You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia,

sementara tiga kerabatnya, yaitu; gorila, simpanse, dan bonobo hidup di Afrika. Kurang dari 20.000 tahun yang lalu Orangutan dapat dijumpai di seluruh Asia Tenggara, dari Pulau Jawa di ujung selatan sampai ujung utara Pegunungan Himalaya dan Cina bagian selatan. Akan tetapi, saat ini jenis kera besar itu hanya ditemukan di Sumatera dan Borneo (Kalimantan), 90% berada di Indonesia. Penyebab utama mengapa terjadi penyempitan daerah sebaran adalah karena manusia dan Orangutan menyukai tempat hidup yang sama, terutama dataran alluvial di sekitar daerah aliran sungai dan hutan rawa gambut. Pemanfaatan lahan tersebut untuk aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya manusia umumnya berakibat fatal bagi pihak Orangutan. Para ahli primata saat ini sepakat untuk menggolongkan Orangutan yang hidup di Sumatera sebagai Pongo abelii yang berbeda dari Pongo pygmaeus yang menempati hutanhutan dataran rendah di Borneo. Dibandingkan dengan kerabatnya di Borneo, Orangutan sumatera menempati daerah sebaran yang lebih sempit. Orangutan di Borneo dikelompokkan ke dalam tiga anak jenis, yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus yang berada di bagian utara Sungai Kapuas sampai ke timur laut Sarawak; Pongo pygmaeus wurmbii yang ditemukan mulai dari selatan Sungai Kapuas hingga bagian barat Sungai Barito; dan Pongo pygmaeus morio, yang tersebar mulai dari Sabah sampai ke selatan mencapai Sungai Mahakam di Kalimantan Timur. Sebagai pemakan buah, Orangutan merupakan agen penyebar biji yang efektif untuk menjamin regenerasi hutan. Orangutan juga sangat menarik dari sisi ilmu pengetahuan karena kemiripan karakter biologi satwa itu dengan manusia. Sebagai satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, Orangutan memiliki potensi menjadi ikon pariwisata untuk Indonesia.

Orangutan menyukai hutan hujan tropis dataran rendah sebagai tempat hidupnya, sehingga perlindungan ekosistem tersebut sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup satwa itu. Meskipun Pemerintah telah membangun sistem kawasan konservasi seluas 6,5 juta hektar di Sumatera bagian utara dan Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, upaya pengelolaan kawasan hutan yang menjadi habitat Orangutan di luar taman nasional dan cagar alam tidak kalah pentingnya. Pemanfaatan kawasan hutan, baik untuk industri kayu maupun pertanian, yang tidak memperhatikan prinsip kelestarian lingkungan terbukti berdampak sangat buruk bagi keberadaan Orangutan. Konflik yang terjadi antara Orangutan dan manusia di luar kawasan konservasi bahkan tidak jarang merugikan pihak pengusaha dan masyarakat. Penyusutan dan kerusakan kawasan hutan dataran rendah yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan selama sepuluh tahun terakhir telah mencapai titik kritis yang dapat membawa bencana ekologis skala besar bagi masyarakat. Bagi Orangutan, kerusakan kawasan hutan telah menurunkan jumlah habitat Orangutan sebesar 1-1,5% per tahunnya di Sumatera. Jumlah kehilangan habitat di Kalimantan yaitu 1,5-2% per tahunnya, lebih tinggi jika dibandingkan dengan Sumatera. Kerusakan hutan dan habitat Orangutan di Kalimantan menyebabkan distribusi Orangutan menjadi terfragmentasi di kantong kantong habitat (Revisi PHVA 2004). Nasib Orangutan juga diperburuk dengan ancaman perburuan untuk dijadikan satwa peliharaan, bahkan sebagai sumber makanan bagi sebagian masyarakat. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan tersebut telah menempatkan Orangutan sumatera ke dalam kategori kritis/sangat terancam punah (critically endangered) di dalam daftar merah IUCN (2007), sebuah badan dunia yang memantau tingkat keterancaman jenis secara global. Meskipun Orangutan di Kalimantan ditempatkan pada posisi terancam punah/endangered, tidak berarti masa depan primata itu lebih cerah dibandingkan kerabatnya di Sumatera. Hanya tindakan segera dan nyata dari semua pemangku kepentingan untuk melindungi Orangutan di kedua pulau

tersebut yang dapat menyelamatkan satu-satunya kera besar Asia dari ancaman kepunahan. Kondisi Orangutan yang sangat memprihatinkan telah mendorong para peneliti, pelaku konservasi, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mencari solusi terbaik yang dapat menjamin keberadaan primata itu di tengah upaya negara menyejahterakan masyarakatnya. Dari pihak pemerintah sendiri telah dilakukan berbagai pertemuan guna membahas cara melindungi spesies ini agar tidak punah. Hanya sekedar pertemuan saja tidak dapat menjadi solusi bagi kelangsungan hidup Orangutan. Oleh karena itu perlu dilakukan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Nasional Orangutan. Penyusunan strategi dan rencana aksi ini melibatkan kembali berbagai pihak yang berperan serta menghasilkan seluruh butir rekomendasi yang ada. Dengan demikian, proses yang terjadi juga dapat dipandang sebagai upaya mengevaluasi pencapaian target konservasi sejak rekomendasi aksi dicanangkan, selain sebagai upaya memperbarui informasi sebaran dan populasi Orangutan. Seluruh rangkaian proses ini diharapkan menghasilkan sebuah acuan yang dapat diterima dan dijalankan semua pihak, sehingga dalam sepuluh tahun yang akan datang kondisi Orangutan dan hutan dataran rendah yang menjadi habitatnya akan menjadi lebih baik dari saat ini. 1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah status konservasi Orangutan di Indonesia? 2. Bagaimanakah strategi konservasi yang efektif bagi kelangsungan

hidup Orangutan di Indonesia? 1.3. Tujuan


1. Untuk mengetahui status konservasi Orangutan di Indonesia. 2. Untuk mengetahui strategi konservasi yang efektif bagi

kelangsungan hidup Orangutan di Indonesia. 1.4. Manfaat

Manfaat dari tulisan ini adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat akan keanekaragan dan status konservasi Orangutan, serta strategi konservasi yang efektif untuk menyelamatkan keberadaan Orangutan khususnya yang berada di Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Tentang Orangutan Indonesia merupakan negara tropis dengan luas hutan tropis yang sangat luas dan sangat cocok sebagai habitat primata seperti Orangutan. Terdapat dua jenis Orangutan di Indonesia, yaitu Orangutan Sumatra (Pongo abelii) yang penyebarannya terbatas pada bagian utara Sumatera dan Orangutan Borneo (Pongo pygmaeus), yang masih terdapat di beberapa tempat yang merupakan kantongkantong habitat di Sabah dan Sarawak terutama di daerah rawa gambut serta hutan dipterokarp dataran rendah di bagian barat daya Kalimantan antara Sungai Kapuas dan Sungai Barito (propinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah), serta sebelah timur Sungai Mahakam ke arah utara (provinsi Kalimantan Timur dan Sabah). Indonesia memiliki posisi yang sangat penting dalam konservasi Orangutan di dunia, karena sebagian besar populasi Orangutan yang masih bertahan hidup hingga saat ini berada di wilayah Republik Indonesia. Namun, dewasa ini kerusakan dan fragmentasi hutan tropis dataran rendah menyebabkan penyusutan populasi Orangutan yang sangat drastis di berbagai lokasi di Sumatera dan Kalimantan. Fragmentasi hutan telah membagi populasi Orangutan di Sumatera ke dalam sebelas kantong populasi dengan ukuran yang berbeda-beda. Di antara kesebelas blok habitat itu hanya tiga blok dilaporkan mempunyai populasi lebih dari 500 individu, yang merupakan ukuran minimum untuk menjamin keberlanjutan populasi Orangutan. Para peneliti berpendapat bahwa hanya pada ukuran populasi seperti itu Orangutan mempunyai kekayaan genetik yang cukup untuk membantunya menghadapi berbagai tantangan perubahan lingkungan. Sebaliknya, populasi yang berukuran kurang dari 500 individu akan menjadi sangat rentan terhadap berbagai risiko kepunahan, jika tidak dibantu dengan upaya perlindungan dan pengelolaan populasi. Dikutip dari Website VOA tentang 'Orangutan Sumatera Dikhawatirkan Punah' (31-3-2012) bahwa ratusan Orangutan di Indonesia mungkin bisa punah menjelang akhir tahun ini apabila pekebunanperkebunan kelapa sawit terus menerus membuka lahan dengan cara membakar hutan rawa yang merupakan habitat mereka. Selain itu, kelompok Pelindung

Orangutan Sumatera juga mengatakan hanya tinggal kurang dari 200 Orangutan yang terdapat di Tripa saat ini. Pada 1990-an jumlahnya masih sekitar 3.000. A. Taksonomi Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Mammalia : Primates : Hominidae : pongo : Pongo pygmaeus ; Pongo abelii

Upafamili : Ponginae

1. Orangutan Sumatra (Pongo abelii)

Morfologi Umum Memiliki warna rambut yang panjang bewarna coklat terang kadangkadang oranye, struktur bentuk muka Orangutan Sumatera memiliki bentuk bentuk lonjong/oval. Bantalan pipi terlihat kuat berbentuk seperti berlian, tidak terdapat lipatan di antara pipinya. Janggut pada umumnya panjang dengan warna oranye terang dengan struktur yang sangat rapi. Pada umumnya Orangutan jantan dewasa memiliki kantung suara yang digunakan untuk mengeluarkan seruan panjang, berukuran besar dan tidak bersatu dengan dada. Ukuran tubuh Tinggi badan individu jantan dewasa adalah 120 150 cm, sedangkan pada betina dewasa 100 120 cm. Berat tubuh pada jantan dewasa 50 90 kg (di alam liar); sedangkan di karantina dapat mencapai 120 kg atau lebih. Berat tubuh individu betina dewasa adalah 30 60 kg. Memiliki panjang lengan 60 90 cm atau 2/3 (dua per tiga) dari tinggi badan. Sebaran Distribusi populasi Orangutan Sumatera hanya terbatas pada dua propinsi saja, yaitu Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Di Sumatera Utara, populasi Orangutan liar dapat dijumpai di daerah Tapanuli Selatan, Dairi, Phakphak, dan Langkat. Sedangkan di propinsi Aceh merupakan habitat utama

Orangutan Sumatera, populasi liarnya dapat ditemukan diseluruh Kawasan Ekosistem Leuser dan sedikit populasi tersebar di Kawasan Ekosistem Ulu Masen. Habitat Orangutan Sumatera menyukai beberapa macam tipe habitat, dari hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan dataran rendah sampai hutan dataran tinggi/pegunungan di atas 1600 meter dpl. Sebaran populasi paling tinggi dijumpai pada hutan rawa dengan asumsi banyaknya sumber pakan yang tersedia sepanjang tahun. Pola Pakan Walaupun Orangutan dikenal sebagai pemakan buah (frugivorus), primata ini juga mengkonsumsi daun, liana, kulit kayu, serangga dan kadang-kadang memakan tanah dan vertebrata kecil. Komposisi makanan pada semua hewan berbeda-beda, kondisi tersebut tergantung kebutuhan dari hewan tersebut. Pada Orangutan, komposisi makanan sangat berbeda pada tiap daerah, perbedaan ini dapat dipengaruhi oleh faktor habitat, musim, umur serta jenis kelamin. Adanya perbedaan komposisi makanan dan pemilihan makanan pada Orangutan akan mempengaruhi kemampuan dalam bertahan hidup, reproduksi dan perilaku. Faktor pembatas bagi pemenuhan kebutuhan Orangutan adalah keanekaragaman jenis pohon dan liana tertentu. Selain itu juga musim ketersediaan jenis pakan pokoknya yang harus terus ada dalam wilaah jelajahnya. Semakin banyak pohon yang sedang berbuah akan semakin lama waktu makan orangutn dan kehadiran orangutn akan semakin banyak pada jenis pohon yang berbuah atau dengan kata lain pergerakan Orangutan mengikuti pakan buahnya. Berdasarkan studi panjang dari 4 stasiun penelitian ekologi Orangutan yang tersebar di seluruh Sumatera, telah teridentifikasi 375 jenis pohon yang dimanfaatkan oleh Orangutan sebagai sumber pakan. Reproduksi Betina dewasa Orangutan Sumatera akan siap reproduksi dengan menghasilkan bayi pada umur 15 tahun, kondisi ini akan berbeda apabila terdapat perbedaan ketersediaan sumber pakan. Masa kehamilan berlangsung sekitar 260 hari dan akan melahirkan 1 bayi Orangutan. Interval masa kehamilan ini akan

terjadi pada setiap 8.5 tahun sekali, memiliki masa sapih selama 6-7 tahun. Bayi Orangutan akan terus bersama induknya selama 7-10 tahun. Umur Orangutan Sumatera dapat hidup mencapai 45-55 tahun, kondisi ini berbeda dengan yang terdapat di kebun binatang yang mampu hidup sampai dengan 60 tahun. Perilaku Orangutan adalah primata arboreal yang menghabiskan seluruh waktunya di atas pohon, walaupun beberapa kasus dijumpai Orangutan Kalimantan turun ke tanah. Aktivitas Orangutan akan dimulai dari pagi hari dengan meninggalkan sarang tempat tidurnya. Perilaku utama dalam aktivitasnya adalah makan, bergerak, sosial (bermain dan reproduksi), dan bersarang/istirahat. Sebagai primata frugivorus, hampir 70% sumber pakannya berasal dari buah. Walaupun pada saat ketersediaan buah sedikit, Orangutan akan memanfaatkan sumber pakan lain seperti daun muda, cambium, serangga dan akar. Setelah menghabiskan seluruh aktivitas dari pagi-sore hari, kegiatan selanjutnya adalah membuat sarang tidur. Orangutan dalam 1 hari akan membuat sarang malam (tidur) hanya 1 kali dan membuat beberapa sarang istirahat pada waktu siang di sela-sela aktivitasnya. Orangutan memliki daerah jelajah yaitu daerah dimana Orangutan tertentu pernah dilihat dan bergerak pindah dalam kurun waktu tertentu. Jelajah harian Orangutan jantan memiliki rata-rata 800-1300 meter/hari, kondisi ini dapat berubah apabila terjadi prosesconsort (kebersamaan) saat mengikuti individu betina dewasa sehingga memperjauh jarak jelajahnya. Orangutan termasuk primata yang sangat pintar, kondisi ini dapat dilihat dari beberapa perilaku penggunaan alat dalam aktivitasnya. Seperti alat untuk mengambil madu, alat untuk mengambil biji buah Nessia, paying saat hujan, dll.
2. Orangutan Borneo (Pongo pygmaeus)

Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) memiliki ciri fisik badan yang lebih besar, berwarna gelap atau coklat kemerah-merahan, rambut jarang dan pendek, dan pada bayi terlihat ada bercak-bercak berwarna kemerahan atau kehijau-hijauan; Orangutan Sumatera (Pongo abelli) memiliki ciri fisik badannya terlihat lebih

kecil, berwarna terang atau oranye, dan lengan lebih panjang daripada kaki. Secara umum, Orangutan jantan memiliki cheekpad pada kedua pipinya dan ukuran tubuhnya dua kali lebih besar dari betina, dengan berat tubuh di alam berkisar antara 50-90 kg. Habitat Habitat Orangutan adalah di hutan hujan tropik dataran rendah, hutan berawa atau hutan perbukitan pada ketinggian 1500 m dpl. Kini, mereka hanya bisa ditemukan di hutan tersisa di Kalimantan maupun Sumatera (90%) sementara 10% -nya di hutan tersisa Malaysia (Sabah dan Sarawak); Orangutan juga bersarang di atas pohon-pohon tinggi dan lebih banyak menghabiskan kegiatan kesehariannya juga dari atas pohon yang satu ke pohon lainnya. Makanan Orangutan termasuk hewan pelahap buah-buahan (frugivora). Mereka juga memakan daun, bunga dan kambium. Juga rayap dan semut guna mendapatkan protein. Sedangkan untuk mendapatkan kandungan mineral, kadang mereka memakan tanah. Kebiasaannya memakan buah yang telah masak ataupun mentah di hutan rimba habitatnya serta kebiasaannya dalam menjelajah dari satu pohon ke pohon lainnya, jelas sangat berperan dalam regenerasi tumbuhan-tumbuhan hutan. Orangutan memakan daging dan biji-bijian buah. Kadang biji-biji buah yang tidak dimakannya tersemburkan begitu saja ke tanah. Bahkan biji-biji yang termakan terkadang masih utuh dalam kotorannya, sehingga bisa tumbuh lagi sebagai tumbuhan baru dalam meregenerasi pohon hutan yang telah tua dan mati. Orangutan juga sering "makan sambil jalan" ketika menjelajah dari dahan pohon satu ke pohon lainnya. Kadang biji buahnya disemburkan begitu saja. Perilaku Orangutan hidup semi solitaire. Tidak membentuk kelompok seperti jenis kera besar lainnya. Mereka bersosialisasi dengan individu lainnya pada saat kawin yang berlangsung selama 2-3 minggu dan saat mengasuh anaknya. Orangutan melahirkan hanya satu anak setiap kelahiran, setelah 5-8 bulan mengandung. Orangutan bisa hidup hingga berumur 45-50 tahun atau bahkan lebih. Seperti halnya manusia, induk Orangutan selalu merawat, menjaga, dan memberi kasih sayang kepada anaknya yang masih kecil, hingga dirasa dia bisa hidup secara

mandiri lepas sama sekali dari induknya. Aktivitas hariannya lebih banyak dilakukan di atas pohon besar. Mereka punya kebiasaan menjelajah hutan dari dahan pohon yang satu ke pohon lainnya. Mereka menggunakan keempat anggota geraknya (dua tangan dan kakinya). Setiap menjelang petang mereka membuat sarang untuk tidur. Sarang biasanya dibangun pada percabangan pohon dengan melipat ranting dan dedaunan. Jantan dewasa dapat mengeluarkan suara (Long Call) yang cukup nyaring dan dapat didengar sejauh 3 km. Suara itu menantang Orangutan jantan lain yang ada disekitarnya dan juga sebagai tanda tentang daerah yang dikuasainya.

BAB III PEMBAHASAN 3.1. Status Konservasi Orangutan di Indonesia Menurut data yang dikeluarkan International Workshop on Population Habitat Viability Analysis (PHVA)-2004, populasi Orangutan di Kalimantan ada 57.797, sementara populasi Orangutan di Sumatera ada 7.501. Status konservasi Orangutan secara internasional: 1.International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN/2004) memasukkan Orangutan kedalam kategori Critically Endangered /kritis untuk Orangutan Sumatra dan Endangered/terancam punah untuk Orangutan Kalimantan; 2.CITES Appendix 1. Status konservasi Orangutan di Indonesia: 1. Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 233/1931; 2. UU No.5 tahun 1990; 3. SK. Menhut 10 Juni 1991, No.301/Kpts-II/1991; 4. PP No.7, 1999. 3.2. Strategi Konservasi Orangutan di Indonesia 3.2.1. Penyelamatan (rescue), rehabilitasi, dan reintroduksi Peluasan kawasan pertanian, perkebunan, industri, pertambangan dan pemukiman tentu saja berdampak pada semakin sempitnya tempat hidup dan ruang gerak Orangutan di habitat alaminya. Tidak mengherankan jika tingkat kejadian konflik antara manusia dan Orangutan di berbagai lokasi di Sumatera dan Kalimantan meningkat drastis selama beberapa tahun terakhir ini. Sampai 2007 terdapat sekitar 1.200 Orangutan Kalimantan di tiga (3) pusat rehabilitasi Orangutan di Kalimantan, yaitu Wanariset-Samboja di Kalimantan Timur, serta Nyaru Menteng (Palangka Raya) dan Pasir Panjang (Pangkalan Bun) di Kalimantan Tengah. Selain di Kalimantan, terdapat sekitar 16 Orangutan Sumatera di pusat karantina Batu Mbelin, Sibolangit, Sumatera Utara. Besarnya jumlah Orangutan

yang berada di pusat-pusat rehabiltasi menunjukkan bahwa ancaman perburuan, perdagangan, konversi lahan, kepemilikan illegal Orangutan masih sangat besar. Salah satu langkah yang dapat diambil untuk mengurangi konflik adalah dengan merelokasi Orangutan ke lokasi baru yang diperkirakan lebih aman dan mempunyai daya dukung yang cukup untuk menjamin keberlangsungan populasi Orangutan di tempat itu. Relokasi memerlukan biaya tidak sedikit, yang meliputi tindakan penyelamatan di lokasi konflik (rescue), proses rehabilitasi, pencarian lokasi baru, dan pemindahan Orangutan ke tempat baru (reintroduksi). Untuk itu, diperlukan kerjasama dari semua pihak yang terlibat untuk mengatasi persoalan konflik. Hal terpenting yang perlu dipahami dan disadari adalah, bahwa konflik dapat dihindari dan dicegah dengan pengelolaan kawasan yang memperhatikan unsur ekologi dan tingkah laku Orangutan. Melalui pengelolaan yang tepat, seperti sistem zonasi yang dibatasi penghalang alami, pembuatan koridor, dan pengayaan habitat, para pihak dapat menjadikan relokasi sebagai pilihan terakhir dalam upaya mereka meredakan konflik dengan Orangutan. Untuk mengetahui lebih lanjut tindakan yang perlu diambil oleh para pengelola kawasan (pemerintah daerah, HPH, HTI, perkebunan dan pertambangan) di lokasi konflik, Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Penanggulangan Konflik dapat dijadikan acuan. Sebagian besar Orangutan yang berada pada pusat rehabilitasi berasal dari proses penyitaan yang dilakukan Balai Konservasi dan Sumberdaya Alam (BKSDA) terhadap masyarakat yang memelihara dan memperjualbelikan satwa itu. Selain itu, dengan meningkatnya konflik yang terjadi semakin banyak pula Orangutan yang diselamatkan dari lokasi konflik dan ditempatkan di pusat rehabilitasi. Sebagian kecil lainnya berasal dari masyarakat yang menyerahkan secara sukarela Orangutan peliharaannya, setelah mereka mengetahui bahwa kepemilikan satwa liar yang dilindungi itu merupakan tindakan melanggar hukum, selain berpotensi menjadi sumber penyakit bagi keluarga. IUCN Guidelines for the Placement of Confiscated Animals merekomendasikan tiga pilihan yang dapat diterapkan terhadap Orangutan hasil penyitaan atau hasil proses rescue dari daerah konflik. Pilihan terbaik adalah dengan mengembalikan Orangutan ke habitat alaminya atau reintroduksi, setelah satwa tersebut melewati proses rehabilitasi untuk memulihkan kondisi fisik dan

tingkah lakunya. Rehabiltasi menjadi proses yang sangat penting mengingat banyak Orangutan hasil penyitaan dan penyelamatan menderita berbagai penyakit menular, seperti hepatitis B dan tuberkulosis (TBC), yang dapat berdampak buruk bagi populasi liar lainnya. Akan tetapi, program rehabilitasi memerlukan biaya yang besar dan bukan menjadi pilihan yang berkelanjutan untuk jangka panjang. Oleh karenanya, program penyadartahuan dan penegakan hukum tetap merupakan upaya preventif terpenting dalam konservasi Orangutan. Pilihan lain yang direkomendasikan oleh IUCN adalah melakukan euthanasia terhadap Orangutan hasil penyelamatan dan penyitaan yang diketahui menderita penyakit TBC akut yang tidak dapat disembuhkan. Rekomendasi itu dikeluarkan oleh The Veterinary Working Group dan the Rehabilitation and Reintroduction Group pada Orangutan Conservation and Reintroduction Workshop tahun 2002 sebagai pilihan untuk mengurangi risiko penularan penyakit kepada populasi Orangutan yang sehat dan manusia yang terlibat di dalam program rehabilitasi. Tentu saja, euthanasia harus dilakukan dengan mempertimbangkan rasa sakit, penderitaan dan menurunnya kualitas hidup Orangutan, serta setelah semua alternatif lain diputuskan tidak dapat dijalankan. 3.2.2. Program Pengelolaan Konservasi Orangutan Pengelolaan konservasi Orangutan dibagi ke dalam 3 strategi utama, yaitu 1. Strategi meningkatkan pelaksanaan konservasi insitu sebagai kegiatan utama penyelamatan orangutan di habitat aslinya 2. Strategi mengembangkan konservasi eksitu sebagai bagian dari dukungan untuk konservasi insitu orangutan 3. Strategi meningkatkan penelitian untuk mendukung konservasi orangutan Konservasi insitu merupakan kegiatan pelestarian orangutan di habitat aslinya. Strategi bertujuan agar semua pemangku kepentingan bekerjasama memantau pengelolaan konservasi orangutan dan habitatnya. Pemantapan kawasan, pengembangan koridor, realokasi kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) menjadi areal konservasi merupakan beberapa aktivitas yang bisa dilakukan untuk penyelamatan orangutan di habitatnya. Perlindungan habitat menjadi dasar utama bagi pengelolaan konservasi insitu orangutan.

Konservasi eksitu yang dilakukan di kebun binatang, taman safari selain bermanfaat bagi pelestarian orangutan juga harus bisa menjadi sarana pendidikan dan peningkatan kepedulian masyarakat akan perlindungan orangutan di Indonesia. Kebun binatang dan lembaga konservasi lainnya harus dikelola dengan baik dan profesional sehingga dapat berperan maksimal untuk pendidikan konservasi. Beberapa hal yang harus dilakukan adalah meningkatkan pembinaan, monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan orangutan di kebun binatang, khususnya menyangkut pemeliharaan dan kesehatan satwa. Penelitian menjadi strategi penting dalam mendukung konservasi orangutan. Penelitian akan memberikan informasi kepada pengelola bagaimana harus melakukan pengelolaan konservasi orangutan disesuaikan dengan tingkat ancaman dan permasalahan pada orangutan dan habitatnya. Habitat yang semakin sedikit dan timbulnya berbagai penyakit merupakan salah satu ancaman bagi orangutan. Disamping itu, juga dibutuhkan adanya penelitian yang memadai tentang apakah orangutan dapat bertahan hidup pada hutan-hutan yang sudah rusak (degraded forest areas). Selama ini, hampir semua penelitian orangutan dilakukan di hutan primer atau hutan yang gangguannya relatif kecil.

Daftar Pustaka Galdikas, B.M.F. 1984. Adaptasi orangutan di Suaka Tanjung Putting, Kalimantan Tengah. Universitas Indonesia Press. Jakarta IUCN (World Conservation Union) 2007 IUCN Red List ofThreatened Species (IUCN, Gland, Switzerland, 2007). PPHT-UNMUL 2006. Prosiding Membedah Orangutan. Bedah buku dan lokakarya penyusunan rencana aksi penyelamatan orang-utan dan habitatnya di Kalimantan Timur. Samarinda, 14-15 Juni 2006

You might also like