber daya alam, serta sarana dan prasarana pemerintahan (Pasal 8).

3.

Mengenai susunan Pemerintahan Gampong yang diselenggarakan Pemerintah Gampong (Keuchik, Imuem Meunasah, Perangkat Gampong) dan Tuha Peut (Pasal 10). Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Pasal 11) yang bertugas dan kewajiban memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Gampong, membina kehidupan beragama dan pelaksanaan Syariat Islam, menjaga dan memelihara kelestarian adat dan adat istiadat, memajukan perekonomian, memelihara ketentraman, menjadi hakim perdamaian (dibantu Imuem Meunasah dan Tuha Peut), mengajukan Rancangan Reusam Gampong, mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Gampong, serta mewakili Gampongnya di dalam dan di luar Pengadilan (Pasal 12). Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, keuchik bertanggung jawab kepada rakyat Gampong pada akhir masa jabatan atau sewaktu-waktu diminta oleh Tuha Peuet Gampong, serta menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada Imeum Mukim sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun yaitu pada akhir tahun anggaran atau sewaktu-waktu diminta oleh Imeum Mukim (Pasal 14 ayat (2) dan (3)). Hal ini dikarenakan keuchik dipilih secara langsung (Pasal 15) dengan masa jabatan lima tahun (Pasal 16).

4.

Perangkat Pemerintah Gampong selain keuchik adalah imuem meunasah dan perangkat gampong. Imeum Meunasah mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi memimpin kegiatan keagamaan, peningkatan peribadatan, peningkatan pendidikan agama, memimpin seluruh kegiatan yang berhubungan dengan kemakmuran meunasah dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam (Pasal 25). Dalam Penjelasan Pasal 10, keuchik dan imeum meunasah mempunyai kedudukan yang sejenjang dimana keuchik bertanggung jawab pada pelaksanaan pemerintahan, sedangkan imeum meunasah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan agama. Sementara perangkat gampong adalah pembantu dan bertanggung jawab keuchik, serta diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Keuchik, setelah mendapatkan persetujuan dari Tuha Peuet Gampong (Pasal 27). Perangkat terdiri atas
9

Sekretariat Gampong (sekretaris dan staf: Urusan Pemerintahan, Perencanaan dan Pembangunan, Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan Sosial, Ketertiban dan Ketentraman Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, pemuda, umum, dan urusan keuangan), serta unsur pelaksana yang sangat teknis seperti tuha adat, keujreun blang, peutua seuneubok, pawang laot, haria peukan, dll. Serta, yang mengurusi wilayah seperti Kepala Dusun/Jurong (Pasal 28). 5. Tuha Peuet Gampong sebagai Badan Perwakilan Gampong, berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja dari Pemerintah Gampong dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Pasal 34). Tugas dan fungsi Tuha Peut antara lain meningkatkan upaya-upaya pelaksanaan Syariat Islam dan adat, memelihara kelestarian adat istiadat, melaksanakan fungsi legislasi, melaksanakan fungsi anggaran, melaksanakan fungsi pengawasan, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyakarat kepada Pemerintah Gampong (Pasal 35). Tuha Peut Gampong yang terdiri dari unsur ulama, tokoh masyarakat, pemuka adat, dan cendikiawan (Pasal 31). Lembaga ini dibentuk melalui musyawarah Gampong (Pasal 33). Dalam lembaga ini juga terdapat sekretariat (sekretaris dan staf yang diangkat dan diberhentikan keuchik) (Pasal 38). Dalam Pasal 1 Angka (7) disebutkan bahwa Tuha Peuet Gampong adalah sebagai pengganti istilah Lembaga Musyawarah Desa (LMD) menurut UU No. 5/1979 atau Badan Perwakilan Desa menurut UU No. 22/1999. Dalam Pasal 37 dan Penjelasannya malah dijelaskan tentang larang rangkap jabatan untuk menghindari terjadinya pemusatan kekuasaan pada Keuchik, seperti pernah terjadi pada saat berlakunya UU No. 5/1979, Ketua Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dirangkap oleh Keuchik/Kepala Desa. 6. Masalah keuangan gampong, bersumber dari Pendapatan Asli Gampong (hasil usaha Gampong, hasil kekayaaan Gampong, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong masyarakat, zakat, dan lain-lain pendapatan Gampong yang sah), bantuan dari Pemerintah Kabupaten/Kota (pajak dan retribusi, dana perimbangan, bantuan lain dari Pemerintah atasan, sumbangan dari pihak ketiga, dan pinjaman Gampong), di mana Sumber Pendapatan Gampong yang sudah dimiliki dan dikelola oleh Gampong, tidak boleh dipungut atau diambil alih oleh Pemerintah yang lebih atas tingkatnya (Pasal 42).

10

BAB III PEMBAHASAN

11

3.1. Gambaran Umum Gampong Krueng Juli Barat Gampong Krueng Juli Barat merupakan salah satu dari 20 Gampong yang termasuk di dalam wilayah Kecamatan Kuala, Gampong Krueng Juli Barat merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan pantai Selat Malaka, secara administratif batas Gampong Krueng Juli Barat Kecamatan Kuala berbatasan dengan Gampong sebagai berikut:
1. Sebelah Utara bersebelahan dengan Pantai Selat Malaka. 2. Sebelah Selatan bersebelahan dengan Gampong Cot Trieng Kecamatan Kuala. 3. Sebelah Timur bersebelahan dengan Gampong Krueng Juli Timu Kecamatan Kuala. 4. Sebelah Barat bersebelahan dengan Gampong Beurawang Kecamatan Jeumpa.

Gampong Krueng Juli Barat dibagi menjadi 3 dusun, yaitu sebagai berikut.
1. Dusun Nelayan

2. Dusun Petani
3. Dusun Batee Beutong

Gampong Krueng Juli Barat memiliki luas desa 61,38 ha berdasarkan hasil survai dan berdasarkan data Map Frame 3 luas desa 91,03 ha. Gampong Krueng Juli Barat merupakan salah satu Gampong yang memiliki tipe lokasi wilayah dekat dengan pantai. Kondisi topografi Gampong Krueng Juli Barat berada pada kemiringan lahan 0%3% dengan ketinggian 0-5 meter dpl, kondisi ini relatif datar. Jumlah Penduduk Gampong Krueng Juli Barat pada tahun 2010 adalah 1.371 Jiwa dengan jumlah KK sebesar 245 KK. Sedangkan tahun 2009 adalah 1.362 Jiwa dengan Jumlah KK, 339 KK . Berdasarkan data dari geuchik dan Keurani gampong mayoritas mata pencaharian penduduk desa bergerak di bidang pertanian sebagai petani (44,3%) sejumlah 588 jiwa dan sebagai nelayan (23,6%) sejumlah 313 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk yang bergerak di bidang pertanian menunjukan bahwa pertanian merupakan mata pencaharian andalan penduduk gampong Krueng Juli Barat. Kondisi sosial masyarakat gampong Krueng Juli Barat adalah gampong yang mempunyai tingkat kemiskinan yang relatif tinggi, dikarenakan mata pencaharaian penduduk yang sangat bergantung pada hasil pertanian dan perikanan. Ditinjau dari sisi tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh penduduk gampong Krueng Juli Barat adalah rata-rata lulusan SD untuk usia produktif (15-55 tahun). Gampong ini termasuk gampong yang tertinggal, karena lokasinya yang jauh dari pusat kota. Ditinjau dari etnisnya bahwa
12

masyarakat gampong Krueng Juli Barat adalah kebanyakan berasal dari Suku Aceh, salah satu ciri khas yang dapat ditemui pada masyarakat yang mencerminkan status sosial di antara mereka adalah kekhasan bahasa dan budaya.
3.2. Struktur Organisasi Gampong Krueng Juli Barat

Dengan adanya otonomi daerah dan dengan ditetapkannya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang tindak lanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 76 tahun 2001, kemudian UU tersebut terjadi revisi dengan lahirnya UU nomor 32 tahun 2004, maka pengaturan tentang Pemerintahan Desa pun ikut terjadi perubahan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang desa, maka terjadi perubahan terhadap struktur kelembagaan pada pemerintah Gampong Krueng Juli Barat di Kecamatan Kuala. Adapun perubahan struktur kelembagaan adalah terdiri dari Keuchik (Kepala Desa) dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah desa. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau Tuha Peut adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintah desa. Lembaga Kemasyarakatan atau Tuha Lapan adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah desa dalam memperdayakan masyarakat. Berdasarkan pemikiran Osborne dan Gaebler (dalam Supriama, 1999:103), bahwa bentuk organisasi birokrasi pada masa-masa sekarang sudah seharusnyaya ditinjau kembali dan diarahkan kepada bentuk orgarasasi yang terbuka atau fleksibel, ramping atau efisien dan rasional serta terdesentralisasi. Kemudian pengembangan organisasi birokrasi pemerintah desa merupakan upaya yang dilakukan dalam era otonomi daerah untuk meningkatkan efisiensi organisasi birokrasi pemerintah desa dalam memecahkan masalah dan pencapaian sasaran dalam penyelenggaraan pemerintahan di desa, seperti yang diungkapkan oleh Obolensky (1996 : 94), bahwa pengembangan organisasi adalah suatu pendekatan yang sistematik, terpadu dan terencana untuk meningkatkan organisasi, la dirancang untuk memecahkan masalah masalah yang merintangi efisiensi pengoperasian organisasi pada semua tingkatan. Berbagai masalah tersebut mencakup kurangnya kerjasama, desentralisasi yang berlebihan dan kurang cepatnya komunikasi. Struktur kelembagaan birokrasi pemerintah Gampong tersebut dimaksudkan agar birokrasi pemerintah Gampong lebih mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efisien kepada masyarakat/warga Gampong. Seperti uraian Suryono (dalam Jurnal
13

Administrasi Negara, 2001 : 53), bahwa birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralisasi, inovatif, fleksibel dan responsif. Dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebetuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi pemerintah desa dapat menyediakan pelayanannya sesuai dengan harapan masyarakat sebagai pelangganrya. Meskipun juga yang perlu diperhatikan adalah kualitas dan kuantitas dari aparat pemerintah desa itu sendiri, yakni aparatur pemerintah desa yang rnempunyai kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency). 3.3. Proses Pembuatan Kebijakan dan Pengambilan Keputusan Gampong Krueng Juli Barat Untuk membuat suatu rancangan suatu peraturan Gampong, Keuchik dengan dibantu oleh perangkat Gampong memperoleh masukan hal hal yang perlu dibuat peraturan dari lembaga lembaga kemasyarakatan Gampong, seperti halnya Lembaga Pemberdayaan Masyarakat. Lembaga tersebut memberikan masukan kepada aparatur pemerintah berdasarkan aspirasi yang mereka kumpulkan dari masyarakat. Setelah draf atau rancangan peraturan Gampong yang dibuat oleh Keuchik tersebut diserahkan kepada Tuha Puet Gampong yang akan melaksanakan rapat guna membahas peraturan Gampong tersebut. TPG yang terbentuk dari proses pemilihan langsung oleh masyarakat Gampong tidak dengan serta merta menerima rancangan yang disodorkan oleh Keuchik akan tetapi dengan musyawarah/mufakat, sehinggga peraturan Gampong yang ditetapkan nanti sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat gampong. Rancangan peraturan Gampong yang disusun oleh Keuchik bersama perangkat Gampong (pemerintah desa) kemudian disodorkan kepada Tuha Puet Gampong untuk diadakan rapat membahas rancangan tersebut. Pengambilan keputusan terhadap materi dalam peraturan Gampong tersebut didasarkan pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang telah ditampung oleh anggota Tuha Peut Gampong sebagai wewenang dan tanggung jawabnya. Adanya semangat demokrasi dalam hal ini menunjukkan demokratisasi telah merambah segi kehidupan di Gampong sesuai dengan semangat reformasi dan otonomi .Bahwa demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisir
14

berdasarkan prinsipprinsip kedaulatan rakyat (popular sovereignity), kesamaan politik (political equality), konsultasi atau dialog dengan rakyat (popular consultation), dan berdasarkan pada aturan suara mayoritas (Ranny dalam Thoha, 2003 : 99). Peran serta dari masyarakat seharusnya ada demi mewujudkan kepemerintahan yang baik dimana peran citizen yang besar dalam good governance ialah menjaga agar tetap crocoountable, tanggung gugat, (Tjokroamidjojo, 2001:96). Akan tetapi adalah sebaliknya di gampong Krueng Juli Barat Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen, masyarakat/warga gampong lebih memberikan kepercayaan kepada lembaga-lembaga gampong untuk melaksanakannya dan mereka lebih disibukkan dengan kebutuhan mereka masing masing. Sehingga apapun dan bagaimanapun peraturanperuturan di gampong adalah otoritas sepenuhnya lembaga lembaga gampong tersebut tanpa adanya inisiatif dari koreksi langsung dari masyarakat. Hal tersebut dikarenakan juga karena tingkat sumber daya manusia dari warga gampong yang kurang. Dan peraturanperaturan yang dibuat juga cenderung sedikit yang dipengaruhi adanya tingkat kompleksitas permasalahan yang rendah. Hal tersebut juga menunjukkan kurangnya interaksi antara birokrasi dengan lingkungan di luar birokrasi dan kurang mengerakkan inisiatif masyarakat daripada mengelola sendiri, (Djunaedi, 2003:3). 3.4. Proses Perencanaan Agenda dan Program Program di Gampong Juli Barat Dalam melaksanakan tugas sebagai unsur pemerintah Gampong, Geuchik Gampong yang dibantu oleh perangkat gampong dalam merencanakan agenda dan programprogram dari pemerintah kabupaten juga dalam melaksanakan agenda dan program-program berdasarkan penjabaran dari peraturan gampong yang telah ditetapkan dengan persetujuan dari Badan Perwakilan gampong setempat kemudian juga dengan keputusan Geuchik gampong. Untuk gampong Krueng Juli Barat, program pembangunan fisik yang bertujuan jangka panjang dan memerlukan dana besar masih merupakan program dari pihak Pemerintah Kabupaten, dan keikutsertaan masyarakat dapat dilihat ; atas swadaya yang berhasil dikumpulkan : dalam membantu proses pelaksanaan program dari pemerintah gampong meskipun masih minimal. Gampong Krueng Juli Barat, warga gampong lebih mempercayakannya kepada penyelenggara pemerintahan gampong dan menunjukkan
15

Krueng

kurang antusiasme dari masyarakat terhadap proses pembangunan di gampongnya, hal menunjukkan kurang dekatnya birokrasi pemerintah gampong dengan masyarakat, Bahwa ciri dari birokrasi yang terdesentralisir adalah birokrasi yang dekat dengan masyarakat selaku pelanggan (Suryono, 2001 : 53). Kemudian program-program yang akan dilaksanakan secara umum masih merupakan tindak lanjut dari program-program pemerintah yang lebih atas yakni pemerintah kabupaten, hal tersebut karena sumber daya manusia dan sumber dana yang terbatas yang dimiliki oleh gampong Krueng Juli Barat. Program-program yang telah dilaksanakan sampai dengan bulan Mei, 2011 sebagian besar masih merupakan program dari Pemerintah Kabupaten Bireuen, hal tersebut di karenakan sumber pendapatan asli gampong yang belum mencukupi untuk melaksanakan suatu program yang memerlukan dana yang cukup besar. Di gampong Krueng Juli Barat, pelaksanaan program adalah unsur birokrasi pemerintahan gampong dan masyarakat terkesan hanya menunggu hasil tanpa adanya sumbangan yang berarti terhadap proses ini tanpa adanya kehendak dan keterlibatan masyarakat (partisipalion), sedangkan partisipasi merupakan salah satu unsur penting dan utama dalam konsepsi kepemerintahan yang amanah atau good governance, (Djunaedi, 2003 : 6). Kurangnya partisipasi masyarakat atau warga gampong dalam proses pelaksanaan program-program di gampongnya mengakibatkan lemahnya kontrol dari masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan di gampong yang mengakibatkan terlupakannya kepentingan kepentingan masyarakat/warga gampong dan menurut Dwiyanto (2002 : 44), bahwa lemahnya kontrol publik terhadap birokrasi mengakibatkan dalam birokrasi tidak dijumpai pendistribusian kewenangan secara memadai (diskresi) kepada instansi atau aparat di tingkat bawah, dampak lebih jauh yang terjadi adalah birokrasi menjadi lebih mementingkan kepentingan pimpinan daripada masyarakat selaku pengguna jasa. Hal tersebut tentunya bertolak belakang dengan tujuan utama otonomi asli gampong dalam pelaksanaan otonomi daerah. 3.5. Kurangnya fleksibelitas dalam penyelenggaraan pemerintahan di gampong Krueng Juli Barat

16

Hal tersebut terjadi dikarenakan kurangnya inisiatif aparat pemerintah gampong dan lebih banyak menonjolkan sikap berdiam diri dan menunggu perintah atau instruksi dari pemerintah yang lebih atas dalam setiap pekerjaan yang menyangkutpenyelenggaraan pemerintahan di gampong. Meskipun dalam kelembagaan pemerintah gampong telah temuat unsur staf, unsure pelaksana dan unsur walayah yang masing masing mempunyai tanggung jawab dan wewenang sesuai dengan bidang tugasnya. Akan tetapi terdapat kesan kaku dalam menjalankan peraturan daerah mengenai kelembagaan pemerintah gampong tersebut. sehingga seolah-olah terkotak kotak sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat selaku pelanggan kurang maksimal. Dalam Undang-Undang :Nomor 22 tahun 1999 telah disebutkan bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya atau mengurus rumah tangganya sendiri, akan tetapi dalam prakteknya pemerintah gampong kurang mempunyai sikap inisiatif dan inovatif sehingga lebih banyak menonjolkan sikap berdiam diri dan menunggu perintah atau instruksi dari pemerintah yang lebih atas dalam setiap pekerjaan yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan di gampong. Meskipun dalam kelembagaan pemerintah gampong telah temuat unsur staf, unsure pelaksana dan unsur wilayah yang masing-masing mempunyai tanggung jawab dan wewenang sesuai dengan bidang tugasnya. Akan tetapi terdapat kesan kaku dalam menjalankan peraturan daerah mengenai kelembagaan pemerintah gampong tersebut. sehingga seolah-olah terkotak kotak sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat selaku pelanggan kurang maksimal. Seharusnya birokrasi pemerintah gampong mampu memanfaatkan hal tersebut untuk lebih eksis dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana tujuan dibentuknya pemerintahan, seperti uraian Ratih (2000 : 104) bahwa birokrasi harus mampu mengarahkan dan memanfaatkan bakat. potensi seperti inovasi, kecepatan merespon, fleksibilitas ketujuan, visi, sasaran strategik dan misi organisasi melalui pemberdayaan organisasi.
3.6.

Upaya Meningkatkan Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong Krueng Juli Barat Dalam rangka peningkatan sistem penyelenggaraan pemerintahan gampong

Krueng Juli Barat, setiap aparatur pemerintah diwajibkan untuk akuntabel kepada
17

atasannya dan kepada yang mengontrol pekerjaannya, dan pelaksanaan tugas-tugasnya sesuai dengan posisinya masing-masing. Geuchik gampong selaku pimpinan pemerintah gampong dapat memantau pekerjaan secara langsung terhadap aparatur pemerintah gampong yang duduk sebagai kepala seksi-kepala seksi, karena hirarkinya langsung berada dibawahnya. Akuntabilitas merupakan instrumen untuk kegiatan control terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan publik, (LAN, 2000:22). Selanjutnya akuntabilitas secara ekstern seseorang adalah akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya, baik lingkungan formal (atasan-bawahan) maupun lingkungan masyarakat. Menurut Islamy (dalam Suryono, 2001 : 54) menyatakan salah satu prinsip yang seharusnya dipahami oleh aparat birokrasi adalah prinsip akuntabilitas, yaitu proses, produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus bisa dipertanggung jawabkan kepada masyarakat. Dalam kelembagaan pemerintah gampong setiap aparatur pemerintah diwajibkan untuk ukuntabel kepada atasannya atau kepada yang mengontrol pekerjaannya, dan pelaksanan tugas-tugasnya sesuai dengan posisinya masing-masing. Dengan adanya unsur pelaksana dalam struktur kelembagaan pemerintah gampong yang baru tersebut geuchik gampong selaku pimpinan pemerintah gampong dapat memantau pekerjaan secara langsung terhadap aparatur pemerintah gampong yang duduk sebagai kepala seksi-kepala seksi, dan kepala seksi-kepala seksi bertanggung jawab langsung kepada geuchik gampong. Dengan adanya struktur kelembagaan baru mempunyai dampak yakni semakin transparannya proses penyelenggaraan pemerintahan gampong. Transparansi tersebut dapat terjadi dan berjalan dengan harmonis apabila setiap unsur didalam proses penyelenggaraan pemerintahan gampong memahami betul akan hak dan wewenangnya dengan tidak adanya tumpang-tindihnya kewenangan serta pemahaman terhadap tugas dan fungsi masing-masing. Akibat adanya kualitas sumber daya manusia yang kurang menyebabkan kurangnya tingkat pemahaman oleh aparatur pemerintah gampong terhadap tugas pokok dan fungsinya serta wewenang yang dimiliki dalam jabatannya, dari hal tersebut dapat mengakibatkan proses pelayanan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat/warga gampong selaku pelanggan dapat terabaikan. Sebenarnya hal tersebut dapat diminimalisir dengan mengadakan pembinaan, pendidikan dan pelatihan secara intensif baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga
18

aparatur pemerintahan gampong mampu menyesuaikan dari dengan keadaan yang mengalami perubahan. tersebut, bahwa birokrasi hendaknya menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu mengalami perubahan. (Anonymous, 2003 : 4). Dan untuk mengatasi hal-hal demikian ini Pemerintah Kabupaten Bireuen harus melakukan pendidikan dan pelatihan bagi aparat gampong, akan tetapi karena keterbatasan dana, maka kuantitas pendidikan dan pelatihan yang diberikan masih jauh dari cukup.

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Dikarenakan kurangnya kualitas sumber daya manusia penyelenggara pemerintahan gampong dalam inovasi mengakibatkan kelembagaan birokrasi di era otonomi daerah di gampong Krueng Juli Barat Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen yang didasarkan pada UU 22/1999, yang seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya . masyarakat setempat dalam prakteknya tetap memakai

19

kelembagaan yang disodorkan pemerintah kabupaten melalui peraturan daerah, keputusan bupati dan instruksi bupati, bukan hanya sebagai dasar dan pedoman penyusunan saja akan tetapi tanpa adanya pengembangan untuk penyesuaian dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakatnya. Secara umum perilaku birokrasi pemerintah gampong dalam kelembagaan birokrasi pemerintah gampong di era otonomi daerah telah mampu mengakomodir aspirasi dan kebutuhan masyarakat, namun untuk gampong dengan tingkat kompleksitas permasalahan yang rendah dengan kualitas sumber daya manusia baik intern maupun ekstern penyelenggara pemerintahan di gampong menunjukan sikap apatisme dan lebih menunggu perintah atau desakan dari pemerintah yang lebih atas. Penerapan kelembagaan birokrasi pemerintah gampong berdasarkan UU 22/1999 secara umum membawa dampak positif berupa meningkatnya responsivitas, produktivitas, akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat gampong. Akan tetapi kelembagaan baru tersebut juga membawa dampak negatif terutama bagi gampong yang arus infomasinya lebih lambat dengan tingkat kualitas sumber daya yang rendah didukung adanya sikap apatisme dan sinisme masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan gampong dan sikap birokrasi yang kurang mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya adalah berupa tumpang tindihnya tugas dan wewenang, penyalahgunaan wewenang dan kurangnya fleksibilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong.

4.2 Saran

Perlu dilakukan pengawasan sekaligus pembinaan langsung ke lapangan yang meliputi mekanisme pemerintahan, kelembagaan birokrasi pemerintah gampong, tata kerja, dan administrasi gampong, hal tersebut dimaksudkan apabila dijumpai adanya pemahaman yang kurang, penyimpangan penyimpangan dari ketentuan atas aturan yang berlaku dapat segera diluruskan untuk pembenahan berikumya. Bagi pemerintahan yang lebih atas yakni kecamatan dan kabupaten permasalahan - pemasalahan atau segala bentuk penyimpangan yang ada perlu dilakukan inventarisir sebagai dasar pedoman dalam merumuskan kebijakan selanjutnya dan merupakan tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Oleh sebab itu perlu dilakukan pendekatan yang komprehensif dengan

20

dukungan dari unsur unsur di luar pemerintahan serta penumbuhan partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahaan di gampong demi mewujudkan cita-cita otonomi khusus.

DAFTAR PUSTAKA

Iskandar A Gani, 1998, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Otonomi Desa di Aceh, Tesis, Program Pascasarjana Unpad, Bandung, 1998. Idris, Moch., 2002, Birokrasi pemerintahan Desa dalam Pembangunan, tesis Universitas Brawijaya, Malang Sulaiman Tripa, Legalitas Gampong di Aceh, Serambi Indonesia, 18 Juli 2002.

21

Sulaiman Tripa, Prospek dan Tantangan Pemerintahan Gampong di Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Media Hukum, Vol. 16 No. 2 Desember 2009. Taqwaddin, 2009, Eksistensi Masyarakat Hukum Adat terhadap Penguasaan dan Pengelolaan Hutan Adat dikaitkan dengan Penyelenggaraan Otonomi Khusus di Aceh, USU, Medan. Usman, Kumpulan Materi/Pembekalan Tugas aparatur Pemerintahan Gampong dan mukim, Almuslim Matangglumpangdua Bireuen. Yulianto, 1996, Pengaruh Kepemimpinan Kepada Desa dan Kualitas .Sumber Daya Aparat Desa terhadap Keberhasilan Pembangunana Desa, tesis Unversitas Gajah Mada, Yogyakarta Zauhar, Susilo, 1994, Desentralisasi, Otonomi Daerah dan pembangunan nasional pelopor, Jakarta -------, 1999, Sistem Pemerintahan Desa Adat di Indonesia, Tim Penyusun STPDN, Jatinangor

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama T. Sulfanur yang dilahirkan pada tanggal tiga bulan juli tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh enam di Gampong Krueng Juli Barat Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen. Penulis adalah anak tunggal dari keluarga T. Banta Johan dan Cut Nurhayati. Penulis sudah menikah dengan Rosmawati serta telah dikaruniai empat orang anak.

22

Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Krueng Juli Timu Tahun 1988, Tahun 1991 penulis menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Bireuen, dan Tahun 1994 menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Umum di SMA Negeri 2 Bireuen, kemudian Tahun 2009 sampai dengan sekarang penulis masih aktif sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Almuslim Matangglumpangdua Bireuen.

23

You might also like