You are on page 1of 11

BANTUAN LANGSUNG TUNAI (BLT) UPAYA MEMBANGUN KESADARAN TEOLOGIS TERHADAP PERSOALAN KEMISKINAN DI INDONESIA

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan

DOSEN PEMBIMBING : ANANK LOOQMAN AFANDI

Disusun Oleh : DIAH LUTHFI HIDAYATI 081358949804

FAKULTAS AGAMA ISLAM STAI IBRAHIMY GENTENG BANYUWANGI 2008

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, segala puji bagi Alloh, yang telah melimpahkan taufiq, hidayah, serta inayah-Nya kepada kita sekalian sehingga kita dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan baik dan dengan maunah-Nya lah saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa dan mengajarkan kita mujizat yang paling agung yaitu Islam dan kitab suci Al Quran, sehingga kita dapat menjalankan perintah Alloh, menjauhi semua larangan-larangan-Nya dan dapat mengarungi samudra kehidupan di dunia dengan jalan yang diridhoi-Nya. Akhirnya, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak pembimbing dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini. Tentunya penyampaian pendapat dalam makalah ini masih terdapat kekurangan disana-sini, sehingga saya mengharap saran dan kritik membangun dari para pembaca guna tersusunnya makalah yang sempurna dan dapat bermanfaat khususnya untuk diri saya pribadi dan umumnya bagi seluruh pembaca dan masyarakat sekalian.

Penulis

Diah Luthfi Hidayati

BANTUAN LANGSUNG TUNAI (BLT) UPAYA MEMBANGUN KESADARAN TEOLOGIS TERHADAP PERSOALAN KEMISKINAN DI INDONESIA

A.

PENDAHULUAN Kemiskinan, ternyata bukan sekedar sebuah kata benda atau kata

sifat. Kemiskinan telah hadir dalam realitas kehidupan manusia dengan bentuk dan kondisi yang sangat memprihatinkan. Kemiskinan telah menjadi sebuah persoalan kehidupan manusia. Sebagai sebuah persoalan kehidupan manusia, maka kemiskinan telah hadir juga dalam berbagai analisis dan kajian yang dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu pengetahuan sebagai wujud nyata dari upaya memberi jawab kepada persoalan kemiskinan. Bahkan tidak hanya sebatas itu, kemiskinan juga telah hadir dalam sejumlah kebijakan baik oleh elemen-elemen sosial masyarakat maupun pemerintah dalam menunjukkan kepedulian bersama untuk menangani persoalan kemiskinan ini. Di Indonesia, upaya kepedulian terhadap persoalan kemiskinan, bahkan sudah berlangsung sejak lama, baik pada jaman pemerintahan masa Orde Lama, masa Orde Baru, maupun pada masa pemerintahan di era Reformasi ini. Untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap persoalan kemiskinan ini, pemerintahan SBY-JK juga tidak mau ketinggalan. Bukti nyata dari kepedulian pemerintahan SBY-JK adalah terlihat pada program Bantuan Langsung Tunai yang selanjutnya ditulis BLT. Hal mana mulai terlaksana melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 2005, tentang Bantuan Langsung Tunai kepada rumah tangga-rumah tangga miskin di Indonesia. Tujuan yang diharapkan melalui kebijakan program ini adalah dapat menjawab persoalan kemiskinan di Indonesia, sebagai akibat dari segenap perubahan yang telah terjadi, baik secara nasional maupun global. Kebijakan seperti ini patut diberi apresiasi, sebab hal ini juga dapat menjadi salah satu bentuk dari upaya menangani masalah kemiskinan di Indonesia. B. LATAR BELAKANG MASALAH Sebagai suatu program dan kebijakan nasional, program BLT mempunyai latar belakang pelaksanaan yang sistimatis, baik secara deskriptif analisis kondisional maupun deskriptif operasional perundang-undangan. Dari sudut deskriptif analisis

kondisional dapat dikatakan bahwa program BLT adalah wujud dari hasil sebuah pergumulan klasik di seluruh pemerintahan negara-negara seperti Indonesia. Dimana kemiskinan adalah suatu masalah yang sangat penting dan genting untuk diperhatikan dan ditangani secara serius. Menurut data penelitian lembaga SMERU (suatu lembaga penelitian independen terhadap kebijakan-kebijakan publik di Indonesia) yang berkedudukan di Jakarta, jumlah orang miskin di Indonesia sampai dengan tahun 2005 adalah 22% dari total penduduk Indonesia, berarti ada 45 juta orang miskin. Dimana stantar yang dipakai oleh SMERU dalam mengukur garis kemiskinan adalah Rp.112/kapita/bulan. Sebuah ukuran setelah adanya kenaikkan BBM pada tanggal 1 Oktober 2005. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alasan utama program BLT adalah alasan yang prioritas dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, dimana jumlah orang miskin mencapai lebih dari seluruh total penduduk Indonesia. Secara operasional perundang-undangan sebagai dasar pijak pelaksanaan program BLT adalah sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kurun waktu 2004-2009, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang diantaranya memuat target penurunan angka kemiskinan dari 16,7% pada tahun 2004 menjadi 8,2% pada tahun 2009. Dimana target tersebut dianggap tercapai jika daya beli penduduk terus ditingkatkan dan dikembangkan secara berkelanjutan. Wujud nyata dari orientasi RPJM ini dan didorong oleh membengkaknya subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) akibat dari meningkatnya harga minyak mentah di pasar Internasional, yang tentu pula mempengaruhi harga BBM dalam negeri sejak awal Maret 2005, kemudian mempengaruhi juga kenaikkan harga barang-barang pokok sehari-hari (Sembako), yang pada gilirannya memperlemah daya beli masyarakat, maka lahirlah Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 12 Tahun 2005, tentang Bantuan Langsung Tunai kepada rumah tangga-rumah tangga miskin, yang dikeluarkan pada tanggal 10 September 2005. Dimana pembahasan lebih lanjut pada taraf pelaksanaannya melalui Rapat koordinasi (Rakor) tingkat Menteri pada tanggal 16 September 2005, yang memandang bahwa pelaksanaan BLT sudah siap dilaksanakan, maka berlangsunglah program ini pada bulan Oktober 2005. C. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH Pertanyaan yang jauh lebih penting dari sekedar manfaat dan model dalam program seperti ini adalah apa akibat dan dampak secara menyeluruh bagi persoalan kemiskinan di Indonesia? Apakah seluruh kebijakan ini benar-benar dinikmati oleh

masyarakat yang tergolong sebagai kaum miskin? Bagaimanakah wujud perubahan sebagai akibat dari seluruh kebijakan-kebijakan seperti ini? Apakah kebijakankebijakan ini telah menyentak kesadaran kaum miskin untuk menyadari keadaannya sebagai kaum miskin dan mau keluar dari realitas kemiskinan itu? Dengan kata lain apakah kebijakan pemerintah ini, telah berhasil menjawab masalah kemiskinan secara tepat? Jangan-jangan justru oleh kebijakan-kebijakan seperti ini, maka kemiskinan tetap berlanjut dan menjadi sebuah problema yang tidak akan pernah terjawab. Demikianlah pertanyaan-pertanyaan itu akan menjadi bahan pembahasan dalam makalah ini. D. 1. PEMBAHASAN REALISASI DAN REAKSI PROGRAM BLT DI INDONESIA Salah satu maksud dikeluarkannya Inpres No. 12 Tahun 2005 tanggal 10 September 2005, yang selanjutnya dibahas dalam Rakor tingkat Menteri tanggal 16 September 2005, pemerintahan SBY-JK mengharapkan agar realisasi program BLT dapat berjalan dengan sistematis, lancar, berhasil, dan tepat sasaran. Satu bukti upaya yang sistimatis demi tertibnya program ini dapat terlihat dalam tulisan Edri Wilastono tentang Seputar Subsidi Langsung Tunai (SLT), yang disumberkan langsung dari dokumen Tim Koordinasi Pusat Pelaksanaan Program BLT di Jakarta. Sekalipun begitu, ternyata realisasi dan realitas program BLT banyak mengalami kendala-kendala, persoalan-persoalan bahkan kekurangankekurangan. Beberapa contoh tentang realisasi dan realitas itu dapat dilihat dalam beberapa kutipan sebagai berikut : Bantuan Langsung Tunai Dipotong Rp.70.000,00 Untuk Pembuatan KTP dan Subsidi Silang. Belasan ribu keluarga miskin (gakin) yang ada di kota Tasikmalaya, Rabu (19/10) antre di beberapa kantor kelurahan untuk mencairkan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Beberapa warga menjelaskan, uang Rp.300.000,00 dipotong Rp. 70.000,00. Potongan tersebut, masing-masing Rp. 20.000,00 untuk keperluan pengurusan KTP dan kartu keluarga. Sisanya Rp. 50.000,00 untuk subsidi warga lain yang dianggap miskin tapi tidak mendapat BLT. Kisruh Penyaluran Dana SLT (1). Mundur sebagai Ketua RT daripada Diamuk Massa. Karnoji sudah 29 tahun menjabat ketua RT 04 RW 03 di desa Pagejugan, kecamatan Brebes, kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Selama mengabdikan diri menjadi ketua RT, Karnoji tidak berharap gaji karena ia semata-mata ingin mengabdi. Akan tetapi, ketika pekan lalu,

setelah sejumlah warganya mendatangi rumahnya dan melontarkan katakata kotor kepada dirinya, Karnoji pun tak tahan lagi dan memilih mengundurkan diri. Bersama empat ketua RT lainnya di desa yang sama, Karnoji menyerahkan stempel RT. Mereka mengaku tidak tahan dengan tuduhan warga, yang menyebut tidak akurat mendata warga yang menerima dana kompensasi BBM di wilayahnya. Daripada keselamatan keluarganya terancam, Karnoji memilih mundur sebagai ketua RT. Pertaruhan PT Pos Indonesia. Tercatat enam orang rata-rata berusia 70 tahun meninggal dunia ketika sedang mengantre pencairan bantuan langsung tunai. Antre yang berujung kematian itu sungguh memilukan dan memalukan. Untuk menghindari kejadian ini terulang, PT Pos menentukan hari pengambilan BLT untuk setiap desa secara bergilir. Batas waktu pencairan diundur dari 15 Desember menjadi 31 Desember 2005. Demikianlah gambaran realisasi dan realitas BLT dalam program pemerintahan SBY-JK, yang tidak sedikit memetik reaksi dan persoalan. Sejumlah realitas tersebut kemudian mengundang sejumlah kritik dan analisis. Baik yang dilakukan dalam upaya membangun gagasan bahkan sampai pada beberapa analisis penelitian lapangan. 2. BLT DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

Memperhatikan arah dan sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kurun waktu 2004-2009 masa pemerintahan SBY-JK yang berorientasi pada penurunan angka kemiskinan di Indonesia dari 16,7 % pada tahun 2004 menjadi 8,2% tahun 2009, dimana targetnya adalah peningkatan daya beli masyarakat, maka menurut saya problem kemiskinan di mata dan di otak SBY-JK adalah problema tentang bagaimana masyarakat harus bekerja untuk mendapatkan sejumlah uang. Unsur kerja atau pekerjaan di sini bukanlah sebuah persoalan, karena manusia memang harus bekerja atau memiliki sebuah pekerjaan agar dapat menjalani hidupnya. Tetapi, orientasi utama pada uang di sini adalah sebuah persoalan. Di sini uang yang kemudian dijadikan sebagai ukuran dari daya beli masyarakat yang dianggap sebagai jawaban dalam menyelesaikan problem kemiskinan di Indonesia menurut saya terlalu berlebihan bahkan telah mempersempit persoalan kemiskinan. Kemiskinan akan menjadi sekedar persoalan ke-uang-an belaka.

Uang, memang sangat dibutuhkan oleh siapapun, apalagi orang miskin. Bahkan kadang-kala juga orang-orang yang kaya. Tetapi kalau kemiskinan hanya dipahami dari sekedar masalah punya atau tidak punya uang, maka persoalan kemiskinan adalah sesuatu yang sederhana saja untuk diselesaikan. Kita tidak perlu banyak berpikir dan menganalisa segala hal di sekitar masalah kemiskinan, tetapi hanya dengan melakukan apa yang dikatakan oleh paham marxisme, yaitu saling membagi kekayaan atau uang dari orang-orang yang kaya yang punya uang kepada orang-orang yang tidak punya uang, maka masalah kemiskinan dengan sendirinya beres. Namun ternyata, problem kemiskinan tidak sederhana itu, bahkan ideologi marxisme-pun telah gagal membuktikan kebenarannya. Ini berarti bahwa masalah kemiskinan bukanlah sekedar masalah tentang daya beli masyarakat atau masalah punya atau tidak punya uang. Disamping itu, jika problem kemiskinan hanya berorientasi pada persoalan keuang-an, maka akibatnya orang-orang yang dianggap miskin adalah sungguhsungguh menjadi objek dari seluruh tindakan kasihan atau rasa prihatin dari sesamanya yang ber-uang. Di sini manusia telah menjadikan sesamanya bukan sebagai subjek yang setaraf dengan dia, melainkan telah dijadikan sebagai objek yang perlu ditolong atau dikasihani belaka. Dapat dikatakan bahwa orang-orang miskin dan masalah kemiskinan hanya dapat dijawab jika ada kepedulian dari orang-orang yang mau berderma atau para dermawan. Sekalipun hal ini dapat dilakukan, tetapi proses penyelesaian seperti ini sangat tidak manusiawi, karena ada sesama manusia yang menjadi objek semata-mata dari sesamanya yang lain. 3. BLT DAN AGAMA

Apa yang dilakukan oleh Jaringan Rakyat Miskin Ibukota di sekitar istana negera pada tanggal 18 Nopember 2005 dalam bentuk doa massal dan juga oleh sejumlah mahasiswa dan masyarakat di depan Masjid Agung Tasikmalaya tanggal 21 Nopember 2005, telah menunjukkan adanya salah bentuk nyata dari reaksireaksi yang bernuansa agama. Reaksi-reaksi seperti ini sangat besar manfaatnya dalam memperlihatkan sikap kritis dari nilai-nilai agama dalam civil society. Tetapi menurut saya, reaksi dan sikap seperti ini, baru memperlihatkan salah satu bentuk dari sikap agama terhadap realitas sosialnya. Sikap dan reaksi agama sesungguhnya tidak sekedar secara verbalistis dan aksi-aksi demontrasi saja, tetapi harus lebih dari itu, yaitu bagaimana dapat melakukan suatu proyek yang nyata terhadap masalah kemiskinan. Doa dan aksi-aksi protes memang penting juga, tetapi hal itu akan menjadi lebih sempurna jika dibarengi dengan sikap yang

nyata dan tegas dalam memperjuangkan orang-orang yang lemah, seperti kaum yang miskin. Hal mana merupakan suatu wujud nyata dari rasa solidaritas yang tinggi dan kepekaan terhadap orang-orang yang lemah dan tak berdaya, tanpa ada maksud-maksud tertentu dibalik itu. Kepedulian agama terhadap masalah-masalah sosial hendaknya tidak sekedar berbentuk ritual dan aksi-aksi protes, melainkan juga dibarengi dengan karya nyata dalam bentuk upaya memberdayakan kaum yang lemah, dalam hal ini orang-orang miskin. 4. PROBLEMA KEMISKINAN, SEBUAH REFLEKSI

TEOLOGIS Dalam diskursus tentang problema kemiskinan, maka dapat disimpulkan bahwa pola kebijakan yang diambil oleh pemerintahan SBY-JK melalui Inpres No. 12 Tahun 2005 yang melahirkan pelaksanaan program BLT di Indonesia adalah merupakan suatu upaya penanganan problema kemiskinan secara material atau secara mutlak. Di sini kemiskinan dipahami sebagai suatu keadaan atau kondisi hidup yang kurang dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok seperti: pangan, sandang, papan, kesehatan (air bersih, sanitasi), kerja yang wajar dan pendidikan dasar. Akibatnya kehidupan orang-orang yang miskin secara material/mutlak ini sungguh-sungguh sangat memprihatinkan. Hal ini berarti bahwa pola kebijakan pemerintahan SBY-JK melalui BLT adalah baru menyentuh sebagian kecil dari problema kemiskinan yang sesungguhnya. Tetapi disamping itu pula, justru melalui pola kebijakan itu, muncullah suatu kecenderungan untuk tetap melanjutkan problem kemiskinan itu. Hal mana terbukti dari sejumlah permasalahan yang ditimbulkan oleh program BLT itu. Dimana problem kemiskinan itu semakin menjadi para dan buruk justru diakibatkan oleh pertentangan kelompok-kolompok yang tidak adil demi untuk mempertahankan kekuasaan atau kedudukan politik dan ekonomi semata. Memperhatikan pemaparan seperti ini, maka problem kemiskinan sebenarnya tidak dapat dijawab secara parsial, misalnya hanya mengedepankan masalah ekonomi saja, sebagaimana nyata dalam pola kebijakan BLT itu. Dengan kata lain, problem kemiskinan yang dijawab dengan upaya-upaya meningkatkan daya beli masyarakat, seperti nyata dalam Rencana Pembanguan Jangka Menengah (RPJM) kurun waktu 2004-2009 dalam pemerintahan SBY-JK, yang melahirkan program BLT yang cacat nilai itu, adalah sebuah pola kebijakan yang sangat tidak

menjawab problem kemiskinan di Indonesia secara komprehensif dan menyeluruh, bahkan berujung pada sejumlah persoalan. E. PENUTUP Dalam makalah ini saya berasumsi bahwa persoalan kemiskinan di Indonesia justru semakin menjadi parah dan menjadi lebih buruk adalah akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintah seperti yang diambil oleh pemerintahan SBY-JK melalui program BLT. Dalam hal ini saya memandang bahwa persoalan kemiskinan telah menjadi sebuah slogan yang dipakai secara keliru untuk suatu kepentingan tertentu. Dimana kemiskinan dan kaum miskin telah menjadi alat dan sarana bagi orang-orang yang berkuasa dan orang-orang yang kaya untuk menjadi lebih berkuasa dan menjadi kaya, sedangkan kaum miskin tetap menjadi miskin dan tambah menjadi miskin. Jadi makalah ini berorientasi pada suatu analisis tentang upaya membangun kesadaran terhadap realitas kemiskinan di Indonesia. F. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan : Pola kebijakan pemerintahan SBY-JK seperti yang termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kurun waktu 2004-2009, yang mengedepankan upaya peningkatan daya beli masyarakat sebagai tujuan menjawab problem kemiskinan di Indoensia, yang kemudian melahirkan program BLT adalah sebuah pendekatan pemecahan problem kemiskinan yang sangat parsial, dan karena itu hanya mempersempit sebuah problem kemiskinan yang sebenarnya sangat luas jangkauannya. Ukuran dan standar sebuah kemiskinan adalah sesuatu yang sangat sulit untuk ditetapkan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya dimensi yang mempengaruhi problem kemiskinan itu, baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya maupun religius. Karena itu, usaha-usaha penetapan suatu standar kemiskinan yang kuantitatif adalah sesuatu yang sangat mustahil untuk dibuat. Walaupun begitu ukuran-ukuran yang ditetapkan berdasarkan suatu dimensi kehidupan itu, adalah sangat penting pula. Dimana hal itu dapat menjadi sumber data yang dapat dipergunakan untuk diskursus problem kemiskinan secara holistik dan komprehensif. Oleh karena itu upaya-upaya pemecahan problem kemiskinan dalam bangsa ini adalah juga tugas dan tanggung jawab tokoh agama dan seluruh lapisan masyarakat yang ada di wilayah Negara Republik Indonesia. Kehidupan

keagamaan yang tidak mempedulikan problem kemiskinan adalah suatu kehiduan agama yang lupa pada realitas sosialnya, bahkan lebih jauh dari itu lupa pada hakekatnya sendiri. Akhirnya pengalaman realisasi program BLT di Indonesia yang mengandung banyak cacat nilai itu, harus menjadi suatu pengalaman yang berharga untuk segala kebijakan pemerintah di masa depan agar menjadi lebih baik dan lebih menyentuh akar-akar persoalan dari problem kemiskinan itu. Saran-saran : Tempat-tempat ibadah maupun Majlis Talim di Indonesia harus menjadi salah satu lembaga yang berperan dalam upaya memberi penyadaran akan luasnya problem kemiskinan itu. Dalam hal ini Tempat ibadah dapat melakukan dialog dengan eleman-eleman masyarakat ataupun dengan pemerintah, agar mereka dapat menyadari tentang realitas yang menyeluruh dari problem kemiskian itu. Hal mana akan berpengaruh dalam segala bentuk kebijakan yang akan diambil kemudian. Sehingga pola dan pendekatan itu tidaklah bersifat parsial belaka, seperti yang telah nyata dalam program BLT itu. Belajar dari cara dan pendekatan agama Islam, bahwa jawaban terhadap problem kemiskinan adalah hal yang utama dan prinsipil karena pesan Rasulullah sebelum meninggal salah satunya adalah memberantas kemiskinan, sehingga Masjid dan majelis-majelis talim wajib memberi contoh konkrit tentang pembahasan problem kemiskinan secara komprehensif dan holistik, yang dimulai dari lingkungan Masjid sendiri dengan jalan merubah seluruh jaringan dan struktur dalam masyarakat yang kurang menjamin adanya tindakan pemberdayaan bagi orang-orang yang miskin.

DAFTAR PUSTAKA

Banawiratma,J.B. Berteologi Sosial Lintas Ilmu; Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman. Jogjakarta. Kanisius, 1993.

Dampak Psikososial Bantuan Langsung Tunai (BLT) Artikel diakses dari internet dengan alamat website : http://www.sinar-harapan.co.id/203/makalahessai/2007 pada hari kamis, 26 Juni 2008 Pkl. 15.00 WIB. Indra J. Pilliang, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Gratis Namun Dilematis, Artikel diterbitkan Harian Kompas pada tanggal 25 Mei 2008, Halaman 7 Kolom 3. Kebijakan Fiskal Dalam Pembangunan Pro Rakyat, Artikel diakses dari internet dengan alamat website : http://www.forumteologi.org/2836/bltkemiskinan/2008 pada hari kamis, 26 Juni 2008 Pkl. 15.30 WIB.

You might also like