You are on page 1of 12

PENDIDIKAN PADA MASA POLITIK ETIS PEMBAHASAN

A. Politik Etis dan Latar Belakangnya Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa (Wikipedia) Politik etis dalah suatu haluan politik baru yang berlaku di tanah jajahan Hindi Belanda sesudah tahun 1901, yakni setelah ratu belanda melontarkan suatu pernyataan bahwa Negeri Belanda mempunyai suatu kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dan otonomi penduduk pribumi tujaun politik colonial baru ini adalah memperhatikan kemajuan dan perkembangan penduduk serta memeperhatikan pengolahan tanah. Dengan demikian secara teoretis system eksploitasi diganti dengan system pengajaran yang maju. Orientasi baru itu dikenal dengan namabermacam-macam seperti Ethis (etika), Politik kemakmuran atau politik asosiasi (Ensiklopedia Nasional Indonesia) Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang. Trias Politika yang meliputi: Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigrasi Memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi). . Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.

B.

Pendidikan pada Masa Politik Etis Berkaitan dengan arah etis (etische koers) yang menjadi landasan idiil dari langkah-langkah dalam pendidikan di Hindia-Belanda, maka pemerintah mendasarkan kebijakanya pada pokok-pokok pikran sebagai berikut:

Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk bumiputera, untuk itu bahasa Belanda diharapkan menjadi bahasa pengantar di Sekolahsekolah.

Pemberian pendidikan rendah bagi golongan bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Tujuan Pendidikan Secara tegas tujuan pendidikan selama periode colonial memang tidak pernah dinyatakan, tetapi dari uraian-urain di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar untuk kepentingan kaum modal Belanda, disamping ada sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang diangkat sebagi pekerjapekerja kelas dua dan atau kelas tiga.

Kesempatan Belajar Pada masa ini keadaan social Belanda keadaan social sengaja dipelihara agar terbagi dalam golongan-golongan atau masyarakat yang hidup terkotak-kotak. Pembagian golongan social didasarkan pada keturunan, bangsa dan status. a. Pembagian penduduk menurut hukum pada tahun 1848 1) Golongan Eropa 2) Golongan yang dipersamakan dengan golongan Eropa 3) Golongan Bumiputera 4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera Pembagian pada tahun 1920 1) Golongan Eropa 2) Golongan Bumiputera 3) Golongan Timur Asing b. Pembagian penduduk menurut keturunan atau status social. 1) Golongan bangsawan (Aristokrat) dan pemimpin adat. 2) Pemimpin agama (ulama)

3) Rakyat biasa/jelata (Ary H, Gunawan, 23)

Dinamika Pendidikan Masa Politik Etis Tindakan-tindakan yang berakibat jauh dalam perkembangan masyarakat Indonesia adalah system yang pendidikan yang diciptakan Belanda. System pendidikan ini

mengakibatkan terciptanya suatu golongan baru dalam masyarakat, yang oleh seorang ahli sejarah dinamakan grup fungsional. Istilah ini tidaklah sama dengan golongan fungsional dalam system politik di Indonesia sekarang. Grup itu hanyalah suatu golongan yang terampil secara barat karena dididik dalam sekolah-sekolah menengah kejuruan dan menjalankan fungsi-fungsi baru yang diciptakan pada awal abad ke-20. Fungsi-fungsi baru yang dimaksud adalah fungsi sebagai pegawai negeri dalam kedinasan-kedinasan (seperti pendidikan, kesehatan bank kredit, kehutanan, dll) yang diciptakan untuk mengusahakan peningkatan kemakmuran penduduk. Pada tahun 1982 sudah mulai diadakan sistematisasi dalam pendidikan yang berbeda-beda dari satu pulau ke pulau yang lainya. Pada waktu itu semua sekolah dasar dikelompokan menjadi dua macam saja. Sekolah dasar yang pertama dinamakan Eerste School (sekolah angkatan satu). Sekolah ini hanya menampung murid dari golongan priyayi dan hanya didirikan di ibukota karesidenan. Lama pendidikanya lima tahun, kurikulum meliputi membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, menggambar, ilmu alam, dan ilmu ukur tanah. Guru-gurunya diambil dari lulusan sekolah guru yang telah didirikan sebelumnya. Pada mulanya bahasa pengantarnya bahasa daerah, tetapi pada tahun 1897 diubah menjadi bahasa Belanda dan oleh karena itu lama pendidikan ditingkatkan menjadi enam tahun. Dengan adanya sekolah angka satu ini, semua sekolah raja yang didirikan sejak 1879 dihapus, kecuali yang di Magelang yang dijadikan sekolah kejaksaan. Jenis sekolah yang didirikan pada tahun 1892 adalah Twede School (sekolah angka dua). System sekolah ini ditujukan kepada rakyat pada umumnya di daerah pedesaan. Lama pendidikan hanya tiga tahun, dan kurikulumnya hanya menulis, membaca dan berhitung. Bahasa pengantarnya adalah bahasa daerah setempat atau bila tidak daerah, bahasa Melayu. Tatkala politik etis dilancarkan timbul dua pendapat tentang cara meningkatkan system pendidikan dasar untuk penduduk. Pendapat pertama menyatakan bahwa sekolah angka dua tidak tepat dan harus digantikan dengan sekolah desa yang disesuaikan dengan situasi pedesaan. Pandangan yang lainya menyatakan bahwa sistem yang sudah ada adalah sudah baik, hanya jumlahnya yang perlu ditambah. Pada akhirnya pandangan pertamalah yang dilaksanakan karena berasal dari Gubernur Jenderal Van Heutz.

Sistem sekolah desa tersebut mulai dibangun pada tahun 1907. Sekolah ini didirikan di daerah pedesaan dan masyrakata desa diberi tanggung jawab dalam pembinaanya berupa pendirian dan dan pemeliharaan gedung sekolahnya. Pembinaanya tidak pada departemen pendidikan tetapi pada departemen dalam negeri (sampai tahun 1918). Lama sekolah dan kurikulum masih sama dengan sekolah angka dua, tetapi lebih disesuaikan pada lingkunganya. Sekolah angka dua masih dilaksanakan meskipun berangsur-angsur menghilang sampai dihapuskanya pada tahun 1929 (karena krisis ekonomi). Sekolah angka satupun belum mengalami perubahan yang berarti. Pada tahun 1914 terjadi tiga hal yang sangat penting dalam system pendidikan rendah. Pertama pada tahun itu sekolah angka satu yang sejak tahun 1907 menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya diubah menjadi Hollands Inlandse School (HIS) yang berbahasa Belanda. Sekolah ini didrikan di ibu kota daerah dan dipergunakan oleh anakanak priyayi tetapi tidak tertutup bagi golongan yang lainya. Kedua, pada tahun itu didirikan sekolah lanjutan yang dinamakan Meer Uitgebreid Lajer Onderwijs (MULO), untuk lulusan sekolah angka satu. Lama pendidikanya tiga tahun dan bahasa Blanda dipakai sebagai bahasa pengantar, tatapi kurikulumnya sama dengan HIS pendidikan tingkat lanjutan atas bagi penduduk kepulauan Indonesia adalah Algemeen Middelbare School, yang menerima lulusan MULO. AMS pertama didirikan di Yogya dengan kurikulum B (Pasti Alam), kemudian di Bandung dengan kurikulum A 1 (satra barat), dan A2 di Surabaya (sastra timur). Selain itu peemrintahan hindia belanda yang beraliran etis itu pula mendirikan suatu sekolahkedokteran tingkat menengah pada tahun 1902 dengan nama School Tot Opleiding van Inlandse Artsen (STOVIA). Sekolah ini sebenarnya bukan ciptaan baru, tetapi merupakan penyempurnaan dari system pendidikan yang dimulai 1851 dengan nama sekolah dokter Jawa. Tujuanya adalah menciptakan tenaga-tenaga medis di pelbagai daerah, dan melaksanakanya di rumah sakit tentara Batavia. Lama pendidikanya mula-mula hanya dua tahun, tetapi pada tahun 1875 telah meningkat sampai lima tahun. Dengan ditingkatkanya system pendidikanya ini menjadi STOVIA pada tahun 1902, lulusanya pun di anggap sebagai dokter dengan gelar Indlandse Art. Pendidikan STOVIA mula-mula diberikan dalam bahasa melayu dan murid-murid diharuskan menggunakan pakaian daerah. Kemudian bahasa Belanda digunakan sebagi bahasa pengantar, sehingga murid-murid harus mengikuti kursus bahasa selama satu tahun. Dengan demikian lama pendidikanya menjadi tujuh tahun. Calon-calonya berasal dari sekolah angka satu, yaitu golongan priyayi, karena waktu itu HIS belum ada. M urid-murid

inilah yang mendirikan Budi Utomo pada tahun 1908 dan organisasi-organisasi pemuda lainya, seperti Jong Sumateranen Bond, Jong Ambon dan lain-lain. Pada tahun 1914 STOVIA ditingkatkan lagi karena calon-calonya harus diambil dari lulusan MULO. Pada tahun itu pula di Surabaya didirikan sekolah sejenis dengan nama Nederlandse Indische Artsen School (NIAS) lulusan STOVIA dan NIAS sejak itu memakai gelar Inndische Art. Baru pada tahun 1927 pemerintah mendidrikan sekolah tinggi kedokteran (guneeskundige Hogeschool), GH yang mengambil lulusan HBS dan AMS. Lulusanya memakai gelar Art, dan disamakan dengan universitas negeri Belanda. Sekolah kejuruan lainya yang penting sekolah pegawai pamong praja. Mula-mula tenaga pamong praja dihasilkan di Hoofdenschool, yang pada tahun 1892 dihapus, kecuali di Magelang. Sekolah ini dikenal dengan nama Opleiding School voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA). Lama pendidikan lima tahun. Bahasa pengantarnya bahasa Belanda. Sekolah ini tidak saja terbuka bagi anak-anak golongan priyayi seperti Hoofdenschool, tetapi terbuka juga bagi anak-anak golongan biasa yang ingin memasuki dinans pamong praja. Sekalipun menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, sekolah ini masih tergolong sekolah dasar. Sekolah semacam ini kemudian didirikan juga di bandung, Madiun, magelang, Probolinggo, Blitar, Makassar dan Serang. Baru pada tahun 1929 sekolah sekolah ini ditingkatkan menjadi sejajar dengan sekolah menengah yang dinamkan dengan MOSVIA. Untuk tenaga-tenaga kejaksaan dan pengadilan, pada tahun 1909 didirikan Rechtschool, yang juga menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada tahun 1924, ketika lulusan sekolah menengah sudah mulai banyak, didirikan sekolah hukum tingkat tinggi dengan nama Recht Hogeschool (RH). Sekolah ini menghasilkan hakim-hakim dan jaksa-jaksa yang lulusanya menggunakan gelar Mr. (singkatan dari Meester de Rechten) yang juga digunakan oleh lulusan-lusan di universitas di belanda. Sekolah pertanian sudah didirikan pada sebelum abad ke-20 tetapi hanya untuk mencetak tenaga-tenaga rendahan. Pada tahun 1876 pernah didirikan Landbouw School (sekolah pertanian) yang juga dimasuki oleh putra-putra golongan priyayi. Tetapi sekolah ini ditutup pada tahun 1884. Baru pada tahun 1903 didirikan lagi sebuah Landbouw School di Bogor dengan taraf pendidikan tingkat rendah. Pada tahun 1911 sekolah ini ditingkatkan menjadi sekolah menengah, sementara itu sekolah tinggi pertanian belum ada. Pendidikan pertukangan sudah mulai dicoba dari masa kemasa pada abad ke-19. Sebagian sekolah sekolah itu tidak berlangsung lama. Dalam awal abad ke-20 pendirian sekolah ini dicoba lagi dan kali ini lebih berhasil. Sebuah sekolah teknik tingkat tinggi baru didirikan pada tahun 1920, dan inipun oleh golongan swasta. Pada tahun 1924 sekolah yang

bernama Teckhnische Hogeschool (TH) itu diambil alih oleh pemerintah. Lulusanya berhak bergelar Insinyur (Ir) yang juga digunakan oleh lulusan-lulusan sekolah tinggi di Negeri Belanda (Ensiklopedi Nasional Indonesia) Tetapi celakanya ialah mereka yang putus sekolah dipengajaran lanjutan (MULO dan menengah) uuga tetap tinggi jumlahnya, baik karena sebab-sebab finansial maupun persyaratan yang berat, yang memang didasarkan pada norma-norma tradisional Belanda yang harus dipenuhi para murid. Sementar itu ketika pada tahun 1920 dan tahun-tahun berikutnya dibangun pengajaran tinggi (sekolah tinggi teknik tahun 1920, sekolah tinggi hokum tahun 1924, sekolah tinggi kedokteran tahun 1927, fakultas sastra tahun1940), maka jumlah mahasiswa Indonesia terutama pada tahun-tahun permulaan, tidaklah besar. Tidak heran apabila orang memperhitungkan bahwa pada setiap seratus murid kelas satu dari sekolah-sekolah rendah barat, setelah akhir masa pendidikan yang resmi (tujuh tahun pengajaran rendah, enam tahun pengajaran menengah) hanya dua oaring saja yang siap memasuki pengajaran tinggi. Sisanya dengan atau tanpa ijazah lembaga pengajaran rendah, sementara itu putus sekolah (I. J. Brugmans, 187) Lulusan lulusan sekolah inilah yang memainkan peranan penting dalam pergerkan nasional. Mula-mula yang tampil adalah murid-murid sekolah menengah (sekolah-sekolah kejuruan seperti STOVIA, OSVIA, dan sekolah pertanian). Berangsur-angsur mahasiswa sekolah tingggipun mengambil bagian. Lulusan-lulusan sekolah tinggi dan menengah itulah yang merupakan pendorong utama perkembangan bangsa Indonesia dan pergerakan emansispasi kemerdekaanya. Walaupun begitu, hasil politik etis itupun masih jauh dari pa yang diharapkan oleh penduduk pribumi. Sungguh suatu ironi bahwa kemajuan pendidikan yang digemborgemborkan Belanda mengjasilkan 90 % penduduk Indonesia yang masih buta huruf. Pelaksanaan politik etis sesungguhnya tidak sepi dari kepentingan-kepentingan kaum modal, karena sebagian besar sumber keuangan daerah berasal dari ondernemingonderneming swasta. Onderneming menjadi raja tak bermahkota di daerah-daerah. Pendidikanpun disesuakan dengan kebutuhan penjajah akan kebutuhan tenaga-tenaga pegawai yang sedikit cakap. Politik etis itu tidak lain dari bentuk imperialisme kebudayaan. Program edukasinya tak lain ialah pelaksanaan dari politik asosiasi seperti deterangkan sendiri dalam Twede Kamer pada tahun 1912 oleh Van Deventer yang natara lain menyatakan: humanisme Barat (maksudnya politik etis) telah memberi keuntungan besar, yaitu memungkinkan adanya asosiasi antara kebudayaan timur dan barat.

Politik asosiasi berarti politik penjajahan untuk menghilangkan jurang perbedaan antara penjajah dan rakyat jajahan dengan cara melenyapkan kebudayaan asli tanah jajahan untuk diganti dengan kebudayaan penjajah (Ensiklopedi Nasional Indonesia) Ada 5 ciri pendidikan pada masa kolonial Belanda, yaitu : Sistem Dualisme Dalam sistem ini diadakan garis pemisah antara sistem pendidikan untuk golongan Eropah dan sistem pendidikan untuk golongan bumi putera. Sistem Korkondansi Sistem ini berarti bahwa pendidikan di daerah penjajah di arahkan atau disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di negeri Belanda. Sentralisasi Kebijakan pendidikan di zaman kolonial diurus oleh sebuah Departemen Pengajaran. Menghambat Gerakan Nasional Sistem pendidikan pada masa itu sangat selektif. Masyarakat bumi putera tidak dapat memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya atau pendidikan yang lebih tinggi. Perguruan swasta yang militant Salah satu sekolah swasta yang sangat gigih menetang kekuasaan kolonial ialah sekolahsekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara (Vic.Blogspot.com)

PENUTUP Simpulan Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto de Eereschuld (hutang kehormatan) dan slogan Educatie, Irigatie, Emigratie. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2) Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan Bumiputera; dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi (Bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1) Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3) Rakyat biasa. Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi.

DAFTAR PUSTAKA Tim Penyusun. 1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 7, (Politik Etis). Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka. Gunawan, H Ary. . Kebijakan-Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Brugman, I.J.

. Politik Pengajaran.

Http:// Wikipedia.or.wiki/Politik-etis . (diunduh 18 April 2010, 10:43:15 WIB).

Pendidikan di Zaman Penjajahan Belanda


Admin Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Hal ini juga dikuatkan dari profil para guru di masa ini yang umumnya juga merangkap sebagai guru agama (Kristen). Dan sebelum bertugas, mereka juga diwajibkan memiliki lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC setelah sebelumnya mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi. Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya. Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warganegara, berdiri tahun 1630); Dll. (2) Sekolah Latin

Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670. (3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari) Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasardasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunanu dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun. (4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan) Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755. (5) Sekolah Cina 1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787. (6) Pendidikan Islam Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya. Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia. Era ini sesungguhnya telah beroleh pengaruh dari faham gerakan Aufklarung (pencerahan) yang berkembang di Eropa. Di antara tesisnya menyebutkan tentang penghargaan terhadap nalar, kebebasan spiritual serta sekularisasi agama dan negara. Implikasi logis dari hal ini

salah satunya adalah penyerahan pengelolaan pendidikan kepada negara, bukan lagi kepada lembaga-lembaga keagamaan (gereja). Secara formil, pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan beberapa sekolah di Jawa sejak kepemimpinan Daendels, yaitu sekolah artileri (1806) di Jatinegara, sekolah pelayaran (1808) di Semarang, sekolah bidan (1809) di Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di Cirebon. Daendels ini juga dikenal sebagai tokoh pertama yang menginstruksikan para bupati agar mengusahakan pendirian sekolah-sekolah bagi remaja-remaja pribumi. Janssens yang menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di bidang pendidikan. Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan politik dari kerajaan Inggris. Hindia Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di bawah Raffles. Secara kelembagaan formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian besar kepada dunia pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong sangat berminat melakukan eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan karya-karya intelektual yang cukup monumental, antara lain: History of Java karya Raffles, sejarah Sumatera, kamus Melayu dan pelajaran bahasa Melayu yang merupakan karya-karya Marsden, Java Government Gazette yang memuat ilmu pengetahuan tentang daerah dan penduduk, hasil kajian botani oleh Horsfield, dan juga kajian kepemilikan tanah di Jawa oleh Colin Mackenzie. Karya-karya tersebut memberi kontribusi signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus menjadi penanda khusus masa lima tahun (1811-1816) kekuasaan Inggris di Indonesia. Masa pemulihan kekuasaan Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi titik tolak baru bagi perkembangan lebih maju dunia pendidikan di Indonesia. Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van den Bosch (18291834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan. Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung hampir satu dekade (1883-1892). Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto de Eereschuld (hutang kehormatan) dan slogan Educatie, Irigatie, Emigratie. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2) Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan Bumiputera; dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan

Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1) Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3) Rakyat biasa. Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan.

You might also like