You are on page 1of 11

PERSPEKTIF IN MEDICAL SOCIOLOGY

CLOSED AUTHORITY ROLE THEORY and MALPRACTICE DOCTOR


Doctor-patient relationship
Edited by Erwin Wahid MD

2012

UNISEL SELANGOR MALAYSIA

Closed Authority Role Theory and Malpractice Doctor

1.Introduction

Hippocrates (500 BC) The best physician is the one who has providence to tell to the patients according to his knowledge the present situation, what has happened before and what is going to happen in the future.

Wahid (2010) If the good doctor carrying out the social norms prevailing local where he worked in a professional manner to communicate effectively, perform acts of medical consent 'informed consent, a small possibility of malpractices, because doctor should explain first differences of medical negligence and medical risk after be informed all of the first A.........UNTIL....... Z.

Figure: Closed Authority Role Theory

DOCTOR-PATIENT RELATIONSHIP

Covert-Role Taking: social norms, effective communication and emphatic

Table: Doctor-Patient Relationship Difference ------------------------------------------------------------------------------------Old Paradigm 500 BC New Paradigm 2000 AD

-------------------------------------------------------------------------------------Doctor-Centered/Disease-Centered Patient-Centered

Parent-Child Model/Biomedical model Egg-shaped layers model Paternalism Boundary- maintenance: Belief/Trust Vertical Autonomy Believe/fiduciary Closed dyadic

On care/decision-making asymmetrical Patient decides Doctor as expert Not autonomy The dignity of the person Covert-role taking: with role distance; Social norms not Arrogance Oriented: oath, ethic Informed consent: not yet No theory Another model Malpractice doctor: Yes Doctor presents option Max. autonomy for patient Professional No role distance; Social norms yes Emphatic add effective Communication Informed consent: obligation Closed authority role theory One model No

-----------------------------------------------------------------------------------------

Contents 1. 2. 3. 4. 5. Introduction Classification of Doctor-Patient Relationship Closed Authority Role Theory Malpractice Doctor Conclusion

2. Classification of Doctor-Patient Relationship Tokoh kunci dalam proses pengobatan atau penyembuhan suatu penyakit ialah dokter. Bagi masyarakat awam seorang dokter dianggap mempunyai pengetahuan yang paling baik dan keterampilan untuk mendiagnosa dan menyembuhkan penyakit sehingga dia berwewenang melakukan tindakan apapun terhadap diri pasien demi mencapaian kesembuhannya. Berdasarkan pandangan itu dan harapan pasien terhadap fungsi dan peran dokter terjadilah interaksi dokterpasien yang bersifat profesional dan seringkali tidak seimbang, artinya, dokter yang aktif memberikan gagasan tindakan dan mengambil inisiatif bertindak sendiri, sedangkan pasien secara pasif menerima saran dan mematuhi instruksi dokter. Arti penting dari hubungan sosial antara dokter dan pasien secara klinis, hasil psikososial dan konsultasi perilaku telah menghasilkan cukup perhatian yang diberikan kepada berbagai bentuk dan faktor-faktor penentu hubungan ini. Sedangkan Parsons (1951) mengidentifikasi harapan masyarakat awam yang mengarahkan perilaku dokter dan pasien, perannya sebagai hubungan asimetris di mana dokter menempati posisi dominan berdasarkan kemampuan atau pengetahuan khusus dan pasien hanya bekerja sama, dipandang sebagai satu bentuk yang mungkin dari sebuah hubungan antara dokter dan individu pasien. Bentuk lain timbul dari perbedaan dalam kepentingan kekuasaan dan kontrol yang dilakukan oleh dokter dan pasien. Pada kenyataannya, ini berbeda model mungkin tidak ada dalam bentuk murni, tetapi konsultasi tetap paling cenderung jenis ke arah satu model. Hubungan dokter-pasien telah mengalami transisi sepanjang zaman. Sebelum dua dekade terakhir, hubungan itu terutama antara pasien mencari bantuan dan seorang dokter yang secara diam-diam keputusan dipenuhi oleh pasien. Dalam model paternalistik hubungan dokter-pasien,
4

dokter menggunakan keahliannya untuk memilih intervensi yang diperlukan dan perawatan yang paling mungkin untuk memulihkan kesehatan pasien atau memperbaiki rasa sakitnya. Setiap informasi yang diberikan kepada pasien dipilih untuk mendorong mereka untuk menyetujui keputusan dokter. Ini uraian dari interaksi asimetris atau tidak seimbang antara dokter dan pasien (Parsons,1951) telah ditentang selama 20 tahun terakhir. Kritik telah mengusulkan peran berpusat pada pasien lebih aktif, otonomi pasien dan pasien menganjurkan kontrol pasien yang lebih besar, mengurangi dominasi dokter dan partisipasi yang lebih bersama. Pendekatan yang berpusat pada pasien telah digambarkan sebagai salah satu tempat dokter mencoba untuk memasuki alam pikiran pasien, untuk melihat penyakit lewat kaca mata pasien dan telah menjadi model yang dominan dalam praktek klinis saat ini. Wahid (2010) membuat klasifikasi hubungan antara dokter dan pasien berdasarkan hubunngan kekuasaan, konrol tingkat derajat dan kaitan malpraktik: I.Hubungan antara dokter dan pasien, lebih merupakan hubungan kekuasaan, dimana bentuk hubungan tersebut adalah hubungan antara pihak yang aktif memiliki wewenang dan pihak pasif yang lemah dikenal paternalism model; Model yang pertama ini, hubungan dokter-pasien akan terjadi jika pasien mengalami penyakit yang akut atau infeksi, di mana dokter memberikan instruksi sedangkan pasien mematuhi instruksi tersebut. Model relasi ini sering dianggap sebagai model yang menandai hubungan dokter-pasien pada umumnya. Pasien yang masih perlu memperoleh perlindungan dan pembelajaran hidup. Hubungan patemalistik semacam ini masih banyak ditemukan dalam praktek dokter di dunia. (Russel 1938; Freidson 1960; Freeborn & Darsky 1974; Szasz & Hollender 1978; Schwartz & Kart 1978; Kisch & Reed 1969; Waitzkin & Waterman 1986; Jones 1951; Marmor 1953; Roter 1992; Daldiyono 2007; Ramsey 2002;

Parsons 1951; Fox 1957; Latus 2002; Charles 2004; Emanuel 1992; Childress 1982: Engel 1972; Henderson 1950; M. Stewart & D. Roter 1989; Street 1991; Howie 1992, Ridsdale 1992 ; Mishler 1984, Cornford 1993; Beecher 1955; Kaplan 1989; Fitzpatrick 1983; Siregar 1990; Baless 1950). II. Hubungan antara dokter dan pasien, melihat kecenderung kontrol tingkat kedudukan tidak setara dikenal another model; Model yang kedua ini, hubungan tidak setara atau pasien yang boleh diajak berbincang-bincang, hubungan dokter-pasien boleh terjadi bilamana pasien berada
5

dalam kondisi yang tidak mungkin bereaksi atau turut berperan serta dalam relasi itu. Dalam hal ini pasien masih bisa merupakan objek yang hanya menerima apa saja yang diberikan kepadanya atau tergantung situasi dan kondisi pada individu pasien (Weiss & Lonnquist 1997; Szass & Hollender 1978; Roter 1992; Daldiyono 2007; Cassell 1986; Latus 2002; Emanuel 1992; Street 2003; Pellegrino & Thomasma 1984; M.Stewart & D. Roter 1989; Stewart 1984; Ridsdale & Hudd 1994; Mc Kevin & Morgan 1997; Jenkins 2001; Lloyd & Bor 1996, Pietroni 1976; Barry 2000; Ferguson 2002; Goold 1997; Collste 2002; Beaucharmp & Childresss 2002; Levinass 2002; Schepers & Nievaard 1990; Freidson 1990; Potter & Mc Kinlay 2005; Carroll 1995; Lazare 1995; Kravitz 2005; Mangione-Smith 1999; Atkinson 1995; Clair & Allman 1993; Davis 1963; Fisher 1984; Todd 1989; Zola 1964, 1973; Brown 1995; Mishlers 1984; Waitzkin 1991; Fisher & Todd 1986, 1993; Todd 1989; West & Frankel 1991; West 1984; (Inui & Carter 1985, Mishler 1986, Pendleton 1983, Tuckett &Williams 1984, Tuckett 1985; Charon 1994; Roter & Frankel 1992; Roter & McNeilis 2003; Frankel 1983, 1984; Heath 1982, 1986; West 1984; Heritage & Maynard 2006, Maynard & Heritage 2005; Clayman & Gill 2004; Drew & Sorjonen 1997; Goodwin & Heritage 1990; Heritage 2005; Hutchby & Wooffitt 1998; Maynard & Clayman 1991; ten Have 1999; Zimmerman 1988; Heath 1992; Perakyla 1998, 2002; Stivers 2005; Stivers & Majid 2005; Goffman 1983) III. Hubungan antara dokter dan pasien, melihat kontrol tingkat kedudukan setara terbuka dikenal partnership model; Model yang ketiga ini, hubungan setara terjadi jika dokter membantu pasien untuk menolong dirinya sendiri. Dalam hubungan ini dokter memberikan saran/nasihat yang didiskusikan bersama pasien dan pasien diharapkan aktif memutuskan apa yang akan dilakukannya demi kesembuhan dan kebaikan diri sendiri. Biasanya hubungan ini terjadi dalam kasus-kasus penyakit kronis atau dalam upaya mengatasi kebiasaan yang merusak kesehatan. Seumpama dalam kasus merokok, pasien sendiri harus membina disiplin untuk menghentikan kebiasaan itu, sedangkan dokter hanya dapat memberikan saran tentang altematif cara penghentiannya dan konsekuensi dari tindakan tersebut. Dari uraian ini jelas terlihat bahwa hubungan dokter-pasien dapat berbeda-beda sifatnya dan untuk setiap model diperlukan teknik komunikasi yang berbeda pula. Jika dokter tidak memperhitungkan hal ini.maka komunikasi dengan pasien tentu tidak akan efektif dan hasil pengobatan pun menjadi tidak optimal. Pesakit yang dianggap setara dan memiliki hak individu secara mandiri. (Szass & Hollender 1978; Roter, 1992, 1988; Wahid 2010, Daldiyono 2007; Veath 2000; Smith & Newton1998; Hayes &
6

Baustista 1976; Latus 2002; Charles 1999, 2004; Reeder 1972; Stewart 1984; Emanuel 1992; Raymond 2000, Capron 2002; M. Stewart & D. Roter 1989; Wersch & Eccles 2001; Silverman 1998, Marinker 1997; Beaver 1999; Gwyn & Elwyn 1999; Coulter 1997; Montgomery & Fahey 2001, Waissman 1999; Tuckett 1985; Mead & Brower 2000; Byrne & Long 1976; Balint 1957; Irwin 2006; Skipper & Leonard 1960; Ende, 1989; Frosch & Kaplan, 1999; Roter & colleagues 1997; Inui & Carter 1985; Inui 1982, Roter & McNeilis 2003; Wasserman & Inui 1983; Boyd 1998). IV. Hubungan antara dokter dan pasien, melihat kaitan dengan malpraktek dokter dikenal one model; Model yang ke empat ini, hubungan dokter-pasien kontrol tingkat setara tertutup, dokter memperhatikan norma sosial setempat, bersikap empati dan melakukan komunikasi efektif serta memberikan alternatif terapi saja, sedang pasien memutuskan terapi yang di kehendakinya (Beckman 1994; Carni 2004; Wahid 2010). 3. Closed Authority Role Theory Bermula dari teori tingkah laku sosial dasar dari Homans (1961), menerangkan hubungan dua orang yang sejajar, di mana kedudukan orang pertama setara dengan kedudukan orang kedua, Homans mencoba menerangkan hubungan antara dua orang dengan menggunakan prinsipprinsip transaksi ekonomi. Ia berpendapat bahwa proses psikologik yang terjadi pada dua orang saling berinteraksi pada hakikatnya sama dengan proses jual beli di mana kedua belah pihak memberi harga dan mencari keuntungan. Akan tetapi mereka mengakui bahwa pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial dipertukaran juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata. Hubungan yang dapat bertahan lama adalah hubungan di mana kedua belah pihak dapat memperoleh keuntungan. Untuk itu, Homans membatasi diri pada dua orang yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) bersifat sosial: ada aksi-reaksi antara dua orang; 2) untuk setiap aksi (tingkah laku) harus ada ganjaran atau hukuman dari pihak kedua (bukan dari pihak ketiga); 3) tingkah laku harus nyata, bukan berupa norma-norma sosial atau harapan-harapan masyarakat. Dalam sebuah pabrik, misalnya , seorang pekerja yang berinteraksi dengan pembantunya dapat menjalin kerja sama yang intim dengan harapan memperoleh ganjaran nyata berupa nyata berupa sejumlah besar bonus tahun baru. Tetapi ganjaran dari persahabatan dan goodwill yang tidak nyata juga dapat melahirkan perilaku yang sama, bahkan di saat-saat dunia usaha mengalami masa sulit dimana bonus demikian itu merupakan hal yang
7

mustahil. Model timbal balik tetap ada sejauh orang memberi dan berharap memperoleh imbalan barang atau jasa itu. Pada teori relation-based menekankan pada hubungan keluarga bapak-anak dan hubungan antara dokter-pasien yang khusus. Sebagai contoh, kebijakan moral dapat didasarkan pada pemikiran bahwa tidak ada yang boleh dilakukan yang dapat merusak fungsi normal dari suatu unit keluarga. Masalah teori ini adalah sulitnya menangani dan menganalisa faktor-faktor emosional dan psikologis yang berperanan dalam suatu hubungan dokter dan pasien. Hubungan dokter dan pasien telah terjalin sejak 25 abad terdahulu. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter. Hubungan antara dokter dengan pasien seperti hubungan bapak dan anak yang bertolak dari prinsip father knows best yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik. Dokter disini berupaya bertindak sebagai bapak yang baik yang cermat, berhati-hati dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya melalui pendidikan yang panjang dan sulit serta pengalaman yang bertahun-tahun untuk kesembuhan pasien. Anggapan 25 abad terdahulu bukan yang salah tetapi sifat hubungan bapak dan anak mestinya dikembalikan ke lafal sumpah Hippocrates bagaimana salah satunya menyimpan rahsia kedokteran tidak bocor, berarti ada selimut yang melindungi bapak dan anak seperti kapsul samar terbungkus rapi dalam teori ini disebut covert-role taking, kapsul tersebut melindungi hubungan bapak dan anak terdiri noma-norma sosial, empati dan komunikasi efektif. Jadi ibarat peribahasa oleh orang Indonesia dalam hubungan ini seperti katak di bawah tempurung. William Graham Sumner (1840-1910) menggambarkan asal-usul norma sosial menjadi 3 jenis utama: 1) Norma-norma kesopanan folkways- norma-norma relatif lemah yang hanya sedikit ditegakkan dalam sebuah masyarakat (tidak melanggar hukum), contoh orang bertingkah benar sopan santun; 2) Norma-norma etika custom- adalah norma-norma yang kuat dan penting dari masyakat. Pelanggaran custom akan mengbangkitkan hukuman berat (melawan hukum sebagian besar waktu), contoh adat istiadat; 3) Norma-norma hukum law- norma-norma yang dirancang pemerintah, dipelihara dan ditegakkan oleh wewenang politik masyarakat. Contoh pelanggar hukum. Menurut pendekatan interaksionisme simbolik baik dokter maupun pasien mempunyai gambaran mereka sendiri mengenai kenyataan sosial, yang mempengaruhi interaksi di antara
8

mereka. Kajian interaksionisme simbolik terhadap hubungan dokter-pasien menekankan pada kesenjangan dalam harapan dan kemungkinan terjadinya konflik. Seiring perkembangan zaman pola hubungan yang paternalistik ini bergeser ke pola otonomi dimana hubungan (pasien dan dokter) berkedudukan sederajat/setara, mereka mempunyai wewenang yang sama tergantung keadaan konflik disebut Authority of the situation (Harold Koontz & Cyril O Donnel, 1996), teori wewenang situasional - ketika wewenang diasumsikan untuk memenuhi kebutuhan yang muncul, hal itu disebut wewenang situasional. Tipe wewenang ini dihentikan pada saat situasi yang lebih. Karena peranan mereka dalam rangkaian tertutup seperti covert-role taking maka teori hubungan dokter dan pasien di kenal teori peranan wewenang tertutup. Dalam teori peranan wewenang tertutup jangan sekali kali menyamakan nilai pasien samadengancostumer/consumer/client/friend/student/labourer/skilledworkman/follower/child/ad olescence/adult/passive/cooperative dan begitu juga dengan konsep peranan dokter sama sebagai father/parent/provider/patron/contractor/consultant/guardian/friend or teacher/counselor or

adviser/competenttechnicalexpert/merchant/undertaker/leader/advocate/priestly/prophet/parent/a dult/active/guidance, pasien iya sebagai pasien dan dokter iya sebagai dokter, ini ulah orang sosial, budaya, politik, hukum dan ekonomi mencari istilah menurut alam pikran mereka, sebagai contoh terjadi seperti ini: dalam era provider and costumer ini, terbentang jarak psikologis antara dokter dan pasien. Seolah ada dua pihak yang menandatangani kontrak perjanjian dimana pasien harus membayar dan dokter harus bekerja. Dengan demikian, unsur bisnis terasa kental. Akibat dari pola hubungan ini, masyarakat mudah menuntut bila merasa tidak puas dan dokter bersikap defensif, ini membuat hubungan dokter dan pasien sedikit merenggang. Berdasarkan pola hubungan ini, tidak heran bahwa dalam undang undang perlindungan konsumen, praktik dokter dimasukkan ke dalam industri jasa, dan dengan sendirinya praktek kedokteran masuk dalam undang undang perlindungan konsumen. Kondisi ini menggelisahkan para dokter sehingga sebagian dokter senior berusaha untuk merumuskan pola hubungan baru, yaitu pola kemitraan dokter-pasien akibat hubungan manusia setara. Mereka melakukan komunikasi efektif dengan pasien dan berubah sikap yang dulu arogan sekarang menjadi empati.

4. Malpractice Doctor Malpraktek dokter menurut Kenneth (1995): dalam sebuah hubungan dokter-pasien pengertian dua: 1) Suatu pelajaran meletakkan gugatan pasien; 2) Persembahan upaya inovasi empiris untuk memahami masalah tuntutan pasien yang menbosankan, terlalu sering dilihat sebagai lawak. Para teori-teori explorasi hubungan dokter-pasien adanya komunikasi buruk dan kecenderungan pasien untuk menuntut dokter dan tentunya memerlukan penjelasan yang luas, kenyataan mengapa hanya persentase yang relatif kecil pasien merasa tidak puas, mengejar tindakan hukum (4%, Wahid 2010) . Namun, hubungan dokter-pasien antara kualitas komunikasi dokter dan kecenderungan pasien untuk menuntut dokter dan pendekatan masalah malpraktek dokter ini, meskipun sangat berharga, mungkin berakhir kegagalan. Pelajaran paling menarik dari pasien penggugat meletakkan masalah malpraktek tersebut. Pengacara pasien biasanya banyak akal untuk mempersiapkan pasien pada pertemuan penyelesaian masalah malpraktek. Selain itu, pada studi retrospektif terhadap pasien penggugat malpraktek dokter meninggalkan kesan berupa bias. Pasien yang marah kepada dokter atau merasa bahwa dokter telah melakukan kesalahan atau mungkin dokter cenderung mencederai pasien. Meskipun praktek dokter telah banyak melihat tuntutan malpraktek dokter sebagai masalah yang serius, mengapa seseorang pasien menuntut, karena tidak lain kurang dipahami masalah medik, sebab pasien tidak dapat membedakan risiko medik dan kelalaian medik. Dalam suatu penelitian inovatif, peneliti mencari alasan untuk meninjau kembali 45 pasien penggugat. Hubungan bermasalah antara dokter dan pasien yang diidentifikasi pada 71 persen dari penelitian yang diungkapkan oleh pasien penggugat tentang dokter adalah: dokter meninggalkan pasien atau kehilangan kontak dengan pasien, tidak mendengar pandangan pasien, memberikan informasi buruk, dan tidak memahami sudut pandangan pasien. Menariknya, 17 dari 31 pasien penggugat menjawab ya ketika ditanya apakah ada orang yang menyarankan untuk menuntut kepada mereka (31 %, Wahid 2010). Dalam setiap kasus, satu atau lebih dokter telah membenarkan adanya pihak ketiga (17.5% tenaga kesehatan: lawyer 10.1%: lembaga swadaya masyarakat 6.4%: bukan keluarga 3.4%). Masalah komunikasi dokter dirasakan merupakan faktor penting dalam keputusan pasien untuk mengambil keputusan terakhir terhadap dirinya, dan dokter pun juga dapat mempengaruhi keputusan ini.

10

Sebetulnya sederhana sekali bila terjadi konflik malpraktek dokter karena pecahnya kongsi antara dokter dan pasien, karena pelindung norma-norma sosial ada yang menyimpang, tidak melakukan komunikasi efektif, bersikap tidak empati dan tidak memberikan hak otonomi pasien, tidak keadilan dan tidak berbuat baik serta mengakibat bocor benteng pertahanan sistem serangan luar berupa: trust, fiduciary dan believe. 5. Conclusion Dokter yang baik: berbuat baik, keadilan dan memberikan hak otonomi pasien; Kembali memahami norma-norma sosial tempat bertugas; bersikap empati melakukan komunikasi efektif dengan pasien pintar

11

You might also like